Pages

Jumat, 16 Agustus 2013

Karung 16

Karung 16

Jejak Yang Tersegel





“Kenapa dia titipin ke kamu?” pertanyaanku terlontar tanpa pikir panjang, setelah meneliti dan memastikan bahwa laptop yang dibawa Maya memang benar milik Dimas.

Maya seketika mengangkat wajah dari es moccha yang sedang diminumnya. Tatapannya padaku seperti besi yang meluncur ke kutub magnet. Diikuti Mas Dika dan juga Fandy. Rupanya ucapanku tadi mangagetkan mereka.

“Eh, sorry, aku nggak bermaksud mencurigai, Maya…,” jelasku jadi agak gugup, menyadari nada bicaraku tadi sedikit ketus. “Aku tahu banget kalau laptop ini sudah seperti soulmate-nya Dimas. Ada diary-nya juga di dalam sini, jadi… pasti ada alasan kenapa dia menitipkannya ke orang lain.”

“Saya tak mungkin juga membukanya, Bli. Ada password-nya kalau mau buka.” Nada ucapan Maya terdengar seperti ada rasa tak nyaman. Yap, perempuan adalah makhluk sensitif. Sorry deh, May.

Kunyalakan laptop di hadapanku. Benar kata Maya, Dimas memasang password di laptopnya untuk log in. Padahal dulu enggak. Dulu cuma diary-nya saja yang dipasangi password. Kucoba lagi peruntunganku untuk membobol password ini agar bisa log in. Siapa tahu berhasil, seperti dulu waktu aku membobol diary-nya. Jariku mengetik:

dimas. Gagal.

dimasandikasetiawan. Gagal.

dimasandika. Gagal.

dimassetiawan. Gagal.

dimas1992. Gagal.

dimas190992. Gagal.

dimas19091992. Gagal.

190992. Gagal.

19091992. Gagal juga!

Otakku mulai gerah menghadapi laptop ini. Kulirik Fandy, dia cuma manyun menunggu usahaku berikutnya. Oke, kucoba lagi:

dimasfandy. Gagal.

dimaslovefandy. Gagal.

dimaslovesfandy. Gagal.

dimasdanfandy. Gagal.

dimascakep. Gagal.

dimasunyu. Gagal.

dimaskampret. Gagal semua!

“Nyerah!” ucapku lesu. Kugeser benda itu ke Fandy. “Dulu dia kasih password di diary-nya pakai namanya sendiri. Kalau sekarang dia bikin password tanpa unsur nama, berarti kata atau angka apa saja bisa jadi password-nya. Aku angkat tangan. Gantian lu coba tuh, Fan!”

Ganti pacar Dimas itu sibuk memasukkan kata sandi. Berkali-kali. Sampai keningnya mengerut. Akhirnya dia juga angkat tangan. Nyerah!

“Sayang. Padahal mungkin ada petunjuk di dalam sini, entah dia nulis di diary atau apa,” keluh Fandy, sambil mematikan lagi laptop itu. “Jejaknya tersegel di dalam sini!”

Kuhela napas, gundah. “Sebenarnya aku masih bingung juga, kenapa Dimas harus nitipin laptopnya? Memangnya ada apa, atau… dia mau ke mana?” kulontarkan pertanyaanku kepada Maya.

“Dia akan mendaki ke Batur,” jelas Maya. “Katanya, bawa laptop nanti hanya menambah beban. Lagipula kalau mau mengisi batere belum tentu ada tempatnya di atas gunung.”

“Gunung Batur?” Fandy mengungkapkan kekagetannya, menduluiku.

Maya mengangguk.

“Kalian bertemu di mana waktu itu?” Mas Dika ikut menanyai.

“Di Bangli. Di rumah saya,” jawab Maya.

“Bagaimana dia bisa tahu rumahmu?” Mas Dika mengulik, dia juga kelihatan heran.

“Saya pernah beri tahu alamat rumah saya waktu dia masih di sini. Saya pikir dia tak mungkin ke sana juga, Bli. Tapi ternyata dia benar ke rumah saya, dan sendirian saja datangnya,” jelas Maya, menyiratkan bahwa dirinya pun heran dengan Dimas.

“Jadi… sebenarnya kamu tinggal di Badung, atau di Bangli?” Fandy malah mengulik latar belakang Maya.

Maya tampak mau menjawab, tapi Mas Dika mendahuluinya. “Maya aslinya dari Bangli. Tapi dia sekolah di Badung, naik kelas tiga SMA sekarang. Di sini ikut kakaknya yang tinggal di Menesa. Dia punya jadwal tetap pementasan Janger di sebuah sanggar terkenal di Benoa,” jelas Mas Dika panjang lebar, malah kedengaran seperti sedang mengerjai Maya dengan merentet trivia-nya. “Dia juga penonton setia Bali Tunes, jadi bisa kenal Dimas. Dia penggemar Dimas.”

Maya kelihatan tertegun sekaligus tersipu, cepat-cepat membalas sindiran Mas Dika dalam bahasa Bali. Kelihatan judes, tapi menggemaskan juga dia. Aku dan Fandy cuma melongo, melihat Maya dan Mas Dika sesaat saling balas-membalas (kedengarannya menyangkut soal Dimas juga).

Hmmm, Dimas punya penggemar cewek semanis Maya? Serius?

Setelah kubiarkan mereka bercanda sendiri, akhirnya Mas Dika kembali sadar situasi. Dia cepat-cepat kembali ke pokok persoalan. “Bangli bukan tempat yang gampang ditelusuri pendatang baru. Apalagi Dimas baru beberapa bulan di Bali,” cetusnya disertai mimik ragu. “Dia bisa menemukan rumah Maya sendirian, itu agak… ajaib! Si Durus yang pernah main ke sana saja katanya sempat kesasar.”

“Nggak cuma itu, Mas. Dimas naik gunung itu juga bukan dia banget!” timpalku ikut menyatakan keheranan.

“Sudah saatnya untuk tidak meremehkan Dimas,” tandas Fandy, mulai membela pacarnya. “Bagaimanapun, dia Bantara Pramuka.”

Aku hampir ngakak. “Pramuka? So what?”

“Kalau kamu ikut Pramuka, kamu pasti tahu permainan mencari jejak.”

“Kalau cuma nyari pembina yang ngumpet di kampung sebelah, anak Pramuka memang bisa. Tapi ini di Bali, Fan! Tuh, kata Mas Dika, yang orang asli Bali aja pernah kesasar nyari rumah Maya! Ini Dimas malah mau naik gunung segala? Aku bukannya ngeremehin dia, aku tuh takut dia nanti kenapa-napa!”

“Tapi nyatanya dia bisa menemukan rumah Maya. Dan soal gunung, ini bukan pertama kalinya dia naik gunung. Dia sudah pernah naik ke Lawu, waktu pelantikan Bantara.”
Bantara? Huh, lagi-lagi mengungkit Pramuka. Dasar unyu!

“Setahuku, waktu di Lawu itu nggak sampai ke puncak. Dan waktu itu kawannya ada banyak!” tukasku.

“Iya. Tapi Dimas termasuk yang tahan medan. Yang lain kena demam dan diare, dia sehat sampai acara selesai.”

Kuakui, aku nggak mungkin ngalahin Fandy kalau dia sudah belain Dimas. Cuma, aku jadi heran juga, kenapa dia tahu sampai segitunya?

“Sampai serangan diare segala, tahu dari mana?” cibirku agak geli. “Sejak aku pindah ke Solo, aku nggak pernah tahu Dimas ikut Pramuka. Mungkin dia ikut waktu kelas satu, artinya saat kalian belum kenal. Terus gimana kamu bisa yakin? Kalau dari cerita Dimas sendiri, bisa saja dia ngarang. Di rumah aja dia rajin masuk angin, apalagi di gunung?”

“Aku tahu dari Erik.”

Lidahku langsung kaku. Wow? Erik?

Aku tetap nggak percaya. “Sejak kapan lu mau ngerumpi sama Erik? Soal Dimas pula? Bohong!”

“Terserah kalau nggak percaya,” Fandy menyahut enteng.

Lalu aku baru sadar, bahwa barusan gantian perdebatanku dengan Fandy jadi tontonan Mas Dika dan Maya. Mas Dika cuma senyum-senyum geli. Sedangkan Maya, senyumnya lebih sulit diterjemahkan. Sepertinya geli bercampur heran, bercampur lagi dengan kepo. Mungkin dia sedang berpikir, Kok, Fandy getol membela Dimas? Sedangkan saudaranya Dimas sendiri malah sinis?. Kecuali Maya sudah tahu kalau Fandy adalah pacarnya Dimas, maka dia nggak perlu heran.

“Intinya aku cuma mau bilang, bahwa Dimas nggak seremeh kelihatannya,” Fandy kembali menekankan penilaiannya. “Dari luar memang kelihatannya dia itu culun. Tapi dia adalah karakter yang dalam keadaan ditekan justru akan all out. Dia punya jiwa fighter, tapi itu sering tak kelihatan. Baru akan kelihatan di saat situasi benar-benar menuntutnya.”

Menurutku, Fandy dan Dimas memang sama culunnya. Tapi kurasa Fandy ada benarnya, sih. Kuakui Dimas adalah orang yang berani melawan sesuatu. Tapi aku tetap cemas kalau dia terus-menerus berada di dalam situasi ini seorang diri.

“Dia cerita apa saja soal rencananya mendaki gunung? Apa dia juga akan ke sana sendirian?” selidikku, kembali kepada Maya.

Maya menggeleng, disertai senyum yang terlihat ingin menentramkanku (rasa-rasanya). “Dia ikut trekking tour. Ada rombongan dan pemandunya, kok,” jelasnya.

“Kapan tepatnya dia ke rumahmu?” Mas Dika ikut menyelidik.

Maya tak butuh lama untuk mengingat. “Baru hari Selasa kemarin.”

Mas Dika tampak berpikir serius. “Ini sudah hari Jumat. Trekking di Batur paling lama tidak lebih dari dua puluh empat jam. Mestinya dia sudah kembali, kan?”

“Dia tidak berpesan secara jelas kapan mau mengambil barang titipannya ini. Cuma berpesan kalau dia akan menelepon lagi misalkan mau mengambilnya,” terang Maya.

Aku tertegun. “Telepon? HP-nya hilang, kan…?”

Maya tersenyum masam. “Dengan telepon umum, seperti waktu dia mau ke rumah saya kemarin. Andai saja HP-nya tidak hilang waktu itu,” gumam gadis bergelung itu. “Saya masih tak enak dengannya….”

Alisku merapat saat mencerna omongan Maya yang seperti terlontar tanpa disadarinya. “Kenapa harus merasa nggak enak?” selidikku.

Maya tampak rikuh untuk menjawab. “Saya yang mengajaknya ke Kuta waktu itu. HP-nya hilang di sana.”

Aku tercenung. Lalu… entah kenapa aku ingin menengok ke muka Fandy. Kulihat pacar Dimas itu juga termangu. Mungkin pikiran kami berdua sama. Well… sepertinya Dimas dekat dengan seorang perempuan…? Cuma penggemar, katanya. Tapi bisa saja lebih dari itu, kan?

“Jadi mestinya hari-hari ini dia sudah menghubungi lagi, kan?” cetus Mas Dika memecah kebisuan.

“Mestinya,” Maya mengangguk. “Mungkin setelah dari Batur dia masih melanjutkan ke tempat lain, jadi belum sempat mampir lagi ke rumah saya.”

“Apa saja yang dia ceritakan waktu kalian bertemu? Sejak resign dari sini, ke mana saja dia pergi?” Mas Dika mengulik lagi.

“Dia tidak cerita banyak, Bli. Tapi, katanya dia tinggal di rumah temannya di Ubud. Katanya, temannya punya sanggar rindik di sana dan dia ikut.”

“Siapa, ya?” Mas Dika mengerling. “Di mana Dimas kenal?”

“Katanya kenal waktu masih di Badung sini, Bli. Saya lupa namanya. Temannya itu juga yang pinjami dia motor buat ke Bangli.”

“Baik banget temannya itu…,” celetukku.

Sesaat Mas Dika dan Maya memandangiku. Mereka tersenyum semu, seolah berkata, Ya, kami orang Bali memang baik-baik.. Owh, bukankah Mas Dika dan Mas Awan juga sudah membuktikannya langsung padaku? Tapi… aku tetap merasa Dimas itu benar-benar serba beruntung selama di sini, dia seperti selalu menemukan jalan. Yeah, ada sialnya juga, sih, kehilangan HP contohnya. Tapi, tampaknya dia mendapatkan teman-teman yang selalu bisa membantunya.

“Setelah dari rumahmu, dia langsung ke Batur?” Mas Dika melanjutkan pertanyaannya ke Maya.

“Betul, katanya begitu. Sebelum ke rumah saya, dia baru dari Pura Kehen,” terang Maya.

“Sepertinya dia benar-benar punya banyak uang,” kali ini Fandy yang berceletuk. “Dia plesir ke mana-mana!”

“Dan kita yang kebingungan!” gerutuku, jengkel. “Tapi setidaknya sekarang sudah ada titik terang. Kuncinya adalah kamu, Maya. Kamulah yang sudah pasti akan dia hubungi. Kamulah yang bisa kami harapkan untuk ketemu Dimas.”

Beberapa saat Maya terpaku menatapku. Lalu mengangguk pelan. Dan tersenyum, menentramkan (rasa-rasanya, lagi).

Tapi sesaat aku kembali cemas. “Ke gunung sampai berhari-hari, apakah itu nggak aneh? Gunung itu benar aman, kan?”

Mas Dika tertawa pelan. “Aman, percayalah. Itu objek yang cukup ramai, kok. Dan gunungnya juga tak terlalu tinggi. Kalaupun ada rombongan yang hilang, jika memang itu yang kamu kuatirkan, pasti akan cepat tersebar beritanya. Mungkin Dimas cuma masih mampir-mampir ke tempat lain, karena di sekitar sana banyak objek yang bagus. Mungkin ke Kintamani, Besakih, atau Trunyan…”

“Nggak mungkin ke Trunyan,” Fandy langsung memotong. “Dia nggak suka dengan yang horor-horor.”

“Belum tentu. Sebaiknya kamu jangan meremehkannya,” sahutku, menyindir Fandy dengan meminjam gaya pembelaan yang dia sendiri sering ucapkan.

Memang, Dimas itu penakut soal hantu. Tapi belakangan, seingatku, dia sudah belajar mengatasinya. Salah satunya dengan menulis cerita horor, di tempat yang horor pula. Meskipun cara itu kuanggap lebay, aku mengapresiasi usahanya.

“Soal keselamatan, percayalah semua tempat wisata di Bali aman… selama mau mematuhi tata-tertibnya. Sekarang tinggal menunggu Dimas menghubungi Maya. Itu saja,” ujar Mas Dika menenangkan.

“Tapi, tujuan kami nggak cuma memastikan Dimas selamat, Mas. Dia juga harus pulang secepatnya,” tandasku. Kujelaskan ke Mas Dika dan Maya, tentang pengesahan ijasah SMA yang akan dilakukan dalam waktu dekat; tentang rencana kuliah; saat aku hendak memperjelas kembali tentang keluarga, aku menahan diri sesaat… dan melirik ke Maya. Aku ingin memastikan terlebih dahulu, “Apakah Maya sudah tahu kenapa Dimas pergi dari rumah…?”

Maya tampak sedikit tertegun. Lalu kembali berusaha menunjukkan raut tenang. “Iya. Dimas cerita sendiri ke saya,” jawabnya landai. “Saya mengerti, kok.”

Owh!

“Apakah semua temannya di sini memang sudah tahu semua?” tukasku kecut.

“Tidak semua. Cuma yang dekat saja. Maya dan Durus tahu,” jelas Mas Dika.

Kuhela napas. Agak gamang rasanya jika banyak orang tahu soal keluarga kami. Terasa memalukan. Seorang anak minggat gara-gara sikap ibunya, itu bukan hal yang ingin kau ceritakan ke orang lain sebagai kisah keluargamu.

“Andai Dimas tahu kalian sedang di sini mencarinya, dia pasti akan kemari saat ini juga. Dia pasti senang sekali,” Maya berucap. Lirih, tenang, tapi juga terlalu lugu… hatiku justru seperti tersayat mendengarnya. Haru, tapi juga pahit.

Aku menelan tawa. “Kalau dia ingin ditemukan, dia pasti sudah memberi tahu di mana dia berada. Dia pasti pamit dengan jelas. Nyatanya tidak, May….”

“Karena dia tak ingin merepotkan kalian.”

“Dari mana kamu tahu dia berpikiran begitu?”

“Karena dia mengatakannya sendiri.”

“Padamu?”

“Ya.”

Aku termangu, bertatapan mata dengan Maya. Berusaha keras mempercayai kata-katanya. “Nyatanya, justru dia membuat kami repot,” ucapku, berikut tawa pahit.

“Karena itu, jika dia tahu kalian sudah berjuang keras sampai kerepotan mencarinya kemari, dia pasti akan menemui kalian. Pasti, Bli.”

Sekali lagi aku berusaha keras mempercayai kata-kata Maya.

“Aku percaya,” Fandy menyahut tiba-tiba. Aku menengok dan mendapatinya sedang bertemu mata dengan Maya. Lalu Maya hanya tersenyum sipu, tak mampu menatap Fandy lebih lama. Sesuatu di antara mereka. Sesuatu.

“Baiklah, aku juga akan percaya,” ucapku, akhirnya. “Tapi kami tak punya banyak waktu. Semoga dia segera tahu, bahwa dia sudah ditunggu. Semoga dia cepat kembali.”

Sesaat kami saling terdiam. Termangu di tengah suasana kafe yang juga kembali lengang setelah tadi sempat ramai.

“Baiklah. Maaf, saya harus tinggalkan kalian dulu. Tak apa-apa, kan?” Mas Dika membuka suara, mengisyaratkan dirinya harus kembali ke pekerjaan. Meninggalkan percakapan ini.

“Oh iya, Mas. Maaf sudah ngerepotin,” sahutku segan.

“Kalau perlu motor, tak usah sungkan. Cari saya saja.”

Aku mengangguk. Mas Dika sempat sejenak bercakap-cakap dengan Maya, lagi-lagi dengan bahasa yang aku tak bisa mengerti. Hanya sebentar, kemudian dia meninggalkan kami. Tinggal bertiga mengitari meja ini: aku, Fandy, dan Maya.

“Tidak jalan-jalan?” Maya menyambung percakapan dengan ramah-tamah baru. Meringankan perkenalan kami.

“Kamu tahu tempat yang bagus?” sahutku, ikut mengendurkan diri dari percakapan serius.

Dia tersenyum, sedikit tertawa. “Yang bagus banyak sekali. Tapi semua orang yang ke Bali mestinya harus mampir ke Kuta.”

Dia menyebut tempat yang sama dengan ketika dia mengajak Dimas. Kuta….

“Kamu bisa menemani kami ke sana?” tanyaku, berbau membujuk.

Maya tak butuh lama menimbang, sambil menghabiskan sisa es moccha-nya. Dia menjawab, “Tadi saya dari Bangli langsung ke sini. Sekarang mesti pulang dulu ke Menesa. Nanti sore saja, Bli, jalan-jalannya. Kuta paling baik dikunjungi sore hari.”

Aku nggak mungkin ngeyel, meski sebenarnya masih ingin mengobrol lebih banyak di sini. Mengangguk saja. “Tapi, bisa nggak, panggil aku nggak usah pakai ‘bli’? Terlalu formal. Kamu manggil Dimas pasti juga nggak pakai ‘bli’, kan? Cukup namaku saja,” ujarku ringan.

Maya tertawa lagi, renyah dan… menurutku, kali ini agak tersipu. “Oke. Nanti sore saya antar kalian jalan-jalan,” balasnya ringan. “Selama di sini, kalian tinggal di mana?”

“Di rumah Mas Dika, di daerah…” aku mengingat-ingat.

“Beranda Mumbul,” Fandy menyahut, ternyata dia lebih ingat.

“Nah, itu dia!” timpalku.

“Oh, tidak jauh juga,” Maya menanggapi. “Tapi nanti kita berangkat dari sini saja, saya agak bingung kalau ke tempat Mas Dika.”

“Oke, sip!” balasku.

“Kalian berdua saja. Aku tidak ikut,” Fandy menyahut di luar dugaanku.

Kuselidiki maksudnya, “Memangnya kenapa?”

“Aku mau istirahat saja,” jawab Fandy datar. Hmmm, aku merasa perkataan yang dia ucapkan tadi punya maksud lebih dari itu.

“Oh, ya sudah,” Maya menjawab simpul tanpa mempermasalahkan absennya Fandy. Lalu dia segera pamit, “Nanti sore jam empat, kita berangkat dari sini saja. Sekarang saya mesti pulang.”

Sebelum dia pergi, aku meminta nomor teleponnya. Aku juga memberikan nomorku padanya. Bila sewaktu-waktu Dimas menghubungi, Maya bisa lebih mudah untuk segera memberi tahu aku. Dan, akan lebih mudah bagi kami untuk saling kontak sehubungan dengan rencana ke Kuta nanti sore. Rencana itu, kuakui, sesungguhnya telah mengalihkanku dari semua beban pikiran soal Dimas. Beneran….

Can’t wait!

Kulihat perginya Maya. Dari jendela kaca, sosoknya tampak menjauh menuju ke halaman. Tubuhnya yang ramping dalam balutan baju warna krem, dengan rambut hitam yang digelung rapat, membuatnya dari belakang dan kejauhan terlihat seperti batang korek berjalan. Batang korek yang berjalan anggun. Batang korek yang konon adalah jelmaan penari. Terpancar gemulainya, saat melangkah di bawah guguran bunga kamboja di halaman. Gadis yang unik.

Dan dia adalah penggemar Dimas. Padahal Dimas cuma additional player. Sialan lu, Mas!

Setelah sosok Maya menghilang bersama motor matic-nya, “Kenapa nggak ikut, Fan?” aku kembali melontarkan pertanyaan itu ke Fandy.

“Aku mau istirahat,” dia mengulang pula jawabannya.

“Selain itu?”

“Selain itu, karena… ini adalah kesempatanmu.”

Kupandangi Fandy yang sok kalem, berusaha menebak maksud kalimat tersiratnya itu. “Kesempatan?”

Dia malah tertawa. “Jangan bilang dia nggak bikin kamu tertarik!” selorohnya.

“Siapa?”

“Maya, lah! Siapa lagi?”

Aku ingin menonjok pacar Dimas ini!

“Huh! Aslinya, kamu nggak mau ikut karena cemburu, kan? Sebab selama di sini Dimas dekat sama Maya. Iya, kan?” aku balik menohok.

“Cemburu? Justru aku bangga Dimas digemari cewek. Yang penting dia nggak berlaku aneh-aneh sama penggemarnya.”

“Sumpah? Bagaimana dengan ke Kuta berdua? Bagaimana dengan susah-payah mencari rumah si Maya? Bagaimana dengan nitipin benda kesayangannya ini?” cetusku sambil menepuk laptop milik Dimas.

Dia sekarang sedikit merengut, dan menghindari pandanganku. “Cuma teman, tak usah dilebih-lebihkan,” gumamnya datar. “Caramu memprovokasi aku, mencerminkan bahwa sebenarnya kamulah yang sedang galau… karena Dimas punya penggemar secantik Maya. Kamu kesal karena kamu naksir dia.”

Aku tertawa geli. “Nggak secepat itu aku naksir orang. Aku memang tertarik kenalan lebih jauh sama Maya, karena sepertinya dia bisa bercerita lebih banyak tentang Dimas. Itu saja.”

“O, ya?” Fandy berseloroh sambil memandangiku. Ganti aku malas membalas pandangannya.

“Aku nggak terima kata-kata menyebalkan!” kulontarkan ancaman lebih dulu, sebelum pacar Dimas itu menuduh lebih banyak.

Ancamanku berhasil. Fandy tak berkomentar lagi soal Maya. Lalu kualihkan pembicaraan…

“Soal laptop ini…” aku menghela napas, memandangi benda kesayangan Dimas di meja, “berarti kecil kemungkinan Dimas memantau kita lewat dunia maya. Karena saat ini dia no gadget! HP-nya positif hilang, sedangkan laptopnya ada di sini. Berarti nggak ada gunanya trik kita memasang foto berdua di Facebook. Dia nggak bakal lihat.”

“Syukurlah,” Fandy mendengus singkat.

“Kalau begitu cepat hapus saja!”

No…!” anehnya pacar Dimas itu malah menolak.

“Hei, sebelum dilihat orang lain!” tegasku.

“Kamu sendiri yang meyakinkan aku, bahwa nggak akan ada orang lain yang bisa melihat foto itu?” Si Unyu melawanku.

“Tapi sekarang udah nggak guna juga kalau tetap dipasang!” tukasku gondok.

“Tapi nggak harus dihapus juga.”

Aku meredam emosi. “Oke, jadi lu maunya gimana?”

“Biarin saja,” jawabnya enteng. Sambil tersenyum tanpa dosa dia berdiri. “Saatnya kamu mengambil pelajaran dari tindakanmu. Bahwa kamu sendiri yang menginginkan foto itu dipasang di Facebook-ku. Kamu sudah bilang siap dengan risikonya. Jadi untuk apa dihapus?”

Dia nyengir. Lalu dengan santainya melangkah meninggalkanku.

“Woi, lu mau ke mana?”

“Jalan-jalan di luar.”

“Huh! Apa kabar alasanmu mau istirahat? Ngaku aja, lu memang cemburu sama Maya!” lontarku sambil tertawa mengejeknya.

“Aku istirahat sore nanti, bukan sekarang,” sahutnya, mencapai pintu dan berlalu keluar. Selama ini aku benar-benar mengasuh adik ipar yang menyebalkan!

Kuamati dari dalam kafe, rupanya Fandy cuma jalan-jalan ke bagian cinderamata, mejeng di sana melihat-lihat souvenir. Aku akan jalan-jalan ke tempat lain saja. Nggak sudi berdua sama Si Unyu itu!

Saat akan beranjak, kudengar HP-ku berdering. Tanda ada pesan masuk. SMS dari Ben, kubuka dan kubaca:


Cieee… foto berdua sama Fandy ciee…


Arrrggghhh…!

Ingin kukunyah HP-ku!





 bersambung…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar