Pages

Rabu, 29 Januari 2014

Di Bawah Langit Bali

Seseorang Yang Tertinggal…



Pulang kuliah. Bella memasuki gerbang rumahnya. Melewati balai kecil di depan rumah di mana ibunya tengah membuat takir sesaji seperti biasa. Sekilas ibunya melihatnya, hanya dengan senyum tipis sebagai sambutan untuk hal yang sudah keseharian. Ya, sudah kesehariannya, sibuk kuliah dan selalu pulang menjelang sore.

Ia bersandar di teras depan kamarnya. Melepas penat sambil memandang ke barat. Jauh ke seberang teras. Pandangannya mengembara ke pesawahan yang hijau kekuningan di sana, yang berbatas dengan tepian bukit dan hutan yang teduh.

Ia menghela nafas. Memejamkan mata, mendengarkan sayup-sayup suara yang rancak di kejauhan. Jegog, musik bambu kebanggaan tanah Jembrana sedang menyapa telinganya. Iramanya tegas, tapi mengalir dengan lembut di antara udara sore yang hangat. Ia terbuai. Hingga kemudian irama bambu itu berhenti, digantikan suara lain yang mencuat seperti seruling. Itu suara Sunari, peluit bambu yang dipasang para petani di sawah mereka. Lubangnya diselami oleh angin, menghasilkan suara yang terdengar pilu di antara sahutan burung-burung sawah yang riang.

Inilah suara sore di depan kamarnya. Di tanah Jembrana yang sangat di cintainya…

Ia tak pernah bosan. Karena membayangkan lembar-lembar hidupnya di Jembrana, tak hanya mengarungi nuansa keindahannya yang sahaja. Tapi juga menyusuri kembali kenangan-kenangan berharga dari masa remaja yang sudah lalu. Mengingat kembali betapa indah masa SMA dulu, saat ia bersama dengan seseorang yang sangat membekaskan banyak harapan dalam dirinya hingga saat ini.

Sosok yang tak pernah lekang. Dia bernama Dika. Dia, suatu ketika masuk dalam hidup Bella. Itu bermula di awal masa SMA. Di sebuah camping dalam rangka masa orientasi sekolah, saat-saat yang dipenuhi dengan bentakan para senior, gojlokan mental, dan juga hukuman-hukuman.

Di malam terakhir kegiatan perkemahan itu, Bella merasa tak sehat, dan memilih untuk beristirahat di dalam tenda di saat siswa-siswa lainnya harus mengikuti acara api unggun. Saat itulah, Dika menghampiri Bella…

“Kamu sakit?” Dika bertanya.

Saat itu Bella belum mengenalnya, dan hanya tahu bahwa Dika sekelas dengannya. Bella hanya mengangguk pelan saat menjawab sapaannya.

Tanpa diduga, tiba-tiba Dika menjamahkan tangannya ke lehernya.

“Ahhh!” desah Bella kaget, tangannya terasa dingin di kulitnya.

“Sepertinya kamu demam. Sudah minum obat?” tanya Dika, dengan sangat santai memberinya perhatian.

“Sudah,” jawab Bella singkat, seraya merapatkan sweater dan mendekap tubuhnya yang kedinginan.

Tiba-tiba ada yang menyibak kain pintu tenda. Seorang siswa senior. “Kenapa tak ikut kegiatan?!” bentak senior itu, membuat mereka berdua terkesiap.

Bella belum sempat menjawab, Dika tadi sudah menjawab lebih dulu.

“Dia sakit, Kak,” jawab Dika.

“Kalau sakit kenapa tidak ke UKS? Kenapa malah di sini?!” senior itu membalas dengan bentakan lagi.

Di saat mereka berdua tengah gugup menghadapi bentakan senior, ada senior lainnya yang menyusul menghampiri mereka.

“Ada apa?” tanya senior yang baru datang itu, lebih halus.

“Temanku sakit,” lagi-lagi Dika yang menjawab. Bella belum sempat menjawab apa-apa. Membuatnya benar-benar heran.

“Kalau sakit ke UKS saja. Ayo!” ajak senior mereka yang baru datang itu. “Kamu sekalian temani dia,” imbuhnya pada Dika tadi.

Senior yang ketus kembali ke kerumunan api unggun. Sedangkan mereka berdua, bersama senior yang ‘baik hati’ tadi mulai beranjak dari tenda. Melintasi lapangan sekolah yang remang oleh pendaran api unggun, mereka bertiga melangkah dengan panduan lampu senter yang dipegang senior mereka, menuju ke ruang UKS.

Udara terasa lebih hangat di dalam ruang UKS itu, dan juga lebih terang. Bella merasa lebih nyaman. Bella tak lagi tiduran di atas rumput basah berlapis tikar, tapi di atas kasur yang empuk dan hangat.

“Kak, yang sakit temanku ini. Apa aku harus ikut di sini?” tanya Dika kepada senior yang mengantar kami.

“Kamu temani dia saja di sini. Soalnya semua panitia sedang sibuk, tidak ada yang bisa menjaga. Aku ambilkan teh hangat sebentar,” jelas senior mereka itu dengan senyum ringan. Di luar dugaan, setelah merasakan tiga hari camping dengan senior-senior yang judes, ternyata di malam terakhir camping itu akhirnya mereka bertemu juga dengan senior yang ‘baik’ seperti dia.

“Wah, matur suksma, Kak. Kak Devan memang paling baik hati!” sahut Dika. Rupanya Dika sudah tahu nama senior itu.

Devan, senior mereka itu menimpali. “Sebenarnya aku kuatir ruang UKS ini berhantu. Makanya sebaiknya kalian saling menemani di sini!” bisiknya sambil menepuk bahu Dika.

“Berhantu?” Dika mendesis agak bergidik. “Serius?”

Saat itu Bella pun ikut merinding. Sedangkan senior mereka yang bernama Devan itu menggeloyor keluar dengan santainya sambil tertawa kecil. Sesaat mereka berdua kikuk di ruang kecil yang sepi itu. Tapi kemudian mereka berdua segera ikut tertawa. Hahaha… Tawa masam, berharap semua itu cuma gurauan seorang kakak kelas!

Bella memandangi Dika, orang satu-satunya di ruangan selain dirinya. Keramahan dan kepeduliannya itu, dengan mudah segera membekas dalam benak dan batinnya. Di SMA yang baru mereka masuki itu, Dika lah orang yang pertama kali menempatkan diri sebagai seorang teman yang sesungguhnya. Ramah, hangat dan sangat perhatian.

Bahkan mungkin itulah awal kali Bella mulai mengenal sebuah persahabatan.

“Terima kasih ya, Dika…” ucap Bella.

“Hmmm… Sudah tahu namaku, ya?” canda Dika sambil mengayunkan dagunya ke atas.

Bella tersenyum. “Itu namamu terpasang di seragam,” tudingnya ke bagian dada seragam Pramuka yang dikenakan Dika. “Kamu sudah kenal Kak Devan?” tanya Bella kemudian, sekedar berbasa-basi.

“Belum. Jadi kamu tidak membaca nama di seragamnya?” balas Dika sambil nyengir.

Mereka tertawa. Sindiran yang sangat kena! Sejak pertama Bella memang lebih memperhatikan Dika. Tidak hanya namanya, tapi juga dalam hati berulangkali memuji rasa perhatiannya dan keramahannya itu.

Dan juga…

Ketampanannya.

“Terus, namamu?” Dika ganti bertanya, sembari menyelidik ke seragam Bella.

Dirapatkan sweater-nya yang terbuka menutupi dada, hingga tak mungkin Dika membaca tanda namanya. Bella tertawa geli melihat tingkahnya.

“Namaku Bella!” sebutnya begitu melihat wajah Dika tampak menyerah.

“Okey, nama yang bagus, aku maklum kalau kau ingin menyebutnya sendiri!” cibir Dika.

Mereka tertawa. Kehangatan mengalir lewat canda cerita sepanjang malam itu. Dan itu adalah sebuah awal. Awal kedekatan Bella dengan seorang sahabat yang memberikan sangat banyak arti dalam hidupnya.

Persahabatan mereka berjalan sepanjang masa SMA yang menyenangkan. Masa remaja mereka terbingkai dengan indah dan kenangan tentangnya mengakar kuat dalam lubuk ingatan Bella. Saat ia memejamkan mata dan menghayati bisikan udara di langit Jembrana, dengan mudah ia akan menuju ke sana lagi, kepada kenangan-kenangan itu.

Jembrana tempat lahir mereka, tempat tumbuh mereka, bagian dari persahabatan mereka…

Terlintas lagi wajah-wajah mereka saat berboncengan sepeda melintasi tepian hutan di kaki bukit. Lalu menembus jalan kecil di pesawahan, menghalau burung-burung pipit yang mengganggu padi. Dan akhirnya bertemu dengan pantai yang senyap dan ramah… Mereka berjalan menapakkan jejak kaki mereka di atas pasir pantai, ya… pantai di Jembrana yang bersandingan dengan sawah dan bukit-bukit. Lalu menyaksikan terbenamnya sang surya yang semburat di ufuk barat.

Bila festival Jegog tiba, mereka pasti menonton dan ikut bersenang-senang. Minum arak Bali untuk menghangatkan badan bila udara Jembrana sedang dingin. Terjaga dan main gitar sampai pagi, menyambut sang mentari yang tersenyum menyapa bumi, baru kemudian terpulas dalam lelap dan damai.

Suatu ketika di Pura Perancak yang ada di tepi samudera, selepas bersembahyang mereka duduk berdua, bercengkrama. Dari teras Pura mereka memandang indahnya alam Jembrana. Di arah barat Sungai Perancak mengalir dengan airnya yang tenang, sementara di tepinya barisan pohon kelapa melambaikan nyiur yang ditiup angin sore yang sejuk. Rumah-rumah pedesaan dengan gaya tradisionalnya tampak berkerumun di muara. Dan tak jauh darinya, samudera biru membentang agung.

Saat itu mereka berdua terpekur dalam sebuah percakapan yang begitu hangat. Dika melontarkan ketakjubannya…

“Tuhan memang Seniman Agung. Siapa lagi yang bisa membuat pemandangan seindah ini? Semuanya menyatu, serasi dan sempurna…” ujar Dika.

“Menurutmu, apakah semua yang tampak serasi itu sudah pasti berjodoh?” sahut Bella.

“Tentu.” jawab Dika.

“Kalau begitu, lihatlah di sana, dan bayangkan sekali lagi. Kebun dan sawah para petani di tepi pantai. Bumi dan laut tampak indah dan serasi. Tapi mereka tak berjodoh.”

Dika menatapnya. “Apa maksudmu?”

“Bukankah Dewi Bumi, Hyang Pertiwi, bukanlah sakti dari Dewa Laut, Hyang Baruna? Bayangkan, andai mereka menjadi suami-istri, air laut menyatu dengan tanah di bumi, maka tanah akan menjadi asam dan padi-padi yang hijau itu tak akan pernah tumbuh.”

Dika tertawa merekah begitu mendengar penjelasan Bella.

Bella pun melanjutkan cerita yang  ia dengar dari para petani itu. “Keindahan yang bisa kita lihat itu, sawah dan ladang hijau di tepi laut yang biru itu, dapat menjadi seperti itu karena dua dunia itu tak sepenuhnya menyatu. Meski keduanya tampak serasi, tapi sebenarnya mereka tak berjodoh. Keindahan yang kita lihat, adalah tanda bahwa kita melihat apa yang tampak saja.”

“Aku rasa, kamulah yang menyempitkan arti dari jodoh,” Dika kemudian membalas cerita Bella. “Hyang Pertiwi dan Hyang Baruna tak berjodoh sebagai suami-istri, tapi mereka berjodoh sebagai mitra yang ditugaskan Hyang Widi untuk menghidupi umat manusia dengan kekayaan bumi dan laut. Justru kalau mereka tidak berjodoh sebagai dua mitra yang bersahabat, dan tidak saling menjaga dharma masing-masing, bukankah hidup umat manusia malah akan menjadi kacau?”

Jawaban Dika segera membuat Bella merenung. Dan Dika segera tertawa renyai seraya mendekap punggung Bella. Berdua melanjutkan canda cerita, memaknai masa muda dengan keakraban yang tak akan pernah undur dari ingatan.

Bila teringat saat-saat indah itu, Bella merasa haru…

Kemana hari-hari itu?

Masih sendiri di sini, Bella pun kian terpejam. Ingatan itu seperti menghisapnya untuk menjelajah makin dalam. Menilik lagi ke masa itu, saat-saat di mana mereka harus berpisah.



Satu tahun yang lalu…


Di sebuah ruang tunggu, Bella berulang kali melihat waktu di jam tangannya. Sampai akhirnya Devan menangkap gelagatnya yang sedang gelisah.

“Masih lama. Sekitar dua jam lagi baru dimulai paradenya,” cetus Devan sambil ikut melihat jam tangannya.

“Bukan soal acaranya!” tukas Bella.

“Terus?”

“Dika berangkat ke Jakarta hari ini.”

“Oo… Kemarin kamu juga sudah cerita padaku,” sahut Devan sambil menatapnya datar.

Bella merenung lesu. Bella tak tahu kenapa hatinya menjadi bimbang. Bella sudah mempersiapkan dirinya untuk acara ini sejak jauh-jauh hari. Tapi sekarang perasaannya jadi kacau!

“Dika berangkat jam lima sore ini, ke pelabuhan,” gumamnya gelisah.

Bella menatap Devan, dan dia juga sedang memandanginya dengan mimik bingung.

“Dia sudah pamitan kan?” lontar Devan.

“Dia memang sudah pamitan. Tapi waktu itu aku tak ada di rumah. Dia cuma menitipkan pesan ke ibuku,” jelas Bella setengah linglung. Sekarang hatinya makin ragu dengan keberadaannya di acara ini.

Devan mengamati Bella sejenak. Lalu dia tersenyum masam. “Mungkin aku salah, tapi aku merasa… sepertinya kau memang sudah mulai menjauh darinya?” singgungnya datar.

Bella terdiam. Terus terang, Bella tak berharap mendengar pernyataan Devan barusan. Bella tak mau beban pergumulannya ini bertambah!

“Kamu mau mengantar Dika?” tebak Devan kemudian, seolah bisa membaca pergumulan yang disiratkan.

Bella memalingkan muka. Jawabannya memang ‘Ya’, tapi entah kenapa Bella merasa canggung dan sungkan mengungkapkannya. Ia harap Devan juga cukup menebaknya saja.

“Terus bagaimana dengan acara ini? Kalau kamu mau bicara dengannya bisa menelponnya kan?” ujar Devan lagi. Sepertinya dia memang bisa menebak jawaban Bella.

“Dia tak punya HP. Aku tadi menelpon rumahnya, tapi tak ada yang mengangkat!” jelasnya. Akhirnya Bella terlalu gelisah untuk memendamnya.

Dengan kalut Bella berpikir-pikir. Hingga akhirnya…

“Aku mau menyusul dia!” cetusnya, memutuskan sebuah pilihan dan mencabut keragu-raguannya. Bella segera berdiri dan bergegas secepat mungkin menuju ruang ganti!

“Hei! Mau kemana?!” Devan berseru kaget padanya.

Devan mengikutinya. Bella tetap meneruskan langkahnya tanpa mempedulikan Devan, secepat mungkin menuju ruang ganti yang ada di ujung koridor.

Di ruang ganti Bella menatap wajahnya di cermin. Segera dilepasnya semua embel-embel kostumnya. Lalu segera menuju wastafel dan mencuci mukanya, membersihkan make up.

“Sial!” dalam hati Bella memaki. “Kenapa tadi aku harus dirias di luar? Aku tak punya pakaian ganti di sini! Aku benar-benar kesal dengan kondisiku sekarang!”

“Kamu kenapa, Bella?!” Devan menanyainya dengan wajah agak kesal.

“Aku mau menyusul Dika!”

“Kamu mau menyusul kemana?”

“Dia bilang akan menyeberang dari Gilimanuk. Sekarang dia pasti sudah berangkat ke sana,” jelasnya agak bingung, berusaha mengatur emosi. Bella memandangi Devan lekat-lekat.

Devan membalas pandangannya dengan mimik seperti tak enak dengan gelagatnya. Ragu-ragu dia tersenyum. “Kamu mau ke Gilimanuk?” kuliknya dengan muka masam.

“Tolong antar aku!” pinta Bella padanya.

“Ya ampun!” Devan langsung mendesah lunglai mendengar permintaanku. “Jadi benar kamu mau ke Gilimanuk sekarang? Terus acara ini bagaimana? Perjalanan ke Gilimanuk tak cukup satu jam!”

Bella tahu. Ia berpikir lagi.

Dan…

“Aku akan mengundurkan diri,” sebuah keputusan diambil lagi di tengah kebimbangannya.

Devan menggelengkan kepalanya disertai senyum kesal. “Bukannya ikut acara ini adalah keinginanmu?” lontarnya sinis.

“Aku tahu! Tapi… Kau juga tahu, Dika itu sahabatku! Dan aku tak akan bertemu dia lagi!” tandasnya gundah. Semakin disadari situasi ini, semakin rumit rasanya.

“Kalau kau mengundurkan diri, bagaimana dengan pasangan parademu? Bagaimana kamu mempertanggungjawabkan masalah ini?” cecar Devan.

“Soal pasanganku, panitia pasti akan mengaturnya nanti. Mereka selalu menyiapkan Plan B, dan itu bisa dipakai sekarang!” jawabnya gugup. Kedengarannya memang egois. Entahlah, sepertinya Bella sudah tak bisa berpikir lebih jauh lagi.

“Panitia pasti akan tanya alasanmu! Bagaimana juga dengan orangtuamu? Mereka juga ingin melihatmu di acara ini kan?” Devan tak berhenti mencecar keputusan Bella.

Bella membanting punggungku ke dinding. Lututnya kelu, Ia terhenyak di lantai. Meremas kepalanya. Rasanya ingin membanting semua perkara yang membebani kepalanya itu!

“Aku tak butuh lagi acara ini!” serunya, tak dapat lagi menahan kegundahan.

Devan terpana kecut memandanginya. Sesaat mereka membisu. Dalam hati Bella merasa buntu, dan ia marah dengan keadaannya!

Akhirnya Devan ikut menekuk lututnya, menjajarkan kepalanya di depan wajah Bella.

“Bella… Hei?” bisik Devan pelan dan lebih tenang. “Kamu yakin dengan keputusanmu?”

“Antar aku, cuma kamu yang bisa kuandalkan. Please!” Bella memohon dengan putus asa.

Devan mendesah. Dia merengkuh bahu Bella, mengajaknya berdiri lagi. Devan menepuk pundaknya, berusaha menenangkan emosi.

It’s OK,” ucapnya pelan. “Tapi bajumu?”

“Aku tak punya pakaian ganti di sini. Antar saja aku sekarang!” desaknya sekaligus pasrah.

Bella tahu, dalam hatinya Devan pasti sangat kesal padanya. Tapi setelah ia pikirkan, memang inilah tindakan terbaik yang seharusnya Bella lakukan. Festival Jegeg Dan Bagus Jembrana ini memang penting dan Bella mengikutinya dengan penuh harapan, pada awalnya. Tapi kemudian Ia sadar, bahwa persahabatannya dengan Dika lebih penting. Dan di hari keberangkatannya ke Jakarta ini, untuk melanjutkan sekolah dan Bella tak akan bertemu dengannya lagi entah sampai kapan, Ia ingin melepasnya… meski mungkin hanya dengan satu kalimat perpisahan yang terucap untuknya. Itulah sikap seorang sahabat!

Dan hanya Devan yang bisa diandalkan untuk membantunya. Setelah ‘memaksa’ panitia acara untuk menerima pengunduran dirinya dengan alasan yang memang terdengar sangat egois bagi mereka, dengan keras kepala Bella meninggalkan acara itu. Dengan motornya Devan segera membawanya meluncur ke Gilimanuk, Bella sendiri tak peduli dengan kostum festival yang masih melekat di tubuhnya. Festival Jegeg Dan Bagus Jembrana, Bella benar-benar tak memikirkannya lagi!

Melalui perjalanan sekitar satu jam dari Negara, dengan motor yang melaju kencang, akhirnya mereka tiba di Gilimanuk. Bella terkesiap saat melihat waktu di jam tangannya, jam enam lewat!

“Semoga belum terlambat!” gumamnya dalam hati penuh harap.

Devan memberinya isyarat supaya jalan lebih dulu, dan Devan mencari tempat parkir untuk sepeda motornya. Bella segera bergegas.

Tapi… Ia tertegun dan matanya tersita oleh pemandangan yang tanpa sengaja didapati di tempat parkir. “Kenapa ayah dan ibu Dika sudah keluar dari pelabuhan?” Bella bertanya-tanya dengan cemas dalam hati.

Setengah berlari Bella segera menghampiri orang tua Dika yang baru mau masuk ke mobil.

“Maaf, Pak!” cegahnya di depan mobil. Ayah Dika yang sudah duduk di kursi setir tercengang melihatnya, seperti berusaha mengingat. Bella terengah-engah bercampur cemas. “Dika? Apa Dika sudah…?”

“Ooo… Dika sudah berangkat, kapalnya baru saja menyeberang,” dengan wajah masih heran ayah Dika menjawabnya.

Bella terpana. Tubuhnya lemas. Langkahnya gontai. Orang tua Dika masih tercengang di dalam mobil, tapi Bella sudah tak sempat mempedulikan mereka lagi. Bella meninggalkan mereka, Ia segera mengejar ke dalam pelabuhan! Bella berlari menuju dermaga. Dalam hatinya meracau sepanjang derap larinya, berharap ia belum terlambat.

“Bisa saja orang tua Dika bohong! Ya, mereka pasti bohong! Dika pasti belum berangkat! Aku harus mengejarnya!”

Tapi…

Terlihat kapal itu sudah berada di tengah laut. Kapal telah berangkat, berlabuh menyeberangi selat…

Lututnya lunglai. Bella terhenyak di lantai dermaga. Ia terdiam nanar menatap kapal yang semakin menjauh. Hatinya sekali lagi masih berusaha berontak. Ia masih mencoba menengok ke sekelilingnya dengan penuh harap, berharap bisa saja Dika naik kapal berikutnya. Dia mungkin masih menunggu di dermaga ini! Dia belum berangkat! Dia masih…

Dia masih…

“Hhhhh… Ya Tuhan…”

Bella tertunduk menatap lantai dermaga yang dingin dan bisu. Semangatnya pupus. Kapal itu sudah berangkat. Dika sudah pergi.

“Aku memang terlambat.”

Tetes-tetes rinyai gerimis yang ia rasakan memercik ke wajahnya. Merasakan, juga ada yang menetes dari matanya.

“Ya Tuhan, aku menangis…”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar