Karung 15
Kota Frangipani
Aku tiba di sini tadi malam. Di Badung, tepatnya daerah mana aku
belum tahu, Mas Awan cuma bilang bahwa jalur yang kami lalui mengarah ke Nusa
Dua. Aku nggak pernah meragukan kesanggupan Mas Awan, dan nyatanya dia
betul-betul telah mengantar dari Jembrana hingga sampai di sini. Lagi-lagi itu
perjalanan yang cukup jauh. Kami berangkat dari Jembrana jam setengah lima
sore, tiba di sini sekitar jam sembilan malam. Sebelum sampai Badung kami mampir
di beberapa tempat, itulah yang membuat perjalanan jadi lebih lama.
Salah satu yang kami singgahi kemarin adalah sebuah pura di
pinggir laut. Menurut kata Mas Awan, konon setiap pelaku perjalanan yang lewat
sebaiknya singgah ke pura itu untuk bersembahyang sejenak, memohon keselamatan.
Mitos itu masih ada hubungannya dengan keyakinan masyarakat setempat yang
mayoritas penganut agama Hindu, termasuk Mas Awan. Aku nggak ingin mencampuri
soal keyakinan dan ritual agama orang lain. Jadi aku menunggu di luar pura
saja. Begitu pula Fandy.
Tapi, kemarin itu aku juga masih kesal sama Fandy (kalian sudah
tahu, kami berdua bertengkar sebelum berangkat). Jadi selama menunggu di tempat
itu, aku sengaja tak membagi waktuku bersama Si Unyu. Aku pilih
asyik sendiri menikmati suasana pura. Ya, syukur deh, pemandangan di pura itu
sangat bagus! Jadi aku bisa enjoy
selama menunggu. Terletak di pinggir samudera, aroma dupa bercampur hawa laut
dalam iringan debur ombak. Sunset
keemas-emasan di atas air laut, membuat paduan yang elok sekali dengan siluet
pura yang berlekuk-lekuk. Damn, itu
adalah pemandangan dan suasana sore yang sangat keren sekali, jangan heran jika
beberapa kalimatku di sini jadi puitis...! Itu tempat yang memang harus kau
singgahi, tak peduli kau mau sembahyang atau tidak. Pura itu bernama Pura
Rambut Siwi. (Kalau kau ke Bali, mampirlah!)
Menurut cerita Mas Awan,
nama pura itu berasal dari benda peninggalan yang disakralkan di pura itu.
Yaitu sehelai rambut milik brahmana sakti dari jaman dulu. Konon, benda itu
sebagai wakil sang brahmana untuk melindungi penduduk di sekitar pura dari
bencana. Ciamik banget, ya... rambut orang jaman dulu bisa sesakti itu! Jaman
sekarang, jangankan buat nolak bencana, bisa bebas ketombe aja udah Alhamdulillah!
Tapi, kemarin waktu membicarakan soal rambut, pikiranku justru
tercabang ke tempat lain. Alih-alih memikirkan sosok pendeta sakti berambut
putih seperti di film silat jadul, aku malah terpikir sosok cewek cablak yang
rambutnya berkuncir kuda... yang kemarin
lusa kutinggalkan di Stasiun Jebres. Ya, Leah. Bukan semata-mata karena aku
memikirkan dirinya seorang. Tapi karena Ben bilang, dalam percakapan di
telepon, bahwa Misha ikut menemani Leah setelah kutinggalkan mereka. Yang
mengusikku adalah: apa saja yang telah didengar Misha dari mantan pacarku itu?
Gimana aku nggak deg-degan?
Masuk di Kabupaten Tabanan, entah di daerah
mana, Mas Awan lagi-lagi menraktir kami makan. Kami singgah di sebuah restoran,
di situ aku berkenalan dengan makanan Bali bernama Sate Lilit. Tapi soal makan
malam kemarin nggak penting untuk dibahas. Setelah selesai makan, kami masih
duduk-duduk menyamankan perut. Saat itulah kuambil kesempatan untuk menelepon
Ben. Aku nggak ingin pembicaraanku dengan Ben didengar, baik oleh Mas Awan
ataupun Fandy. Maka aku pamit keluar sebentar, menuju ke taman di depan
restoran.
“Hai, Ben,” sapaku saat panggilanku diangkat.
Kutanyakan soal Leah, bagaimana keadaannya.
“Dia shock,” jawab
Ben.
Aku sempat berkelakar, “Berapa
menit dia shock?”
“Berapa menit? Pertanyaanmu
aneh,” tukas
Ben.
“Dia orang yang suka akting,” balasku. Leah yang kukenal juga
seorang cewek yang suka berlebihan dalam mengekspresikan sesuatu. Dan 'shock'
adalah ungkapan yang menurutku termasuk berlebihan. “Kalau dia kelihatan shock, percayalah, dia nggak seserius
itu,” tambahku meyakinkan Ben.
“Terus kenapa kamu perlu
mencemaskan dia?”
“Yang kucemaskan bukan dia, tapi
Misha. Apa yang Misha dengar dari dia!”
Kudengar Ben malah menertawaiku. Balik menukas, “Menurutmu apa?”
Aku sempat diam. Lalu menebak dengan berdebar-debar, “Misha tahu kalau aku pernah pacaran
sama Leah?”
“Yeaaa! Kamu ketahuan!” Ben
langsung meledekku, disambung dengan tawa lagi.
Ben kemudian menceritakan apa saja yang telah diucapkan Leah
tentangku, yang artinya: Misha akhirnya tahu! Bahwa aku pernah pacaran dengan
Leah; bahwa aku bukan tipe cowok yang peduli terhadap perasaan cewek; bahwa aku
sudah meninggalkan pacarku begitu saja tanpa alasan, tanpa pamit, tanpa kabar;
dan begitu ketemu lagi, aku menelantarkannya di stasiun. Leah meluapkan semua
itu!
“Fantastis!” umpatku, hampir selantang bentakan
hansip. “Terus,
Misha gimana...?”
Penjelasan Ben kali inilah yang paling mendebarkanku, “Caramu meninggalkan Leah di
stasiun, sepertinya bikin Misha jadi mudah percaya semua omongan Leah.”
Aku menghela napas. Langsung lesu mendengar kata Ben itu. “Gitu, ya?” gumamku, tak terasa terselip tawa
juga.
“Jangan nyalahin Misha.”
“Aku nggak nyalahin.”
“Di satu sisi, Misha mungkin
bisa saja menganggap Leah sebagai rival. Tapi di sisi lain, mereka sama-sama
cewek, sama-sama mahkluk yang lebih sensitif dibanding kita. Jadi kalau Misha
gampang bersimpati ke Leah, kamu harus bisa mengerti, lah....”
Ya, kurasa Leah memang
terlihat sangat teraniaya waktu itu. Atau setidaknya, dia akan berakting
begitu.
“Aku ngerti. Tapi, percaya nggak
percaya ya, Ben... aku ini cowok pengertian. Kalau enggak, aku pasti udah
tawuran sama cowok yang dulu ngerebut Leah! Cuma, gimanapun tetap nggak adil
kalau Misha menilaiku cuma berdasarkan omongan Leah.... Itu yang bikin aku
kesal!”
“Cieee....!”
lagi-lagi Ben ngeledek. “Masalahnya,
soal hubunganmu sama Leah, kamu sendiri nggak pernah cerita ke Misha, kan?”
Iya, itu memang benar....
“Dulu kupikir itu nggak perlu. Karena
aku nggak sampai berpikir bahwa suatu saat Misha bakal ketemu Leah,” keluhku, terduduk lesu di sudut
taman ala-ala biduan sedang meratapi nasib. “Biarpun
aku nggak bisa jadi siapa-siapa buat Misha, bahkan andai dia juga menjadi masa
lalu, tapi... paling tidak aku ingin dia tetap mengingat sesuatu yang baik
dariku. Kayaknya sudah telat ya, Ben...? Sekarang dia pasti menilaiku yang
enggak-enggak, karena omongan Leah....”
Penyesalan memang selalu datang di saat sesuatu yang tak diinginkan telanjur terjadi. Salahku memang, yang nggak pernah menceritakan lebih dulu kepada Misha tentang semua yang pernah kujalani sebelumnya. Sebenarnya memalukan jika kemudian aku jadi bersedih, sebab semua ini adalah hasil sikapku sendiri.
“Kamu tahu, kan... apa yang diomongkan Leah nggak sepenuhnya benar?” keluhku, mencari kawan yang mau berpihak.
“Yaaa... mungkin bukan soal benar-salah kali, Den. Dia cuma katakan dari sudut pandang dia saja. Aku nggak tahu. Aku nggak ada di sana waktu kamu masih pacaran sama Leah.”
“Aku sudah ceritakan semuanya ke kamu, kan? Kamu lebih percaya ke siapa?”
“Iya. Oke, aku percaya kamu.”
“Kamu nggak jelasin ke Misha, apa yang sudah kuceritakan?”
“Bukannya aku nggak mau. Tapi Leah sudah ceritakan versinya. Kalau kamu ingin Misha juga dengar versimu, sebaiknya kamu sendiri yang bilang ke dia. Masalahnya, sekarang, kamu beneran ingin ceritakan ke dia apa nggak?”
“Maksudmu?”
“Katamu, Misha sudah punya pacar. Jadi cuma kamu yang tahu, apakah menceritakan masa lalumu ke Misha masih penting atau tidak. Cuma kamu yang tahu.”
“Kuganti pertanyaanku. Menurutmu, kalau Misha sudah punya pacar apakah artinya aku jadi nggak cinta lagi sama dia?”
“Ya ilah! Kok pertanyaanmu jadi unyu banget gitu? Ya cuma kamu yang tahu, lah, masih cinta dia apa nggak!”
Aku jadi kesal. “Kampret lu, Ben! Jadi ternyata yang namanya sahabat itu nggak selalu mengerti perasaan sahabatnya, ya?”
“Aku ngerti kamu galau. Tapi soal seberapa penting Misha untukmu, kamulah yang seharusnya lebih tahu. Kalau aku lebih tahu darimu, berarti aku dukun, atau... berarti juga aku lebih perhatian ke kamu dibanding Misha. Jadi makin unyu kita. Hehehe....”
Bukannya aku nggak tahu perasaanku sendiri. Aku tahu sepenting apa Misha bagiku selama ini. Cuma, apakah kau lebih suka menjalani kesedihanmu sendirian? Apakah kau tak ingin membagikan perasaan kecewamu ketika tahu bahwa dirimu begitu menyedihkan? Apakah kau lebih suka duduk sendirian di taman? Aku tidak. Aku butuh didengar, meskipun ini soal diriku yang memalukan. Diriku yang selama ini peragu soal perasaan.
Tapi syukurnya, omongan Ben bisa menghiburku. Kurang ajar, tapi meringankan. Biarpun tak menyembuhkan.
Karena Mas Awan dan Fandy sudah tampak bersiap-siap meninggalkan mejanya, maka kuakhiri percakapanku dengan Ben. Aku melontarkan pertanyaan terakhir:
“Setelah semua omongan Leah, akhirnya,
pada intinya Misha bilang apa?”
Ben sempat diam beberapa saat. Kudesak agar dia ungkapkan saja apa
adanya, karena aku tak bisa berlama-lama lagi bicara di telepon.
“Sorry
to say, dia bilang kamu 'Pengecut'.”
Ucapan Misha yang disampaikan oleh Ben padaku, membuatku ingin
tertawa. Karena dengan tertawa sakit hati bisa berkurang. Lagi-lagi tak
menyembuhkan juga. Pada akhirnya terasa masih menyakitkan, dan terngiang
sepanjang perjalanan.
Sampai malam menjadi pagi. Saat aku terbangun, hanya butuh
beberapa menit untuk mengingat kata apa yang paling membekas akhir-akhir ini.
Ya kata itu: Pengecut!
Pengecut? Coba suruh aku
berantem sama Amos! Kagak takut gue! Enak aja bilang 'pengecut'! Kampret lu,
Mis...! Lu nggak tahu apa-apa!
Duk!
Kutendang ransel Fandy, benda yang paling dekat dengan kakiku. Melampiaskan
kekesalanku!
“Woi! Kok nendang-nendang tasku?” tak kusadari ternyata empunya ransel
sedang berdiri di tengah pintu kamar, memprotesku.
“Gatel! Lama nggak karate!” cetusku enteng, sambil membedah
bekalku, menyiapkan perlengkapan mandi.
Di sinilah aku dan Fandy menginap, di rumah kontrakan Mas Dika.
Semalam Mas Awan langsung menibakan kami di sini. Mas Dika cukup tanggap bahwa
kami sudah sangat kelelahan, maka dia menawari aku dan Fandy untuk menginap di
sini. Awalnya aku berpura-pura menolak, dan menyinggung soal penginapan murah
yang banyak tersebar di Poppies, Kuta. Tapi Mas Dika mencegah. Dia bilang,
mencari kamar kosong di Poppies pada saat musim liburan bisa sama melelahkannya
dengan perjalanan kami kemari. So,
menginaplah kami di sini. Aku malah bersyukur, lagi-lagi bisa mengirit ongkos.
Tentang Mas Dika, menurut yang kudengar selama ini, dia adalah
pacar Mas Awan. Itu bikin aku sempat menduga-duga seperti apa sosoknya. Kuakui
pikiranku telah terpengaruh oleh stereotype,
bahwa pasangan gay itu jika yang satu cenderung 'feminin' maka pasangannya akan
lebih 'maskulin'. Bukannya aku menilai Mas Awan sosok 'feminin', tapi dia
terkesan sebagai sosok yang tenang, santun dan ramah. Maka kubayangkan pacarnya
mungkin adalah sosok yang sebaliknya. Mas Dika kuduga sosok yang lebih periang,
banyak bicara, wajahnya berkumis dan bercambang dengan baju ketat bertonjolan
otot, dan sedikit lebih songong. Hmm,
ternyata bayanganku keliru.
Perkenalan semalam cepat memberiku kesan seperti apa sosok Mas
Dika yang selama ini baru sempat kukenal lewat telepon saja. Dia memang tampak
lebih periang dibanding Mas Awan. Posturnya memberi kesan dia seorang yang
cekatan dan tangkas, tapi nggak ada pamer benjolan otot sana-sini. Dan dia jauh
dari kesan songong. Dia sama ramahnya. Suaranya seringan yang kudengar waktu di
telepon.
“Halo,”
sambutnya di halaman, malam tadi. Disambung dengan pertanyaan yang nadanya
seolah kami sudah kenal dekat, “Bagaimana
perjalanannya? Capek?”
Aku sampai jadi kikuk untuk membalas. Kujawab seadanya dengan
singkat, “Capek,
Mas. Tapi asyik, kok.”
Kudengar Mas Dika sempat bisik-bisik berkelakar dengan Mas Awan,
ngomongin aku. “Dia
benar mirip dengan si Dimas,” begitu yang bisa kutangkap selintas.
Mereka berdua tampak baik-baik, tak seperti kecurigaan Fandy yang mengira
hubungan mereka sedang renggang. Well,
tentu saja mereka baik-baik saja. Jika tidak, maka mana mungkin Mas Awan mau
mengantar kemari dan bertemu dengan pacar yang 'sedang bermasalah'? Fandy
memang suka mengada-ada!
Obrolan kami semalam masih soal ramah-tamah saja. Sempat, sih,
kutanyakan soal Dimas. Tapi jawaban Mas Dika kurang lebih sama dengan Mas Awan,
yaitu belum tahu Dimas ada di mana. Membuatku lemas. Kelelahan seharian rasanya
begitu sia-sia, karena sampai sejauh ini ternyata belum berhasil mengetahui
keberadaan Dimas.
Tapi setidaknya Mas Dika memberiku satu harapan. “Saya sudah tanyakan ke beberapa teman
Dimas di sini. Mereka juga akan bantu mencarikan kabar. Dimas punya cukup
banyak teman di sini, tak mungkin kalau tak ada satupun yang tahu,” begitu katanya. Mirip dengan
ucapannya waktu di telepon, dan itu menjaga harapanku.
Sejak aku bangun tadi, aku nggak lihat Mas Dika. Sepertinya sudah
berangkat kerja sebelum aku bangun. Sehabis mandi, aku ke beranda. Fandy sedang
duduk ditemani Mas Awan.
“Pagi,”
sapaku.
“Kita mau ke galeri, sudah siap?” Mas Awan tidak berbasa-basi.
“Kata Mas Dika ada temannya Dimas yang
punya kabar buat kita. Mas Dika sudah menunggu di sana,” sambung Fandy.
Kabar pagi ini membuatku bersemangat seketika. “Oke! Tunggu apa lagi?”
“Dari tadi nunggu kamu bangun!” tukas Fandy.
Tak menunggu lama-lama, kami bertiga berangkat. Dengan mobil Mas
Awan lagi.
“Jauh, Mas?” tanyaku.
“Paling cuma satu kilo,” jawab Mas Awan.
Dari dalam mobil kusempatkan mengingat jalan yang kami lewati,
termasuk rumah-rumahnya. Agar sewaktu-waktu jika aku harus menempuh rute ini
lagi, tak perlu bergantung dan merepotkan orang lain.
“Apa nama daerah ini, Mas?” tanyaku.
“Beranda Mumbul. Jalan ini nanti
tembus ke by pass Ngurah Rai.”
“Rumah di sini pasti mahal ya, Mas?” aku sedikit basa-basi.
“Tergantung,” jawab Mas Awan sambil terkekeh. “Kalau yang mau beli atau sewa orang Bali
sendiri, biasanya lebih murah. Kalau orang asing diberi mahal. Tapi biasanya
orang asing tetap kuat bayar, karena orang asing yang mau tinggal di sini sudah
pasti banyak uang.”
Kulihat beberapa rumah memang ditinggali orang bule, mereka tampak
bersantai-santai di depan rumah. Semalam pun aku sudah sempat melihat
pemandangan malam di wilayah perkotaan. Kalau tak salah ketika melewati daerah
Legian dan Jimbaran, suasananya sudah semacam metropolis. Anjrit! Penuh dengan
bangunan mewah dan gemerlap, bule-bule berseliweran! Setelah kulihat dengan
mata kepala sendiri, ternyata ironis juga rasanya. Nggak semua yang ada di Bali
itu 'terlihat Bali'.
Tiba di jalan besar, kurasa adalah by pass Ngurah Rai yang tadi disebut Mas Awan, suasananya terlihat
makin hambar. Dipenuhi oleh tempat perbelanjaan dan bangunan-bangunan modern
khas kota. Hampir nggak bisa kubedakan, ini sedang di Bali ataukah di Solo. Ya
memang, sih, aku kemari bukan mau piknik. Cuma, aku kaget saja penampakan Bali
bisa sangat jauh berbeda dari yang kubayangkan. Atau aku saja yang terlalu
polos?
“Mas, berandai-andai saja, nih,” Fandy yang tadinya banyak diam
sekarang membuka suara, “kalau
Mas Awan jadi Dimas, dengan situasinya yang seperti itu... apa yang akan Mas
lakukan?”
Aku kaget Fandy benar-benar menyampaikan pertanyaan konyol itu ke
Mas Awan. Untuk diingat saja, pertanyaan itu adalah salah satu yang mengawali
pertengkaranku dengan Fandy kemarin. Aku nggak bisa berkata apa-apa untuk
mengomentari pertanyaannya itu. Dasar
bocah aneh! Karena telanjur
terlontar, sekarang biar Mas Awan saja yang jawab (kalau memang mau menjawab).
Mas Awan cuma terkekeh. Dia tak segera menjawab, cukup lama untuk
ukuran jeda antara pertanyaan dan jawaban. Akulah yang jadi merasa nggak enak.
Apalagi, meski duduk di jok belakang, aku bisa melihat sedikit raut wajah Mas
Awan. Dia terlihat sayu.
“Ditolak keluarga itu sangat berat,” ucap Mas Awan akhirnya. “Kalau keluarga tetap tak mau
menerima, ya terpaksa harus meninggalkan mereka. Tahu diri sajalah kalau memang
dianggap jadi kerikil dalam sepatu.”
Jawabannya membuatku miris. Terbayang akan perasaan Dimas saat
Mama menumpahkan semua kemarahannya. Terbayang, hari-hari di mana kulihat Dimas
selalu terlihat sedih....
“Itu juga yang kulakukan, Mas,” Fandy menimpali. “Terus, Mas Awan akan pergi ke mana?
Dan apa yang Mas cari?”
“Kamu sendiri kemari untuk mencari apa
selain Dimas?” Mas
Awan balik bertanya disertai senyum tipis.
“Cari ketenangan.”
“Hmmm. Mencari ketenangan,” gumam Mas Awan, mengulangi jawaban
Fandy. “Itu
pelampiasan yang baik.”
“Apakah mencari ketenangan bisa
disebut pelampiasan?”
“Selama sifatnya adalah sebab-akibat
yang disadari, berarti pelampiasan. Pelampiasan tak selalu buruk.”
Terasa suasana kami bertiga termenung, di antara kilasan
pemandangan pinggir jalan yang kami lewati. Hening sejenak. Karena kalimat Mas
Awan yang terakhir itu....
Yang sifatnya sebab-akibat
dan disadari, maka itu adalah pelampiasan. Seperti ketika aku meninggalkan
Medan gara-gara pacar dan teman-teman sialan. Bergaul dengan Dimas dan belajar
menerimanya, itu bisa dibilang pelampiasanku. Misha, Ben, Fandy, Erik, adalah
bonus. Semua itu baik. Sekarang sedang kuperjuangkan agar semua itu tetap
berakhir baik. Pelampiasan yang baik.
“Bagaimana agar pelampiasan itu
menjadi baik, Mas?” aku
ikut bertanya.
“Memberi maaf, Bli.”
Sebuah bunga kamboja gugur dan terlontar oleh angin, masuk lewat
jendela. Jatuh di sebelahku. Kupungut, bunga yang bermahkota putih dengan
bagian tengah berwarna kuning. Teringat puisi itu: Mahkota seperti secawan telur, di antara angin nakal dan musim yang
menari....
Mobil telah berhenti, di sebuah halaman luas yang memiliki banyak
pohon kamboja. Area parkir sebuah pusat cinderamata yang cukup besar, papan
namanya bertulis: Nagari Gallery &
Cafe.
“Mari turun,” ajak Mas Awan.
Dari luar tampak bentuk gerai berpola huruf L. Yang menghadap ke
depan adalah kafe. Sedangkan bagian cinderamata ada di bangunan yang menghadap
ke samping, tepatnya sebelah kanan dari jalan masuk. Sedangkan di sebelah kiri
ada panggung berukuran medium dengan rangka kayu dan atap alang-alang, di situ
tampak beberapa perangkat sound system.
Tak terlalu ramai, ada beberapa pengunjung dan di antaranya kulihat orang-orang
asing.
Aku dan Fandy mengikuti Mas Awan memasuki kafe. Di dalam kafe, Mas
Dika tampak sudah siap menyambut kedatangan kami. “Sini, duduk sini,” sambutnya seraya mengajak kami ke
sofa di bagian sudut.
“Saya tidak bisa menemani kalian lebih
lama,” baru duduk, Mas Awan sudah
mengungkapkan sesuatu yang sedikit mengejutkanku. “Saya harus cepat pulang ke Jembrana.”
Baik aku maupun Fandy tak bisa bertanya, “Kenapa?”, karena aku sendiri sadar sejauh ini Mas
Awan sudah sangat membantu. Masa kami masih harus memintanya untuk tetap
tinggal? Betapa kami sudah sangat merepotkannya.
“Maaf, Mas, kalau kami sudah
ngerepotin. Makasih banget sudah banyak membantu,” ucapku
tanpa mempertanyakan alasan Mas Awan pulang.
“Semoga Dika bisa lebih banyak bantu
kalian,” balas
Mas Awan.
Lalu ia dan Mas Dika bercakap-cakap singkat dalam bahasa Bali yang
aku nggak tahu artinya. Kurasa hanya ramah-tamah sebelum berpamitan. Setelah
itu, Mas Awan ternyata masih tetap duduk bersama kami, tak langsung
meninggalkan kami. Rupanya karena Mas Dika sudah memesankan sarapan untuk kami.
Lagi-lagi kami ditraktir, bikin diriku merasa benar-benar
merepotkan tuan rumah. Tapi susah juga kalau musti menolak, karena yang
disuguhkan di depan kami adalah pemandangan menu sarapan yang kelihatannya
sangat enak! Semacam masakan ayam dengan sayur-sayuran hijau bercampur bumbu
pasta.
“Tak usah sungkan. Dia supervisor di sini. Gajinya besar untuk
mentraktir kita,” Mas
Awan menyilakan aku dan Fandy, sambil berkelakar menyindir kekasihnya.
“Dulu gaji dia lebih besar,” Mas Dika balik menyindir.
“Dulu?” Fandy
menceploskan satu kata.
Baik Mas Awan maupun Mas Dika tak menjawab. Sebaliknya, ada senyum
canggung di wajah mereka. Seolah mereka telah salah mengungkit sesuatu. Baik
Fandy, apalagi aku, tak menuntut jawaban lebih lanjut. Akhirnya kami fokus saja
pada sarapan.
“Ada kabar baru apa, Mas?” sambil makan aku bertanya. Sudah
nggak sabar untuk mendengarnya.
“Ada teman Dimas yang nanti mau ke
sini. Saya dengar dari si Durus,” jelas
Mas Dika sambil sedikit mengayunkan dagunya ke arah luar. Dari jendela tampak
salah satu pegawai bertubuh gempal sedang merapikan perkakas di atas panggung. “Dia akrab dengan Dimas waktu di sini,
jadi saya juga minta tolong dia supaya cari kabar tentang Dimas. Pagi tadi dia
beri tahu saya, nanti akan ada salah satu teman Dimas yang ke sini.”
“Temannya yang mana lagi?” selidikku.
Mas Dika malah tersenyum padaku. “Teman
Dimas memang cukup banyak selama di sini. Saya malah bingung kalau harus
ceritakan satu-satu, nanti kalian bisa kenalan langsung saja sendiri.”
“Saya ingat dulu Mas Dika pernah
bilang kalau Dimas juga gabung dengan band di sini?” singgungku.
“Cuma adittional. Itu si Durus yang main bass. Semua ada tujuh orang. Tiap Sabtu malam dan Minggu sore
mereka perform reguler di sini. Senin
dan Rabu diisi band lain.”
“Main musik apa, Mas?” Fandy ikut tanya-tanya.
“Jazz, fusion, pop. Apapun yang bagus dan enak didengar. Bali Tunes Syndicate, nama band mereka.”
“Wow, keren namanya,” Si Unyu berceletuk. Kalau menurutku malah lebay. Kayak nama
gangster.
Dan, penjelasan Mas Dika yang kurang berterus terang soal teman
Dimas itu sebenarnya agak menyebalkan. Tapi, yaaa... lagi-lagi aku merasa nggak
enak untuk mendesak, nanti kesannya aku meragukan mereka yang sudah cukup
banyak membantu.
Selesai sarapan, Mas Awan kembali berpamitan untuk pulang ke
Jembrana. Kali ini barulah dia sungguh-sungguh meninggalkan kami. Dia berpesan
agar aku dan Fandy tak kuatir, karena ada Mas Dika yang sekarang akan bantu
kami selama di sini. Termasuk soal penginapan, Mas Dika meyakinkan kami bahwa
dia tak merasa repot kalau kami menginap di rumahnya. Aku mengucapkan terima
kasih ke mereka.
Kami mengantar Mas Awan sampai halaman.
“Kalau dapat kabar baru dari Dimas,
jangan lupa, kabari saya juga. SMS, ya!” pesan
Mas Awan sebelum naik ke mobil.
“Kutelepon nanti,” Mas Dika yang membalas. Sambil
menepuk pundak kekasihnya itu, melepasnya masuk ke mobil.
Mobil bergerak, menuju ke jalan raya dan berlalu dari pandangan.
Baru kenal, tapi berat hati juga aku melepasnya. Tepatnya, aku terharu karena
dia telah membantu begini banyak. Mas Awan, lelaki pendiam yang ramah dan baik
hati. Dan homo. Tak masalah.
“Ayahnya meninggal baru setahun lalu,” tiba-tiba Mas Dika bercerita ketika
kami masih berdiri di halaman. “Adik
perempuannya sudah menikah dan ikut suami. Dia tak bisa meninggalkan rumahnya
lama-lama. Harus ada yang menjaga ibunya.”
Aku terpaku. Jadi muncul rasa bersalah dalam hatiku, karena
ternyata kami memang sudah begitu merepotkan Mas Awan. Biarpun Mas Awan selalu
berdalih dia nggak repot, faktanya kami sudah membuat dia harus meninggalkan
ibunya sendirian di Jembrana. Sekarang sudah jelas alasan kenapa Mas Awan harus
tinggal jauh dari pacarnya. Dan pada akhirnya, kurasa hubungan mereka tetap
baik-baik saja. God bless them!
Lelaki gempal berikat kepala datang tergopoh-gopoh, sambil bicara
dalam bahasa Bali. Dia bicara kepada Mas Dika, salah satu perkataan yang bisa
kutangkap adalah dia menyebut Mas Awan. Mas Dika menjawab dengan bahasa Bali
pula. Si gempal itu tertawa masam sambil menunjukkan gulungan kabel di
tangannya. Sepertinya, dari yang bisa kupahami sedikit-sedikit, si gempal itu
bertanya kenapa Mas Awan sudah keburu pulang. Mas Dika menjelaskan sambil balik
bertanya kenapa si gempal itu tiba-tiba tak kelihatan, padahal tadi sedang
merapikan panggung. Si gempal menjawab bahwa dia habis dari belakang mengambil
kabel. Mungkin, sih.
“Kenalkan, ini Durus,” Mas Dika kemudian memakai bahasa
Indonesia untuk memperkenalkan si gempal bermuka kocak itu kepada kami. Mas
Dika juga ganti memperkenalkan kami, “Ini
Denis, saudaranya Dimas.”
“Oh!” si
gempal bernama Durus itu merespon. Kami berjabat tangan. “Memang mirip,” komentarnya sambil membuka senyum
lebar.
Lagi-lagi itu yang
dikomentari: “Mirip
Dimas!”. Bosan dengarnya.
Mas Dika juga mengenalkan Fandy. Durus kembali bicara dalam bahasa
Bali saat berkenalan dengan Fandy. Kali ini Mas Dika yang tertawa menanggapi
Durus. Fandy cuma bisa bengong. Menurutku, sih, kedengarannya Durus dan Mas
Dika ngomongin soal hubungan Fandy dan Dimas. Jadi sepertinya masalah pribadi
Dimas juga sudah diketahui teman-temannya di sini.
“Santai saja di sini, Bli. Dimas pasti ketemu!” dengan sok akrab Durus meyakinkanku.
“Tiang dengar
darinya sendiri, kangen mejagur sama Bli. Jadi pasti pulang, Bli.”
“Maksudnya?” aku sedikit nggak ngerti.
“Sudah kangen berantem!” jelas Durus. “Juga sudah kangen sama tunangan,”
tambahnya sambil melirik Fandy. Lalu tertawa lagi.
Keningku seketika mengerut. “Tunangan?”
“Di sini 'tunangan' artinya pacar,” jelas Mas Dika.
“Hahaha...!” Fandy malah tertawa. Dasar somplak!
Begitu ketemu Dimas dia pasti minta cincin, mentang-mentang tunangan!
“Katanya, Bli suka beladiri?” Durus
mengulikku lagi. “Kata
Dimas, Bli bisa Karate? Coba beladiri
asli sini, Bli! Tiang antar ke tempatnya, dekat dari sini.”
“Apa itu?” aku sedikit tertarik saat dengar
'beladiri asli Bali'.
“Mepantigan,” yang menjawab Mas Dika.
“Betul, Bli. Mirip sama Judo, tapi ini asli Bali. Dulu Dimas senang lihat
latihannya tiap sore.”
Aku sangsi. “Dimas
lihat orang banting-bantingan? Bukan dia banget!”
“Tapi Dimas senang lihatnya. Soalnya
latihan Mepantigan cuma pakai kancut,
Bli.”
Aku manyun. Fandy ngakak.
“Jadi aku disuruh coba beladiri, yang
gerakannya peluk-pelukan lalu banting-bantingan, dan cuma pakai sempak?” aku mengklarifikasi. Lalu Fandy
kusodorkan, “Ajak
dia saja, nih!”
Durus tertawa terpingkal-pingkal.
“Aku anti kekerasan,” Fandy berkelit. “Aku cukup nonton saja.”
“Ikut Mepantigan minimal harus punya otot dan bobot. Kalau kurus, mau
banting apa? Malah kebanting terus,” Mas
Dika menimpali. Isinya jelas menyindir aku dan Fandy. Oke, gurauan sebagai warming up dan ramah-tamah perkenalan
aku terima.
Lalu Mas Dika kembali bicara dalam bahasa Bali ke Durus, seperti
memberi perintah untuk membereskan sesuatu. Durus menurut dan berpamitan.
“Yang betah di sini ya, Bli!” pamit
Durus, lalu meninggalkan kami.
Mas Dika mengajak aku dan Fandy kembali masuk ke kafe. Kami duduk
lagi di sofa yang tadi.
“Apa kami nggak ngganggu, Mas, kalau
di sini terus?” kuungkapkan
kerikuhanku, melihat suasana kafe mulai ramai.
“Sebenarnya tak apa-apa. Tapi kalau
kalian mau, boleh kalian jalan-jalan dulu. Bagaimanapun, kalian di Bali, lho.
Banyak yang bisa dilihat di sini,” Mas
Dika berujar seraya tersenyum ringan, meringankan kesegananku.
Lalu dia beranjak sesaat menuju ke sebuah rak, mengambil sesuatu
dari sana. Dia kembali lagi ke sofa dan menyodorkan barang yang diambilnya itu
kepadaku.
“Ini ada map tempat-tempat yang bagus
di Badung. Saya pinjami motor, kalau kalian mau. Kalian bisa main yang
dekat-dekat dari sini saja. Kalau teman Dimas itu sudah datang, saya telepon
kalian. Atau biar saya saja yang bicara dengannya, kabar soal Dimas nanti saya
beritahukan ke kalian. Kalian jalan-jalan saja, biar tidak stres. Pikiran yang
tenang akan lebih membantu pencarian kalian, percayalah.”
Mas Dika terlalu baik. Sungguh. Aku dan Fandy belum ada dua puluh
empat jam mengenalnya, dia sudah mau pinjami motor agar kami jalan-jalan.
Jadinya aku malah tambah segan.
“Kami mungkin jalan-jalan di sekitar
sini saja, Mas. Atau duduk-duduk di luar, biar nggak ngerepotin. Kalau teman
Dimas itu datang, aku tetap pingin bisa ngomong langsung. Mungkin banyak yang
bisa kutanyakan.”
“Iya, Mas. Kalau pakai motor segala
bisa-bisa malah kami pergi kejauhan,” Fandy
ikut menimpal.
“Oke, terserah kalian. Yang penting
kalian tidak bosan saja. Saya mungkin tak bisa banyak menemani, karena harus
sambil kerja,” Mas
Dika menyerahkan keputusan kepada kami.
Sekilas aku membaca isi buku wisata yang disodorkan Mas Dika. Tak
hanya berisi map, tapi juga profil daerah Badung. Dari profil yang kubaca
sekilas, aku baru tahu, bahwa lambang resmi Kabupaten Badung adalah Sekar
Jepun. Bunga Kamboja. Frangipani.
Sebuah kebetulan...?
“Oh, itu dia sudah datang!” cetus Mas Dika sedikit
mengagetkanku. Dia menunjuk ke seseorang yang muncul di halaman dan sedang
berjalan menuju ke kafe. Tak lama kemudian, tamu yang kami tunggu itu sudah
berdiri tepat di hadapan kami.
“Rahajeng
semeng,”
sapanya kepada Mas Dika, diikuti pandangan kepadaku dan Fandy. Tapi...
tatapannya berhenti lebih lama padaku.
“Selamat pagi,” sahut Mas Dika. “Bagaimana kabarmu?”
Dia, tamu kami itu, adalah seorang gadis. Berambut hitam digelung
ke belakang, berkulit sawo matang dan berpostur langsing semampai. Tatapannya
yang berhenti lama padaku berujung pada satu senyum di bibirnya. Manis.... Amat
manis!
Dia tampaknya agak kikuk setelah bertemu pandang denganku. Dia
sedikit terlambat menjawab Mas Dika, “Becik, Bli.”
“Nah, ini mereka!” Mas Dika menunjuk ke aku dan Fandy. “Yang satu saudaranya Dimas, satunya
lagi teman baiknya.”
Aku dan Fandy berdiri menyalami, sambil menyebut nama
masing-masing.
Dia menyebut namanya. “Maya.”
“Kadek Maya Laksmi, jago menari!” Mas Dika memperjelas. Membuat gadis
bernama Maya di hadapanku tampak tersipu.
“Cocok,”
ceplosku, “posturnya
memang mirip penari.”
“Memang penari!” Mas Dika mempertegas lagi.
“Ah, Bli, biasa saja,” Maya
membalas dengan santai, sambil duduk di sebelah Mas Dika.
Hmmm, mungkin memang sudah
biasa jika ada gadis Bali pandai menari.
Mas Dika menawarinya minum. Dia menyebut pesanannya dengan simpul:
moccha.
“Es?” Mas
Dika memperjelas.
Maya si cewek bergelung itu mengangguk satu kali. Mas Dika lalu
memanggil salah satu pramusaji, menyampaikan pesanan Maya. Saat ditanyai adakah
pesanan lain, Maya cuma menggeleng disertai senyum tipis.
“Kata Durus, kamu punya kabar tentang
Dimas?” Mas
Dika segera menukik ke pokok persoalan.
“Durus metaken lewat SMS dua hari lalu. Waktu itu saya masih di Bangli,” jelas Maya dengan aksen Bali sedikit
halus. “Kebetulan
hari ini saya bisa ke Badung, jadi sekalian saja kemari.”
Jawaban dari Maya itu belum menjelaskan apapun soal Dimas. Dia
mengorek isi tasnya, mengeluarkan sesuatu dari dalam tas itu lalu meletakkannya
di meja. Di hadapan kami. Barulah aku terperangah! Benda itu sangat kukenal!
“Dimas menitipkan ini ke saya, Bli.”
O my God...!
Laptop!
bersambung...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar