#4 LOVELY / LONELY
Ricky tiba di depan sebuah gerbang. Gerbang geser yang terbuka lebar, dan di sampingnya terpancang papan bertulis: ‘Wisma Welly’. Dia masuk bersama motornya, lalu menempatkan kendaraannya itu di sebuah garasi kecil yang ada di ujung deretan bangunan kamar.
Wisma Welly, meski namanya terkesan ‘cewek’, tapi itu adalah komplek kos khusus laki-laki. Kos-kosan itu tepat berada di sudut tikungan jalan. Berdiri satu komplek dengan rumah pemiliknya. Jika masuk dari gerbang rumah pemiliknya, maka kamar kost terletak di belakang rumah. Sejumlah tujuh kamar berderet dengan pola huruf L mengekor di belakang rumah besar itu. Tapi, ada gerbang samping yang memang disediakan khusus untuk penghuni kost-kostan agar lebih mudah untuk keluar masuk. Gerbang dimana Ricky tadi masuk.
Ricky langsung menuju ke kamarnya. Melemparkan ranselnya ke tempat tidur, melepas sepatu dan kaus kakinya. Lalu duduk termenung menghadapi meja satu-satunya di ruangan berukuran 3 x 3,5 meter itu. Wajahnya tampak kusut. Tangannya mengusap lebam di mukanya, bekas pukulan dari seniornya. Dikeluarkannya kertas kucal dari sakunya. Dibacanya lagi isi kertas itu. Lalu dengan muak diremasnya, dilemparkannya ke keranjang sampah.
Dia berdiri dengan jengah, mengkibas-kibaskan kerah seragam putihnya. Gerah. Dia tanggalkan kemejanya itu, menyisakan celana abu-abu dan kaos tank-top putihnya. Lalu dia meraih biola miliknya yang tergeletak di kasur. Sesaat kemudian, melodi-melodi hasil gesekan mulai menyayat keheningan kamar.
Sendu.
Sepi.
Sesaat.
Ricky melemparkan lagi biolanya ke atas kasur. Berdiri tertunduk, termenung sendirian di kamarnya. Suasana yang sulit untuk diterjemahkan. Rasa galau yang entah kenapa?
Akhirnya dia beranjak keluar dari kamarnya, duduk di beranda depan kamar mencari hawa segar untuk rasa penatnya.
Dia menyisir pandangannya ke kamar-kamar yang tampak lengang. Kamarnya berada di ujung yang menempel dengan ruang dapur. Setelah kamarnya, ada kamar yang ditempati Dana, anak SMA sepantaran dirinya yang pendiam dan jarang bergaul dengan penghuni kost lainnya. Setelah kamar Dana, ada kamar Om Heru, pria paruh baya yang bekerja sebagai penjual batik keliling. Setelah kamar Om Heru, berbelok ke kanan adalah kamar Mas Okky, mahasiswa jurusan Sastra Indonesia yang lebih sering berada di sanggar daripada di tempat kost-nya. Setelah itu, ada kamar Rindra, penyiar radio yang sibuk dan juga aktif sebagai MC di berbagai acara. Lalu ada kamar Edo, anak SMA yang bergaya gaul dan sering tampil modis. Dan yang terakhir, kamar paling ujung dekat garasi, adalah kamar yang masih kosong.
Tiba-tiba suara ponsel berbunyi. Ricky meraih benda itu dari saku celananya.
“Ya,” sapa Ricky singkat.
“Gimana di kos? Kamu senang di situ?” seseorang berbicara di ponsel Ricky.
“Lebih baik di sini daripada di rumah,” jawab Ricky datar.
Terdengar suara menghela nafas. “Baiklah, yang penting kamu senang. Bapak kirim uang ke rekeningmu, kalau masih butuh lagi kamu bilang aja…” ucap penelpon itu pelan.
Ayah Ricky.
“Ya,” sahut Ricky tetap datar.
Sambungan belum terputus, tapi keduanya terdiam beberapa saat lamanya.
“Ya udah, Bapak cuma ingin tahu keadaanmu saja. Jangan lupa, tetap jenguk rumah sewaktu-waktu kalau kamu longgar. Tiap akhir pekan, Bapak akan usahakan untuk bisa pulang…” ujar Ayah Ricky.
Ricky tak menyahut. Beberapa saat lamanya kembali tanpa percakapan. Hingga akhirnya… Tuttt…! Ayah Ricky menutup percakapan. Ricky memasukkan kembali ponselnya ke saku. Dia kembali termenung lesu di tempat duduknya.
“Baru pulang?” sapa seorang cowok sepantaran Ricky, yang juga masih mengenakan seragam SMA-nya, muncul dari dapur.
Ricky cuma mengangguk. Tersenyum ramah sedikit canggung. Memang sudah menjadi sifatnya, agak kaku dan pendiam.
“Oh, iya. Udah hampir seminggu di sini, belum kenalan!” ujar anak di muka pintu dapur itu. Lalu dia melangkah mendekati Ricky, dan mengulurkan tangannya. Dia meyebut namanya, “Edo.”
“Ricky,” balas Ricky menjabat tangan Edo sebentar. Sebenarnya dia sudah tahu nama Edo, hanya saja dia memang belum pernah ngobrol dengannya.
Edo, anak cowok berambut shaggy ala artis Korea tapi berkulit agak hitam itu, tersenyum-senyum memandangi Ricky yang cuek. Seperti ada sesuatu yang membuatnya tertarik.
“Kenapa tuh mukanya?” tanya Edo, mengamati lebam di wajah Ricky.
“Nggak apa-apa,” jawab Ricky singkat.
“Habis berantem?”
“Iya.”
Edo ternganga. Antara rasa tertarik ingin tahu dan rasa segan. Dia memutuskan tak bertanya lebih jauh setelah menyadari bahwa rupanya Ricky anak yang tak terlalu suka basa-basi, dan sepertinya juga tidak ragu untuk berkelahi.
“Maaf, Mas, ini benar rumahnya Bu Minah?” tiba-tiba ada yang mengalihkan perhatian. Seorang ibu bertubuh gemuk berdiri di tengah gerbang.
“Hah?” Edo cuma ternganga. Lalu berpaling ke Ricky sambil mengangkat bahu. “Salah alamat kayaknya tuh?”
Ricky berdiri dari duduknya dan menghampiri ibu itu. “Cari siapa?” ulang Ricky.
“Ini benar rumahnya Bu Minah?” tanya ibu itu lagi.
“Yang punya kost ini namanya Bu Wilhelmina,” rujuk Ricky agak ragu.
“Nah, iya! Bu Wii… siapa tadi?” ibu itu cekikikan sendiri. “Namanya susah, Mas. Saya tahunya Bu Minah!”
“Eh, Bu Menuk! Sini, sini. Sudah saya tungguin dari tadi,” tiba-tiba ada yang nyaring menyahut. Seorang perempuan paruh baya yang masih tampak cantik dan modis, berdiri di pintu belakang rumah besarnya.
“Nah, itu Bu Minah!” ibu tadi sumringah sambil menghampiri orang yang dicarinya itu.
“Nggak usah pakai ‘H’ dong, Bu. Kalau susah, panggil saja ‘Bu Welly’!” cetus perempuan cantik itu tampak sedikit gengsi. Lalu sesaat dia mengalihkan pandangannya ke Ricky. “Eh, Ricky! Habis ini ke sini ya! Tante mau ngomong sama kamu.”
Ricky terbengong sesaat agak ragu. Lalu dia mengangguk, dan meninggalkan dua ibu-ibu itu. Kembali ke kamar kost-nya. Mengambil kaos kasual dan memakainya.
“Kayaknya kamu jadi anak kesayangan Tante Welly?” cetus Edo di muka pintu kamar Ricky.
“Hah?” sentak Ricky agak acuh.
“Hahaha…” Edo tertawa agak segan. “Kemarin sore Tante Welly mau ngasih kamu brownies, tapi karena kamu nggak ada di kamar akhirnya dititipin ke aku. Dia bilang aku boleh ambil separuh, tapi… karena lapar banget jadinya aku habisin. Sorry, ya...”
Ricky agak terhenyak. “Ya udah,” sahutnya kemudian. Cuek.
“Kamu pemain biola ya?” tanya Edo sambil melirik biola milik Ricky.
“Cuma hobi aja,” jawab Ricky simpul.
“Bisa ajari aku nggak?” tanya Edo.
Ricky agak terbengong, memandangi Edo yang tersenyum lebar sedikit lebay. Dalam hatinya Ricky heran-heran sungkan, menghadapi Edo yang sepertinya terlalu cepat cair padanya itu.
“Kamu beli biola dulu, nanti gampang,” cetus Ricky tidak begitu serius.
“Hahaha… Mahal kaleee!” seloroh Edo.
“Gimana ngajarinnya kalau kamu nggak punya biola?” tukas Ricky.
“Kan bisa pinjam punya kamu?”
“Terus aku ngajarinnya pakai apa?”
“Kamu kasih teorinya aja lah!”
“Terus ngapain kamu belajar biola kalau nggak punya biola sendiri?” balik Ricky.
Edo cuma tertawa cengengesan.
Lalu dengan cuek Ricky meninggalkan Edo yang masih berdiri di muka pintu kamarnya. Ia berjalan menuju ke serambi belakang di rumah Tante Welly yang besar, menemui ibu kost yang tadi memanggilnya. Tante cantik berdarah Tionghoa itu sedang duduk-duduk di sofa yang ada di serambi. Ibu gemuk yang tadi bertamu sudah tidak ada bersamanya.
“Ada apa, Tante?” tanya Ricky.
“Sini duduk,” ujar Tante Welly.
Ricky duduk agak canggung menghadapi ibu kost-nya yang tampak agak genit itu.
“Eh, itu kok pipimu agak lebam?” dengan agak kaget Tante Welly langsung menyelidik. “Kamu habis berkelahi?”
Ricky tersenyum rikuh. “Iya, Tante. Biasa, ada orang reseh mancing emosi,” jawabnya agak kikuk.
“Ya ampun! Berkelahi kok dibilang ‘biasa’ sih?!”
“Bukan gitu maksudnya…”
“Terus?”
“Yaa… namanya orang sok jago itu kan ada aja, Tante. Tapi karena udah keterlaluan, ya udah, berantem aja sekalian.”
Tante Welly terbelalak, geleng-geleng menatap Ricky.
“Kok bisa gitu sih? Anak cakep kalem kayak kamu berkelahi?!” desah tante cantik itu.
Ricky cuma tersenyum agak tersipu. Tante Welly masih cemberut sesaat melihat wajah Ricky yang agak lebam.
“Kemarin Tante nitip brownies, udah dikasih sama si Edo?” akhirnya Tante Welly mengesampingkan juga lebam di wajah Ricky.
“Ehmm… Udah, Tante…”
“Enak?” kulik Tante Welly dengan senyum lebar.
“Yaa… Lumayan.”
“Kok lumayan sih?!” Tante Welly cemberut lagi. “Itu Tante sendiri yang bikin lho!”
“Ohh… Iya, enak kok… Cuma, aku nggak terlalu suka roti yang terlalu manis gitu, Tante…” jawab Ricky salah tingkah.
“Masa anak manis nggak suka manis sih?” juragan kost itu sekarang cemberut sedikit centil.
Ricky tambah kikuk.
“Tadi siapa, Tante?” akhirnya Ricky mencari topik lain untuk mengalihkan gelagat ibu kost-nya yang ganjen itu.
“Itu Bu Menuk. Kemarin kenal waktu arisan ibu-ibu. Dia baru pindah dari Jogja. Dia bilang pintar bikin jamu tradisional, makanya Tante pesan, tuh satu botol!” ujar Tante Welly sambil mengayunkan dagunya ke botol besar di atas meja. Botol jamu.
“Jamu apa, Tante?”
“Jamu buat ngenakin badan aja. Biar seger! Kamu mau coba?” tawar Tante Welly.
Belum sempat Ricky menolak…
“Tante ambilin gelas,ya!” Tante Welly sudah meluncur ke dapur.
Ricky menelan ludah. Minum jamu? Bakal jadi pengalaman pertama dalam hidupnya. Tante Welly kembali dari dapur sambil membawa satu buah gelas. Cuma satu gelas, artinya itu cuma buat Ricky!
“Kamu udah seminggu ya di sini? Betah nggak?” tanya Tante Welly sambil menuang jamu.
“Lumayan, Tante…” jawab Ricky.
“Lumayan lagi!” dengus Tante Welly jutek. “Nih, diminum jamunya!”
Dengan ragu Ricky menerima gelas yang disodorkan Tante Welly. Ingin hati tak mau meminumnya, tapi tante genit di hadapannya itu terus melihati penuh dorongan. Mau tak mau…
Ricky terpaksa meminumnya.
“Ekkhhh…!” decak Ricky dengan mata berkerut sehabis minum jamu itu.
“Gimana rasanya? Lumayan lagi?” lontar Tante Welly dengan senyum jahil.
“Pahit!”
“Hihihi… Cuma anak kecil yang jamunya manis! Lagian tadi katanya nggak suka yang manis?” canda Tante Welly sambil tertawa puas.
Dalam hati Ricky gondok dan mengumpat karena sudah dikerjai Tante Welly yang ganjen itu. Tapi mau bagaimana lagi, apa dia juga harus berantem dengan ibu kos?
“Ngomong-ngomong, kenapa sih kamu pilih kos di sini? Maksud Tante, Ricky kan bisa tinggal di rumah sama ayah Ricky? Kan juga masih di kota ini kan? Kenapa malah kos?” akhirnya Tante Welly mengajak ngobrol secara serius.
Ricky terdiam beberapa saat mendengar pertanyaan ibu kosnya itu.
“Ayah terlalu sibuk, Tante. Kakak dua orang juga udah nggak tinggal di sini, di luar kota semua. Kalau tiap hari rumah selalu sepi, malah bikin perasaan jadi miris. Nggak enak tiap hari melihat suasana rumah seperti itu… Lebih baik ngekos sekalian, hitung-hitung belajar mandiri sekaligus bisa dapat teman juga…” jelas Ricky dengan wajah sayu.
Tante Welly menatap Ricky dengan prihatin. “Kenapa nggak ikut ibu Ricky aja?” tanyanya.
Ricky terhenyak lagi. Tapi kali ini serasa ada yang lebih menusuk di batinnya.
“Aku belum bisa terima… ayah lain, Tante…” jawab Ricky pelan.
Tante Welly tampak tertampar. “Oh, maaf... Tante nggak bermaksud menyinggung…”
“Nggak apa-apa kok, Tante,” Ricky langsung memotong dengan senyuman masam di wajahnya. “Orang bercerai dan menikah lagi kan udah biasa terjadi di mana-mana…”
Tante Welly tersenyum kecut dan rikuh. Lalu dia menghela nafas panjang…
“Tante jadi ingat sama Vino, anak Tante yang kecil itu…” gumam Tante Welly sedih. “Suami Tante meninggal sembilan tahun yang lalu, waktu Vino masih umur dua tahun. Sosok seorang ayah belum terlalu diingat oleh Vino. Sedangkan Melinda, anak Tante yang pertama, umurnya tujuh tahun waktu papanya meninggal. Melinda sudah sangat mampu mengingat sosok papanya…”
Perempuan paruh baya itu lalu tertawa pahit di sela-sela ceritanya. Ricky menyimaknya tanpa berani menyela.
“Vino butuh figur ayah. Tapi Melinda nggak mau sosok papanya diganti, biarpun sudah meninggal. Tante sendiri, yaahhh… pingin move on, tapi gimana lagi?” tutur Tante Welly tersenyum getir, dengan mata menerawang ke masa lalu ketika suaminya masih hidup.
Ricky merasa terlalu muda untuk keluh kesah yang didengarnya itu, dia juga merasa sebenarnya itu adalah masalah keluarga Tante Welly yang cukup pribadi. Karenanya dia hanya terdiam, tak berani menanggapi cerita ibu kosnya. Meskipun, mungkin dilema yang mereka rasakan tak jauh beda. Yang berbeda mungkin hanyalah sisi tempat masing-masing memandang situasi. Yang tersisa adalah sama...
Rasa sayang untuk keluarga.
Rasa sepi untuk diri masing-masing.
“Si Vino sangat butuh perhatian. Tapi dia susah akur sama kakaknya. Tante sendiri sering sibuk mengurus salon. Kalau Tante nggak kerja nanti anak-anak juga nggak makan... Jadi tolong, kalau kamu kebetulan ada waktu, bantuin jaga Vino, ya?” curah Tante Welly penuh harap ke Ricky.
Sebenarnya Ricky ragu untuk menjanjikan. Tapi dengan rasa simpati, dia mengangguk pelan. Tante Welly pun tersenyum lega.
“Vino kayaknya suka tuh sama kamu. Waktu pertama tahu kamu, dia bisik-bisik ke Tante… Dia bilang, ‘Kak Ricky cakep ya, Ma!’, hahaha…!” Tante Welly mulai mencair lagi candanya.
Ricky cuma terbengong mendengar cerita Tante Welly. Dapat pujian ‘cakep’ dari sesama laki-laki tentu adalah sesuatu yang agak ‘beda’ dibandingkan jika yang memuji adalah lawan jenis. Tapi karena Vino masih sebelas tahun, mungkin itu tidak menyimpan maksud lebih jauh. Ricky akhirnya cuma tersenyum-senyum sendiri.
“Vino lagi di kamar tuh. Ada TV, PS, DVD, kamu main aja nggak apa-apa buat temani dia. Kalau mau sih…?” ujar Tante Welly.
“Tapi… masa aku sampai masuk ke kamar Vino, Tante?”
“Nggak apa-apa. Kalau sama kamu Tante percaya deh!” tandas Tante Welly. Lalu dia berdiri. “Sini, Tante tunjukin kamarnya!”
Ricky ragu dan tak enak hati. Tapi karena Tante Welly sepertinya telanjur berharap banyak padanya, akhirnya ia berdiri juga dari duduknya. Dengan enggan mengikuti ibu kosnya menyusur ruang di dalam rumah besar itu.
Tante Welly menunjukkan sebuah kamar. Suara musik dari dalam kamar itu menggema sampai luar. Musik dengan lagu yang kedengarannya bukan berbahasa Indonesia. Bahasa Inggris juga bukan. Dan bercampur dengan suara anak kecil yang sumbang.
“Vino, ada Kak Ricky nih!” Tante Welly mengetuk kamar anaknya agak keras. Lalu dia membukanya.
Suara musik itu berasal dari DVD player. Di kamar itu seorang anak laki-laki umur sebelas tahun sedang berdiri memegang mic, ikut bernyanyi menghadap layar LCD besar di depannya. Tak peduli keberadaan ibunya dan Ricky yang berdiri di muka pintu.
“Nih, ya kayak gini nih kerjaannya tiap hari. Tapi masih positif lah, menyanyi kan bakat!” celetuk Tante Welly bangga, tapi juga sedikit malu. “Kamu temani saja dia. Tante tinggal ke dapur dulu.”
Ricky cuma terbengong-bengong ditinggalkan di muka pintu kamar Vino. Dan dia tersentak saat tiba-tiba musik berubah irama menjadi up-beat, dentum menghentak seperti di disco lounge!
“Yeaaahhhh!” teriak Vino.
Lalu bocah sebelas tahun itu langsung berjoget di depan layar LCD-nya!
“Kak Ricky suka SuJu nggak?!” seru Vino tanpa berpaling dari layar LCD.
“Suju???” Ricky melongo. Sama sekali tak tahu.
“Horeeeee, Siwoooonnnn!!!” tiba-tiba Vino berteriak sambil mengikuti gerakan idolanya itu: melepas baju dan melemparkannya…!
Pluk! Jatuh tepat di dekat kaki Ricky.
Ricky tambah terbengong-bengong. Belum pernah dia melihat langsung tingkah seorang ‘fans sejati’ sampai segitunya. Di depan matanya. Dan anak ini masih sebelas tahun!
“Kak Ricky, biar perutnya kotak-kotak diapain sih? Perut Kak Ricky gitu juga nggak?” tanya Vino tanpa menoleh ke Ricky, masih sambil berjoget.
Tentu saja Vino tak mendapat jawaban apa-apa. Karena Ricky sudah lebih dulu memilih diam-diam kabur dari kamar itu. Mengendap-endap menuju pintu belakang. Tapi…
“Ricky!” Tante Welly memergokinya.
Ricky menghentikan langkah bersamaan dengan hatinya yang mengumpat. Sial...!
“Lupa belum beresin kamar, Tante… Permisi dulu,” pamit Ricky mencari alasan.
“Ini Tante kasih lagi brownies-nya!” rupanya Tante Welly cuma bermaksud itu. “Nih, buat camilan!”
“Makasih banyak, Tante!” ucap Ricky menerima satu kardus kecil brownies di tangannya. Lalu cepat-cepat dia membalikkan badan dan pergi dari rumah ibu kosnya itu.
Ricky kembali ke kamarnya. Duduk di tepi tempat tidurnya dengan lesu. Menghela nafas sambil menopang kepala. Dan, kepalanya ternyata terasa memberat. Terasa agak pening!
“Dapat brownies lagi?” Edo muncul lagi di muka pintu. “Mau lagi dong!”
Ricky menyerahkan kardus brownies-nya tanpa basa-basi.
“Ehh? Semua nih?” Edo tertegun.
“Ambil aja,” cetus Ricky sambil memegangi kepalanya.
“Ohh! Thank you!” seru Edo girang, lalu segera menghilang dari muka pintu.
Ricky mengkibas-kibaskan kepalanya, dan mengucek matanya. Kepalanya benar-benar terasa berat.
Dia mulai curiga!
Dia segera bergegas kembali ke rumah Tante Welly.
“Sore, Ricky!” seorang pria paruh baya berkepala agak botak menyapa Ricky di dekat gerbang.
“Sore,” sahut Ricky cuek, membalas sapa teman kosnya yang baru pulang kerja itu.
Ricky menuju ke serambi belakang rumah Tante Welly, dan mendapati ibu kost-nya itu tengah duduk-duduk santai.
“Itu tadi Om Heru udah pulang ya?” lontar Tante Welly.
“Sebenarnya tadi jamu apa sih, Tante?” tanya Ricky tandas tanpa menggubris basa-basi Tante Welly.
“Kenapa memangnya?”
“Kepalaku tiba-tiba pusing gini?”
Tante Welly pelan-pelan tersenyum, makin lama makin lebar. Jahil memandangi Ricky yang berparas cuek tapi menggemaskan di matanya itu.
“Hehehe…” ibu kost usil itu tersenyum geli. “Itu tadi jamu terang bulan.”
“Jamu terang bulan???”
“Biar kalau bulannya datang, hati nggak suram. Hihihi…” kelakar Tante Welly genit. “Tapi diminum cowok juga nggak papa. Besok bangun tidur pasti badan jadi lebih seger!”
Ricky tersentak.
“Astaga!” sentak Ricky, bersamaan di dalam hati dia mengumpat sejadi-jadinya!
Jamu datang bulan...???!!!
#5 STRANGER
MOS telah memasuki hari keempat di salah satu SMA yang ada di kota Solo itu. Meski masih terasa menyebalkan bagi sebagian besar murid kelas satu, tapi telah ada perubahan di hari itu. Para senior tidak segalak pada hari-hari sebelumnya. Kadar sikap sok mereka mulai berkurang. Ada dua kemungkinan yang menyebabkannya. Pertama, mungkin karena sudah memasuki hari keempat, sikap para senior telah lebih cair terhadap yunior-yuniornya. Mulai terbiasa, sehingga sikap jaim dan galak para senior itu akhirnya mulai luntur dengan sendirinya. Kemungkinan kedua, karena sehari sebelumnya telah ada perlawanan dari seorang murid kelas satu bernama Ricky. Sebuah pembuktian bahwa yunior tidak selalu bisa diremehkan! Mungkin banyak para senior yang akhirnya mulai berpikir-pikir. Dan tentu itu juga mendorong para guru untuk lebih getol mengarahkan para senior agar bersikap lebih baik terhadap yuniornya. Apapun yang telah mempengaruhi, yang pasti suasana MOS telah berubah menjadi lebih longgar dibanding hari-hari sebelumnya.
Di jam istirahat pertama, Siska rupanya memiliki suatu agenda. Cewek cantik yang tomboy dari kelas X-E itu mendatangi kelas X-A. Meski belum menemukan orang yang sedang dicarinya, tapi rupanya dia tetap beruntung. Dia sedikit kaget saat melihat seorang cowok berambut ikal dengan kacamata tebal tengah duduk di serambi di depan kelas X-A.
“Lho, Jen? Kamu kelas ini?” sapa Siska ke Jejen, teman sekelasnya waktu SMP yang rupanya sekarang menempati kelas X-A.
“Ih! Masih manggil pakai nama itu sih?” delik Jejen agak kesal. “Di sini aku dipanggil Zain!” cetus Jejen yang bernama asli Zainal itu.
“Halah, daripada aku manggil ‘Jendol’?!” tukas Siska. Lalu dia ikut duduk di serambi kelas X-A. Cewek tomboy itu berseloroh sok akrab, “Kelas kamu asyik nggak, Jen?”
“Ya asyik lah! Ada apa ke sini? Cari orang?” tanya Jejen, alias Zain.
Siska celingukan sesaat, melongok ke suasana di dalam kelas X-A yang dapat dilihat dari luar pintu. Dia tetap tak melihat orang yang dicarinya.
“Teman kamu ada yang namanya Ricky, kan?” bisik Siska ke Zain.
“Ada, dia yang habis berkelahi kemarin kan? Kenapa memangnya?” selidik Zain. Dia lalu tersenyum. “Naksir sama dia?”
“Enak aja! Nggak, ya! Teman sekelasku yang naksir, bukan aku. Tapi dia nggak berani kenalan!” bantah Siska.
“Jadi kamu mau jadi comblangnya?”
“Nggak juga. Cuma penasaran aja, kok temanku sampai tergila-gila?”
Zain cuma tertawa simpul. “Dia lagi ke kantin mungkin,” gumamnya.
Siska melenguh lesu. Di saat dia sudah berpikir hendak ke kantin, rupanya ada hal lain yang menarik perhatiannya dan membuatnya tak jadi beranjak dari duduknya. Siska mengamati Zain yang tampak sibuk dengan sesuatu. Ada yang dipegang di tangan Zain, selembar kertas agak besar berisi beberapa gambar. Semacam desain baju.
“Apa sih itu?” tanya Siska ingin tahu.
“Nanti kelasku ada rapat, buat nentuin desain kaos olah raga. Minggu depan kan pelajaran olah raga sudah dimulai,” jelas Zain acuh tak acuh, fokus ke kertas yang dipegangnya.
“Kaos olah raga? Coba pinjam!” Siska langsung merebut kertas di tangan Zain.
Mata Siska langsung terbelalak menatap gambar-gambar desain kaos itu.
“Ketua kelasmu siapa?” tanya Siska, tiba-tiba saja menjadi antusias.
Zain melongo. “Aku!” ucapnya.
Siska tertegun, lalu tampak berbinar-binar. “Cieeee! Waktu SMP cuma mentok jadi sekretaris, sekarang naik level nih jadi ketua???” candanya sumringah.
“Makanya, nama panggilan juga harus lebih level dong!” cetus Zain percaya diri.
“Weee… Nggak usah gitu! ‘Jejen’ tuh juga nama yang asyik buat panggilan, kesannya lebih akrab and humble gitu loh! Mentang-mentang sekarang jadi ketua kelas jadi songong nih?” seloroh Siska cablak, sambil meninju bahu Zain.
Zain cemberut, gengsi!
“Soal kaos olah raga, kayaknya kamu butuh masukan dari aku nih!” cerocos Siska dengan pedenya. “Dari tahun ke tahun, dari kelas ke kelas, yang kita lihat tuh model kaos olah raga ya gitu-gitu aja. Oblong, pakai lengan, …”
“Memangnya yang bagus gimana?” Zain langsung memotong.
“Maksudku… kenapa nggak coba model yang beda???”
“Nha iya, yang beda tuh yang gimana?”
Siska tersenyum senang sekaligus nakal. Lalu dia menunjuk salah satu gambar desain kaos itu…
“Ini, yang nggak pakai lengan!” tunjuk Siska pede.
Zain tampak agak ragu. “Biarpun beda, tapi apa keren kalau nggak pakai lengan?” tanyanya.
“Ya keren lah! Kelasku sendiri juga rencananya mau pakai yang tanpa lengan. Akan terlihat lebih macho!” seru Siska penuh keyakinan.
“Terus yang cewek juga ikut macho gitu???”
Raut Siska berubah. Menelan ludah dan menatap gondok ke Zain.
“Kamu tuh udah naik level jadi ketua kelas masih oon aja sih?!” tukas Siska sambil menggablok Zain. “Kalau yang cewek ya jadi lebih seksi lah! Kecuali buat murid-murid yang pakai jilbab, nah khusus mereka baru dikasih yang model lengan panjang. Adilnya begitu. Masa ngatur gitu aja nggak bisa?”
Zain manggut-manggut.
“Gini gini aku ngikutin trend!” tandas Siska dengan gaya bangga.
“Oke deh, Sis, makasih sarannya. Aku akan sampaikan nanti di kelas. Tapi keputusannya sih tetap diambil bersama, aku nggak bisa maksa orang satu kelas,” ujar Zain.
“Kamu bilang aja, jaman sekarang tuh harus berani tampil beda. Asal masih positif. Betul kan? Biarpun keputusan diambil bersama, tapi sebagai ketua kelas pasti pendapatmu tetap lebih diperhatikan sama teman-temanmu. Jadi ketua kelas harus pede dong!” tandas Siska panjang lebar.
Zain manggut-manggut lagi.
“Minta nomor HP-mu!” pinta Siska kemudian.
“Buat apa?”
“Ya buat kontak lah! Kamu udah nggak nganggap aku teman?” balik Siska judes.
Zain nyengir. “Siapa tahu kamu malah mau lebih…” gumamnya.
Dalam hati Siska mengumpat. Andai dia sedang nggak butuh Zain, mungkin dia sudah menampar Ketua Kelas X-A itu!
Siska menyimpan nomor ponsel Zain. Setelah itu dia berdiri dari duduknya.
“Oke, Jen, aku cabut dulu ya!” ucap Siska sambil menggeloyor pergi, meninggalkan Zain yang masih duduk-duduk di serambi depan kelasnya.
Cewek tomboy itu melenggang dengan riangnya, seolah ada hal hebat yang telah berhasil dicapainya. Ya, sebuah agenda yang berubah dari rencana semula, tapi menghasilkan sesuatu yang lebih menggembirakan. Berkat beberapa kebohongan yang dibuatnya secara cerdik.
Masih di jam istirahat yang sama, di tempat lain yang masih berada di komplek sekolahan itu, seorang teman Siska yang lain sedang melewatkan waktu untuk mengisi perutnya. Di kantin sekolah.
Nera berdiri tampak bingung, sambil memegang mangkuk soto di tangan kanannya dan teh botol di tangan kirinya. Cewek manis berambut kriwil sebahu itu menengok ke beberapa sudut mencari tempat untuk menikmati sotonya. Kantin itu adalah sebuah ruang makan yang besar dengan deretan bangku dan meja panjang. Cukup ramai.
Akhirnya pandangan Nera berhenti di satu titik. Dia pun tersenyum lebar ketika membidik salah satu meja. Meski sebenarnya agak ragu, tapi dia memberanikan diri melangkah mendekati meja itu…
Meja di mana Ricky tampak sendirian menikmati sarapannya.
Dengan ragu dan malu-malu, Nera mengambil duduk berhadapan dengan Ricky. Ricky menatap gadis yang ada di hadapannya itu. Sesaat mengingat-ingat…
“Hai…” sapa Nera agak gugup.
“Hai,” balas Ricky sambil mengingat-ingat. “Kita… kemarin satu SMP ya?”
“Haha… Iya!” sahut Nera langsung berbinar-binar. “Kamu ingat ternyata!”
Ricky tersenyum simpul, cukup manis untuk wajahnya yang hari itu terlihat agak bengap. Lalu ia kembali meneruskan makannya dengan santai. Sebaliknya, Nera dalam hatinya berdegup-degup. Serasa sebuah pujian baginya, ternyata Ricky mampu mengingat bahwa mereka dulu satu SMP.
“Kok makan sendirian?” tanya Nera mencoba bersikap akrab. “Ramai begini, tapi nggak ada yang duduk sama kamu…?”
“Entahlah…” jawab Ricky singkat, sambil mengusap hidungnya yang agak basah.
Nera menduga-duga dalam hati. Apa mungkin karena kemarin Ricky habis berkelahi dengan senior, kemudian image-nya menjadi… mungkin dicap ‘anak nakal’, ‘anak bandel’, atau apalah image jelek yang lain…? Tapi bukankah lebih layak kalau Ricky disebut pahlawan? Memangnya ada yang tidak setuju jika para senior yang sok itu diberi pelajaran agar tahu rasa???
Di saat Nera masih sibuk menduga-duga…
“Mungkin aku memang kelihatan nggak asyik aja,” tiba-tiba keluar celetukan di bibir Ricky yang pendiam itu. Lalu dia juga tersenyum lagi, membuat sisa lebam di wajahnya seolah pudar untuk sesaat.
Dan ucapan Ricky itu segera membuat Nera jadi tersipu. “Masa sih kamu nggak asyik? Buktinya aku mau duduk sini…” gumam cewek berambut kriwil itu malu-malu.
“Soalnya kursi lain udah penuh,” timpal Ricky.
Ucapan Ricky yang terakhir itu membuat wajah Nera berbalik lagi secara drastis. Seperti kena tonjok!
“Nggak juga. Kursi lain masih ada!” gumam Nera seperti tertelan oleh mulutnya sendiri. Lalu dia segera mengalihkan topik. “Rumah kamu dimana sih, Rick?”
Ricky sedikit terhenyak. “Ohh… Kamu malah udah tahu namaku?” decaknya sedikit kikuk.
Nera sadar dan jadi salah tingkah. “Eehhh… Kita kan satu sekolah juga waktu SMP, biarpun nggak pernah sekelas tapi aku tahu namamu! Yaaahhh… Dari dengar-dengar aja!” kelitnya gugup mencari alasan.
“Tapi aku belum tahu namamu?”
Sekali lagi wajah Nera seperti terkena sesuatu. Seperti jus tomat baru saja menumpahi mukanya! Itu artinya, Ricky sangat terkenal baginya namun dia sama sekali tidak terkenal di telinga Ricky. Semacam sentilan terhadap harga diri.
“Namaku Nera!” sebut Nera dengan pede, meski dalam hati menyembunyikan malu.
“Ohh… Oke,” sahut Ricky simpul.
Nera mengamati Ricky yang kembali meneruskan sarapannya. Ricky yang cuek itu, yang hari itu mukanya tampak agak bengap tapi tetap saja membuat Nera merasa gemas dan geregetan. Sampai salah tingkah demi mendapatkan perhatian yang lebih dari anak cowok yang ‘baru saja’ dia ajak kenalan itu.
“Rumah kamu dimana?” Nera kembali mengulang pertanyaannya yang belum dijawab.
“Emhh… Aku tinggal di kos,” jawab Ricky tampak enggan.
“Kos? Dimana?” Nera kian penasaran dan tak menyerah bertanya.
Tapi lagi-lagi pertanyaan Nera kandas. Karena rupanya ada hal lain yang seketika itu langsung menyita perhatian Ricky.
Ada beberapa anak kelas satu lainnya yang baru masuk ke kantin. Tapi yang mencuri perhatian Ricky adalah salah satu dari kawanan itu, seorang murid laki-laki yang sepertinya berdarah blasteran, berkulit putih dengan rambut berwarna coklat kopi, yang di hari-hari kemarin tak pernah dilihatnya di sekolah itu.
Nera menyadari mata Ricky yang tersita oleh pemandangan lain. Ia segera mengikuti kemana arah mata Ricky memandang. Maka Nera pun ikut tersentak.
“Siswa baru ya?” bisik Nera yang matanya terpaku menatap murid berkulit bule tadi.
Murid baru itu memang cukup mencuri perhatian banyak orang, tak hanya Ricky dan Nera. Beberapa anak lainnya yang ada di kantin itu juga tampak ikut memperhatikan murid baru itu. Mungkin karena faktor blasteran dan belum pernah terlihat sebelumnya, murid baru itu tampak sedikit menyolok dibanding murid lainnya.
“Dia baru masuk hari ini?” cetus Nera bertanya-tanya. Dia kembali menoleh ke Ricky, dan lagi-lagi dia tertegun.
Nera melihat mata Ricky yang hampir tak berkedip. Ricky belum berhenti terpaku memandangi murid baru yang duduk di kursi agak jauh itu. Dan sorot mata Ricky saat memandang, seperti menyiratkan sesuatu yang misterius… Sesuatu yang dalam.
“Rick…?” bisik Nera.
Ricky terkejap matanya dan segera menyadari lagi posisinya. Tapi raut yang tak tertebak masih menempel di wajahnya.
“Kenapa, Rick?” tanya Nera, merasa ada yang aneh.
“Emhhh… Sorry, aku balik ke kelas dulu…” balas Ricky agak kikuk, lagi-lagi tanpa menjawab pertanyaan Nera.
Nera terbengong-bengong melihat sikap Ricky yang aneh. Heran dan bingung karena secara terburu-buru Ricky beranjak pergi dari hadapannya, gelagat yang sepertinya menyembunyikan sesuatu.
Apa ada hubungannya dengan murid baru itu???
Nera kembali menengok ke murid baru tadi. Murid baru itu masih berada di tempatnya, sedang mengobrol sambil makan bersama teman-temannya. Murid baru itu memang tampak menarik. Tetapi di dalam hati, cuma satu hal yang membuat Nera tak habis pikir…
Ada apa dengan Ricky???
#6 DESAS-DESUS
Pada jam istirahat kedua di hari itu, keempat gadis itu berkumpul di tempat kesukaan mereka. Di belakang gedung laboratorium yang rimbun dan sepi. Ya, empat cewek yang mengaku diri mereka Fujoshi, penggemar segala sesuatu yang berhubungan dengan relasi sesama cowok.
Nera, Vita, Nike dan Siska.
“Berita penting hari ini: ada murid baru!” Vita bersemangat membuka pertemuan. “Dia baru masuk hari ini.”
“Ihhh! Harusnya aku yang ngasih pengumuman dong! Kan dia teman sekelasku dan kamu tahunya juga dari aku, Vit?” Nike protes.
“Murid baru, baru masuk hari ini, kelas X-F, terus… apa istimewanya?” lontar Siska, apatis.
“Dia cowok blasteran kan?” Nera langsung menyahut. “Aku udah lihat waktu di kantin tadi.”
“Kamu udah lihat, Ra? Gimana, cakep kan?” Nike langsung antusias meminta pendapat Nera.
“Emhhh… Buat aku sih biasa aja…” gumam Nera sambil menopangkan dagunya.
“Biasa? Kok bisaaa?!” Nike protes lagi dengan mimik tidak rela.
“Yaahhh, gimana ya? Aku penggemar yang Asian sih, yang tampang bule gitu buat aku biasa aja. Jelek sih enggak, cuma kesannya nggak terlalu istimewa aja buat aku,” jelas Nera.
“Tapi tampang dia itu nggak terlalu bule juga. Aku udah lihat juga tadi,” Vita gantian angkat pendapat. “Kulitnya sih bule, tapi roman mukanya tuh masih ada kesan Asia. Rambutnya aja cenderung ke hitam, lensa matanya juga hitam…”
“Coklat! Lensa matanya tuh coklat, coklat tua. Aku sempat lihat lumayan dekat!” cetus Nike menyanggah Vita.
“Berarti cuma aku yang belum lihat,” dengus Siska datar. “Tapi sama dengan Nera sih, aku nggak terlalu excited sama yang bule. Aku lebih suka yang kulitnya masih berwarna, masih ada unsur sawonya gitu…”
“Pindahan dari mana sih dia?” lontar Nera.
“Aku dengar-dengar sih, katanya dari Jakarta. Tapi… katanya dulu dia juga udah pernah tinggal di Solo, soalnya keluarga ibunya asli dari Solo. Dia pindah ke Jakarta karena ayahnya waktu itu dapat kerjaan baru di Jakarta, jadi pengajar di sekolah internasional gitu katanya…” urai Nike penuh semangat.
“Buseeettt! Dapat banyak amat infonya, Nik? Diam-diam kuping kamu peka juga ya dengerin obrolan orang? Nggak mungkin kan kamu sendiri yang ngobrol sama dia?” cerocos Siska menyindir Nike.
“Cieee…! Anak pemalu gini nggak mungkin lah langsung berani kenalan!” Vita ikut mencandai Nike sambil mencubit pipinya. “Apalagi kalau posisinya udah kesengsem gini!”
“Hahaha… Terus gimana nasib idolamu yang mirip artis Jepang itu, Nik?” sindir Siska lagi.
“Iiihhhh!!! Apaan sih? Aku tetap masih suka sama Kento! Tapi si Dikta itu juga cakep!” seru Nike kesal, sekaligus memerah pipinya.
“Ricky, bukan Kento!” sahut Vita mengoreksi, sambil mencubit lagi pipi Nike dengan gemas.
“Oohhh… Jadi namanya Dikta?” gumam Nera masih datar-datar saja.
“Nah, namanya juga Indonesia banget kan?” cetus Vita.
“Lengkapnya siapa dulu? Nggak yakin kalau namanya pribumi seratus persen. Pasti buntutnya nama bule!” sergah Siska masih berlagak apatis.
“Dikta Febrian Tosca, itu nama lengkapnya,” sebut Nike.
“Nah, kan! TOSCA, itu bukan nama pribumi tuh!” tuding Siska.
“Ahhh! Ngapain juga ribut soal nama? Orang asli Indonesia aja banyak yang pakai nama bule. Jaman sekarang tuh nggak usah ngeributin soal nama. Buat aku si Dikta itu cakep, udah! Ngapain berbelit-belit?” sentak Nike berapi-api. “Vit, menurut kamu sendiri gimana? Dia cakep apa nggak?”
Vita tersenyum simpul. “Iya, dia cakep kok. Tapi tampang dia itu cenderung ke tipe melankolis yang halus gitu. Agak kurang menantang aja sih…” urainya sambil memainkan kuncir kudanya.
Nike cemberut. Merasa cuma dia sendiri yang paling tertarik dengan murid baru yang mereka bicarakan itu.
“Nah, berarti hasil kalkulasi di antara kita berempat, kesimpulannya si Ricky masih nomor satu!” cetus Siska dengan senyum cerah.
Nera yang dari tadi paling kalem, sekarang tiba-tiba tampak antusias menyinggung sesuatu…
“Girls, hari ini aku merasa ada yang aneh sama Ricky…”
Vita, Siska, dan Nike kompak menatap Nera, dengan raut serius mereka.
“Dan ini masih ada hubungannya dengan anak baru, si Dikta itu!” sambung Nera.
“Hahhh???” ketiga teman Nera kompak tertegun.
“Yaahhh… Ini cuma firasatku saja sih…” gumam Nera sedikit ragu. “Ceritanya, hari ini bisa dibilang mujur buat aku, karena tadi aku makan bareng sama Ricky di kantin.”
“Kamu makan sama Ricky?” Siska paling duluan menyahut. Dengan mata terbelalak seperti merasa kecolongan. “Berdua gitu???”
“Ya enggak lah, Sis. Namanya aja di kantin, ya pastinya ada banyak orang. Tapi memang kebetulan yang makan di meja itu cuma aku sama Ricky. Aku yang nyamperin dia duluan. Yaahhh, akhirnya aku sama dia ngobrol-ngobrol juga lah pastinya. Meski nggak terlalu banyak tapi tetap saja asyik. Dia itu so sweet…!” buncah Nera sambil tersenyum-senyum sendiri.
“Kamu yang nyamperin dia? Mental banget kamu, Ra?!” timpal Vita heran, sekaligus tampak iri atas kemujuran sahabatnya itu.
“Kuncinya adalah keberanian!” cetus Nera bangga.
“Terus hubungannya sama Dikta apa?” desak Nike tampak penasaran sekali.
Nera berpikir sesaat, seolah juga membayangkan kembali apa yang dia lihat dan rasakan ketika di kantin tadi.
“Waktu si murid baru itu muncul di kantin, tiba-tiba saja… Ricky diam terpaku melihat anak itu. Memandangi hampir tanpa berkedip dan cukup lama. Dan wajah dia saat itu seperti… entahlah… Menurut firasatku, sepertinya Ricky itu nggak asing sama Dikta,” cerita Nera dengan nada serius, meski juga terdengar masih ragu.
“Maksudmu, Ricky kenal sama Dikta?” kulik Nike.
“Aku nggak bisa memastikan. Cuma anehnya lagi, sehabis memandangi Dikta, Ricky langsung permisi pergi. Makanannya aja belum habis, dia langsung pamit. Aneh lah pokoknya!” urai Nera membeberkan kejadian itu.
“Hmm… Kalau dihubungkan sama cerita Nike tadi, yang katanya si Dikta dulu udah pernah tinggal di kota ini, mungkin saja si Ricky memang pernah kenal sama dia?” gumam Vita menganalisa.
“Tapi kenapa Ricky pilih pergi? Seolah ingin menghindar?” sela Nera.
“Kemungkinannya, kalau memang Ricky pernah kenal sama Dikta, bisa jadi hubungan mereka dulu nggak baik. Mungkin musuhan, pernah berkelahi, atau gimana… Yah, minimal kan udah ada bukti kalau si Ricky itu nggak segan-segan berkelahi!” sahut Siska, ikut mengemukakan analisanya.
“Masa sih, Ricky sama Dikta berkelahi?” gumam Nike dengan tampang kecut, seolah ada yang patah di dalam hatinya.
“Aku jagoin Ricky deh!” seru Siska cablak.
“Siska, jangan gitu dong!” Nike langsung ngambeg.
“Ricky pasti menang!” Siska tak berhenti berseloroh sambil tertawa puas.
“Eeehhh…! Kok kita jadi rempong gini sih? Nyadar nggak, kita baru saja ngomong negatif soal cowok favorit kita?! Ingat dan cetak tebal: COWOK FAVORIT KITA!” Nera langsung berapi-api mengangkat kritik.
“Iya, Fujoshi itu bukan alasan buat jadi rempong. Setuju sama Nera!” cetus Vita mendukung Nera.
“Rempong buat orang yang kita benci itu sah, tapi jangan rempong sama idola kita sendiri dong!” sungut Nera menimpali.
“Bagian mana yang rempong?” delik Siska tak mau disalahkan.
“Barusan kamu menuduh kalau Ricky pernah berkelahi sama Dikta! Malah pakai jago-jagoan segala! Catat ya, Ricky itu berkelahi karena seniornya belagu. Semua orang udah muak sama si Faris itu. Kalau Dikta, dia itu dari mukanya aja udah kelihatan kalau anaknya kalem dan nggak suka macam-macam, jadi nggak mungkin dia bikin gara-gara sampai harus berantem sama Ricky!” sanggah Vita berapi-api.
“Ahhh… Itu kan baru teorimu saja, dan itu karena kamu suka keduanya. Iya, kan?” balik Siska santai.
“Jujur aja ya, aku masih tetap lebih suka si Ricky. Tapi aku nggak berharap masa lalu Ricky dengan Dikta seperti yang kamu bilang itu. Biarpun bisa berkelahi, aku yakin Ricky nggak sebandel itu!” kilah Vita membela diri.
“Yup! Waktu aku makan sama dia tadi, kerasa kok kalau Ricky itu anak baik, biarpun cuek. Nggak mungkin lah dia itu asal berkelahi!” Nera merapat di kubu Vita.
“Dan itu tadi juga cuma teorimu, Sis! Karena kamu nggak suka sama Dikta terus kamu bashing dia pakai bawa-bawa Ricky!” Nike ikut membela Vita, meng-counter pernyataan Siska.
“Aku bukannya nggak suka sama teman sekelasmu yang bule itu, Nike…! Aku cuma nggak tertarik aja. Ngapain aku bashing dia? Aku bukan Fujoshi alay!” kelit Siska enteng meski dikeroyok ketiga temannya.
“Ya udah, kalau gitu jangan pakai jagoin Ricky segala buat lawan Dikta! Ngomporin itu namanya! Dua-duanya tuh cakep!” debat Nike sengit.
“Udah, udah! Lama-lama jadi kebiasaan nih, kalau kita kumpul ujung-ujungnya kusut kayak gini! Nyesel aku cerita soal Ricky!” keluh Nera kesal.
Vita juga sudah merasa capek. “Oke, oke, stop berdebat. Udah, aku anggap Siska yang menang. Sekarang peace deh!”
“Oke, aku terima kekalahan kalian!” ucap Siska dengan senyum yang sengaja dibikin angkuh. “Sekarang ganti topik. Aku juga punya berita buat kalian!”
Nera, Vita, dan Nike menyimak Siska dengan wajah acuh tak acuh. Telanjur jengah.
“Tadi aku ketemu sama si Jejen, teman sekelasku waktu SMP. Dia sekarang jadi Ketua Kelas X-A. Menariknya, hari ini kelasnya membahas soal desain kaos olah raga…!” cerita Siska penuh semangat.
“Kaos olah raga? Apa menariknya?” sela Vita cuek.
“Menariknya adalah, aku berhasil mempengaruhi si Jejen untuk memilih desain kaos buat kelasnya itu,” cetus Siska penuh keyakinan.
“Hah? Aku nggak menemukan sisi menariknya tuh?” cibir Nera.
“Yakin nggak tertarik?” sentil Siska sambil melirik satu persatu ketiga temannya. “Yakin, nggak tertarik melihat si Ricky pakai kaos tanpa lengan?”
Ketiga teman Siska itu langsung terbelalak, bak diguyur air selagi tidur.
“Ya Tuhan! Ini soal bulu ketek lagi???” seru Nera terperanjat.
“Hahahahaha…!!!” Siska tertawa terbahak-bahak.
“Ahhh! Aneh, ah! Aku nggak mau ikut-ikut!” Vita langsung bergidik.
“Aku juga!” Nike ikut Vita.
“Udahan, udahan!” Nera yang lebih dulu bangkit berdiri.
“Eh, kenapa sih? Natural kaleee…?!” seloroh Siska keheranan saat tak satupun teman ada di pihaknya.
“Natural sih natural, tapi aneh buat dibahas!” sungut Nike, ikut berdiri.
Vita akhirnya juga berdiri dari duduknya. “Bye, bye, Miss Bulket…!” cibirnya centil.
“Ahhh…! Nggak asyik ah kalian!” sungut Siska yang ditinggalkan teman-temannya.
Siska masih duduk di tempatnya, kini sendirian di kebun belakang laboratorium itu. Wajah dongkolnya tak bisa disembunyikan. Tapi sesaat kemudian senyumnya sudah kembali melebar menghiasi wajah cantiknya yang tomboy. Sambil menggegat bibirnya dengan centil, dia mengeluarkan ponselnya.
“Jen, gmn soal kaos olah raga? Udh fix blm?” ketik Siska sambil tersenyum-senyum sendiri. Lalu ia mengirim pesan itu ke nomor Zain.
Pesan terkirim. Lalu tak lama kemudian balasan dari Zain diterimanya. Siska membukanya dengan penuh semangat.
Dibacanya…
“U td bilang kelas u jg mau pakai yg tnp lngan kan? Kelas q akhrnya pilih polo-shirt yg pkai lngan aja, biar gk sama dgn kelas u. Jd bnr2 tampil beda! Thnx buat saran2nya… Muachh!”
Senyum di bibir Siska mengendur seketika. Ceria di wajahnya padam.
Lalu…
“Jejen diampoeeettt!!!”
Nomor Jejen pun dihapusnya!
bersambung...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar