#7 ANAK YANG TERSINGKIR
Ricky duduk di bangkunya. Pikirannya tak tentu arah. Dia memang sempat agak terkejut hari ini, karena Robi yang kemarin duduk semeja dengannya kini memutuskan pindah tempat duduk. Temannya yang bertubuh kecil itu sekarang duduk di deret meja belakang. Kini Ricky duduk sendirian di tempatnya yang berada di deret nomor tiga dari depan, tepat di pinggir jendela. Jumlah anggota kelasnya memang ganjil, dan dialah yang menjadi penghuni angka ganjil itu di tempat duduknya.
Tapi, kenapa Robi memutuskan pindah tempat duduk bahkan lebih rela duduk di tempat belakang? Ada apa? Apakah ada hubungannya dengan ucapan Ricky kemarin sebelum mereka pulang? Itu memang sedikit menjadi masalah baginya.
Tapi sebenarnya bukan itu yang paling menyita pikiran Ricky saat ini.
Ada hal yang lain. Ya, tentang murid baru yang baru masuk hari ini. Cowok blasteran yang tadi muncul di kantin dan begitu membuat Ricky tercengang.
Ricky tak menggubris lagi ceramah senior yang sedang membahas materi OSIS di kelasnya. Pikirannya mulai menembus lorong-lorong ingatan di kepalanya!
Menuju ke masa lalu…
…
Di sebuah sekolah dasar, siang itu seorang murid kelas empat baru saja keluar dari toilet. Dia melangkah santai untuk kembali ke kelasnya. Tapi ketika melewati tempat parkir sepeda, anak itu terhenti. Dia mengamati sepeda sport berwarna hijau yang diparkir paling pinggir. Sepeda yang tampak mahal. Tapi ada yang aneh dengan sepeda itu…
Anak itu berpikir sejenak. Masih segar di ingatannya, bahwa beberapa hari sebelumnya ada yang menghebohkan di sekolahnya. Beberapa sepeda milik para murid digembosi ban-nya. Entah siapa pelakunya, tidak berhasil diketahui. Pastinya itu ulah murid yang jahil.
Dan sepeda sport warna hijau itu, tampaknya mengalami hal yang sama.
Anak itu sadar bahwa ban sepeda yang bagus itu tampak kempis. Tapi meski sudah tahu, sepertinya anak itu tetap merasa penasaran. Maka didekatinya sepeda warna hijau itu, lalu dia menekan bagian ban dengan jarinya…
Ya, ban sepeda itu memang kempis.
“Hei! Adrian, kamu ngapain?” tiba-tiba ada suara kecil yang lantang menghardiknya.
Anak tadi terkejut dan segera menarik tangannya dari ban sepeda. Dilihatnya tiga orang temannya telah berdiri tak jauh darinya.
“Ohhh! Jadi kamu yang gembosin sepeda?” gertak salah satu temannya.
“Bukan aku!” kelit anak bernama Adrian itu gugup.
“Nggak usah bohong! Kamu sudah ketahuan, aku lihat sendiri!” hardik salah satu teman Adrian memojokkan.
“Aku juga lihat!” temannya yang lain menimpali. “Kita laporkan saja ke Bu Guru!”
“Iya, ayo kita laporkan saja!”
“Tapi aku cuma megang, aku nggak…” Adrian makin gugup membela dirinya.
Tapi…
“Ketahuan! Ketahuan! Ketahuan!” ketiga temannya berlalu sambil mengolok berirama, tak menggubris sama sekali ucapannya.
Adrian berdiri lesu, diam terpaku menatap teman-temannya yang telah menuduhnya. Bahkan teman-temannya itu akan melaporkannya ke guru! Dalam hati Adrian ketakutan, gentar, ingin berontak tapi dia bingung bagaimana membela dirinya? Teman-temannya itu tak mau percaya padanya.
Akhirnya yang ia takutkan menjadi kenyataan. Menjelang pulang sekolah, Wali Kelas memanggilnya bersama teman-temannya. Mereka disuruh menghadap di ruang guru. Bu Lastri, Wali Kelas mereka yang berwajah galak telah menunggu mereka dengan raut wajah yang dingin.
“Duduk!” suruh Bu Lastri pelan, tapi cukup membuat bergidik anak-anak itu.
Ada lima anak yang menghadap di ruangan itu. Adrian, ketiga teman yang melaporkannya, dan anak yang sepedanya kena masalah. Lima murid kelas empat SD itu tertunduk segan di hadapan Bu Lastri.
“Adrian, Ibu mendapat laporan dari ketiga temanmu ini. Mereka bilang kamu menggemboskan sepeda milik temanmu. Betul begitu?” Bu Lastri langsung menginterogasi Adrian dengan nada datar dan dingin.
Adrian tertunduk takut. Dia tahu bagaimana harus menjawab, tapi lidahnya seperti sulit bergerak di hadapan Wali Kelasnya yang dingin itu.
“Ibu sudah memeriksa sepeda milik Dikta, dan memang benar ban-nya kempis. Benar begitu, Dikta?” ujar Bu Lastri, gantian melemparkan pandangannya ke Dikta.
Dikta, anak bertubuh kurus dan berkulit putih itu hanya mengangguk. Dia melirik Adrian dengan kesal, karena merasa Adrian telah berbuat jahil dengan cara menggembosi sepedanya.
“Ada tiga temanmu yang melihat, Adrian! Apa kamu masih tidak mau mengaku?” dengan pelan Bu Lastri mulai memojokkan Adrian.
“Bukan saya, Bu…” jawab Adrian lirih.
“Lalu siapa? Bimo, Galang dan Agus melihat kamu sedang menggembosi sepeda Dikta!” tekan Bu Lastri. Lalu guru berkaca mata itu menegaskan ulang kepada ketiga murid yang melapor padanya. “Benar begitu?”
“Iya, Bu, kami melihat Adrian waktu kami mau ke toilet. Dia sedang menggembosi sepeda milik Dikta…” jawab Galang menandaskan laporannya.
Bu Lastri segera menatap kembali ke Adrian, lebih tajam. “Bagaimana, Adrian? Ibu harus percaya sama tiga orang, atau satu orang?” tekannya dingin.
Adrian menatap keempat temannya. Lalu menatap Bu Lastri. Merasa terpojok, tapi…
“Bukan saya pelakunya!” Adrian tetap tidak mau mengakui dirinya bersalah.
Bu Lastri menghela nafas tanpa mengalihkan pandangannya terhadap Adrian. Lalu guru itu mengangguk-angguk sambil tersenyum pedas.
“Ibu juga akan usut lebih jauh, apa kamu juga yang menggembosi sepeda-sepeda lainnya beberapa waktu kemarin. Tapi karena kamu tidak mau mengaku, Ibu akan bicara dengan orang tuamu saja!” ucap Bu Lastri tajam.
Adrian terkesiap. Dadanya gemetar dan tubuhnya makin lemas.
“Jangan, Bu…” Adrian memohon. “Jangan bilang ke ayah sama ibu…”
“Bagaimana lagi? Ini masalah serius, Adrian. Kenakalan seperti ini sudah meresahkan! Ada saksi dan bukti bahwa kamu yang melakukan, tapi kalau kamu tetap tidak mau mengaku maka jalan satu-satunya Ibu harus bicara dengan orang tuamu,” tegas Bu Lastri, berusaha tetap tak terdengar membentak meski dia sudah sulit untuk bersabar.
Adrian tertunduk.
“Iya, Bu… Saya yang melakukan…” pengakuan itu akhirnya terucap lirih di mulut Adrian.
Bu Lastri setengah terbelalak. Menatap muridnya itu agak lama. Suasana di ruang itu hening. Keempat teman Adrian juga tak berani bersuara.
“Jadi benar kamu yang melakukan?” ulang Bu Lastri.
“Iya, Bu…” ucap Adrian tak berani mengangkat wajahnya.
“Berarti yang selama ini menggembosi banyak sepeda, itu juga kamu?”
Adrian mengangguk lesu.
Bu Lastri menghela nafas lagi, kali ini lebih panjang.
“Baiklah. Ibu menghargai kejujuranmu. Ibu tak akan menghukummu karena kamu sudah mau mengaku. Tapi cukup kali ini saja. Kalau kamu masih mengulangi perbuatanmu, Ibu akan menghukummu dan juga akan bicara dengan orang tuamu. Mengerti?” ujar Bu Lastri lebih halus. Meski tetap terasa tegas.
Adrian kembali hanya mengangguk.
“Sekarang kamu harus minta maaf ke Dikta!” suruh Bu Lastri.
Adrian ragu. Dia mengangkat wajanya, menatap ke Dikta dengan segan.
“Ayo, minta maaf!” desak Bu Lastri.
Adrian perlahan mengulurkan tangannya ke Dikta.
“Aku minta maaf…” ucap Adrian pelan.
Dikta menerima uluran tangan Adrian dengan enggan. Dia menjabatnya tanpa berucap apa-apa.
Bu Lastri akhirnya tersenyum lega.
“Ibu senang masalah selesai dengan baik-baik. Sudah, kalian semua boleh pulang,” ujar Bu Lastri lebih sejuk.
Kelima murid itu berdiri dari duduknya. Beranjak dari ruangan Bu Lastri.
“Dikta,” Bu Lastri memanggil salah satu muridnya lagi sebelum pulang. “Ban sepedamu bagaimana?”
“Sudah dipompa, Bu. Pak penjaga sekolah yang meminjami pompa,” jawab Dikta.
Bu Lastri tersenyum lepas. Kelima muridnya berlalu dari hadapannya.
Adrian, dengan pengakuannya tadi, kini merasa setidaknya beban hatinya menjadi lebih lega. Karena dia tidak akan bermasalah dengan orang tuanya. Meskipun, tetap saja ada pemberontakan tersendiri di dalam hatinya…
“Ah, setidaknya masalah sudah selesai!” begitu ucapnya dalam hati.
Tapi rupanya yang terjadi tidak sebaik harapannya.
Saat dia melangkah sendirian keluar dari gerbang sekolahnya, tiba-tiba teman-temannya menghampiri. Ada Bimo, Galang, Agus, dan beberapa temannya lagi yang mengerubunginya...
“Nggembos’ke ban! Nggembos’ke ban! Nggembos’ke ban!”
Teman-temannya itu bergerak mengelilinginya sambil mengolok-olok berirama. Riuh diiringi tawa yang mengejek.
Adrian terperanjat. Tapi dia hanya bisa diam tak bergeming, saat teman-temannya menari sambil mengolok-oloknya. Adrian cuma tertunduk. Tak membalas apapun terhadap ejekan teman-temannya. Dan teman-temannya tertawa makin riuh!
Di tempat yang tak jauh, Dikta melihat teman-temannya mengolok-olok Adrian. Dikta berdiri terpaku bersama sepedanya, ada kebingungan yang sulit diurainya saat melihat pemandangan itu. Bola matanya yang kecoklatan, perlahan tergerakkan oleh sesuatu…
Rasa kasihan.
“Hei, jangan diolok-olok! Dia sudah minta maaf!” tegur Dikta kepada teman-temannya.
“Biarpun sudah minta maaf, tetap saja dia anak jahat!” balas salah satu anak yang tak berhenti mengolok-olok.
“Sudah! Kasihan dia!” hardik Dikta lagi, meski dia tak berusaha melerai.
“Hei! Ada apa ini?!” tiba-tiba Bu Lastri muncul, baru keluar dari dalam sekolahan.
Anak-anak yang mengolok-olok Adrian itu segera bubar dengan sendirinya begitu tahu Wali Kelas mereka muncul. Mereka meninggalkan Adrian yang masih berdiri tertunduk di tempatnya.
Bu Lastri terhenyak melihat Adrian. Hanya terpaku. Begitu juga Dikta.
Perlahan Adrian meneruskan langkahnya. Dia tak menoleh kemana pun. Dia hanya tertunduk sedih, berjalan sendirian meninggalkan Dikta dan Bu Lastri yang masih terpana.
“Adrian, kamu tidak apa-apa?” akhirnya baru terlontar pertanyaan dari mulut Bu Lastri.
Adrian cuma menggeleng tanpa menoleh.
Anak itu meneruskan langkah kaki kecilnya.
Membawa pulang kesedihannya…
…
“Ricky, kamu melamun?” tiba-tiba ada suara memecah.
Ricky terkejap. Dia sadar dari lamunannya. Dilihatnya wajah senior pembimbing kelasnya, melongok di depan mukanya.
“Melamun atau mengantuk?” canda senior pembimbingnya itu. (Yang pasti bukan Faris.)
“Emhh…” Ricky tersenyum kikuk.
“Tampangmu agak bengap? Mau cuci muka dulu?”
“Nggak usah, Kak…” jawab Ricky agak malu.
“Oke. Kita teruskan!” timpal senior itu ambil kembali menuju ke depan berhadapan dengan murid-murid kelas X-A yang dibimbingnya. “Besok hari Jumat adalah MOS hari terakhir, tapi penutupan resminya dilaksanakan hari Sabtu! Sudah menjadi tradisi di sekolah ini, akan ada pentas kecil-kecilan. Kalian bisa berpartisipasi, menampilkan bakat seni kalian di pentas nanti…”
Bla, bla, bla… Kata-kata murid senior itu menguap dengan cepat di pendengaran Ricky. Sisa-sisa lamunan di kepala Ricky masih tersisa. Ya, tak sekedar lamunan. Tapi untaian kenangan…
Ricky menatap namanya yang tertulis di sampul bukunya. Dia pun tersenyum semu mengeja namanya sendiri dalam hati…
“Adrian Ricky Satria…”
#8 MENYAMBUNG MASA LALU
Adrian tak masuk sekolah hari itu. Dia tidak sedang sakit, ataupun sedang ada acara keluarga. Dia tak mau masuk sekolah karena tak mau diolok-olok lagi seperti kemarin. Gara-gara ban sepeda temannya yang bocor itu.
Tapi sore itu ada tamu yang mengejutkannya.
Tok, tok, tok...
Suara ketukan di pintu kamar Adrian. Tak lama kemudian pintu itu dibuka dari luar. Wajah seorang perempuan yang usianya menjelang paruh baya, menyembul dari balik pintu.
“Nak, ada Bu Guru sama temanmu datang…” ujar perempuan itu, ibu Adrian.
Tapi Adrian tak mau turun dari tempat tidurnya. Ia malah merapatkan selimutnya. Perlahan ibunya menghampiri, duduk di tepi tempat tidur dan menjamah lembut pundaknya.
“Mereka ingin ketemu,” ujar ibu Adrian pelan. “Mereka sudah jelaskan ke Ibu. Mereka ingin minta maaf. Temui dulu gih…”
Adrian tetap membisu. Akhirnya ibunya menyerah, tak berhasil membujuk anak bungsunya itu. Ibu Adrian kembali ke ruang tamu.
Saat ibunya sudah pergi dari kamarnya, Adrian segera bergegas turun dari tempat tidurnya. Anak itu merapatkan telinganya ke daun pintu. Sayup-sayup dia bisa mendengar percakapan di ruang tamu…
“Ya sudah, Bu, tak usah dipaksa. Tapi saya berharap besok Adrian sudah mau masuk sekolah lagi,” terdengar suara Bu Lastri.
“Maaf ya, Bu, dia memang bandel anaknya,” ujar ibu Adrian diikuti tawa sungkan.
“Oh, tidak, dia anak yang baik. Dia memang termasuk pendiam, tapi dia cerdas. Justru saya yang harus minta maaf karena sudah salah sangka padanya…” ucap Bu Lastri.
Adrian menangkap semua percakapan itu dari balik pintu kamarnya. Lalu terdengar mereka berpamitan…
“Dikta, ayo kita pulang,” Bu Lastri terdengar mengajak pulang orang yang datang bersamanya.
Dikta.
“Saya harus minta maaf dulu sama Adrian, Bu…” terdengar jawaban Dikta.
“Tapi ini sudah sore, Dikta?”
“Nggak apa-apa, Bu, saya bisa pulang sendiri. Saya tahu jalannya.”
Terjadi bujuk-tolak antara Bu Lastri dengan Dikta. Ibu Adrian juga ikut membujuk. Tapi Dikta tetap belum mau pulang. Di balik pintu kamarnya, Adrian termangu menyimak percakapan mereka.
“Ya sudah, Bu, tak usah kuatir. Nanti kalau kira-kira kemalaman, kami yang akan mengantarnya pulang,” ujar ibu Adrian, menawarkan jalan tengah untuk meyakinkan Bu Lastri yang cemas jika Dikta tak segera pulang.
Akhirnya perdebatan halus di ruang tamu itu menemukan kesepakatan. Bu Lastri memutuskan pulang lebih dulu. Di saat itulah, akhirnya Adrian mau keluar dari kamarnya. Dia melihat ibunya sedang mengantar Bu Lastri sampai di gerbang. Dan di ruang tamu itu hanya ada Dikta yang masih berseragam sekolah, masih duduk di tempatnya.
Mata kedua anak itu bertemu. Saling hening berpandangan. Dikta tampak tersenyum segan. Adrian duduk berhadapan dengannya…
“Aku mau minta maaf,” ucap Dikta lirih, agak gugup. “Aku sudah menuduhmu…”
“Bukan kamu yang menuduh, tapi Galang, Bimo sama Agus…” sahut Adrian pelan.
“Tapi aku percaya ucapan mereka!” timpal Dikta tampak menyesal.
“Bukankah ban sepedamu memang…?”
“Iya, tapi itu bukan ulahmu!” Dikta langsung memotong ucapan Adrian. “Kemarin waktu aku sampai rumah, ban sepedaku gembos lagi. Setelah diperiksa, ternyata karet tube-nya yang lapuk. Itu bukan ulah orang lain…”
Adrian terpana mendengar penjelasan Dikta. Sekilas ibu Adrian terlihat hendak masuk kembali ke rumah. Tapi begitu melihat kedua anak itu, ibu Adrian hanya tersenyum dan memilih mengurungkan niatnya, ia memilih duduk-duduk di beranda.
“Kamu mau maafin aku?” tanya Dikta lugu.
Adrian memandangi Dikta yang tampak segan padanya. Adrian mengangguk pelan, disertai senyum tipis yang sedikit canggung. Tapi itu sudah lebih dari cukup bagi Dikta untuk merasa lega.
“Makasih ya,” ucap Dikta dengan senyum lega.
Adrian hanya mengangguk lagi.
Sesaat kedua anak itu hanya saling terdiam. Sama-sama bingung, karena masing-masing masih terlalu canggung. Dikta mencoba mengusir kecanggungannya dengan memutar pandangannya, mengamati suasana rumah Adrian yang tak begitu besar tapi rapi dan tampak sejuk itu. Namun, rupanya itu tetap tak berhasil memberinya kalimat untuk berbasa-basi.
Akhirnya…
“Kalau begitu, aku harus segera pulang…” ucap Dikta.
“Kamu nggak dimarahi pulang terlalu sore?” tanya Adrian, sepertinya mulai bisa berbasa-basi sebelum kawannya itu pulang.
“Mungkin. Tapi nggak apa-apa,” jelas Dikta sambil berdiri dari duduknya.
“Aku bisa mengantarmu,” Adrian ikut berdiri.
Dikta sedikit mendelik. “Bukannya kamu sedang sakit?” tanyanya.
“Apa aku kelihatan sakit?” balik Adrian.
Dikta memandangi wajah Adrian yang ramah tapi agak kaku itu. Lalu Dikta tersenyum dan menggeleng. Adrian membalas, mulai bisa melebarkan senyumnya.
“Jadi, besok kamu sudah masuk sekolah lagi kan?” tanya Dikta.
“Iya,” jawab Adrian dengan senyum simpul.
Dikta tampak makin lega. Wajahnya kini berseri tanpa beban.
Dan ternyata Adrian tidak sedang berbasa-basi! Sore itu juga, dia berpamitan ke ibunya untuk mengantar Dikta. Meski sebenarnya agak keberatan karena hari sudah mau senja, tapi ibu Adrian akhirnya mengijinkannya karena setidaknya anaknya itu sudah tidak mengambeg lagi, dan itu sudah cukup membuatnya lega.
Adrian dan Dikta, dua bocah laki-laki itu dengan sepeda masing-masing menyusuri jalanan kampung pinggir kota yang mulai temaram di ambang petang. Tampaknya, keduanya mulai akrab. Tak seperti sebelumnya…
“Kenapa kamu jarang bersama teman? Kamu sering menyendiri!” lontar Dikta sambil mengayuh sepedanya.
Adrian agak bingung ditanyai masalah itu. “Aku nggak terlalu memikirkannya,” ujarnya.
“Apa kamu nggak suka berteman?”
“Aku nggak tahu berteman itu harus bagaimana…”
Dikta meringis memamerkan gigi putihnya saat mendengar jawaban Adrian. Jawaban temannya itu terasa agak lucu baginya.
“Kamu maafin aku, mengantarku pulang, itu termasuk cara buat menjadi teman!” seloroh Dikta.
Adrian cuma tersenyum polos mendengar ucapan Dikta.
Berkejaran dengan angin sore, menembus kilauan bias mentari yang keemasan, kedua bocah itu terus mengayuh sepedanya bersahutan dengan cerita, canda, dan derai tawa dari jiwa mereka yang masih belia. Hingga kelas empat di sekolah yang sama, tapi baru di hari itu mereka melihat ada sebuah awal bagi keakraban mereka!
Rumah Dikta tak sampai dua kilometer jaraknya dari rumah Adrian. Mereka akhirnya sampai. Adrian melihat rumah Dikta yang cukup besar dan tampak anggun itu, dengan pagar laksana jajaran lembing yang gagah dan indah.
“Ayo, masuk!” ajak Dikta sambil menuntun sepedanya memasuki gerbang.
Adrian mengikuti Dikta, memasuki halaman yang dihiasi cemara dan bunga-bunga yang tampak cantik. Dan, tampak dua orang sudah menanti mereka. Seorang perempuan berparas cantik seumuran ibu Adrian, dan seorang pria berkulit putih dengan berambut pirang yang tampak gagah. Orang tua Dikta. Mereka tersenyum melihat anaknya pulang.
“Kenapa sampai sesore ini?” ibu Dikta menyambut dengan lontaran pertanyaan.
“Ini Adrian,” ujar Dikta, memperkenalkan Adrian kepada orang tuanya.
“Oh, ini Adrian?” ibu Dikta tampak sedikit berbinar. Lalu ia menyalami Adrian.
Adrian tak mengira, orang tua Dikta menyambutnya seolah sudah tahu soal dirinya.
“Dikta sudah cerita kemarin, soal sepedanya itu. Tante suruh dia minta maaf langsung sama Adrian,” ujar ibu Dikta menjelaskan kepada Adrian.
“Iya, maafin Dikta ya,” imbuh ayah Dikta sedikit bercanda, dengan bahasa Indonesia yang fasih.
Adrian mengangguk agak malu. Kedua orang tua Dikta ternyata sangat ramah dan hangat. Bahkan tak memarahi anaknya yang pulang sesore itu. Sekilas Adrian juga tertarik mengamati ayah Dikta yang berambut pirang kekuningan, tampak berbeda dengan rambut Dikta yang coklat gelap. Warna mata ayah Dikta biru, berbeda dengan mata Dikta yang warnanya coklat tua. Sepertinya Dikta lebih mirip dengan ibunya.
“Masih baik hati pula mengantar Dikta pulang,” timpal ibu Dikta dengan senyum renyah.
Lalu Dikta segera sadar sesuatu.
“Terus, berarti kamu pulang sendiri?” tanya Dikta ke Adrian.
Dikta dan Adrian saling berpandangan, tampak bingung. Tadi mereka tak berpikir sampai ke situ waktu mereka berangkat dari rumah Adrian. Sekarang baru sadar, sore sudah bertambah remang dan tentunya Adrian harus segera pulang.
“Aku kadang juga pulang main jam segini. Nggak apa-apa kok, aku bisa pulang sendiri,” jawab Adrian.
Ayah Dikta geleng-geleng kepala. “Sudah, nanti Om antar!” ucapnya sambil tersenyum.
“Aku bisa pulang sendiri kok, Om…” Adrian menolak dengan sungkan.
“Nggak apa-apa. Om ada mobil pick up, sepedamu bisa dinaikkan.”
Adrian yang polos itu sulit untuk menolak lagi. Apalagi Dikta berulang kali mengangguk padanya, isyarat agar tak menolak.
“Sekarang kita makan dulu, yuk! Adrian mau ya?” bujuk ibu Dikta.
Adrian masih agak ragu.
“Sudah, ayo!” Dikta langsung menggamit tangan Adrian, menggandengnya masuk ke rumah mengikuti kedua orang tuanya.
Adrian mengikuti Dikta dan kedua orang tuanya memasuki rumah itu. Rumah keluarga Dikta sebenarnya tak terlalu mewah, lebih berkesan rumah model kuno tetapi anggun. Ada piano di ruang tamu, menempel di dinding dekat jendela. Kain gordennya berwarna putih dengan hiasan rajutan. Beberapa buffet terbuat dari kayu dan rotan yang ditata begitu rapi dan apik.
Sejenak mereka berhenti di ruang tengah.
“Adrian punya telepon di rumah?” tanya ayah Dikta. “Biar Om telepon, jadi orang tua tidak kuatir nanti.”
Adrian mengangguk. Ia memberikan nomor telepon rumahnya. Lalu ayah Dikta segera menghubungi nomor itu dengan ponselnya. Tak lama kemudian ayah Dikta terdengar bercakap-cakap dengan ibu Adrian lewat telepon, meminta ijin kalau Adrian tak bisa segera pulang dan nanti akan diantarkan ke rumahnya. Tidak terdengar rumit. Adrian juga berbicara kepada ibunya lewat ponsel yang dipinjamkan ayah Dikta. Tidak ada masalah.
“Ayo, kita ke ruang makan!” ajak ayah Dikta setelah menutup ponselnya.
Suasana di rumah itu memang menarik. Yang paling menarik bagi Adrian adalah suara musik yang mengisi atmosfer di dalam rumah itu. Musik yang mengalun dari sebuah CD Player. Musik yang berbeda dengan yang biasa dia dengar. Bukan musik pop, kedengarannya.
Sampai di ruang makan, Adrian duduk sambil termangu mendengarkan musik yang masih terdengar mengalun. Di ruang makan itu, untuk sementara Adrian ditemani ayah Dikta. Ibu Dikta menuju ke dapur. Sedangkan Dikta pergi ke kamarnya mengganti pakaian seragamnya. Tak lama kemudian Dikta sudah bergabung di ruang makan, duduk di sebelah Adrian.
“Ini musik apa?” tanya Adrian, berbisik ke Dikta.
“Ini musik Klasik,” bisik Dikta.
Adrian termangu. Selama ini dia tak terlalu memberi perhatian pada musik. Tapi musik yang dia dengar kali ini terasa berbeda. Itu memang bukan musik yang biasa dia dengar, tapi telinganya merasakan begitu nyaman dengan musik itu. Tenang, dan megah!
“Apa itu suara biola?” tanya Adrian lagi.
“Ya,” jawab Dikta.
“Adrian suka musik apa?” lontar ayah Adrian yang rupanya mendengar bisik-bisik dua anak itu. Pria itu tersenyum memandangi Adrian.
Adrian bingung menjawabnya. Dia tak tahu banyak soal musik. Dia hanya menggeleng malu-malu.
“Apa kamu suka mendengar musik yang ini?” tanya ayah Dikta lagi.
Adrian hanya mengangguk sambil tersenyum.
“Kenapa kamu suka?”
“Karena…” Adrian berpikir-pikir sejenak. “Enak didengarkan. Musiknya membuat tenang…”
Ayah Dikta tersenyum sipit mendengar jawaban Adrian yang lugu itu.
“Kenapa nggak ada lagunya, Om?” Adrian memberanikan diri bertanya.
“Kalau mau yang ada lagunya, juga ada. Tapi musik itu yang penting bisa menyalurkan rasa yang sama, dari penciptanya, dari pemainnya, kepada yang mendengarnya. Tanpa menjelaskan lewat syair lagu, tapi pendengar bisa merasakan isi musik itu. Maka, itulah musik yang hebat!” jelas ayah Dikta.
Adrian sebenarnya tak terlalu faham penjelasan yang diuraikan ayah Dikta. Dan rupanya ayah Dikta tahu itu.
“Menurut kamu, musik yang kita dengar sekarang musik tentang apa?” pancing ayah Dikta.
Adrian berpikir-pikir lagi. “Musiknya kalem. Tapi tidak sedih. Riang, tapi tidak tergesa-gesa. Hangat!” cetusnya setengah merenung, meresapi musik yang didengarnya.
Ayah Dikta tertawa renyai. “Om yakin, kamu punya bakat!”
Dikta ikut tersenyum memandangi Adrian yang tampak masih agak ragu itu.
Ya, itu memang musik yang hangat. Sehangat keluarga itu.
“Makanan sudah siap!” ibu Dikta yang tadi sempat menghilang ke dapur, kini bergabung di ruang tamu diikuti pembantunya yang ikut menyiapkan hidangan di meja makan.
Tampak saudara Dikta juga ikut bergabung, duduk di samping ayah Dikta. Jika Dikta masih ada sedikit kesan bule yang menurun dari ayahnya, maka kakaknya itu jauh berbeda. Kakak Dikta berkulit sawo matang agak cerah, berambut hitam dan begitu pula dengan warna matanya. Cuma hidung mereka yang sama, mancung.
“Ini temannya Dikta?” lontar kakak Dikta, yang seusia anak SMP itu.
“Sammy, duduknya yang sopan!” tukas ibu Dikta ke anak sulungnya itu.
“Dikta nangis tuh kemarin. Udah jahat sama teman, gitu katanya!” lontar Sammy, kakak Dikta itu sambil meledek adiknya.
Adrian sedikit terperangah dan menatap Dikta dengan agak kurang percaya. Dikta menangis?
“Apaan sih?!” tukas Dikta, cemberut diledek kakaknya.
“Dia nangis karena kamu meledeknya terus!” tukas ibu Dikta ke Sammy, membela Dikta.
“Sudah, ayo makan!” potong ayah Dikta menengahi.
Akhirnya, tak ada yang bisa menunda lagi untuk menikmati hidangan yang sudah siap.
Mengobrol soal musik, saling ledek antara kakak-adik, seorang ayah yang sabar, ibu yang bijaksana… Adrian berada di tengah-tengah mereka, di sebuah makan bersama yang begitu hangat.
Tak mungkin Adrian bisa melupakan kesan-kesan itu.
Awal persahabatannya dengan Dikta.
Hal indah yang tak pernah dia tahu sebelumnya…
#9 SEKARANG TAK SEPERTI MASA LALU
Ricky tersenyum di akhir lamunannya.
Kenangan itu memang indah. Dan dalam hatinya, ia semakin yakin bahwa murid baru yang hari ini telah dilihatnya adalah orang yang sama dengan yang ada di masa lalunya…
Dikta, sahabatnya.
Ricky meraih biolanya. Mengamati sejenak benda berdawai itu. Jika kini ia bisa memainkan benda yang bersuara merdu menyayat itu, itu tak lepas dari perkenalannya dengan Dikta. Persahabatan yang menjembatani dirinya ke dalam dunia yang lebih kaya akan melodi dan harmoni. Dan sebaliknya, musik pun memberinya sayap untuk mengenal lebih jauh persahabatan itu sendiri. Tentang manis dan pahitnya.
Dia tak meneruskan syair lagu itu. Tapi dia kembali meraih penggesek, lalu meneruskan permainan biolanya dengan gesekan indah yang menyayat keheningan kamarnya. Meneruskan lagu itu hingga pungkas…
Hingga ia terdiam sendiri di akhir lagu. Berdiri terpaku merasakan hempasan masa lalu di dalam dadanya. Tentang sahabat yang pernah hilang darinya.
Tentang kenangan paling tersembunyi…
Sebuah tragedi!
Ricky meremas rambutnya, melemparkan biolanya ke atas kasur. Terduduk lesu. Dia ingin menyudahi saja kenangan itu. Karena persahabatan itu tak hanya manis, tapi juga pahit.
“Sudahlah! Biar saja kembali menjadi masa lalu. Sekarang semua sudah berubah. Mungkin diapun sudah berubah sejak kejadian itu, dan tak ingin menguaknya lagi…” dalam kegundahan, Ricky bertandas dalam hati.
Ricky sendiri juga melihat, kondisi hidupnya sudah berubah dan jauh berbeda dari yang dulu. Orang tuanya bercerai untuk alasan yang begitu egois, dan itu tak pernah disangkanya. Kehidupan keluarganya tak pernah hangat lagi sejak itu. Dan dia pun kini tak lagi tinggal di rumah bersama keluarganya. Dia kini tinggal di kamar yang kecil itu. Kamar kost, sendiri dan kesepian. Tapi, setidaknya kesendirian itu memang masih lebih baik baginya. Daripada tinggal di rumahnya yang dulu, di mana yang manis hanyalah berupa kenangan.
Jika yang manis itu hanya kenangan, maka kenyataan adalah hal pahit yang tersisa. Dan bagi Ricky, itu terlalu pahit.
Ricky menghela nafasnya dalam-dalam. Kini ia harus bisa beradaptasi dengan kehidupan baru yang dipilihnya. Tinggal di tempat itu, berhadapan dengan orang-orang baru yang baik tapi juga tidak selalu membuatnya nyaman.
Ia berdiri lagi, menatap wajahnya di cermin. Memandangi wajahnya yang bengap. Pilek telah menyerangnya. Dan itu gara-gara Tante Welly. Ibu kost-nya itu kemarin dengan usil memberinya jamu yang seharusnya tak diminumnya. Semalaman kepalanya terasa berat dan sekujur tubuh terasa gerah. Sampai terpaksa tidur tanpa baju. Hasilnya, begitu bangun tadi pagi malah pilek menyumbat hidungnya!
Ricky melongok keranjang sampahnya yang telah penuh. Dia membawanya keluar, lalu membuang semua isinya ke tempat sampah yang ada di luar. Dia kembali ke kamar, dan beberapa saat kemudian keranjang sampahnya telah terisi lagi. Diisi oleh gumpalan-gumpalan tisu yang habis dipakai untuk membersihkan hidungnya. Namanya pilek memang merepotkan.
Ricky menyiapkan obat yang sudah dibelinya. Lalu menelan pil itu bersama segelas air putih…
“Kak Ricky, coli tuh apa sih?”
Pertanyaan yang tiba-tiba itu sukses membuat Ricky tersedak, dan menyemburkan kembali pil-nya keluar! Dengan raut yang belum hilang dari rasa kaget, Ricky melihat anak kecil yang dengan polosnya berdiri di muka pintu kamarnya. Anak kecil yang merentang selembar kertas kucal.
“Hahhh?!!” sentak Ricky terbengong-bengong.
Vino, anak itu seolah tak sadar dia baru saja membuat Ricky gagal menelan obat. Anak bertubuh agak montok itu membaca lagi isi kertas yang dibawanya…
“Aku suka coli!”
Ricky langsung merebut kertas itu dari tangan Vino!
“Kenapa kamu pungut lagi?! Ini tadi sudah kubuang!” hardik Ricky.
Vino terperanjat saat Ricky tampak agak marah padanya.
“Maaf, Kak… Aku cuma iseng aja…” ucap Vino jadi takut.
Ricky menyadari bocah di hadapannya itu menjadi takut padanya. Seorang bocah yang tak tahu apa yang diperbuatnya…
Ricky mendesah. “Lain kali nggak boleh gini lagi ya! Ini namanya nggak sopan!” ujarnya menasehati dengan nada lebih lunak.
Vino mengangguk pelan tampak menyesal. Ricky meremas kertas milik Faris itu, lalu membuangnya lagi ke keranjang sampah.
“Memangnya coli apaan, Kak?” ternyata Vino masih meminta jawaban soal itu.
Ricky menghela nafas. Dalam hatinya serba salah. Tak pernah mengira akan ditodong pertanyaan seperti itu oleh seorang anak berumur sebelas tahun! Ricky duduk di tepi dipannya, mengusap-usap rambutnya dengan wajah payah. Memandangi Vino yang tersenyum-senyum penuh rasa ingin tahu itu.
“Nanti kamu akan tahu sendiri!” ucap Ricky.
Vino menciutkan senyumnya. “Kapan?” tanyanya, tak mau menyerah.
“Kalau kamu sudah besar.”
“Kalau sudah SMA?”
“Mungkin!”
Vino cemberut. “Masih lama dong!” keluhnya.
Ricky menghela nafas lagi, mulai jengah. “Lebih baik begitu. Sudah, aku mau istirahat dulu ya!” tukasnya kemudian.
Vino tak beranjak dari muka pintu meski Ricky sudah mengusirnya secara halus. Bocah itu malah masuk, lalu duduk dengan santainya di kursi. Ricky bersabar sebisa mungkin menahan kejengkelannya.
“Tadi aku habis berantem, Kak…” ternyata Vino ingin membagi cerita.
Antara sabar dan jengah, Ricky bingung harus bagaimana menangani anak ibu kost-nya itu. Dia memilih diam, mendengarkan cerita Vino dengan acuh tak acuh.
“Aku sampai mimisan tadi. Tapi untung nggak ada bekasnya. Kalau ketahuan Mama, aku bisa dimarahi!” cerita Vino sambil mengusap hidungnya.
“Kenapa sampai berkelahi?” akhirnya Ricky bertanya.
“Habisnya si Egi nyebelin!” gerutu Vino.
“Egi?”
“Iya, Egi. Temanku yang rumahnya dekat sini.”
“Nyebelinnya kenapa?” kulik Ricky.
Vino memasang wajah kesal. “Dia bilang Kibum lebih cakep dari Siwon!” lontarnya.
Ricky bengong.
“Memangnya kenapa kalau dia bilang begitu?” lontarnya kemudian. Bingung.
“Jelas aja salah! Siwon itu paling cakep di Suju! Lee Teuk aja juga bilang begitu. Siwon itu paling kaya, badannya paling bagus, dan wajahnya paling cakep. Kibum juga cakep, tapi masih cakepan Siwon. Lagian Kibum kan udah nggak gabung sama Suju, dia udah keluar dari Suju!” jelas Vino fasih dan berapi-api.
Ricky tambah bengong!
“Aku udah jelasin gitu ke Egi, tapi dia tetap ngotot katanya Kibum lebih cakep. Aku kesal sama dia!” gerutu Vino.
“Kamu pukul dia?”
“Aku tendang sepedanya! Tapi dia malah mukul aku, jadi aku balas dong, Kak!”
Ricky menelan ludah mendengar curhatan Vino. Serasa ingin mengelus dada. Terus terang, Ricky menyadari dirinya tak tahu apa-apa soal artis-artis yang dibicarakan Vino itu.
Tapi dia tahu bagaimana harus meluruskan masalah seperti itu.
“Ehmmm… Artis-artis yang kamu bilang itu, apa mereka pernah berantem?” tanya Ricky mulai mengurai benang masalah.
“Siwon itu jago Tae Kwon Do, dia pasti bisa berkelahi!” ucap Vino lantang.
“Kalau dia bisa berkelahi, apa berarti dia senang berkelahi?” balas Ricky.
Vino gantian bengong sekarang. Tak bisa menjawab.
“Siapa tadi nama mereka?” ulang Ricky.
“Siwon sama Kibum.”
“Oke. Apa mereka berdua pernah berantem soal mana yang lebih cakep di antara mereka?”
Vino kembali bengong menerima pertanyaan dari Ricky. Lalu dia menggeleng.
Ricky tersenyum geli. “Nah, mereka aja nggak pernah berkelahi kan? Terus kenapa kalian malah berkelahi?” ujarnya santai.
Kini Vino mulai tersenyum malu-malu. Mulai faham bahwa pendapat Ricky itu benar.
“Menurut kamu, idolamu itu cakep?” pancing Ricky lagi.
“Ya cakep lah, Kak! Badannya juga keren, perutnya kotak-kotak. Kak Ricky kemarin lihat kan waktu aku putar DVD-nya di kamar? Siwon itu yang buka baju, masih ingat kan?” sahut Vino menggebu-gebu.
Ricky cuma menelan senyum, karena dia tak ingat sama sekali. Yang dia ingat, Vino yang melempar bajunya.
“Jadi dia cakep kan? Tapi kalau dia suka berkelahi, apa wajahnya bisa tetap cakep? Kan sering kena tonjok, kena pukul, gimana bisa cakep?” canda Ricky menyentil Vino.
Vino manggut-manggut. Baru bisa berpikir ke situ setelah Ricky menasehatinya.
“Dia idolamu kan? Kamu mau mencontoh dia apa nggak?” umpan Ricky.
“Iya lah!” jawab Vino malu-malu.
“Kalau begitu, kamu harus baikan sama temanmu. Minta maaf ke dia, dan jangan berantem lagi! Idola kalian aja rukun-rukun, malu lah sama mereka!” cibir Ricky.
“Iya ya, Kak…” Vino garuk-garuk kepala. “Iya deh, aku nanti baikan sama Egi...”
Ricky tersenyum puas. Itu artinya…
“Sip! Ya udah, aku mau istirahat dulu. Kamu pulang sana!” akhirnya setelah berbaik hati mendengarkan konsultasi Vino, Ricky menyuruh anak itu cepat pergi.
Ricky menggamit pundak Vino, dan menggiringnya sampai ke luar kamar. Anak itu rupanya juga tak keberatan dan tak merasa kalau sedang diusir.
“Makasih ya, Kak!” ucap Vino dengan senyum kuda.
“Kalau berantem lagi, aku bilangin ke Mama-mu!” tegas Ricky.
Setelah anak itu benar-benar pulang, Ricky kembali masuk ke kamar dan menutup pintunya. Lalu dia kembali menyiapkan obat pilek yang tadi gagal dia minum. Dengan segelas air putih, dia menelan pil itu untuk kedua kalinya.
Ckrek!
Pintu kamar Ricky tiba-tiba terbuka lagi, dan…
“Anak tadi tanya soal coli?”
Untuk kedua kalinya pula, Ricky kembali memuntahkan obatnya!
Edo tertawa di muka pintu, melihat Ricky yang kaget sampai memuntahkan isi mulutnya.
“Sorry, sorry...! Aku ngagetin ya?!” seloroh Edo cengengesan mengumbar tawa.
Lalu secara tak sengaja, mata Edo menangkap isi keranjang sampah milik Ricky. Keranjang sampah yang penuh gumpalan tisu.
Edo tertawa lagi. “Ohh! Apa kamu habis…?”
Belum selesai Edo bertanya, Ricky sudah menghempas tubuh penguping itu hingga keluar dari bibir pintu. Ditambah satu tendangan melayang ke bokongnya!
Lalu…
BLAM!!!
Ricky membanting pintu dan menguncinya!
Beradaptasi dengan lingkungan baru, bukan berarti memberi waktu kepada para pengganggu!!!
bersambung...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar