Karung 14
Orang-Orang di Kamar Luar
Karena Mas Awan sudah menebak lebih dulu
bahwa aku adalah ‘Denis saudaranya Dimas’, otomatis itu menjadi
perkenalan kami pada pertemuan pertama ini. Tinggal Fandy yang perlu
memperkenalkan dirinya. Saat dia menyebutkan nama sambil menjabatkan
tangan, ternyata Mas Awan juga sudah mengenalinya.
“Oh, Dimas juga sudah cerita tentang Bli,” sahut Mas Awan menanggapi perkenalan Fandy. Aku menangkap ekspresinya seperti sedikit kaget, bercampur kagum.
“Pasti dibangga-banggain sama Dimas,” sindirku.
Aku tak bisa menjelaskan apakah Mas Awan
tertawa atau tersenyum saat menanggapi celetukku. Bibirnya terbuka
datar, sedikit menunjukkan gigi dan pundaknya bergerak, tapi tak
terdengar suara. Tak banyak percakapan pada perjumpaan di depan pasar.
Karena Mas Awan segera mengajak kami untuk masuk ke mobilnya. Aku duduk
di depan, di sebelah Mas Awan yang menyetir. Otomatis Fandy harus duduk
di jok belakang sendiri, tapi kurasa dia tak butuh dikasihani.
Aku mengerti bahwa pertemuan selalu
membutuhkan basa-basi. Seperti halnya kita butuh pemanasan saat
berolahraga. Perjalanan Solo-Jembrana adalah rute yang jauh sekali, dan
kereta api kelas ekonomi adalah kendaraan yang melelahkan. Kami tahu
masalah apa yang mempertemukan kami, tapi langsung membicarakan perkara
Dimas akan membuat pertemuan ini jadi tegang. Menurutku, orang yang
simpatik adalah yang tahu kapan harus serius, dan kapan harus
berbasa-basi. Tapi bisa membuat basa-basi yang menarik, itu baru orang
yang asyik!
“Kalian sudah pada sarapan?” Mas Awan melempar kode. Nah, itu asyik!
“Sarapan roti, Mas,” sahutku agak sungkan. Tapi dalam hati berharap tawaran itu ‘basa-basi yang bukan basa-basi’.
“Kita mampir dulu, ya,” sambung Mas Awan. Nah, pasti mampir untuk sarapan!
“Tadi aku sempat agak bingung waktu di
SMS Mas Awan menyebut ‘stanplat’. Itu ada hubungannya dengan daerah
tadi, Mas?” basa-basi kualihkan, pura-pura nggak terlalu mikirin soal
sarapan.
“Itu sebutan lama, dari Bahasa Belanda,” jelas Mas Awan. “Stanplat
artinya terminal. Dulu kawasan Terminal Negara sangat ramai, karena
semua kendaraan umum dari daerah-daerah di Jembrana berhenti di sana.
Kebanyakan kaum pedagang, tujuannya adalah pasar yang ada tepat di depan
terminal. Namanya Pasar Senggol, dulu itu yang paling ramai di
Jembrana. Kadang nama stanplat juga dihubungkan dengan pasar
itu, karena masih satu kawasan. Ramainya Pasar Senggol memang tak bisa
dilepaskan dari Terminal Negara. Tapi sekarang terminal tak seramai
dulu. Bali di manapun tempat sudah dipenuhi kendaraan pribadi. Pasar
Senggol di Negara ikut surut, karena sekarang juga sudah ada pasar di
daerah-daerah, ditambah mall dan mini market di mana-mana. Nama stanplat juga mulai dilupakan, biasanya cuma dipakai oleh orang-orang tua saja.”
Kusimak cerita itu, dan timbul satu pertanyaan di dalam kepalaku: Lalu kenapa Mas Awan memakai istilah itu, stanplat? Kurasa dia belum cukup tua?
“Tapi nama yang mengandung unsur
nostalgia, apalagi bagi orang banyak, biasanya akan tetap diingat kok,
Mas,” Fandy di jok belakang menimbrung. “Di kotaku, di Sragen, ada
daerah yang disebut ‘terminal lama’. Kadang juga disebut ‘Martonegaran’,
karena dulu itulah nama terminalnya. Sekarang sudah nggak ada jejak
bangunan terminal di sana, sudah hilang sama sekali. Tapi orang-orang
tetap lebih sering menyebutnya daerah ‘terminal lama’ atau
‘Martonegaran’. Padahal nama asli wilayah tersebut bukan itu.”
Mas Awan tertawa, kali ini terdengar sedikit suaranya. “Wah, saya setuju itu. Semua orang mencintai nostalgia!” selorohnya.
“Di dekat Terminal Martonegaran itu dulu
ada gedung bioskop,” Fandy masih meneruskan dongengnya. “Sekarang bekas
gedung bioskop itu masih ada, tapi terminalnya sudah berubah jadi
pertokoan. Aku belum lahir waktu gedung bioskop dan terminal itu
ditutup. Tapi anak-anak muda seperti aku tetap tahu nama ‘Martonegaran’,
dan tetap memakainya. Karena generasi yang lebih tua berhasil
mewariskan nostalgia mereka tentang tempat itu.”
“Betul, tanpa kita sadari,” sahut Mas Awan. “Sama halnya dengan stanplat,
nama itu dipakai sejak jaman Belanda. Nama itu masih eksis sampai
sekarang, karena orang-orang tua berhasil mewariskan kenangan mereka.
Biarpun sekarang istilah ‘terminal’ lebih lazim, istilah ‘stanplat’ juga
tetap bertahan.”
Kayaknya Mas Awan lebih
klop dengan Fandy. Kayaknya Si Unyu itu memang punya bakat merayu orang,
khususnya di bidang ‘cowok sama cowok’. Dia berhasil membikin Bule
Perancis nyosor bibirnya. Sekarang Mas-Mas Bali dia ganjenin juga. Dan… sekarang aku mulai menyesal pernah ngebiarin dia tidur di
pundakku! Dan aku malah mengunggah foto itu ke internet? Jangan-jangan,
tanpa kusadari sebenarnya aku sudah kena peletnya? My gosh…!
“Ini yang paling enak di Negara,” ujar
Mas Awan ketika membelokkan mobilnya masuk ke halaman sebuah rumah
makan. Lagi, rumah makan dengan menu utama Ayam Betutu. Sama dengan
Warung Ketut tempat kami tadi menunggu. Tapi karena Mas Awan bilang
inilah yang terenak, kunaikkan satu level lagi predikat ‘asyik’ padanya.
Tapi soal rumah makan ini, dengan
predikat ‘yang terenak’ seharusnya bisa membuatnya ramai. Kubayangkan
sebuah rumah makan dengan reputasi sebaik itu di Bali, mungkin akan
lebih meyakinkan jika bangunannya terdiri dari gazebo-gazebo bernuansa
etnik, dilengkapi taman, kolam dan sebagainya, dan ramai. Tidak, rumah
makan ini cuma satu bangunan besar seperti pendapa. Nuansa Bali-nya
memang ada, meski bisa dibilang sederhana. Ramai juga tidak,
pengunjungnya cuma beberapa. Tapi soal nyaman, aku nggak bilang ini
nggak nyaman.
Kusempatkan cuci tangan dan muka mumpung
ada wastafel. Fandy mengikutiku. Lalu kami berdua duduk lebih dulu. Mas
Awan sedang bicara dengan pramusaji di bagian reservasi. Dari sana dia
menawari minuman apa yang ingin kami pesan. Aku dan Fandy menyebut
pesanan minum masing-masing. Kami cuma ditawari minum, makan tidak. Ini
jadi sedikit aneh. Menurutku akan lebih cair kalau aku dan Fandy bisa
memilih menu sendiri. Apa Mas Awan takut kami akan memilih yang
mahal-mahal? Hehehe…. Kami kelihatan rakus, ya? Nggak juga, ah. Aku dan Fandy kurus-kurus begini.
Mas Awan sudah bergabung bersama kami,
dia mengambil duduk dan segera membahas, “Sampai sekarang Dimas masih
belum menghubungi kalian?”
Kuambil sikap lebih serius. Kuulangi
penjelasanku kurang lebih sama seperti ketika di telepon, “Kepada
keluarganya belum sama sekali, Mas. Kami tahu dia ada di Bali, tapi
nggak jelas Bali-nya di mana, dia nggak pernah ngasih kabar. Dia malah
kirim surat ke Fandy, tapi juga nggak ada alamat yang jelas.”
Fandy tampak agak kesal saat kusinggung
soal surat Dimas. Mas Awan melempar pandang sekilas padanya, tersenyum
tipis lalu segera berpaling lagi padaku. “Sepertinya dia terlalu kecewa
kepada keluarga?” timpalnya agak ragu. Lalu cepat-cepat melanjutkan,
“Tapi semoga tidak begitu.”
“Dia juga belum menghubungi Mas Awan lagi?” tanyaku.
Mas Awan menggeleng. “Terakhir saya
menghubungi Dika, katanya Dimas juga belum menghubunginya. Kami
sama-sama tidak tahu di mana dia.”
Aku kecewa mendengarnya. “Waktu Mas Awan ketemu Dimas, apa saja yang dia bicarakan?” selidikku.
“Awalnya saya kira dia sedang berlibur di
sini,” Mas Awan bercerita, “jadi seharian saya ajak keliling Jembrana.
Sorenya saya sarankan dia untuk menginap di rumah saya. Dia setuju
menginap semalam. Baru malamnya itu dia cerita, kalau dia sedang ada
masalah keluarga.”
“Apa saja yang dia ceritakan?” pancingku.
Mas Awan menatap kami bergantian dengan
senyum segan. Dia tampak sungkan untuk membicarakan secara gamblang.
“Kita semua sudah tahu, bukan? Intinya adalah soal jatidirinya itu, dan
penolakan dari pihak keluarga,” jelasnya diplomatis.
Aku membuang napas. “Tapi apa yang dia cari di sini? Apa yang dia harapkan dengan cara begini?”
“Saya tanya dia, apakah selamanya dia akan kabur? Dia jawab, tidak mungkin. Kalau begitu sampai kapan? Dia jawab, sampai keadaan sudah membaik.
Tapi dia juga tak tahu itu kapan. Akhirnya saya sederhanakan, apa saja
yang sudah dia rencanakan selama tinggal di sini? Dia bilang dia juga
belum tahu pasti. Tapi dia akan lakukan apapun yang diperlukan untuk survive.”
“Apapun?” aku termangu, menebalkan kata itu.
“Kedengaran tidak baik, ya?” sahut Mas
Awan disertai senyum masam. “Tentu bukan bermaksud menghalalkan semua
cara. Karena itu saya ajak Dimas ke Badung. Saya kenalkan ke Dika, siapa
tahu bisa bantu mencarikan Dimas pekerjaan. Tapi waktu itu tak langsung
dapat. Dimas kembali lagi ke Denpasar, katanya selama di Bali dia
tinggal di rumah sahabat ayah kalian. Sekitar dua minggu kemudian baru
dia menemui Dika lagi. Dia mendapat pekerjaan, tapi hanya untuk
sementara. Sejak itu dia tinggal di Badung, kira-kira satu bulan.”
“Kata Mas Dika, cuma untuk menggantikan
karyawan yang sakit,” aku menyambung berdasarkan kejelasan yang sudah
kuterima. Mas Awan mengangguk, membenarkan. Sambungku lagi, “Waktu Dimas
pamitan, apa sama sekali nggak bilang apa-apa dia mau ke mana?”
Mas Awan mengangkat bahu. “Mungkin Dika bisa menjelaskan lebih banyak soal itu.”
Aku dan Fandy berpandang-pandangan, sama-sama menatap jalan buntu pada pencarian kami di sini. Artinya, kami memang harus ke Badung, menemui seorang lainnya yang bernama Dika. Melacak di sana.
“Tunggu,” tiba-tiba Fandy mengerling sesuatu, “tadi Mas Awan bilang Dimas ke Denpasar, tinggal di rumah teman ayahnya?”
Kali ini gantian aku dan Mas Awan berpandang-pandangan. Kuhela napas, menyiapkan penjelasan atas ketidaktahuan Fandy itu. “Fan, sorry aku belum cerita. Sebenarnya waktu Dimas pergi, dia pamit ke ayahku. Dia rencanakan itu dengan Papa.”
Fandy mengangkat kedua tangannya di atas meja disertai raut bingung. “Kok…?”
Kujelaskan semuanya kepada Fandy, tentang
persekongkolan Dimas dengan Papa. Panjang-lebar, kubuka semua detail di
balik perginya Dimas, berdasarkan yang kutahu. Pacar Dimas itu pun
terkesima. Begitu juga Mas Awan.
“Sorry, aku baru jelasin
sekarang. Ini memang memalukan,” ucapku bercampur keluh. “Semua karena
ulah Papa-ku juga, yang bikin keputusan sembrono. Kalau Dimas sampai
nggak ketemu dan nggak pulang… keluargaku beneran akan berantakan.
Mati-matian akan kucari, tapi… waktuku juga terbatas.”
Kami bertiga terdiam beberapa waktu. Cuma ada suara lalat yang mengusik, tapi aku berhasil menepuknya.
“Semoga Dika bisa membantu lebih banyak,” gumam Mas Awan mengakhiri kebisuan.
“Kami memang sudah menyiapkan rencana untuk ke Badung,” ucapku datar.
“Kapan kalian mau ke Badung?”
“Hari ini sekalian, Mas. Waktu kami nggak banyak soalnya.”
Mas Awan buru-buru menahan, “Perjalanan
dari Solo pasti capek sekali. Mampir ke rumah saya, istirahat saja dulu
sesiangan ini. Nanti sore saya antar kalian ke Badung.”
Aku menimpal agak sungkan, “Makasih, Mas,
kami memang butuh sedikit istirahat. Tapi maaf, kami inginnya tak
merepotkan Mas Awan. Ke Badung cukup jauh, kan? Kami bisa ke sana
sendiri, kok. Mas Awan tinggal beri alamatnya saja…”
Mas Awan cepat-cepat mengangkat telapak
tangannya diikuti senyum maklum. “Dika sudah beritahu saya soal rencana
kalian. Saya sudah bilang ke dia, saya bisa antar kalian. Saya tidak
repot. Kalianlah yang malah repot kalau mencari sendiri ke sana.”
“Tapi… ini bukannya musim sibuk, Mas? Nggak mengganggu pekerjaan Mas Awan?”
“Kalau saya sedang bekerja, saya tak akan sempat menjemput kalian,” ujarnya memungkasi tarik-ulur. Ya sudah.
“Oke. Terima kasih kalau begitu,” ucapku pelan. Kuambil keuntungan ini biarpun hati sungkan.
Pembicaraan serius disudahi bersamaan
dengan datangnya menu sarapan yang dipesankan untuk kami. Mas Awan
menyebut sambil menunjuk: Ayam Betutu, Plecing Kangkung, dan Sambal
Matah. Wow, jadi dia nggak ngasih kami kesempatan untuk memilih sendiri
bukan karena pelit. Tapi karena, mungkin, dia merasa lebih tahu apa saja
yang spesial.
“Di sini yang terenak,” Mas Awan mengulangi sugestinya.
Kami bertiga mulai menyantap. Ini pertama kalinya aku makan Ayam Betutu. Hmmmm, oke, memang enak.
“Sebenarnya ini agak-agak mirip, di Jawa
namanya Garang Asem. Cuma yang ini pedasnya lebih nampar!” aku
mengomentari sambil menahan pedas.
“Ini pedasnya sampai ke dalam daging-dagingnya,” Fandy juga berkomentar dengan bibir termonyong-monyong.
“Bikinnya dengan cara dipanggang di dalam tanah kan, Mas?” sahutku.
“Dulunya begitu. Tapi sekarang sudah
banyak yang pakai oven modern. Waktu dipanggang dalam kondisi dibuntal
ketat memakai daun pisang, jadi bumbunya benar-benar merasuk dan
aromanya khas. Tapi sekarang sudah banyak yang pakai alumunium foil, lebih praktis dan tidak cepat basi. Tidak banyak yang masih pakai cara tradisional. Salah satunya rumah makan ini.”
“Unsur nostalgia ya, Mas?” lagi-lagi Fandy menyinggung soal itu.
Mas Awan tertawa. “Unsur rasa. Mana yang lebih enak.”
Sarapan kami serba pedas. Ayam Betutu
saja sudah pedas, Sambal Matah menambahinya dengan pedas-masam. Plecing
Kangkung juga mengandung sambal, tapi rasa kangkung yang manis agak
tawar plus taburan kacang menjadi unsur penetralisir untuk semua yang
pedas itu. Tetap saja, ini adalah sarapan yang (masih) pedas. Semoga
setelah ini perutku nggak trouble!
Kami tak melanjutkan obrolan serius soal
Dimas. Kami makan sambil berbasa-basi soal yang lainnya. Aku memang
butuh istirahat dulu dari perjalanan yang melelahkan ini, termasuk
mengistirahatkan pikiran agar lebih rileks. Berhenti sejenak memusingkan
Dimas.
Sarapan selesai. Bertolak dari rumah
makan, Mas Awan mengajak kami ke rumahnya. Mobil membawa kami menjauhi
suasana kota. Mataku sudah mulai memberat. Tapi pemandangan yang kami
lewati berhasil menahan mataku untuk tetap terjaga.
“Pedesaan yang menyenangkan,” di jok belakang Fandy bergumam.
Seperti yang sudah kubayangkan, suasana
di pedesaan akan lebih memperlihatkan pemandangan khas Bali. Rumah-rumah
berdinding bata merah, dilengkapi pagar dan gapura bertatah. Dan satu
lagi baru kusadari, hampir di tiap halaman rumah selalu terdapat pohon
kamboja. Frangipani. Sawah-sawah terlihat hijau mau menguning.
Hamparannya berliuk-liuk. Meski tak sedramatis yang pernah kulihat di
foto-foto, ini tetap menjadi pemandangan yang menyegarkan mata. Juga tak
biasa bagiku melihat sawah-sawah dilengkapi altar kecil berisi sesajen.
Nggak ada yang seperti ini di Jawa. Mengesankan.
Mobil memasuki halaman sebuah rumah yang
dipagari tembok rendah, dengan gerbang berbentuk gapura. Terletak tak
jauh dari areal pesawahan, cuma terpaut jalan kecil dan parit irigasi.
Saat turun dari mobil, pandanganku mengitari tiap sisi halaman. Rumah di
depanku cukup besar, walau tak terkesan mewah. Temboknya plesteran
bercat putih, bukan tembok bata merah. Tapi di bagian atap ada
genting-genting hiasan berbentuk seperti sayap-sayap dengan ukiran
rumit, kusimpulkan sebagai gaya Bali (mungkin orang Bali pun akan
gantian terpukau melihat atap rumah orang Jawa dihiasi wayang, atau
patung ayam jago). Tak ketinggalan, ada dua pohon kamboja di halaman,
bunga-bunganya berguguran cukup banyak di tanah. Di salah satu sudut
depan halaman, ada semacam altar untuk bersembahyang. Di sudut yang
berseberangan ada semacam balai kecil seukuran pos ronda, beratap
alang-alang. Sebuah rumah modern, tapi meminjam istilah Fandy: masih
menyisakan unsur nostalgia. Lebih tepatnya: tradisional.
“Selamat datang di rumah saya,” seloroh Mas Awan disertai senyum tipis. Dia mengajak kami masuk ke dalam.
Mas Awan meninggalkan kami di ruang tamu.
Aku dan Fandy duduk-duduk merenggangkan otot, di ruangan yang terasa
sejuk ini. Kupandangi bergantian pajangan di dinding, ada topeng kayu,
lukisan pemandangan gunung, dan gambar-gambar dewa Hindu. Ada aroma
harum dupa yang tercium samar-samar oleh hidungku. Suasana suram dan
lengang, tapi tak terasa mencekam.
“Suasananya enak,” gumam Fandy sambil menggeliatkan tangan. “Vibrasi di rumah ini menenangkan sekali.”
Aku nggak ngerti omongannya. “Aku tahunya vibrator,” sahutku.
Dia melotot jutek sambil berbisik ketus. “Hati-hati kalau ngomong. Ini Bali! Semua rumah di Bali bukan rumah sembarangan.”
“Tapi aku nggak paham bahasamu,” balasku cuek.
Mas Awan kembali ke ruang tamu, sekarang
bersama seorang perempuan yang kelihatannya sudah berusia lima puluh
tahunan. Mudah kuduga, dia adalah ibu Mas Awan. Tubuhnya langsing,
berkulit agak gelap, rambutnya disanggul apik. Beliau menyalami kami.
“Pasti kelelahan sekali ya, Gus?” sapanya disertai senyum hangat, menyiratkan apa yang sudah disampaikan Mas Awan padanya.
“Lumayan juga ini, Bu,” balasku sedikit cengengesan.
“Badung masih jauh. Istirahat saja dulu.
Tak usah sungkan,” ujar ibu Mas Awan dengan aksen Bali yang lebih kental
dibanding anaknya. “Di dalam masih ada kamar yang tak dipakai.”
Mas Awan buru-buru menyampaikan sesuatu
ke ibunya dalam Bahasa Bali yang nggak bisa kumengerti. Beliau tampak
manggut-manggut, sembari sedikit mengamatiku.
Kemudian beliau menanyaiku, “Dulu yang pernah ke sini saudaranya?”
“Iya, Bu,” aku mengangguk agak ragu. Aku
tak bisa menambahi penjelasan lebih banyak. Terus terang saja, aku
enggan jika perkara Dimas juga harus kubicarakan dengan ibu Mas Awan.
Seharusnya tak perlu.
“Katanya Awan bisa mengantar kalian,”
beliau kembali menimpali. “Ya sudah, istirahat saja dulu. Anggap saja
seperti di rumah sendiri.”
Aku berterimakasih. Syukurlah ibu Mas
Awan hanya bermaksud menyambut kami. Tak membahas bagian-bagian yang
lebih serius. Mungkin Mas Awan sudah menjelaskan ke ibunya dengan cara
yang entahlah, dan berhasil membuat beliau bersikap pengertian atas
kedatangan kami.
Setelah beramah-tamah sejenak di ruang
tamu, Mas Awan mengajak kami keluar menuju ke samping rumah. Ada terusan
halaman di samping rumah, menuju ke sebuah kamar yang terletak di
bagian samping-belakang. Kamar itu menyatu dengan rumah utama, tapi
hampir seperti rumah tersendiri, karena pintunya ada di luar dan
memiliki beranda. Kupikir itu kamar yang disediakan khusus untuk tamu,
tapi ternyata…
“Kalian bisa istirahat dulu di sini. Ini kamar saya,” jelas Mas Awan.
Tadi sempat kudengar ibu Mas Awan
menyinggung ‘kamar dalam’, tapi Mas Awan membawa kami ke ‘kamar luar’.
Sejujurnya, jika harus memilih, aku memang lebih memilih kamar luar ini.
Tinggal di kamar dalam hanya akan menambah perasaan segan kepada ibu
Mas Awan, karena Mas Awan sendiri tinggal di kamar luar. Mas Awan
mengerti perkara kecil tapi penting ini, aku lega. Lagian aku dan Fandy
nggak bermaksud menginap, cuma ingin leyeh-leyeh sebentar saja menghilangkan rasa letih. Tak perlu kamar dalam.
“Makasih, Mas. Suasana di sini enak
sekali,” selorohku, sambil meletakkan ransel ke lantai. Beranda kamar
tidak luas, tapi cukup untuk menampung sebuah meja kecil dan kursi
panjang. Bisa untuk duduk-duduk, sambil memandangi panorama sawah yang
terpampang jelas di depan kamar. Pandangan tidak terhalang, karena pagar
cuma setinggi perut. Ini kamar yang sempurna!
“Ini tepat menghadap ke barat,” Fandy
menggumam, meluruskan tangan sambil mencocokkan dengan kompas di
arlojinya. “Kalau sore, pemandangan di sini pasti bagus sekali.”
Mengabaikan omongan Fandy, “Kamar mandi sebelah mana, Mas?” aku bertanya ke Mas Awan.
“Tinggal memutar ke belakang, kamar mandi ada di belakang rumah,” jelas Mas Awan sambil menggerakkan tangan.
“Aku boleh pakai untuk mandi, kan? Soalnya sudah dari kemarin,” tanyaku minta ijin.
“Bolehlah, pakai saja. Saya tinggal dulu
sebentar, ya.” Mas Awan memberi ijin, lalu meninggalkan kami. Biar
kutebak, dia mau mengambilkan minuman. Mau taruhan? Hehehe.
Kubawa ranselku ke dalam kamar. Kulepas
jam tangan, kutaruh di meja. Kuambil handuk dari dalam ransel, dan
perlengkapan mandi lainnya. Bersiap mandi.
“Nggak ganti pakaian?” rupanya Fandy mengamatiku.
“Ntar malam saja sekalian, kalau sudah di Badung. Kalau sudah dapat penginapan, ada tempat laundry.
Ribet nyimpan baju kotor. Lagian yang kupakai juga masih bersih.” Lalu
aku gantian sok perhatian, “Kamu tuh, yang harusnya ganti pakaian.
Semalam habis ngapa-ngapain sama Fillipe, kan?”
Cibiranku cuma ditanggapi dengan tampang
manyun. Aku meninggalkan kamar. Menuruti petunjuk Mas Awan, kuikuti
jalan yang menuju ke belakang, lalu berbelok ke kiri. Halaman belakang
tidak terlalu luas, tembok pagar dibangun lebih tinggi membatasi lahan
tetangga. Ada beranda lagi di belakang rumah. Kamar mandi yang kucari
terletak di kiri beranda.
Beberapa belas menit aku mandi. Segarnya
air yang mengguyur badan bisa sedikit menghilangkan penat dan kantukku.
Selesai mandi, aku kembali ke kamar. Kudapati Fandy sedang ngemil di
teras kamar, ditemani Mas Awan. Ada teh dilengkapi beberapa cemilan di
meja. Taruhanku menang!
Gantian Fandy pergi mandi. Aku duduk-duduk di depan kamar bersama Mas Awan.
“Apa ini, Mas?” aku memegang cemilan yang dibuntal daun kelapa berbentuk kerucut.
“Namanya cerorot, cemilannya orang sini. Dicoba, Bli.”
Cerorot, enak juga. Makanan ringan dari
bahan tepung beras, sama seperti serabi. Rasanya manis dan gurih. Kami
bercakap-cakap sambil ngemil.
“Hubungan kalian baik juga, ya?” Mas Awan menyinggung sesuatu yang aku sedikit tak menangkap maksudnya.
“Aku? Sama siapa, Mas?”
Mas Awan mengayunkan muka sekilas ke
samping, disertai senyum seperti merasa geli. “Itu, sama Fandy. Itu
pacarnya Dimas, kan?” ucapnya.
Aku tertawa masam. “Ya baik lah, Mas. Biarpun anaknya rada nyebelin.”
“Maksud saya, kamu benar-benar bisa
menerima pilihan Dimas,” timpalnya, tampak begitu tertarik
membicarakannya. “Saya ingin tahu, butuh proses seperti apa kamu bisa
menerimanya? Ini tidak biasa, lho?”
Aku merasa jadi lebih akrab begitu Mas
Awan mulai mengubah panggilan ‘Bli’ menjadi ‘kamu’. Aku tahu ‘Bli’
adalah panggilan untuk tujuan keakraban juga, tapi aku lebih sreg dengan
bahasa yang fleksibel. Nggak harus pakai ‘Bli’ melulu.
“Yaa… gimana, ya?” aku menjawab sedikit
gugup untuk pertanyaan Mas Awan tadi. “Kalau dilarang-larang, nggak
mungkin juga Dimas nurut. Sekarang buktinya, begitu ada konflik dengan
Mama, dia pilih pergi.”
“Jadi, kamu menerima pilihan Dimas, semata-mata karena kamu tak bisa melarangnya?”
Aku tercenung sesaat. Pertanyaan itu membuatku lebih berpikir lagi.
“Jujur saja sih, Mas, kalau Dimas bisa
menjalani kehidupan yang normal, pastinya aku lebih senang.” Aku
buru-buru mengonfirmasi salah satu kata yang kupilih, “Maaf, aku pakai
istilah ‘normal’, aku cuma menyebut istilah yang sering dipakai saja…
nggak bermaksud…”
Aku lalu tercekat sendiri. Secara tak
langsung dan tak sengaja aku sudah mengaku, bahwa aku sudah tahu kalau
Mas Awan sama seperti Dimas: ‘tidak normal’. Damn! Semoga dia tak tersinggung!
Mas Awan sempat tercenung sesaat, lalu tertawa masam. “Saya mengerti, Bli.
‘Normal’ itu artinya kondisi yang secara umum dianggap lazim. Nyatanya
pilihan hidup orang-orang seperti kami memang tidak umum, jadi belum
dianggap lazim. Bagi saya itu bukan berarti buruk.”
Aku termangu, tiba-tiba kembali merasa
segan. Jalan pikiranku tidak salah, tapi seharusnya aku memilih kata
yang lebih simpatik. Karena Mas Awan bukan Fandy ataupun Dimas. Aku
harus lebih sopan.
“Maaf ya, Mas. Sampai sekarang, aku belum
pernah dengar bahwa pilihan seperti itu dibenarkan secara agama.
Setidaknya dalam agama kami,” ulasku hati-hati. Aku tak bisa menahan
tawa masamku. “Aku tahu kenapa Dimas tak pernah ke gereja lagi. Dia
bilang, memasuki gereja seperti memasuki pengadilan. Aku pernah membalasnya, kita semua memang suatu saat akan diadili. Dia bilang, ya, tapi bukan oleh manusia. Aku balas dengan sedikit bercanda, kalau begitu anggap saja gereja itu pemanasan. Katanya, kalau olahraganya di tempat tidur, kenapa pemanasannya di gereja?”
Mas Awan tertawa geli. “Dia memang anaknya keras kepala.”
“Ya, lebay dan ngeyel,” cetusku. “Tapi aku tahu, sebenarnya dia nggak seperti ucapannya.”
“Dalam hal apa?”
Aku merenung sejenak, menghadirkan semua ingatanku tentang sosok saudara kembar yang kukenal selama ini. Lalu aku bercerita…
“Mungkin dia duduk di kursi pesakitan
yang sama seperti orang-orang di jaman Nabi Lot. Tapi di mataku, dia
nggak pernah menjahati orang lain. Jika dia berbuat buruk, dia lakukan
itu pada dirinya sendiri. Dan anehnya, aku nggak melihat bahwa perbuatan
buruk itu membuatnya jadi benar-benar buruk. Dia tetap anak biasa
sepertiku, seperti teman-teman kami yang lain. Tiap hari kami
berboncengan ke sekolah, dia nggak pernah bolos, nilai matematikanya
pas-pasan tapi nilai lainnya bagus. Dia pelit tapi tidak padaku,
kembalian uang belanja selalu dia kembalikan ke Mama, dia akan minta
kalau butuh. Tiap sore dia menyirami tanaman, di waktu luang dia menulis
cerita atau puisi, bermain gitar, tidur. Paginya dia bangun dan ke
sekolah lagi. Malam minggu dia pacaran, tapi selalu pulang ke rumah
malam itu juga. Hari Minggu dia nggak ke gereja, tapi saat kami pulang
dia sudah selesai merapikan rumah. Rapi dan bersih. Dia selalu begitu.”
Warna hijau hamparan sawah di depanku seharusnya memberiku perasaan teduh. Tapi yang ada justru galau. Apakah karena hijaunya mau menguning?
Menendang bola futsal yang salah sasaran mengenai kepala Dimas; membuat pizza gosong; membuat Mama pusing dengan minyak aromatherapy
yang salah campur; lalu kami dimarahi, tapi tak pernah begitu serius.
Masa remaja yang tenteram dalam bermacam kenakalan, rasanya itu semua
baru kemarin sore….
“Waktu pertama kali tahu, aku kecewa.
Tapi aku menerimanya, karena dia saudaraku satu-satunya. Seiring waktu
berjalan, dengan semakin kukenal dia, terbukti dia nggak seburuk yang
aku takutkan. Aku lega, karena sudah memilih untuk menerimanya. Biarpun
aku tetap akan lebih senang jika dia menjadi normal, pada dasarnya aku
sudah nggak peduli lagi apakah dia normal atau enggak. Bagiku dia anak
baik-baik. Dan saudara yang baik. Itu sudah cukup.”
“Denis,” tak kuduga namaku disebut. “Siapapun akan menginginkan saudara sepertimu, Bli.”
Aku tersenyum kecil. Ya, aku memang loveable.
Sebenarnya ada keinginan untuk ganti
bertanya kepada Mas Awan, bagaimana dengan dia sendiri, bagaimana
keluarganya dan bagaimana semua berjalan. Tapi rikuh. Aku baru
mengenalnya. Dan aku kemari bukan untuk menyinggung kehidupan
pribadinya, meski bisa saja itu dijadikan obrolan. Tapi kurasa bukan
obrolan yang sopan. Jelas lain dengan Fandy, aku bisa mengorek pacar
Dimas itu tanpa perlu terbeban sopan-santun karena sudah cukup lama
mengenalnya (dan dia memang asyik untuk dikerjai).
Aku tak bermaksud bahwa ini percakapan
yang membosankan waktu tiba-tiba aku menguap. Perjalanan sehari-semalam
membuat badanku terlalu lelah. Segarnya air di bak mandi hanya mengobati
sesaat saja.
“Ya sudah, istirahat dulu, Bli. Nanti sore kita ke Badung,” Mas Awan menyaraniku. Dia bangkit berdiri, lalu masuk ke kamar.
“Sebenarnya ingin ngobrol banyak, Mas. Tapi ternyata aku capek sekali….”
“Pasti, perjalanan sangat jauh ke sini,” sahut Mas Awan dari dalam. “Bli betah kalau saya nyalakan dupa?”
“Dupa?”
Mas Awan keluar lagi sambil membawa
sebungkus dupa batangan beserta landasannya. “Saya taruh di luar saja,
biar asapnya tidak pekat di dalam. Biasanya saya pakai ini. Tidur bisa
nyenyak.”
“Aromatherapy?” aku menebak.
“Betul.”
Dalam bentuk dupa. Aku tahu, tapi belum
pernah mencobanya. Karena aroma dupa katanya mengundang hantu, memedi,
dan sebangsanya. Bukan aku yang takut, tapi Dimas.
“Boleh pinjam, Mas?” aku meminjam bungkus
dupa itu selagi Mas Awan menyalakan sebatang. Aku ingin tahu apa jenis
aromanya. Jika aromanya adalah ‘Kamboja’ atau ‘Frangipani’, maka akan
terlalu banyak kebetulan. Kubaca di bungkusnya tertulis: Kenanga.
Aroma harum mulai menyeruak. Tidak pekat, bisa dibilang sangat lembut.
“Biasanya saya cepat tidur pulas. Tapi kalau tidak cocok, matikan saja tak apa-apa,” pesan Mas Awan.
“Kayaknya aku cocok. Harumnya enak kok,
Mas. Makasih,” ucapku. Mas Awan tersenyum tipis tak berkata apa-apa. Dia
pergi, membiarkanku tinggal di kamarnya ini untuk istirahat.
Aku masuk ke kamar, lalu merebahkan diri
di tempat tidur. Memandangi dinding-dinding kamar yang dihiasi lukisan
alam dan kaligrafi huruf Bali (dugaanku). Ada pula seruling Bali dan
gitar dicantolkan di dinding. Ada rak buku dengan koleksi yang cukup
banyak. Saat kepalaku memaling ke samping, aku dapat melihat ke luar
pintu, memandangi sawah berliuk di luar sana. Dari luar, aroma dupa
kenanga masuk bersama angin sepoi.
“Wangi banget?” Fandy muncul di depan
pintu sambil berkomentar. Dia beberapa saat mengamati dupa dan
bungkusnya. Lalu masuk ke kamar sambil melontarkan bahan pembicaraan, “So, menurutmu Mas Awan orangnya gimana?”
Aku menggumam acuh tak acuh. “Dia orang baik.”
“Meminjami kita kamarnya yang enak ini,
sudah pasti dia orang baik. Tapi setahuku, panggilan ‘Bli’ biasanya
digunakan kepada orang yang sebaya atau sedikit lebih tua. Kita jauh
lebih muda darinya, kenapa dia sering memakai kata ‘Bli’? Menurutku, dia
sangat menghargai kita. Dia terbiasa bersikap santun kepada orang lain.
Mungkin karena dia seorang tour guide.”
“Dia bukan guide lagi. Aku malah
merasa dia itu dingin. Tawanya nggak ada suara, mukanya serius, cara
bicaranya halus… kurasa sehari-harinya dia pendiam.”
“Pendiam? Apakah seorang pendiam akan memilih pekerjaan sebagai tour guide? Agak nggak mungkin. Pembawaannya saja yang tenang, jadi kesannya serius. Tapi dia baik dan ramah.”
“Aku nggak bilang dia nggak baik, aku
nggak bilang dia nggak ramah. Dan aku ngantuk!” balasku sambil
memalingkan badanku ke tembok. Aku nggak tahu apa pentingnya juga
membicarakan karakter Mas Awan. Fandy biasanya nggak cerewet, tapi kalau
sedang ingin ngomong dia suka membicarakan hal yang nggak penting.
Kurasa karena mereka berdua sama-sama gay, jadi Si Unyu itu tertarik
membicarakan Mas Awan. Ganjen!
Aku belum sempat tertidur, saat Fandy
ikut rebahan di sebelahku. Aku memunggunginya. Dia menyikut-nyikut
pinggangku. “Aku ambil buku bagus,” bisiknya. “Tentang arsitektur rumah
tradisional di Bali…”
“Lu pingin kita tidur berduaan sambil
membaca buku yang sama? Romantis banget, ya?” cibirku tanpa mengubah
posisi. Aku nggak ingin peduli lagi apa maunya makhluk di balik
punggungku. Aku ngantuk banget!
Sekarang, jangan ada yang memintaku untuk membuka mata…
Saat aku bangun, kurasa aku sudah tidur
selama beberapa jam. Rasanya belum cukup untuk menghilangkan capek.
Inginnya tidur lagi, tapi telingaku telanjur terusik oleh suara yang
bertalu-talu menggema dari kejauhan. Sedikit linglung dan gontai aku
menghampiri meja, meraih jam tanganku. Aku kemudian baru sadar, jam
weker di meja menunjukkan waktu yang berbeda dengan jam tanganku.
Selisih satu jam.
Aku beranjak menuju ke teras. Kudapati
Fandy sedang duduk sendirian dengan segelas teh di satu tangan, tangan
lainnya mendekap buku.
“Nggak tidur?” sapaku sambil duduk di sebelahnya.
“Sudah,” jawabnya. “Cuma sejam, kurang lebih.”
“Bali sudah masuk ke zona WITA kan, ya?” aku memastikan soal waktu.
“Hmmm,” dia mengiyakan. Lalu melongok ke HP-nya. “Sekarang mau jam empat sore, Waktu Indonesia Tengah.”
Aku memicingkan mataku yang masih terasa
berat. Mencari dari arah mana datangnya suara bertalu-talu yang mengusik
tidurku itu. “Suara musik apa itu? Seperti Kolintang.”
“Jegog,” jawab Fandy. “Musik
asli sini. Semacam gamelan dari bambu. Ada kelompok kesenian itu di
sekitar sini, hampir tiap hari latihan. Kata Mas Awan.”
“Terus, di mana dia?”
“Di rumah. Katanya, kalau kamu sudah bangun kita bisa segera berangkat.”
“Hmhhh. Sebenarnya tidurku belum cukup.”
“Kalau menuruti kantuk, kita bisa tidur sampai besok pagi. Artinya kita membuang waktu lebih lama di sini.”
“Oke. Kuakui ketegasanmu kali ini,” cibirku sambil menguap. “Setidaknya tunggu sebentar, biar nyawaku penuh dulu.”
“Kalau di tempat Mas Dika ada tempat buat kita, kita bisa istirahat di sana lebih cukup nanti.”
“Kalau tidak, semoga Mas Awan bisa
sekalian bantu kita mencari penginapan. Mau nggak mau, akhirnya kita
tetap akan merepotkan mereka.”
“Jadi, akhirnya kita nggak perlu bantuan Erik.”
Aku tertawa mencibir kata-kata Fandy. “Pendendam!”
“Dia juga akan senang kalau kita tak merepotkan dia,” balasnya ngeles.
“Dan aku juga akan senang kalau kamu nggak ketemu Fillipe lagi.”
Dia tersenyum manyun. “Hmmm. Dia mencium
dengan cara yang lebih baik dari Dimas. Tapi, toh aku tak mengukur cinta
berdasarkan ciuman.”
Aku memandangi mukanya lebih lama.
Tampangnya memang terlihat lugu dari luar, dan itu memberiku satu kata
sebagai tanggapan atas ucapannya: “Gombal!”
Dia tak membalasku. Matanya menatap lurus
jauh ke depan. “Sore yang nggak bisa kita nikmati di tempat lain,”
gumamnya sambil mengulas senyum, mengalihkan pembicaraan. “Belum tentu
kita akan kemari lagi di waktu mendatang. Iya, kan?”
Aku tak mengomentarinya. Sekarang ikut
terpekur memandangi panorama. Lahan sawah itu jaraknya hanya sekitar
tiga puluh langkah dari teras kamar ini, terhampar hingga jauh ke sana.
Mentari pukul empat memang belum cukup eksotis untuk dilihat, malah
masih cukup silau. Tapi sore memang selalu menjadi momen yang tepat
untuk bersantai, menikmati sejenak rasa letih kita. Dan kubayangkan,
betapa senyap sesungguhnya desa ini jika suara musik bambu itu nanti
berhenti. Tapi, dengan ataupun tanpa musik, suasana sore di sebuah desa
bisa menjadi salah satu waktu terbaikmu. Dan yang sedang kumiliki
sekarang adalah sore di sebuah desa di Jembrana, Bali. Dengan satu teko
teh dan sepiring cerorot di meja kami. Mungkin Fandy benar, ini adalah
sore yang tak bisa dinikmati di tempat lain.
“Kita menghadap ke barat. Satu jam lagi pemandangan di sini pasti akan luar biasa,” ucapnya memecah keheningan.
“Tepat ke barat?”
“Tidak juga, sedikit melenceng beberapa derajat. Tapi sunset juga tak selalu tepat di barat.”
“Sunrise kadang ada di tenggara,” tanggapku, terucap begitu saja. Tak bermaksud terlalu peduli.
“Tapi ada yang tak kalah menarik. Yaitu
arah yang digunakan masyarakat Bali bukan hanya
Barat-Timur-Utara-Selatan dan Tengah. Dalam membangun rumah, orang Bali
tak berpedoman pada mata angin. Tapi pada letak gunung.”
“Gunung?”
Si Kutubuku Tanpa Kacamata itu
mengangguk, lalu sedikit memiringkan duduknya menghadapku. “Arah yang
berorientasi ke gunung disebut Kaja. Denah rumah orang Bali mengikuti Kaja. Gunung yang dijadikan pedoman biasanya Gunung Agung, yang paling disakralkan di Bali. Rumah ini menghadap ke utara, Kaja-nya
terletak di timur laut mengikuti arah Gunung Agung berada. Kalau kamu
perhatikan, di bagian timur laut halaman rumah ini terdapat tempat
sembahyang. Itu sebagai simbol bahwa titik tersebut adalah posisi yang
paling disakralkan, berdasarkan konsep Kaja.”
Aku agak kebingungan dengan penjelasannya
yang panjang lebar itu. Juga karena sejak semula aku nggak ada maksud
membahas rumah ini sampai sedetil itu. Lalu dia menunjukkan buku yang
dari tadi dipegangnya, membukakan halaman yang memuat skema rumah adat
Bali. Kuamati gambar itu beserta penjelasannya.
“Tadi juga ngobrolin ini dengan Mas Awan.
Dia mengiyakan, rumah ini masih mengikuti pola adat. Tapi katanya,
rumah-rumah di Bali jaman sekarang banyak yang sudah melupakan konsep
ini.”
Lagi-lagi omongan Fandy soal nostalgia. Masa lalu dan sekarang.
Tapi kutemukan kejanggalan saat membaca
keterangan gambar di buku itu. “Menurut pola ini, harusnya kamar anak
laki-laki berada di sisi timur. Kenapa kamar Mas Awan ini letaknya di
barat?” tanyaku, sekali-sekali melayani omongan Fandy.
“Awalnya kamar ini dibangun sebagai kamar tamu, katanya. Tapi karena pemandangannya bagus, Mas Awan pilih tinggal di kamar ini.”
“Berarti aturan itu sebenarnya boleh dilanggar?”
“Faktanya gitu. Setidaknya bukan bagian yang sakral.”
Sekarang aku jadi tertarik
mengait-ngaitkan. “Kurasa penilaianku benar, Mas Awan orangnya pendiam,
penyendiri. Cocok dengan pilihannya: kamar yang berada di luar,
menyendiri.”
“Sepertinya bisa juga berhubungan dengan
karakter petualang,” Fandy bikin tafsiran sendiri. Dia mengerling
beberapa saat, lalu tiba-tiba tampak begitu bersemangat. “Dia penyendiri
dan petualang, perenung, penikmat keindahan…! Bukankah Dimas kadang
juga begitu? Dia periang, tapi suka tiba-tiba merenung, menarik diri.
Dan dia juga punya kamar yang menyendiri di lantai dua?”
Alisku meliuk mendengar tafsiran Fandy
yang begitu antusias itu. “Ngapain membandingkan mereka? Maksudmu… Mas
Awan juga menarik buat lu, gitu?”
Dengan cepat dia berubah cemberut.
“Pikiran negatifmu padaku suka semena-mena. Aku nggak perlu jauh-jauh
kemari kalau cuma untuk menyelingkuhi orang!”
“Gimana dengan Fillipe?”
“Dia yang ngajak selingkuh, bukan aku!”
dia mengelak. Sekarang dia tampak serius dengan teorinya, “Dengar!
Maksudku, dengan karakter yang punya kemiripan, kurasa kita bisa
bertanya ke Mas Awan: andai dia berada pada posisi seperti Dimas, apa
yang akan dia lakukan? Apa yang dia tunggu untuk pulang?”
Kutepiskan tanganku. “Fan, lu tuh terlalu
terpengaruh cerita roman! Mulai nggak fokus. Aku nggak yakin jawaban
Mas Awan bisa mewakili apa maunya Dimas. Lagian, yang terpenting bukan
apa yang dilakukan Dimas selama di sini, tapi ada di mana dia! Kalau
kita bermaksud nunggu dia pulang, kita nggak perlu jauh-jauh kemari,
kan? Tinggal nunggu di rumah, kapanpun dia pulang. Kita kemari mau cari
dia!”
Sidekick-ku yang konyol itu
merengut, menarik mukanya seperti menghindari nyamuk yang lewat. Dia
kesal dengan jawabanku, dan mengatasinya dengan menggerutu sendiri.
“Nggak fokus katamu? Jadi, mengintipku di
toilet itu fokus?” omelnya, dia menyerangku setelah aku tak mendukung
pendapatnya. “Kamu selalu mendengar pendapatmu sendiri. Apa yang
dilakukan Dimas selama di sini, bagiku itu juga penting! Kita akan tahu,
apakah kehidupannya di sini lebih bahagia atau tidak.”
Aku nggak bisa menahan tawaku. “Melarikan diri dari masalah bisa bikin orang lebih bahagia? C’mon…!
Mas Awan sudah cerita, Dimas itu jadi orang bingung selama di sini.
Sudah waktunya dia dipulangkan, makanya yang terpenting adalah
mengetahui di mana dia berada. Mas Awan sendiri juga sudah bilang, dia
nggak tahu banyak soal Dimas. Sekarang kita mau nyuruh dia buat
nebak-nebak? Jelas nggak tuh gunanya?”
“Kalau memang separah itu keadaan Dimas di sini, kenapa dia nggak pulang sendiri?”
“Karena tengsin. Atau, karena dia belum
sadar juga bahwa sebenarnya dia sangat disayangi. Bahkan Papa yang
dukung dia dan bantu dia pergi, nyatanya dikhianati juga.”
Fandy memandangiku agak lama, dahinya
berkerut. Lalu dia tertawa sinis sambil buang muka. “Dia egois maksudmu?
Oke, kamu selalu menilainya begitu. Tapi kamu tetap mencarinya juga.
Apakah ini karena kamu benar-benar menyayanginya, ataukah hanya untuk
mempertunjukkan bahwa kamu lebih baik darinya?”
Deg!
Aku merasa percakapan berjalan semakin salah. “Maksud lu apa nih?”
“Kamu mencarinya sambil terus berprasangka jelek padanya. Kamu lebih mirip seorang polisi yang memburu buronan. Bukan saudara.”
Kali ini ucapan Fandy mengusikku untuk
bangkit dari kursi, dan membuatnya harus benar-benar memperhatikanku
kali ini. “Dengar! Aku nggak bermaksud omongan tadi jadi seserius ini,
tapi tiba-tiba lu nyolot, ya? Aku nggak pernah meragukan perasaanmu pada
Dimas. Aku maklum kalau kamu bela dia. Tapi bukan berarti bisa asal
menilaiku seperti itu!”
“Kamu juga menilainya seenaknya!”
“Karena aku kenal dia!”
“Kamu pikir aku enggak?”
“Aku saudaranya. Lu cuma orang lain yang kebetulan jadi pacarnya!”
Dia terdiam, menatap kaku.
Kuatur emosiku. Merendahkan nada suaraku, “Sebelum nge-judge
aku nggak sayang sama saudara, harusnya kamu juga ngaca dulu, Fan. Lu
bukan pacarnya yang setia. Nggak usah ngeles lagi soal itu.”
Dia masih tak bicara. Matanya bergerak turun menghindariku. Aku juga berhenti memandangnya. Kuhela napas panjang-panjang.
“Sebagai saudara aku sayang sama Dimas,
apapun kekurangannya. Tapi aku marah sama keputusannya. Kalau dia nggak
pulang, keluargaku akan berantakan. Aku nggak cuma sayang sama dia, aku
sayang semua yang ada di keluargaku. Itu yang lu nggak tahu, Fan.”
“Oke. Biar adil, sebaiknya kamu juga
perlu tahu, Den… kenapa aku sampai tergoda orang lain? Karena… kamu
pikir mudah bagiku untuk tak berprasangka, saat aku dengar Dimas tidur
di tempat Mas Awan, di rumah Mas Dika, dan entah siapa lagi…?
Berbulan-bulan dia di sini, di tempat yang menjadi tujuan siapapun yang
ingin berfoya-foya dan mencari kebebasan…”
Aku memotong, “Bukankah itu artinya kamu juga berprasangka buruk pada Mas Awan dan Mas Dika, yang sudah membantu Dimas?”
Dia tertawa pahit. “Aku tak pura-pura
saat menilai Mas Awan adalah orang yang baik dan ramah. Tapi, aku juga
tak ingin bersikap naif terhadap dunia gay. Aku sudah memilih jalan ini,
aku tahu isinya. Aku tergoda pada orang lain, karena kupikir Dimas pun
punya kemungkinan yang sama. Aku tak akan terkejut jika prasangkaku
benar. Begitu juga, kuharap Dimas tak terkejut jika dia harus tahu soal
aku sama Fillipe. Aku tetap tak akan menarik mundur pencarianku, meski
sebenarnya aku bisa mundur.”
Kucerna ucapannya. Kusadari bahwa aku memang tak bisa berdiri di posisi Fandy. Sama halnya Fandy tak bisa berdiri di posisiku.
“Kamu nggak mundur, karena tujuanmu bukan cuma mencari Dimas. Tapi juga untuk melarikan diri dari keluargamu,” cetusku.
“Tapi aku tak yakin kamu akan peduli
membantu pelarianku, seandainya kamu tak punya pertimbangan lain. Tak
perlu malu untuk mengakui, bahwa kita memang saling membutuhkan. Jadi,
berhentilah memperumit dirimu sendiri, Den.”
“Rumit?”
“Prasangka buruk yang terus-menerus kamu ucapkan secara sinis, hentikan itu. Jika kamu benar-benar menyayangi Dimas.”
Aku nggak bisa menahan tawa lagi
mendengar ocehannya. “Setidaknya aku berprasangka buruk hanya dengan
ucapanku, bukan dengan kelakuanku. Aku tahu apa lebihnya dan apa
kurangnya Dimas, dan aku tahu tanggung jawabku pada keluarga. Lu nggak
usah ngajarin, Fan.”
Kami berhenti sesaat. Terdiam.
“Ya sudah, kita memang tak sama,” ucapnya
pelan. Nada suaranya juga sudah jenuh. “Anggap saja aku sama buruknya
dengan Dimas. Tapi kuberitahu sesuatu yang kamu harus tahu: selama aku
kenal Dimas, dia tak pernah menilaimu seburuk kamu menilainya. Begitulah
dia menyayangi saudaranya.”
“Kalau begitu, seharusnya kamu juga bisa
beritahu aku: kenapa dia pergi tanpa meninggalkan sepatah katapun
padaku, hingga sekarang? Kenapa dia meninggalkannya kepada yang lain?”
Rasa muak terhadap pertengkaran ini, tiba-tiba seperti tergelincir… kepada perasaan sakit yang lebih pedih.
“Den, apakah ini… kecemburuan?”
Aku menggeleng. “Keterasingan.”
Dan aku tak mau lagi melanjutkan pertengkaran ini. Sayang sekali, seharusnya ini menjadi sore yang indah.
“Memalukan, bertengkar di rumah orang,” gumamku mengendapkan emosi.
“Di mana awal pertengkaran ini?”
“Aku lupa,” sahutku, sambil melangkah masuk ke kamar. Sudah jengah. Aku ingin menyiapkan bawaanku untuk melanjutkan perjalanan.
“Seingatku dari cerita soal kamar,” Fandy
masih di beranda, berceloteh menjawab pertanyaannya sendiri. “Tentang
kamar di luar rumah. Tentang orang yang menyendiri. Tiba-tiba muncul di
pikiranku, kenapa Mas Awan melepaskan pekerjaannya? Meninggalkan Badung,
hanya untuk tinggal di sini lagi? Di kamarnya yang menyendiri ini, atau
kamarnya yang… terasing?”
Aku tercenung sesaat mendengar kata-kata Fandy.
“Kenapa dia menjauhi kekasihnya?”
bersambung…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar