...
Ketika sudah di dalam mobil, kali ini Erik memutar lagu di CD Player-nya. Wow. Lagu Natal, lagu yang tadi juga sudah kudengar di gereja. ‘O Holy Night’.
“Suka sama lagu ini?” tanyaku.
Erik mengangguk. “Karena yang nyanyi Mariah Carey,” sahutnya sambil menyetir.
Ya, ‘O Holy Night’ adalah salah satu lagu Natal paling populer sepanjang masa. Banyak orang menyukainya, dan terharu saat mendengar liriknya. Mungkin tanpa mereka tahu, bahwa penggubah lagu itu adalah seorang atheis. Yang tahu sekalipun, masih tetap suka dengan lagu itu. Pada kasus ini, tampaknya kita tak peduli dengan keyakinan seseorang. Kita lebih peduli pada hasil karyanya. Ibarat tanaman, yang kita pedulikan adalah apakah buahnya bisa kita makan, apakah kayunya bisa kita jadikan rumah, apakah akarnya bisa kita jadikan obat. Kurasa, itulah yang seharusnya menjadi tolok ukur: bisakah hidup kita berguna?
Lagu berganti. Bukan lagi suara Mariah Carey. Tapi aku juga kenal suara ini!
“Ini... Sarah McLachlan?” tebakku.
“Yup!” Erik mengangguk. “Teknik menyanyinya nggak seribet Mariah Carey, tapi soul-nya nggak kalah. Dalem banget!”
Ya, aku setuju. “Ini juga lagu Natal?”
“Ya. Dan akhir-akhir ini aku baru tahu, ternyata lagu Natal itu nggak selalu religius. Seperti lagu ini, justru liriknya romantis!” cetus Erik.
Aku menyimak lagu yang sedang diputar Erik.
“Apa judulnya?” tanyaku.
“Wintersong.”
Aku langsung bermain dengan HP-ku. Membuka internet, mencari lirik lagu yang baru diputar ini. Hehehe... Aku memang nggak terlalu peka untuk menangkap bahasa Inggris lewat telinga. Tapi kalau membacanya, aku paham. Maka bisa kuketahui lagu ‘Wintersong’ ini bercerita tentang apa...
“Lake is frozen over. Trees are white with snow. And all around reminders of you, are everywhere I go. It's late and morning's in no hurry. But sleep won't set me free. I lie awake and try to recall, how your body felt beside me when silence gets too hard to handle, and the night too long... And this is how I see you, in the snow on Christmas morning. Love and happiness surround you. As you throw your arms up to the sky. I keep this moment by and by. Oh, how I miss you now, my love...”
Mataku mau meleleh meresapinya. Lagu ini tentang seseorang yang merindukan orang yang disayanginya. Merindukan seseorang di saat Natal. Seorang kekasih...
“Mas, kenapa ya, lagu Natal banyak yang bercerita tentang orang yang terpisah jauh? Dari kekasihnya, dari keluarganya? Bercerita tentang kerinduan untuk pulang. Wintersong, I’ll Be Home For Christmas, Christmas Baby Please Come Home...”
Ketika Erik bertanya, hatiku tiba-tiba makin tergetar. Aku terdiam lama...
Di balik mataku samar-samar seperti tergambar, ketika Yesus akan dilahirkan. Yusuf dan Maria sedang bepergian jauh dari rumahnya. Maria tengah mengandung, dan di tempat yang jauh dari rumah mereka itu... bayi mungil itu sudah saatnya untuk keluar dari rahim Sang Ibu. Di kota kecil bernama Bethlehem, Yusuf mencarikan istrinya tempat untuk bersalin. Tapi tak ada tempat yang mau menerima. Betapa mereka pasti terbayang, bahwa rumah mereka adalah satu-satunya tempat yang akan menerima mereka di saat tempat lain menolak...
Malam itu, kandang dombalah yang menjadi rumah bagi mereka. Di situ Yesus lahir. Lalu, gembala-gembala yang tidur di padang mendengar tangis bayi itu. Gembala-gembala yang juga sedang tak berada di rumah mereka, datang menjenguk bayi yang baru lahir itu. Dari negeri yang jauh, Tiga Orang Majus juga sedang menempuh perjalanan, jauh dari rumah mereka. Mereka melihat tanda di langit, bahwa ada seorang bayi lahir dan kelak akan menyandang nama besar. Mereka datang menjenguk, memberi oleh-oleh untuk bayi itu. Tiga Orang Majus yang datang dari jauh, Para Pemuja Api, Para Ahli Magis. Mereka diterima oleh Yusuf dan Maria, dan juga Yesus, bayi itu. Di kandang itu, orang-orang yang jauh dari rumah datang berkumpul. Merayakan seorang anggota keluarga yang baru lahir, tak peduli bahwa mereka orang asing...
Natal, adalah sebuah cerita keluarga. Natal, adalah cerita bahwa di suatu tempat rumahmu berada... tempat yang akan selalu kau rindukan. Dan suatu saat kau akan pulang.
Tak semua orang dapat merasakan hangatnya keluarga bukan? Kenapa aku marah saat Fandy memilih pulang, untuk berkumpul dengan keluarganya di Malam Natal?
Sekali lagi, di balik mataku gambar-gambar itu melintas. Ketika Herodes mendengar kabar, bahwa ada bayi yang baru lahir dan kelak akan mengalahkan tahtanya, Raja itu memerintahkan agar semua bayi yang baru lahir harus dibunuh. Yesus berhasil diselamatkan. Tapi bayi-bayi lain yang sepantaran dengannya, harus berkorban tanpa tahu apa dosa mereka. Natal juga sebuah cerita tentang kehilangan, ketika para ibu menangisi anaknya, para ayah meratapi buah hatinya. Siapa yang tak menyayangi keluarganya?
Aku bisa berteori banyak hal, bahwa aku layak bahagia, bahwa hidupku harus berguna, bahwa homoseks jangan dihakimi, bahwa Natal ini klise... Mulutku bisa terus berkicau tentang pemikiran-pemikiran yang berkilau. Tapi... siapa aku, jika tak bisa bersyukur atas satu berkat yang begitu sederhana: keluarga yang menyayangiku?
Aku teringat bagaimana Papa tersenyum. Aku teringat bagaimana Denis mencegahku pergi, memegang tanganku dengan sorot matanya yang seolah berkata, “Kami tetap menyayangimu...”
Kenapa aku meninggalkan mereka, di saat kami sudah berangkat bersama untuk merayakan Natal?
Waktu seperti berhenti, ketika semua itu terlintas. Ketika semua itu bertanya padaku.
“Rik... maaf, aku mungkin nggak bisa ikut ke kafe...” ucapku lirih.
“Kenapa?”
“Ini waktuku untuk pulang.”
Erik tak menjawabku. Aku berpaling padanya.
“Maaf, ya... Aku yang ngasih ide, tapi aku malah nggak jadi ikut...” ucapku menyesal.
“Nggak apa-apa kok,” Erik tersenyum. Memberiku kelegaan. “Ini sudah malam, seharusnya aku juga pulang. Aku antar sampai rumah, ya?”
Aku mengangguk. Mengucapkan ‘terima kasih’ pun sulit. Andai aku tak bertemu Erik, andai dia tak bertanya, aku mungkin hanyalah seorang anak yang berlari di trotoar di Malam Natal, berlari dalam kemarahan. Tak pernah menemukan makna yang telah lama hilang. Makna Natal yang kulupakan...
Mobil tiba di depan pagar rumahku. Aku masih duduk beberapa saat, meskipun mobil sudah berhenti.
“Ini Malam Natal yang sangat berkesan untukku,” ucapku lirih.
“Oh, ya? Karena apa?” tanya Erik dengan mimik penasaran.
“Karena aku menemukan makna Natal yang mungkin sudah lama dilupakan. Dan baru sekarang aku sadari...”
“Apa itu?”
“Bahwa aku harus cepat pulang,” ujarku sambil tertawa pelan.
Dahi Erik mengernyit, tak paham. Aku mungkin memang kelihatan sedang bercanda.
“Kamu juga harus cepat pulang,” ucapku ke Erik.
Ketika sudah di dalam mobil, kali ini Erik memutar lagu di CD Player-nya. Wow. Lagu Natal, lagu yang tadi juga sudah kudengar di gereja. ‘O Holy Night’.
“Suka sama lagu ini?” tanyaku.
Erik mengangguk. “Karena yang nyanyi Mariah Carey,” sahutnya sambil menyetir.
Ya, ‘O Holy Night’ adalah salah satu lagu Natal paling populer sepanjang masa. Banyak orang menyukainya, dan terharu saat mendengar liriknya. Mungkin tanpa mereka tahu, bahwa penggubah lagu itu adalah seorang atheis. Yang tahu sekalipun, masih tetap suka dengan lagu itu. Pada kasus ini, tampaknya kita tak peduli dengan keyakinan seseorang. Kita lebih peduli pada hasil karyanya. Ibarat tanaman, yang kita pedulikan adalah apakah buahnya bisa kita makan, apakah kayunya bisa kita jadikan rumah, apakah akarnya bisa kita jadikan obat. Kurasa, itulah yang seharusnya menjadi tolok ukur: bisakah hidup kita berguna?
Lagu berganti. Bukan lagi suara Mariah Carey. Tapi aku juga kenal suara ini!
“Ini... Sarah McLachlan?” tebakku.
“Yup!” Erik mengangguk. “Teknik menyanyinya nggak seribet Mariah Carey, tapi soul-nya nggak kalah. Dalem banget!”
Ya, aku setuju. “Ini juga lagu Natal?”
“Ya. Dan akhir-akhir ini aku baru tahu, ternyata lagu Natal itu nggak selalu religius. Seperti lagu ini, justru liriknya romantis!” cetus Erik.
Aku menyimak lagu yang sedang diputar Erik.
“Apa judulnya?” tanyaku.
“Wintersong.”
Aku langsung bermain dengan HP-ku. Membuka internet, mencari lirik lagu yang baru diputar ini. Hehehe... Aku memang nggak terlalu peka untuk menangkap bahasa Inggris lewat telinga. Tapi kalau membacanya, aku paham. Maka bisa kuketahui lagu ‘Wintersong’ ini bercerita tentang apa...
“Lake is frozen over. Trees are white with snow. And all around reminders of you, are everywhere I go. It's late and morning's in no hurry. But sleep won't set me free. I lie awake and try to recall, how your body felt beside me when silence gets too hard to handle, and the night too long... And this is how I see you, in the snow on Christmas morning. Love and happiness surround you. As you throw your arms up to the sky. I keep this moment by and by. Oh, how I miss you now, my love...”
Mataku mau meleleh meresapinya. Lagu ini tentang seseorang yang merindukan orang yang disayanginya. Merindukan seseorang di saat Natal. Seorang kekasih...
“Mas, kenapa ya, lagu Natal banyak yang bercerita tentang orang yang terpisah jauh? Dari kekasihnya, dari keluarganya? Bercerita tentang kerinduan untuk pulang. Wintersong, I’ll Be Home For Christmas, Christmas Baby Please Come Home...”
Ketika Erik bertanya, hatiku tiba-tiba makin tergetar. Aku terdiam lama...
Di balik mataku samar-samar seperti tergambar, ketika Yesus akan dilahirkan. Yusuf dan Maria sedang bepergian jauh dari rumahnya. Maria tengah mengandung, dan di tempat yang jauh dari rumah mereka itu... bayi mungil itu sudah saatnya untuk keluar dari rahim Sang Ibu. Di kota kecil bernama Bethlehem, Yusuf mencarikan istrinya tempat untuk bersalin. Tapi tak ada tempat yang mau menerima. Betapa mereka pasti terbayang, bahwa rumah mereka adalah satu-satunya tempat yang akan menerima mereka di saat tempat lain menolak...
Malam itu, kandang dombalah yang menjadi rumah bagi mereka. Di situ Yesus lahir. Lalu, gembala-gembala yang tidur di padang mendengar tangis bayi itu. Gembala-gembala yang juga sedang tak berada di rumah mereka, datang menjenguk bayi yang baru lahir itu. Dari negeri yang jauh, Tiga Orang Majus juga sedang menempuh perjalanan, jauh dari rumah mereka. Mereka melihat tanda di langit, bahwa ada seorang bayi lahir dan kelak akan menyandang nama besar. Mereka datang menjenguk, memberi oleh-oleh untuk bayi itu. Tiga Orang Majus yang datang dari jauh, Para Pemuja Api, Para Ahli Magis. Mereka diterima oleh Yusuf dan Maria, dan juga Yesus, bayi itu. Di kandang itu, orang-orang yang jauh dari rumah datang berkumpul. Merayakan seorang anggota keluarga yang baru lahir, tak peduli bahwa mereka orang asing...
Natal, adalah sebuah cerita keluarga. Natal, adalah cerita bahwa di suatu tempat rumahmu berada... tempat yang akan selalu kau rindukan. Dan suatu saat kau akan pulang.
Tak semua orang dapat merasakan hangatnya keluarga bukan? Kenapa aku marah saat Fandy memilih pulang, untuk berkumpul dengan keluarganya di Malam Natal?
Sekali lagi, di balik mataku gambar-gambar itu melintas. Ketika Herodes mendengar kabar, bahwa ada bayi yang baru lahir dan kelak akan mengalahkan tahtanya, Raja itu memerintahkan agar semua bayi yang baru lahir harus dibunuh. Yesus berhasil diselamatkan. Tapi bayi-bayi lain yang sepantaran dengannya, harus berkorban tanpa tahu apa dosa mereka. Natal juga sebuah cerita tentang kehilangan, ketika para ibu menangisi anaknya, para ayah meratapi buah hatinya. Siapa yang tak menyayangi keluarganya?
Aku bisa berteori banyak hal, bahwa aku layak bahagia, bahwa hidupku harus berguna, bahwa homoseks jangan dihakimi, bahwa Natal ini klise... Mulutku bisa terus berkicau tentang pemikiran-pemikiran yang berkilau. Tapi... siapa aku, jika tak bisa bersyukur atas satu berkat yang begitu sederhana: keluarga yang menyayangiku?
Aku teringat bagaimana Papa tersenyum. Aku teringat bagaimana Denis mencegahku pergi, memegang tanganku dengan sorot matanya yang seolah berkata, “Kami tetap menyayangimu...”
Kenapa aku meninggalkan mereka, di saat kami sudah berangkat bersama untuk merayakan Natal?
Waktu seperti berhenti, ketika semua itu terlintas. Ketika semua itu bertanya padaku.
“Rik... maaf, aku mungkin nggak bisa ikut ke kafe...” ucapku lirih.
“Kenapa?”
“Ini waktuku untuk pulang.”
Erik tak menjawabku. Aku berpaling padanya.
“Maaf, ya... Aku yang ngasih ide, tapi aku malah nggak jadi ikut...” ucapku menyesal.
“Nggak apa-apa kok,” Erik tersenyum. Memberiku kelegaan. “Ini sudah malam, seharusnya aku juga pulang. Aku antar sampai rumah, ya?”
Aku mengangguk. Mengucapkan ‘terima kasih’ pun sulit. Andai aku tak bertemu Erik, andai dia tak bertanya, aku mungkin hanyalah seorang anak yang berlari di trotoar di Malam Natal, berlari dalam kemarahan. Tak pernah menemukan makna yang telah lama hilang. Makna Natal yang kulupakan...
Mobil tiba di depan pagar rumahku. Aku masih duduk beberapa saat, meskipun mobil sudah berhenti.
“Ini Malam Natal yang sangat berkesan untukku,” ucapku lirih.
“Oh, ya? Karena apa?” tanya Erik dengan mimik penasaran.
“Karena aku menemukan makna Natal yang mungkin sudah lama dilupakan. Dan baru sekarang aku sadari...”
“Apa itu?”
“Bahwa aku harus cepat pulang,” ujarku sambil tertawa pelan.
Dahi Erik mengernyit, tak paham. Aku mungkin memang kelihatan sedang bercanda.
“Kamu juga harus cepat pulang,” ucapku ke Erik.
Erik lalu juga tertawa. “Iya, aku akan langsung pulang.”
“Hati-hati, keluargamu menunggu.”
“Mereka pasti sudah tidur.”
“Bukan berarti mereka tak menunggu.”
Aku membuka pintu mobil, dan keluar. Sebelum menutup pintu, aku kembali menengok.
“Terima kasih buat malam ini,” ucapku.
Erik tersenyum, mengangguk seraya mengacungkan jempolnya. Kututup pintu. Mobil itu merayap, bergerak maju. Kupandangi perginya, hingga mobil itu menghilang di pertigaan. Meninggalkanku di sini, di tempat di mana aku pulang...
“Hati-hati, keluargamu menunggu.”
“Mereka pasti sudah tidur.”
“Bukan berarti mereka tak menunggu.”
Aku membuka pintu mobil, dan keluar. Sebelum menutup pintu, aku kembali menengok.
“Terima kasih buat malam ini,” ucapku.
Erik tersenyum, mengangguk seraya mengacungkan jempolnya. Kututup pintu. Mobil itu merayap, bergerak maju. Kupandangi perginya, hingga mobil itu menghilang di pertigaan. Meninggalkanku di sini, di tempat di mana aku pulang...
Berlanjut disini : http://separoohnyolong.blogspot.com/2013/09/a-christmas-apple-0021.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar