RSS

A Christmas Apple


...


Aku berdiri di depan rumahku. Kulihat rumahku. Halaman dengan kolam kecil, rumput Jepang, tanaman melati, pohon mangga, lonceng batang di satu sudut, kenthongan lombok di sudut lain, berwarna merah seperti pakaian Santa Claus. Remang-remang, sunyi. Semua yang ada di dalam sepertinya sudah terlelap.

            
Pintu nggak dikunci.” SMS dari Denis menduluiku sebelum aku sempat missed-call nomornya.
            

Aku masuk. Mendapati ruang tamu yang temaram, hanya diterangi oleh kerlip-kerlip lampu di Pohon Natal. Aku menghampiri pohon yang gemerlapan di sudut ruangan itu. Tapi ada sesuatu di bawah pohon itu, yang tadi sore aku belum melihatnya. Hatiku sedikit berdesir. Kuambil benda mungil itu. Bulat berwarna merah, seperti pakaian Santa Claus...
            
Sebuah apel.
            
Ada pita warna salju yang melingkarinya, bertulis: “For Dimas: Merry Christmas, My Apple.” Tulisan tangan yang aku kenal siapa penulisnya.
            
“Itu dari Fandy,” Denis mengejutkanku.
            
“Dia ke sini?”
           
“Nggak. Tadi pagi dia titipin itu ke aku. Dia pesan supaya dikasihkan ke kamu, ditaruh di bawah Pohon Natal tengah malam,” jelas Denis.
            
Aku terduduk di sofa. Mengamati apel di genggamanku. “Kenapa kamu turuti? Biasanya kamu jutek sama dia?” gumamku lirih.
            
Denis tak menjawab. Dia ikut duduk di sofa. Kupandangi wajahnya yang terdiam dengan juteknya. Ya, dia tak perlu menjawab. Aku tahu kenapa Denis melakukan ini. Dadaku seperti tersentuh oleh dekapan yang begitu hangat. Sebuah apel di Malam Natal, bercerita banyak hal padaku. Namun hanya menyimpulkan satu. Dibalik ucapan ‘Selamat Natal’, satu pesan dibisikkan padaku: “Kau masih disayangi.
            
“Jadi, Santa Claus-nya kamu atau Fandy, nih?” aku mencoba bercanda, menutupi rasa haruku.
           
“Dia yang ngasih. Aku cuma bantuin. Aku Piet Hitam,” balas Denis, bercanda dengan muka juteknya.
            
“Piet Hitam tukang hukum anak nakal. Kenapa aku nggak dihukum, malah dikasih hadiah?”
            
“Karena kamu pacarnya Santa Claus.”
            
Aku tertawa. Terharu.
           
“Kamu bukan Piet Hitam. Kamu sodara iparnya Santa Claus,” gumamku di sela-sela tawa. “Besok pagi tolong bangunin, ya. Aku nggak mau kesiangan buat ke gereja.”
            
“Terus, kalo sudah sampai gereja kamu mau kabur lagi?”
            
Aku tersenyum. “Kali ini enggak.”
            
Wajah Denis tak terlihat jutek lagi. “Aku ngerti, kamu kecewa sama Mama...”
            
Aku menggeleng. “Mama hanya nggak tahu. Dia belum tahu. Lagipula, orang tua yang baik selalu ingin anaknya jadi bener. Wajar kalo Mama juga begitu... Akulah yang seharusnya bisa mengerti.”
            
Ketika hatiku lebih jernih, aku baru bisa berpikir ke situ. Sebenarnya aku bisa menyimpulkan itu sejak dulu. Aku hanya terseret egoku.
            
“Apakah Mama tadi marah?” tanyaku.
            
“Cuma kesal. Aku bilang kamu dijemput teman buat Natalan di tempat lain,” jawab Denis.
            
Aku mengangguk. Ya, aku memang merayakan Malam Natal di tempat lain. Di mobil Erik, di lesehan Galabo, di jalan... Untuk sadar bahwa tempat yang paling tepat sesungguhnya adalah di sini, di tengah keluarga yang menyayangi kita.
            
Aku berdiri, membawa apelku. “Makasih ya, Den...”
            
“Buat apa?”
            
“Buat semuanya.”
            
Jawaban itu cukup. Aku tahu Denis, dia cepat mengerti. Terlebih tentang kami berdua. Dia adalah seseorang yang siapapun tak akan menyesal punya sodara seperti dirinya. Dia hanya selalu pura-pura jutek. Aku hanya kadang-kadang lupa.

Aku berdiri. “Selamat Natal,” ucapku.

Denis cuma mengangguk, sambil membalas toss dariku. Kepalan kami bertemu, saling meninju.

Aku beranjak menuju kamarku. Melangkah tenang, tanpa beban. Jatuh ke kasur seperti menyambut kedamaian.

Sebelum tidur, kubuka HP-ku. Aku mengirimi Fandy sebuah pesan.


Di rumahnya sana, ternyata Fandy belum tidur. Sebab dia membalas pesanku...


Aku tersenyum. Begitu ringan, seringan air mata yang mengayun dari pelupuk ke pipiku. Terima kasih Tuhan, untuk Malam Natal ini. Meski aku tak bersamanya, aku percaya di suatu tempat sana dia baik-baik saja. Di rumahnya, bersama keluarganya.




~Selesai~

0 komentar

Posted in

Posting Komentar