Keranjang 13 - 15
Keranjang 13
Piknik
Aku turun dari mobil. Kurapatkan ransel besar di punggungku dengan
sigap begitu kulihat jajaran bus wisata sudah nampak diparkir di halaman
sekolah. Teman-teman sekolahku dan juga guru-guru berkerumun,
mengkoordinir persiapan keberangkatan. Akhirnya tiba juga hari
ini! Bersiap ke Bali!
“Gimana, Papa temenin bentar? Sampai busnya berangkat…?” tanya Papa yang juga turun dari mobil.
“Nggak apa-apa sih kalo Papa nggak sibuk. Tapi bukannya Papa harus segera ke kantor?”
“Nggak apa-apa, molor dikit aja…”
“Jangan ah, masa ngantar aku aja pakai ngaret jam kantor sih…?!
Lagian aku tinggal nunggu busnya berangkat aja kok, udah diurusin sama
panitianya.”
“Gitu? Ya udah. Kamu nggak kurang apa-apa lagi?”
“Udah beres semua. Pokoknya aku tinggal berangkat aja kok…”
“Ya udah… Kalau gitu Papa tinggal ya…?”
“Iya, nggak apa-apa…”
Tapi Papa kayaknya masih berat buat ninggalin aku di sini. Dia masih berdiri melihat ke sekeliling dengan agak bengong.
“Udah, nggak apa-apa! Kayak mau ninggalin anak kecil aja?!” cibirku dengan agak jengkel melihat tingkah Papa.
“Kok jadi ngusir Papa gitu?” Papa ganti mencibir.
“Bukannya ngusir…! Papa kan harus ke kantor! Udah jam berapa nih?!” balasku sambil melihat ke jam tanganku.
“Iya, tapi kamu kan mau pergi jauh, masa nggak boleh sih Papa temenin bentar?” gumam Papa sedikit cengengesan.
“Tapi kan aku nanti balik lagi? Cuma lima hari aja…”
“Hahaha… Tambah gede, tambah pinter ngomelin Papa…!” cetus Papa sambil mengucal rambutku. “Nurun dari Mama!”
“Tambah ngelantur!” gumamku santai tapi juga sedikit agak kesal.
“Ya udah sana, Papa tinggal sekarang!” decak Papa sambil beranjak dan naik lagi ke mobil. “Selamat piknik, ya…!”
“Iya. Thank you, Pa…” balasku berseloroh.
Lalu perlahan mobil Papa mulai bergerak lagi. Perlahan-lahan
meninggalkan halaman sekolah. Aku melambai, hingga mobil itu akhirnya
benar-benar keluar dari area sekolahan, melintas di jalan. Bukannya aku tega ngusir Papa, tapi… semakin lama ditemani nanti malah
makin berat buat berpisah. Ya, meski cuma lima hari…
Sekarang, saatnya aku bergabung dengan kerumunan anak-anak lainnya,
teman-teman sekolahku yang juga sama-sama menunggu berangkatnya bus.
Aku duduk di bibir bak taman, di halaman sekolah. Menyendiri meski di
sekitarku penuh orang, guru-guru dan teman-teman sekolahku. Ya,
beginilah aku. Kenal banyak teman, tapi nggak pernah benar-benar dekat.
Pasif, lebih suka menyendiri.
Lagipula, saat ini aku masih terbeban oleh sesuatu yang berat. Meski
bisa kubayangkan piknik ini bakal menyenangkan, tapi perasaan dan
pikiranku masih terganjal sama masalah di rumah. Apa lagi kalau bukan
perbuatan Denis kemarin itu?! Aku masih cemas dan gelisah saja…!
Saat aku berangkat dari rumah tadi, aku pamitan ke semua orang di rumah.
Kecuali Denis. Aku belum bisa maafin kelancangannya padaku. Kelancangannya yang telah melanggar privasiku, mencuri rahasiaku!
Bagaimana kalau selama aku pergi… dia bilang ke Papa sama Mama…?
Sudah terjadi… Aku nggak bisa apa-apa lagi.
Lupakan saja dulu… Lebih baik aku fokus menikmati suasana piknik ini!
Lupakan Denis. Lupakan perbuatannya! Nikmati saja piknik ini. Bukannya
aku sudah menunggu-nunggu acara ini?!! Go ahead for funs…!
“PERHATIAN… PERHATIAN… Kepada semua peserta wisata, kami panitia
menginformasikan bahwa bus akan segera diberangkatkan… Untuk itu dimohon
semua mempersiapkan diri… Sebelum mengambil tempat duduk di bus
masing-masing, kami informasikan pula bahwa akan ada penggabungan
beberapa kelas dalam satu bus demi efisiensi tempat duduk. Setelah kami
informasikan keterangan bus dan kelas yang menumpangi, silakan nanti
mencari tempat duduk masing-masing dengan rapi dan tidak berebut…” Bla
bla bla… Panitia sudah mulai mengkoordinir peserta piknik.
Aku bangkit mempersiapkan diri. Sesuai koordinasi dari panitia, busku
akan diisi peserta dari kelasku dan kelas sebelah. No problem.
Mulai, peserta piknik berjubal masuk ke bus mencari tempat duduk
masing-masing. Sebagian ada yang memang sudah punya rencana buat duduk
satu deret, sebagian lagi nggak punya rencana dengan siapa-siapa soal
tempat duduk. Aku adalah peserta di kategori kedua.
Mungkin karena aku juga terlalu nyantai soal cari tempat duduk,
akhirnya dapat kursi di deret agak belakang. Agak nyesel juga… Tapi ya
sudah. Toh aku bukan anak yang gampang mabuk apalagi muntah-muntah kalau
naik bus, yang biasanya merengek nggak mau dapat jatah kursi belakang.
Nggak ada masalah bagiku. Aku sudah memantapkan diri: ini piknik, enjoy
aja…!
“Udah ada yang nempatin?” ada anak dari kelas sebelah bertanya sambil
menunjuk kursi di sampingku yang masih kosong. Aku tahu dia, namanya
Bambang. Tahu namanya aja, kenal sih nggak.
“Belum,” jawabku.
“Aku duduk sini ya…”
“Oke.”
Bambang pun segera mendudukkan tubuhnya yang tambun di kursi di
sebelahku. Duduk satu deret sama orang yang nggak gitu akrab. Bukan
masalah juga. Aku bukan orang yang suka nge-gank, jadi nggak menuntut
harus berkoloni sama teman-teman tertentu saja. Duduk sama orang yang
belum akrab nggak pernah jadi masalah buatku.
“Kamu nggak kencan duduk sama teman semeja gitu?” tanya Bambang beramah tamah.
“Nggak. Di kelasku duduknya nggak diatur. Berubah tiap hari, pilih
kursi sesukanya. Jadi teman semeja juga gonta-ganti terus,” jawabku juga
meramahkan diri.
“Sebenarnya masih ada satu kursi di deret agak depan. Tapi aku
mending pindah ke sini aja… Males dekat si Eka…” ujar Bambang setengah
berbisik.
“Kenapa?”
“Kamu nggak tahu ya? Si Eka… Anak dari kelasku…?”
“Ohh…” aku mengangguk sambil mengingat-ingat. Eka, anak kelas
sebelah yang katanya pernah kena kasus itu…? Aku cuma dengar-dengar
juga sih…
“Dia kan ‘pemakai’, kemarin hampir OD kan dia…!” bisik Bambang.
“Iya, aku juga dengar beritanya…” timpalku.
Aku nggak tahu musti komentar apa. Aku nggak suka juga sih kalau udah
makai-makai narkoba gitu. Merokok aja nggak doyan. Tapi, itu kan urusan
pribadi orang juga? Aku nggak mau ambil pusing ah…! Setiap orang punya
hal-hal pribadi masing-masing. Sebenarnya, aku sendiri termasuk males
kalau harus menggunjingkan masalah pribadi orang lain. Tapi, haknya si
Bambang juga sih memilih duduk dekat aku. Sama-sama bayar.
Rupanya bus masih menunggu satu peserta piknik yang belum datang. Payah nih, mau senang-senang aja kok masih ngaret juga?!
Setelah beberapa menit menunggu, akhirnya datang juga peserta yang
ngaret itu. Peserta yang datang ngaret itu dari kelas sebelah juga.
Langsung disorakin sama anak-anak satu bus. Sudah pada nggak
sabar mau berangkat! Untung ditungguin. Kalau sampai ditinggal, pasti
nangis bombay tuh anak…!!!
Lalu nggak lama kemudian, bus pun mulai jalan. Akhirnya berangkat…!
Bergerak meninggalkan kota Solo…. Inilah piknik yang sudah
kutunggu-tunggu…
JOURNEY TO BALI…!!!
Selama perjalanan, semula aku sempat agak risih sama anak-anak lain
yang mulai genjreng-genjreng gitar, nyanyi berjamaah di deret bangku
panjang paling belakang. Lebih mirip teriak-teriak daripada nyanyi!
Teriak kalau lagunya rock sih pantas. Dodol banget, teriaknya nyanyi
lagu-lagu pop mellow menye-menye, yang mustinya lebih cocok (seandainya)
dinyanyikan dengan gaya keroncong!
Tapi, aku sudah tahu cara mengantisipasinya. Pasang headset, putar
mp3, setel posisi kursi, sandarkan kepala sambil lihat pemandangan di
luar! Inilah cara terbaikku buat menikmati sebuah perjalanan. Polusi
suara, bablasss…!
Aku pasti bisa menikmati piknik ini. Aku pasti bisa menikmatinya…!
Sudah, lupakan saja semua yang ada di rumah. Saatnya senang-senang!
Bali, aku datang…!
***
Keranjang 14
Titanic On The Picnic
Pada dasarnya, sampai saat ini aku bisa menikmati perjalananku. Pagi
dari Solo, dan menjelang malam sudah sampai di Pelabuhan Ketapang.
Sempat break, rombongan bus dari sekolahku harus antri menunggu jatah
ferry buat menyeberang ke Gilimanuk. Lama. Ya harus maklum, soalnya
memang musim liburan. Pelabuhan jelas ramai! Tapi setelah lama menunggu,
akhirnya…
Tiba juga giliran buat menyeberang ke Bali…
Aku menopangkan siku di atas bibir dek. Menatap pemandangan selat.
Menghirup segarnya udara laut pagi hari. Mengusap percik-percik ombak
yang jatuh di mukaku. Pulau Bali yang tampak jauh di depan, makin lama
makin dekat. Perjalanan ini sudah terasa surga buatku… Apalagi kalau
nanti sudah sampai di sana… di Bali… Senangnya!
Tapi di kapal ini kebisingan orang-orang menyisihkanku. Aku mencari
tempat yang lebih tenang. Aku menuju ke salah satu sudut di buritan yang
agak sepi. Lebih tenang dan lebih nyaman buat menikmati suasana di atas
air Selat Bali yang terbelah oleh laju kapal. Debur air terdengar
sangat riak dan riang, mengiring penyeberangan yang semakin merapat ke
pantai Bali.
Kutengok ke tiap sudut, memastikan nggak ada orang yang sedang
melihatku. Lalu pelan-pelan aku melangkah ke bagian yang agak ujung di
buritan. Badanku merapat ke batas kapal, di depanku terlihat Pulau Jawa
yang terpisah oleh selat, makin lama tampak makin menjauh… Air selat
jernih membiru, angin semerbak sejuk. Lalu semakin jelas apa yang sedang
kubayangkan… Kurentangkan kedua tanganku… Membayangkan diriku seperti
adegan di film Titanic, menghayati suasana laut…
Tiba-tiba tubuhku terasa kurang seimbang dan…
“AAAHHHHHH……..!!!” pekikku.
Aku hampir saja terjelungup…!
Kusadari ada tangan yang memelukku dari belakang… Tangan yang telah
menahanku hingga aku nggak sampai terjatuh… Aku gemetar… Jantungku
berdegup keras… Siapa ini, yang mendekapku dari belakang? Siapa ini yang
telah menolongku…?
Kupalingkan wajahku…
“ERIK…?”
“Kalo mau gaya seperti itu jangan di buritan…! Angin meniup kamu dari
belakang! Untung kamu nggak jatuh…!” ujar Erik, pelan-pelan dia
melepaskan tangannya.
“Ummmhh…” aku gugup. Erik tepat di depanku, sangat
dekat, dan baru saja memelukku…!!! “Makasih… Aku memang ceroboh…!” aku
terbata-bata masih sukar percaya.
“Apa-apaan kamu gaya seperti itu? Niru film Titanic?!” Erik mencibirku.
Aku nggak bisa menahan malu di depan Erik.
“Malu juga sih… Tapi ya udah, aku ngaku aja deh… Ini pertama kalinya
aku nyeberang laut, apalagi ini nyeberang ke Bali! Pingin menghayati…”
jawabku apa adanya dan sedikit tersipu.
“Belum pernah sama sekali? Hmmm…” Erik memandangiku, pasti masih membayangkan betapa konyolnya tingkahku!
“Kok kamu malah kesini, nggak gabung sama teman-temanmu?” tanyaku
jadi penasaran dengan kemunculannya yang tiba-tiba. Jangan-jangan dia
mengawasiku di luar kesadaranku…?
“Males aja sama orang-orang yang terlalu rame. Pingin cari tempat
yang tenang aja…” jawab Erik. Dia menopangkan tangannya di bibir kapal,
menatap lepas ke arah laut.
Aku pun ikut memandangi laut lagi, ikut menopangkan sikuku. Kami
sama-sama menatap indahnya laut. Memandangi Pulau Jawa yang kami
tinggalkan. Udara terasa sangat sejuk menyenangkan, sama dengan rasa
hatiku. Nggak nyangka, aku akan menemukan momen seperti ini… Akrab
dengan Erik, berdua di atas kapal yang melaju di tengah selat biru.
Sentuhan tangannya masih meninggalkan jejak rasa di pinggangku, seolah
masih terasa tangannya mendekapku… Sungguh menghanyutkanku…
“Memang lebih indah kalau dinikmati dengan ketenangan… Lebih mudah dihayati…” aku berbisik di tengah suara deburan ombak.
“Kamu nggak ngelanjutin yang tadi?” tanya Erik. Matanya menatapku,
cerah bagai memantulkan cemerlangnya sinar keemasan dari mentari pagi
yang sedang menembus tirai langit. Begitu hangat dan lembut.
“Ngelanjutin apa?” gumamku terawang-awang.
“Tadi kamu mau nyobain gaya di film Titanic kan? Nggak dilanjutin?”
“Aaahhh…! Kamu ngeledek ya?! Sekarang kan ada kamu di sini…! Malu
lah…” dengusku sedikit kesal sekaligus gemas.
Erik tertawa pelan. Lalu, dia mendekat padaku.
Jantungku berdegup lebih kencang… Berdesir-desir…
“Kenapa, Rik…?” gumamku gugup dan hampir saja menjauhkan diriku
dengan spontan, andai saja aku nggak langsung ingat kalau yang ada di
depanku ini… Erik, cowok yang kucintai!
“Kamu lanjutin aja yang tadi… Ini pertama kalinya kamu nyeberang laut kan? Aku akan pegangi kamu, biar nggak jatuh…” bisik Erik.
Dear God, please jangan mengolok-olok nasibku! Erik ini
Pangeran tampan yang dinanti banyak Puteri! Satu kali tadi dia boleh
memegangiku demi mencegahku jatuh dari kapal! Sekarang dia sengaja mau
memegangiku lagi dan memintaku untuk menyetujuinya…?!! YANG
BENAAAARRR…???!!! DENGAN BAHAGIA AKU BERSEDIA… TAPI JANGAN
MEMPERMAINKANKU…!!!
“Ayolah, nggak usah malu?! Nggak ada yang lihat kok. Kamu rentangin
tanganmu, aku akan pegangi kayak tadi…” bisik Erik, dia benar-benar
mendekapkan tangannya ke pinggangku.
Aku memiliki sejuta kebingungan dan keraguan, tapi aku nggak bisa
menyangkal hatiku yang bersorak-sorak kegirangan seiring dengan desir
jantungku yang makin memburu…! Dengan ragu, bimbang dan gugup…
kurentangkan tanganku… Merentang…
Dan bahagia ini pun terasa penuh…!!! Senyumku mengembang bagai sayap burung yang pertama kali merasakan terbang…
“Nggak usah takut. Kamu nggak akan jatuh…” Erik berbisik ke
telingaku, mendekap punggungku erat.
“Sekarang kita mirip Leonardo
DiCaprio dan Kate Winslet kan…”
“Kamu Leonardo DiCaprio-nya…?”
“Dia favoritku…” sahut Erik.
“Tapi aku nggak mau jadi Kate Winslet…” balasku dengan bibir gugup.
“Siapa yang kamu suka…?”
“Mmmmhhh… Mario Maurer…”
“Mario…? Siapa…?”
“Dia adalah…” gumamku sambil mengawang, membayangkan sosok tampan dari Negeri Gajah Putih itu…
Tapi kemudian senyumku jadi kecut saat membayangkan: Leonardo
DiCaprio memeluk Mario Maurer di buritan sebuah kapal ferry…? Dimas,
James Cameron akan menggangtungmu…!!!
Lalu angin pun tiba-tiba bertiup sangat kencang dari belakang. Angin yang menukik ke buritan…! Kencang sekali dan…
“AAAAAHHHHHHHHH……………!!!!!!!!”
Tubuhku terpelanting, terlempar jatuh dari atas kapal menukik ke permukaan air… Dan…
DUAAAKKKK…!!!
“Aduhhhhhhhhh………!!!!!!!!!!!” aku menjerit.
Barusan tubuhku terayun keras ke depan, membuat jidatku membentur… KURSI DI DEPANKU…!!!
“Ada apa…??!!!!” aku langsung gelagapan bertanya-tanya. Kaget setengah mati…!
“Busnya hampir nabrak mobil di depan. Rem mendadak tadi…” jelas Bambang yang duduk di sampingku.
Mimpiku pelukan sama Erik di kapal…???!!!
BUYAAAAARRRRRR…!!!
Kesadaranku dengan cepat mengaktifkan semua indra dan juga pusatnya,
otakku! Dengan cepat mengingat perjalanan ini sampai mana… Tadi pagi
sudah sampai di Gilimanuk… Dari Gilimanuk perjalanan berlanjut dengan
bus lagi… INI SUDAH DI BALI…!!!
Takdir benar-benar mengejek nasibku!!!
Tapi…
Memang sih, mimpi seindah apapun akhirnya ya cuma sebuah mimpi… Kecewa, tapi mau apa lagi…?! Nasib yang kejam!
No other choice. Get real aja lah…
Terima kenyataan… Lagian Erik kan juga ikut piknik ini, amini saja
semoga aku punya kesempatan yang nyata! Kalau aku bisa menempatkan diri
dan tahu setiap peluang, mungkin saja aku bisa menikmati waktu sama dia
kan?! Malah nggak cuma mimpi! Piknik ini kan nyata.
Aku menarik nafas panjang. Berusaha mengendapkan emosiku. Membangun lagi pikiran yang positif dan optimis dalam diriku.
Lalu, dengan dongkol… aku mencoba tersenyum lagi…
Setelah berusaha menepis semua rasa kesal, aku sekarang mulai
menyadari sesuatu! Rupanya… selama tidur aku telah melewatkan sesuatu.
Sekarang aku baru tahu kalau ternyata sudah ada seorang Tourist Guide
yang stand by di dalam bus. Tour Guide itu berdiri, dan… memperkenalkan
dirinya di hadapan para peserta piknik… Seorang Tourist Guide yang… Handsome…!
“Perkenalkan, nama saya Wayan Himawan Astika, bisa memanggil saya
Awan…” Tourist Guide itu memperkenalkan dirinya dengan senyum lebar yang
ramah dan sejuk di bibirnya. “Saya akan memandu adik-adik semua selama
perjalanan wisata ini, tapi terlebih dulu saya ingin sampaikan dengan
penuh rasa bangga dan terima kasih… SELAMAT DATANG DI BALI…!”
Akhirnya kejengkelanku teralih! Piknik ini mulai menawarkan kejutan baru! Aku siap… Siap dipandu olehmu Mas Tour Guide…!!!
Keranjang 15
Obyek pertama piknik di Bali adalah Batu Bulan. Nonton TARI BARONG!!!!
Pandangan dan imajinasiku benar-benar dimanjakan oleh indahnya Tari Barong… Sebuah tarian yang sangat iconic dari Pulau Dewata. Eksotik! Memukau dan langsung memberiku kesan yang nggak mungkin terlupakan tentang indahnya seni dari Pulau Dewata ini…!
Aku memang nggak ngerti bahasa yang dipakai sih… Tapi untung ada booklet yang ngasih gambaran tentang apa yang diceritakan dalam tari Barong itu. Jadi secara garis besarnya aku faham. Tentang perselisihan antara kebaikan dan kejahatan. Kebaikan diwakili oleh Barong, sedangkan kejahatan diwakili oleh Rangda. Terus ada Sahadewa, anak termuda dari keluarga Pandawa yang diminta oleh Rangda sebagai tumbal. Melalui mahluk Barong, Para Dewa menolong Sahadewa dengan memberinya kekuatan untuk melawan Rangda…
Menarik! Aku nggak mau kelewatan merekamnya dengan Digicam-ku…!
Tapi… pesona para penari itu akhirnya dapat saingan! Aku jadi nggak begitu konsen lagi dengan atraksi tari Barong itu gara-gara ada mahluk lain yang menyita perhatianku. Mahluk yang jelas lebih cute dibanding Barong ataupun Rangda! Rambut gondrong si Rangda itu boleh saja menang kontes melawan rambut penyanyi metal manapun, tapi kalau lawan rambut spike-nya Erik… tunggu dulu!
Erik duduk nggak jauh dariku, di deret depanku dengan posisi agak samping. Dia itulah, mahluk cute yang bikin aku jadi nggak konsen nonton Barong! Posisi duduknya memberiku banyak kesempatan buat melihat wajahnya yang cakep itu. Akhirnya bukan cuma mata para penari itu yang main lirik-lirikan, mataku pun jadi ikut lirik-lirik… tentu saja melirik si Erik! Digicam-ku juga sesekali mencuri wajahnya… Lumayan, kan bisa buat obat kangen misalnya nggak bisa lihat wajah dia! Hahaha… Pokoknya jadi nggak konsen…!
Erik atau Tari Barong?
Biar adil, JUST BLEND IT! Harusnya Erik ikut nari Barong aja sekalian…! Tapi jangan jadi Barong-nya! Jadi Sahadewa aja, tokoh ksatria protagonis di kisah itu. Wahhh… gimana jadinya kalau Erik pakai kostum gaya Bali itu, dengan bedak dan gincu lalu ada bintiknya di kening…? Bakal jadi Sahadewa paling cakep sepanjang sejarah kayaknya!
Barong dan Erik, keduanya akhirnya malah jadi satu paket yang benar-benar menghibur mataku! Biarpun kedengarannya maksa banget… tapi aku menikmatinya! Jadi lebih berkesan.
Sekitar satu jam di pertunjukan Tari Barong yang memukau. Akhirnya selesai juga. Agak berat juga sih… Pertunjukan yang sangat bagus…! Kalau suatu saat aku ke Bali lagi, nggak akan kulewatkan pertunjukkan indah ini.
Goodbye, Barong… Perjalanan piknik harus diteruskan. Harus kembali duduk di bangku bus. Menuju obyek wisata berikutnya…
Tour Guide kami yang cakep, dengan bersemangat menjelaskan panjang lebar tentang obyek wisata berikutnya, Goa Gajah. Aku sebenarnya tertarik buat mendengar, tapi gara-gara suara berisik anak-anak di bangku belakang aku jadi nggak begitu menangkap penjelasan Tour Guide yang berdiri di depan itu. Aku cuma bisa melihat wajahnya yang cakep itu, melihat bibirnya yang terus bergerak tapi tanpa suara yang jelas.
“Kamu nangkep nggak Tour Guide itu ngomong apa?” tanyaku sedikit basa-basi ke Bambang.
Tapi… Asem! Aku baru sadar kalau si Bambang pakai headset! Jangankan suara Tour Guide itu, suaraku yang duduk dekat dia aja pasti nggak bakal dengar! Kayaknya mending aku juga pakai headset-ku, putar musikku sendiri! Biar nggak bete! Sayang kalau jauh-jauh piknik ke Bali tapi malah bete sepanjang jalan!
Entah berapa lama waktu yang telah terlewat. Pada akhirnya, sampai juga di Goa Gajah…
Bus berhenti. Kami semua turun dan tampaknya semuanya antusias menyambut obyek wisata kedua ini.
Aku berdiri memandang berkeliling dengan takjub! Goa Gajah adalah sebuah Pura kuno yang berupa gua dengan pahatan-pahatan yang sangat indah… Halaman luarnya dilengkapi kolam pancuran yang cukup besar. Aku melongok ke dalam bilik kolam, dan bisa kulihat dengan jelas… rupanya air memancur dari badan arca-arca yang berjajar, arca-arca bidadari yang terpahat dengan sempurna…!
Benar-benar sebuah nuansa Bali klasik yang sangat anggun…!
“Patung-patung itu asli peninggalan dari jaman kuno…” tiba-tiba ada yang berbicara di dekatku.
Mas Tour Giude… yang aku lupa namanya… Dia sudah berdiri di sampingku, ikut melongok ke dalam bilik kolam.
“Eee… Iya, bagus…” sahutku agak gugup.
“Nggak tertarik lihat guanya?” tanya Tour Guide itu dengan ramah.
“Tertarik lah! Tapi nanti aja, kan banyak waktu… Semuanya yang ada di sini kelihatan bagus, jadi nggak bosan buat dinikmati!” selorohku hangat, jadi tambah semangat didekati mas-mas yang cakep ini. “Memangnya boleh ya, masuk ke guanya…? Bukannya itu tempat buat sembahyang?”
“Ya boleh lah! Kalo nggak boleh masuk ya nggak akan jadi tempat wisata!” seloroh Tour Guide itu dengan tawa hangat.
“Nggak ada pantangan ato apa gitu?” tanyaku, sambil melangkah pelan mengikuti langkah Tour Guide itu.
“Kami punya falsafah, Tri Kaya Parisudha… Jaga pikiran, ucapan dan tindakan agar tetap bersih…” jelas Mas Tour Guide hangat.
Aku menyimak. Aku pun mengangguk pelan. “Iya… Benar…” gumamku tersenyum, merenung-renung sambil berjalan. “Itu udah jadi nilai yang universal… Di mana pun kan memang sebaiknya begitu ya?”
“Ya, di manapun!” sahut Tour Guide itu dengan senyum dan anggukan. “Wahhh… Ngomong-ngomong soal nilai universal, di Goa Gajah ini ada satu pelajaran yang sangat indah!”
“Apa itu?!” tanyaku dengan perasaan tertarik.
Tour Guide itu berhenti sejenak. Aku juga ikut menghentikan langkahku. Karena sekarang kami telah berada tepat di depan mulut gua…
“Gua ini dibangun sekitar abad 10 Masehi. Fungsinya sebagai tempat untuk bertapa…” terang Tour Guide itu. “Yang menarik adalah, di dalam sana ditemukan peninggalan arca-arca… baik dari agama Hindu maupun Buddha…”
Aku sedikit ternganga. “Jadi… Tempat ini dipakai bersama-sama, penganut Hindu dan Buddha?” sahutku takjub.
“Ya. Arca-arca itu masih bisa dilihat sampai sekarang, menandakan kalo kedua umat bisa hidup berdampingan, berbagi tempat ibadah…”
“Woowww…”
Aku terpana dan berdecak kagum membayangkan penjelasan yang kudapatkan tentang Pura Goa Gajah ini. Luar biasa! Jadi malu rasanya kalau membayangkan keadaan jaman sekarang, yang sebentar-sebentar ada saja berita soal pertikaian antar umat beragama…
“Jadi kalo nggak masuk ke dalam, nggak lengkap lho…!” gurau si Mas Tour Guide.
“Hahaha… Ya udah deh, aku masuk!” balasku bersemangat. “Kamu juga mau masuk kan, Mas…?”
Belum sempat pertanyaanku dijawab…
“Emmhhh… Wah, ada yang manggil tuh…!” gumam Tour Guide itu seraya memandang ke arah rombongan teman-temanku yang lain, yang melambaikan tangan mereka. “Saya nanti kalo sempat pasti nyusul ke dalam, itu teman-teman kamu manggil tuh… Saya ke sana dulu.”
“Ooo… Ya, udah lah… Aku masuk dulu aja!” sahutku, dengan sedikit kecewa.
“Maaf ya, Dik…”
“Nggak papa kok. Mas kan udah nemenin aku, udah cerita-cerita banyak juga… Giliran nemenin mereka tuh…!”
“Hahaha… Selamat jalan-jalan ya!” salam Tour Guide, sambil melambaikan tangannya sekilas.
“Makasih!” balasku simpul.
Aku melangkah masuk ke dalam gua. Ruangan gua berupa sebuah lorong dengan ceruk-ceruk di kedua sisi. Aku melangkah pelan merasakan suasana gua yang temaram… Teduh, tenang… Kebetulan agak sepi karena pengunjung banyak yang sedang berada di luar. Jadi, lama-lama suasananya mulai terkesan angker. Aku berhenti di depan sebuah ceruk yang berisi arca Ganesha. Aku terpaku mengamati patung Dewa Kebijaksanaan itu…
“Dimas…!” tiba-tiba kudengar seseorang menyapaku, mengejutkanku dengan suaranya yang agak bergaung di dalam gua.
Aku pun menoleh…
“Ehhh… Hai, Rik…?” balasku gugup, setelah agak lama bengong.
“Gimana, asyik nggak pikniknya…?” lontar Erik dengan senyum menawannya.
“Banget…!” gumamku dengan senyum agak tersipu.
“Kok menyendiri aja, nggak gabung sama rombongan?” tanya Erik.
“Nggak papa, malah jadi lebih konsen aja menikmati suasana…” jawabku. Bukan berarti aku ngarep sendiri terus lah! Seandainya Erik mau nemenin aku kemana-mana, ya jelas mau!
“Emmhhh… Nanti malam ada waktu nggak?” tanya Erik.
Degup-degup… jantungku langsung tegang…! Erik tanya aku ada waktu apa nggak…? Buat malam nanti…??? Buat apa…???
“Ya ada lah pastinya…” jawabku agak gugup.
“Aku pingin ngomong sesuatu sama kamu…” ujar Erik.
“Ngomongin apa ya…?” tanyaku deg-degan.
“Ada lah, nanti aja sekalian…” jawab Erik. Tambah bikin penasaran.
“Di mana…?” aku bertanya lagi karena terburu rasa penasaran.
“Ya gampang lah nanti, kita lihat dulu situasinya nanti…” gumam Erik dengan senyum sarat misteri.
Oh my dear God! Meminta waktu buat ngomong berdua…?! Ini pertanda tentang sesuatu yang… PERSONAL…!!!
“Oke… Kapanpun aku siap…” jawabku setengah terpana.
“Oke… Aku duluan ya…!” pungkas Erik diiringi senyum simpulnya.
Lalu dia berjalan meninggalkanku.
Meninggalkanku bersama rasa penasaran ini…
Detik-detik, menit-menit, jam berganti… Waktu berlalu… Meninggalkan Goa Gajah, dan menyisakan rasa penasaran yang terus memburu ini! Penasaran yang makin lama makin berpadu dengan harapan-harapan muluk! Dinner berdua, with candlelight… atau jalan-jalan, atau… atau apaaa???
Penasaran ini akhirnya benar-benar terbawa sampai kemana pun, sampai obyek wisata berikutnya!
Di Pasar Sukawati, aku memikirkan… kira-kira cinderamata apa yang bisa kubeli buat Erik, agar bisa kuberikan nanti malam biar lebih berkesan…?
Kalung manik-manik? Kalung tali di leher Erik sudah sangat mendukung keseksiannya dan nggak perlu kurubah!
Baju Bali…? Ayolah, Erik pasti juga akan beli baju di sini dan ngasih dia satu baju lagi nggak akan meninggalkan kesan apa-apa!
Patung ukir-ukiran? Dia jelas nggak akan memajangnya di kamar, tapi di ruang tamu! Nggak akan istimewa juga!
Kipas kayu cendana…? Ya ampun Dimas… siapa dan di mana orang suka memegang benda itu, kalau bukan ibu-ibu dengan usia minimal kepala empat di tempat hajatan?! Buat apa ngasih Erik kipas?
Gimana kalau… Topeng Leak…? Jatuh cinta sama seseorang lalu ngasih dia topeng Leak dengan harapan cinta akan diterima…? Lebih mirip mau ngirim pelet ke dia…!
Akhirnya… persinggahan di Pasar Sukawati hanya memberiku waktu buat belanjaanku sendiri. Semua gagasan soal cenderamata buat Erik, nggak ada yang terealisasi! Pikiranku yang terlalu pusing akhirnya malah menggagalkan niat indahku. Fail!
Meninggalkan Pasar Sukawati, perjalanan berlanjut lagi…
Rencana pertemuanku dengan Erik nanti malam, masih terus mengisi angan-anganku!
Debur ombak Pantai Sanur yang tenang seperti memantulkan suara Erik, yang kini selalu menyapaku dengan hangat dan ramah… Pantai Sanur menghadap ke timur, tempat matahari terbit… Matahari terbit berarti simbol harapan dan semangat baru! Ya, saat cinta telah bertemu… itulah semangat baru bagiku! Itulah harapanku!
Ayolah, malam cepat tibaaa…!!! Kusepak-sepakkan kakiku dengan girang dan gemas di atas air pantai! Bermain sendiri dengan pasir dan ombak, sampai lelah dan bosan.
Perlahan aku mulai berdiam. Berdiri terpekur di atas pasir pantai yang tergenang ombak… Dan lama-lama, seiring dengan susah payahku meredam ketidaksabaran, aku mulai merenungkan semua angan-angan itu…
Harapan-harapan yang…
Konyolnya aku yang telah melarutkan diri dalam angan-angan, meresahkan diri dalam lamunan yang muluk-muluk ini!
Pantai Sanur yang damai, dengan ombak lembut yang menyapa tanpa pernah berhenti… Bukankah waktu selalu bergulir? Bukankah malam pasti akan datang, nggak akan lebih cepat atau lebih lambat…? Dan semua yang ingin kudengar, maka akan kudengar… Kenapa aku harus jadi gelisah seperti ini…?
Seperti pantai yang menunggu ombak. Ombak selalu datang. Waktu selalu menjawab bukan…?
Kenapa aku gelisah…?
Sayup-sayup suara riuh kudengar… “Woiii… Jangan woiii…!!!”
Erik, kulihat dia sedang digotong beberapa temannya menuju ke tengah air. Lalu…
Byuuuurrrrr…!!!
Mereka melemparkan Erik ke air. Mereka tertawa-tawa. Erik juga meski kelihatannya bercampur dengan kesal. Aku cuma melihat dari sini, tempat yang nggak dekat… tapi juga nggak terlalu jauh.
“Sialannn…!!!” maki Erik sambil menyibakkan air menciprati teman-temannya yang usil itu sambil ketawa-ketawa.
Lalu… dia malah membenamkan tubuhnya lagi ke dalam air. Bermain dengan ombak. Aku seperti melihat sisi yang lain dari dirinya yang jarang kulihat selama ini. Sisi kanak-kanaknya yang riang dan lepas…
Hari pun makin sore. Mentari bersinar keperakan dan langit makin teduh. Angin makin dingin… Mungkin sebentar lagi saatnya kami harus meninggalkan tempat ini. Pantai yang melukiskan kesejukan sekaligus kegundahan hatiku saat ini… Kusibak air dengan tanganku, memburainya… Aku pun tertawa sendiri, seolah ingin ikut melepas diriku dari segala kepenatan dan kegelisahan.
Lalu kupalingkan lagi mataku, menatap ke sisi di mana Erik masih tampak bermain-main dengan air laut… Dia pun mulai berdiri. Tangannya menyapu kaosnya yang kuyup. Lalu… Dia melepas kaos itu…
Bahkan seumur hidupku, sejak aku kenal dia, baru kali ini aku melihat… tubuhnya itu… Yang putih berkilat oleh air dan sapuan sinar mentari sore, menegaskan setiap lekuk di tubuhnya yang indah… Dia berjalan santai sambil setengah merentangkan kedua tangannya, memegangi kedua ujung kaos basah yang dipuntir dan menempel di tengkuknya…
Lalu sekilas dia menoleh ke arahku.
Dia tersenyum, seolah sudah menyadari keberadaanku di sini sejak tadi. Ya. Tentu saja dia sudah tahu. Sebagaimana halnya aku juga tahu. Maka aku pun membalas senyumnya itu…
Yaaa… Kami saling tahu, dan kami juga mengerti bahwa masing-masing dari kami nggak ingin orang lain melihat diri kami yang menjadi lebih akrab… Kami nggak mau siapapun mengolok-olok kami. Aku mengerti itu. Maka inilah yang kami lakukan, saling berada di tempat masing-masing…, menjaga segala keinginan dalam rasa sabar, lalu… kami saling tersenyum di saat kami harus tersenyum.
Hari pertama di Bali, berhias sebuah romansa yang indah.
Aku akan menunggu untuk malam nanti, Rik…
Bersambung Ke Keranjang 16...
***
Keranjang 15
Nuansa dan Romansa
Obyek pertama piknik di Bali adalah Batu Bulan. Nonton TARI BARONG!!!!
Pandangan dan imajinasiku benar-benar dimanjakan oleh indahnya Tari Barong… Sebuah tarian yang sangat iconic dari Pulau Dewata. Eksotik! Memukau dan langsung memberiku kesan yang nggak mungkin terlupakan tentang indahnya seni dari Pulau Dewata ini…!
Aku memang nggak ngerti bahasa yang dipakai sih… Tapi untung ada booklet yang ngasih gambaran tentang apa yang diceritakan dalam tari Barong itu. Jadi secara garis besarnya aku faham. Tentang perselisihan antara kebaikan dan kejahatan. Kebaikan diwakili oleh Barong, sedangkan kejahatan diwakili oleh Rangda. Terus ada Sahadewa, anak termuda dari keluarga Pandawa yang diminta oleh Rangda sebagai tumbal. Melalui mahluk Barong, Para Dewa menolong Sahadewa dengan memberinya kekuatan untuk melawan Rangda…
Menarik! Aku nggak mau kelewatan merekamnya dengan Digicam-ku…!
Tapi… pesona para penari itu akhirnya dapat saingan! Aku jadi nggak begitu konsen lagi dengan atraksi tari Barong itu gara-gara ada mahluk lain yang menyita perhatianku. Mahluk yang jelas lebih cute dibanding Barong ataupun Rangda! Rambut gondrong si Rangda itu boleh saja menang kontes melawan rambut penyanyi metal manapun, tapi kalau lawan rambut spike-nya Erik… tunggu dulu!
Erik duduk nggak jauh dariku, di deret depanku dengan posisi agak samping. Dia itulah, mahluk cute yang bikin aku jadi nggak konsen nonton Barong! Posisi duduknya memberiku banyak kesempatan buat melihat wajahnya yang cakep itu. Akhirnya bukan cuma mata para penari itu yang main lirik-lirikan, mataku pun jadi ikut lirik-lirik… tentu saja melirik si Erik! Digicam-ku juga sesekali mencuri wajahnya… Lumayan, kan bisa buat obat kangen misalnya nggak bisa lihat wajah dia! Hahaha… Pokoknya jadi nggak konsen…!
Erik atau Tari Barong?
Biar adil, JUST BLEND IT! Harusnya Erik ikut nari Barong aja sekalian…! Tapi jangan jadi Barong-nya! Jadi Sahadewa aja, tokoh ksatria protagonis di kisah itu. Wahhh… gimana jadinya kalau Erik pakai kostum gaya Bali itu, dengan bedak dan gincu lalu ada bintiknya di kening…? Bakal jadi Sahadewa paling cakep sepanjang sejarah kayaknya!
Barong dan Erik, keduanya akhirnya malah jadi satu paket yang benar-benar menghibur mataku! Biarpun kedengarannya maksa banget… tapi aku menikmatinya! Jadi lebih berkesan.
Sekitar satu jam di pertunjukan Tari Barong yang memukau. Akhirnya selesai juga. Agak berat juga sih… Pertunjukan yang sangat bagus…! Kalau suatu saat aku ke Bali lagi, nggak akan kulewatkan pertunjukkan indah ini.
Goodbye, Barong… Perjalanan piknik harus diteruskan. Harus kembali duduk di bangku bus. Menuju obyek wisata berikutnya…
Tour Guide kami yang cakep, dengan bersemangat menjelaskan panjang lebar tentang obyek wisata berikutnya, Goa Gajah. Aku sebenarnya tertarik buat mendengar, tapi gara-gara suara berisik anak-anak di bangku belakang aku jadi nggak begitu menangkap penjelasan Tour Guide yang berdiri di depan itu. Aku cuma bisa melihat wajahnya yang cakep itu, melihat bibirnya yang terus bergerak tapi tanpa suara yang jelas.
“Kamu nangkep nggak Tour Guide itu ngomong apa?” tanyaku sedikit basa-basi ke Bambang.
Tapi… Asem! Aku baru sadar kalau si Bambang pakai headset! Jangankan suara Tour Guide itu, suaraku yang duduk dekat dia aja pasti nggak bakal dengar! Kayaknya mending aku juga pakai headset-ku, putar musikku sendiri! Biar nggak bete! Sayang kalau jauh-jauh piknik ke Bali tapi malah bete sepanjang jalan!
Entah berapa lama waktu yang telah terlewat. Pada akhirnya, sampai juga di Goa Gajah…
Bus berhenti. Kami semua turun dan tampaknya semuanya antusias menyambut obyek wisata kedua ini.
Aku berdiri memandang berkeliling dengan takjub! Goa Gajah adalah sebuah Pura kuno yang berupa gua dengan pahatan-pahatan yang sangat indah… Halaman luarnya dilengkapi kolam pancuran yang cukup besar. Aku melongok ke dalam bilik kolam, dan bisa kulihat dengan jelas… rupanya air memancur dari badan arca-arca yang berjajar, arca-arca bidadari yang terpahat dengan sempurna…!
Benar-benar sebuah nuansa Bali klasik yang sangat anggun…!
“Patung-patung itu asli peninggalan dari jaman kuno…” tiba-tiba ada yang berbicara di dekatku.
Mas Tour Giude… yang aku lupa namanya… Dia sudah berdiri di sampingku, ikut melongok ke dalam bilik kolam.
“Eee… Iya, bagus…” sahutku agak gugup.
“Nggak tertarik lihat guanya?” tanya Tour Guide itu dengan ramah.
“Tertarik lah! Tapi nanti aja, kan banyak waktu… Semuanya yang ada di sini kelihatan bagus, jadi nggak bosan buat dinikmati!” selorohku hangat, jadi tambah semangat didekati mas-mas yang cakep ini. “Memangnya boleh ya, masuk ke guanya…? Bukannya itu tempat buat sembahyang?”
“Ya boleh lah! Kalo nggak boleh masuk ya nggak akan jadi tempat wisata!” seloroh Tour Guide itu dengan tawa hangat.
“Nggak ada pantangan ato apa gitu?” tanyaku, sambil melangkah pelan mengikuti langkah Tour Guide itu.
“Kami punya falsafah, Tri Kaya Parisudha… Jaga pikiran, ucapan dan tindakan agar tetap bersih…” jelas Mas Tour Guide hangat.
Aku menyimak. Aku pun mengangguk pelan. “Iya… Benar…” gumamku tersenyum, merenung-renung sambil berjalan. “Itu udah jadi nilai yang universal… Di mana pun kan memang sebaiknya begitu ya?”
“Ya, di manapun!” sahut Tour Guide itu dengan senyum dan anggukan. “Wahhh… Ngomong-ngomong soal nilai universal, di Goa Gajah ini ada satu pelajaran yang sangat indah!”
“Apa itu?!” tanyaku dengan perasaan tertarik.
Tour Guide itu berhenti sejenak. Aku juga ikut menghentikan langkahku. Karena sekarang kami telah berada tepat di depan mulut gua…
“Gua ini dibangun sekitar abad 10 Masehi. Fungsinya sebagai tempat untuk bertapa…” terang Tour Guide itu. “Yang menarik adalah, di dalam sana ditemukan peninggalan arca-arca… baik dari agama Hindu maupun Buddha…”
Aku sedikit ternganga. “Jadi… Tempat ini dipakai bersama-sama, penganut Hindu dan Buddha?” sahutku takjub.
“Ya. Arca-arca itu masih bisa dilihat sampai sekarang, menandakan kalo kedua umat bisa hidup berdampingan, berbagi tempat ibadah…”
“Woowww…”
Aku terpana dan berdecak kagum membayangkan penjelasan yang kudapatkan tentang Pura Goa Gajah ini. Luar biasa! Jadi malu rasanya kalau membayangkan keadaan jaman sekarang, yang sebentar-sebentar ada saja berita soal pertikaian antar umat beragama…
“Jadi kalo nggak masuk ke dalam, nggak lengkap lho…!” gurau si Mas Tour Guide.
“Hahaha… Ya udah deh, aku masuk!” balasku bersemangat. “Kamu juga mau masuk kan, Mas…?”
Belum sempat pertanyaanku dijawab…
“Emmhhh… Wah, ada yang manggil tuh…!” gumam Tour Guide itu seraya memandang ke arah rombongan teman-temanku yang lain, yang melambaikan tangan mereka. “Saya nanti kalo sempat pasti nyusul ke dalam, itu teman-teman kamu manggil tuh… Saya ke sana dulu.”
“Ooo… Ya, udah lah… Aku masuk dulu aja!” sahutku, dengan sedikit kecewa.
“Maaf ya, Dik…”
“Nggak papa kok. Mas kan udah nemenin aku, udah cerita-cerita banyak juga… Giliran nemenin mereka tuh…!”
“Hahaha… Selamat jalan-jalan ya!” salam Tour Guide, sambil melambaikan tangannya sekilas.
“Makasih!” balasku simpul.
Aku melangkah masuk ke dalam gua. Ruangan gua berupa sebuah lorong dengan ceruk-ceruk di kedua sisi. Aku melangkah pelan merasakan suasana gua yang temaram… Teduh, tenang… Kebetulan agak sepi karena pengunjung banyak yang sedang berada di luar. Jadi, lama-lama suasananya mulai terkesan angker. Aku berhenti di depan sebuah ceruk yang berisi arca Ganesha. Aku terpaku mengamati patung Dewa Kebijaksanaan itu…
“Dimas…!” tiba-tiba kudengar seseorang menyapaku, mengejutkanku dengan suaranya yang agak bergaung di dalam gua.
Aku pun menoleh…
“Ehhh… Hai, Rik…?” balasku gugup, setelah agak lama bengong.
“Gimana, asyik nggak pikniknya…?” lontar Erik dengan senyum menawannya.
“Banget…!” gumamku dengan senyum agak tersipu.
“Kok menyendiri aja, nggak gabung sama rombongan?” tanya Erik.
“Nggak papa, malah jadi lebih konsen aja menikmati suasana…” jawabku. Bukan berarti aku ngarep sendiri terus lah! Seandainya Erik mau nemenin aku kemana-mana, ya jelas mau!
“Emmhhh… Nanti malam ada waktu nggak?” tanya Erik.
Degup-degup… jantungku langsung tegang…! Erik tanya aku ada waktu apa nggak…? Buat malam nanti…??? Buat apa…???
“Ya ada lah pastinya…” jawabku agak gugup.
“Aku pingin ngomong sesuatu sama kamu…” ujar Erik.
“Ngomongin apa ya…?” tanyaku deg-degan.
“Ada lah, nanti aja sekalian…” jawab Erik. Tambah bikin penasaran.
“Di mana…?” aku bertanya lagi karena terburu rasa penasaran.
“Ya gampang lah nanti, kita lihat dulu situasinya nanti…” gumam Erik dengan senyum sarat misteri.
Oh my dear God! Meminta waktu buat ngomong berdua…?! Ini pertanda tentang sesuatu yang… PERSONAL…!!!
“Oke… Kapanpun aku siap…” jawabku setengah terpana.
“Oke… Aku duluan ya…!” pungkas Erik diiringi senyum simpulnya.
Lalu dia berjalan meninggalkanku.
Meninggalkanku bersama rasa penasaran ini…
Detik-detik, menit-menit, jam berganti… Waktu berlalu… Meninggalkan Goa Gajah, dan menyisakan rasa penasaran yang terus memburu ini! Penasaran yang makin lama makin berpadu dengan harapan-harapan muluk! Dinner berdua, with candlelight… atau jalan-jalan, atau… atau apaaa???
Penasaran ini akhirnya benar-benar terbawa sampai kemana pun, sampai obyek wisata berikutnya!
Di Pasar Sukawati, aku memikirkan… kira-kira cinderamata apa yang bisa kubeli buat Erik, agar bisa kuberikan nanti malam biar lebih berkesan…?
Kalung manik-manik? Kalung tali di leher Erik sudah sangat mendukung keseksiannya dan nggak perlu kurubah!
Baju Bali…? Ayolah, Erik pasti juga akan beli baju di sini dan ngasih dia satu baju lagi nggak akan meninggalkan kesan apa-apa!
Patung ukir-ukiran? Dia jelas nggak akan memajangnya di kamar, tapi di ruang tamu! Nggak akan istimewa juga!
Kipas kayu cendana…? Ya ampun Dimas… siapa dan di mana orang suka memegang benda itu, kalau bukan ibu-ibu dengan usia minimal kepala empat di tempat hajatan?! Buat apa ngasih Erik kipas?
Gimana kalau… Topeng Leak…? Jatuh cinta sama seseorang lalu ngasih dia topeng Leak dengan harapan cinta akan diterima…? Lebih mirip mau ngirim pelet ke dia…!
Akhirnya… persinggahan di Pasar Sukawati hanya memberiku waktu buat belanjaanku sendiri. Semua gagasan soal cenderamata buat Erik, nggak ada yang terealisasi! Pikiranku yang terlalu pusing akhirnya malah menggagalkan niat indahku. Fail!
Meninggalkan Pasar Sukawati, perjalanan berlanjut lagi…
Rencana pertemuanku dengan Erik nanti malam, masih terus mengisi angan-anganku!
Debur ombak Pantai Sanur yang tenang seperti memantulkan suara Erik, yang kini selalu menyapaku dengan hangat dan ramah… Pantai Sanur menghadap ke timur, tempat matahari terbit… Matahari terbit berarti simbol harapan dan semangat baru! Ya, saat cinta telah bertemu… itulah semangat baru bagiku! Itulah harapanku!
Ayolah, malam cepat tibaaa…!!! Kusepak-sepakkan kakiku dengan girang dan gemas di atas air pantai! Bermain sendiri dengan pasir dan ombak, sampai lelah dan bosan.
Perlahan aku mulai berdiam. Berdiri terpekur di atas pasir pantai yang tergenang ombak… Dan lama-lama, seiring dengan susah payahku meredam ketidaksabaran, aku mulai merenungkan semua angan-angan itu…
Harapan-harapan yang…
Konyolnya aku yang telah melarutkan diri dalam angan-angan, meresahkan diri dalam lamunan yang muluk-muluk ini!
Pantai Sanur yang damai, dengan ombak lembut yang menyapa tanpa pernah berhenti… Bukankah waktu selalu bergulir? Bukankah malam pasti akan datang, nggak akan lebih cepat atau lebih lambat…? Dan semua yang ingin kudengar, maka akan kudengar… Kenapa aku harus jadi gelisah seperti ini…?
Seperti pantai yang menunggu ombak. Ombak selalu datang. Waktu selalu menjawab bukan…?
Kenapa aku gelisah…?
Sayup-sayup suara riuh kudengar… “Woiii… Jangan woiii…!!!”
Erik, kulihat dia sedang digotong beberapa temannya menuju ke tengah air. Lalu…
Byuuuurrrrr…!!!
Mereka melemparkan Erik ke air. Mereka tertawa-tawa. Erik juga meski kelihatannya bercampur dengan kesal. Aku cuma melihat dari sini, tempat yang nggak dekat… tapi juga nggak terlalu jauh.
“Sialannn…!!!” maki Erik sambil menyibakkan air menciprati teman-temannya yang usil itu sambil ketawa-ketawa.
Lalu… dia malah membenamkan tubuhnya lagi ke dalam air. Bermain dengan ombak. Aku seperti melihat sisi yang lain dari dirinya yang jarang kulihat selama ini. Sisi kanak-kanaknya yang riang dan lepas…
Hari pun makin sore. Mentari bersinar keperakan dan langit makin teduh. Angin makin dingin… Mungkin sebentar lagi saatnya kami harus meninggalkan tempat ini. Pantai yang melukiskan kesejukan sekaligus kegundahan hatiku saat ini… Kusibak air dengan tanganku, memburainya… Aku pun tertawa sendiri, seolah ingin ikut melepas diriku dari segala kepenatan dan kegelisahan.
Lalu kupalingkan lagi mataku, menatap ke sisi di mana Erik masih tampak bermain-main dengan air laut… Dia pun mulai berdiri. Tangannya menyapu kaosnya yang kuyup. Lalu… Dia melepas kaos itu…
Bahkan seumur hidupku, sejak aku kenal dia, baru kali ini aku melihat… tubuhnya itu… Yang putih berkilat oleh air dan sapuan sinar mentari sore, menegaskan setiap lekuk di tubuhnya yang indah… Dia berjalan santai sambil setengah merentangkan kedua tangannya, memegangi kedua ujung kaos basah yang dipuntir dan menempel di tengkuknya…
Lalu sekilas dia menoleh ke arahku.
Dia tersenyum, seolah sudah menyadari keberadaanku di sini sejak tadi. Ya. Tentu saja dia sudah tahu. Sebagaimana halnya aku juga tahu. Maka aku pun membalas senyumnya itu…
Yaaa… Kami saling tahu, dan kami juga mengerti bahwa masing-masing dari kami nggak ingin orang lain melihat diri kami yang menjadi lebih akrab… Kami nggak mau siapapun mengolok-olok kami. Aku mengerti itu. Maka inilah yang kami lakukan, saling berada di tempat masing-masing…, menjaga segala keinginan dalam rasa sabar, lalu… kami saling tersenyum di saat kami harus tersenyum.
Hari pertama di Bali, berhias sebuah romansa yang indah.
Aku akan menunggu untuk malam nanti, Rik…
Bersambung Ke Keranjang 16...