Keranjang 31 - 33
Keranjang 31
Beban
Bel berbunyi…
Kelas pun segera riuh, semua bersiap pulang. Di saat sedang kukemasi
buku-buku dan pulpenku, HP di saku celanaku bergetar. Kubuka sebuah SMS
dari nomor tanpa nama…
“Apapun yg ditny Anita, jgn ksih dia ks4an buat jtuhin PLU di skul ini. U bkn satu2nya gay dsini!”
Tanganku langsung dingin. Apa maksudnya SMS ini…??? Aku jadi was-was…
Kesan yang kutangkap, yang mengirim SMS ini adalah anak dari sekolah
ini juga, dan dia juga gay… Dan dia bisa tahu kalau hari ini aku punya
urusan sama Anita, dan kalimat di SMS-nya ini kesannya seperti…
Intimidasi…!
Dari siapa ini???
Kenapa masalah tambah berbelit begini?!!
“Mas, nggak pulang?” tanya Misha yang masih duduk di sampingku.
“Eh, iya…” sahutku gugup. Kututup lagi HP-ku. Pikir nanti saja!
Aku berdiri dari dudukku, diikuti Misha. Kami meninggalkan kelas,
berjubal dengan anak-anak lainnya menuju pintu keluar. Kulihat Denis
sudah duduk menunggu di serambi depan kelasku. Mukanya kusut, kayak
keset habis diinjak-injak orang satu kompi! Mungkin mukaku
sekarang ini juga sama kusutnya dengan dia…!
“Wah, adikmu tuh, Mas…” bisik Misha yang jalan di sampingku.
“Hmm…” gumamku malas.
“Traktir jajan dong, Mas, gue laper nih…! Duit gue habis buat becak tadi pagi!” Denis langsung nodong, mukanya dibikin memelas.
“Yang punya ide naik becak kan juga kamu sendiri?!” balasku.
“Kalo nggak gitu emang kita bisa sampai di sekolah? Lagian tadi lu
udah janji mau nraktir gue, gue tungguin dua kali istirahat nggak
nongol-nongol?!!”
“Kalian ke sekolah naik becak?!” Misha langsung nimbrung dengan mimik
terheran-heran.. “Ide si Monyet nih…!” gerutuku sambil jitak Denis.
“Kenalin nih, belum kenalan sama dia kan?” aku mengenalkan Denis ke
Misha, sambil jalan bertiga di koridor sekolahan.
Misha langsung senyum-senyum. Tanpa ragu-ragu ngulurin tangannya ke
Denis. Denis membalas jabat tangan Misha sambil senyum-senyum juga, tapi
dengan gaya lebih cuek.
“Misha…”
“Sodaranya Dimas…” balas Denis.
“Sableng nih orang! Misha sebutin nama, kamu juga sebutin nama,
Monyong! Kenalan gaya mana tuh, songong amat?!!” aku memarahi Denis.
Misha cuma ketawa. “Adik kamu lucu ya…! Lagian aku juga udah tahu namanya, kan kamu udah cerita!” sahutnya.
“Ya lucu lah! Dimas aja udah jayus, kalo gue ikut jayus bakal sepi
rumah…!” celetuk Denis. “Ayo dong, Mas, laper nih gue!” dia mulai
merengek-rengek lagi.
“Iya, nanti! Makan di luar aja…!” tukasku.
“Kantin aja! Keburu laper gue…!”
“Udah, diturutin dong, sama adek juga…?!” Misha langsung memihak Denis.
“Bener! Toss…!” Denis langsung toss sama Misha.
“Memangnya cuma kamu yang lapar?!! Aku juga lapar nih! Masalahnya jam
segini di kantin tinggal ampas! Mau, jilatin kuali?!” omelku.
“Kalian jadinya pulang naik apa nih? Aku mau belok ke parkiran, bawa motor soalnya…” ujar Misha.
“Naik delman…!” sahut Denis asal.
“Ngaco…!” tukasku sambil jitak Denis lagi. “Jalan kaki kayaknya, Mis,
tadi motorku dititipin ke tempat tambal ban. Bocor bannya…” jawabku ke
Misha.
“Oh, gitu ceritanya. Ya udah aku belok sini ya…?!”
“Yoi!” balasku.
“Kapan-kapan ikut naik becak sama kita yaa…!” celetuk Denis.
Misha cuma tersenyum geli. Dia lalu melambaikan tangannya dan
berbelok ke samping, menuju tempat parkir. Aku sama Denis meneruskan
langkah menuju ke gerbang depan. Tangan Denis mulai usil
rangkul-rangkul…
“Ini apaan sih?!” tukasku menepis tangan Denis dari pundakku. “Kamu tuh gaya aja
dari tadi?! Tadi ngomong apa sama Misha? Ngajak satu becak sama kita?
Pantes apa?! Kalo dia salah sangka gimana, dikiranya kita nganggap dia
cewek apaan…?!”
“Elu tuh yang mikirnya kejauhan!” balas Denis menjitakku. “Misha juga
udah jelas ngerti kalo gue becanda, tadi aja dia malah ketawa! Lagian
elu nggak usah munafik, Mas, lu juga senang kan kalau Fandy satu becak
sama kita…?!”
“Maksud kamu…?!”
“Nggak usah nutup-nutupin! Bego lah kalo gue sampe nggak tahu.” cetus Denis. “Nggak usah malu, Mas…! Gue ngerti kok elu tuh udah gede, udah ngerti
romantis-romantisan, udah nyadar kalo kebutuhan orang hidup nggak cuma
sandang, pangan, papan sama pendidikan… Tapi juga selangkangan…”
“Bacot lagi aku tonjok!!!” umpatku langsung ngancam.
Denis akhirnya berhenti ngoceh. Aku benar-benar tinggal satu langkah
lagi buat naik pitam. Mukaku kayaknya sudah bukan merah lagi, tapi sudah
jadi ungu! Nggak tahunya… sampai gerbang depan emosi ini malah tambah
berantakan, karena…
Ketemu Fandy…!!!
“Hai…!” sapa Fandy dengan santainya.
“Halo…” balasku agak enggan.
“Langsung pulang ya?” tanya Fandy.
“Iya nih,” jawabku.
“Ohh…” Fandy manggut. “Eh iya, boleh minta nomor HP-nya, Mas?”
tanyanya sambil ngeluarin HP. Akhirnya dia beneran manggil aku ‘Mas’…!
Sebenarnya aku sendiri juga udah mau minta nomornya Fandy sejak
kemarin, cuma aku masih ragu aja. Sekarang dia malah minta duluan…
“Boleh. Simpan aja…” sahutku, lalu kusebut nomor HP-ku.
Fandy menyimpan nomorku. Lalu dia miscall ke HP-ku. “Itu nomorku, Mas…”
“Oke!” ucapku sambil menyimpan nomor Fandy yang masuk ke HP-ku.
“Mas Denis nomornya berapa?” Fandy gantian minta ke Denis.
“Nggak usah. Ntar gue minta ke Dimas aja, ntar gue miscall…” Denis nolak.
“Tapi nanti aku jangan dikerjain ya…!” gurau Fandy.
“Jelas dikerjain lah! Hehehe…” Denis cengengesan.
“Udah tenang aja. Dia nggak bakal aku kasih nomor kamu. Nanti aku aja
yang kasih tahu nomornya Denis. Kamu aja yang kerjain dia!”
“Ayo, Fan, naik pulang bareng!” ajak Denis.
“Aduh sorry, aku nggak langsung pulang nih…” ganti Fandy yang nolak
sekarang.
“Lagian kita mau jalan kaki aja!” timpalku.
“Ya kan bisa jalan kaki bertiga?” Denis masih ngeyel.
“Memangnya masih ada acara apa, Fan?” tanyaku ke Fandy, nggak menggubris celotehnya Denis.
“Tadi ada yang bilang, habis ini ada yang latihan band. Aku mau balik lagi ke dalam, pingin nonton!” sahut Fandy.
Di kepalaku langsung nyantol satu hal. Gampang ditebak. Tadi Erik
bilang habis jam pelajaran mau latihan…
“Ya udah, met nonton…!” ucapku tanpa maksa.
“Oke. Aku ke dalam dulu ya…!” ujar Fandy.
“Udah sana…!” cetus Denis sambil mendorong pundak Fandy.
Fandy akhirnya berlalu…
Mataku mengawang memandangi perginya. Apakah dia itu hanyalah seorang
adik kelas yang ramah, dan sedang kagum sama bintang sekolahan…? Atau…
apa Fandy itu juga gay sepertiku…? Dan dia lebih tertarik pada Erik…?
Awalnya seperti hari yang indah. Tapi sekarang, ini bukan hari yang
menyenangkan lagi. Crash sama Anita, Erik yang mengungkit masa lalu, SMS
aneh, lalu Fandy yang makin membingungkan hatiku… Semua seperti dengan
cepat menumpuk menjadi beban pikiran yang menindih kepalaku!
Aku capek memikirkan semuanya!
Aku dan Denis berjalan keluar dari lingkungan sekolahan. Menyusur
trotoar, berdua melintas di tengah keramaian siang melewati sisi kota
yang terik dan padat. Udara panas dan gerah. Isi kepalaku terasa kumuh,
dan sengatan matahari membuatnya seperti mau meledak. Hahhhh… Stress!
Jenuh, penat…!
“Mas, ayo dong makan…!” Denis berhenti, berdiri di tengah trotoar
menatap warung makan di seberang jalan. Dia kelihatannya memang sudah
kelaparan. Mukanya berkeringat agak pucat, sedikit meringis dengan
tangan memegang perut.
“Ya udah…” sahutku akhirnya. Kuatir kalau Denis tiba-tiba pingsan
gara-gara telat makan. Belum ada sejarahnya sih, tapi daripada nyadarnya
telat? Yang gotong aku juga kalau dia pingsan! Lagian, aku sendiri juga
lapar!
Aku dan Denis menyeberang. Menghampiri warung kecil yang kelihatan
teduh di bawah pohon trembesi. Mungkin memang perhentian yang baik.
Mengisi perut, dinginkan kepala…
“Sotonya dong, Pak… Sama es teh…” Denis langsung pesan.
“Sama, Pak…” aku ikut pesan.
Nggak lama, soto segera terhidang di atas meja. Es tehnya juga. Aku
dan Denis langsung makan tanpa banyak bicara. Gimana mulut mau bicara?!
Perut saja lebih kencang suaranya! Selahap, dua lahap, dan seterusnya.
Nggak butuh banyak menit buat mengosongkan mangkok soto. Sotoku dan sotonya Denis ludes. Habis terlahap.
“Rokoknya, Pak. Sebatang aja…” lontar Denis.
Aku tertegun! Memusatkan mataku ke gerak-gerik Denis yang mengambil
sebatang rokok… lalu menancapkan rokok itu ke sela-sela bibirnya…
“Den? Kamu ngerokok?!” tanyaku kaget.
“Lagi pingin aja…” gumam Denis.
“Aku nggak mau bayarin kalo buat rokok!” tegurku ketus.
“Kalo ini pakai duit gue sendiri kok…!” balas Denis datar.
Rasanya aku sulit menerima Denis melakukan yang satu ini. Tapi mau
melarang…? Apa aku juga harus sekeras itu mengatur Denis…? Aku bimbang…
Dia mulai menyalakan korek api, disulutkan ke ujung rokoknya. Lalu
asap pun mulai mengepul lewat mulutnya. Aku makin sulit menghadapi
dirinya seperti ini…!
“Biarpun pakai duit kamu sendiri, toh itu yang ngasih Papa sama Mama
kan? Pastinya kamu dikasih duit bukan buat beli rokok…” gumamku berat
hati.
“Papa pasang internet buat lu, juga bukan buat buka situs porno kan?” sahut Denis.
Aku tercekat lagi. Makin nyeri mendengarnya…
Aku cuma berniat ngasih nasehat, tapi… Ahhh!!! Anita, Erik, Fandy…
Dan sekarang Denis! Semua bikin beban…!!! Kugenggam erat tanganku yang
gemetar di atas meja… Tolong, aku nggak mau emosiku meletus di sini…!
“Sorry… Sorry, Mas…” tiba-tiba Denis gugup dan raut mukanya berubah drastis. “Gue nggak maksud…”
“Nggak, kamu bener kok…” ucapku pelan menelan emosi dalam-dalam.
Denis diam tertunduk dengan wajah masam…
“Oke…!” desahnya kemudian, diikuti tangannya mencampakkan rokoknya ke
tanah. Lalu dia menginjaknya, menggerusnya seperti sesuatu yang dia
benci.
Aku menatap Denis. Mencerna wajah kalutnya itu dengan batinku yang sudah kusut…
“Kamu pasti ada masalah…!” gumamku menghela nafas dalam-dalam, merentang kesabaran.
Denis masih terdiam.
“Kamu tuh mending ngomong kalo lagi ada masalah!” desakku.
Denis lalu memandangiku dengan wajah seperti menyimpan geram. “Mas… Gue dengar anak-anak ngomongin elu…” ucapnya lirih.
Aku tercekat. “Ngomongin apa?” tanyaku kecut.
“Soal elu. Tahulah maksud gue…!”
“Ngomongin gimana…?!”
Denis memandangiku makin geram. “Semua gara-gara Erik, kan?! Ternyata
dia yang ngasih tahu ke teman-temannya soal elu?!” sergahnya tajam…
Seketika jantungku seperti lenyap dari rongga dadaku. Keresahanku makin goncang…
“Kenapa lu nggak cerita semuanya?!” cecar Denis gusar.
“Nggak perlu…” desahku gundah.
“Gue lebih suka dengar dari lu sendiri daripada lewat mulut orang lain…!”
“Aku nggak mau ngungkit-ungkit kesalahan dia di depan orang lain…!”
“Di depan gue maksudnya? Jadi lu nganggap gue orang lain…?!”
“Bukan itu maksudku…! Den, please! Aku nggak mau masalah ini muter
terus! Biarin mereka mau ngomong apa soal aku… Aku udah capek!”
“Itulah masalahnya! Elu udah nanggung sampai stress kayak gini…!
Gampang banget Erik bikin lu jadi kayak gini?! Sedang dia sendiri
tenang-tenang aja, nggak peduli lu dikata-katain banci, homo, maho sama
orang-orang di sekolah! Rasanya gue pingin hajar tuh si Erik, pingin gue
pecahin mulutnya yang ember itu…! Tapi yang gue paling heran… kenapa lu
malah nutupin itu dari gue…?!!”
Aku makin kalut mendengar cecaran Denis yang parau penuh kemarahan,
menatap matanya yang berapi-api penuh dendam…
“Salah satu alasan kenapa aku nutupin itu dari kamu… karena aku nggak
mau kamu bertindak gila!” cetusku gundah. “Aku nggak mau kamu nambah
masalah!”
“Mas, lu sodara gue! Gue nggak malu sama keadaan elu! Karena itu gue nggak terima kalo ada orang lain ngerendahin elu!”
“Kamu bisa hajar Erik. Dan kamu akan ngerasa puas… buat sesaat! Habis
itu masalah akan bertambah! Dan aku lagi yang menanggung semuanya!”
tandasku berusaha membuka pikiran Denis. “Aku tahu kamu selalu berpihak
buat aku, aku nggak pernah ragu itu dan aku hargai itu…! Karena itu,
aku nggak mau kamu berbuat bodoh…!”
Denis terdiam. Sorot matanya goyah di tengah wajah kusutnya…
“Aku nggak bermaksud nganggap kamu orang lain, Den, mana mungkin?
Kamu sodara yang bisa nerima aku. Aku bersyukur! Aku nggak mau
mengungkit kesalahan Erik, karena aku ingin berusaha maafin dia… Lagian
kalau aku terus mengungkitnya, itu nggak akan bikin keadaan jadi lebih
baik…! Aku berusaha maafin dia, dan aku ingin melupakannya…!”
Denis menekan bibirnya rapat-rapat. Masih memancarkan rasa geramnya…
“Tolong kamu ngerti…!” pintaku dengan rasa kalut.
“Oke… Gue akan coba sabar. Bukan karena gue maafin Erik, tapi karena lu yang minta…” ucap Denis akhirnya…
Ada sedikit kelegaan dalam senyum pahitku. “Makasih, aku hargai itu…”
ucapku lirih. “Tapi… aku tetap berharap kamu juga bisa maafin dia…”
Denis bangkit dari duduknya, lalu diam berdiri di muka pintu warung.
Wajahnya masih menyisakan perasaan buruknya. Tercenung kecut…
“Ntar gue aja yang setir motornya. Elu capek banget kayaknya…” gumam Denis pelan.
Aku tersenyum mengangguk.
“Sudah, Pak, berapa semua nih?” aku setengah berseru memanggil Pak Penjual Soto yang menghilang entah kemana.
Pak Penjual Soto muncul dari belakang warung. “Sudah? Apa saja tadi?” sahutnya.
“Soto dua, es teh dua… Tahu dua… Rokok sebatang…” gumamku menyebut satu per satu.
Pak Penjual Soto menghitung sejenak. “Tiga belas ribu…” sebutnya kemudian.
Kuulurkan uang limabelas ribu padanya. Lalu pada saat yang bersamaan
terlintas sesuatu di benakku. Sesaat aku masih ragu, tapi kemudian…
“Kalo rokoknya tambah dua lagi berapa?” tanyaku.
“Plus korek… Pas!” cetus Pak Penjual Soto.
“Oke, tambah dua lagi!” sahutku.
Lalu… dua batang rokok dan sekotak kecil korek api berada di tanganku. Aku melangkah menyusul Denis di luar…
“Den…!” panggilku.
Denis menoleh. Dan kulempar sebatang rokok ke dia…
“Weee…!” Denis langsung menangkap rokok yang kulempar itu dengan agak
kaget. Dia memandangi rokok itu sebentar… lalu menaruh rokok itu di
bibirnya sambil tersenyum…
“Ajarin…!” cetusku sambil menyulutkan sebatang korek api ke rokoknya Denis.
Denis menghisap rokoknya sampai ujungnya menyala. Lalu asap dikeluarkan dari hidungnya…
“Cucuk aja ke sini…!” Denis mengarahkan ujung rokoknya padaku.
Kucucukkan ujung rokok yang sudah kupasang di bibirku, mengambil api
dari ujung rokoknya Denis. Kuhisap rokokku sampai ikut terbakar
ujungnya…
“Uhuuukkkk…!!!” Aku langsung batuk-batuk… Dada terasa sesak…!
“Hahaha… Biasanya memang gitu kalo baru pertama!” Denis ketawa. Lalu
dia langsung mencomot rokokku, dia lempar ke tanah bersama rokoknya
juga. “Udah! Siapa bilang rokok bisa ngobatin stress…?!”
Aku berjalan pelan masih sambil batuk-batuk. “Kalo gitu kenapa kamu sendiri ngerokok?” tukasku.
Denis nyengir masam. “Dulu di Medan temen-temen gue ngerokok semua…”
“Sering…?”
“Nggak juga. Cuma kalo lagi bareng temen aja buat iseng-iseng…” jelas Denis sambil jalan.
“Aku pikir dengan iseng bisa ngelupain stress…” timpalku masih menahan sesak.
“Gue juga sering mikir gitu… tapi lama-lama nyadar juga kalo itu cuma
pelampiasan sesaat aja, Mas. Iseng kadang memang asyik, tapi nggak
mungkin lah cuma dengan rokok semua masalah jadi selesai! Lu nggak usah
ikutan kalo nggak yakin manfaatnya…!”
“Jadi sekarang kamu bisa nasehatin aku soal rokok?! Awas kalo kamu ngerokok lagi!”
“Kan gue bilang, iseng itu kadang memang asyik! Manfaatnya tetap ada kali, tapi nggak penting-penting juga…”
Denis lalu tertawa. Aku juga, mulai bisa tertawa lagi…
Kejenuhan memang selalu dekat dengan pelampiasan. Aku cuma
ingin tahu dan sepertinya sudah cukup. Melanggar prinsip, sedikit
improvisasi, mencari cara untuk bisa merasa lepas walau sesaat… Dan
akhirnya aku yakin bahwa pelarian memang nggak akan menyelesaikan
masalah. Tapi aku tetap setuju satu hal: bahwa meski ada beban, kita
tetap harus punya waktu untuk tersenyum…!
Melangkah lebih ringan menyusur trotoar kota. Kali ini aku nggak menepis tangan Denis yang ada di pundakku…
Hard deals. Head-ache… But I know, I always have a brother…!
Suck day, better day… Just go on!
***
Keranjang 32
Curhat
“U sapa? Tau drmn soal Anita?”
Kukurim SMS-ku ke nomor asing yang masuk ke HP-ku tadi siang. Aku nggak yakin dia mau jawab. Tapi harus dicoba dulu!
Oohhh… SMS-ku ternyata dibalas!
“Bsok qta ktmu di skul. Aq jlasin smuany!” balasnya.
Aku reply lagi, “Mksd u soal PLU di sklh apa? U PLU jg?”
Nggak lama kemudian SMS-ku dibalas lagi, “Ksian ya, jd gay gk pny radar. N u jg bdoh, crboh bkin org pd tau klo u gay!”
Oke, aku memang mengaku ke Erik. Nggak mungkin aku bisa mengungkapkan
perasaanku tanpa mengakui kalau aku gay. Tapi bukan aku yang bilang ke
semua orang kalau aku gay! Ngapain orang ini ngatain aku bodoh?! Siapa
yang minta pendapatnya?!!
Sebenarnya aku nggak terima dengan kata-katanya di SMS ini!
Tapi ngapain juga ngikutin emosi cuma gara-gara orang nggak penting yang
aku nggak kenal ini?!! Aku nggak akan reply lagi. Besok aja akan
kulihat sendiri siapa dia, dan apa tujuannya mencampuri urusanku!
Kututup HP-ku. Kuletakkan di atas kasur. Kusandarkan kepalaku ke bantal, merenggangkan urat syaraf. Aku butuh rileks!
“Mas, pinjem laptopnya, mau googling…!” Denis tiba-tiba masuk kamarku, pinjam laptop.
“Tuh! Di meja. Sekalian copot aja kabel charger-nya…” ujarku malas.
Biarpun Denis udah punya komputer sendiri di kamarnya, tapi di sana
nggak ada saluran internet. Jadi kalau mau buka internet tetap aja
pinjam laptopku.
“Bawa sini aja deh laptopnya, aku juga mau browsing…!” sambungku. Mending ikut main internet aja sekalian, buat obat stress!
Denis membawa laptopku ke atas tempat tidur. Dia duduk di sampingku bersandar bantal, sambil memangku laptop. Dia buka Google.
“Mau cari apa?” tanyaku.
“Bahan tugas Kimia. Maniak tuh guru Kimia, baru minggu pertama udah ngasih tugas seabreg!” gerutu Denis.
“Salah sendiri masuk IPA, Ikatan Pelajar Apes, pusing terus mikirin tugas…!”
“Daripada IPS, Ikatan Pelajar Stress! Kayak elu sekarang tuh, stress!”
“Iya nih, lagi stress! Pingin cuci mata. Pingin lihat cowok…”
“Gila lu! Ntar lu aja sendiri, kalo gue udah selesai! Gue nggak mau ikutan!”
“Cakep-cakep lho… Masa nggak pingin lihat? Cowok-cowok Thailand tuh cakep-cakep…” celetukku.
“Nggak urusan…!” gumam Denis ngedumel.
Kuambil gitar yang ada di lantai sebelah tempat tidurku. Buat iseng biar nggak bete, dan bisa bantu pikiran buat rileks…
“Bentar, putar Winamp dulu…” aku menyela Denis.
Kubuka file lagu-lagu New Age koleksiku dan memutarnya. Sambil
mendengarkan, aku mengikuti chordnya dengan gitarku. Sound-therapy…
Nggak terpikir berapa lamanya, terus hanyut dengan gitarku sementara
Denis sibuk cari data di internet.
“Sini pinjem gitarnya!” tiba-tiba Denis memecah keasyikanku.
“Udah selesai browsingnya?”
“Udah. Pakai aja nih!” Denis gantian mengulurkan laptopku.
“Nggak jadi. Udah nggak niat…” gumamku malas. Niat angin-anginan,
tadi pingin tapi sekarang jadi males gitu aja. Kuulurkan gitarku ke
Denis, lalu aku pilih rebahan menyamankan diriku.
Denis memegang gitarku. Lalu dia mengganti laguku di Winamp dengan
lagu lain, terus dia gantian bermain gitar sambil ngikutin lagu yang dia
putar. Lagu dengan bahasa yang aku nggak ngerti artinya. Tapi kayaknya
sih lagu Batak…
Enak juga… Tapi lama-lama… ngantuk…
“Lagu apaan sih itu, Den? Jadi ngantuk…”
“Emang lagu tidur…!”
“Ada di Flashdisk-mu ya? Aku minta file-nya…!” sahutku sambil meraih mouse..
“Eeiiitt! Bentar! Sini biar gue yang copy!” sergah Denis langsung merebut mouse dari tanganku.
Aku memandangi Denis, menangkap gelagat yang rada aneh. “Kayak ada yang disembunyiin?” gumamku curiga.
“Ntar lu salah ngopy!” tukas Denis.
“Hmmm… Salah ngopy koleksi bokepmu?” sindirku.
“Diem lu!” gerutu Denis.
Benar tuh, kayaknya dia memang menyimpan bokep di Flashdisk-nya! Mungkin foldernya nyampur atau gimana… Ketahuan!
Tiba-tiba HP-ku berbunyi lagi. SMS masuk… Dari FANDY…! Segera kubuka dan kubaca…
“M4z Dm4z giE ap?”
Aduuuuhhhh… Kepalaku tiba-tiba pusing…!!! Tulisan model gini??? Fandy kayak gini…??? Ya ampuuunnnn…!!! Alay detected…!!!
“Kamu pusing nggak baca tulisan kayak gini?!!” kutunjukkan SMS Fandy ke Denis.
Denis melihat tulisan SMS Fandy dan langsung ketawa. “Yiaa hahaha… Alay nih gayanya!”
“Iya…! SMS-nya Fandy!” decakku jadi agak dongkol.
“Cieee…” Denis malah kedip-kedip ke aku. “Ditanyain lagi apa, dijawab aja napa?”
“Jadi males. Keseringan baca tulisan kayak gini bisa kejepit syaraf mataku! Kamu nggak pusing bacanya?” gerutuku.
“Halah…! Cuma gitu aja sengak amat? Ya biarin lah, gaya ngetik kayak
gitu kan emang lagi ngetrend!” timpal Denis cuek. “Gue bilangin ya,
orang berteman itu pasti akan saling mengenali sifat masing-masing. Kalo
makin kenal, nggak cuma makin tahu kelebihannya, tapi juga makin tahu
kekurangannya. Nggak ada orang yang sempurna! Saran gue, terima aja
kekurangannya, selama nggak fatal…! Cuma soal tulisan aja…!”
Denis sok ngasih nasehat. Seperti biasa, kalau lagi kumat cerewet ya
gitu, kayak jangkrik dikasih cabe! Untung omongannya ada benarnya, kalau
nggak pasti sudah kusumpal mulutnya pakai mouse!
“Harapan lu apa sih, sama Fandy?” lontar Denis.
“Menurutmu apa?” aku balik bertanya.
“Kalo gue nebak sih, kayaknya ngarah ke… yaaa… kayak lu sama Erik dulu kan…? Cuma nebak
lho…!”
Aku tercenung dan menghela nafas. “Hhhh… Anaknya nyenengin sih… Dan
buatku sih cakep juga… Ya gitu lah…” gumamku sedikit tersipu, membayangkan sosok Fandy di benakku. “Tapi… aku bingung juga sama sikapnya. Dia itu kayaknya… pengagum Erik…”
“Darimana lu tahu kalo dia kagum sama Erik?”
“Dia sering nanya soal Erik. Sering ngebahas. Sering komentar…”
ujarku lesu. “Padahal aku mau Erik itu jadi masa lalu, dan pinginnya
Fandy itu jadi perasaan yang baru… Tapi malah nyampur gini… Bingung
aku!”
“Tapi… emangnya lu tahu, Fandy itu gay apa nggak? Gimana kalo nggak?
Kalo dia bukan gay kayak elu, mau gimana-gimana juga, dia nggak mungkin
balas perasaan elu, Mas…”
“Itu juga bikin aku kepikiran terus. Kalo dilihat dari luar sih
kayaknya dia memang lebih condong bergaul sama cowok… Dia bergaul sama
kita, ngomongin Erik juga… Padahal sebelumnya kita nggak ada hubungan
apa-apa sama dia kan? Tiba-tiba aja dia datang kenalan sama kita.
Feeling-ku sih… dia juga tertarik sama cowok. Tapi belum tentu juga dia
punya perasaan yang sama denganku…!” gumamku gelisah.
“Apa lu punya rencana buat nyampein perasaan lu ke dia?” tanya Denis.
Aku berpikir-pikir ragu. “Dihitung-hitung, aku tuh baru dua hari
kenal dia! Sedangkan di sekolah udah banyak yang tahu soal aku… Ditambah
Fandy itu gelagatnya pingin kenal sama Erik, cepat atau lambat kayaknya
dia bakal tahu juga soal hubunganku sama Erik…! Dia bakal tahu kalo
aku…”
Memikirkan masalah ini seperti menyulam dengan benang kusut! Bikin bingung dan kalut…!
“Kalo Fandy tahu, entah dengan cara gimana, terus dia nggak bisa
terima kondisi lu… lu siap…?” Denis melontarkan pertanyaan yang membuat
gundahku makin jadi.
“Itulah yang bikin aku bingung! Terus terang… aku tertarik sama dia!
Tapi aku takut kejadian yang dulu terulang lagi, waktu aku sama Erik…!
Makan hati…!” desahku kalut. Kuremas-remas rambutku sampai acak-acakan.
“Aahhh…! Capek mikirnya, ribet…! Mending jalani aja dulu, entah nanti
jadinya apa…!”
Denis ketawa melihat tingkahku. “Iya, bener itu! Usia kawin aja
belum, ngapain stress mikirin cinta…?! Tapi juga nggak usah pakai
ngambek gitu dong! Cup, cup… Yang penting lu tetap tunjukin aja kalo lu
tuh bisa jadi teman yang baik buat dia… Paling enggak, moga-moga dia
tetap respect sama elu…!” ujarnya sambil merapikan rambutku yang habis
kuucal acak-acakan. “Cinta itu didapat dengan sabar. Percaya deh…”
Mendengar nasehat-nasehat panjang dari Denis, lama-lama aku jadi terpikir pada satu hal…!
“Den, memangnya kamu pernah pacaran…?”
Denis memandangiku dengan ekspresi tanpa dosa. “Belum…”
“Dasar belagu! Sok arif bijaksana! Pacaran aja nggak pernah, sok
nasehatin aku soal cinta!” dampratku, dan… Bukkk!!! Satu gebukan bantal
aku daratkan ke muka Denis!
“Yeee… Nyinyir lu! Apa guru Fisika harus jadi awak Enterpraise biar
bisa ngajar soal tata surya?!! Guru sejarah lu udah pernah ketemu
Pithecantrophus Erectus?! Biar gue belum pernah pacaran, teori
cinta-cintaan udah canggih gue!”
“Ahhh… Sok tahu!!!” sungutku kesal. Dasar belagu!
“Udah…! Dibales tuh SMS-nya Fandy! Ditanyain baik-baik juga, balas bentar aja males?!” suruh Denis.
Aku ngedumel sambil meraih HP-ku lagi. “Ini br mau tdr, udh ngantuk.. U sndr lg apa?” ketikku, lalu kukirimkan ke Fandy.
Nggak lama kemudian Fandy membalas lagi. Siap-siap pusing…
“Ia dEh, M4z.. mEt bubu… Aq jg d4h mo bubu..”
Untung balasannya nggak panjang! Lagian, kalau
dilihat-lihat lagi aku pernah baca yang lebih parah dari ini. Nggak
apa-apa lah, mungkin nanti aku juga bisa kasih saran biar dia mau
merubah cara ngetiknya itu.
“Mas, lu sama sekali udah nggak tertarik sama cewek ya?” celetuk Denis tiba-tiba.
Aku jadi tertegun. “Kenapa sih masih nanyain itu…?!” decakku bete.
“Lihat nih…!” Denis menunjukkan padaku… video bokep yang dia putar di laptopku! Bokep straight…!
Kulihat video itu, adegan cewek sama cowok sedang ML. Nggak mungkin
itu bokep punyaku, pasti koleksinya Denis yang dia simpan di
Flashdisk-nya. Tadi aja sok jaim ngumpetin bokepnya, sekarang malah
memutarnya di depanku!
“Cowoknya lumayan…” gumamku cuek.
“Ceweknya?”
“Cantik. Tapi aku nggak tertarik ngelihat dia…”
“Tapi kok dulu lu masih nyimpan bokepnya Miyabi?”
“Kenang-kenangan…” cetusku.
“Kenang-kenangan apa?” Denis memandangiku rada heran.
Aku menghela nafas jengah. “Kenang-kenangan waktu masih bingung…! Aku
jadi gay nggak kayak orang habis bangun tidur langsung bilang dengan
enteng ‘Okey, I’m gay’! Butuh proses…! Harus denial, pura-pura…” beberku
dengan agak bete. “Bukannya dulu aku udah cerita ke kamu? Kirain udah
ngerti!”
Denis menekan-nekan punggungnya ke bantal, menghela nafas. “Mas… soal
gay itu bener ato salah, jujur aja, gue belum nemuin alasan yang pasti.
Satunya-satunya alasan gue nerima elu, karena lu tuh sodara gue. Lu
lebih penting dari perdebatan soal gay itu bener ato salah…! Di sekolah
banyak yang ngomongin elu, tapi kalo lu emang udah yakin berarti gue
nggak perlu setengah-setengah belain elu…” ujar Denis pelan.
Akhirnya… pengakuan Denis mengetuk dadaku. Aku jadi terharu
mendengarnya… Aku sadar, bukan cuma aku saja yang menanggung beban
stigma soal gay. Denis sebagai sodaraku, sodara kembar, aku tahu dia
pasti juga nggak luput dari gunjingan…
“Jadi ngapain kamu kasih lihat video itu ke aku?” tanyaku.
“Karena gue tahu, cowok di video itu lumayan…” celetuk Denis sambil tersenyum curang padaku.
“Ngeles lagi!!!” langsung kegebuk lagi kepala Denis dengan bantal. “Tadi kamu nyuruh aku ngelihatin yang cewek kok?!!”
Kubenamkan mukaku ke guling. Kutinggalkan Denis sendirian menonton bokepnya. Aku nggak tertarik. Aku mau tidur saja!
“Awas, jangan coli di sini ya!” celetukku dari balik guling.
“Ihhh! Mulut lu tuh…!!! Ngaku lebih tua, ngomong nggak sopan!!!” gerutu Denis, dia gantian menggebuk kepalaku.
“Kamu tuh yang nggak sopan, baru bokep gitu aja dipamerin!” balasku cuek.
Ujung-ujungnya, Denis malah mengeraskan volume suara laptopku.
Terdengar makin jelas suara-suara khas bokep dengan kalimat wajibnya, ‘oh yes, oh no…!’, disertai teriakan-teriakan mesum yang provokatif dan hiperbola… Bikin kupingku jadih gatal!
“Kecilin!” bentakku bangun dari tiduranku. “Kalo nggak matiin!”
“Hehehe…” Denis cengengesan tanpa dosa sambil mengecilkan suara laptop.
Aku balik tiduran lagi, menyambut gulingku…
“OH YESS…!” tiba-tiba volume dibesarkan lagi…!
Kuraih mouse laptopku. Denis cekikikan menghalangi tanganku.
Aku sama Denis jadi kucing-kucingan tangan… aku mau matiin video, dia
mau mempertahankan tontonannya…!
Tiba-tiba…
Kreeekkkk…! Pintu kamarku terbuka dan Mama nyelonong masuk ke kamarku… Astaga!!!
“Dimas, Mama pinjam obat nyamuk electrik-nya dong…!” seloroh Mama
sambil langsung ngoprek-ngoprek kamarku. Tapi… Mama segera kelihatan
tanggap akan sesuatu yang lain… melirik ke arah kami dengan ekspresi
curiga…!
“Oh yes…, oh noo…” suara dari laptop masih terdengar, video masih terputar…!
Aku langsung sigap merebut mouse laptopku… Aku klik
tombol ‘close’ di ujung layar video… Tapi Media Player-nya malah macet…!
Gambar adegan nungging masih nyangkut di layar… Not Responding!!!
Mampussss!!!
“Itu apa…?” selidik Mama, dengan mengendap-endap mulai menghampiri kami…
“Nonton kartun, Ma…!” jawabku bohong sekenanya…!
“Iya, Ma…” sahut Denis gugup dengan muka bego!
“Kartun?” tukas Mama, nada suaranya datar tapi menegangkan…
“Iya, kartun…!” tandasku.
Tengkukku dingin. Aku mencoba tenang, tapi tetap saja merinding…!
Tanganku gemetar mencengkeram mouse… Masa ketahuan Mama sih,
kalau lagi muter bokep…?!! Rencana pamungkas buat kondisi darurat, mau
nggak mau aku harus men-shutdown laptopku dengan paksa! Biarpun Mama
bisa saja malah tambah curiga, tapi paling nggak buktinya terhapus!
Kalau Mama masih maju mendekat, beneran aku akan matikan laptopku dengan
paksa!
Mata Mama masih mendelik kelihatan curiga. Tapi… akhirnya
perlahan-lahan membalikkan badannya lagi, kembali sibuk mencari obat
nyamuk electrik…
“Kok gambarnya masih macet aja?” bisik Denis.
Aku cuma bisa pasrah. Mataku terus mengawasi gerak-gerik Mama dengan
was-was. Obat nyamuk elektrik sudah ada di tangannya, tapi aku tetap
bersiaga kalau saja tiba-tiba Mama nekat menghampiri dan melihat
laptopku…!
“Mama bawa obat nyamuknya ke bawah ya…” ujar Mama sambil menggeloyor pergi, meninggalkan kamarku.
Dan setelah situasi tegang berlalu… layar Media Player di laptopku
akhirnya menutup dengan sendirinya… Dasar lelet!!! Ngerjain aku
nih laptop!!! Bikin deg-degan aja! Sekarang layar laptopku sudah
kembali full-wallpaper bergambar apel… Nggak ada lagi gambar nungging
yang nyangkut…!
“Kamu tuh, bikin masalah aja!” aku langsung marah-marah ke Denis.
“Untung nggak ketahuan sama Mama! Bisa disita laptopku kalo ketahuan…!”
Denis cuma cengar-cengir. Kucabut Flashdisk-nya, lalu segera men-shutdown laptopku.
“Udah sana keluar, aku mau tidur!” kuusir Denis sambil menendang kakinya.
“Gue tidur sini aja…”
“Nggak! Udah punya kamar sendiri juga! Sana!” aku tetap mengusir Denis.
“Nggak mau. Gue tidur sini…!” Denis ngeyel, malah langsung tengkurap di kasurku.
Masa bodo! Kubalikkan badanku, mendekap gulingku lagi. Kupejamkan mata…
Tinggalkan semua emosi dan beban pikiran…
***
Keranjang 33
Aldo
Jam istirahat datang. Teman-temanku sudah menyebar keluar dari ruang kelas. Tapi aku masih di sini, di kursiku duduk melamun.
“Ke kantin yuk, Mas…?” ajak Misha, yang juga masih duduk di sampingku.
“Nggak tahu nih, tumben hari ini aku nggak lapar… Nanti aja kayaknya, Mis, jam istirahat kedua…” balasku malas.
“Mas…” tiba-tiba Denis nongol ngagetin aku di depan mejaku.
“Waaah! Ada kunjungan dari sodara nih…?” Misha di sebelahku langsung menyahut.
“Iya, dong! Gue sama dia kan sodara yang baik…!” sahut Denis sambil
duduk di pinggiran mejaku.
“Gitu ya?” Misha menimpali sambil pasang muka penuh perhatian.
“Iya. Kita mandi aja berdua kok…!”
“Hahhh…? Beneran?!!” sentak Misha langsung ternganga!
“Iya. Dulu waktu kecil…” sahut Denis.
Ekspresi Misha langsung surut lagi. “Hummm… Kirain…!” tukasnya.
“Kenapa? Kecewa?! Puas ngebayangin aku mandi sama Denis?!!” aku langsung sengit mendamprat Misha.
“Yeee… Nggak ya! Gila, ge’er amat sih?! Masa aku ngebayangin kalian, aneh aja!” kelit Misha jaim.
“Tetap aja mukamu kelihatan kecewa!” tukasku ke Misha. Sekarang aku ganti melotot ke Denis. “Ngapain?!” hardikku galak.
Denis langsung cengengesan. “Hehehe… Pinjem duit, pingin makan nih gue…”
“Nggak! Kamu kan udah dikasih jatah sendiri sama Mama!” tolakku.
“Tadi duit gue buat bayar buku! Pinjem lah, ntar di rumah gue ganti!” rengek Denis.
“Ogah…” gumamku cuek sambil cutik-cutik kuku.
“Mana ‘Kakak yang Baik’? Pelit gitu…?!” komentar Misha.
“Gue pinjem elu aja deh, Mis, sumpah lapar banget nih!” Denis ganti minta ke Misha.
“Eehhh…! Dasar muka tembok!” aku langsung gampar bahu Denis. Aku yang
tengsin kalau dia sampai pinjam duit sama orang lain! “Udah nih…!
Sampai rumah harus balikin!” terpaksa kukeluarkan juga duitku, kucelan
limaribuan.
“Hehehe…” Denis langsung cengar-cengir menyambar duitku. “Makasihhh…!”
“Duitku aman deh…” cetus Misha berakting lega. “Kita makan bareng yuk, Den…?!” akhirnya dia ngajak Denis.
“Yuk!” sahut Denis semangat.
“Aku pinjam adikmu ya, Mas…!” seloroh Misha sambil berdiri.
“Bawa pulang aja sekalian!” cetusku cuek.
“Alaahhh… Ntar lu sedih kalo nggak ada gue…?!” cibir Denis sambil
menowel daguku. Lalu cekikikan sama Misha meninggalkan kelas. Sompret
tuh anak!
Tiba-tiba kurasakan HP-ku bergetar dan berbunyi. SMS masuk…
“Qta ktmu di blkng aula skrg!”
Aku sebenarnya ragu buat ketemu sama tukang SMS aneh ini.
Kalau ketemu kayaknya cuma akan nambah masalah, secara dia
ngungkit-ungkit urusanku sama Anita! Ngatain aku bodoh lagi kemarin!
Tapi… terus terang aku juga penasaran sama orang ini. Soalnya dia juga
bawa-bawa soal gay selain aku di sekolah ini…
Apa maunya, dan apa tujuannya?
Akhirnya… aku berdiri juga dari dudukku. Aku bergegas menuju aula. Kuputuskan buat menemui anak ini!
Tiba di gedung aula yang letaknya di salah satu sudut sekolah, hatiku
lumayan deg-degan! Tempat ini sangat sepi, seperti biasa kalau sedang
nggak ada kegiatan. Dengan sedikit mengendap-endap aku berjalan menuju
ke sisi belakang…
Nggak ada orang lain selain aku, dan satu orang lagi… kulihat seorang
siswa cowok sedang duduk di ceruk jendela aula. Kakinya menggantung
diayun-ayunkan. Posturnya tegap, rambut pendek disisir belah pinggir
agak acak… Wajahnya serius… Matanya sayu tapi terkesan agak sinis
melihatku. Bibir tipisnya mengembang datar, seolah sedang berkata
padaku, “Kamu nggak nyangka kan…?”
Ya, aku nggak nyangka…!
Meski aku nggak kenal, tapi aku sudah familiar dengan sosoknya dan
juga popularitasnya. Bahkan, mungkin satu sekolahan pasti juga familiar
dengannya…!
“Nama kamu Aldo kan?” sapaku.
“Nggak salah. Nggak harus kenal buat tahu namaku, kan? Nggak jauh
beda sama kamu, nggak perlu kenal sama kamu buat tahu nama gay paling
eksis di sekolah ini…!” balas Aldo dengan senyum sinis. Sindiran yang
nggak enak banget! Lalu dia turun dari ceruk jendela, dan berdiri tegap
berhadapan denganku. “Popularitas memang ada konsekuensinya…!”
lontarnya.
“Semua hal ada konsekuensinya,” sanggahku datar. “So…?”
“Hahaha… Apa jadi gay yang dikenal orang satu sekolahan
konsekuensinya menyenangkan? Diolok-olok, diteriakin homo…? Enak…?”
sahut Aldo dengan senyum congkak. Tiba-tiba aja jadi berasa pingin
nonjok mukanya! Dia beruntung, yang dia hadapi ini bukan orang yang suka
berantem!
“Kamu tahu nomorku dari siapa?” tanyaku, berusaha nggak menggubris semua cibirannya.
“Nggak usah dibahas, nggak penting! Bukan private number kan?”
“Oke. Kalo gitu to the point aja. Darimana kamu tahu soal aku sama Anita? Dan maksud kamu apa?”
“Aku sekelas sama Anita. Dia cerdas tapi juga gampang ditebak!” desis
Aldo dengan raut remeh. “Sebenarnya aku lebih senang kalo kamu tuh
lebih cerdas dari dia, jadi nggak perlu susah buat menebak maksudku!”
“Ya udah, aku memang nggak cerdas. Sekarang cepat jelasin maksudmu,
jam istirahat nggak lama!” cetusku sambil melirik ke jam tanganku.
“Aku minta… kamu nggak usah melayani Anita, nggak usah ngasih
statement apapun ke dia! Jangan bantu dia buat bikin sensasi soal gay!
Itu yang dia cari dari kamu kan?!” tegas Aldo.
“Hmmm… Jadi itu maksudmu?” aku menggumam dengan sedikit menahan
senyum. “Sebenarnya aku geli sama maksud kamu itu. Kenapa kamu pikir aku
mau bantuin Anita? Aku sudah tahu dia itu seperti apa…”
“Ngelihat yang sudah-sudah, kamu itu ceroboh! Jadi aku rasa kamu
perlu dikasih peringatan! Kali ini jangan sampai kecerobohanmu bikin gay
yang lain jadi ikut kena getahnya!”
“Ceroboh…?”
“Entah ceroboh atau memang bodoh!” cetus Aldo pedas. “Oke, simple-nya
gini… kalo kamu belum tahu Erik itu straight, berarti kamu bodoh,
payah! Tapi kalo sebenarnya kamu sudah tahu dan masih tetap nekat nembak
dia, berarti kamu ceroboh, naif! Entah kamu ceroboh atau bodoh, ya
akhirnya sih tetap sama: kamu jadi bahan cacian! Iya kan?”
“Alasanku suka sama Erik bukan karena dia gay atau straight, suka ya
suka aja! Memangnya kalo kamu suka sama seseorang, kamu mau memendamnya
selamanya?” balasku menahan emosi.
“Perasaan bukan sesuatu yang nggak bisa dikendalikan! Bagiku, kalo
nggak mungkin jadi, maka nggak perlu diterusin! Harapan boleh tinggi,
tapi harusnya tetap nyadar sama kenyataan! Ngejar cowok straight itu
mimpi!” cibir Aldo ketus.
“Udah, kamu nggak usah ikutan ngolok-ngolok soal itu! Yang nanggung
konsekuensinya juga aku sendiri. Kalo sekarang aku jatuh, memangnya kamu
ikut sakit?” tukasku.
“Oke, whatever! Soal kamu sama Erik memang bukan urusanku. Tujuanku
cuma mau ngasih peringatan agar mulai sekarang kamu lebih banyak
berpikir sebelum bertindak. Seperti sudah aku bilang, bukan cuma kamu
yang gay di sini! Biarpun identitas mereka nggak ketahuan tapi bukan
berarti mereka senang gay jadi bahan ejekan di sini! Anita sepertinya
mau memperkeruh situasi, jangan sampai kamu malah bantuin dia…!”
“Hei, sebenarnya kalo maksud kamu mau mengingatkan, itu juga udah
telat…!” tukasku jengah. “Aku sudah ketemu Anita. Dan aku menolak
wawancaranya! Tapi kamu harus faham, kalo Anita nggak harus bergantung
sama pendapatku. Kalo dia mau, dia bisa menulis dengan pendapatnya
sendiri! Jadi kalo nanti dia tetap menulis soal gay, itu bukan karena
statement-ku. Aku sendiri cuma bisa berharap, apapun yang dia tulis
semoga nggak menyulitkan posisi siapapun… Jadi, aku rasa reaksimu padaku
terlalu berlebihan!” ujarku berusaha meluruskan perdebatan.
“Aku nggak berlebihan! Sadar please! Gay itu belum diterima di sini,
dan sialnya di sekolah ini ada gay yang telanjur ketahuan! Anita jelas
tahu itu, dan dia ingin pakai itu buat berita heboh di sini!
Komentar-komentar miring bakal tambah ramai! Tekanan mental akan tambah
berat buat gay yang ada di sini…! Kamu tahu itu semua berawal dari mana?
Sejak statusmu ketahuan karena kecerobohanmu sendiri! Aku nggak bisa
kayak kamu, aku nggak bisa cuma berharap… Aku harus peringatkan kamu!”
Kupingku panas mendengarnya. Tapi hatiku lebih panas! Aku benar-benar sedang diintimidasi!
“Sampai sekarang gay selalu dipandang rendah, biarpun kita selalu
berusaha jadi orang baik! Bayangkan, jadi orang baik aja masih dicemooh,
apalagi kalo punya kelakuan jelek…!” tambah Aldo.
“Memangnya… siapa yang berkelakuan jelek…?” aku tambah tertegun.
“Nggak nyadar? Yang kuajak ngomong cuma kamu…!”
“Eeeh… Wait! Maksudmu… aku yang punya kelakuan jelek?!”
“Yaa… mungkin memang secara subjektif. Lihat dirimu kemarin,
ngejar-ngejar idola sekolah, cari perhatian di Facebook-nya, lalu nembak
dia di acara piknik sekolah…! Kamu bisa ngeles dengan bilang bahwa bagi
orang yang jatuh cinta itu adalah tindakan wajar. Tapi kamu harus ingat
dan nyadar kalo buat mereka: GAY ITU NGGAK WAJAR…! Mungkin sekarang
kamu udah nggak ngejar Erik lagi, tapi apa kamu bisa menghentikan
orang-orang yang telanjur senang mengejek kamu homo? Kamu nggak nganggap
cacian itu berkat kan?! Aku ingin kamu sadari itu! Jauhi apapun yang
bisa bikin situasi tambah buruk!”
Aku tertunduk. Perasaanku bergumul… antara rasa gusar, sakit hati,
dihakimi, dan juga sadar diri… Meski kata-kata Aldo itu pedih tapi dia
memang ada benarnya…
“Apa banyak… gay selain kita di sekolah ini…?” gumamku lirih.
Aldo lagi-lagi tersenyum sinis. “Asah radarmu! Kamu harus belajar
untuk tahu dengan kemampuanmu sendiri. Soalnya nggak akan ada yang mau
ngaku. Dan aku rasa mereka juga akan berpikir dua kali buat bergaul sama
kamu, karena mereka jelas nggak mau identitas gay mereka ikut
terbongkar! Terlalu beresiko…!”
“Terus kenapa kamu mengambil resiko buat ketemu aku?”
“Cuma untuk sekali ini saja, agar aku bisa peringatkan kamu! Sama
sekali aku nggak ada niat buat bergaul sama kamu. Sorry, aku harap kamu
ngerti kalo alasanku logis. Sebenarnya kalo kecerobohanmu nggak akan
berimbas pada perasaan gay yang lain, aku juga nggak akan repot-repot
memperingatkan kamu… Tapi kenyataannya… kamu sendiri sudah tahu
posisimu. Kamu sudah jadi sorotan dan bahan omongan di sini! Kejelekan
yang dibicarakan orang soal kamu, akan jadi generalisasi terhadap gay
yang lain…!” tukas Aldo.
Aku mencoba tetap tenang meski dalam hati ingin memaki-maki. Kupandangi Aldo, dan lama-lama malah ingin ketawa.
“Kamu berulangkali ngatain aku bodoh dan ceroboh. Tapi… bukannya kalo
kamu berani ketemu aku artinya kamu percaya sama aku? Percaya kalo aku
nggak akan membocorkan identitasmu…?” lontarku menahan geli dalam hati.
“Kamu ngatain aku ceroboh karena nggak bisa menjaga rahasia statusku…
Kalo rahasiaku sendiri aja aku nggak bisa menjaganya, kenapa kamu masih
nekat percaya kalo aku bisa menjaga rahasiamu…?”
Wajah Aldo tampak meremang seperti mau menyemburkan api, terdiam
tanpa jawaban saat aku membalik kata-katanya. Dia memandangiku dengan
tajam. Aku balas menatapnya tanpa gentar.
“Terus terang aku nggak suka dengan caramu menekanku. Jadi…
berharaplah rasa kesalku segera hilang, supaya aku nggak perlu jual
rahasiamu pada Anita…” cetusku lirih dan tajam. “Soalnya Anita pasti
akan lebih tertarik dengan fakta bahwa anak Kepala Sekolah adalah
seorang gay…”
“Justru itulah… aku ingin kamu tahu bahwa aku serius!” desis Aldo
dengan raut dingin yang memerah. “Kamu sendiri sudah tahu posisimu…
Orang-orang belum tentu percaya kalo kamu mau bicara soal identitasku,
karena reputasimu sendiri sudah telanjur buruk. Sebaliknya, sebaiknya
kamu faham kalo kamu berulah maka ayahku bisa mengeluarkanmu dari
sekolah ini…” ucapnya dengan sungging senyum sinis.
Aku tertawa kecut. “Kamu sendiri pasti tahu bahwa reputasi Anita juga
buruk, tapi orang-orang tetap percaya omongannya. Dan aku sendiri,
setidaknya aku sudah mulai beradaptasi dengan reputasiku sekarang. Dan
terus terang saja… nggak semua orang membenciku, ada dari mereka yang
tetap menerimaku. Tapi kamu…? Apa kamu lebih siap dari aku seandainya
rahasiamu terbongkar? Akui saja kamu juga cuma bisa berharap dalam
situasi seperti ini…!” cetusku tanpa ragu-ragu.
Mata Aldo terlempar tanpa arah, dadanya sesaat membusung menghisap
nafas banyak-banyak… Rahangnya tampak menekan, kedua tangannya terkepal…
Emosi. Berang. Marah. Tanpa bisa melampiaskannya…!
Ohhh… Apa gurauanku tadi terlalu pedas???
“Hahaha… Santai, santai…! Aku cuma becanda kok…!” aku langsung
mengakhiri aktingku dengan geli. “Mungkin aku memang bodoh dan ceroboh.
Tapi aku bukan orang jahat. Aku juga ingin kamu tahu… kalo bebanku sudah
berat. Kamu menekanku buat jaga sikap, memintaku dengan ketus supaya
nggak bikin resah gay lainnya… intinya aku diminta menjaga kenyamanan
kalian… Begitu kan? Pertanyaannya… apa memang aku, yang harus mengemban
tanggung jawab itu?! Lalu waktu aku dicemooh, kalian di mana…? Apa
kalian membelaku…?”
“Jadi maksudmu semua gay di sekolah ini harus ngaku bahwa mereka gay,
lalu berdiri di sebelahmu buat membelamu? Gitu? Kamu bisa nggak
membayangkan yang sebaliknya? Seandainya yang ketahuan gay adalah anak
lain, kamu sendiri masih aman dengan identitasmu, apa kamu mau ngaku dan
maju demi membela dia?! Nggak juga kan? Nggak usah munafik!” tukas Aldo
sengit.
“Hei…!” desahku tercekat. Tawa pahit terlepas lagi dari mulutku.
“Bagian mana di kalimatku yang nyuruh kalian buat ngaku? Dan… tentu saja
identitas kalian aman…! Tapi kenapa malah ikut menekanku? Kalo kalian
nggak bisa membelaku, nggak usah datang hanya untuk ikut ngolok-olok
aku! Jadi siapa yang munafik? Akulah yang menanggung reputasiku, bukan
kamu, bukan kalian! Jadi aku minta… kamu simpan keangkuhanmu…! Kamu
ingin situasi nggak bertambah buruk, tapi kenyataannya kamu juga nggak
membuat situasi jadi lebih baik…!”
Wajah Aldo semakin merah padam. Lagi-lagi tanpa jawaban, tanpa
menatapku. Tegak dengan angkuhnya. Tapi terlihat olehku apa yang ada di
balik keangkuhannya itu. Kerapuhan!
Suasana sekarang hening. Diam tanpa kelumit perdebatan lagi. Kebisuan
yang menyimpan kobaran api! Persinggungan yang runcing. Prasangka,
gusar dan resah… bergumul jadi satu dalam egoku!
Di sela-sela suara burung yang samar di pepohonan, bunyi bel terdengar. Jam istirahat berakhir…
“Kamu nggak perlu resah terlalu berlebihan seperti ini…” desahku di akhir perdebatan.
Aldo menatapku sesaat dengan sorot matanya yang tajam. “Thanks,” ucapnya kemudian.
“Buat apa?”
“Buat usahamu mempengaruhi cara pikirku!” sahut Aldo seraya
membalikkan badannya, mengambil langkah meninggalkanku. Lalu sekilas dia
menengok lagi padaku. “Sorry, bagiku itu tetap terlalu naif!”
Aku terkesima tanpa ucapan apa-apa, menatap sosok Aldo hilang di balik gedung aula…
Dengan langkah gundah, kutinggalkan gedung aula yang sepi itu.
Semoga apa yang kuhadapi barusan nggak akan jadi masalah
berkepanjangan. Aku sudah capek! Hatiku terlalu berharga untuk
digerogoti masalah yang dicari-cari seperti ini!
Kapan semua perkara ini akan selesai?
Bersambung...