Keranjang 37 - 39
Keranjang 37
Ke Rumah Fandy
Aku duduk di atas motor, sendirian di depan sebuah terminal di
daerah bernama Gemolong. Sebuah daerah yang kering dan agak gersang,
tapi cukup ramai sebagai daerah yang nggak bisa dibilang kota. Mungkin
karena ini daerah transit dari tiga kabupaten: Sragen, Karanganyar, dan
Boyolali, jadi biarpun jauh dari pusat kota tapi ramai dan padat
penduduk. Tanahnya bercampur dengan gamping yang bikin debu terasa panas
di hidung. Apalagi ditambah asap hitam kendaraan… Tambah gerah!
Sekitar limabelas menit aku menunggu di sini…
Lalu, tampak seseorang menghampiriku dengan sebuah motor hybrid
berwarna hijau. Saat dia berhenti di depanku dia segera membuka helmnya.
Bak air sejuk buat mulut kering, dia segera menyegarkan mataku yang
sudah sejak tadi pedih menahan debu jalanan…!
“Sudah lama, Mas?” sapa Fandy dengan senyum cerahnya.
Aku masih bengong melihatnya, karena dia tampak beda dari yang biasa kulihat… Selama ini yang biasa kulihat cuma sosoknya sebagai cowok
yunior yang culun berseragam sekolah, tiap ketemu juga nggak jauh-jauh
dari lingkungan sekolah… Sekarang, di depanku dia tampil dengan V-necked
T-Shirt warna putih dibalik jaket blazzer coklat lumut, dengan jeans
pensil hitam gelap yang berkerut ketat, berpadu sandal gunung
triple-belt yang terlihat gaya… Duduk menopang motor hybridnya, dia
benar-benar kelihatan bedaaaa….! Fandy yang cute itu… kelihatan lebih
gagah…!
“Mas…? Kok bengong aja? Udah lama nunggunya?” Fandy mengulang sapanya.
“Ohh…!” sentakku mulai nyadar. “Belum lama kok… Sampai sini tadi aku kan langsung nelpon kamu…”
“Iya. Sekitar limabelas menit ya nunggunya? Nggak kelamaan kan?”
“Harusnya kamu yang nungguin aku di sini, aku kan udah jauh-jauh dari
Solo! Capek nih!” tukasku.
Fandy tersenyum lebar dengan bibir merahnya. “Ya udah yuk, mau langsung ke rumahku kan?” ajaknya.
“Iya…” jawabku masih setengah tercengang. Lalu aku mulai menstarter
motorku, mengikuti Fandy yang sudah siap jalan.
Aku dan Fandy dengan motor masing-masing segera menempuh perjalanan
lagi. Aku sempat melihat papan penunjuk jalan di depan perempatan, arah
lurus ke Purwodadi, arah kiri ke Boyolali, dan kami membelok ke arah
kanan menuju daerah Tanon. Jalan aspal hotmix, rumah-rumah di sepanjang
pinggiran jalan berselang-seling antara gaya desa dan gaya kota.
“Lumayan ramai ya…! Masih jauh nih rumahmu?” tanyaku sambil menyetir motorku agak pelan di samping Fandy.
“Sekitar lima kilo lagi lah, Mas. Kalo ini kan masih dekat sama
daerah transit, jadi ramai… Coba nanti kalo udah dekat sama rumahku…
Lihat aja…!” ujar Fandy sambil melebarkan senyum.
“Memangnya gimana?” lontarku.
“Ndeso…!” seloroh Fandy.
Aku tertawa, Fandy juga…
Kulihat jam tanganku, jam sepuluh lewat sedikit. Semilir angin pagi
yang menjelang siang rasanya nyaman di wajahku, hangat tapi segar. Makin
lama udara di hidungku juga terasa makin bersih, serasi dengan
pemandangan yang mulai berganti sedikit demi sedikit…
Mulai terlihat petak-petak sawah hijau yang luas, dan makin banyak
rumah-rumah kayu khas pedesaan. Iring-iringan pengendara sepeda kumbang
dengan caping di kepala dan cangkul di boncengan, para petani yang entah
habis pulang atau baru mau berangkat ke sawah… Kami melaju, mendahului
gerobak berdinding anyaman bambu yang ditarik dua ekor sapi…
Akhirnya terasa juga suasana pedesaan yang sudah kubayangkan
sejak dari rumah…! Sebuah pemandangan yang jarang kulihat selama hidup
di jantung kota. Bisa kurasakan keunikannya, mengagumkan…!
“Ini udah ndeso kan?” selorohku.
“Iyaa…!” sahut Fandy cerah.
Menyenangkan…! Dan Fandy ada di sampingku, biarpun dia di atas
motornya sendiri tapi tetap nggak bisa kuelakkan perasaan ini… Rasa
bahagia yang menyertai perjalanan ini…!
Aku mengikuti Fandy yang membelokkan motornya ke sebuah gang tanah
yang berbatu-batu. Sebuah perkampungan, berseling dengan kebun dan
ladang. Beberapa orang yang kami lewati melempar senyum dan sapaan ke
Fandy. Membuatku menduga, kami sudah dekat dengan rumahnya!
Dan akhirnya, kuikuti motor Fandy yang perlahan masuk ke sebuah
pekarangan lebar dengan paduan rumput jepang, tanah cokelat dan batu
kerikil. Kami berhenti di halaman sebuah rumah beratap joglo dengan
dinding kayu jati coklat tua. Lumayan besar. Pintunya terdiri dari dua
daun pintu dari kayu jati juga, dengan sedikit ukiran di pinggirannya.
Terasnya panjang terbuka berlantai keramik kuning gading. Rumah ini
kelihatan berwibawa karena gaya tradisionalnya…
“Ini rumahku, Mas…” ujar Fandy begitu mematikan motornya.
“Heee…” gumamku setengah bengong, belum berhenti terkesima memandangi rumah Fandy dan pekarangannya.
“Kenapa, Mas?” tanya Fandy dengan senyum malu-malu. “Hehehe… Jangan
dibandingin sama rumah-rumah di kota, rumahku jadul banget…!”
“Bukan jadul, tapi antik…! Antik itu jadul tapi berkelas…!” selorohku kagum.
“Halahhh… Nggak ahh…!”
“Dibilangin! Jujur… rumah kamu cantik…!”
Fandy cuma ketawa pelan. “Kirain cuma cewek sama payung yang bisa dibilang cantik…!” timpalnya.
“Rumahnya cantik… penghuninya cakep…” gumamku.
“Kamu muji siapa, Mas?” tanya Fandy langsung menyahut dengan senyum samar.
“Ehhh… Nggak… Aku ngomong apa sih tadi…?” kelitku berlagak pilon, rada salah tingkah. Keceplosan memuji Fandy…!
Wajah Fandy tampak agak bersemu. “Udah ahh, ayo masuk…!” ajaknya kemudian.
Kayaknya Fandy memang tahu kalau aku tadi memujinya.
Aku turun dari motorku, mengikuti Fandy. Kulepas sepatuku, lalu
kupijakkan kakiku di atas keramik teras. Adem rasanya… Ya, mungkin
karena udaranya jauh dari polusi asap mesin, jadi biarpun daerah kering
tapi rasanya tetap sejuk. Dan di sekitar pekarangan juga ada beberapa
pohon, nggak besar tapi lumayan rindang. Aku duduk di dipan bambu yang
ada di teras, termangu-mangu oleh suasana… Rumah desa yang benar-benar
nyaman, rasanya aku langsung betah…!
“Ayo masuk ke rumah, kok malah di teras aja…?” ajak Fandy lagi.
“Di sini aja dulu. Enak suasananya…! Lagian nggak papa kalo aku masuk?”
“Ya nggak papalah, namanya tamu dari jauh…!”
“Tapi… aku kok rada grogi ya kalo nanti ketemu ortumu…?” lontarku agak ragu.
“Kenapa grogi? Ortuku nyantai kok, tadi aku udah kasih tahu kalo ada
teman yang mau datang…” ujar Fandy. Akhirnya dia malah ikut duduk di
sampingku, di dipan bambu.
“Kamu bilang gimana? Teman sekolah gitu?” tanyaku penasaran.
“Iya lah, dari Solo kalo bukan teman sekolah terus teman apa? Aku bilang Mas Dimas kakak kelasku…” jelas Fandy.
“Aduuuuhhhh…! Kok bilangnya kakak kelas sih?!!” desahku jadi agak cemas.
“Lho, memangnya kenapa? Mas Dimas kan memang kakak kelasku…?”
“Bukannya agak aneh kalo baru seminggu kamu sekolah, terus yang
datang ke rumahmu ‘kakak kelas’…? Harusnya kamu bilang aja aku teman
sekelas, jadi nggak gitu aneh…” tandasku agak sangsi.
“Tadi aku juga sempat ditanya sih… Aku bilang ke ortuku kalo Mas
Dimas senior pendamping kelasku waktu MOS, yang baik hati dan suka
bantuin…” jelas Fandy sok yakin dengan gaya memuji, tapi entah dia
bercanda atau serius!
Tapi tetap saja aku tersanjung.
“Senior pendamping kelasmu kan si Erik!” tukasku.
“Aku juga bilang Mas Dimas pingin lihat Pasar Malam…” tambah Fandy.
“Iya, memang. Tapi kalo aku jadi ortumu, aku akan balik nanya,
‘bukannya di Solo udah banyak Pasar Malam?’ Udah ada Sri Wedari juga…?
Gimana hayoo?” gumamku sambil garuk-garuk kepala. “Kayaknya kita harus
siap-siap banyak bohong ya…?”
“Hmmhhh… Mulai nih, Mas Dimas tuh kejauhan kalo mikir! Udah lah,
nyantai aja! Ortuku aja nyantai kok…!” tukas Fandy agak sebal. “Ortuku
malah senang kalo ada temanku yang datang. Soalnya selama ini jarang
banget ada teman yang main ke rumahku…”
“Iya, iya… Percaya…!” sahutku akhirnya.
“Lagian mereka juga sedang nggak di rumah, lagi pada pergi…” tambah Fandy.
“Iya…!” anggukku lagi.
Kulihat di tepi pekarangan, ada bangunan kecil beratap asbes dan ada
bekas ban mobil di tanahnya. Itu pasti garasi, tapi mobilnya nggak ada.
Ya, pasti dipakai ortunya Fandy buat pergi.
Lalu mataku tersita mengamati benda besar di sudut teras. Sebuah
batang besar berwarna coklat tua di pojok teras. Sebesar batang kelapa…!
“Kenthongan-mu gede amat…?” lontarku mengomentari benda besar itu.
Fandy ketawa. “Iya. Di desa memang banyak kenthongan yang gede…!”
“Aku juga punya kenthongan, tapi kecil…” gumamku.
“Yang kecil biasanya yang bentuknya bengkok gitu kan…? Di sini juga banyak sih…” sahut Fandy.
“Nggak kok, punyaku lurus. Kecil tapi rada panjang…” ujarku, sambil
mengingat kenthongan di rumahku yang berbentuk lombok warna merah.
Memang kalah jauh ukurannya kalau dibandingin sama punya Fandy.
“Ehhh… Ini… yang kita omongin kenthongan beneran kan?” celetuk Fandy tiba-tiba…
Spontan mataku mengembang. “Ya iyalah…! Memangnya kamu mikir ‘kenthongan’ yang mana?” tukasku terkesiap.
“Yy…yaa… Kenthongan beneran…!” jawab Fandy kikuk.
Kutuding muka Fandy dengan senyum jahil. “Bohong… Ngeres kan?!” tudingku.
“Kok malah ngomongin kenthongan sih?! Ayo lah, masuk dulu…!” kelit Fandy sambil berdiri, beranjak ke dalam rumahnya.
“Yeeee… Ngelessss…!” selorohku sambil ngikut Fandy.
Saat aku ikut masuk ke dalam, aku kembali terpana. Bagian dalam rumah
Fandy nggak kalah mencengangkan! Atapnya dilapisi lembar-lembar anyaman
bambu yang dipernis kekuningan, dengan bingkai ruas-ruas kayu bercat
biru pastel. Ruang tamunya cukup luas dan longgar. Tempat duduknya bukan
sofa, tapi satu set kursi kayu yang mirip dengan yang biasa dipakai
buat tempat duduk manten, bantalannya kain bludru merah hati. Di atas
ruang tamu ada lampu gantung antik dengan kuncup kaca yang warnanya
kuning gading. Di dua sudut bagian depan ada buffet besar berisi
benda-benda keramik dan pernak-pernik bernuansa Jawa, dan juga tampak
buku-buku ditata rapi di bagian rak bawah. Di dinding-dinding yang
sebagian besar dari papan kayu jati dipajangi foto-foto keluarga, dan
juga beberapa gambar wayang… Antik benar…!
Masuk ke rumah ini, berasa aku nggak sedang hidup di abad 21, tapi
rasanya kayak hidup di jaman Rano Karno masih jadi brondong terganteng
di Indonesia…!
“Masih capek, Mas?” tanya Fandy.
“Lumayan sih… Mata agak pedes aja nahan debu di jalan tadi…” jawabku sambil nggak henti-henti memandangi rumah Fandy.
“Sini…” ajak Fandy sambil melangkah menuju ke salah satu kamar di sebelah kanan. Dia membuka pintu kamar itu. “Sini, Mas…!”
Dengan agak ragu aku mengikuti Fandy, memasuki sebuah kamar yang
lumayan besar. Ada satu tempat tidur berukuran dua orang, lekat menyiku
ke dinding yang berjendela. Sprei berwarna hijau dengan motif daun-daun
sederhana, menambah kesan teduh kamar ini. Di sebelah tempat tidur ada
meja belajar, di situ ada buku-buku, laptop dan mini-compo mungil, semua
tertata rapi. Di sudut lain ada lemari yang nggak begitu besar. Di atas
lemari itu ada boneka Naruto…
Waitttt… Boneka…???
Kalau bonekanya Dora sih mungkin aku langsung positip yakin,
Fandy gay…! Gay bottom…! Tapi berhubung bonekanya Naruto, mungkin sih
Fandy masih straight… Nggak cowok nggak cewek kan memang banyak yang
suka Naruto. Atau mungkin Fandy gay, tapi top…?
Aku duduk di tepi tempat tidur, masih sambil memandangi berkeliling.
“Ini pasti kamarmu…!” tebakku. Memang sudah jelas sih! Di dinding ada fotonya Fandy segede 15R. Foto yang cute…!
“Ya iyalah, masa aku bawa Mas Dimas ke kamar ortuku…!”
“Aku kirain kamu bawa aku ke kamar khusus tamu…”
“Nggak ada kamar khusus tamu, kalo Mas Dimas capek istirahat sini aja dulu…!” balas Fandy.
“Capeknya nggak terlalu sih. Tapi kamar kamu ini hawanya bener-bener bikin ngantuk…” sahutku sedikit menggeliat.
Kurebahkan badanku ke kasur yang sejuk. Bertepatan dengan angin dari
luar yang masuk lewat jendela. Gemerisik daun dan dahan pohon juga
terdengar, berselingan dengan suara burung dan suara ayam. Benar-benar
menyatu dengan alam. Diam di sini lima menit saja, sumpah… aku pasti
ketiduran!
Fandy melepas jaketnya, menyampirkannya ke gantungan yang ada di
dinding. T-shirt yang lekat di badannya melekuk bersama garis badannya…
kerah V di lehernya menambah kesan yang… Aahhhh…! Jantungku jadi
berdesir-desir lagi menatapnya…
Apalagi…
“Aku juga capek nih…” desah Fandy sambil menjatuhkan diri ke tempat tidur, tepat di sampingku…!
Mata polosnya… Bibir merahnya… Lekuk di pangkal lehernya, lekuk
lengannya, wangi tubuhnya yang lembut tapi sporty… Terbaring pasrah!!!
CUMA BERDUA DI KAMAR INI…!!!
Dimas, TUNGGU APA LAGIIII…?!!! TINDIH…!!! TINDIH…!!!
“Mas Denis kok nggak ikut?” lontar Fandy, pertanyaan yang segera memecah imajinasiku.
“Ahh…? Denis…?” ulangku kikuk.
Denis…? Kemarin aku ribut sama dia dan… dia bilang…
“Dimas, jangan macem-macem sama Fandy…! Elu tuh masih nebeng ortu…! Belum waktunya main ‘gituan’… bla… bla… bla…!”
Semua ocehan Denis beserta gayanya yang mirip emak-emak ceramah
langsung terngiang dan terbayang lagi di kepalaku. Aku segera bangun
dari rebahan, duduk menepi dan kuusap-usap mukaku! Membersihkan isi
kepala dari pikiran mesum!
“Mas… Ditanyain?! Mas Denis kenapa nggak ikut?” Fandy mengulang pertanyaannya sambil tiduran.
“Dia baru kecapekan…” jawabku singkat dan agak kikuk.
“Kecapekan? Memangnya habis ngapain?” Fandy bertanya lagi.
“Ngapain ya..? Paling dia cuma lagi males aja…” jawabku sekenanya
bikin alasan. Sebenarnya sih, aku memang sengaja nggak ngajak Denis!
Kalau dia ikut nanti malah bikin reseh! “Kangen ya sama Denis?”
lontarku.
“Hahaha… Kan baru kemarin ketemu, lebay banget ah kalo kangen…! Cuma nanya aja kok…” sahut Fandy sambil meluk bantal.
“Ini yang di rumah cuma kamu sendiri? Kok sepi banget kayaknya?”
tanyaku mulai heran dengan suasana rumah yang dari tadi terasa sepi.
“Nggak, di belakang ada si Mbok, Pembantu rumahku…” jawab Fandy.
“Ooo… Kamu punya sodara nggak sih…?” aku bertanya lagi. Ingin tahu tentang keluarga adik kelasku yang cute ini!
“Punya, tapi sedang nggak ada di rumah semua. Yang paling tua kakakku
cowok, udah kerja di Surabaya. Satunya lagi cewek, kuliah di Semarang.
Minggu ini nggak pulang…” jelas Fandy.
Sekilas kulihat wajahnya jadi agak murung, entah kenapa…
“Kalau ortumu… kerja di mana…?” aku masih meneruskan keingintahuanku.
“Bapakku dokter, dinas di Puskesmas. Kalo ibuku di rumah aja…” sahut Fandy.
“Wah… Dokter ya…?! Biasanya anak dokter tuh cita-citanya sama dengan ortunya…!” decakku.
“Jadi dokter? Nggak ahh…!” jawab Fandy sedikit tertawa. “Aku belum
mikirin cita-cita. Belum jelas. Tapi yang pasti bukan dokter, soalnya
aku paling nggak tahan sama bau obat…”
“Katanya kemarin Mas Dimas nggak dikasih ijin sama ortu ya? Ini datang ke sini nggak nekat kan?” tanya Fandy berganti topik.
“Kemarin itu dilarang gara-gara ada rencana mau menginap. Ini nanti
aku juga nggak boleh pulang kemalaman. Jadi nanggung juga sih waktunya…”
desahku agak kecewa.
“Ya udah, istirahat aja dulu. Kalo udah ilang capeknya nanti main ke
Pasar Malam. Sini, tiduran dulu…” ujar Fandy sambil menggeser badannya
ke samping, menawariku ruang di sampingnya.
Fandy nyuruh aku tidur di sampingnya…! Yang cozy dan
romantis ini! Ya ampun, godaan yang satu ini benar-benar manis…!!!
Tuhan, Engkau niat banget ya menguji naluriku…???!!!
“Pasar Malam-nya mulai jam berapa? Sore udah buka…?” tanyaku berusaha
tenang, masih duduk di pinggiran dipan meski bantal kosong di samping
Fandy sudah melambai-lambai.
“Ini kan hari Minggu, Pasar-nya buka mulai siang kok… Makanya Mas
Dimas istirahat aja dulu. Aku juga rada ngantuk soalnya, semalam kurang
tidur…” bujuk Fandy sambil menguap dan menggeliat.
Melihat Fandy yang sudah terkulai, dan berulangkali mengajakku untuk tidur di sampingnya… lama-lama aku pun luluh…!
Pelan-pelan tubuhku merunduk, dan akhirnya jatuh juga ke atas kasur. Berbaring di sebelah Fandy yang sudah lebih dulu terkulai…
“Beneran nih, ngantuk…” gumam Fandy sambil beralih menelungkupkan
badannya. Memiringkan wajahnya yang terkulai tepat di samping wajahku…
Imajinasi dan dorongan yang macam-macam, bertubi-tubi merangsangku…!
Tapi melihat wajah polosnya yang terpulas itu… lama-lama membuatku
bercermin pada perasaanku sendiri, dan akhirnya kutemukan satu
kesimpulan…
Adakah orang yang nggak pernah tergoda oleh sosok yang disukainya?
Kuakui, aku tergoda. Tapi jika aku memang menyukainya, jika aku
memang menyayanginya… maka kurasa aku juga harus bisa menghormatinya…
Entahlah apa dia juga menyukaiku, tapi melihat wajah damainya yang
terlelap di sisiku… aku tahu bahwa dia menerimaku di tempat yang dekat
dalam dirinya. Dan aku nggak boleh merusaknya…
Kurapatkan diriku lebih dekat. Meletakkan tanganku di atas tubuhnya
yang bergerak lembut dalam ayunan nafas. Terhanyut menghirup aroma
segarnya di hidungku…
Godaan ini memang manis. Maka aku akan memperlakukannya dengan manis pula…
Perlahan mataku segera ikut terpejam. Bersamanya, damaiku ikut terlarut.
Pulas di sisinya…
***
Keranjang 38
Petualangan Di Desa
Mataku berkedip-kedip melihat langit-langit. Lalu aku bangun, duduk
di atas kasur sambil sedikit menguap dan mengucek mata. Kuhitung menurut
jam tanganku, mungkin sekitar satu jam aku tidur. Sekarang jam setengah
duabelas siang…
Oh iya… dimana Fandy…? Bukannya aku tadi tidur di sampingnya? Dia pasti bangun duluan, entah sekarang kemana…
Di tengah bengong sendirian, mataku mengerling ke meja yang ada di
samping tempat tidur. Iseng-iseng aku mulai mengamati lebih detail
barang-barang Fandy yang ditaruh di situ. Yang paling menyita
perhatianku adalah buku-buku miliknya. Gila…! Rabindranath Tagore,
Kahlil Gibran, Anthony de Melo, W.S. Rendra, Y.B. Mangunwijaya… Bacaan
Fandy semua ini…??? Ternyata sastra banget anak itu…?!
Aku juga jadi terpikir, Fandy yang selera bacanya sastra banget ini,
ternyata juga punya tabiat mengetik kalimat dengan huruf besar-kecil
campur aduk yang nggak jelas maksudnya! Di satu sisi punya selera
elegan, tapi di sisi lain malah rada norak. Kok kayaknya nggak matching
ya??? Aku curiga, jangan-jangan dia memang sengaja…!
Crkkk… Tiba-tiba pintu kamar terbuka, mengagetkanku yang sedang terbengong-bengong…
“Udah bangun ya…? Sampai lupa dari tadi aku nggak nyuguhin apa-apa…!”
ujar Fandy yang masuk ke kamar, sambil bawa dua cangkir. “Nih, kopi
susu, Mas… Biar hilang ngantuknya…!”
Satu cangkir kopi susu ditaruh Fandy di atas meja, cangkir satunya
masih dia pegang di tangannya, dan srrrrpppp… Fandy meminumnya.
“Diminum…!” ulang Fandy padaku.
“Iya… Makasih…!” sahutku sambil meraih cangkirku.
Nikmat banget kopi susunya, mataku langsung terasa terang!
Setelah minum aku kembali memandangi Fandy dengan agak
tercengang-cengang.
“Bacaanmu gila ya! Sastra tinggi semua tuh…!” lontarku kagum.
“Kok bisa bilang ‘sastra tinggi’?” balik Fandy sambil tersenyum melirik buku-bukunya. “Berarti Mas Dimas juga pernah baca kan?”
“Hahaha… Aku cuma tahu nama-namanya aja! Aku pernah baca beberapa
buku Gibran, tapi nggak pernah selesai. Cuma iseng aja…” gumamku agak
malu.
“Itu sebenarnya buku-buku milik kakakku. Karena udah nggak dibaca
lagi, jadi gantian aku yang baca. Itu juga belum selesai semua bacanya,
soalnya kadang aku juga malas buat baca. Sama kayak Mas Dimas lah, cuma
buat iseng aja…” ulas Fandy.
Kayaknya Fandy cuma merendah tuh…! Kalau dia memang nggak suka
baca buku-buku itu, nggak mungkin dia pinjam dari kakaknya dan kemudian
ditaruh di mejanya sampai penuh dan tetap terawat rapi gitu. Dia pasti
memang menyukai buku-buku itu!
“Oh, iya… Aku mau nanya nih!” lontarku kemudian.
“Tanya apa?”
“Aku rada heran sama kebiasaanmu… yang suka ngetik SMS pakai huruf
besar-kecil itu…” cetusku agak hati-hati. “Terus terang, aku rada pusing
kalo baca tulisan kayak gitu. Sebenarnya gaya kayak gitu maksudnya apa
sih?”
Fandy langsung tersenyum rapat, diam sesaat dan matanya tampak
mengerling agak tersipu. “Itu… cuma iseng aja sih, Mas…” ucapnya
kemudian.
“Iseng? Hmmm… Iya sih, sebenarnya aku juga agak kurang percaya kalo
itu bagian dari karaktermu…” sindirku sambil tersenyum kecut. “Soalnya
kemarin kamu juga keceplosan ngetik SMS pakai huruf normal…!”
Fandy langsung menggaruk kepalanya, tersenyum malu. “Masa sih?”
“Iya! Jadi maksudnya apa tuh, ngetik-ngetik pakai huruf besar-kecil
yang campur aduk itu?! Aku bisa salah baca kalo tulisannya kayak gitu…!”
tukasku.
“Sebenarnya… cuma mau ngerjain aja sih…”
“Ngerjain?!”
“Hahaha…” Fandy tertawa renyai. “Gini ceritanya… Dulu waktu aku
ngobrol sama Mas Denis di Ruang BP, kebetulan ada temanku yang SMS ke
HP-ku pakai huruf alay gitu. Aku kasih lihat ke Mas Denis, nyuruh dia
baca soalnya aku sendiri bingung bacanya. Mas Denis sih nyantai, tapi
dia komentar kalo Mas Dimas paling sebel sama tulisan kayak gitu…”
“Ooooo…! Dari situ terus kamu dapat ide buat ngerjain aku?!” tukasku terbelalak. Langsung kesal seketika!
“Hahaha… Sorry, Mas… Nggak ada maksud apa-apa kok… Yahhh, cuma
ngerjain aja…” sahut Fandy dengan senyum malu-malu.
“Terus kamu juga jadi suka sama gaya ngetik kayak gitu?!”
“Nggak kok… Cuma iseng aja! Lama-lama aku juga ngerasa aneh sendiri ngetiknya…”
“Hmmm… Kalo gitu jangan diulangi ya! Nggak cocok sama seleramu yang sastra tinggi gitu!” cetusku sambil mencibir.
Fandy cuma mengatupkan tawa dengan bibir merahnya. Dan dengan fakta baru bahwa ternyata dia bukan cowok
alay, status daya tariknya jadi nambah lagi di mataku.
“Gimana, Mas… enak tidurnya?” Fandy sekarang merubah arah pembicaraannya.
Kali ini gantian aku yang langsung kikuk… Pertanyaannya membuatku
jadi tersipu dalam hati… Soalnya aku ingat sekarang, tadi saat tidur aku
sempat menumpangkan tanganku di tubuhnya… Bisa dibilang, itu artinya
beda tipis dengan ‘MEMELUKNYA’…!!
“Kamarnya nyaman, jelas betah tidurnya…!” jawabku membelokkan alasan.
Membahas kamarnya, bukan tubuhnya! Masa mau bilang terus terang sih?
Malu! Semoga Fandy juga nggak berpikiran negatif, semoga dia benar-benar
sudah tidur waktu tanganku mendekap tubuhnya…
Fandy menaruh cangkirnya di sebelah cangkirku. “Sekarang udah nggak capek kan? Jadi ke Pasar Malam?” lontarnya.
“Hmmm… Tapi kok agak mendung ya…?” gumamku sambil mengintip langit lewat jendela.
“Kan malah nggak panas kalo agak mendung gini? Moga-moga aja nggak sampai hujan…”
“Iya, ya… Mending berangkat sekarang aja kalo gitu!”
“Ya udah. Yuk…!” ajak Fandy tampak bersemangat.
Aku turun dari tempat tidur. Kuminum lagi kopi susu yang ada di atas meja, habiskan sebelum berangkat…!
“Lho, itu kan cangkirku, Mas…?” cegah Fandy sesaat.
“Oohhh…” sentakku, mengamati cangkir yang kupegang lalu kutunjukkan ke Fandy. “Yaahhh… Telanjur aku habisin…”
“Haha… Ya udah, nggak papa…” ucap Fandy nyantai.
“Nih, gantian habisin aja punyaku…!” kusodorkan cangkirku ke Fandy.
Fandy tersenyum simpul. Tanpa bicara langsung menghabiskan kopi susu di cangkirku…
Aku dan Fandy meninggalkan kamar, melangkah keluar rumah.
“Jalan kaki aja ya, nggak terlalu jauh kok…” ujar Fandy.
“Iya. Sekalian jalan-jalan malah…!” sahutku santai.
Kami berjalan santai menyusuri jalan perkampungan, melewati
rumah-rumah penduduk desa yang dominan terbuat dari kayu. Berpapasan
dengan orang-orang desa, tetangga Fandy. Ada yang lagi ngurus kambing di
ladang, ada yang baru jemur gabah di pelataran, ada yang lagi
duduk-duduk di serambi sambil ngerumpi. Mereka ramah-ramah, suka ngasih
senyum. Ada mbok-mbok yang cuma pakai kutang sama kemben, kelihatan
nyantai-nyantai aja pas aku sama Fandy lewat di depan rumahnya.
Waaaahhhh… Di kota nggak ada yang kayak gini…!
Jadi ngarep ketemu mas-mas atau paling nggak sesama brondong, yang
shirtless dengan badan bagus ngasih sapaan atau senyuman… Bakal aku
jepret pakai kamera pastinya…!
Tapi sempat rusak juga pemandangannya, waktu lewat di depan salah
satu rumah semua jemuran dipajang di depan kayak lagi bazaar pakaian.
Masalahnya beberapa jemuran itu adalah kolor-kolor butut yang udah
bolong-bolong! Seolah-olah malah bangga bisa pamer! Ya, mungkin memang
beginilah yang namanya desa… Semua itu memperlihatkan keluguan dan
terbukanya mereka dalam bertetangga, sampai pakaian dalam yang sudah
butut nyantai saja dipamerkan.
Hidup memang penuh warna!
“Senang bisa jalan-jalan kayak gini… Udaranya segar, orang-orangnya
pada ramah. Suasananya benar-benar beda sama kota. Jadi refresh…”
selorohku.
“Desa ya kayak gini, Mas… Hampir nggak ada gengsi-gengsian, soalnya tetangga ibaratnya sudah seperti keluarga!” sahut Fandy.
“Tapi kamu nggak ikutan jemur kolor di depan rumah kan?” bisikku, jahil sedikit.
“Yeee…! Tadi kan bisa lihat sendiri, nggak ada jemuran di depan rumahku! Jemurannya di belakang…!” Fandy langsung agak sewot.
“Tapi jujur aja ya, cd yang bolong masih kamu pakai nggak…?” candaku usil.
“Nggak lah!” Fandy sewot lagi.
“Katanya orang desa nggak gengsi-gengsian? Hahaha… Lagian cd bolong
juga nggak bakal kelihatan asal nggak dijemur di depan rumah…!”
celetukku.
“Kok kedengarannya malah kayak nyaranin aku buat pakai yang bolong sih?” tukas Fandy.
“Ya, iya lah! Kalo nggak bolong, gimana kakinya bisa masuk?” sahutku enteng.
Fandy melirikku dengan senyum kesal. “Dasar pintar alesan!” cetusnya.
Bercanda sambil menyusuri desa, terasa lepas dan
menyenangkan! Semoga nggak terlalu dini buat mengatakan, bahwa ini hari
yang indah…! Waktu jadi terasa makin berharga saat bersamanya…
Di ujung gang, kami mulai masuk ke jalan yang lebih besar. Jalan raya desa yang dilalui bus-bus kecil angkutan pedesaan…
“Masih jauh Pasar-nya? Kok belum kelihatan?” tanyaku.
“Udah dekat kok, itu di depan sana!” tunjuk Fandy. “Nanti juga kelihatan, Mas…”
Setelah berjalan sekitar 100 meter di jalan raya desa, akhirnya mulai kelihatan…!
Mataku pun terpana! Sebuah pusat keramaian di sebuah lapangan yang nggak begitu besar, tapi
sangat riuh dan meriah…! Orang-orang berkerumun di antara kios-kios
tenda, panggung-panggung pertunjukan, wahana mainan komidi putar, kereta
kelinci, dan kincir raksasa… Suara musik dangdut, deru atraksi motor,
bercampur aduk dengan bisingnya diesel dan gaduhnya orang… Suasana
keramaian yang sangat hidup!
“Hahaha…” aku tertawa lepas. Nggak tahu harus ngomong apa saat memasuki suasana pesta rakyat yang meriah ini…!
“Gimana?” lontar Fandy.
“Ternyata rame juga! Seru..!!!” selorohku penuh semangat di tengah-tengah keramaian yang berjubal-jubal.
“Nggak asyik kalo nggak nyoba!” balas Fandy nggak kalah semangat.
“Nyoba apa?”
“Apa saja, masa ke sini cuma jalan-jalan?!”
“Sebenarnya aku udah pernah naik mainan-mainan kayak gitu! Tapi yang
bikin beda tuh suasananya…! Di desa gini jadi unik, seru…!” selorohku
girang.
Lalu aku melirik ke deretan kios makanan. Aku langsung ingat dengan salah satu maskot Pasar Malam…!
“Nyoba Arum Manis…!” cetusku, dengan berbinar menghampiri salah satu kios.
Ya, Arum Manis. Sejenis kembang gula. Makanan dari gula yang diolah
menjadi berbentuk seperti kapas. Berwarna-warni, ada yang putih, merah,
dan kuning… Aku langsung beli dua buah, satu aku kasih ke Fandy!
“Wah, makanan anak kecil ini…!” cetus Fandy, menerima Arum Manis yang aku kasih dengan senyum malu-malu.
“Buat iseng aja, sambil jalan-jalan…!” sahutku ikut tersenyum malu.
Memang jadi mirip anak kecil. Anak kecil yang merasa bebas
mencari kesenangan…! Berdua kembali menyusuri keramaian, menembus
celah-celah di antara kios-kios yang penuh kerumun orang, sambil makan
Arum Manis yang sebenarnya nggak jelas rasanya. Tapi yang penting
senang
“Mas Denis dibeliin oleh-oleh…!” ujar Fandy sambil jalan di sampingku.
“Oleh-oleh apa?”
“Ya apa lah, makanan gitu…”
“Ada yang jual Srabi nggak ya?”
“Wah, nggak tahu ya… Martabak aja, banyak tuh…!” sahut Fandy.
“Martabak telur? Di rumah nggak ada yang doyan. Aku juga nggak suka,
telur bebeknya itu terlalu amis…!” ujarku sambil melihat-lihat kesana
kemari, hanyut dalam riangnya keramaian.
Lalu kami berhenti di depan sebuah bangunan panggung hiburan yang
cukup besar. Besar tapi agak sepi dibanding panggung hiburan lainnya.
Kami berdiri bengong memandanginya, Panggung Wayang Orang…
“Masih ada ya ternyata, Wayang Orang…?” gumamku takjub.
Hari gini, kebanyakan orang lebih suka nonton panggung
hiburan yang lebih modern. Biarpun selama ini aku juga nggak pernah
nonton Wayang Orang, tapi melihat panggung ini masih bisa berdiri di
tengah era dugem dan bioskop XXI, aku jadi terharu juga…
“Di desa kan masih banyak orang-orang tua yang suka wayang, Mas…” ujar Fandy.
“Di Solo aja, pertunjukan Wayang Orang yang ada di Sri Wedari udah
sepi. Yaahhh… Aku sendiri juga belum pernah nonton ke sana sih…”
gumamku.
“Padahal slogannya Solo kan ‘Spirit Of Java’ ya?” celetuk Fandy diikuti tawa pelan. “Aku juga sih, cerita wayang nggak gitu ngerti…”
Aku baca judul lakon yang dipajang di depan loket yang masih tutup, ‘Srikandi Senapati’… Aku langsung mengerling sesuatu dalam benakku…
“Kamu tahu nggak tentang Srikandi?” tanyaku melirik ke Fandy.
Fandy merenung-renung. “Dia… cewek yang jago memanah kan? Kalo nggak salah Srikandi itu istrinya Arjuna…” jawabnya agak ragu.
“Iya. Tapi selain itu… Srikandi juga seorang cross-dresser lho…!” tambahku.
“Hah? Maksudnya?” Fandy bertanya agak bingung.
“Dari yang pernah aku baca, Srikandi itu cewek yang suka
berpenampilan cowok. Pada waktu Pandawa mengungsi ke kerajaan lain,
semua menyamarkan identitasnya. Arjuna menyamar jadi cewek. Terus ketemu
sama Srikandi yang berpenampilan cowok. Dan lucunya, mereka sama-sama
tertarik…!”
Fandy kelihatan terbengong-bengong. “Berarti… waktu Arjuna tertarik
sama Srikandi, dalam bayangannya Srikandi itu cowok?” lontarnya tampak
heran.
“Atau sebaliknya, Srikandi tertarik pada Arjuna dengan asumsi Arjuna
itu cewek. Entahlah… Tapi akhirnya mereka sama-sama tahu, kalo Arjuna
itu cowok dan Srikandi cewek. Jadilah mereka suami istri…”
“Jadi… kisahnya agak menjurus ke… homoseksual gitu ya…?” komentar Fandy ragu.
“Yaahhh… Ambigu sih. Lagian namanya juga cerita wayang… banyak versinya!” cetusku dengan tawa masam.
Sebenarnya nggak cuma Arjuna dan Srikandi, tapi antara aku dan
Fandy juga ambigu! Dengan menyinggung cerita seperti ini, aku tetap
masih saja bimbang buat menebak pribadi Fandy… Aku mencoba meraba saat
dia berkomentar, tapi aku tetap masih belum menemukan kesimpulan tentang
arah kepribadiannya. Apakah dia itu sama sepertiku, atau bukan…?
Mengerjaiku dengan ketikan-ketikan di SMS-nya, berbaring satu dipan
di ruang UKS, lalu mengajakku tidur di kamarnya… dan semua perjalanan
yang penuh keakraban ini… Isyarat apakah semuanya ini? Sekali lagi,
apakah dia memang sepertiku? Ataukah ini semua hanyalah tanda dari
sebuah pertemanan yang akrab, persahabatan… nggak lebih…?
Masih ambigu…
Atau… memang aku sendiri yang terlalu ragu untuk menyimpulkan…?
“Sudahlah. Yuk…!” ujarku dengan sedikit lesu, mengalihkan roda
pikiranku yang mulai tergelincir pada hal yang rumit. Kugapai bahu
Fandy, mengajaknya beranjak.
“Apa yang mau kita coba nih?” lontar Fandy sambil jalan.
Kami meninggalkan panggung Wayang Orang, dan sekarang telah tiba di depan bangunan pertunjukan lainnya…
“Coba itu aja yuk…!” cetus Fandy sambil menunjuk.
Mataku langsung nanar…
Kucampakkan batang Arum Manis-ku yang sudah habis, jantungku seketika
berdegup tegang! Perasaanku langsung jadi lain saat menatap tempat yang
ditunjuk Fandy…
Sebuah bangunan pertunjukan yang berdiri di tengah kerumunan orang,
dengan eksterior penuh gambar… Pocong, Tuyul, Sadako… ‘RUMAH HANTU’…!!!
Suara berisik yang keluar dari toa yang dipasang di atas bangunan itu
seketika bikin nyawaku serasa ciut! Suara-suara hantu, dan serigala
mengaung…
“Haaaaauuuuuuu…. Xhiiihihihihihihiiii…”
Suara ituuuu…!!! Bikin kulitku merinding… Sialan!!!
“Gimana, Mas?” tantang Fandy sambil menatapku dengan sorot jahil.
Aku menelan ludah. “NGGAK…!” tolakku mentah-mentah. Kuusap-usap mukaku yang dingin, jangan sampai kelihatan pucat…!
“Kenapa? Takut ya?” cibir Fandy dengan senyum jahil.
“Aku nggak suka hantu-hantuan ah…!” jawabku ketus
“Buat seru-seruan aja…!” desak Fandy.
“Kan udah jelas yang jadi hantunya tuh orang, apanya yang seru…?!” kelitku.
“Kalo udah tahu yang jadi hantunya orang, berarti nggak perlu takut kan?” balik Fandy.
My God…!!! Aku malah salah ngomong! Kurang ajar nih Fandy, makin lama
dia makin pintar ngerjain aku…! Ya ampunnnn, Tuhan… Toloooong!
Tengkukku mulai dingin!
“Ya, udah kalo kamu nantangin…! Aku berani kok…!” tukasku gondok. Aku sudah nggak bisa berkelit lagi!
“Hehehe… Beneran ya!” Fandy langsung semangat jalan duluan menuju loket Rumah Hantu.
Aku desperate dalam hati, melihat Fandy begitu semangat beli karcis
Rumah Hantu! Ya ampun… Aku hanya bisa bungkam, berdiri diam menunggu
dengan tegang datangnya saat-saat yang pasti bakal menyebalkan di dalam
sana…!!!
“Ayo, Mas…!” ajak Fandy penuh semangat.
“Oke, siapa takut…?” balasku dengan nada heroik…
Please, gimana caranya biar seperti Aragorn waktu menghadapi pasukan
hantu di Lord of the Rings?! Mana pedang Anduril-ku…??? Mau kubantai tuh
hantu-hantu, yang udah bikin aku mati kutu di depan Fandy!
“Serem lho hantunya… Hati-hati…!” celetuk salah seorang di antara kerumunan yang ada di sekitar Rumah Hantu…
Apaan sih?!! Nggak penting nakut-nakutin! Memperkeruh suasana! Kuikuti Fandy dari
belakang dengan hati dongkol setengah mati…! Mau nggak mau ikut masuk ke
‘Rumah Hantu’ sialan ini…!
Bangunan yang kami masuki dibuat dari papan-papan triplek… Dindingnya
dibentuk semacam lorong-lorong… Gelap, dipendari berkas-berkas lampu
neon warna violet yang minim… Suara berisik hantu-hantuan dari toa yang
ada di luar menggema sampai ke dalam sini… Dan… buseettt…!!! Ada bau
menyan juga…! NIAT AMAT SIH BIKIN KAYAK GINI…?!!!
“Niat banget sih kita…?!” keluhku langsung menyesali keputusanku yang
sok berani ini. Baru masuk rasanya udah pingin kabur aja…!
Aku meraba-raba karena gelap. Fandy yang ada di depanku cuma
kelihatan samar-samar bayangannya. Tanganku mulai merayap, memegangi
pundak Fandy…
“Nggak kelihatan nih, Fan…! Kalo nggak pegangan ntar kepisah…!” keluhku cari alasan.
“Kalo kepisah juga nggak bakal kesasar lah… Bangunannya sama rumahku
aja masih gede rumahku…!” bisik Fandy sambil cekikikan. Asem nih anak,
masih bisa nyantai aja!!!
Aku nggak bisa membalas omongan lagi… Kalau kebanyakan merengek nanti
malah ketahuan aku takut…! Cuma bisa bungkam dengan pasrah, sambil
terus jalan biarpun kaki gemetaran…!
Tiba-tiba, ada sinar menyala di tangan Fandy…
“Sini, Mas…!” Fandy menuntunku. Aku segera sadar, sinar menyala di tangannya itu cahaya LCD dari HP-nya…
Kenapa aku nggak pakai HP-ku juga sih?!!! Bodohnya
aku…!!! Langsung kuhidupkan LCD HP-ku. Sekarang jadi berasa seperti
Frodo yang bawa lampu peri di Lord of the Rings… lagi-lagi LOTR!
“Pelan-pelan dong, kakiku kesandung-sandung nih…!” tukasku sambil mengarahkan cahaya dari HP-ku buat membantu menerangi jalan.
Lalu… begitu melewati belokan pertama, mulai terlihat… Bilik-bilik
yang disoroti sinar neon remang-remang, dan… PENUH HANTU DI
DALAMNYA….!!!
“Anjriiitttt…!!!” racauku gemetaran. Aku bergidik nggak karuan
melihat ada benda putih berkuncir nampang di bilik yang ada di depanku…!
Tanganku mencengkeram pundak Fandy makin kencang…
“Tenang, Mas…! Itu cuma mainan kok…” bisik Fandy.
Mainan atau bukan nggak pentiiiinnggg!!! Yang jelas tuh bentuknya POCONG…!!!
“Hantu apa aja aku nggak takut, asal bukan yang dibungkus itu…!!!” aku meracau campur aduk…
“Dibungkus? Dibawa sekalian aja gimana? Buat oleh-oleh…” Fandy malah ngajak bercanda…!
“Cerewet!” tukasku sambil nonjok punggungnya Fandy. Bercanda di situasi kayak gini?!!
“Hihihihi…” Fandy malah ketawa.
“Nggak usah ketawa..!” tukasku tambah gondok mendengar Fandy ketawa.
Suara setan ketawa yang ada di luar saja masih kencang kedengaran,
bisa-bisanya Fandy ikutan nambah ketawa…! Kayaknya bunyi apa pun bisa
bikin aku tambah stress di tempat kayak gini!
Seperti perjalanan di neraka, dipenuhi dengan setan meskipun
gadungan! Susah payah jalan tersandung-sandung di lorong gelap, zig-zag,
haduuuuhhhhh…!!! UDAHAN DOOOOONG…!!!
Pleaseeee…
“HAAARRRRRGGGGGGHHHHHH…!!!” tiba-tiba sesosok mahluk bungkusan putih berkuncir melompat di sampingku…
“HUAAAAAAAAAA….!!!” aku spontan teriak!!!
Spontan juga kudorong mahluk itu sekuat tenaga…!!! Mahluk sialan
berkuncir itu terpelanting ke dinding, dan… KRAAAKKKK…!!! Dinding
triplek ambrol…! Mahluk itu terjembab, nyungsep ditimpa triplek-triplek
yang rubuh…
“Juancooookkkk…!!!” mahluk itu misuh-misuh…
“Lari, Masss…!” Fandy langsung menarik tanganku…!
Tanpa pikir panjang aku ambil langkah seribu, nggak peduli gelap,
nggak peduli mahluk yang marah-marah itu… Adrenalinku meledak! Kuterobos
semua lorong Rumah Hantu sialan ini…
Hantu Pocong itu masih berteriak marah-marah. Aku dan Fandy makin
ngibrit, menabrak sana sini di sepanjang lorong yang gelap…! Hingga
akhirnya…
AKHIRNYA AKU KELUAAARRRRR…!!! BEBAAAASSSS…!!!
Sinar matahari langsung menyambutku dengan sorot silau…! Dan juga kerumunan orang-orang, keramaian pasar yang meriah…
“Cepat lari…!” seruku terus berlari. “Siapa tahu dia ngejar…!”
“Nekat lah dia kalo ngejar kita!” sahut Fandy masih ikut berlari di sampingku.
Hingga akhirnya kami sudah jauh dari Rumah Hantu itu… Kami berhenti.
Terengah-engah, duduk membentang kaki di atas tanah. Tawa kami pun
meledak…!
“Hahahaha…!” Fandy memegangi perutnya.
“Tahu rasa tuh Pocong gadungan!!!” umpatku, ikut tertawa tersenggal-senggal.
“Sentimen banget sih, Mas?!”
“Habisnya bikin kaget! Hampir jantungan aku tadi pas dia tiba-tiba
nongol!!! Spontan aku dorong dia… Hampir aku tendang juga sekalian!”
“Kasihan tuh… Kan dia kerja cari duit…!” seloroh Fandy.
“Resiko dia lah!” tukasku terengah-engah.
Aku sama Fandy ketawa lagi. Tadi aja pas masuk ke sana
aku gemetaran setengah mati! Tapi begitu kejadian berantem sama Pocong
di Rumah Hantu sialan itu, dan akhirnya berhasil meloloskan diri,
langsung berasa seru…
“Mas Dimas hebat, bisa ngalahin Pocong…!” seloroh Fandy. “Lain kali udah nggak takut kan kalo masuk ke Rumah Hantu lagi?!”
“Siapa yang takut?!!” tukasku, berkelit lagi sekarang.
“Tadi takut kan?! Waktu Mas Dimas megang pundakku, kerasa kok tangannya gemetar…!” cibir Fandy terbahak-bahak.
“Sialan…!” tukasku keki.
Malu sekaligus gemas setengah mati! Aku memiting leher Fandy,
kujatuhkan pelan ke tanah yang berumput. Dia masih belum berhenti
ketawa! Kami bergumul di tanah, bercanda, bergulat… diiringi senda tawa!
Keriangan jiwa muda ini serasa mengalir makin bersemangat, dan penuh
gairah…! Menghadirkan bahagia yang begitu lepas… dan begitu indah…
Ya Tuhan… Hari ini benar-benar menyenangkan…!
Melepas lelah setelah puas dengan canda tawa, kami kini duduk
terpekur. Kembali memandangi ramainya pesta rakyat ini… Mendengarkan
suara riuhnya yang menggema. Suara dangdut, suara kereta kelinci, deru
diesel dan derit besi-besi mainan… semua berbaur menjadi irama yang
campur aduk tapi terasa hidup!
Sesaat aku terpaku menatap wahana mainan yang berdiri menjulang di sana, yang berputar bagai roda raksasa…!
“Naik itu yuk…!” ajakku sambil menunjuk.
“Yang mana?” tanya Fandy.
“Itu… kincir raksasa…!” tunjukku.
Raut muka Fandy langsung berubah. Dia terdiam…
“Kenapa? Kok diam…?” tanyaku sedikit heran dengan sikapnya yang tiba-tiba berubah.
“Jangan yang itu ahh…” desah Fandy kelihatan… grogi…
“Memangnya ada apa?”
“Pokoknya jangan yang itu…!”
“Kamu takut…?” kulikku memandangi wajah Fandy yang jadi agak cemberut.
Sorot mata Fandy kelihatan cemas. “Aku nggak suka ketinggian…” desahnya kecut.
“Tadi kan aku udah terima tantanganmu…” ujarku sedikit membujuk. “Sekarang gantian lah… kamu terima tantanganku…!”
Fandy melihatku dengan mimik gamang. “Yang lain aja!” tukasnya.
Aku memandanginya sejenak. Lalu aku mulai tersenyum menghadapi kecemasannya…
“Oke, kalo gitu aku akan mengakui sesuatu…” decakku tenang, merangkul
pundak Fandy seraya memandangi Kincir Raksasa yang menjulang di sana.
“Aku tadi memang takut waktu masuk ke Rumah Hantu. Tapi setelah masuk
dengan terpaksa, nggak tahunya malah dapat pengalaman seru di sana…!”
Fandy tampak menyimakku, tapi raut wajahnya masih kelihatan ragu…
“Jangan anggap ini tantanganku, tapi tantangan dari dirimu sendiri
buat mengalahkan rasa takutmu!” selorohku bersemangat. Lalu kutarik
tangan Fandy sambil berdiri. “Ayo…!”
“Kok maksa sih? Nggak ahh…!” Fandy masih berusaha menolak.
“Aku temani…! C’mon…!” bujukku terus menarik tangan Fandy.
Lama-lama Fandy nggak bisa menolak lagi, akhirnya dia mengikutiku meski dengan tampang kecut. Now, this is his turn!
Aku membawanya menuju ke loket Kincir Raksasa. Kami membeli dua
karcis. Lalu kami segera bersiap di podium untuk menunggu giliran naik.
Dan nggak lama kemudian putaran kincir berhenti. Penjaga segera membuka
pintu bilik yang masih kosong…
“Ayo…!” kuajak Fandy masuk.
Aku dan Fandy duduk di dalam bilik, berdua, berhadapan berseberang
sisi. Aku tersenyum melihat wajah kecutnya. Dia hanya diam saja dan
masih cemberut…
“Semua akan baik-baik saja…! Nikmati saja!” ucapku menenangkannya.
“Habis ini kita impas ya!” cetus Fandy dengan raut masam dan kesal.
“Iya, iya…!” sahutku sambil tertawa.
Lalu… kincir pun mulai bergerak lagi, berputar naik… Suara besi
berderit, berpadu dengan suara angin saat melambung di ketinggian. Fandy
menutup matanya, membuatku ingin ketawa melihatnya. Nggak seperti waktu
di Rumah Hantu dimana dia kelihatan pemberani… Di sini jadi terlihat
lagi kepolosannya…
Dan seiring putaran membuat kami terangkat naik, pemandangan di
mataku pun makin meluas… Semula menangkap pemandangan sekitar pasar,
kerumunan orang, kios-kios dan panggung-panggung yang dari atas
kelihatan mengecil… Lalu makin naik makin terlihat landscape yang lebih
luas. Pemandangan desa dengan sawah-sawah yang hijau, kerumunan
rumah-rumah kecoklatan, kilauan air danau yang keperak-perakan… Ahhh,
aku baru tahu ternyata ada danau di sekitar sini…!
Di ufuk barat, bisa kulihat dua gunung sejoli Merapi-Merbabu yang
kebiru-biruan, menjulang anggun… Angin pun makin semilir, sejuk menjamah
kulitku. My God, indah banget…! Rasanya damai sekali di hati…
“Ternyata ada danau ya di dekat sini…?” lontarku memecah kebisuan.
“Iya. Bendungan…” jawab Fandy singkat. Dia juga mencoba tertawa meskipun tetap kelihatan grogi.
“Hahaha… Ternyata ada bagusnya juga main ke Pasar Malam siang siang…!
Kalo malam pemandangan bagus ini nggak akan terlihat!” selorohku dengan
decak kagum.
Kincir terus berputar. Aku belum berhenti terpaku memandangi
landscape tiap kali putaran membawa ke tempat yang tinggi… Berkali-kali
aku berdecak kagum!
Lalu tiba-tiba… Putaran melambat. Melambat, dan makin lambat… Bilik kami mengayun naik dengan perlahan, lalu…
Putaran berhenti. Bilik tempat kami duduk, menggantung jauh di atas tanah…
“Masss… Kenapa ini?” tanya Fandy gugup. Wajahnya agak pucat.
Aku melongok ke bawah. Di bawah sana nggak ada penumpang yang sedang
naik…? Lalu kenapa berhenti…? Aku melongok ke posisi bilik lainnya,
segera aku sadar kalau bilik kami berhenti di posisi paling tinggi…!
“Kenapa berhenti sih…? Di bawah nggak ada yang mau naik kok…!”
gumamku jadi terheran-heran. Aku menatap Fandy yang bengong diam dan
gugup. “Mesinnya macet kayaknya?” lontarku.
“Macet?” desah Fandy makin gugup.
“Iya kayaknya… Suara mesinnya berhenti…” ujarku sambil melongok ke
bawah lagi. Di bawah sana petugas-petugas kelihatan sibuk di depan
mesin. Ya, rupanya memang macet mesinnya!
Aku kembali menatap wajah Fandy yang terdiam cemas, dan seperti mau
panik. Aku langsung mengirim senyum. “Udah, nggak usah grogi gitu…!
Pasti nanti juga jalan lagi…” ujarku menenangkan. Sebenarnya, kalau
kondisinya seperti ini aku sendiri juga agak cemas sih…
“Lama nih kayaknya…?” desah Fandy gelisah.
Lalu… dengan satu gerakan di dalam bilik besi yang sempit ini, aku
berpindah duduk. Sekejap dalam satu gerakan, sekarang aku sudah duduk di
sebelah Fandy…
“Aku temenin nih! Jangan takut terus… Ayo senyum!” bisikku sedikit menggodanya.
Pelan-pelan, Fandy mulai tersenyum… Manis, sekaligus kecut.
“Nah gitu…!” ucapku seraya tertawa, sambil mendekap punggungnya.
Seketika aku menyadari sesuatu lagi. Di sisi yang sekarang, aku
melihat landscape dari arah yang berbeda. Landscape timur, dengan sawah
yang lebih luas, dengan bukit-bukit kecil… Dan di antara pemandangan itu
menjulang satu gunung yang terlihat perkasa di kejauhan… Gunung Lawu,
seperti ksatria yang sedang berdiri seorang diri dengan penuh wibawa…
“Lihat…!” bisikku menunjuk ke Gunung Lawu…
“Gunung Lawu? Kenapa?” tanya Fandy.
“Coba perhatikan, di timur Gunung Lawu berdiri sendirian, nggak ada
gunung lain yang ada di dekatnya. Berbeda dengan gunung Merapi yang
berdampingan dengan Merbabu di barat. Lihat…!” terangku sambil menunjuk
ke gunung-gunung itu. “Lawu yang sendirian di timur, ibarat sedang
memandangi Merapi dan Merbabu yang berduaan di barat…”
“Hmmmm… Jadi mirip dongeng…” gumam Fandy dengan tawa tipis.
“Bisa jadi gunung Lawu cemburu melihat Merapi dan Merbabu…” ujarku sambil beimajinasi.
“Kenapa cemburu?” sahut Fandy.
“Soalnya Merapi dan Merbabu itu seperti gunung sejoli. Sedangkan Lawu berdiri sendirian…” gumamku terpekur.
“Sendirian dan kesepian…” gumam Fandy ikut menimpali. “Sayang, gunung nggak seperti manusia yang bisa berusaha cari pasangan…”
“Hahaha…” aku tertawa pelan mendengar komentar Fandy. “Kamu pernah pacaran, Fan…?”
Fandy menatapku sejenak dan tersenyum agak tersipu. “Belum…” jawabnya simpul.
“Belum ketemu yang cocok, atau memang belum pingin…?” pancingku lebih jauh.
“Aku nggak terburu-buru sih, Mas. Jadi juga belum terpikir soal
gimana kriteria yang cocok…” jawabnya disertai tawa tipis. Lalu dia
mengerling padaku. “Mas Dimas sendiri gimana? Udah punya pacar?”
“Belum juga…” jawabku menggeleng dengan agak malu. “Belum ketemu yang cocok…”
“Memangnya suka yang gimana…?”
“Kalo soal kriteria sih, standart lah… sama seperti yang biasa disebutkan orang-orang. Baik hati, setia, penyayang…”
“Kalo secara fisik…?” sahut Fandy.
“Secara fisik…?” aku mengulang pertanyaan Fandy sambil merenung.
“Nggak munafik sih, pastinya prefer yang good looking… Tapi… biarpun
good looking kalo nggak punya good attitude, paling ujung-ujungnya bikin
kecewa juga. Cowok setampan apapun nantinya bakal jadi bapak-bapak tua
juga kan?”
Fandy tertegun. “Hah…? Cowok tampan…?”
Eiiitttt!!! Keceplosan…
“Hahaha… Itu kan contoh aja, diganti cewek cantik juga sama aja
prinsipnya…!” aku langsung sigap berkelit.
“Oohh… Iya juga sih, aku setuju sama Mas Dimas…” gumam Fandy kembali
datar. Ikut terpekur memandangi Gunung Lawu yang tampak sendu di ufuk
timur.
Dia memang anak yang bikin aku mudah terlena! Sudah
berapa kali aku keceplosan bicara di depannya…?!! Aku belum berani
membayangkan konsekuensinya kalau aku sampai membongkar rahasiaku
sendiri di depannya…!
Drrrmmmmm… Tiba-tiba terasa ada getaran dan bilik tempat duduk kami perlahan bergerak lagi…!
“Mesinnya udah nyala…!” seru Fandy tampak berbinar lega.
“Iya, udah nyala…” sahutku ikut lega.
Kincir bergerak, berputar lagi. Pemandangan pun bergulir lagi seiring dengan putaran…
“Kelihatannya kamu udah nggak takut lagi ya?” lontarku pada Fandy.
Fandy tersenyum merekah, matanya kini terlihat jauh lebih cerah.
“Iyaaa… Nggak terasa… Lama-lama jadi terbiasa dengan sendirinya…”
ucapnya berbinar.
“Kalo aku pindah tempat duduk lagi, kamu udah nggak takut kan?” tanyaku menguji.
Fandy memandangiku sejenak. “Iya…” jawabnya pelan.
“Jadi aku boleh pindah?” aku sedikit menggeser badanku ke depan.
“Kalo duduk di situ lagi, yang akan Mas Dimas lihat gunung Merapi sama Merbabu kan?”
“Ehh…? Kenapa…?”
Fandy tersenyum penuh siratan padaku. “Mas Dimas yakin, nggak akan
cemburu sama gunung-gunung itu? Karena Mas Dimas akan duduk sendiri di
situ memandanginya…” lontarnya, melemparkan imajinasinya padaku.
Aku tercenung sesaat. Kuurungkan niatku untuk pindah tempat duduk.
Bertahan duduk di samping Fandy. Dari sini, sudut pandangku masih
tertuju pada sisi timur dimana Gunung Lawu yang gagah biru itu menjulang
tinggi…
“Kalo aku tetap di sini, duduk sama kamu… berarti Gunung Lawu nggak
cuma memandangi Merapi dan Merbabu, tapi juga memandangi kita berdua…”
gumamku memainkan imajinasi. “Gunung Lawu yang sendirian itu… Biar dia
juga cemburu sama kita…”
“Memangnya… apa yang bisa dicemburui dari kita?” lontar Fandy.
“Paling enggak, kita duduk berdua… nggak sendirian… Punya teman itu
menyenangkan kan?” ucapku dengan senyum termangu. “Aku tetap di sini
saja…”
Fandy tertawa rekah mendengar ucapanku. Aku rasa dia setuju denganku…
Aku menemaninya, dia menemaniku, rasanya sudah lebih dari cukup. Kami
tertawa hangat setelah saling memancing imajinasi. Tetap duduk di sini,
berdampingan. Berdua menatap indahnya desa dari ketinggian. Hingga
putaran berakhir…
Waktu selalu terus berjalan, dan jarak tiap detik belum berubah.
Waktu sering jadi alasan buat banyak hal yang terlupakan. Tapi
sepertinya bukan untuk pengalaman ini. Bukan untuk perasaan ini…
Kami tersenyum.
“Good time…”
“Beautiful day…!”
Selanjutnya… aku tetap pasrah, sekaligus belum menyerah…
Always love him, discreetly…!
***
Keranjang 39
Bunga Untuk Seseorang
Sebentar lagi saatnya aku harus pulang. Fandy akan membonceng
motorku, karena dia belum dikasih ijin oleh ortunya buat membawa
motornya ke Solo. Dia belum punya SIM. Keuntungan tersendiri
untukku. Pastinya! Perjalanan pulangku akan ditemani seseorang yang ikut
duduk di jok motorku…!
Aku menunggu di kamarnya, menunggu dia selesai mandi. Aku iseng
membuka-buka salah satu buku koleksi Fandy yang tertata rapi di rak
meja. Gitanjali, tulisan Rabindranath Tagore. Kubuka sebuah halaman yang diselipi sebuah pembatas.
Aku membacanya…
(*)
“Tentu saja mereka yang mencintaiku di dunia ini mencoba
menjagaku tetap aman. Tetapi sebaliknya dengan cintamu yang lebih besar
daripada cinta mereka, kau membuatku bebas.
Agar aku tidak melupakan mereka, mereka tidak pernah berani
meninggalkanku sendiri. Namun hari demi hari berlalu dan kau tidak
terlihat.
Jika aku tidak menyebutmu dalam doa-doaku, jika aku tidak memilikimu di dalam hatiku, cintamu untukku masih menunggu cintaku…”
(*)
Aku tercenung…
Pikiranku segera bergulir merenungkannya. Tapi… aku belum menemukan artinya…
Aku meloncat ke halaman depan. Di halaman judul, dan kutemukan ada sebuah tulisan tangan di bawah judul buku “Gitanjali”…
“To my best friend: Bagas…”
Kreeekk… Pintu terbuka, Fandy masuk ke kamar. Isi kepalaku segera teralih. Kukembalikan buku itu ke rak.
“Kamu lama ya, kalo mandi?” sambutku.
“Biasa ah, kalo mandi nggak bersih sekalian kan percuma airnya…”
balas Fandy santai. Lalu dia berkaca di depan cermin, putar-putar badan
sambil mengepaskan kaosnya.
“Udah cakep!” cibirku.
“Kayaknya bajuku udah kekecilan ya ini?” gumam Fandy. “Ganti aja nih kayaknya…”
Aku langsung berbinar-binar saat Fandy bilang kata ‘ganti’…!
“Iya kekecilan, ganti aja!” aku langsung semangat mendukung dia ganti baju.
Dan… Fandy benar-benar melepas kaosnya…
Badannya Fandy… putih bersih luar dalam!!! Ludahku sampai tergelincir berulangkali melihat daging segar berbau
wangi itu…! Cepat pakai baju lagi gih! Nggak tahan nih
kalau cuma disuruh lihat!
Detak jantungku bisa teratur lagi begitu Fandy sudah menutup
badannya dengan kaos yang baru. Hihhh! Ada aja tingkahnya yang selalu
bikin aku dag dig dug…!
“Udah pas sekarang!” tukasku.
Fandy nyengir di depan kaca. Dia lalu berganti mengamati celananya…
“Yahh, ini celana juga kotor gini? Apa gara-gara duduk di rumput tadi ya…?” celetuknya.
APAAAAA…??? Jangan ngasih godaan nafsu yang lebih
beraaattt…!!!
“Ah, nggak apa-apa lah… Nggak kotor-kotor amat…!” gumam Fandy akhirnya.
“Habis ini kita langsung berangkat kan?” lontarku.
“Iya. Tapi nanti tolong antar aku sebentar ya, Mas…”
“Kemana?”
“Nanti juga tahu. Nanti aku aja yang nyetir motornya…”
“Iya deh, terserah…” gumamku.
“Udah siap nih… Yuk!” Fandy mencangklong ranselnya di pundak.
“Okey…” sahutku.
Aku dan Fandy keluar dari kamar. Di ruang tengah, di situ kedua ortu Fandy sudah menunggu. Fandy langsung menyalami mereka…
“Aku berangkat dulu,” ujar Fandy berpamitan.
“Hati-hati ya!” pesan ayah Fandy.
“Fandy diawasi ya, Nak Dimas…” tambah ibu Fandy.
“Iya, Bu…” jawabku sambil nyengir. Lalu kusalami juga kedua orang tua
Fandy, pamitan. “Monggo, Pak, Bu…” salamku pakai bahasa Jawa halus.
“Iya, hati-hati di jalan…!” sahut ibu Fandy.
Aku dan Fandy melangkah keluar dari rumah. Di pekarangan, kutengok
sekali lagi rumah Fandy yang nyentrik itu. Wahh, aku bakal kangen nih
sama rumah ini…! Memorable…!
“Lho, itu Fandy yang nyetir?” ibu Fandy langsung interupsi pas Fandy naik duluan ke motorku.
“Mas Dimas lupa jalannya, jadi aku yang nyetir. Nanti juga gantian kok…!” sahut Fandy. Wah, pintar alesan juga nih anak!
“Hati-hati pokoknya!” ujar ayah Fandy.
“Mari, Pak, Bu…” pamitku sekali lagi.
Kedua ortu Fandy mengangguk sambil melambaikan tangan mereka. Aku
segera duduk di belakang Fandy di atas motorku. Fandy mulai menstarter
motor. Nggak lama kemudian kami mulai keluar dari halaman, mulai melaju
pelan di atas jalan tanah yang berbatu-batu. Meninggalkan rumah Fandy…
Seperti yang Fandy bilang, dia mau mampir sebentar entah ke mana. Aku
ngikut saja. Jalan yang diambil sama dengan arah ke Pasar Malam tadi.
Tapi kali ini melewati Pasar Malam itu kami jalan terus. Hingga sampai
di sebuah perempatan besar, kami berbelok ke kiri.
Aku belum kenal daerah ini, tapi aku tetap menikmati suasana desa
yang khas ini. Kulipat tanganku di pundaknya, dan menundukkan kepalaku
lebih erat di atasnya. Meresapi aroma tubuhnya yang wangi dan
menyejukkan urat syarafku. Rasanya ingin tertidur pulas di atas
pundaknya, dan perjalanan yang indah ini terlukis di balik mataku
sebagai sebuah mimpi yang manis…
Kembali kubuka mataku dan segera menutup lamunan, saat kurasakan
getaran yang berbeda pada jalan yang kami lalui. Kami telah masuk ke
sebuah gang kecil yang berkerikil, di tengah perkampungan desa yang
padat tapi agak senyap. Di kejauhan, di depan sana terlihat tembok
tinggi yang melintang panjang. Akhirnya, aku sadar kemana kami sedang
menuju…
“Itu… Dam bendungan yaa…?” tanyaku saat melihat bangunan besar di depan sana.
“Iya, Mas…”
“Kita akan ke sana?”
“Nanti mampir boleh lah…” sahut Fandy, menyiratkan tujuannya bukan ke danau itu.
Tembok bendungan yang besar itu kini tepat di depan mata, tapi Fandy
mengarahkan motorku menikung ke sebuah jalan kecil. Kami melintas tepat
di bawah tepian dam, menerabas celah di antara semak-semak. Hingga kami
tiba di sebuah pekarangan…
Aku terpana…
“Turun sini, Mas…” ucap Fandy setelah mematikan motorku. Lalu dia segera turun dan mengajakku. “Yuk…!”
Meski heran dan bertanya-tanya dalam hati, aku tetap mengikuti Fandy tanpa banyak bertanya. Hingga dia berhenti di depan sebuah…
“Ini kakakku, Mas…” ucap Fandy pelan.
Dia berjongkok, dan tertunduk di depan sebuah nisan porselen…
“Kakakmu…?” tanyaku terkesiap…
“Iya…”
“Kamu bilang, kakakmu dua orang… masih ada semua…?” cekatku termangu.
Fandy cuma tersenyum. Lalu dia mengeluarkan sesuatu dari dalam
ranselnya. Setangkai bunga. Mawar yang tadi dia petik di pekarangan
rumahnya… Dia tancapkan batang mawar itu di tanah, di ujung nisan…
“Sebenarnya di keluargaku ada empat anak…” desah Fandy pelan. Dia
duduk di tepi nisan sambil mencabuti rumput liar yang tumbuh beberapa di
sekitar nisan. Wajahnya terlihat terenyuh, seperti ingin berbagi
sesuatu. “Ini adalah kakakku nomor tiga, usianya dua tahun di atasku.
Dia yang paling dekat denganku. Kami selalu satu sekolahan dari SD
sampai SMP. Dia selalu menjagaku, suka membelaku, di rumah ataupun di
sekolah…”
Aku nggak bisa berucap apa-apa mendengar cerita Fandy yang nggak
pernah kuduga ini. Aku terpaku menatap raut wajahnya yang haru mengenang
orang yang diceritakannya…
“Waktu itu dia sedang dalam perjalanan menuju gedung pertemuan buat
acara perpisahan SMP. Pagi-pagi dia sudah semangat buat berangkat.
Ayahku sudah menawari buat mengantar pakai mobil, tapi dia maksa naik
sepeda, katanya habis acara perpisahan mau ikut arak-arakan sepeda sama
teman-temannya. Dia kecelakaan waktu berangkat… Diserempet mobil.
Kepalanya terbentur keras waktu jatuh… Dia meninggal waktu dibawa ke
rumah sakit…” kenang Fandy dengan senyum duka.
Aku termangu. Kepedihan itu seolah ikut kurasakan. Rasa kehilangan
itu seolah ingin ikut merenggut perasaanku. Aku mengerti, aku juga punya
saudara… Mana mungkin aku mau kehilangan dia…?
“Namanya Bagas…” Fandy berucap.
Bagas…? Nama yang tercantum di buku yang tadi kubaca…?
“Dan dia mirip kamu, Mas…”
Aku terkesima. Dan sesaat aku ikut tersenyum pahit ketika Fandy juga tersenyum tipis di sela-sela rasa kehilangannya…
“Aku juga punya sodara, si Denis yang nyebelin itu. Tapi kalo
terpisah ternyata bikin kangen juga. Bagaimana kalo sampai kehilangan
dan nggak bisa ketemu lagi…?” gumamku terenyuh. “Aku mengerti,
kehilangan itu pasti berat buat kamu…”
“Ya… Awalnya berat banget. Tapi pada akhirnya kita tetap harus
meneruskan apa yang masih kita miliki, Mas…” ujar Fandy terpekur. “Kita
sering nggak bisa mengelak dari rasa sedih, tapi kita harus tetap
meneruskan tanggung jawab atas hidup kita sendiri…”
Aku mengangguk pelan. Aku kagum, ternyata Fandy bisa sedewasa itu memikirkannya…
“Mawarnya moga-moga subur…” gumamku seraya tersenyum tipis.
Fandy tertawa lirih. “Mas Bagas yang dulu menanamnya di pekarangan
rumah. Dulu sempat layu, tapi kemudian bisa tumbuh berkembang lagi.
Sebenarnya, bunga mawar itu sudah mengajariku sesuatu…”
“Bunga mawar itu…?” lontarku agak terheran.
“Banyak orang bilang, mawar adalah lambang keindahan yang bermuka
dua. Memiliki mahkota yang indah, tapi sekaligus duri tajam yang siap
melukai siapa saja. Suatu hari aku merenung memandanginya, saat bunga
itu mulai bangkit dari layunya… Aku rasa, duri itu bagian dari mawar
yang juga diciptakan oleh Tuhan, dengan suatu maksud. Supaya setiap
orang selalu bijak dan hati-hati memperlakukan keindahannya…”
Aku terhenyak mendengarkan kata-kata Fandy, terhanyut ke dalam renungannya…
“Aku rasa… begitu juga dengan hidup, Mas. Kadang sesuatu yang indah
dalam hidup kita, termasuk kasih sayang yang kita miliki terhadap
seseorang, harus berakhir tanpa bisa kita tangkap tanda-tandanya.
Tiba-tiba hilang begitu saja dan membuat hati kita terluka… Saat
seseorang yang kita sayangi pergi, kadang kita berpikir bahwa hidup kita
ikut selesai bersamanya. Aku pernah seperti itu… hingga akhirnya aku
sadar bahwa aku sudah bersikap egois. Aku hanya menginginkan sesuatu
yang manis, tanpa mau menerima bagian-bagian yang pahit di dalamnya.
Seringkali orang hanya menuntut bunga yang indah, tanpa mau belajar dari
duri-durinya…”
Hatiku tergetar mendengarnya. Aku nggak pernah mengira ada perenungan
yang sedalam itu dalam hatinya. Ketegaran yang mengagumkan dalam
dirinya itu, benar-benar menyentuhku…
“Aku sengaja mengajak Mas Dimas kemari, biar tahu kakakku ini…” ucap Fandy dengan senyum tipisnya yang masam.
“Ehh?” aku tertegun.
“Mas Dimas… mirip Mas Bagas…”
Aku terkesiap dalam hatiku. Aku… mirip dengannya…???
“Mas Bagas itu juga lucu orangnya, periang, posturnya juga mirip sama
Mas Dimas…” jelas Fandy seraya tertawa pelan. “Makanya… sejak awal aku
melihat Mas Dimas, aku jadi teringat… Dan aku nggak nyangka ternyata Mas
Dimas juga baik padaku. Maaf, Mas… Aku jadi menganggap… Mas Dimas
seperti kakakku sendiri…”
Hatiku terharu. Sekaligus terpukul, dan terasa sesuatu harus pupus
dalam diriku… Keinginanku, rasa sayangku sebagai orang yang telah jatuh
cinta… ada sesak tersendiri karena keinginan itu kini seperti harus
kukorbankan saat mendengar dia menganggapku…
Kakak.
Ya Tuhan, inikah ujianmu yang sebenarnya…?
“Mas Dimas nggak apa-apa kan?” ucap Fandy memecah kesunyianku.
“Eh, nggak… Nggak apa-apa… Kenapa?” sahutku gugup.
“Kelihatannya Mas Dimas jadi sedih gitu? Yang sedih aku saja, itu
juga sudah aku anggap masa lalu kok…” ucap Fandy disertai senyum
sendunya.
“Hmmm… Tapi masa lalu itu tetap bagian dari hidup kita. Kakakmu pergi
bukan berarti buat dilupakan. Tapi mengingat orang yang sudah pergi,
juga bukan berarti harus membuat kita sedih sepanjang waktu. Dia akan
tetap jadi seseorang yang berharga yang kamu miliki… di hatimu…” ucapku
ikut menegarkan diri.
“Iya. Aku mengerti. Makasih, Mas…”
Kutatap wajah Fandy. Aku tersenyum pahit, haru, dan… nggak tahu rasa apa lagi yang tercampur dalam senyumku…
“Bukannya Denis juga mirip aku?” sahutku sedikit berkelakar, menghibur suasana haru ini.
Fandy tertawa. “Iya… Tapi Mas Denis kan orangnya cuek. Itu bedanya dengan Mas Dimas. Mas Dimas punya sesuatu yang… lebih dalam…”
“Lebih dalam…?”
“Entahlah… Yang pasti, itu terasa lebih… menentramkan buatku…”
Aku tersenyum kecut. Lalu berubah menjadi tawa. Begitu juga Fandy.
Meski mungkin ada campuran rasa yang berbeda-beda dalam tawa kami, tapi…
apa aku harus menuntut lebih tinggi? Di mana rasa tahu diriku…?
Mungkin, inilah kehancuran yang manis untukku. Bunga untukku. Mawar
dan duri-durinya, yang kuterima dari perasaan yang telah diungkapkan
Fandy dari hatinya…
“Oke… Kamu boleh anggap aku kakakmu… Pasti…!” ucapku dengan senyum pahit…
Fandy tersenyum dengan senyum simpulnya yang penuh arti.
“Biarpun kecelakaan itu susuatu yang tragis, semoga kakakmu bisa beristirahat dengan tenang…” bisikku gagu.
Fandy perlahan menundukkan kepalanya, bersandar di atas nisan.
Berdoa. Aku ikut menatap nisan di hadapanku. Biarpun aku nggak sempat
mengenal Bagas, tapi aku juga berdoa semoga dia tenang dengan
istirahatnya…
Rest in peace, Bagas. You have a great brother!
Aku termenung menemani Fandy yang masih berdoa menyandarkan kepalanya
di atas nisan. Nggak ada orang lain di sini selain kami. Langit sudah
mulai agak redup, buram keperakan. Suasana makam sangat senyap.
Rumah-rumahan pelindung nisan, batang-batang bambu tempat kemenyan, dan
beberapa payung kertas yang terlihat mengembang bertebar di beberapa
sudut makam, sunyi. Cuma suara angin yang terdengar menggoyang daun-daun
pohon kamboja, sesekali disisipi suara burung sore yang muram…
Aku tergolong orang yang takut hantu atau tempat-tempat angker, tapi
kali ini rasanya nggak ada yang membuatku tercekam, sebaliknya… aku
merasa ada keteduhan tersendiri menemani Fandy berdoa bagi kakak yang
dia sayangi…
“Sudah yuk, Mas…” Fandy akhirnya mengangkat wajahnya. Dia juga mulai bangkit berdiri. “Udah sore nih…”
“Okey…” balasku, ikut berdiri. “Sekarang aku yang nyetir motornya kan?”
“Iya…” sahut Fandy, seraya menatap lagi nisan kakaknya sebelum pergi.
Aku menepuk-nepuk bahunya, menguatkannya. Aku tahu perasaannya, meski
dia tersenyum tapi ada rasa duka di dalam sana. Dia hanya bersikap
tabah. Yaah, meski air mata juga nggak selalu memalukan, tapi aku bangga
dengan sikap tegarnya…
Aku duduk di motorku, diikuti Fandy yang duduk di belakangku. Motor
kunyalakan, lalu kami mulai meninggalkan pemakaman. Sekilas aku menoleh
ke atas dam…
“Aku ingin melihat danau sebentar…” ujarku.
“Okey..” gumam Fandy.
Di depan tangga dam, aku menghentikan motorku lagi. Aku turun dari
motor, lalu dengan langkah kecil mulai meniti tangga dam. Fandy juga
mengikutiku. Begitu sampai di atas dam, terlihatlah di depan mataku
hamparan air danau yang luas dan teduh…
“Waawww… Bagus banget…!” decakku kagum.
“Biasa lah, Mas… Bagusnya di mana?” sahut Fandy.
“Suasananya…! Di tengah desa, sore-sore… airnya keperakan…” gumamku terpana.
Aku menuju ke pos pintu air yang bangunannya menjorok agak ke tengah.
Kusandarkan siku tanganku ke pagar besi, mendekap bahu yang sedikit
dingin merasakan hembusan angin. Aku merasa teduh melihat air yang luas
dengan burung-burung yang beterbangan di atasnya. Dan di ujung sana
kelihatan matahari yang mau terbenam, teduh di sela-sela awan…
“Surya tenggelam, ditelan kabut kelam…” samar-samar kueja lirik sebuah lagu yang terlintas begitu saja di kepalaku. “Senja
nan muram, di hati remuk redam… Jalan berliku dalam kehidupan, dua
remaja kehilangan penawar rindu, kasih pujaan, menempuh cobaan…”
Fandy menyusul di sampingku. Kami berdua termangu menatap wajah senja yang terpantul di hamparan danau…
“Aku nggak akan lupa dengan hari ini…” bisikku.
Fandy tersenyum hening, menerawang. Ya, aku nggak mungkin melupakan
hari ini, hari dimana akhirnya aku mengetahui dengan pasti perasaannya
padaku. Meski menyisakan sesuatu yang pahit, tapi kini aku mulai
mengerti arti kata-kata yang telah kubaca…
“Tetapi sebaliknya dengan cintamu yang lebih besar daripada cinta
mereka, kau membuatku bebas… Jika aku tidak menyebutmu dalam doa-doaku,
jika aku tidak memilikimu di dalam hatiku, cintamu untukku masih
menunggu cintaku…”
Cinta yang lebih besar, adalah cinta yang membebaskannya. Itu
artinya, bukan egoku untuk meminta syarat dari cinta yang kuberikan.
Karena… sepertinya cinta memang bukan untuk diminta. Tapi untuk diberi,
berbalas ataupun tidak…
Seperti air danau yang keteduhannya memantulkan cahaya langit ke
udara. Di saat yang sama, kedalamannya mengendapkan semua lumpur ke
dasarnya…
Ya Tuhan, aku butuh hati yang lebih besar…
Bersambung...