Keranjang 45 - 46
Keranjang 45
Versus!
Mataku menerawang bersama lamunan.
Menatap bangku beton yang kosong, yang ada di bawah pohon di depan
kantin. Kemana dia, yang dulu pernah menemaniku duduk-duduk di bangku
itu, saat kami pertama kali saling berkenalan…? Dia yang menyenangkan,
yang selalu menghiasi pikiranku, dan selalu menggoda hatiku… Sekarang
dia membuatku gelisah. SMS nggak dibalas, telpon nggak diangkat…
Fandy, kamu baik-baik saja kan…?
“Anjrit!” sentakku waktu meninggalkan lamunan dan kembali pada bakso di mejaku. “Baksoku kamu habisin?!!” tukasku ke Denis.
“Lu sih ngelamun aja! Diajak ngomong nggak jawab, gue makan bakso lu juga nggak nyadar!” sahut Denis enteng.
“Kampret! Aku nggak mau bayar!” tukasku dongkol.
“Makanya kalo diajak ngomong yang respon
dong! Lu ngomong enggak, makan juga enggak. Nggak apa-apa kalo nggak
kasian sama gue, tapi kasian sama baksonya!” celetuk Denis.
Kuacuhkan ulah Denis yang bikin kesal.
Aku kembali memandangi bangku beton di bawah pohon, yang jadi saksi
perkenalanku dengan Fandy itu. Perkenalan kami memang belum
lama, tapi sekarang baru dua hari nggak dapat kabar darinya rasanya
bikin gelisah seperti sekarang ini…! Atau perasaanku saja yang
berlebihan…?!
“Kamu ketemu Fandy nggak?” tanpa terpikir, aku malah bertanya ke Denis.
“Oooo… Jadi lagi ngebayangin dia?” timpal Denis.
“Dua hari nggak ada kabar. Nggak ketemu
juga. Tadi waktu jam istirahat pertama aku SMS dia, aku ajak makan di
kantin tapi nggak balas… Sekarang udah jam istirahat kedua, dia nggak
nongol juga di kantin. SMS-ku juga belum dibalas…!” gumamku jengah.
“Oooo, udah dua hari ya??? Baru dua hari gitu lohhh…! Lebay amat sih lu! Emangnya saban hari musti ketemu gitu?” tukas Denis.
“Ya nggak gitu juga sih… Tapi masa balas SMS aja enggak?”
“Dia kan anak kost… Nggak punya pulsa kali? Duit udah habis…!”
“Telpon juga nggak diangkat!”
“HP-nya ilang kali…”
“Asal aja ngomong!” tukasku dongkol.
“Jangan-jangan lagi sakit? Nggak bisa masuk sekolah… Mau angkat HP tangannya gemeteran…” cerocos Denis.
“Eh, jangan sembarangan kalo ngomong! Kayak nyumpahin dia aja?! Kalo sakit beneran gimana?!” tukasku sensi.
“Ya makanya, dicari sana kek, di rumah
kostnya…! Atau ditanyain ke kelasnya! Kurang gigih lu usaha buat dapetin
dia!” komentar Denis cuek.
Aku jadi terdiam. Kepikiran omongan
Denis, jangan-jangan Fandy memang lagi sakit…? Tapi masa aku harus cari
tahu di kelasnya sih? Masa sampai segitunya…? Teman-temannya malah
curiga nanti…!
Mungkin memang aku aja yang terlalu berlebihan mikiran dia…
“Weee… Kembar homo…!” tiba-tiba ada suara celetukan yang langsung menarik kepalaku untuk menoleh.
Denis juga langsung menoleh, ke segerombol anak di meja pojok kantin, ketawa-ketawa sambil melihatiku dengan sorot mata leceh.
Aku sudah hafal dengan anak yang
mengejekku itu. Ya, dia salah satu anak yang biasa mengejekku kalau
kebetulan kami berpapasan…!
“Anjing…!” decak Denis pelan. Menahan geram.
“Udah. Nggak usah diladeni…!” bisikku.
“Woiii…!!!” si tukang ejek itu malah
melontar lagi. “Gimana? Kok tulisan homo di Mading udah nggak ada?” seru
anak itu dengan mulut lebar.
Perasaanku makin nggak nyaman. Rasanya
mending segera angkat kaki aja dari sini…! Nggak ada manfaatnya
menghadapi orang-orang kayak mereka! Cuma makan ati aja!
Kulihat tangan Denis mengepal erat di atas meja. “Den, udah! Ayo cabut aja!” ujarku, segera mengajaknya menuju ke kasir.
“Dibredel ya tulisan kalian?! Kasihannn…” anak itu masih mencibir sambil ketawa-ketawa diikuti teman-temannya.
“Sodara kembarnya homo juga nggak tuh?” salah satu dari mereka berbisik-bisik, aku mendengarnya.
Aku berusaha nggak menggubris, meski
telinga dan hati terasa panas! Selesai membayar di kasir, aku langsung
bergegas melangkah keluar sambil menggamit Denis…
“Kasih jalan, ‘banci’nya mau lewat…!” sindir anak tadi terlontar lagi.
Dan… ASTAGAAA…!
“Den, jangan Den…!!!” aku bersigap mencegah Denis yang tiba-tiba berbalik menghampiri anak tadi, tapi…
BUKKK…!!!
GODDD…!!! Aku gagal mencegah Denis yang mendaratkan pukulan ke muka anak itu…!!!
“Anjingggg!!!” teman anak yang dipukul Denis langsung balas mendorong Denis dan sebuah pukulan melayang lagi… BUKKK…!
BRAAAKKKK….! Denis terpelanting menimpa
meja! Suara jerit penjaga kasir pun menyusul dan anak-anak lainnya
segera berhamburan ke luar kantin…!
“Denissss…!!!” seruku panik melihat Denis dipukul. Aku segera sigap menghadang anak yang bermaksud memukulnya lagi, tapi…
DUKKK…! Sebuah tendangan mendarat di igaku, membuatku tersungkur ke samping dengan rasa sakit yang luar biasa…!
“Ahhhhkkk…!” aku merintih tertahan di lantai, memegangi igaku yang sakit sekali.
“BANGSATTTTT…!!!” suara Denis
menggelegar, disusul suara gedebuk keras dari pukulannya yang langsung
menjatuhkan anak yang tadi menyerangku. Anak itu terpelanting menghantam
kursi-kursi plastik hingga pecah berantakan…!
Si pengejek yang tadi dipukul Denis di
awal perkelahian, dengan sigap bangkit dan hendak melayangkan tinjunya
ke Denis… Tapi Denis berhasil menangkap tangan anak itu dan dengan satu
bantingan langsung mengaparkannya ke lantai… Suara gedebuk pun terdengar
lagi dengan keras, disusul pekikan anak itu…!
“AYO LAWAN GUE…!!!” teriak Denis penuh kemarahan.
Dan… pemandangan sepertinya mau bertambah
brutal waktu Denis mengunci tangan anak itu… seperti mau mematahkan
tulangnya…! Anak itu menjerit keras…!
“DENISSSSS…!!!” seruku bangkit dan segera
meraup tubuh Denis, memisahkan dia dari anak yang sudah nggak berdaya
itu. “Udah berhenti!!! Berhenti…!!!” seruku tersenggal-senggal.
“NGGAK…! MAU GUE HABISIN DIA…!!!” Denis berontak, hendak meraih anak itu lagi…
PLAAKKK!!!
Tanganku mendarat di pelipis Denis…
Denis seketika berhenti, melepaskan
cengkramannya… Dia terbelalak menatapku. Begitu juga aku… dadaku
gemetar, mataku nanar menatap wajah kosongnya yang merah penuh amarah…
“Sadar, Den…!” desahku lirih.
Suasana kantin dipenuhi anak yang
berkerumun menatap kami. Aku memandangi sekelilingku… Semua terdiam
dengan mata terbelalak penuh hujaman tanya dan kecemasan. Pemilik kantin
di belakang meja kasir berdiri merapat ke dinding dengan wajah nanar
menatap kantinnya yang berantakan…!
“Lihat mereka, Mas…!” Denis menuding
pelan ke semua penjuru di mana orang-orang menatap kami. “Lihat mereka,
yang suka ngatain elu banci, suka ngomongin yang jelek-jelek soal elu,
sekarang mereka juga cuma bisa nonton kan…?!! Elu kalo masih mau sabar,
sabar aja…! Tapi gue nggak! Gue udah nggak tahan! Gue nggak bisa lagi
ngebiarin lu dihina sama mereka!!!” ucap Denis geram dan gemetar.
Aku terdiam. Merapatkan mataku menahan
kacaunya kenyataan yang telanjur meledak di hadapanku…! Perasaanku
sekarang sama porak-porandanya dengan tempat ini…!
“Ayo kalian yang pernah ngomong jelek,
yang pernah ngatain sodara gue banci, jangan cuma nonton aja sekarang!
Kalo cuma nonton kalian semua lebih banci dari sodara gue! Ayo berantem
sekalian lawan gue!!! KENAPA DIAM AJA ANJIIINGGGG…?!!!” Denis
memaki-maki di hadapan semua orang…
“Den… Udah… Please…” kurangkul Denis,
kudekap erat-erat meredam dadanya yang kembang kempis terpompa amarah.
Wajah dan matanya merah seperti bara… Ya Tuhan…!
Anak-anak yang tadi dihajar Denis susah
payah mencoba berdiri dengan merintih-rintih. Aku terus menahan Denis,
meredam emosinya yang masih mau meledak… Dengan tertatih-tatih menahan
sakit di badanku, kurengkuh Denis, membawanya untuk segera meninggalkan
kantin yang kacau balau dan dipenuhi penonton…
“Udah, ayo pergi…” kutarik Denis dengan berat hati…
“APA-APAAN INI…?!!!”
Tiba-tiba suara berat menyeruak dari
antara anak-anak yang bergerombol. Seorang pria berbadan tegap dan
garang menghentikan langkahku di muka pintu. Dia menatap berkeliling
dengan mata terbelalak…! Pak Alexius, salah satu guru BP yang ditakuti…!
Di belakangnya ada Pak Dibyo, rekannya sesama guru BP…
“Ya ampun…” cekatku tertahan.
Masalah jelas makin besar…!
“Saya ini sampai ketakutan, Pak…!!!”
pemilik kantin langsung meluapkan tangisnya dengan wajah shock. “Saya
bingung! Yang ada di sini semuanya cuma pada nonton…! Kantin saya sampai
berantakan!!!”
“Iya, nanti soal kerugian pasti diurus,
Mbak!” ucap Pak Alex dengan berat. Lalu dia melotot padaku dan Denis,
dan juga pada dua anak lainnya yang terlibat perkelahian. “Kalian, ke
ruang BP sekarang!!!” hardiknya garang.
Pak Dibyo, rekan Pak Alex, langsung
memegang kerah belakang bajuku dan juga Denis, menggiring kami melangkah
menuju ke ruang BP. Begitu juga dua anak yang terlibat masalah dengan
kami itu, digiring oleh Pak Alex…
Mulut bungkam tanpa kata, cuma desah
nafas tanpa asa yang memacu langkah lesu ini. Wajahku nggak mampu lagi
untuk tegak, nggak mungkin kami bangga menjadi tontonan orang-orang
seisi sekolah…!
Baru sekarang kutemui masalah seburuk ini…!!!
Kenapa harus sampai begini?!!! Apa lagi sekarang?!!! Apa lagi?!!!
Dengan terpuruk aku duduk di kursi ruang
BP, bersama Denis dan dua anak tadi. Terduduk lesu menghadapi guru-guru
BP yang telah menangkap kami. Pak Alex memandangi kami bergantian dengan
raut garang. Sedangkan Pak Dibyo acuh dengan sebuah buku besar di
hadapannya…
“Siapa nama kamu? Dan kelas kamu?” Pak Alex bertanya dengan suara berat ke anak yang tadi mengejekku.
“Geri, kelas 2 IPA D, Pak…” jawab anak
itu sambil memegangi tangannya dengan mimik menahan sakit. Dia yang tadi
hampir saja ‘dihabisi’ Denis…!
“Kamu?” Pak Alex ganti menanyai teman Geri.
“Ronald. Kelas sama dengan Geri, Pak,” jawab teman Geri itu.
“Kamu?”
“Denis. 2 IPA F…” jawab Denis dengan raut masih menahan geram.
“Kamu?”
“Dimas. 2 IPS A…” jawabku lesu, sambil
memegangi bagian samping dadaku yang masih terasa sakit akibat tendangan
anak yang bernama Ronald, teman Geri itu.
“Kalian berdua…? Kakak-adik?” tanya Pak Alex lagi dengan mata mendelik tajam.
“Dia sodara saya, Pak…” ucap Denis datar.
Pak Dibyo tampak sibuk mencatat di buku besarnya.
Pak Alex mendehem serak. “Baik. Kalian
berempat, sekarang jelaskan, apa yang tadi kalian lakukan? Jelaskan!”
ujarnya dengan intonasi tajam.
Kami masih terdiam membisu.
Brakkk!!! Pak Alex menggebrak meja. “JELASKAN…!!!” serunya keras.
“Dia yang mulai duluan, Pak…!” Geri melemparkan tudingan ke Denis. “Dia yang mukul duluan!”
“Karena dia mengejek sodara saya, Pak!” balas Denis.
“Mengejek? Jadi cuma gara-gara ejek-ejekan?!” timpal Pak Alex ketus.
“Saya nggak terima sodara saya diejek!” sahut Denis sengit.
Pak Alex geleng-geleng kepala. “Gusti!!! Cuma masalah ejek-ejekan jadi rame!!! Kalian anak SMA apa anak TK…?!!”
Kami berempat terdiam lagi…
“Jawab! Seserius apa sih, sampai kalian
ini berkelahi bikin rusak kantin?!!!” Pak Alex makin tinggi nada
suaranya, makin merah padam raut mukanya!
“Kami nggak ngejek kok, Pak!” gumam Geri bersungut-sungut sambil mengusap-usap tangannya.
“Mau mungkir lu…?!!” tukas Denis sengit.
“Banci dibilang ‘banci’, masa ngejek sih…?!” balas Geri enteng, rasanya tambah merebus isi dadaku…!
“Apa maksudnya?!!!” tukas Pak Alex.
“Yaa… Anak di sini juga udah pada tahu,
Pak, kalo Dimas itu banci…! Sukanya sama cowok…! Masa kalo kita bilang
dia ‘banci’ atau ‘homo’ dianggap salah sih? Kenyataannya kan gitu?” ucap
Geri dengan senyum sinis padaku…
Denis seketika berdiri dengan tangan terkepal dan hampir melayangkannya ke Geri…
“Hei!!!” bentak Pak Alex ke Denis. “Saya guru di sini! Jangan bersikap seenaknya! Hargai saya!!!”
Aku langsung menarik tangan Denis. Dia
terduduk lagi, rahangnya terkatup rapat, wajahnya makin merah padam.
Nafasnya menderu menahan gusar…!
“Jadi itu yang bikin kalian ribut?! Memalukan!!!” seru Pak Alex dengan wajah marah.
“Pak, mengejek itu merendahkan harga diri! Mengejek sodara saya sama dengan merendahkan saya!” cetus Denis geram.
“Tapi kamu yang mukul duluan?” balik Pak Alex.
“Ya, karena saya nggak terima!” balas Denis.
“Kalian mau saling ejek selama tidak
bikin onar di sini saya tidak akan repot-repot menyidang kalian! Ini
sekolah, di sini ada aturan! Kalian berkelahi di sini, urusannya sama
saya, sama kami, kami BP di sini!!! Alasan apapun, siapa yang memukul
berarti dia yang membuat perkelahian! Biang perkelahian itu KAMU!!!”
Aku langsung terperangah saat Pak Alex menuding Denis. Denis membalas tatapan Pak Alex dengan tajam tanpa takut!
“Jadi menurut Bapak, merendahkan harga diri orang lain itu nggak salah?!” protes Denis keras.
“Nak! Jangan menguji saya!” bentak Pak
Alex. “Harga diri tidak ditentukan dari omongan orang lain. Harga diri
dinilai dari cara kamu menerapkan kepribadianmu! Apapun alasanmu,
faktanya kamu duluan yang memukul! Perkelahian tidak akan terjadi,
pemilik kantin tidak akan mendapat kerugian, kalau kamu tidak memulai
pemukulan tho?!” gertak guru itu menyala-nyala.
“Memang orangnya homo, dikatain ‘homo’ nggak mau…” celetuk Geri lagi.
“HEI…!!! Kamu juga jangan cengengesan!
Kalian semua ini terlibat! Jangan ada yang sok benar!!!” bentak Pak Alex
yang membuat Geri langsung mengkerut bungkam.
Kami berempat diam. Aku melirik Denis,
matanya kosong, dengan raut berantakan seperti bukan dirinya yang
kukenal… Kami berdua kacau! Aku sendiri nggak mampu membuat pilihan yang
meyakinkan untuk bersikap apa di hadapan guru-guru ini. Aku mencerna
sesuatu yang nggak adil, tapi pikiranku buntu…!
“Kerugian pihak kantin harus diganti.
Tapi itu nanti, setelah kami memintai kesaksian dari pemilik kantin.
Untuk saat ini, yang pasti kalian harus menerima sanksi berdasarkan
peraturan sekolah!” tegas Pak Alex.
Hatiku terkesiap, berdebar tegang.
Masalah yang selama ini terus saja datang, akhirnya
sampai juga membawaku pada penghukuman…! Ya Tuhan… Hukuman seperti
apa…?!!
“Sebelumnya kami belum pernah menerima
kasus dari kalian. Jadi ini kasus pertama kalian. Tidak akan ada skors.
Tapi kalian dikenakan poin pelanggaran!” cetus Pak Alex. Dia lalu
menunjuk Denis lagi. “Khusus kamu, yang bernama Denis, kamu yang memulai
pemukulan! Poin pelanggaranmu lebih tinggi dari yang lain! Kami
mencatat 200 poin buat kamu! Sekali lagi kamu membuat kasus yang sama,
poin kamu menjadi 400 dan itu berarti ada skorsing! Ingat, kalau poin
pelanggaran sudah mencapai 500, siswa yang bersangkutan akan dikeluarkan
dari sekolah!”
Denis menghela nafas dengan raut geram. Kepalanya menunduk, menyembunyikan matanya yang tajam penuh rasa tidak terima!
“Yang lain, kalian bertiga, dikenakan
poin pelanggaran 150 poin!” cetus Pak Alex seraya memandangi kami
bergantian dengan mata galak.
Keringat dingin makin basah di badanku.
Perasaan nggak terima, marah dan sakit hati seperti mau meledakkan
dadaku! Sampai gemetar aku menahannya…! Aku juga bingung, sebagian
diriku pasrah, dan sebagian yang lain seakan membenci diri sendiri
karena hanya bisa diam…! Padahal aku tahu ini nggak adil, tapi aku masih
bimbang untuk membela diri…!
“Kalau kesaksian dari pihak kantin sudah
kami dapat, kami akan panggil kalian lagi untuk membicarakan masalah
kerugian kantin! Sekarang, kalian kembali ke kelas! Kejadian sekarang
jangan diulang lagi!” tukas Pak Alex menyudahi sidang.
“Sudah, kembali ke kelas sana… Jangan diulangi lagi!” timpal Pak Dibyo yang dari tadi lebih banyak diam.
Desah lesu menyesak. Dengan gemetar aku berdiri bersama Denis, seraya masih menahan sakit di badanku…
Kami mulai beranjak…
“Sebentar, sebentar…!” Pak Alex buru-buru mencegah lagi. “Geri sama Ronald kembali ke kelas, tapi kalian berdua tetap di sini…!”
Aku terhenti dengan rasa heran
yang menusuk untuk kesekian kalinya di benakku! Begitu juga Denis
terhenti dengan raut bingung. Sedangkan Geri dan Ronald acuh meneruskan
langkah mereka meninggalkan ruang BP.
“Duduk. Kalian berdua duduk!” tegas Pak Alex dengan gerakan tangan, menyuruh aku dan Denis untuk duduk lagi.
Kami berdua kembali duduk. Ya ampun, apa sidang untuk kami belum selesai…?!!
“Masih ada sesuatu yang mengganjal pikiran saya…” gumam Pak Alex sambil memandangi kami dengan raut menyelidik.
“Apa lagi, Pak?” lontar Denis dengan jengah.
“Saya menyusun fakta-fakta yang saya
dengar dari kesaksian kalian semua. Kalian berkelahi gara-gara soal
ejekan. Tapi tadi anak yang bernama Geri itu bilang… dia tidak merasa
mengejek… karena menurutnya itu bukan ejekan…” Pak Alex menjelaskan
maksudnya dengan kalimat terpenggal-penggal seolah dia sendiri canggung
untuk mengurainya.
Tapi… rasanya aku mulai menduga…! Dadaku kembali berdesir kencang… Ya Tuhan, tidak! Jangan singgung itu lagi…!!!
“Anak yang bernama Geri tadi mengatakan, kalau kalian suka sesama laki-laki… Jelaskan pada saya, apa maksudnya?!!”
Kata-kata Pak Alex seperti mau mencabut nafasku!!! Ya Tuhan, benar yang kuduga! Aku benci ini!!!
“Maksud Bapak apa?!” Denis pun langsung mulai panas lagi.
“Itu awal permasalahannya kan?! Saya
ingin tahu seserius apa pangkal permasalahan ini. Siapa yang suka sesama
laki-laki…? Kamu, atau kamu…?” kulik Pak Alex menuding aku dan Denis
bergantian.
Kami berdua diam…
“Siapa yang dikatai ‘banci’?” Pak Alex terus mengulik.
“Nggak ada yang ‘banci’!!!” sergah Denis.
“Yang DIKATAI ‘banci’…?!!” tekan Pak Alex.
“SAYA…!”
Semua mata langsung menatapku. Tapi dua
mataku cuma cukup buat menatap Pak Alex yang angkuh itu. Kuadu mataku
dengannya…! Kali ini aku nggak tahan lagi, kuputuskan menghadapi apa
maunya guru satu ini…!!!
Pak Alex mengernyitkan kening memandangiku. “Kamu mengaku, kalau kamu ‘banci’?”
“Saya DIKATAI ‘banci’! Tapi saya BUKAN BANCI!” tegasku tanpa segan lagi.
Pak Alex menyunggingkan senyum yang
terkesan mencibir. “Baik, baik, saya mengerti, istilah ‘banci’
sepertinya lebih ditujukan buat sifat yang agak-agak… ya katakan saja
feminin…”
“Banci itu konotasi yang buruk!” sergahku tegas.
“Baiklah, sekarang saya pakai istilah yang lebih netral saja. Benar kamu suka sesama laki-laki…?”
Rasanya titik didihku nggak bisa lebih panas lagi. “Apa urusan Bapak?!!”
Pak Alex tampak terperanjat dan beringsut merapat ke sandaran kursinya. “Kamu membentak saya?!”
“Pak Alex, ini maksud pembicaraan mau apa?” Pak Dibyo yang dari tadi diam sekarang ikut mempertanyakan sikap Pak Alex.
Pak Alex menatapku dengan tajam. “Saya
mencari ketegasan! Jawab saja! Anak-anak tadi bilang kamu MEMANG SEPERTI
yang mereka bilang…! Benar itu?!”
Masih kupandangi Pak Alex tanpa rasa segan sedikitpun…! Apa maunya guru ini?!!
“Pak Alex, saya rasa harus ada dasar tujuan dari pembicaraan seperti ini?” Pak Dibyo menengahi lagi.
“Pak Dib, tadi pagi saya dapat kabar dari
Pak Solikhul. Kemarin ada geger soal Mading. Sekarang tambah parah!
Gara-gara ada yang disebut ‘banci’ sampai terjadi perkelahian yang bikin
rusak kantin!”
Astaga…! Soal rapat Mading itu sampai ke
BP juga…? Dari mulut Pak Solikhul sendiri yang katanya ingin
merahasiakan masalah itu??? Ooo, BAGUS!!!
“Padahal bertahun-tahun ini sekolah kita
tenang! Bikin masalah seperti ini jelas bukan tujuan dari anak-anak
disekolahkan di sini! Kita ini Konselor, Pak Dib, kita punya tanggung
jawab moral untuk membina kepribadian siswa di sini! Kalau ada siswa
yang punya perilaku menyimpang, harus segera ditangani!” tegas Pak Alex.
“Kalau begitu kenapa cuma kami berdua
yang disidang?! Soal perkelahian empat orang terlibat, kenapa yang dua
dibolehkan pergi?!” protesku.
“Sekarang bukan soal perkelahian. Soal
perkelahian kami sudah memberi sanksi kepada kalian semua secara adil.
Sekarang soal akar permasalahannya! Jadi saya minta jawaban yang jujur
sekali lagi, jangan berbelit-belit!” tegas Pak Alex menatapku tajam.
“Benar, kamu suka sesama laki-laki?”
Tatapan mataku kembali beradu tajam
dengan Pak Alex. Keadaan sudah nggak logis lagi. Aku punya hak atas
identitas pribadiku! Tapi aku juga pantang menyangkal diriku sendiri…!
“Tadi kata anak yang satunya, yang sudah
kembali ke kelas… sudah banyak yang tahu soal itu…?” gumam Pak Dibyo
ragu-ragu. “Tapi saya kira ini sebenarnya soal pribadi, Pak Alex…?”
“Hhhh… Kemarin Mading, sekarang empat
orang berantem, kantin berantakan! Bagaimana bisa ini cukup diterima
sebagai soal pribadi? Ini tahapnya sudah menjadi… semacam potensi yang
bisa menimbulkan keresahan di sekolah…! Kalau ini mau disebut ranah
pribadi, bagaimana dengan tugas kita membina kepribadian siswa, Pak
Dib?” Pak Alex balik melontarkan pertanyaan ke Pak Dibyo.
“Menurut saya, soal pendidikan
kepribadian perlu didasarkan atas kemauan siswa itu sendiri… Bukan
paksaan…” jawab Pak Dibyo enggan.
“Kalau menurut Pak Dib, menyukai sesama jenis itu menyimpang atau tidak?” Pak Alex ganti mencecar rekannya.
“Saya pribadi tidak setuju dengan
perilaku seperti itu. Saya sendiri punya anak laki-laki…! Tapi kita juga
punya batas-batas kapasitas, Pak…” ujar Pak Dibyo.
“Pak Dib setuju bahwa homoseksual
menyimpang, saya kira sebagian besar masyarakat juga menganggap begitu.
Nah, kalau sekolah kita membiarkan perilaku seperti itu, bahkan
pengaruhnya sampai memancing perkelahian, sekolah kita bisa dapat malu!
Ini dari luar sepertinya sepele, cuma masalah ejek-ejekan. Tapi kalau
kita lengah dan tidak tegas, bisa terus berkembang jadi pengaruh yang
tidak sehat buat mental siswa lainnya! Ingat, sekolah ini sekolah
teladan, Pak Dib!” tukas Pak Alex.
Pak Dibyo cuma diam mengelus-mengelus dagunya. Tampak bimbang dan nggak mampu melawan Pak Alex yang lebih senior darinya.
“Sudah. Sepertinya saya tidak perlu lagi
bertanya. Anak ini diam saja, berarti dia mengaku!” ujar Pak Alex sambil
mendengus pelan.
“Lama-lama Bapak juga merendahkan kami,
seperti mereka…!” Denis yang sempat terdiam sejak tadi, sekarang kembali
membalas Pak Alex.
“Saya tidak merendahkan! Saya ingin
kalian jawab ‘ya’ atau ‘tidak’, tapi kalian tidak pernah terus terang
dan malah berbelit-belit. Berarti itu tandanya ‘ya’! Kami ini bermaksud
baik! Kami mau membina kalian, terutama saudaramu ini…!” tukas Pak Alex
sambil menudingku.
Kalau aku bisa menyangkal diriku sendiri,
buat apa aku menjalani kondisi yang rumit ini sebagai gay? Orang lain
juga sudah banyak yang tahu tentang aku, lalu rasa takut apa lagi yang
harus aku perlihatkan di depan guru yang semena-mena ini?!!
“Apa yang mau Bapak bina?” tantangku dengan berani.
“Haha… Aku salut dengan mentalmu, Nak!”
ucap Pak Alex disertai tawa pelan. Lalu dia segera berpaling ke Denis
lagi. “Sebentar, apa kamu juga sama dengan saudaramu?”
“Kami kembar, bukan berarti sama! Kami nggak sama, tapi bukan berarti saya nggak akan membela sodara saya!” jawab Denis tegas.
“Baik. Terus terang, sebenarnya saya
kagum dengan kalian. Saya salut dengan solidaritas kalian! Tapi saya
tetap tidak bisa tinggal diam mengenai masalah kalian. Sebagai guru saya
tetap punya simpati, karena itulah kami berusaha memberikan solusi yang
terbaik. Kami mau membina kalian, bukan menghukum kalian…” ujar Pak
Alex.
“Apa alasan Bapak sampai begitu yakin kalau saya butuh pembinaan?” tanyaku tanpa bersimpati terhadap pujiannya.
“Karena homoseksual itu menyimpang. Itu jelas!” jawab Pak Alex.
“Kenapa menyimpang? Apa dasarnya?” kejarku.
Pak Alex mengernyitkan dahi. “Norma masyarakat! Sudah jelas! Sejak kapan masyarakat kita mengakomodasi perilaku seperti itu?”
“Apa menyimpang itu selalu merugikan orang lain, Pak?” sanggahku.
“Kalau kamu pacaran sesama jenis dengan
anak orang lain, kamu pikir orang tuanya akan senang? Akan bangga? Bukan
soal untung-ruginya, tapi nilai moralnya! Bisa saja kalau kamu kaya,
kamu membeli anak orang lain dengan uang banyak, mereka tidak rugi
materi… tapi tetap saja itu bukan moral yang baik!”
“Kalau saya suka sesama laki-laki, itu
hak saya. Saya punya hak untuk membuat pilihan hidup. Kapan anak jadi
dewasa kalau tidak boleh memiliki pilihannya sendiri? Kalau ada orang
yang merasa berhak memaksakan pilihan kepada orang lain, apakah itu
moral yang adil? Makanya, saya bingung soal ‘moral’ yang Bapak sebut…”
“Ya ampun!!!” Pak Alex menggebrak meja
lagi. “Baik, saya anggap ini bagian dari pembinaan buat meluruskan cara
pikirmu yang rupanya memang sangat parah, Nak! Sangat parah!” guru itu
melotot geram memancarkan kekesalannya. “Saya ini jadi guru BP, jadi
Konselor anak-anak macam kalian ini, bukannya tanpa belajar dari banyak
ilmu! Saya sudah pelajari sampai habis buku Patologi Sosial, homoseksual
itu penyakit masyarakat…! PENYAKIT! Itu DOKTOR yang bilang, lebih
pandai dari saya, lebih pandai dari kamu! Apa ada masyarakat kita
mengawinkan sesama jenis? Tidak ada! Dari segi kesehatan saja itu juga
kotor tho?!! Dari segi biologis itu juga tidak menghasilkan keturunan!
Sudah jelas itu melanggar kodrat! Kamu mau membuat pilihan hidup,
silakan! Tapi tentunya pilihan hidup yang benar tho?!! Kalau anak saya
seperti itu, apanya yang saya banggakan? Apamu yang dibanggakan orang
tuamu?!! Kamu pikir mengecewakan orang tua itu sendiri moral yang
adil?!”
“Orang tua saya bangga dengan prestasi saya!” ucapku datar.
“Syukur kalau kamu punya prestasi! Tapi
tunggu sampai mereka tahu kalau kamu suka sesama laki-laki, prestasimu
tidak akan mengobati rasa kecewa orang tuamu, Nak!” gertak Pak Alex.
“Jadi menurut Bapak, lebih baik punya
anak laki-laki yang goblok, pengangguran, nggak punya prestasi, tapi
yang penting menikah sama perempuan? Gitu, Pak? Memangnya ada perempuan
yang bangga dinikahi laki-laki seperti itu?” balikku tanpa susah-susah.
Pak Alex langsung mendelik. “Ya bukan
terus seperti itu! Kalau orang tua tahu caranya mendidik anak, tidak
bakal ada anak seperti itu! Orang tuamu itu membesarkan kamu bukan tanpa
duit, bukan tanpa keringat, apa demi anaknya jadi homoseks? Nalarnya
‘TIDAK’, tho?!”
“Manusia dididik oleh banyak hal, nggak
cuma ditentukan oleh orang tua, Pak. Nggak semua hal bisa dituntut oleh
orang tua! Saya juga tidak menyalahkan orang tua atas kondisi saya. Jadi
Bapak nggak usah menilai soal bangga atau kecewanya orang tua saya,
anda tidak tahu apa-apa karena anda bukan orang tua saya!”
Pak Alex mengelus jidatnya yang
berkeringat. Pak dibyo termangu tanpa komentar. Denis di sampingku lebih
tenang sikapnya dibanding tadi. Ya, lebih baik begitu. Sudah saatnya
aku yang bicara! Nggak selayaknya aku terus-terusan diam, karena ini
adalah masalahku! Aku harus bisa membela diriku sendiri!
“Kamu ini belum ada separuh dari umur
manusia, Nak! Separuh umur saya juga belum!” Pak Alex masih mencecarku,
masih kelihatan keangkuhannya sebagai orang yang merasa jauh lebih tua
dan lebih pandai. “Apa alasan yang membuat kamu merasa benar menyukai
orang lain dengan cara seperti itu?”
“Kenapa dihubungkan sama umur, Pak? Apa
soal cinta saya harus menunggu sampai seumur Bapak? Buat saya, kalau
saya merasa NYAMAN menyukai seseorang, maka saya anggap saya berada di
tempat yang benar!” jawabku mantap.
“Hahaha… Ya gini ini, anak muda itu
memang sukanya model begini ini! Sok bicara cinta…” Pak Alex tergelak
mencibir sambil menuding-nudingkan telunjuknya.
“Kan Bapak sendiri yang nanya…!” gumamku dengan kesal. Siapa yang sok?
“Nak, saya ini sudah menikah selama
hampir 20 tahun! Jangan anggap saya ini tidak tahu apa-apa soal cinta.
Memang bisa saja kamu merasa NYAMAN menyukai atau mencintai orang lain.
Tapi laki-laki yang beres itu cintanya sama perempuan! Itulah kenapa ada
dua jenis kelamin yang berbeda! Kodratnya sudah begitu!”
“Jadi Bapak mencintai istri Bapak selama
hampir 20 tahun itu hanya karena dia perempuan?” cetusku membalik lagi
kata-kata Pak Alex.
Pak Dibyo langsung menahan tawa. Denis juga. Pak Alex langsung melotot lagi dengan muka makin merah padam!
“Hei, hati-hati bicaramu!” Pak Alex
menudingku lagi. “Cinta itu banyak isinya! Bukan cuma soal kelamin! Tapi
pikiran yang waras harusnya bisa memilah mana sasaran yang benar, mana
yang salah! Dari sisi mana homoseksual bisa dibenarkan?! Cara yang
dilakukan saja sudah kotor! Juga tidak mungkin menghasilkan keturunan!
Jadi mencintai dalam kondisi seperti itu, benarnya di mana?!! Kamu boleh
bilang cinta itu buta, Nak. Tapi kamu tidak bisa menentang hukum alam!
Hukum alam sudah mengatur bahwa laki-laki itu pasangannya adalah
perempuan!”
Lama-lama, disela-sela rasa muakku, aku mulai menemukan bagian yang membuatku tergelitik…
“Sebentar… maaf ya Pak, ya… Bapak setuju dengan kontrasepsi nggak, Pak?” tanyaku.
“Ngelantur apa lagi kamu ini?!!” Pak Alex ngedumel dengan muka seperti kertas diremas. “Kenapa kalau saya setuju?!” tukasnya.
“Bapak setuju?”
“Kenapa? Kamu bisa bikin pulau buat menampung ledakan penduduk?!” tukas Pak Alex.
“Bapak berbelit-belit, berarti Bapak
‘setuju’!” simpulku enteng. “Bicara soal hukum alam, bukankah berkembang
biak itu konsekuensi alami dari hubungan seksual antar jenis? Ditinjau
dari hukum alam, peledakan penduduk itu konsekuensi dari intensifnya
hubungan seksual antar jenis. Jadi kalau Bapak setuju dengan
kontrasepsi, Bapak sendiri juga mangkir dari hukum alam!”
Pak Alex melongo. Wajahnya berubah ungu. Nggak tahu, apa itu malu, atau karena naik pitam.
“Konteksnya jelas beda! KB itu bertujuan
positif! Manusia punya kondisi yang lebih komplek dibanding binatang!
Tidak hanya menanggung masalah lahan tempat tinggal, tapi juga
konsekuensi ekonomi!” debat Pak Alex sengit.
“Kalau begitu bukankah homoseksual malah lebih berjasa dibanding KB? Karena KB masih bisa bocor…” sahutku enteng.
“Tapi KB tetap steril, tidak kotor seperti yang dilakukan orang-orang homoseks!”
“Kenapa Bapak bilang kotor?”
“Ya jelas kotor, kamu ini gimana sih?!! Melakukannya di lubang kotoran!!!” tukas Pak Alex sambil mendelik.
“Maksud Bapak, lubang anus? Dipikir
sederhana aja deh, Pak… Kalau lubang vagina dianggap lebih bersih,
kenapa bisa kena Keputihan? Kenapa bisa ditempati bakteri sifilis? Saya
malah belum pernah dengar ada lubang anus kena Keputihan… Maaf ya Pak,
itu logika sederhananya aja… Bersih atau kotor itu soal teknis,
tergantung orangnya!”
Denis menahan tawa. Pak Dibyo garuk-garuk kepala.
Pak Alex menghentakkan kakinya dengan
mengatupkan rahang. Pertanda geramnya makin jadi. Dia lalu merapatkan
kedua tangannya di atas meja, dan menatapku dalam-dalam. Tajam!
“Sudah, jangan membahas yang vulgar lagi, saya hampir saja mau menamparmu!” desis Pak Alex tajam dan berat. “Apa agamamu, Nak?!”
“Kenapa harus ungkit-ungkit agama, Pak?” gumamku jengah.
“Jawab saya! Agama apa yang menyebut homoseksual itu benar?!” bentak Pak Alex.
“Pak, terus terang saya nggak hafal sama
ayat-ayat kitab suci. Tapi setahu saya, dalam satu agama aja pandangan
terhadap satu masalah bisa beda-beda tafsirannya… Saya nggak mau jadiin
agama buat debat kusir, Pak…!” ucapku jengah.
“Apa yang membuat kamu yakin kalau kamu tidak berdosa jadi gay?!” hardik Pak Alex.
“Mungkin memang dosa, Pak. Atau mungkin
juga enggak. Saya akui saya bukan orang saleh. Tapi itu urusan saya sama
Tuhan. Anggap saja moral kita beda, tapi apakah saya melanggar hak
Bapak? Atau adakah hak orang lain yang saya rebut? Tolong tunjukkan
saja, Pak…! Kalau Bapak nggak bisa menunjukkan, tolong jangan hakimi
saya karena itu berarti Bapak-lah yang melanggar hak saya…!”
“Saya camkan, saya tidak berniat
menghakimi kamu. Tapi saya ingin meluruskan hal yang benar untuk membina
kamu!” hardik Pak Alex.
“Cuma beda istilah, Pak. Prakteknya Bapak
membuat saya tertekan! Seumur-umur saya nggak pernah mendebat orang
tua. Tapi sekarang saya merasa Bapak terus menekan saya, sebaiknya Bapak
tahu bahwa saya nggak akan ragu buat membela diri!” balasku tanpa
segan.
Pak Alex sekarang terdiam. Matanya
berapi-api menatapku. Ya, seperti api yang menyala tapi nggak mampu
menjilat apa yang ingin dibakarnya…!
“Pak Alex, saya kira pembicaraan ini
terlalu berlarut-larut. Saya merasa pembicaraan sudah melebar
kemana-mana. Sebaiknya mereka diijinkan kembali ke kelas saja…” desah
Pak Dibyo dengan wajah penat.
“Mereka akan segera kembali ke kelas,”
ucap Pak Alex datar. “Ya, Pak Dib sendiri menyaksikan betapa keras
kepalanya anak ini! Dia tetap merasa dirinya itu benar. Setidaknya kita
sudah berusaha meluruskan perilakunya yang keblinger. Kita tidak
berhasil… berarti terpaksa kita harus…” perkataan Pak Alex terputus, dia
nampak berpikir-pikir dengan serius…
“Bagaimana?” desak Pak Dibyo.
“Kita serahkan kepada orang tuanya saja…”
Ucapan Pak Alex seketika membuatku…
Ya Tuhan… Apa yang barusan dia ucap…?!!!
“Orang tuanya?”
“Ya, Pak Dib, orang tuanya pasti lebih efektif…!”
Tidak!!! Tidak!!! GURU-GURU ITU BERCANDA!!!
“Apa yang akan Bapak lakukan?!! Bapak tidak bisa seperti itu!!!” Denis langsung memprotes dengan keras.
“Nak, sudah! Kami sudah berusaha
meluruskan saudaramu dengan baik-baik, tapi dia malah terus melawan!
Tindakan selanjutnya adalah wewenang orang tua kalian!” kilah Pak Alex
datar.
“Bapak sadar? Bapak bisa mengacaukan keluarga kami!” seru Denis.
“Nak, kami tidak bermaksud mengacaukan
keluargamu. Kami sudah faham masalah anak muda, orang seusia kalian ini
kalau sudah meyakini sesuatu tidak bisa lagi menerima pendapat orang
lain, termasuk guru seperti kami ini. Tapi saya beri tahu, kalau kalian
yakin dengan sesuatu bukan berarti itu pasti benar! Kami lebih tua dari
kalian, kami lebih banyak pengalaman soal prinsip, dan orang selalu
menyesal saat prinsipnya terbukti salah. Banyak orang yang sadar di saat
sudah jatuh! Itu yang kami tidak ingin terjadi pada kalian!” ujar Pak
Alex ketus.
“Tapi itu urusan kami! Urus saja keluarga Bapak sendiri!” sentakku dengan amarah meluap.
“Kalau saya cuma peduli dengan keluarga
saya sendiri, saya tidak akan jadi Konselor di sekolah ini! Orang tua
kalianlah yang menitipkan kalian untuk dididik di sini! Orang tua kalian
membutuhkan laporan mengenai kalian! Kalau kalian punya masalah yang
tidak bisa kami tangani, bagaimana bisa kami menutupinya dari orang tua
kalian? Kami punya tanggung jawab kepada orang tua kalian!”
Aku berdiri dari dudukku.
“Pak, tolong…” ucapku gemetar.
Denis memegang tanganku, menarikku pelan untuk kembali duduk…
“Duduk, Nak…” ucap Pak Alex datar tanpa menatap wajahku.
“Mas…” Denis masih menarikku.
Tanpa daya aku terduduk lagi dengan lesu.
“Pak, keluarga kami akan menyelesaikan
soal Dimas, tapi bukan sekarang…! Cuma kami yang tahu waktu paling tepat
buat masalah ini! Dan kami nggak butuh campur tangan orang lain…!”
sergah Denis berusaha mencegah Pak Alex.
“Apa itu benar-benar perlu, Pak Alex?” Pak Dibyo masih bimbang.
“Pak Dib, ini tidak cuma tanggung jawab
kita kepada siswa, tapi juga reputasi sekolah. Kita jangan membuat celah
sedikitpun. Potensi masalah ini sudah jelas…!” timpal Pak Alex kaku.
“Nggak ada niat sama sekali dari saya buat mempermalukan sekolah ini…!” desahku gundah dan tersendat…
“Saya tak mungkin secepat ini lupa
bagaimana kalian mendebat saya. Kalau saya butuh jaminan, orang tua
kalianlah yang bisa menjamin…” ucap Pak Alex seraya memalingkan mukanya
dengan senyum menyiratkan rasa menang. “Kami akan mengatur visitasi
untuk memberikan laporan kasus ini kepada orang tua kalian. Saya tidak
akan berdebat dengan kalian lagi. Sudah.”
“Kalau Bapak memaksa, membuat keluarga kami kacau, Bapak akan menyesal…!” desis Denis tajam.
“Saya bisa menambah poin pelanggaran kamu
jadi 400, Nak, karena kamu mengancam guru! Tapi saya memaklumi emosimu.
Untung saja Bu Kamti sedang tugas di luar! Kalau yang menangani beliau,
sudah habis kalian berdua…! Kami tahu apa yang seharusnya kami lakukan
demi kebaikan kalian… Sudahlah, sebaiknya kalian kembali ke kelas saja!”
ucap Pak Alex dingin, diiringi anggukan Pak Dibyo.
Ruangan hening. Aku diam membeku. Denis
juga membisu. Putus asa dan amarah mengaduk semua yang ada dalam diriku.
Muak, perih dan gusar, serasa tinggal itu yang tersisa dalam
kelumpuhanku di tempat dudukku.
“Sudah, kalian kembali ke kelas sekarang…” suruh Pak Dibyo.
Mataku mengambang tanpa arah. Denis menggamitku, menggandengku berlalu dari hadapan guru-guru itu…
Dengan lesu aku melangkah meninggalkan
ruangan, menapaki lantai koridor yang lengang dalam kebisuan. Diriku
serasa sebuah kesatuan amarah dengan potongan-potongan kesadaran yang
terpencar… bersama kegalauan yang menggantung seperti bayangan yang
menggelapkan seluruh pikiranku!
Orang tuaku, keluargaku… Mereka akan diberi tahu soal anaknya ini…???
Ya Tuhan, apakah yang akan kuhadapi
setelah semua ini…??? Menghadapi kemarahan mereka, kekecewaan mereka…
dan kehilangan mereka…??? Keluarga yang kusayangi…???
Langkahku terhenti oleh rasa pahit yang menyengat dalam batinku…
Ya Tuhan…
Aku takut…
Sangat takut…
“Mas…?” Denis ikut berhenti seraya menatapku dengan hampa. Sebuah wajah tanpa harga…
“Lihat… Ini gara-gara ulahmu…” cekatku lirih.
Denis menundukkan kepalanya. Menyembunyikannya dariku…
“Berapa kali harus kuulangi…? Cara yang
kamu pikir bisa membelaku, hanya bikin masalah makin besar… Lihat
sekarang jadinya!” ucapku gemetar.
Kudengar suara yang belum pernah aku dengar sebelumnya… Suara yang membuat hatiku makin hancur…
Suara Denis yang terisak menyeka matanya…
“Maafin gue, Mas…” isaknya lirih.
Dan dia berlalu dariku. Melangkah labil,
meninggalkanku di lorong koridor yang senyap ini, membisu terpaku dengan
perihku sendiri…
Ya Tuhan, aku nggak lebih kuat darinya…
***
Keranjang 46
Di Bawah Gerimis
Bunyi bel sekolah baru saja bergema. Tanda pelajaran terakhir telah berakhir. Menyusul pula HP-ku yang membunyikan sinyal SMS…
“Gw gk lngs plg ke rmh, lu bw aja mtrny. Gk ush tgu gw..”
SMS dari Denis.
“Terserah…” batinku bergumam.
Masalah sudah menimbunku seperti kotoran. Masih ada yang mau memintaku berpikir lagi? Ambil saja otakku sekalian kalau mau…!
Teman-temanku mulai beranjak meninggalkan
ruang kelas dengan gaduh renyai yang mengiringi kaki mereka menuju
pintu. Kukemasi buku-bukuku, kumasukkan ke dalam tas. Berikutnya aku
masih diam di kursiku, dengan tatapan kosong tanpa arah. Menahan penat
dan ngilu di batinku. Sakit perih di igaku…
“Kamu nggak pulang, Mas?” tanya Misha yang rupanya juga belum beranjak dari kursinya.
“Aku bisa pulang sesukaku. Kamu sendiri kenapa nggak pulang?” balasku acuh.
Misha nggak membalasku.
Kutaruh tasku di atas meja sambil
mendekapnya dengan dua tanganku. Aku terpekur menatap lalu lalang
teman-temanku yang bersusulan meninggalkan ruang kelas, pulang. Kelas
ini dalam sekejap segera kosong, cuma menyisakan aku dan Misha berdua…
“Tabah ya, Mas…” akhirnya Misha berucap lagi dengan pelan. “Sorry, aku nggak bisa bantuin apa-apa…”
“Bantuin? Memangnya mau ikut berantem
belain aku, Mis? Denis yang cowok aja aku tampar gara-gara nggak mau
berhenti berantem, apalagi kamu yang cewek…?” ucapku mengawang.
“Kamu bakal nampar aku juga?”
“Maksudku…” aku tercekat, sadar kalau ada
yang salah dengan ucapanku. “Aku nggak mau sesuatu harus diselesaikan
dengan berkelahi! Apalagi kamu cewek, mana tega aku minta kamu
berkelahi…?”
“Aku juga nggak bakal milih buat
berantem. Maksudku, aku mungkin harus bantuin kamu dengan cara lain…”
desah Misha. “Tapi kenapa juga kamu musti nampar Denis?”
Aku bimbang, menerawang kembali
adegan-adegan di kantin tadi. Perkelahian menghadapi Geri dan Ronald.
Lalu kalimat-kalimat menyakitkan di ruang BP, debat tanpa pencerahan…
Intimidasi…!
“Kalau mau belain aku, harusnya dia pikir
dulu bakal seperti apa ujungnya! Dia melampiaskan kemarahannya, tapi
sekarang masalah bukannya selesai malah tambah runyam…! Kalo nggak aku
hentikan, perkara akan tambah parah lagi, Mis…!” jelasku dengan perasaan
gundah.
“Orang marah memang bisa kalap… Tapi Denis marah karena dia juga nggak bisa lihat kamu diejek terus sama mereka…” desah Misha.
Aku terdiam. Ya, aku tahu itu. Tapi aku
tetap terpukul dengan hasil dari semua ini…! Jelas, perkelahian itu
hanya membuat masalah makin kacau sekarang…! Dan kata-kata guru BP itu
masih terus terngiang mengusik kepalaku. Rencana visitasi itu… Ya
Tuhan!!!
“Terus masalah sama BP gimana…?” Misha bertanya lagi, mengungkit apa yang sedang berkecamuk dalam pikiranku!
Aku menghela nafas dengan berat. “Kena poin pelanggaran. Selain itu BP juga mau visitasi ke rumahku…” cetusku lesu.
“Hah? Ke rumahmu? Mau apa…?”
“Ngelaporin ke orang tuaku…”
“Ngelaporin apa…?”
“Ngelaporin kalo aku gay!!!”
Misha terperangah dan terpana padaku…
“Ngelaporin…? Kenapa masalahnya… bisa jadi sejauh itu…?!”
“Nggak ngerti. Aku udah capek mikirnya,
Mis… Intinya BP tahu soal aku, terus mereka mau ngasih pembinaan…!
Shit!” racauku gundah.
“Kenapa mereka sampai berniat ke orang tuamu…?”
“Karena mereka nggak mau ada homo di sekolah ini!!!”
“Tapi kenapa bukan ditangani oleh mereka sendiri? Mereka kan biasa ngasih konseling, kenapa langsung dilaporin ke ortumu?”
“Karena aku nggak butuh konseling! Tapi
mereka maksa aku harus ‘sembuh’! Menurutmu aku perlu ‘disembuhin’ apa
nggak…?!!” bentakku emosi.
Misha terdiam dengan wajah tercekat.
My God… Kuremas-remas kepalaku yang terasa keruh…!
“Sorry, Mis… Aku jadi bentak-bentak
kamu…” desahku lirih dengan rasa sesal. “Sorry, aku lagi kacau… Aku rasa
aku sedang nggak cocok di dekat siapapun… Aku butuh waktu…”
Misha memeluk tasnya dan dengan pelan berdiri dari duduknya. Dia melangkah kecil menuju pintu keluar.
“Sebenarnya aku ingin bisa bantu kamu,
lebih dari sekedar ngasih kamu waktu buat sendiri… Tapi mungkin memang
itu yang paling kamu butuhkan sekarang… Mungkin aku memang cuma bisa
ngasih itu…” ucap Misha lirih ketika dia berhenti sesaat. “Semoga cepat
selesai, ya Mas… Semoga kalian berdua juga baik-baik aja…”
Aku menatap Misha dengan pandangan layuku. Dia tersenyum sayu.
“Thanks…” ucapku pelan seraya mencoba tersenyum.
Misha cuma mengangguk pelan. Lalu berlalu dari hadapanku.
Sekarang tinggal aku sendiri di sini.
Terpuruk dalam rasa hilang… Di saat nggak tahu harus berbuat apa, di
saat nggak tahu harus berada di mana, di saat nggak tahu kapan kesulitan
akan berakhir, itulah yang membuatku dihinggapi rasa ini… Aku belum
pernah merasakan tekanan seberat ini!
Rumah. Papa, Mama… Berapa hari lagi, saat
mereka akan tahu soal anaknya ini? Apakah waktuku tinggal sedikit buat
menjalani keramahan sebuah keluarga, kenyamanan sebuah rumah? Apakah aku
sedang menanti kemarahan besar yang beberapa hari lagi akan meledak di
sana…?
Akhirnya… Kukenakan jaketku. Kurengkuh
tasku. Perlahan aku berdiri meski rasanya rapuh untuk memegang arah.
Kuambil langkah, kutinggalkan ruang kelas yang sunyi ini… Sesaat mataku
melongok langit, dan baru kusadari mendung yang cukup buram menggantung
di sana. Kupercepat langkahku menyusuri koridor, menyeberangi halaman,
menuju ke tempat parkir di mana motorku berada.
Kuraih motorku dan kunyalakan, lalu
segera keluar dari lingkungan sekolahan yang hari ini sudah menjadi
neraka bagiku! Kutelusuri gang kecil yang masih menyisakan beberapa anak
yang berjalan kaki, dan beberapa anak nongkrong di pinggiran dengan
seragam sekolah yang sama denganku. Aku melaju tanpa peduli…
Mataku yang lelah ini rupanya
masih cukup tajam buat mengenali salah satu sosok yang tengah berjalan
agak jauh di depanku. Meski membelakangiku dan belum kulihat wajahnya,
tapi aku merasa yakin…! Ibarat kedip bara di ujung lilin yang mulai
kembali menjadi lidah api, kecil tapi memberiku sesuatu… Memberiku
sepercik semangat…!
“Fan…!” sapaku saat menyebelahinya…
Fandy yang berjalan kaki langsung menoleh agak terkejut padaku.
“Naik aja sini bareng aku, daripada jalan
kaki…” tawarku dengan geliat senyum. Aku seolah mendapat semangat
kembali, saat kudapati dia ada di dekatku lagi…
Tapi…
Dalam sekejap saja senyumku kembali ragu…
Fandy nggak seperti biasanya… Dia cuma
memandangku sekilas dengan kesan canggung. Lalu memalingkan mukanya lagi
tanpa bilang apa-apa…
“Kamu… nggak apa-apa kan…?” tanyaku
seketika jadi agak canggung karena responnya yang pasif itu. “Ayo,
bareng aja sini…!” tawarku lagi.
“Nggak usah…” jawab Fandy singkat dan… dingin.
“Kamu kenapa?” tanyaku jadi gelisah.
“Nggak apa-apa…” jawab Fandy malah makin kelihatan jengah dan mempercepat langkahnya.
Aku sadar bahwa pasti ada masalah!
Kutambah gas motorku, melaju sekejap
mengambil jarak agak jauh di depan Fandy. Lalu aku berhenti dan segera
turun dari motor, kulangkahkan kakiku dengan sigap menghampiri Fandy.
Kami berhenti berhadapan. Fandy langsung membuang muka lagi.
“Tolong bilang dong kalo ada masalah…!” lontarku resah.
“Nggak ada apa-apa!” Fandy masih berkelit.
“Kalo nggak ada masalah kamu pasti berani lihat aku. Kamu buang muka terus, kamu nyembunyiin sesuatu…!”
Fandy diam. Masih menghindar untuk menatapku…
“Ada masalah kan? Bilang aja…!” desakku makin cemas.
Perlahan Fandy mulai menatapku. “Kamu
nggak mau aku menyembunyikan sesuatu. Tapi kamu sendiri selama ini
menyembunyikan sesuatu kan, Mas…? Jujur aja…!” cetusnya dengan wajah
masam.
Aku terhenyak.
“Maksudmu…?”
“Aku udah tahu soal kamu, Mas… Aku udah dengar… Dan ternyata juga udah banyak yang tahu…”
“Tahu apa…?” bibirku tercekat berat.
“Udah lah, Mas… Nggak usah pura-pura
nggak ngerti. Hari ini sampai ribut di sekolahan gara-gara masalah itu
kan…?” cetus Fandy dengan tatapan pahit.
Perlahan aku menghelas nafas seraya
menekan risau hati yang makin jadi. Ya Tuhan, ternyata aku juga harus
menghadapi ini darinya…! Baiklah. Aku cukup peka untuk
memahaminya…
“Okey… aku ngerti maksudmu. Kamu dengar kalo aku gay kan…?” desahku pahit.
Fandy diam membisu tanpa tanggapan. Ya… Berarti memang itu yang telah didengarnya. Akhirnya dia tahu!
“Sudahlah, Mas… Aku mau pulang…” gumam Fandy seraya meneruskan langkahnya, melewatiku…
“Fan…!” panggilku tertahan. “Jadi sekarang… kamu mau ninggalin aku…?!”
Fandy terhenti lagi. Dia berpaling lagi padaku dengan wajah jengahnya. “Mas, kamu mau aku gimana?!” ujarnya ketus.
Kuremas-remas kepalaku menahan gundah
yang serasa mau menggiling kewarasanku. “Aku lagi jatuh sekarang… kamu
orang yang aku harap bisa support aku…!”
“Aku nggak bisa nerima keadaan kayak gini, Mas…!”
“Apa yang nggak bisa kamu terima…?” tanyaku terbata.
“Hubungan kita sepertinya mulai salah…!”
“Salah…? Salah apa…?”
Fandy mendesah seraya mengusap-usap
wajahnya yang kelihatan kusut. “Aku juga bingung, Mas… Jadi tolong jujur
aja ke aku…!” tukasnya bimbang. “Buat kamu, kita cuma berteman, atau
lebih…?!”
Pertanyaan tajam yang dilontarkan Fandy,
membawaku berdiri di atas satu titik kebimbangan yang paling dilema. Ini
pertama kali aku harus menghadapinya dalam keadaan sekacau ini, di
hadapan emosinya yang belum pernah kutemui serumit ini… Di hadapanku,
dia sedang menuntut pengakuanku…!
Akhirnya…
“Yaa… Aku memang berharap lebih…”
Aku mengaku…
Raut wajah Fandy menorehkan tanda bahwa
perasaannya terpukul makin keras… Telapak tangannya sekejap mengatup di
wajah, lalu terbuka lagi bersama senyum pahit yang mengembang berat di
bibirnya…
“Sejak aku dengar tentang kamu, aku sudah menduganya, Mas…!” desah Fandy melesakkan nafas.
“Apa itu yang kamu anggap salah…?”
“Yaa…”
“Kenapa?”
“Karena… Aku nggak bisa menjalani seperti yang kamu harapkan, Mas…!”
“Kalo kamu nggak bisa, kamu nggak perlu menjalaninya, Fan… Aku nggak akan maksa kamu…!” ucapku pahit, gemetar…
“Kamu nggak maksa, tapi kamu berharap
kan, Mas…?” ujar Fandy dengan senyum masam dan menatapku lekat. “Aku
nggak bisa ngasih harapan yang nyata… Tapi aku juga nggak mau ngasih
harapan palsu…!”
“Jadi… maksudmu pertemanan kita sebaiknya
berhenti…? Apa itu berarti… semua yang pernah kita bagi selama kita
berteman jadi nggak ada artinya…?” cekatku dengan tawa pahit…
“Aku nggak tahu, Mas… Kita memang begitu
cepat berteman… Kuakui, aku juga begitu cepat menganggapmu ‘kakak’… Aku
nggak bermaksud merasa lebih baik darimu, tapi aku juga nggak bisa kalo
harus ngikutin perasaanmu, aku…” Fandy tercekat, terputus kalimatnya…
Aku juga cuma bisa terdiam menghadapi
Fandy yang terlihat kian bimbang… Sampai lama-lama aku nggak mampu lagi
melihat wajah rapuh dari orang yang kusayangi itu. Kami berhadapan,
berdiri di sisi jalan yang makin sepi ini dengan gundah kami…
“Aku butuh waktu buat memikirkan lagi
semuanya, Mas… Dari sejak awal pertemanan kita, sampai kenyataan yang
baru aku ketahui soal kamu… Aku bingung. Please, jangan menuntut apa-apa
dulu dariku… dan juga jangan berharap apapun…” ucap Fandy lirih.
“Kamu nggak perlu ngasih aku harapan kalo
kamu memang nggak bisa, entah itu harapan nyata ataupun palsu… Aku
tetap mau jadi temanmu, atau jadi ‘kakak’mu… selama kamu tulus
menghendakinya… Aku nggak akan maksa…” ucapku getir.
Wajah Fandy nanar mengawang. “Apa itu paksaan yang halus…?” gumamnya dengan senyum nyinyir dan pahit.
Aku tersenyum getir. “Aku bilang, selama kamu tulus…” ucapku pelan.
Akhirnya…
Perlahan kuambil langkahku, meninggalkan
Fandy yang masih terdiam berdiri di tempatnya. Perasaanku nggak pernah
sehampa ini. Bongkah-bongkah beban, satu per satu tersusun dengan
sempurna di pundakku…! Di langkah keberapa aku akan jatuh dengan semua
beban ini…? Atau masih ada lagi yang lain…?
Belum sampai aku meraih motorku, sesuatu mengejutkanku…
Sekelompok penunggang motor dengan bunyi
mesin menderu-deru. Mataku terbelalak gugup melihat mereka menuju ke
arahku… Mereka tidak memakai kemeja seragam, tapi jelas celana yang
mereka pakai adalah celana seragam SMA… Dengan segera aku sadar sesuatu
sedang mengancamku, saat kukenali dengan jelas salah satu penunggang
motor itu adalah…
Geri…!!!
Ancaman makin serius dan aku nggak mampu
berucap karena kegugupanku memuncak! Mereka turun dari motor dan
mengepungku…! Geri dan teman-temannya, sekitar 6 orang, menghadangku
dengan seringai di wajah mereka…!
“Masalah kita belum selesai!” tukas Geri dengan sunggingan culasnya.
“Kamu mau apa?!” desisku menghadapi gerombolan itu.
“Nyelesein masalah. Harusnya sodara kamu
yang sok jagoan itu yang harus dikasih pelajaran! Aku nggak bangga
menghajar banci kayak kamu! Tapi biar nggak bangga, kayaknya masih bisa
bikin puas juga sih…” seringai Geri sambil meremas-remas kepalan
tangannya. “Guys, sandsack empuk nih!!!”
Bukkk…! Tiba-tiba satu pukulan Geri
mendarat ke pipiku… Aku terhuyung, tapi masih mampu menyeimbangkan
tubuhku, belum sampai tersungkur! Dan aku cukup sadar membaca pukulan
kedua yang sudah hampir menyusul ke wajahku…
Aku berhasil menangkisnya dan… BUKKK…!!! Kali ini secara spontan aku membalas dengan pukulanku menghantam dagu anak itu…!!!
“Uuuggghhhh…!!!” Geri mengerang, terpelanting sambil memegangi dagunya. “ANJIIIINGGGG…!!!! Guys, hajaaaarrr…!!!”
Buuukkkkk…!!!
Seketika satu pukulan kembali
menghantamku, mendarat di pelipisku. Kali ini aku benar-benar
terpelanting… Tubuhku jatuh ke aspal…! Sakit luar biasa dan kepalaku
pusing bukan main! Sampai aku mengaduh tapi nggak bisa mendengar suaraku
sendiri…! Kepalaku sakit sekali…!
Buuukkk!!!
Buuukkk!!!
Buuuukkk…!!!
Entah berapa kali pukulan dan tendangan
mendarat di badanku yang nggak berdaya di atas aspal… Kesakitanku bikin
aku nggak bisa menghitungnya, bahkan aku nggak bisa menyadari lagi semua
yang ada di sekitarku selain hantaman-hantaman yang menyambar tubuhku…
Aku mengerang kesakitan. Entah untuk berapa lama…
Lalu ada yang menarik kerah bajuku ke
atas. Tubuhku dicampakkan, terduduk di atas aspal. Aku menggeliat
kesakitan, tapi malah tamparan-tamparan kembali menghujani kepalaku…
“Bangun banci…!!! Hei, bangun!!!” salah satu dari mereka mengarahkan kepalaku ke hadapannya sambil menampar-nampar pipiku…
Aku terus mengerang, sedikit demi sedikit
fokus kesadaranku mulai terkumpul lagi. Aku melihati orang-orang yang
mengeroyokku… Yang paling dekat, yang berulang kali menamparku…
“Udah melek hahhh?!! Sekarang dengerin
ya!!! Dengerin!!!” Geri menampar kepalaku lagi. “Bilang ke sodaramu yang
sok itu, dia mesti ati-ati! Dia tinggal nunggu giliran buat nerima
pelajaran yang sama kayak kamu! Ngerti?!!! Anjinggg!!!”
Geri menjengkangkanku sampai aku
tersungkur lagi di atas aspal. Mereka lalu segera pergi. Langkah-langkah
mereka menggema di telingaku, lalu hilang disusul oleh raungan suara
motor mereka… Berlalu, menjauh… Pergi.
Dengan sisa tenaga dan kesadaran, sambil
menahan sakit yang amat sangat, perlahan aku bangkit. Aku terduduk di
atas aspal, mengeja nafas yang dideru oleh pedihnya memar di sekujur
badanku…
Tanpa kukira, satu per satu orang mulai
berlari kecil menghampiriku. Beberapa anak berseragam SMA keluar dari
tempat nongkrong mereka… seorang tukang becak yang segera turun dari
sadelnya juga ikut menghampiriku… seorang pengendara sepeda berhenti
lalu cuma berdiri menatap terheran-heran… dan beberapa orang yang lain…
Kesadaranku makin penuh melihat sekelilingku…
Anak-anak berseragam SMA itu mencoba memapahku. Segera kutahan dengan tanganku…
“Nggak usah… Nggak apa-apa…” ucapku seraya menahan perih di bibirku yang memar.
“Lukamu kayaknya parah…?!” ujar salah satu dari mereka.
“Ini, Dik, minum ini dulu…!” tukang becak itu tanpa aku nyana membawakan segelas air mineral dan menyodorkannya padaku.
“Nggah usahhh… Terima kasihhh…” tolakku sambil mengernyit menahan sakit.
“Di bawa ke rumah sakit aja…”
“Takutnya lukamu parah…”
“Biar istirahat dulu…!”
Suara mereka bersahutan memberiku
perhatian… Tapi… Satu hal membuatku bangkit dan dengan susah payah
menerobos mereka… Karena kulihat Fandy masih di tempatnya tadi, di sana…
terduduk lesu di atas aspal dan beberapa orang juga tengah
mengerumuninya…
“Fan…!” panggilku sambil terpincang-pincang menghampirinya.
Begitu dekat, kulihati keadaannya… Aku
tercekat! Nampak beberapa memar di sekitar kepalanya… Ya Tuhan… Dia juga
dipukuli seperti aku…?!!
“Kamu nggak apa-apa, Fan…?” aku terpana menatap keadaan Fandy…
Fandy cuma menggeleng lesu.
“Mereka mukulin kamu juga…?!!” suaraku tertahan…
Lalu orang-orang mulai menimbrung lagi…
“Ini kenapa tho, Dik, kok sampai tawuran…?!”
“Mereka satu sekolah sama kalian juga ya…?”
“Tapi mereka tadi ndak pakai seragam… Pakai kaos semua…?!”
“Tapi celananya abu-abu, pakai sepatu semua… Bawa tas…!”
“Dilaporin saja ke sekolahannya!”
“Tapi kan kejadiannya sudah di luar jam sekolah?”
Suara terus riuh bersahutan mengomentari
keadaan ini… Tapi nggak ada yang bisa mengalihkan mataku, yang menatap
pedih keadaan Fandy yang tanpa kusangka ikut dipukuli… Ya Tuhan… Sejauh
ini…?! Terlalu jauh…! Keterlaluan!!!
Ada yang menyodorkan sesuatu lagi padaku. “Dik, ini ada kapas sama obat merah, dirawati dulu lukanya…”
“Terima kasih, Bu…” ucapku sambil menerimanya.
Kurawati lukaku tanpa menghiraukan
omongan-omongan yang terus mengalir di bibir para pengerubung itu. Ya,
dalam hati aku tetap mencoba berterima kasih pada mereka karena telah
bersedia peduli dengan keadaanku sekarang… Hanya saja di pikiranku tetap
terbersit, apa yang dilakukan orang-orang ini saat Geri dan
gerombolannya tadi masih memukuliku…? Menonton? Setelah selesai baru
mereka menghambur kemari…? Entahlah… Bagaimanapun aku masih cukup kuat
untuk bangkit lagi dengan memar-memar dan luka-luka ini… Tapi yang sulit
kuterima adalah: Fandy ikut dipukuli padahal dia nggak tahu apa-apa…!
Andai orang-orang ini mau bertindak lebih cepat dengan berani, Fandy
nggak perlu ikut menderita seperti ini…!
“Kenapa mereka mukulin kamu juga…?” bisikku lirih.
Lagi-lagi Fandy cuma terdiam dengan wajahnya yang terus menunduk…
Dengan lesu aku berdiri lagi, menatap orang-orang yang tengah mengerumuniku…
“Pak, Bu, teman-teman… Terima kasih bantuannya… Kami masih cukup kuat kok…” ucapku mencoba tersenyum tegar di depan mereka.
“Bener, nggak papa?! Kalo parah sebaiknya dibawa ke rumah sakit, atau ke klinik…!”
“Nggak apa-apa… kami bisa mengatasinya…” balasku pelan.
“Itu temannya nggak apa-apa?”
“Nggak apa-apa, nanti saya yang antar dia, saya bawa motor…” jawabku lagi.
“Apa aman, luka-luka gitu nyetir motor, boncengan…?”
“Nggak apa-apa…” aku terus berusaha meyakinkan mereka. “Terima kasih bantuannya…”
Lalu satu per satu orang-orang itu mulai
meninggalkan aku dan Fandy. Aku menatap mereka pergi… Aku berusaha
terlihat tegar meski hatiku sebenarnya miris… Aku nggak pernah mengalami
kekacauan separah ini dalam hidupku…! Ketegaran ini cuma pura-pura…!
Mata yang tabah ini juga cuma topeng yang sedang mati-matian menahan air
mata di baliknya…! Demi apa…? Entah… aku nggak tahu lagi apa yang masih
bisa kubanggakan… Mungkin sedikit sisa rasa malu untuk meneteskan air
mata, meski aku juga nggak tahu apakah itu ada artinya…!
Aku dan Fandy masih terdiam di tengah
nasib yang kacau ini. Membisu. Rupanya ada yang senang untuk
menyusul kami lagi. Kali ini butir-butir air yang turun dari langit,
gerimis yang ingin ikut meramaikan kekacauan ini…!
“Fan… Mau hujan… Ayo pulang…!” ajakku lesu, menahan perih dari memar di bibirku.
Fandy masih terdiam, duduk dengan wajah nanar yang padam. Sedangkan gerimis mengguyur makin deras…
“Fan…?” ajakku lagi. Kulepas jaketku,
kubentang dengan tanganku, melindungi dia dari hujaman gerimis yang
makin tajam… “Makin deras, Fan… Ayo pulang…!” pintaku.
Seketika Fandy bangkit dari duduknya. Dia menepis jaketku, melangkah maju tanpa menghiraukanku…
“Becak…!” Fandy memanggil tukang becak yang berteduh di kejauhan…
“Maaf, Fan… Aku nggak tahu gimana caranya
mindahin semua luka dan sakit yang ada padamu… Andai bisa, seharusnya
aku saja yang menanggungnya…” ucapku lirih.
“Sekarang kamu ngerti kan, Mas, kenapa aku nggak bisa menjalani pertemanan ini lagi…?” ujar Fandy dengan suara gemetar.
“Maaf…” ucapku lagi, dengan gerimis yang menyembunyikan air mataku.
Becak itu menghampiri dan berhenti di
depan Fandy. Tanpa berucap apa-apa lagi padaku, Fandy naik ke becak itu.
Dia berlalu… Meninggalkanku sendiri di sini, dengan memar dan luka yang
makin perih dalam guyuran gerimis…
Tapi tentu saja… batin ini lebih pedih!
Dengan gemetar menahan perih, aku
melangkah gontai menuju motorku. Kunyalakan motorku, lalu dengan
perlahan segera melaju meninggalkan jalan kecil ini… yang sudah
menggoreskan luka-luka di tubuhku, menandaskan satu hal yang akan
menjadi ingatan terburuk dalam hidupku…!
Hati hampa dan pikiran kosong…
Rodaku melesat di atas sebuah polisi
tidur, sebuah goncangan kecil yang lebih dari cukup untuk memancing
sengatan rasa sakit di sendi-sendi tubuhku…
“Aahhhhkkk!!!” pekikku tertahan dengan tangan kiri memegang igaku…
Kendali setirku seketika goyah…
Dan…
Braaaakkkkk…!!!
Sebuah benturan keras…
Aku terlempar…
Lalu…
Aku tak sadar lagi…
Bersambung...