RSS

Keranjang 27 - 30


Keranjang 27
Fandy







Pelajaran pertama hari ini adalah olah raga. Salah satu pelajaran yang aku benci! Aku nggak suka olah raga. Maksudku, gerak badan sih oke oke aja, tapi kalau sudah dalam rangka mata pelajaran sekolah… ini jadi semacam paksaan! Apalagi olah raga kali ini: disuruh lari keliling area sekolahan empat kali…!

Tenagaku terkuras, dan kakiku di balik sepatu sport ini kayaknya mulai lecet-lecet… Pinggangku juga sakit banget kayak ditusuk-tusuk!

Haus. Lari keliling sekolah bikin kerongkonganku terasa sangat kering. Kaki juga jadi pegal-pegal. Aku butuh minum dan istirahat. Dan juga perlu mengeringkan badanku yang penuh keringat. Sumpah, aku nggak betah kalau badan penuh keringat gini.

Kubasuh muka dan leherku di wastafel toilet dekat kantin. Habis itu segera menuju ke kantin. Beli es kelapa muda, minuman paling cocok buat mengembalikan kesegaran!

Aku duduk di bangku beton yang ada di bawah pohon depan kantin. Udara terasa sejuk di sini, keringat pun jadi cepat kering. Beberapa kali aku masih melihat wajah teman-temanku tampak geli saat melihatku.

Sluuurrrpppp… Kusedot esku. Nikmat! Sambil memandangi tiap sisi halaman utama sekolahan ini, yang dalam beberapa hari ini biasanya didominasi pemandangan para senior yang sedang menggojlok yunior kelas satu… kali ini tampak lengang. Tidak ada aktivitas di lapangan. Mungkin acara MOS sedang berada di dalam kelas. Hanya beberapa gerombol saja anak kelas satu yang nongol, itupun di kantin… mungkin sedang istirahat setelah tadi latihan berbaris…

“Hai…” tiba-tiba ada yang memecah lamunanku.

Aku menoleh ke orang yang sudah duduk di sampingku itu, dan… 

FANDY…?!!

“Eehhh… Hai…” sahutku agak gugup.

“Kak Dimas kan…?” dia melanjutkan sapanya.

“Nama kamu Fandy kan?” balasku agak canggung.

Anak itu tertawa simpul. “Iya. Berarti Kak Denis cerita ke Kak Dimas ya…?” ujarnya.

Aku cuma mengangguk pelan, agak kikuk.

“Habis jatuh ya tadi…?” seloroh anak itu.

Ooufhhh… Sialan! Kenapa juga dia nanya yang itu…??? Nggak ada basa-basi yang lain apa?! Bikin malu…!

“Kamu lihat sendiri kan…?” balasku, mencoba bersikap cool. Aku nggak boleh kelihatan gugup! Dan juga nggak boleh kelihatan malu! Bersikap saja seolah nggak pernah terjadi apa-apa.

“Tapi aku nggak tahu kronologisnya… Kok bisa jatuh?” tanya anak itu lagi.

“Kemarin ketemu sama adikku ya?” tanyaku, dengan cuek langsung mengalihkan pembicaraan. Ya, itu lebih penting buat segera diklarifikasi.

“Iya. Waktu Kak Dimas nabrak aku, Kak Denis juga ada kan… Nggak disangka ketemu lagi waktu di ruang BP kemarin. Ngobrol-ngobrol lah jadinya…” sahut Fandy.

“Kayaknya bukan aku yang nabrak, tapi kamu yang nabrak…” kelitku, nggak mau diposisikan sebagai pihak yang salah. Padahal waktu itu jelas-jelas memang mataku yang nggak awas.

“Iya, iya… aku yang nabrak…” ucap Fandy, seolah-olah dia sengaja mengalah.

“Siapa yang ngajak ngobrol, Denis apa kamu?” tanyaku dengan cuek.

“Aku sih… Terus terang aku penasaran, soalnya mukanya Kak Dimas dan Kak Denis mirip banget. Setelah ngobrol-ngobrol, ternyata benar dugaanku… sodara kembar…” ungkap Fandy dengan senyum terkesan.

Cara ngomong Fandy seperti orang yang sudah kenal baik. Aku menggaruk kepalaku dan berpikir-pikir. Sikap sok akrab itu bagus apa jelek sih…? Terus, kalau aku jaim gini… itu juga bagus apa jelek…? Aku kan seniornya dan belum kenal sama dia…? Gimana ya enaknya…?

“Kamu ingat ya sama mukaku, sampai-sampai bisa langsung ngebandingin sama mukanya Denis…? Aku aja nggak gitu ingat sama muka kamu?” balasku masih pura-pura cuek. Padahal sudah jelas, sebenarnya aku sangat penasaran sama anak ini!

“Menurut Kak Dimas, lebih gampang mengingat yang mana: orang yang nolong, atau orang yang ditolong…?” balas Fandy, malah ngasih teka-teki.

“Mungkin orang yang merasa pernah ditolong, lebih mengingat wajah penolongnya… Tapi itu relatif lah, tergantung orangnya juga!” jawabku santai. “Lagian… aku pernah nolong kamu…?”

Fandy tersenyum mengatupkan bibirnya yang merah dan kelihatan lembut itu. “Aku tahu kok, yang nelpon Kak Erik waktu itu Kak Dimas kan? Soalnya aku lihat, pas Kak Erik ngangkat HP, Kak Dimas juga lagi ngangkat HP sambil lihat ke Kak Erik. Habis itu, kelompokku nggak jadi dihukum. Pasti Kak Dimas yang nyuruh kan?” terkanya gamblang.

“Hmmm… Soalnya aku udah nabrak sampai kertasmu berantakan gitu, nggak tega aja waktu Erik mau menghukum kamu… Makanya aku bilang ke Erik. Sebenarnya sekalian buat ngerjain dia juga sih…” gumamku, setengah membayangkan kejadian itu lagi.

“Lhohh…? Tadi Kak Dimas ngotot, katanya aku yang nabrak… Kok sekarang malah ngaku sendiri kalo Kak Dimas yang nabrak aku…?” cetus Fandy.

“Hahhh…? Barusan aku bilang gitu ya?” ucapku langsung jadi bengong sendiri.

“Tapi… Pokoknya makasih lah, udah nolongin kelompokku…” ucap Fandy dengan senyum cerah.

Dengan wajah kalemnya yang manis itu, sifat ramahnya terpancar seperti tanpa beban. Hangat. Membuatku merasa nyaman tiap kali melihatnya… Apalagi kalau sudah tersenyum seperti itu…!

Wajahnya cuma bernilai 7 kalau dibanding Erik yang aku kasih nilai 9. Tapi senyum Fandy itu… dengan bibir merahnya yang kelihatan lembut, dengan wajahnya yang segar dan matanya yang cerah… auranya terasa menyenangkan… mendongkrak nilainya jadi 7,5!

Atau… 8 deh…

Eh, nggak… 8,5…! Fixed.

Inner handsome. Aku rasa… itulah yang benar-benar telah menarikku!

“Kok kamu ada di BP waktu Denis disetrap? Kamu juga disetrap?” tanyaku, mulai mencairkan kekakuanku.

“Iya. Ikat pinggangku warnanya salah…” jawab Fandy lugu.

“Ooo… Ngobrol apa aja sama Denis?”

“Cuma ngobrol soal yang kemarin itu kok, waktu Kak Dimas nabrak aku itu…”

“Denis nyebelin nggak anaknya?”

“Nggak, dia asyik kok. Lucu orangnya. Biasanya orang disetrap gitu kan bawaannya diam, minder… Tapi dia malah ngajak ngobrol terus. Sampai-sampai guru BP-nya juga dibecandain…” cerita Fandy sambil tersenyum lebar. “Tapi Kak Dimas kayaknya lebih kalem ya…?”

Ternyata ujung-ujungnya ngebandingin aku sama Denis, di depanku langsung lagi! Tapi nggak apa-apa, dibilang lebih kalem aku anggap pujian aja. Kalem kan bukan berarti lebih jelek! Mungkin aku memang harus lebih hangat kalau ngobrol, nggak soal jaga image aja yang dipikirin…

“By the way, kemarin kok pakai salam-salaman segala sih?” tiba-tiba aku mengungkit soal itu, seperti tanpa memikirkannya lebih dulu…

Fandy menatapku dengan mimik bingung. “Salam apaan?” dia balik bertanya.

“Kemarin Denis bilang ke aku, katanya… kamu nitip salam…?” jelasku agak ragu.

“Salam apaan ya…? Aku nggak ngirim salam apa-apa tuh…?” Fandy geleng-geleng kepala dengan sorot mata bingung.

Tengkukku mulai dingin. “Tapi kok kemarin Denis bilang, katanya kamu nitip salam buat aku…?”

“Lhohhh…? Nggak… Beneran…! Kemarin aku sama Kak Denis cuma cerita-cerita aja kok, nggak ada salam-salaman…” ucap Fandy dengan mengernyitkan kening.

Keringatku dingin… tapi darahku mulai mendidih! Berarti…

DENIS NGERJAIN AKU…!!!

KURANG AJAARRRRR!!!

“Kenapa, Kak? Kok kayaknya… gimana gitu? Nggak apa-apa kan…?” Fandy menatapku dengan raut agak rikuh.

“Nggak, nggak apa-apa kok…” jawabku, kata-kataku hampir nggak bisa keluar.

“Memangnya salam apaan sih?” tanya Fandy, dengan mimik penasaran.

“Si Denis tuh… Dia bilang katanya kamu nitip salam buat aku! Salam kenal…” ucapku lesu.

“Oohhh… Buat becanda kali?” sahut Fandy. Dia sedikit tersipu. Ya, pasti memang nggak enak juga buat dia, dituduh ngirim salam ke orang…! Sesama cowok lagi…!

“Becandanya kelewatan. Orang nggak kirim salam dibilang kirim salam… Bikin bingung aja!” aku bersungut-sungut sendiri, menutupi malu.

“Ya namanya aja becanda, nggak usah diseriusin…” gumam Fandy ringan. “Lagian, kalo salam kenal ya nggak papa lah… Aku kan udah kenalan sama Kak Denis, mungkin maksud dia biar aku juga kenalan sama Kak Dimas… Kita kan jadi punya bahan buat ngobrol, seperti sekarang…”

“Tapi…” aku menggumam lagi dengan sangsi. “Kalau dipikir-pikir lagi sih, yang nyamperin aku duluan kan kamu? Jangan-jangan sebenarnya kamu memang ngirim salam, tapi nggak mau ngaku…?” aku mulai menyelidik dan menatap Fandy dengan curiga.

Fandy langsung kelihatan gugup. “Ahhh…? Nggak kok…! Kak Dimas kok malah nuduh aku gitu…?”

“Ngaku aja lah…!” aku mulai menyudutkannya dengan sikap jengah.

Fandy terdiam. Raut gundah langsung menguasai wajahnya. Dia tersenyum kecut. “Jujur aja, aku memang mau berteman… tapi sumpah aku nggak pernah nitip salam apa-apa…” ucapnya masam.

Aku diam memalingkan mukaku. Tanpa mengulangi ucapanku, aku tetap bersikukuh bahwa Fandy sebaiknya mengaku saja kalau dia memang mengirim salam untukku!

“Kak Dimas akrab sama Kak Erik ya?” tiba-tiba Fandy melontarkan pertanyaan yang cukup mengejutkanku…

“Yaa… Biasa aja. Kenapa?” aku balik bertanya dengan agak enggan.

“Nggak… kayaknya Kak Dimas akrab aja sama Kak Erik. Kalo nggak akrab, nggak mungkin kan telpon-telponan waktu Kak Erik lagi tugas kemarin? Lagian… Kak Erik kan orangnya galak, kalo nggak kenal baik nggak mungkin Kak Erik nurut gitu aja sama Kak Dimas…”

“Sebenarnya senior-senior yang galak itu cuma pura-pura aja kok. Kalo nggak akting galak gitu, nanti malah diremehkan yunior. Habis MOS nanti pasti keliatan kok, kalo mereka itu sebenarnya baik-baik…” jelasku, kembali ke jalur pembicaraan.

“Kak Erik jadi favorit lho di kelasku…!” celetuk Fandy.

“Nggak heran…” gumamku datar. “Kamu ngefans sama dia?” pertanyaan itu tiba-tiba saja terlontar dari mulutku.

“Yaa… dibanding senior yang lain, aku lebih suka dia…” gumam Fandy.

Aku mengangguk-angguk pelan. “Hmmm… Kalo aku juga jadi panitia MOS, kamu pilih aku ato Erik?”

“Kak Dimas kayaknya lebih baik orangnya… Lucu, ramah, nggak galak…” celetuk Fandy…

Aku langsung melihat malaikat-malaikat kecil bersayap menari-nari di seputar kepalaku sambil menebarkan bintang kerlap-kerlip… Lalu bintang-bintang itu jatuh menjadi bunga-bunga di hatiku… Kepalaku pun sepertinya mulai membesar…

“Tapi kalo senior paling cakep tetep Kak Erik lah, jadi milih dia aja…!”

Byooonggg… Kalimat Fandy yang terakhir langsung mengusir malaikat-malaikatku… Sekarang rasanya gantian ada kodok sebesar kambing jatuh di kepalaku dan bersendawa keras sekali…!!!

“Ya udah, kalo gitu cari si Erik aja sana, ngobrol aja sama dia…!” tukasku.

“Lhoo… Kok Kak Dimas ngambek gitu? Becanda kok…” seloroh Fandy sambil ketawa. “Ya udah aku milih dua-duanya, Kak Dimas sama Kak Erik… Adil kan?”

“Ehhh… Kamu kan cowok, kok idolamu bukan senior yang cewek aja…? Kok kayaknya… Erik terus yang diomongin…?” gumamku, lama-lama menangkap gelagat yang agak ‘mencurigakan’.

Wajah Fandy langsung kelihatan agak bingung. “Kalo aku mengidolakan senior cewek, kesannya aku suka cewek yang lebih tua…” balasnya.

Alasannya masuk akal! Tapi… aku kok masih ragu ya?

“Kamu nggak suka cewek yang lebih tua? Jadi sukanya cowok yang lebih tua…?” aku memancing lagi, lebih berani.

“Kok Kak Dimas nyambungnya ke situ…?” kelit Fandy gugup seperti kena skak.

“Memang arah pembicaraan kita ke situ kan? Tadi kamu bilang aku lebih baik dari Erik, lebih ramah… tapi kamu lebih milih Erik karena dia lebih cakep. Kok… kayaknya kamu suka menilai sesama cowok secara fisik gitu…?” balasku makin menjurus.

“Aku cuma kagum aja kok. Dia orangnya tegas, disiplin… biar galak tapi dia masih termasuk baik orangnya…!” jawab Fandy memberi alasan.

“Baik dan cakep kan…?”

“Jadi Kak Dimas juga menganggap Kak Erik cakep…?”

“Yaaa… Cakep sih…” jawabku dengan nada santai, meski dalam hati rada maksa.

“Jadi buat Kak Dimas sendiri, sah-sah aja kan kalo cowok menilai sesama cowok secara fisik…? Kan juga cuma sebatas kagum aja…?” balas Fandy. Pintar juga dia bikin manuver perdebatan!

“Ya boleh-boleh aja…” akhirnya aku harus mengakui kepandaian Fandy dalam ‘meloloskan diri’ dari cecaran interogasiku.

“Lagian aku kan cuma becanda…?” timpal Fandy lagi.

“Iya, iya, percaya!” sahutku agak geli. “MOS-nya cuma tiga hari kan? Berarti ini hari terakhir ya?” tanyaku, memulai topik pembicaraan yang lain.

“Iya. Besok udah mulai pelajaran. Besok juga udah nggak pakai seragam SMP lagi,” gumam Fandy tampak menyiratkan rasa senang.

Aku melihati penampilan Fandy yang masih pakai seragam SMP. Celana pendek warna biru… Terbayang pada diriku sendiri waktu dulu juga ikut MOS, malu banget masih pakai celana pendek di lingkungan anak-anak SMA yang celananya panjang. Tapi sekarang, begitu aku merasakan posisi sebagai senior bercelana panjang, aku melihat Fandy yang bercelana pendek itu seperti melihat mahluk manis yang polos, imut, lugu.

“Mas…” tiba-tiba ada suara memanggilku.

Aku menoleh, dan kulihat Misha yang berdiri di seberang, agak jauh di pinggir koridor ruang kelas…

“Bentar lagi ganti jam pelajaran lho, kamu nggak ganti baju?” seru Misha dari tempatnya.

“Ooohhh… Iya, bentar lagi!” balasku.

Keasyikan ngobrol jadi lupa sama waktu!

“Ehh… Mis, sini bentar dong…!” panggilku ke Misha.

Misha beranjak dari tempatnya, berjalan menghampiriku. “Ada apa?” tanyanya.

“Tolong ambilin foto dari HP-ku bisa?” pintaku seraya menyodorkan HP-ku ke Misha.

“Mau foto apaan?” tanya Misha.

“Foto aku sama dia nih…!” jawabku sambil menepuk-nepuk bahu Fandy yang sedang duduk di sampingku.

“Lho…? Buat apaan? Malu ahh…” Fandy mencoba menolak.

“Nggak papa, buat kenang-kenangan aja…!”

“Nggak, nggak… Aku kan masih pakai seragam SMP!”

“Justru itu tujuannya! Besok kamu udah nggak pakai seragam itu lagi…!” tandasku.

Dengan agak ragu, akhirnya Fandy mau juga. Secara terpaksa.

“Agak jauh dikit, Mis… Biar keliatan sampai kaki…!” aku mengarahkan Misha yang kusuruh mengambil foto.

Misha mencari angle, aku sama Fandy duduk manis di atas bangku beton sambil berusaha pasang muka yang kira-kira enak dilihat. Dan nggak lama kemudian… Crrkkk… Kamera dijepret!

“Sippp! Thanks ya, Mis…!” seruku.

Misha menyerahkan HP-ku lagi. Dan dengan bersemangat aku langsung melihat hasil fotoku sama Fandy.
“Nih, lihat…! Bagus kan?!” sodorku, ngasih lihat foto itu ke Fandy.

Fandy cuma tersenyum saja melihat foto itu.

“Ya udah. Aku cabut dulu ya, Fan… Lain kali kita ngobrol lagi!”

“Iya deh. Aku bentar lagi juga ganti sesi…” jawab Fandy disertai senyum simpul.

“Oke! See you next time…” sahutku.

Aku dan Fandy berpisah. Aku melangkah meninggalkan bangku di bawah pohon itu. Mengembalikan gelas sebentar ke kantin dan membayar minumanku. Lalu mulai berjalan ringan menuju ke kelas, bersama Misha.

Sesaat aku menoleh lagi ke bangku itu. Fandy masih di sana… Dari tempatnya, dia tersenyum padaku. Aku juga membalas senyumnya. Perkenalan yang berkesan…

“Siapa tadi?” sambil jalan Misha bertanya.

“Teman…” jawabku singkat.

“Iya tahu, kalo bukan teman masa ngobrol-ngobrol sih? Maksudku… dia kan kelas satu, kalian kenal di mana?”

Misha rupanya bukan penanya yang bodoh. Dia tahu bagaimana seharusnya sebuah pertanyaan dijawab…!

“Dia sepupuku…” jawabku berbohong.

“Ooo…” gumam Misha sambil mengangguk-angguk. “Dia cute juga…” celetuknya.

“Kamu suka…?!” tukasku.

“Nggak ahh… Takut rebutan sama sepupunya…!” cibir Misha sambil tersenyum.

A… apaa…???


REBUTAN…?!!!





***





Keranjang 28
Berantem







Bukkk…!

“Aduh…!” aku langsung terbangun gelagapan saat sebuah gebukan dijatuhkan ke kepalaku. Setengah sadar, sambil mengucek mata kulihat Denis sedang berdiri di dekat tempat tidurku. Dia pasang muka marah sambil memegang gulingku di tangannya.

Lalu guling itu mendarat lagi di kepalaku… Bukkk!

“Apaan sih, Nyet…?! Gangguin orang tidur!” umpatku kesal.

“Sialan lu…! Itu komputer gue lu kasih apaan?!” bentak Denis.

“Hahh…?” aku bengong mengingat-ingat. Lalu menguap lebar. “Apa sih? Lupa…”

“Lu pasang gambar najis tuh di desktop gue!” sentak Denis uring-uringan.

Aku mengingat-ingat lagi… Tadi pulang sekolah, Denis mampir ke rumah temannya, aku pulang sendiri… Terus aku… ke kamarnya Denis… main komputer… Ohhh iya…! Aku tadi pasang wallpaper gambar om-om telanjang di komputernya Denis…

“Maksud lu apaan?! Untung Papa sama Mama nggak ngecek… bisa mampus gue!” Denis ngomel sambil melotot.

“Iseng…” gumamku sambil menguap lagi.

“Kelewatan lu isengnya! Mau muntah gue lihatnya…!”

“Habisnya kamu usil duluan…”

“Gue usil apaan…?!!”

Kurebut gulingku, dan… Bukkkk! Ganti kusambitkan ke Denis…!

“Kemarin kamu bilang Fandy ngasih salam, itu apaan coba? Kamu bohong kan?! Itu nggak usil?!” sekarang gantian aku mulai marah.

Denis langsung bengong.

“Kenapa bengong?!” aku gantian membentak.

“Lu udah ketemu dia…?” tanya Denis. Sekarang dia ganti berlagak pilon!

“Nggak cuma ketemu, aku udah kenalan sama dia! Sampai malu aku sama dia…!”

“Kenapa malu…?”

“Jelas aja malu, Monyong! Aku tanya ke dia, tapi dia bilang nggak pernah ngirim salam apa-apa! Dia pasti ngira aku kege’eran sama dia!”

Tiba-tiba Denis malah ketawa sambil nunjuk mukaku…

“Malah ketawa?!” seruku gondok, kusambitkan lagi gulingku ke mukanya… tapi Denis berhasil menangkap dan merebut gulingku lagi, dan…

Bukkk! Denis balik menggebukku sambil terbahak-bahak…

“Lu yang konyol! Kenapa juga ditanyain ke dia?! Kalo ada salam tuh dibalas, bukan dibahas! Yang ada malah dianya malu buat ngaku! Payah lu…! Hahahaha…”

Denis keluar dari kamarku sambil ketawa cekikikan. Ninggalin aku yang bengong dalam keadaan menahan emosi… Nggak habis pikir, dia yang bohong tapi malah ngatain aku payaahhh???

Sudah sampai di ambang pintu, Denis menengok lagi padaku. “Tapi gue emang bohong sih, Mas… Jadi impas ya! Awas kalo macam-macam lagi sama komputer gue!” cetusnya meledekku. Lalu dia menghilang di balik pintu.

Kuremas gulingku, kutinju-tinju, kubanting-banting… Kesal! Sengit! Ujung-ujungnya bilang impas, padahal udah gebuk-gebuk kepalaku sampai kebangun gini! Lain kali pasti aku kerjain lagi tuh anak! Nggak urusan sama ancamannya!





***





Keranjang 29
Diskusi Di Perpus







Jam istirahat pertama, aku meninggalkan kelas dan berjalan menuju perpus. Ada buku yang harus kucari buat bahan tugas pelajaran Sejarah. Buku Sejarah Nasional Indonesia. Aku ingat bukunya super tebal, dan kayaknya perpus nggak punya banyak stok buku babon seperti itu. Lebih baik aku lekas cari sebelum kehabisan.

Kebetulan perpus nggak begitu ramai. Jadi bisa leluasa hunting dari rak ke rak, ngoprek-ngoprek buku tanpa rebutan dengan anak lain. Dan… Ketemu juga buku yang aku cari! Buku Sejarah Nasional Indonesia jilid II yang sama tebalnya dengan novel Harry Potter…!

Segera kubawa buku di tanganku ke meja petugas, mengurus peminjaman. Selagi menunggu bukuku selesai dicatat oleh petugas perpus, aku melirik kesana kemari. Ruangan agak lengang, cuma ada beberapa anak dan sepertinya rata-rata anak kelas satu…

Ooohhh… Dan salah satunya adalah Fandy.

Begitu bukuku selesai dicatat oleh petugas, aku segera menghampirinya. Dia lagi asyik membaca di salah satu meja, di deretan yang agak longgar. Memisah dari anak-anak lainnya. Sepertinya dia juga nggak menyadari kedatanganku…

“Dor!” aku menepuk pundak Fandy.

“Ehhh!” Fandy menoleh agak kaget. Dia juga langsung buru-buru menutup buku yang dia baca. Satu telapak tangannya menutupi sampul buku, yang lain menyisip ke dalam halaman yang tadi dia baca.

“Hayo, hayoo… Baca apaan tuh?!” selidikku langsung curiga.

“Nggak apa-apa…!” kelit Fandy.

Aku mengambil kursi dan duduk di sebelah Fandy. Dia melihatiku dengan wajah agak grogi. Aku jadi tambah curiga…

“Kayaknya kamu baca yang enggak-enggak tuh, sampai grogi gitu…?” sentilku.

“Enggak-enggak apanya?” Fandy masih berkelit.

“Kenapa bukunya pakai ditutupin segala? Porno ya?”

“Mana ada buku porno di sini?!”

“Siapa tahu bawa sendiri…?” celetukku. Lalu nekat kuangkat tangan Fandy yang menutupi sampul buku itu. “Coba lihat!”

Dan terlihatlah judul buku itu: ‘Pendidikan Seks Untuk Remaja’!

“Halahh…! Hahaha… Nggak jauh-jauh juga ternyata!” aku langsung ketawa.

“Huhh… Dasar jahil!” gumam Fandy kelihatan kesal sekaligus agak malu.

“Ngapain malu-malu segala?! Biasa aja kali…! Kamu baru akil baliq?” godaku.

Fandy merengut jutek. “Memangnya kelihatannya gimana?”

“Hmmm…” aku memandangi muka Fandy yang mulus dan agak tersipu itu. “Kayaknya belum tuh… Masih culun…!”

“Kak Dimas sendiri juga culun…!” balas Fandy cuek.

Aku tertawa geli melihat raut muka Fandy yang jadi lucu kalau sedang cemberut.

“Soalnya kamu tuh…” gumamku sedikit ragu… dan akhirnya nggak jadi meneruskan ucapanku…

“Aku kenapa?” gumam Fandy, memandangiku dengan sorot matanya yang polos…

“Kamu… hhmmm…” aku jadi bingung sendiri buat meneruskan kata-kataku. Spontanitas yang menjerumuskan… Aku malah jadi kikuk sekarang!

“Kenapa sih?” Fandy malah makin penasaran.

“Kamu itu… menyenangkan…” gumamku pelan. Ahhh, lepas juga kalimatku… Jujur tapi tetap tersirat. Nggak lugas!

Fandy tertawa pelan mendengar ucapanku. Nggak berkomentar. Tapi sepertinya dia jadi… agak… emmhhh… mungkin dia juga malu, karena aku baru saja menyanjungnya… Makin lama, memang kayaknya sikapku makin menjurus…

Perlahan Fandy mulai membuka halaman bukunya lagi, yang dari tadi dia sisipi dengan telapak tangannya. Mataku juga ikut menuju ke isi halaman itu…

“Lho… Baca soal itu…?” gumamku. Mau nggak mau jadi ketawa lagi.

Fandy langsung menutup bukunya lagi, seolah-olah tadi dia nggak sadar waktu membukanya.

“Kamu belum pernah…?” kulikku iseng.

“Ngapain sih diomongin?” tukas Fandy dengan gaya ngeles. Dan sedikit malu.

“Kalo udah ya normal-normal aja…” gurauku dengan tawa geli.

“Terus Kak Dimas sendiri termasuk normal apa nggak?!” Fandy ganti membalasku dengan cuek.

“Aku…? Kelihatannya gimana?” gantian aku memancing.

Fandy sekarang tersenyum-senyum. Sorot matanya jadi jahil…

“Kelihatannya sih… Maniak!” cetus Fandy.

“SIALAN!!!” umpatku, menabok pundaknya dengan buku tebalku.

“SSSTTTTTTTT…!!! Jangan berisik!” tiba-tiba petugas perpus melongok ke arahku dan menegur dengan wajah sengak.

“Tuh… Dimarahin kan?!” bisik Fandy.

Kulihat anak-anak lainnya ikut menoleh ke arahku. Segera kupalingkan mukaku. Begini nih akibat ngomong nggak lihat-lihat situasi…! Habisnya spontan aja tadi…

“Kamu juga sih! Enak aja nuduh…!” ucapku ngedumel.

“Kalo bukan maniak, ngapain interogasi orang lain segitunya?” kilah Fandy dengan raut geli. Senang bisa membalasku!

“Ah, ngeles aja dari tadi! Udah lanjutin aja baca bukunya, nggak usah sok malu-malu!” sungutku geregetan.

Fandy ketawa cengengesan. Akhirnya dia buka lagi halaman yang dari tadi dia tutupi. Dan mulai membacanya lagi.

“Kok di buku ini, dianggap nggak wajar ya?” celetuk Fandy kemudian. Bisik-bisik, dengan raut sungkan dan malu-malu.

“Nggak wajarnya gimana?” aku balik bertanya. Sebenarnya canggung juga sih ngomonginnya…

“Definisinya dijelasin, ‘mengeluarkan sperma dengan tidak sewajarnya’… Berarti dianggap nggak wajar kan?”

“Emmhhh… Yang ngarang bukunya pasti berpendapat kalo sperma harusnya dikeluarin cuma melalui hubungan seks, atau lewat ‘wet dream’ aja. Yang lainnya, dianggap bukan cara alami. Tapi… aku nggak setuju sih kalo itu dianggap nggak wajar…” tandasku. Sedikit agak malu membahasnya.

“Nggak setujunya kenapa?”

“Kayaknya tiap orang tuh kalo udah puber pasti punya dorongan seksual, dan itu butuh disalurkan! Kenyataannya tiap orang belum tentu punya pasangan. Jadi… mungkin itu memang nggak alami, tapi nggak alami bukan berarti nggak wajar…”

“Nggak alami bukan berarti nggak wajar…?” Fandy merenung-renung, mengulang kalimatku. Lalu dia tersenyum agak blushing. “Iya juga sih… Ibaratnya, ada orang sakit yang harus minum obat… dan obatnya adalah obat yang sering diiklankan di TV itu, obat yang dibikin di pabrik dengan bahan kimia buatan. Jadi nggak alami. Tapi meskipun itu bukan obat alami, masa kita mau menyebut orang minum obat sebagai sesuatu yang nggak wajar?”

Aku tertawa mendengarnya. “Logis! Ya, selama nggak pakai cara yang aneh-aneh dan nggak kecanduan, maka harusnya tetap dianggap wajar!” komentarku, terkesan sama pendapat Fandy. “Bagus juga kamu bikin perbandingan!”

“Ayahku dokter…” sahut Fandy.

“Ooo…” aku terpana. “Pantesan, tahu soal obat…”

Fandy cuma tersenyum tipis. Lalu dia kembali fokus membaca bukunya tanpa suara. Aku diam dengan tenang menemaninya. Kulipat tanganku di atas meja, kuletakkan daguku di atas lenganku. Berdua berbagi bilik meja yang nggak terlalu besar ini.

Atmosfer ruang perpus terasa tenang dan lengang. Suasana seperti ini… adalah suasana yang bisa dengan mudah menidurkanku… Kepalaku sudah mulai berat rasanya. Dekat di sebelah Fandy, aroma tubuhnya yang segar dan lembut terhirup hidungku, masuk ke syaraf-syarafku…

Apakah ini chemistry? Reaksi kimiawi yang rumit, tapi menghasilkan satu hal sederhana: perasaan nyaman saat berada di dekatnya…


“Kak…?”


“Kak Dimas…?”


Suara Fandy terdengar lamat-lamat. Kemudian makin jelas… membuatku…

Aku terperangah dan seketika mengangkat kepalaku… Sadar sepenuhnya, terlihat jelas aku sedang berada di mana. Ruangan besar dengan banyak rak berisi buku, deret-deret meja baca yang tenang, beberapa anak yang sedang membaca tanpa suara…

Aku masih di sini, di perpus… Berapa lama aku tertidur…?

“Kok bisa sampai ketiduran?” Fandy tersenyum heran.

Aku masih agak gugup. “Iya… Nggak nyadar, nggak terasa… Tiba-tiba aja ketiduran…”

“Kurang tidur ya semalam?”

“Nggak juga… Suasananya aja yang… sleepy banget…” gumamku sedikit kikuk. Kulirik jam tanganku, ini masih di jam istirahat… Tidurku jelas cuma beberapa menit, tapi rasanya aku benar-benar hanyut…! Ya ampun! Bisa-bisanya aku ketiduran?!

“Cari wastafel dulu sana, cuci muka…!” ujar Fandy sedikit mengolokku.

“Nggak usah. Aku udah cakep kok…” celetukku cuek.

Fandy tersenyum lagi memamerkan gigi putihnya. “Terserah lah. Aku mau balik ke kelas nih… Sebentar lagi udah selesai jam istirahatnya…” ujarnya sambil menutup buku yang tadi dibacanya.

“Ya udah, sekalian aja. Aku juga mau balik ke kelas,” sahutku masih setengah bengong.

“Tapi aku mau ke petugas sebentar, bukunya mau aku pinjam,” ujar Fandy.

Aku mengangguk. Kami berdua segera beranjak dari tempat duduk, melangkah ringan menuju ke meja petugas. Aku menunggu Fandy mengurus peminjaman bukunya. Nggak lama. Lalu kami pun melanjutkan langkah, keluar meninggalkan perpus.

“Oh, iya, besok Sabtu ada pensi inagurasi MOS. Kak Erik katanya mau nyanyi lho…” cerita Fandy sambil jalan.

“Paling-paling sama band-nya. Band-nya Erik kan official band di sekolah ini. Paling dia dapat jatah nyanyi paling banyak nanti…” sahutku acuh.

“Gitu ya? Pasti suaranya bagus ya?” celetuk Fandy.

“Yaa… gitu lah…” komentarku agak malas.

“Memangnya band-nya cuma satu aja?” tanya Fandy lagi.

“Nggak juga sih. Ada banyak yang ngeband di sini. Tapi yang jadi official band ya cuma band-nya Erik. Dapat pembinaan, fasilitas, jatah latihan tetap, terus kalo ada event antar sekolah biasanya dipakai buat perwakilan…” jelasku agak panjang.

“Wah, enak banget…! Tapi kok kesannya jadi nggak adil gitu ya? Jadi seperti… di-anakemas-kan…”

“Nggak juga sih. Band-nya Erik itu kan bentukan lewat audisi. Personelnya udah pilihan semua. Di sini tiap tahun pasti ada audisi personel band. Soalnya personel yang kelas tiga udah nggak boleh ikut lagi, jadi harus ada audisi buat regenerasi. Kamu mau ikut ngeband?”

“Nggak kok… Aku nggak pinter main musik. Cuma suka dengerin sama lihat aja…” ucap Fandy sambil nyengir.

“Tapi sebenarnya pingin nggak?”

“Ya pingin lah! Misalnya bisa ikut audisi, misalnya lolos… kayaknya asyik ngeband sama Kak Erik… Band-nya pasti keren!” gumam Fandy dengan wajah cerah, berandai-andai.

Begitu aku dengar jawaban Fandy, ada rasa… entahlah… Kayaknya Fandy begitu memuja Erik. Terasa dari jawabannya tadi. Aku… agak kecewa. Tapi nggak mungkin juga aku ngelarang-larang dia. Memangnya aku siapanya dia?

Saat pertama kali kenalan, aku tahu Fandy mengagumi Erik. Saat itu aku nggak terlalu memikirkannya. Tapi sekarang…? Oohh… Apa aku sedang cemburu…???

“Aku belok sini ya, Kak…” cetus Fandy.

“Fan…” cegahku sesaat.

“Kenapa?”

“Ummhh… Kalo manggil aku, nggak usah pakai ‘Kak’ bisa…?”

“Terus…?”

Aku tersenyum tipis. “Langsung namaku aja… Dimas!”

“Ahhh… Nggak enak lah, Kak Dimas kan lebih tua…?”

“Kita ini selisih umur berapa sih? Paling cuma setahun! Nggak usah terlalu formal lah…!”

“Hmmm… Oke. Aku panggil ‘Mas’ aja. Itu bisa berarti ‘Dimas’, tapi juga bisa berarti… hehe… tahu sendiri lah!” jawab Fandy dengan senyum cerdik, dengan rautnya yang menggemaskan!

Aku tertawa sambil meninju pelan bahu Fandy. “Aku tetap akan anggap itu namaku…!”

Fandy tersenyum nyengir. “Ya udah, Kak… ehhh… Sorry…! Mas… hehehe… Aku belok sini ya…?!” celetuknya.

“Oke, deh… See you.” sahutku menahan rasa gemasku.

“Sippp!” balas Fandy sambil mengacungkan jempolnya. 

Kupandangi perginya Fandy sampai sosoknya hilang di tengah kerumunan anak-anak lainnya.

Apa aku bisa menyebut perasaan ini sebagai…

Cinta…?

Sudahlah! Dijalani saja dulu, apa adanya…! Baru dua hari mengenalnya, terlalu dini kalau aku membuatnya rumit!

Bel tanda berakhirnya jam istirahat, terdengar menggema dari sudut-sudut sekolahan. Langkahku mengayun ringan menuju ke kelasku…

“Kamu dari mana aja?” Misha menyambutku dengan pertanyaan begitu aku sampai di tempat dudukku di kelas.

“Kenapa?”

“Tadi ada yang nyariin kamu. Kamu jadi Most Wanted!”

“Haa…? Most Wanted?” aku sedikit tertegun.

“Kamu tadi dicariin di kelas, terus di kantin, habis itu dicariin di kelas lagi…! Kamu kemana aja? Nyamperin anak baru yang kemarin itu ya?” cerocos Misha.

“Sembarangan! Aku dari perpus kok. Nih, habis pinjam buku!” tukasku sambil menjebleskan buku Sejarah Nasional Indonesia yang tebal itu ke atas meja. Tapi tebakan Misha memang nggak 100% salah sih, aku kan memang habis nyamperin Fandy di perpus! “Memangnya siapa yang nyariin aku?” tanyaku penasaran.

“ANITA…! Tahu kan?”

“ANITA…??? Ngapain dia nyariin aku…?” kali ini aku langsung grogi, firasatku langsung nggak enak. Aku mau diapain nih…??? Jangan-jangan…

“Jam istirahat kedua, dia mau nyariin kamu lagi…!” pesan Misha dengan nada menakut-nakuti.

Tolong beri tahu aku… AKU HARUS SEMBUNYI DIMANA…???!!!





***





Keranjang 30
Di Ruang Masa Lalu...







Jam istirahat kedua, saat-saat genting dimana aku harus segera meninggalkan kelas, cari tempat buat sembunyi! Nggak mungkin ke kantin, jelas gampang ketahuan kalau aku ngumpet di sana. Perpus? Tadi aku belum dicari di sana, jadi spekulasiku mengatakan besar kemungkinannya perpus akan jadi target lokasi pencarian berikutnya!

Di tengah langkah yang bingung dan terburu-buru, ide tempat persembunyian yang tercetus di benakku adalah… sebuah tempat yang nggak mungkin dipakai kalau jam sekolah belum usai! Sebuah tempat yang biasanya sepi di jam-jam segini… karena nggak mungkin ada yang ngeband di sana! Ya. Studio Musik!

Aku sampai di depan ruang studio, dengan sedikit mengendap-endap kubuka pintunya. Aku cukup tahu situasi di sini karena dulu aku pernah menjadi salah satu pengguna aktif ruangan ini, ya… waktu aku masih ngeband sama Erik. Jadi aku juga tahu kalau pintu ruangan ini jarang sekali dikunci, hampir nggak pernah!

Ruang studio ini dibagi tiga bagian. Ruang tunggu ada di bagian paling depan, ruang kontrol dan ruang latihan ada di sebelah dalam. Cuma bagian ruang kontrol dan ruang latihan saja yang selalu dikunci kalau sedang nggak ada band yang latihan. Kalau ruang tunggu ini, biasanya baru dikunci kalau jam sekolah sudah usai dan nggak ada yang latihan band. Di sinilah aku sekarang, duduk di ruang tunggu yang suram, agak pengap, di sofa yang sudah agak butut. Sendirian. Lengang dan was-was…

Anita. Dia orang yang harus kuhindari saat ini! Dia adalah wartawan Mading di sekolah ini. Entah ada berapa wartawan Mading di sekolah ini, tapi semua murid di sini pasti setuju kalau Anita adalah yang paling eksis! Pencari berita yang ambisius. Suka menjadikan gosip ataupun isu personal orang lain sebagai komoditas Mading-nya. Ibarat kucing mencium bau ikan, setiap berita heboh di sekolah pasti bakal dia buru habis-habisan buat bahan beritanya!

Dia nggak akan terang-terangan menulis soal gossip atau isu personal seseorang di Mading-nya, dia cukup cerdik atau lebih tepatnya licik untuk memolesnya menjadi wacana yang lebih ‘sopan’. Ya, mana mungkin dia akan terang-terangan menggunjingkan orang di media milik sekolah?! Mungkin nggak semua anak di sekolah ini peka dengan hal itu, tapi aku mencermatinya! Aku masih hafal dengan track records-nya, yang bagiku adalah bad records…!

Suatu ketika dia pernah menulis wacana tentang bahaya free sex. Awalnya membahas sisi ilmiahnya, dampak-dampak negatif dari berbagai segi. Ya, tampak seperti sebuah artikel yang berbobot. Tapi di akhir narasi ternyata dia juga menulis, kurang lebih: “Salah satu teman kita sudah mendapat pengalaman buruk dari free sex, so jangan ikut-ikutan…!” Dan dengan kalimat seperti itu, gampang banget buat menebak siapa yang sedang disinggung, karena waktu itu ada siswi kelas dua yang hamil di luar nikah dan akhirnya dikeluarkan dari sekolah! Aku mengibaratkannya seperti tombak, sisi ilmiahnya adalah gagang yang bisa dipegang tapi pada kesempatan yang sama mata tombaknya menusuk salah satu dari teman kami sendiri. Aku bukannya sok suci, tapi secara pribadi aku nggak bisa menyetujui sikap seperti itu!

Contoh lain, dia juga pernah menulis tentang bahaya narkoba. Sama, sebuah artikel ilmiah yang berbobot, pada kesan awalnya. Ujung-ujungnya mucul juga ‘pesan moral’: “Kita harus belajar dari pengalaman nyata salah satu teman kita yang hampir meninggal karena overdosis, jangan coba-coba…!” Anita memang nggak menyebut nama, tapi semua orang di sekolah ini pasti dengar dan tahu berita apa yang sedang hangat digunjingkan waktu itu, yaitu salah satu murid yang saat itu masuk rumah sakit dan hampir meninggal karena overdosis. Aku sangat tahu…! Dia adalah: BEN… anak yang sekarang jadi teman baikku! Pembaca mengambil hikmahnya, tapi bukankah di saat yang sama menohok perasaan orang yang mereka gunjingkan? Nggak adil buat Ben…!

Aku bisa membayangkan posisi Ben di tengah berita tentang dirinya itu. Begitu juga siswi yang hamil itu… Karena aku sendiri sudah merasakan seperti apa sakitnya diolok-olok. Nggak ada orang yang sempurna, bahkan melihat kelemahan orang lain itu hal yang lebih mudah daripada merenungkan kelemahan diri sendiri! Tiap orang bisa jatuh pada suatu kesalahan. Apa menggunjingkan, mengolok-olok, terlebih lagi membuat gosip adalah hal yang lebih berperasaan? Lebih bermoral…?

Dan di situlah letak masalahku sekarang. Anita sampai mencariku, jelas ada hubungannya dengan bahan berita! Berita heboh apa yang ada hubungannya denganku? Aku mungkin bisa menduganya… tapi aku nggak mau membayangkannya! Feeling-ku tetap mengatakan ini bukan tanda yang baik…!

Di ruang studio yang sepi senyap ini, dengan terpaksa akan kuhabiskan jam istirahat keduaku. Kutahan perutku yang lapar. Akhirnya hari ini nggak ada waktu buat mengisi perut di kantin… Demi bisa menghindari Anita. Pokoknya aku nggak mau berurusan dengannya!

Ckreekk…

Tiba-tiba… gagang pintu bergerak… Aku terkesiap dan jantungku berdesir kencang seketika. Pintu itu dibuka dari luar… dan seseorang masuk ke dalam… Aku mendapati sosoknya di depanku. Aku makin terkesima. Ya Tuhan…

“Dimas…? Ngapain di sini?” dia menyapaku dengan wajah kagetnya.

Aku pun belum berhenti bengong dalam kegugupanku menghadapi kedatangannya…

“Halo…?” dia mengerling mengintip mukaku, mengulang sapanya dengan mimik heran.

“Eh… Aku cuma main aja kok, Rik…” jawabku kikuk dan enggan.

“Main? Mau ngeband?” tanya Erik masih tampak heran.

“Nggak, nggak… Cuma mampir aja di sini…” tandasku gugup.

Damn! Kupikir Anita yang telah menemukanku! Ternyata… yang datang adalah orang yang nggak kalah mengejutkanku! Aku jadi gugup dan bingung, harus bagaimana berhadapan dengan Erik di sini…? Berdua di ruang yang lengang ini…?!

“Oohh…” cuma itu yang digumamkan Erik. Dia juga kelihatan canggung bertemu denganku di tempat ini.
Kulihat tangan Erik menggenggam seikat kunci, lalu dia mulai membuka pintu ruang latihan. Terbuka, Erik masuk ke dalam. Aku nggak heran, anak band kesayangan sekolah seperti dia pasti gampang mendapatkan kunci ruangan ini.

Berangsur-angsur aku mulai mengendalikan kegugupanku. Yaa… Dia orang yang kukenal, dan dia juga orang yang mengenalku. Masa lalu di antara kami memang sebuah beban bagiku. Tapi bukan berarti aku nggak bisa mengatasinya. Bagaimanapun kami telah bertemu di sini, tanpa sengaja. Aku harus bisa menghadapinya!

Perlahan aku beranjak dari tempat dudukku, menyusul masuk ke ruang latihan. Kulihati ruang latihan yang dipenuhi alat-alat musik, dengan udara lembab dan cuma diterangi satu lampu neon yang masih menyisakan suasana suram. Segera terbayang, aku dulu pernah latihan di tempat ini… saat aku masih satu band dengan Erik… Sudah lama sekali. Dan sekarang aku berada di sini lagi, bersama Erik lagi. Berdua, cuma berdua…

“Mau latihan, Rik?” tanyaku basa-basi, meredakan ketegangan.

“Nanti habis sekolah. Ini cuma ngecek alatnya dulu aja…” jawab Erik sambil sibuk memeriksa alat-alat yang ada di dalam ruang latihan.

“Latihan buat pensi Sabtu besok ya?” lontarku lagi.

“Yup. Buat acara inagurasi MOS…” sahut Erik.

Aku manggut-manggut. Kulirik gitar akustik yang ditaruh di sudut ruang. Kuambil gitar itu. Sambil duduk di kursi aku memetiknya pelan-pelan.

“Kamu nggak pernah ngeband lagi?” tanya Erik, masih sambil memeriksa alat-alat.

“Nggak. Sama kamu dulu, itu pertama dan terakhir…” gumamku dengan tawa masam.

“Kenapa nggak ngeband lagi, sama yang lain?”

“Yaaa… aku masih suka musik, tapi kayaknya nggak ada mood lagi buat ngeband…”

Erik lalu duduk di atas box ampli, sambil memandangiku. “Kamu ngeband cuma… karena aku…?” tanyanya dengan raut sayu.

Aku menatap Erik, dan berusaha setegar mungkin untuk tetap menatapnya. “Kamu… mau bicara soal masa lalu…?” aku balik bertanya, dengan tawa masam lagi.

Erik kelihatan ragu. Bibirnya menekan-nekan seolah susah buat bicara. Kulihat dirinya itu… Badan tegapnya, rambut spike-nya, dan wajah tampannya. Erik yang dulu mengesankan di mataku karena kepribadiannya yang selalu kelihatan cool, fresh dan chic… entah kenapa sekarang dia terlihat lebih muram…? Sorot matanya sudah berubah, seperti memancarkan jiwa yang letih dan kusut. Dulu dia nggak pernah terlihat sepayah ini.

Apa dia memang sudah berubah? Atau cuma perasaanku sendirilah yang berubah? Termakan rasa kecewa atas sikapnya, membuatnya terlihat nggak lagi seindah waktu aku masih memujanya?

“Kamu nggak lupa kan, kalo dulu aku dikeluarkan dari band justru karena bisanya cuma main akustik…? Dulu aku dikeluarkan?”

Erik tersenyum pahit. “Menurutmu itu salahku atau bukan, kalo kamu nggak pernah ngeband lagi karena satu-satunya alasanmu ikut band cuma buat mendekati salah satu personelnya?” balasnya.

Aku sedikit tertegun. Tertampar. “Bukan salah kamu. Tapi aku juga nggak mau disalahkan. Sesuatu bisa membuat seseorang… jadi bersikap naif…!” desahku pahit.

“Sesuatu…?” gumam Erik.

Aku terdiam nggak menanggapi bagian yang diulangnya. Dia pasti sudah tahu maksudku.

“Memang kadang susah. Nggak cuma saat kita mencintai orang lain. Dicintai, kadang juga bikin serba salah…” gumam Erik dengan sedikit tertunduk.

“Yah, begitulah masa lalu kita. Dan sebenarnya aku nggak mau mengungkitnya!” ucapku gundah.

“Aku tahu… Aku bisa menerima kalo sekarang kamu membenciku…” ucap Erik dengan sorot mata lesu.

“Aku nggak benci kamu! Udah, please, jangan bahas itu lagi!” cetusku makin jengah.

Ya ampun… Kenapa dia ingin mengungkit masa lalu itu? Aku nggak benci dia, nggak semudah itu berbalik dari cinta jadi benci! Tapi terus terang aku juga belum bisa berhenti merasakan kekecewaanku, sakit hati karena sikapnya dulu…! Dan dia harusnya juga tahu itu!

Kami berdua terdiam. Persaanku sendiri rasanya makin senjang darinya. Rasanya ini bukan pertemuan yang bisa kuhadapi, nggak bisa kalau cuma untuk mengungkit ingatan-ingatan yang pahit itu! Kuletakkan gitarku. Aku ingin pergi dari tempat yang salah ini…!

“Sorry, Rik… Aku duluan…” pamitku pada Erik tanpa melihat padanya, dan tanpa menunggu jawaban.

Aku melangkah meninggalkan ruangan, menuju ke pintu keluar. Kuhadapi pintu ruang depan, kupegang gagangnya dan segera menariknya…

Ckrkkkk…

Pintu terbuka, tapi harapan untuk keluar dari ruang musik ini seketika pupus begitu yang kutemui di hadapanku adalah… Cewek jangkung berambut kriwil, berbando merah dan berkacamata bundar, yang tertawa meledak tepat di hadapanku…!

“DIMASSSS…!!! Thank you udah buka pintu sebelum aku ketuk! Good sign for me! Kita udah ketemu jadi jangan bilang kamu nggak punya waktu sekarang!” seru cewek itu seraya menyeruak masuk dan menyeret tanganku.

“Anita!!! Aku memang nggak punya waktu!” protesku disela-sela rasa kaget yang belum hilang.

“Cuma orang malas yang selalu bilang nggak punya waktu! Sini, kita ngobrol sambil duduk…!” cerocos Anita, dia duduk di sofa sambil menarik tanganku buat ikut duduk. Dia langsung menyiapkan blocknote dan pulpen di tangannya. Dan masih ditambah lagi, mini recorder!

BENCANA!!! Mau pergi dari Erik, malah disusul mahluk infotainment ini! Mampus!!!

“Kamu mau cari berita kan?!! Sorry, pokoknya sorry banget, aku nggak mau dijadiin bahan berita di Mading kamu!!!” aku langsung melakukan penolakan habis-habisan!

“Kenapa nggak mau?”

“Pokoknya nggak mau!”

“Tanpa alasan? Invalid! Kamu nggak bisa menolak gitu aja, aku udah cari kamu kemana-mana dan orang-orang juga butuh pencerahan?!!”

“Apaaa…??? Pencerahan apaan? Lihat matahari sana, cerah!”


“Metafora yang bagus! Mading, itulah ‘matahari’nya! Memberi wacana itu tugas mulia, buku pelajaran nggak cukup, dunia berputar dan berkembang tiap hari! Nggak ada orang hidup tanpa berita dan wacana!”

O My God, Anita ini ngomong apaan?!!!


“Wacana ilmiah itu mulia, tapi gosip itu nista! Tulisanmu tuh ujung-ujungnya gosip! Wacana mulia apanya?!” dampratku tanpa tedeng aling-aling.

Mata Anita mendelik seketika. Mulut cerewetnya sejenak bungkam…

“Kamu nggak bisa seenaknya menuding tulisanku gossip…!!!” suara Anita tiba-tiba meledak.

“Terserah. Fakta di lapangan, orang habis baca berita kamu pasti ngegosip!”

“Beritaku ilmiah! Asal tahu ya, kalo niatku cuma bikin gosip aku nggak perlu repot-repot cari narasumber langsung dari orang yang bersangkutan, aku cukup dengar sana dengar sini, tulis, selesai jadi berita burung! Aku nggak perlu repot-repot cari kamu di kelas, di kantin, di perpus, di toilet, dan kecapekan sampai studio ini cuma buat dengar kamu bilang tulisanku adalah gosip!!! Aku menulis dengan tanggung jawab!” pekik Anita dengan suara cemprengnya.

Aku melongo… Aku seperti baru saja melihat tukang obat nyasar di sekolah ini… Anita tadi ngomong apaan sih…???

“Apa? Masih mau bilang tulisanku gosip?!!” Anita melotot.

“Kalo akhir dari tulisanmu cuma buat bilang: kita harus belajar dari teman kita yang bla bla bla… yang kena kasus ini, kena kasus itu, aku tetap akan bilang tujuanmu adalah bikin bahan gunjingan! Atau gosip, whatever!” aku tetap ngelawan.

“Pembaca butuh contoh moral yang nyata!” Anita masih ngeles.

“Tapi habis baca wacana muliamu itu mereka akan mulai menggunjingkan teman mereka sendiri yang kamu sebut ‘contoh moral’ itu!” tandasku tegas.

“Oke!!! Kamu punya formula yang lebih baik?!!”

“Punya. Nggak usah mendompleng kasus yang dialami murid-murid di sini, mereka itu teman kita sendiri! Kamu sendiri bilang tulisanmu adalah ilmiah, ngapain pakai mengungkit masalah pribadi orang lain?” tukasku.

“Semua produk harus punya gimmick! Kalo pakai formulamu, pembaca akan kehilangan sensasi waktu baca Mading… Mading akan balik lagi menjadi pigura besar yang menempel di dinding dengan tulisan-tulisan yang membosankan!” desis Anita sambil mengusapkan telapak tangannya di kening, dengan mata melirik ke atas.

“Setidaknya, pembaca akan dapat pesan moral yang lebih baik: berhenti menggunjingkan orang…! Kita nggak bisa menghakimi orang seenaknya!” ucapku tetap tegas dengan pendapatku. “Kamu masih ingat, waktu kamu menyinggung kasus salah satu murid di sekolah ini yang hampir meninggal karena overdosis? Semua orang di sini juga udah pada tahu siapa dia kan?! Sejak kamu nulis berita itu, anak-anak di sekolah ini banyak yang ngomong miring soal dia. Padahal sebenarnya dia ingin berubah lebih baik, tapi anak-anak di sini telanjur menganggap dia ‘junkies’! Ya, efek dari gunjingan-gunjingan itu, membuat stigma, menghakimi tanpa punya perasaan! Aku bisa bicara begitu, karena dia temanku! Teman baikku dan dia nggak seburuk yang digunjingkan orang-orang! Pernah nggak kamu mikir sampai situ?”

Anita menatapku terbelalak, mencerna kata-kataku. “Menggosip itu watak orang. Bukan aku yang harus merubahnya. Karena aku bukan guru atau orang tua mereka. Aku penulis berita. Tanggung jawabku adalah menulis berita, tanpa bikin kebohongan… Itulah kenapa aku selalu mencari sumber berita yang jelas, dari kejadian nyata yang nggak dibuat-buat! Kadang memang… sad but true!”

Aku mendesah. Capek…! Mungkin memang bukan tugasku untuk membuat cara pikir Anita ini berubah, dikasih tahu kesalahannya tapi masih saja ngeles!

“Sekarang kamu nyari aku, mau bikin bahan gosip apa lagi sekarang? Tapi jangan salah sangka ya! Aku cuma mau tahu apa menariknya masalah pribadiku, sampai kamu mau jadiin aku bahan berita?! Bukan berarti aku mau!” tukasku sinis.

Anita tersenyum, kelihatan liciknya. “Oke. Aku kasih tahu. Sejak acara piknik di Bali, banyak anak di sekolah ini ngomongin kalo kamu gay. Aku ingin menulis soal gay… Aku rasa kamu narasumber yang tepat!”

Urat syaraf di kepalaku rasanya ketarik kencang. Aku menghela nafas panjang-panjang menahan diri biar nggak sampai meledak kepalaku!

“Anita… Kamu bisa dapat informasi tentang gay lewat internet atau apa saja, sekarang banyak yang ngebahas soal itu. Tapi jangan minta aku membicarakannya…!”

“Kenapa?”

“Itu masalah pribadiku.”

“Aku nggak akan menyinggung nama kamu di tulisanku, seperti biasa aku tetap punya etika. Aku cuma butuh referensi dari orang yang menjalani kehidupan gay secara langsung…”

“Biarpun kamu nggak menulis namaku, tetap saja pembaca akan tahu! Sekolah ini nggak selebar daun kelor! Kamu sendiri bilang, anak-anak di sini banyak yang ngomongin aku! Nggak perlu namaku ditulis mereka juga udah pada tahu arah tulisanmu mengacu ke siapa! Kamu kira aku nyaman?!!”

“Oke. Aku janji aku nggak akan nulis: belajarlah dari teman kita bla bla bla… di akhir tulisanku, karena aku tahu itu bagian yang kamu benci. Aku nggak akan menyinggung siapapun. Biar pembaca merenungkan semuanya secara objektif menurut cara pikir masing-masing… Adil kan?!”

“Bagusnya memang begitu! Dan aku tahu kamu juga cukup cerdas buat cari sumber lain soal gay, nggak harus aku!”

“Dimas, itu pasti. Aku akan cari data dari berbagai sumber, tapi kamu tetap salah satunya…!”

“Kenapa harus aku?!!” seruku dengan nada keras. Emosi!

“Oke… Aku harus jelasin lagi rupanya. Karena kamu siswa di sekolah ini, yang sudah positif gay, setidaknya dari pembicaraan ini aku nggak menangkap kesan kalo kamu menyangkal hal itu. Dan menurutku kamu punya fakta-fakta yang menarik dan unik. Kamu punya sodara kembar, kamu pernah nembak cowok yang jadi idola di sekolah ini, dan kamu sendiri… hahaha… mungkin kamu nggak tahu kalo kamu juga cukup diidolakan cewek-cewek kelas tiga…” ujar Anita cengengesan.

Apa…?!! Mataku membesar, ludahku tertelan. “Kamu juga mewawancarai adik kembarku…?!!” cekatku terkesiap.

“Oh, nggak…! Aku nggak tahu apakah sodara kembarmu sudah tahu kalo kamu gay. Seandainya dia belum tahu, aku nggak mau dia jadi tahu gara-gara aku. Biarpun aku bersemangat tapi aku nggak pernah ceroboh, jangan terus berprasangka buruk padaku!” cetus Anita dengan senyum lebar, seolah-olah ada yang sedang dia banggakan. “Oh, iya… Soal cewek-cewek kelas tiga yang suka sama kamu, mereka patah hati lho waktu dengar kabar kamu nembak Erik… Hahaha… Sooo, fakta-fakta kamu itu menarikkkk…!!!”

Cewek-cewek kelas tiga? Patah hati? Aassshh nggak penting!!! Bukan itu yang bikin aku gerah saat ini…!

“Berita soal aku udah nyebar. Begitu kamu menulis di Mading, pasti akan tambah dibicarakan! Aku cuma ingin bersekolah dengan tenang… Sampai lulus! Masalah pribadiku biar jadi urusanku…” desahku, makin capek dengan perdebatan ini.

“Apa kamu merasa malu jadi gay?” gumam Anita dengan lirik mata yang mengulikku.

“Jadi gay bukan jadi mahluk terhebat atau terhina di muka bumi! Ini bukan soal malu atau bangga! Ini soal menjalani hidup sebagai diriku sendiri, tanpa harus dicampuri tujuan-tujuan nggak penting seperti gosip di majalah dinding!” cetusku sengit.

“Oke aku garis bawahi…” Anita langsung menggerakkan pulpen di atas blocknote-nya.

Astaga…!!! Kapan wawancaranya dimulai?!! Kurang ajar!!! Anita, si licik sialan!!!

“Terus gimana tanggapanmu waktu jatidirimu sebagai gay diungkap orang lain? Orang-orang tahu bukan karena statementmu sendiri kan?” Anita yang nggak tahu diri itu terus mengulik.

“Tanggapanku?!! Sama seperti waktu wartawan Mading yang nggak tahu sopan santun mengorek masalah pribadiku!!! Kamu pikir perasaanku gimana?!!” dampratku ke Anita, emosiku memuncak!

“Anita… Sudah, jangan maksa dia…!” tiba-tiba Erik yang dari tadi ada di dalam ruang latihan muncul keluar, datang menyela…

Anita langsung menoleh ke Erik dan seketika kaget seperti balon pecah…!

“EEEEE…!!! Kamu di sini juga, Rik…?!!” lonjak Anita salah tingkah.

“Dari tadi…!” dengus Erik kesal.

“Ganti kacamatamu!” tukasku sengak ke Anita.

“Sorry, sorry… Aduhhh!!! Aku nggak tahu kalo kamu ada di sini juga! Kamu dengar yang tadi…?!” Anita gelagapan sekarang.

“Semuanya! Setahuku, dunia jurnalistik manapun nggak bisa maksa orang yang nggak mau jadi narasumber…!” tukas Erik. Kelihatan serius, ikut nggak nyaman karena secara nggak langsung Anita juga mengungkit-ungkit dia.

“Aku nggak maksa! Aku tadi sebenarnya udah mau pergi, tapi Dimas akhirnya mau komentar, jadi aku anggap dia akhirnya mau diwawancara!” Anita ngeles. Kurang ajar, malah ngebalikin ke aku?!!

“Aku tadi bicara bukan buat Mading-mu! Tapi buat bungkam mulutmu yang nggak bisa berhenti ngomongin urusan pribadiku! Mulai sekarang udah! Aku nggak mau ngeladenin kamu lagi!” tukasku ke Anita, sengit setengah mati!

“Lho kok gitu? Aku janji nggak akan ungkit-ungkit nama kamu di tulisanku, dan aku juga nggak akan menyudutkan siapa pun! Aku akan bikin jadi wacana yang benar-benar netral…”

“Anita! Kamu tuh udah maksa?! Nyadar nggak sih…?!” tukas Erik, kali ini lebih ketus.

Anita langsung mendelik ke Erik. “Yang mau aku wawancarai itu Dimas, bukan kamu!”

“Aku cuma peringatkan kamu, Dimas udah bilang nggak mau! Jangan memperburuk reputasimu!” balas Erik.

“Aku nggak mau! Titik!” sahutku, menekankan suaraku

Anita melongo, melihati aku dan Erik bergantian.

“Oke, oke… Ya sudah. Aku nggak akan tanya lagi. Aku sudah bisa menyimpulkan sendiri dari semua yang kamu bilang…” ujar Anita akhirnya slow down. Dia mengemasi pulpen dan blocknote-nya dengan tenang. Lalu dia menatapku sambil mengembangkan senyum yang menyebalkan. “Baik, aku cuma ingin ngasih gambaran seperti apa kira-kira yang akan kutulis setelah aku ‘wawancara’ sama kamu tadi. Aku sangat excited dengan statement-mu bahwa ‘gay itu bukan soal malu atau bangga’, aku rasa itu artinya kamu nggak mau dinilai berdasarkan kondisimu sebagai gay. Tapi ingin dirimu dinilai dari ukuran yang lain… mungkin dari prestasi… Yah, agak klise memang, tapi aku rasa memang itulah yang fair. It’s ok. Soal masalahmu sama Erik, aku sudah tahu ceritanya. Aku kira kamu jadi benci dan nggak berhubungan lagi dengannya, tapi ternyata kalian masih bisa berdua di sini. Dan Erik juga membelamu. Hahaha… Semoga itu sisi positif dari konflik kalian, bahwa patah hati bukan alasan buat jadi musuh. Aku salut! Dimas, aku tahu kamu cuma ingin menjalani hidupmu dengan nyaman. Itu memang hakmu. Dan semua orang juga seperti itu. Dari semua itu, mungkin kesimpulan yang bisa kutulis adalah… bahwa gay itu cuma warna lain dari sesuatu yang manusiawi… Setidaknya kamu mewakili itu…”

Aku terbengong-bengong. Aku nggak bisa berucap apa-apa begitu mendengar kalimat-kalimat panjang yang diucapkan Anita. Aku sulit percaya dia bisa menganalisa dan bicara secepat itu… Erik pun ikut terdiam, tercengang…

“Di sekolah, tiap orang punya hal yang mereka cintai. Erik dengan band-nya. Dimas, pasti juga ada yang kamu cintai di sekolah ini, entah itu apa… Dan bagiku, Mading-lah yang kucintai. Hal yang kita cintai mungkin memang beda, tapi persamaannya adalah: kita pasti akan melakukan yang terbaik untuk sesuatu yang kita cintai…” ujar Anita mengendap. Dia menghela nafas sejenak, emosinya yang tadi menggebu kini seolah-olah hilang sama sekali. “Aku tahu, nggak semua yang kutulis bisa menyampaikan pesan secara sempurna. Tapi sejujurnya, aku nggak pernah berniat menghakimi siapapun. Dan aku akan pegang janjiku, aku nggak akan mengungkit namamu!”

Lalu Anita beranjak dari duduknya. Dengan tenang dia melangkah menuju pintu, meninggalkan aku dan Erik.

“Makasih ya…!” ucap Anita lantang sambil melambaikan blocknote-nya ke atas. Lalu dia menghilang keluar lewat pintu itu, disambut suara bel sekolah tanda jam istirahat telah habis.

Cewek aneh bernama Anita itu sudah pergi… Sulit dimengerti. Dia sudah bikin aku habis-habisan menahan emosi sejak dia muncul. Tapi sesaat sebelum pergi, akhirnya dia meninggalkan kalimat-kalimat terakhir yang bisa kusetujui…

“Jam istirahat udah habis. Kamu nggak ke kelas?” tanya Erik sambil mengunci ruang latihan.

“Rik, apa tadi kamu memang membelaku…?” tanyaku dengan sisa-sisa gundah.

Erik melangkah menuju pintu keluar. Dia berhenti di muka pintu lalu menoleh padaku dengan raut wajah gelisah. “Mas, kamu tahu nggak, apa yang akan diucapkan ketika harus menolak seseorang…? Biasanya mereka akan bilang, ‘aku nggak bermaksud nyakitin kamu’… atau kalimat lain yang kurang lebih sama artinya. Aku ingat, aku juga mengatakan itu waktu aku menolakmu…”

Keningku berkerut resah saat menyimak kata-kata Erik. “Maksud kamu apa sih, Rik…?”

“Maksudku… Waktu aku bilang ‘aku nggak bermaksud nyakitin kamu’… saat itu cuma sekedar basa-basi buat nolak kamu… Tapi begitu aku tahu apa yang kamu tanggung sejak malam itu… aku baru sadar kalo aku benar-benar udah nyakitin kamu…” ujar Erik terbata-bata. “Mungkin kata maaf nggak cukup buat memperbaiki semuanya itu. Tapi aku tetap minta maaf, Mas… Aku menyesal udah menjerumuskan kamu…”

Aku terkesima tanpa bergeming menatap Erik. Hatiku rasanya gemetar mendengar ucapannya. Dan cuma hening yang bisa kukirim buat mengiring perginya Erik dari hadapanku…

Aku tertinggal sendiri lagi di ruang ini. Ruang yang segera kembali sunyi dan kosong. Rasanya ingin kuteriakkan kebingungan ini, kebimbangan terhadap masa lalu yang telah mempermainkan perasaanku…!

Erik… Semarah apapun diriku, aku tahu bahwa nggak akan mudah buat melupakan kamu. Seperti halnya nggak mudah melupakan sakit hati ini, meski aku sudah memaafkanmu… Aku tahu, itu karena aku pernah mencintaimu…

Dan cinta itu masih tersisa…






Bersambung...
0 komentar

Posted in

Posting Komentar