RSS

Keranjang 4 - 8


Keranjang 4
Ada Yang Datang






“Dimas, bangun…!”

Ada yang menggugahku. Aku dengar suaranya samar-samar. Aku menggeliat…

“Dimas, bangun…!”

Suara itu menggugahku lagi. Kurasakan tubuhku juga digoyang-goyangkan. Aku masih malas membuka mata.

Tapi… Tunggu!!!

Kok suaranya cowok…?!! Dan itu bukan suara Papa…! Segera kubuka mataku, dan…

Aku terbelalak saat melihat ada cowok di dekatku, tengkurap di kasurku bertopang bahu menatapku sambil senyum-senyum. Kaget bukan kepalang…!!!

“KAMU…?!!” aku ternganga, segera bangun dan mengucek mataku berkali-kali.

“Apaaa?!!” anak di sebelahku itu mencibirkan bibirnya lebar-lebar.

Aku masih gugup dan bingung! Cowok di sampingku ini… MIRIP AKU…!!! SUMPAH SANGAT MIRIP!!!

ASTAGAAAA…!!!

“Kenapa? Kaget lihat gue?” cibir anak itu setengah meledekku.

“Kamu…? DENIS ya…?!!”

“Ya iya lah, siapa lagi?! Hehehe…”

“Lho? Kok… ada di sini…?!”

Aku memandanginya seheran melihat kucing terbang ke langit. Dia ikut bangun, duduk menghadapiku masih dengan senyumnya yang seperti nggak tahu dosa itu…! Lalu…

Plukkk…!

“Kurang ajar! Kenapa nampar aku?!” kuusap pipiku yang habis ditamparnya. Nggak keras sih, tapi kurang ajar amat?!!

“Lu pasti mikir ini mimpi kan?”

“Kok kamu bisa di sini?!” aku mengulang pertanyaanku lagi dengan masih terheran-heran.

“Kenapa nggak? Badut aja bisa ke bulan! Lu nggak suka ya gue pulang…?”

“Bukan gitu… Ngagetin tahu?!” seruku.

Lalu aku segera bergegas terjun dari tempat tidurku, lari keluar kamar menuruni tangga…

“Mamaaaaa…! Denis pulang ya?!!!” teriakku.

“Nggak usah pakai teriak-teriak!” tukas Mama yang kutemui di bawah tangga.

“Gimana nggak kaget?! Kok nggak ada kabar kalo dia mau pulang…?!!” gerutuku masih terheran-heran.

“Ehhhh… Ini Dimas ya? Aduuhhh, udah gede sekarang…!” tiba-tiba seorang perempuan gendut nyamperin aku dari belakang.

“Ehh, Tante Hilda…???” aku gelagapan.

Perempuan gemuk ini tanteku, Tante Hilda! Ada Om Frans juga, suaminya, senyum-senyum melihatku.

“Tante kemari sama Denis kan? Kok nggak ngasih kabar dulu, Tante?!” sambutku setengah bersungut-sungut.

“Kejutan, Sayang!” balas Tante Hilda dengan gaya genitnya.

“Tapi Mama pasti tahu kan? Ini pasti konspirasi nih Tante sama Mama! Aku sengaja nggak dikasih tahu!” aku langsung nuduh sambil menggerutu.

“Ih, segitunya sih sama Tante? Kamu nggak suka ketemu Denis?” balas Tante Hilda masih dengan gaya genitnya.

“Dimas memang gitu tuh, gayanya aja jaim! Aslinya ya senang lah, ketemu lagi sama Denis! Hihihi…” Mama ikutan komentar sambil cekikikan.

“Udah, Mama nggak usah ngeledek!” sahutku.

“Ya terserah Mama dong!” cibir Mama. “Pokoknya, sekarang kamu musti damai sama Denis ya! Tuh barang-barangnya Denis, dibantuin tuh! Angkat ke kamarmu!” tukas Mama menyuruhku.

“Hah? Kok ke kamarku, Ma?!”

“Memang harusnya dimana?!”

“Ya, di mana lah, nggak harus di kamarku kan?!” protesku.

“Udah nggak ada kamar lagi, Dimas! Kamu tega nyuruh Denis tidur di gudang?”

“Ya nggak di gudang, itu di depan TV kan juga ada kasurnya!” aku bersikeras.

“Memangnya kenapa sih kalo Denis tidur di kamarmu? Itu tempat tidurmu tiga orang aja muat! Jangan rewel deh, nggak sopan ada Tante sama Om…!” Mama mulai melotot padaku.

“Ya, nggak cocoklah, Ma! Cowok udah gede-gede masa tidur satu kasur…?!” keluhku.

“Ini anak aneh deh! Denis itu kan sodara kamu sendiri? Pokoknya Mama nggak mau diprotes lagi. Cepat, Denis dibantuin!”

“Yang akur ya, Sayang…” Tante Hilda membungkam protesku.

Aku nggak bisa berkutik lagi. Kalah oleh kemauan orang-orang yang lebih tua ini.

“Ayo dong, bantuin!” Denis lewat sambil menggaplok pundakku.

Terpaksa, aku angkut barang-barang milik Denis ke kamarku. Dua koper yang sangat berat. Isinya batu bata ya?!!

Setelah kutaruh koper-koper itu di sudut kamarku, aku duduk di kursi, lalu memandangi Denis yang duduk di tepi tempat tidurku. Dia tersenyum cengar-cengir.

“Lu senang nggak sih gue datang?” tanya Denis bak nggak tahu dosa.

“Gimana yah? Kita kan MUSUH…!” balasku sinis.

“Wew, segitunya sih lu nganggap gue?! Itu kan dulu waktu kita masih kecil. Ribut jaman kecil masa dibawa sampai gede sih?”

“Tapi tiga tahun kemarin, pas kamu pulang kita juga masih ribut! Aku masih ingat kamu mukul nih hidung sampai berdarah! Untung hidung bagus ini nggak patah!” sungutku kesal.

“Itu kan nggak sengaja! Habisnya lu gelitikin sih, gue mukulnya tuh refleks!” kilah Denis.

Aku memandanginya dengan dongkol sekaligus canggung. “Terus, kamu beneran mau tidur satu kasur sama aku…?” tanyaku.

“Kenapa nggak? Gue udah jauh-jauh dari Medan ke Solo mau lu suruh tidur di lantai? Sadis amat lu!”

Lalu Denis guling-guling di kasurku, kayaknya puas banget bisa bikin kaget aku pagi ini. Bakal jadi apa nih malam nanti? Damai apa tetap perang, seperti jaman kecil…?!

“Mas, masa sih lu nggak ada kangennya dikit aja sama gue?” gumam Denis sambil tengkurap.

“IYA, AKU KANGEN SAMA KAMU!!! PUASSS…?!!!” teriakku serentak terjun menimpa adik kembarku…

Dan…

BRAAAKKKKK!!!

Kasurku amblas ke lantai…!


Dipanku runtuh!





***





Keranjang 5
Rahasia Saudara Kembar






Aku dan Denis adalah sodara kembar. Kami cuma berdua sebagai anak di keluarga ini, nggak punya kakak atau adik lagi. Aku lahir lebih dulu dari dia. Ada anggapan kalau anak yang lebih tua sebenarnya adalah yang nongol paling akhir, karena sang kakak harus mengalah agar adiknya keluar lebih dulu, begitulah katanya. Tapi ada juga anggapan yang sebaliknya, siapa yang lebih dulu datang ke dunia maka dialah anak yang lebih tua. Dan orang tuaku memilih anggapan yang kedua itu, yang lebih simple. Jadi akulah yang dianggap lebih tua, dan Denis sebagai adik kembarku.

Namanya kembar, wajah kami mirip. Tapi tetap ada perbedaannya! Denis punya lesung pipit di pipinya. Banyak orang yang memuja lesung pipit, beruntungnya si Denis. Tapi di sisi lain, rupanya aku dapat jatah badan yang lebih tinggi. Sedikit. Ya, secara postur aku memang lebih cocok jadi kakaknya. Biarpun selisihnya cuma beberapa senti, tapi tetap bisa terlihat sepintas saja kalau aku lebih tinggi dari Denis.

Sejak umur sepuluh tahun, Denis dipisahkan dariku. Saat itu Tante Hilda, adik Mama, sudah menjalani lima tahun masa pernikahan tapi belum dikaruniai anak. Entah siapa yang menganjurkan, yang jelas akhirnya Papa dan Mama memberikan Denis agar diadopsi oleh Tante Hilda dan Om Frans. Kata Mama, ada cara tradisional buat membantu suami-istri yang susah mendapat keturunan. Yaitu dengan ‘memancing anak’. Begitulah harapannya, biar Tante Hilda dan Om Frans bisa ‘terpancing’ keturunannya setelah mengasuh Denis.

Benar atau tidaknya mitos itu, terbukti akhirnya Tante Hilda bisa mengandung. Sekarang anaknya sudah berumur satu tahun. Dan katanya sekarang dia juga sudah hamil lagi.

Aku jadi mikir, si Denis sakti sekali ya…?!

Nggak tiap tahun Denis diajak pulang ke Solo. Jarak dari Medan ke Solo kan jauh banget. Sejak tinggal di Medan selama tujuh tahun, ini ketiga kalinya Denis diajak pulang ke Solo. Kepulangan sebelumnya sudah tiga tahun yang lalu. Terakhir ketemu masih sama-sama imut, sekarang sama-sama sudah gede dan wajah kami tetap mirip satu sama lain! Sebelumnya juga nggak ada kabar kalau dia bakal pulang, tiba-tiba pagi tadi sudah senyum-senyum tiduran di tempat tidurku! Jadi gimana aku nggak kaget coba?!

Asal tahu saja, dulu waktu masih kecil kami sering berantem. Hampir tiap hari malah. Entah gara-gara rebutan mainan atau rebutan makanan. Yaahhh, biasa anak kecil. Apalagi anak laki-laki!

Jadi kalau soal kangen sih, memang ada kangennya… Tapi yang paling jelas perasaanku saat ini adalah…
AKU PANIK!!!

Aku cowok udah gede! Aku punya privacy! Denis tidur di kamarku, itu tanda bahaya! Gimana kalau dia nanti ngubek-ubek isi laptopku dan tahu tontonan pribadiku di sana…?!!

Kenapa aku masih nyantai-nyantai aja…?!!! Ku pindahkan semua file rahasia!

Kutancapkan flashdisk-ku ke laptop, dan sejurus dua jurus kemudian kupindah semua file rahasiaku dari laptop ke flashdisk. Sedot data…!

Tapi, tunggu, tunggu! Nggak perlu semua file. Sisakan satu file, film Miyabi! Versi yang soft aja, biar kelihatan ‘normal’ tapi sekaligus tetap jaga image! Sekalian bikin jebakan buat ngerjain dia! Nggak tahu si Denis udah ngerti soal gituan apa nggak, tapi kalau sampai belum ngerti, kebangetan!

Pengamanan rahasia sudah selesai. Semua file sudah kuatur. Tapi aku akan tetap waspada…!
Denis, kita memang sodara kembar. Tapi siapa tahu kamu juga masih jadi musuh kembarku…! Aku nggak akan terkecoh sama gayamu yang sok polos dan lugu itu!


Kita lihat saja nanti!





***





Keranjang 6
Denis Atau Erik...?






Bertengkar karena urusan sepele, saling ledek, saling ejek, begitulah aku sama Denis. Ternyata hubungan seperti itu masih tetap bertahan antara aku dengan dia. Yaahh, dalam hal ‘nggak akur’ masih nggak jauh beda dengan jaman kami kecil. Bedanya, sekarang kami sudah besar dan apa yang kami pikirkan, rasakan, dan pertimbangkan, jauh lebih luas. Pertengkaran ya cuma pertengkaran. Bersamaan dengan itu kami belajar saling mengerti satu sama lain, dan aku bisa katakan bahwa… sebenarnya kami sangat akrab.

Kedatangannya bukan bencana yang seserius yang aku pikirkan sebelumnya. Saat itu aku memang masih dipenuhi prasangka, masih dilekati persepsiku tentang betapa nggak akurnya kami sejak kecil. Mungkin aku berpikir sedangkal itu karena terlalu kaget juga sama kedatangannya yang sangat nggak kuduga. Sekarang? Aku cuma menyimpulkan bahwa prasangkaku memang sangat lebay! Aku rasa aku tetap bisa menikmati masa liburanku selama tiga minggu ini dengan nyaman meski ada Denis.

Malah kalau aku kembali pada satu titik penting soal Denis, kayaknya dia malah bisa jadi bumbu yang bagus buat masa liburanku ini. Apa lagi kalau bukan menyangkut dirinya yang… ehemmm… gimana ya…? Dirinya yang…

Sudah tiga hari Denis di sini. Beberapa kali tiap pagi atau sore, aku ngeliat Denis selalu keluar dari kamar mandi tanpa baju. Sudah pasti aku curi-curi lihat. Dan kayaknya aku belum bosan.

Sekali lagi, bukan berarti pula aku punya maksud terselubung buat memuji diri sendiri dengan cara memuji adik kembarku. Jujur aja, aku nggak ngerasa sedang menatap cermin waktu aku ngeliat dia. Semirip apapun kami, aku sangat tahu kalau kami berbeda. Kami bukan orang yang sama. Dia adalah… sodara yang mulai aku senangi…

Aku senang. Tapi… aku nggak bilang kalau aku horny! Dia itu sodaraku sendiri, masa aku mau nafsu sama dia?! Jadi gay aja udah banyak yang menghujat, apalagi kalau masih ditambah incest! Aku rasa aku cuma senang aja punya sodara yang enak dipandang di mataku. Sebagai cowok yang suka memperhatikan penampilan, terutama ke sesama cowok, menurutku Denis punya nilai yang bagus. Kayaknya itu juga membantuku untuk cepat menerima keberadaan dia di rumah ini, apalagi di kamarku, terlepas dari tabiatnya yang berantakan. Sesimpel itu, atau serumit itu, pokoknya begitulah kondisinya.

Soal cinta, cowok yang melekat dalam harapanku masih tetap… ERIK!

Aku masih tetap ngasih Erik nilai di atas semua cowok yang aku kenal, dalam hal pesona fisik yang bisa bikin jantungku berdebar dan kadang memancing otakku buat membayangkan hal-hal yang nakal. Ya, nakal! Aku ngerti mungkin pikiranku itu bisa dianggap ‘nggak sopan’. Tapi masa sih ada orang yang jatuh cinta tanpa punya unsur nafsu sedikitpun? Dan aku adalah COWOK, yang secara mental lebih berani dibanding cewek buat ngebayangin hal-hal yang bisa dikatakan ‘liar’. Yaaahhh, seperti wajarnya cowok yang sedang dalam masa pertumbuhan.

Aku masih memikirkannya, masih memendam rasa, masih berharap, masih suka membayangkan kira-kira sedang apa dia sekarang, apa yang sedang dia rasakan, apa yang sedang dia pikirkan. Dan aku nggak mendapat jawaban apa-apa, selain bisikan dalam angan-anganku sendiri. Satu-satunya yang bisa menjadi tempatku mengintip adalah…

Facebook-nya! Kemarin aku sempat membukanya tapi belum ada status baru darinya. Status terakhir yang aku baca darinya adalah status yang akhirnya dia ‘delete’ itu. Mungkin hari ini udah ada yang baru?

Oke, aku akan membukanya lagi!

Kunyalakan laptopku. Dan ONLINE! Aku ‘log in’ ke FB-ku, lalu segera loncat ke FB-nya Erik… Dan kabar Erik hari ini adalah…

HARI INI ERIK ULANG TAHUNNNN…?!!

Kubaca ucapan-ucapan yang mengalir deras di wall-nya! Semuanya ucapan ulang tahun! Sial…!!! Aku akan jadi pemberi ucapan di urutan ke berapa nih?!! Ya Tuhannn… Kok aku bisa nggak tahu sih sejak kemarin…? Aku ini penggemar sejatinya! Orang yang jatuh cinta sama dia tapi hari ulang tahunnya aku bisa lupa…?!! DAMN…!!! Menyedihkan…!!!

Tapi… gimana lagi…? 

Aku tetap harus ngasih ucapan selamat, biarpun bukan yang pertama!

“Happy birthday… God bless u with all the good things for your growing age! Be more in all of goodness…!”

Kuketik kiriman ucapan ulang tahunku dengan semangat. Dan… KIRIM…!

Tapi... Kok nggak bisa terkirim? Kok gini…?

Coba sekali lagi!

Tetap NGGAK BISA TERKIRIM!!! Kenapa ini…? Facebook lagi error atau…?

Nggak… kayaknya bukan Facebook-nya! Barusan ada ucapan selamat yang terkirim lagi dari teman Erik, baru semenit yang lalu! Kenapa kirimanku nggak bisa terkirim…? Apa… oh ya Tuhan, semoga enggak! Semoga bukan karena aksesku diblok sama Erik! Masa dia harus sampai segitunya…???!!!

Ini makin menyedihkan. Kalau memang aku diblok, mungkin Erik cuma ingin mengantisipasi kejadian yang seperti kemarin itu… Kalau memang begitu, mungkin aku masih bisa ngirim ucapan selamat lewat pesan inbox kan? Nggak akan ada orang lain tahu jadi Erik harusnya juga nggak perlu kuatir…

Tapi…

Dimas, apa kamu cukup gitu aja ngasih ucapan? Cuma ucapan? Penggemar dan pecinta, tapi cuma ngasih ucapan? Nggak ngasih kado…?! Oh, damn!!! Jelas aku harus ngasih kado. Jadi mungkin… aku sebenarnya nggak perlu ngasih ucapan lewat Facebook… Kenapa nggak ngucapin aja langsung ke orangnya sekaligus ngasih kado?

Aku harus nyiapin kado. Sekarang juga.

Tapi…? Memangnya aku punya duit…?

Kenapa nasib baik selalu nggak berpihak padaku di saat-saat penting kayak gini…?!! Aku nggak punya duittt…!!! Gimana ini…??!!!

“Hayooo… Buka apaan tuh?!!” tiba-tiba Denis ngagetin aku.

“Apaan sih? Ikut campur aja…!!!” tukasku.

“Buka Facebook ya? Add punya gue dong…!”

“Ogah! Ngapain? Main sana gih, jangan ganggu aku dulu…!” tepisku ngusir Denis.

“Main apaan? Nggak ada yang bisa buat main! PS nggak ada, film nggak ada, bingung gue…!”

“Main sabun aja sana…!”

“Ehhh…! Lu ngeres banget bawaannya…?!!” sungut Denis sambil menyikutku. Ujung-ujungnya dia terjun ke kasur.

Sepertinya aku ada ide…! Segera aku ‘log out’ dari Facebook. Laptop, ‘shutdown’…!

Terus… Ideku adalah…

Aku mendekat ke Denis yang sedang tiduran.

“Den, pinjem duit dong…”

Denis langsung berpaling memandangiku. Lalu tawanya meledak! “Ahahahaha…!!! Dasar belagu lu! Sok sengak sama gue…! Sekarang mau pinjem duit sama gue… Ogah!!!”

“Please… aku lagi bingung nih… Nanti aku pinjemin film…!” aku mulai merengek.

“Nggak mau…!” adik kembarku itu malah meringkuk nyembunyiin mukanya ke guling.

Sekarang dia jadi sok di depanku, merasa dibutuhkan!!! Kayaknya dia maksa aku buat ngeluarin jurusku yang ini…

“Ayo dong, pinjemin duit…!!!” aku memeluk Denis erat-erat sambil gelitikin dia.

“Aaahhhh… Reseh lu aah…!!! Nggak mau, nggak mau! Lepasin nggak?!!!” Denis meronta sambil marah-marah.

“Aku janji nggak akan jahat lagi sama kamu… Aku nggak akan usil lagi sama kamu…”

“NGGAKKK…!!!”

“Pleaseee…!!!”

Mengemis dan mengiba, tapi sambil gulat di atas tempat tidur. Lama-lama Denis mulai nggak tahan juga…

“Emang mau buat apa?!” tanya Denis berlagak sok galak, kayak emak-emak yang mau ngasih duit ke anaknya tapi pakai berbelit-belit dulu.

“Aku mau beli kado buat temen. Aku nggak ada duit…!” jelasku pura-pura memelas.

“Masa nggak ada duit sama sekali?!” Denis berlagak ngomel.

“Kan jatah jajanku udah dirapel buat piknik ke Bali… Limapuluh ribu aja deh…” aku menarik-narik kaos Denis.

Adikku itu dengan cemberut akhirnya merogoh dompetnya.

“Nih!” sodor Denis, selembar limapuluh ribuan.

“Yes! Makasih yaaa…”

Merendahkan martabat sebentar, mengemis-ngemis sejenak, sekarang dapat kan duitnya?! Yang penting aku bisa beli kado buat Erik! Aku langsung semangat. Ambil jaket, siap-siap cabut beli kado buat cowok pujaanku!

“Aku beli kado dulu ya…” pamitku ke Denis.

Selanjutnya, nggak peduli lagi sama Denis! Aku langsung meluncur keluar dari kamarku penuh semangat…! Di ruang tamu aku berpapasan dengan Papa yang habis pulang kantor. Papa lagi duduk-duduk sambil minum kopi.

“Mau kemana? Buru-buru amat?” sapa Papa.

“Mau keluar bentar, Pa…”

“Eh, tadi pagi Papa titipin uang jajan ke Denis. Udah dikasih?”

“Hah…?!!” aku terperanjat kaget. “Uang jajan? Buat aku?”

“Iya. Limapuluh ribu, Papa titipin ke Denis. Habisnya tadi kamu masih tidur…” ujar Papa santai sambil mencicip kopinya.

Uang jajanku limapuluh ribu dititipin ke Denis…?!! Aaarrggghhhh…!!! Kampreetttt!!! Jadi yang dikasih Denis tadi sebenarnya memang duitku?!!

Aku langsung balik naik lagi ke kamarku. Geraaaamm!!! Bisa-bisanya aku mengemis duitku sendiri ke Denis yang nyebelin itu…!

“Denissss!!! Dasar tukang kibul!!!” teriakku mencak-mencak.

“Weeee… Gue ngibul apaan?” Denis mau mengelak.

“Tadi yang kamu kasih memang duitku dari Papa kan?!”

“Lho, gue kan nggak bilang itu duit gue…!”

“Nggak usah alesan, sini…!!!”

Aku ancang-ancang mau menangkap Denis. Entah mau aku apain, mungkin ngasih dia smackdown!!! Denis cekikikan sambil kabur meloloskan diri keluar kamar.

“Awas nanti!!!” kecamku.





***





Keranjang 7
Aku Memberinya Apel...






Aku mengamati, memilih-milih dengan bingung. Mungkin ribuan CD yang harus kuhadapi untuk kupilih salah satu. Buat kado ultah Erik! Harganya itu yang bikin megap-megap, CD original harganya di atas 50 ribu semua! Mau beli bajakan, tengsin lahhh…!!! Buat kado spesial masa bajakan?!!

Akhirnya aku hanya bisa berkutat di produk diskon, ngobok-ngobok keranjang yang isinya CD diskonan. Yang aku tahu Erik sukanya lagu-lagu pop yang agak-agak jazzy gitu. Tapi berhubung aku cuma mampu beli yang di-diskon, kayaknya nggak ada pilihan yang bagus! Yang di-diskon kebanyakan album-album lama sama kompilasi yang udah basi.

Aku sampai lama mengorek isi keranjang CD diskonan. Akhirnya… kayaknya aku dapat album yang lumayan. Ketemu satu album dari David Foster. Dia artis jazz kan? Kayaknya ini yang cocok nih! Biar kayaknya album lama juga, tapi nggak apa-apalah. Biarpun aku nggak gitu ngerti lagu-lagunya, tapi aku tahu dia artis legendaris. Biarpun harganya murah tapi kualitasnya pasti tetap berkelas! Lumayan, cuma 39 ribu.

Aku pergi ke kasir. Sekilas aku membaca tulisan yang ada di papan kecil dekat kasir, rupanya di sini juga menyediakan jasa bungkus kado…

“Kalo bungkus kadonya sekalian berapa, Mbak?” aku langsung nanya ke si Mbak yang jaga di kasir.

“Tergantung kertas kado sama variasinya, ada sample-nya kok. Tapi CD-nya dibayar di sini dulu, Mas…” jawab si Mbak ramah.

“Ooo…” gumamku. Kusodorkan CD yang mau kubeli. Sekalian duit limapuluh ribu.

“Kalo mau lihat contoh model kadonya, silakan ke meja yang sebelah sana, Mas…” jelas si Mbak sambil ngasih kantong plastik berisi CD yang kubeli, plus duit kembalian.

“Oke, makasih…” sahutku.

Lalu aku menuju ke meja yang ditunjuk si Mbak penjaga kasir tadi. Di meja yang kayaknya memang khusus buat melayani kado aku disambut sama staff yang lain. Mbak-mbak juga.

“Mau dibungkus, Mas, CD-nya?”

“Iya, tapi aku lihat harganya dulu bisa nggak, Mbak?” tanyaku, rada cemas jangan-jangan biaya bungkus kadonya mahal!

Si Mbak segera nyodorin sebuah booklet. “Ada yang lima ribu, tujuh ribu, yang paling bagus 10 ribu, tapi nunggunya agak lama dikit!” jelas si Mbak.

Aku melihati gambar-gambar model bungkusan kado di booklet itu.

“Buat ceweknya ya, Mas…?” celetuk si Mbak tiba-tiba. Dia senyum-senyum aneh padaku.
“Nggak kok…” jawabku rada rikuh. Tatapan si Mbak ini aneh.

“Ahhh… Buat ceweknya pasti…!” si Mbak malah ngeyel. Kok genit gini sih?!

“Tahu dari mana?” aku ladenin dengan cuek aja.

“Ya tahu lah… Kan CD itu romantis kalo dijadiin kado, Mas… Apalagi David Foster kan lagunya kebanyakan love songs…” cerocos si Mbak dengan gaya ganjen. “Bagus deh selera Mas, pasti senang nih ceweknya…”

Aku diam aja. Si Mbak ini kalau niatnya ramah tamah sama konsumen udah rada kelewatan. Masa harus ngungkit-ungkit soal ‘cewek’ku segala? Kalau aku bilang sekalian orang yang aku sukai adalah COWOK mungkin bakal keselek dia sama lidahnya sendiri! Nggak bakal nyerocos lagi dia!

“Bentuknya yang model ini aja, Mbak. Kertasnya yang warna merah… Yang lima ribuan aja…” akhirnya kutentukan pilihanku. Yang paling murah aja, duit mepet! Warna kertasnya aku pilih yang merah saga, kesannya paling elegan buat harga termurah.

“Oke…” sahut si Mbak, lagi-lagi tersenyum ganjen.

Apa aku ge’er kalau menduga si Mbak ini suka sama aku? Habisnya tingkahnya kegenitan gitu! Alaahhh… Biarin lah. Yang penting aku udah dapat kado buat Erik. Tinggal nungguin aja CD-nya selesai dibungkus.
Sekitar sepuluh menit aku menunggu, si Mbak selesai membungkus CD-ku.

“Ini, Mas. Dibayar di sini ya…” ujar si Mbak sambil menyodorkan kadoku yang udah jadi. Memang rapi hasilnya!

“Makasih, Mbak,” aku mengambil kadoku dan membayar ongkosnya.

“Sama-sama…” ucap si Mbak lagi-lagi dengan senyum genit.

Kumasukkan CD kado ke dalam kantong jaketku yang besar. Jangankan sekeping CD, dua kotak Baygon bakar juga muat di kantongku! Lalu aku segera beranjak dari hadapan si Mbak yang ganjen itu. Lebih cepat lebih baik, terus terang aku rada risih sama gerak-gerik si Mbak itu. Lagian memang urusan sama dia udah selesai! Aku keluar dari CD Store. Lalu mataku tertuju ke ruko sebelah… Ruko buah. Buah-buahnya bisa dibeli per biji. Tertarik, mungkin aku bisa melihat-lihat sebentar ke sana…

Aku jadi pingin beli apel. Sebiji 2 ribu perak. Nggak apa-apa lah. Masih ada sisa duit. Kubeli satu biji apel merah. Aku simpan di kantong jaketku, dimakan nanti aja di rumah.

Sekarang saatnya menuju ke rumah Erik! Udah mau gelap, aku harus cepat-cepat! Kuhampiri motorku. Aku starter, lalu… Tancap!

Melintasi jalanan di jantung kota Solo yang mulai temaram. Melaju kencang. Lalu mulai berbelok ke jalanan yang lebih kecil, menuju ke sebuah komplek perumahan di daerah Manahan. Melewati beberapa gang, lalu… Sampailah.

Rumah Erik lumayan besar. Gerbangnya nggak ditutup, jadi aku memasukkan motorku. Kuparkir motorku di halaman rumah yang ber-paving. Halaman rumah ini luas juga, dihiasi taman dengan rumput jepang, beberapa palm hias dan tanaman-tanaman bonsai.

Lampu halaman sudah menyala, tapi suasana tetap remang-remang agak gelap. Aku melangkah dengan hati-hati menuju ke teras rumah.

Tiba-tiba…

“HIYYYAAAA……!!!” aku melonjak kaget….! Ada benda hidup bergerak dari balik rimbun tanaman… TUYULLL! Hampir saja kata itu terlontar dari mulutku…!

“Cayi sapa?” benda hidup yang mengagetkan itu bersuara…

Ya ampunnn…

Ternyata anak kecil! Adiknya Erik ini…! Habisnya gelap, kepala si bocah juga plonthos gitu… Dan nggak pakai celana! O my gosh!!! Gimana nggak kaget…?!!

“Aduhh… Bikin kaget aja, Dik! Lagi ngapain sih di situ, nggak pakai celana lagi?!” tanyaku ke bocah itu.

“Abis pipis!”

Kebiasaan anak kecil, kalau pipis sesukanya. Hampir aja bikin aku pingsan gara-gara kaget!

“Kak Erik ada nggak?” tanyaku.

“Kakak bayu pegi..” jawab adiknya Erik itu, masih cedal gitu suaranya.

“Pergi? Kemana?”

“Pegi makan-makan, sama teman…”

Makan-makan? Jangan-jangan ultahnya dirayain nih…? Aku nggak diundang? Aku nggak diundang…???

“Udah lama ya?”

“Udah…”

Bengong aku jadinya… Gimana nih? Aku musti nungguin Erik pulang atau gimana…?

Tiba-tiba terdengar suara motor masuk. Aku langsung menoleh ke arah gerbang. Erik masuk dengan motornya… Dia pulang! Begitu memarkir motornya, dia segera melangkah dengan agak ragu menuju ke arahku. Ya Tuhan… Aku jadi gugup, deg-degan…!

“Loh, ada apaan, Mas?” Erik langsung menyapaku dengan agak sungkan.

“Nggak papa kok, Rik. Cuma maen-maen aja…” jawabku dengan senyum gugup. “Ini adikmu ya? Bikin kaget aku tadi. Suruh pakai celana dong!”

“Rio masuk gih, pakai celana dong nanti masuk angin!” Erik segera menyuruh adiknya masuk.

Bocah kecil itu pun masuk ke rumah. Erik waktu kecil palingan juga seperti itu kali ya? Muka adiknya sangat mirip sama dia.

“Udah lama?” tanya Erik.

“Belum kok. Baru aja…” jawabku simpul.

“Sini masuk…” Erik mengajakku ke teras.

Kami duduk di kursi yang ada di teras. Niatku memang udah bulat buat menemui Erik, tapi begitu berhadapan langsung dengannya sekarang aku malah jadi sungkan… Gugup. Mau ngomong apa ya…??? Gimana mulainya…???

“Habis dari mana, Rik?” aku masih berbasa-basi.

“Dari makan…” jawab Erik singkat, padat, dan memang nggak perlu dijelaskan. Aku udah tahu kalau dia habis makan-makan! Adiknya yang bilang, anak kecil itu nggak mungkin bohong.

“Ohhh… Kamu kan ulang tahun ya…?” pancingku dengan agak segan.

Erik cuma diam memandangiku, tersenyum agak rikuh. Kok dia juga kelihatan sungkan gitu ya? Apa mungkin dia ngerasa nggak enak sama aku, karena nggak ngundang aku makan-makan…? Bukan cuma soal makan-makan kali, soal Facebook aja kayaknya dia juga nge-blok aku. Dia kelihatan enggan gitu pasti karena memang sedang jengah sama aku. Meski aku nggak berharap dia sungguh-sungguh begitu… Masa sih… dia benci sama aku…?

“Aku cuma mau ngucapin selamat ulang tahun aja kok…” akhirnya kuutarakan maksudku dengan malu-malu. “Sama mau ngasih ini…”

Aku merogoh kantongku…

ASTAGAAAA….!!!

Keringatku langsung terasa dingin. Tanganku meraba-raba ke dalam kantong tapi nggak menemukan yang kucari…! Kadoku…??? Ya Tuhan dimana kadoku…?!!

“Apa?” Erik menatapku dengan penasaran, kayaknya mulai menangkap kalau ada yang aneh…

Ya aneh!!! Celaka!!! Aku benar-benar nggak menemukan CD kadoku…! Aku sudah meraba ke semua kantongku, nggak ada…! Apa kadoku jatuh di jalan?

“Ada apa sih…?” tanya Erik lagi, terlihat makin jengah.

“Ehh… Nggak apa-apa…” aku gugup dan berusaha menyembunyikan kepanikanku. “Aku cuma mau ngasih ini…”

Erik pun langsung bengong. Dengan ragu tangannya terulur, menerima sesuatu dari tanganku. Keadaan darurat, aku nggak punya ide lain…

Akhirnya, aku memberinya apel…
Itulah yang jadi kadoku untuknya…

Ya Tuhannnn… Aku malu, aku mau nangis rasanya…!!!

“Ini… maksudnya apa?” tanya Erik dengan mimik bingung.

Aku harus menjelaskan apa? Aku terdiam, cuma bisa tersenyum-senyum dengan perasaan antara gugup, gelisah, malu, dan hancur… Bisa-bisanya aku menemui nasib sekonyol ini.

“Maksudnya…, aku bingung mau ngasih kamu apa. Ternyata cuma itu yang aku punya… Jadi aku kasih buat kamu…” jawabku. Kejujuran dan kekonyolan benar-benar terasa sama.

Erik terdiam. Menatap apel dariku di genggamannya. Entah apa dia bisa terima penjelasanku… Apa ini terasa konyol juga baginya…? My dear God!!! Apapun itu, aku bisa apa…???!!!

“Makasih ya…” akhirnya Erik mengucapkannya…

Aku mengangguk pelan, menerima apresiasi dari usaha ‘terbaik’ku…! Makasih, Rik… Aku nggak menuntut kamu harus tulus mengucapkan ‘terima kasih’ itu, karena kamu mau mengucapkannya saja sudah bikin hatiku senang… Meski aku tetap merasa malu…! Makasih, Rik… Semoga kamu senang…

“Ya udah, aku pulang dulu ya…” ucapku. Akhirnya aku sadar kalau aku nggak mungkin terus di sini melanjutkan kebodohan dan kekonyolanku yang memalukan ini.

“Hemmm…” Erik mengangguk kalem, nggak ada basa-basi.

“Bye…” pamitku pelan.

Aku segera bangkit dan bergegas melangkah menuju motorku. Aku nggak bisa berlama-lama lagi…! Aku nggak berani melihat Erik lagi buat pamitan. Langsung ku-starter motorku. Segera bergerak meninggalkan rumah Erik. Cepat-cepat meluncur di jalan…!

Rasanya aku pingin nangis sepanjang jalan! Dongkol! Kesal! Malu…! Semua udah kusiapkan dengan baik, bahkan sampai mengemis-ngemis pinjam duit, ngobok-ngobok keranjang CD diskonan, milih kertas sama bungkusan kado yang bagus! Kenapa akhirnya aku cuma ngasih Erik sebiji apel?!!! Buah yang iseng kubeli seharga dua ribu perak?!!! Benar-benar aku pemuja yang payahhh…!!!

Memasuki gerbang rumahku, aku langsung nyelonong mengarahkan motorku ke garasi. Sampai kebablasan nabrak kotak sampah. Aku nggak peduli! Aku turun dari motorku dan langsung menuju ke kamar…!

“Dimas, Mama habis beli fried chicken tuh, ada di dapur…” ujar Mama yang kulewati di ruang tengah.
Aku terus menyeret langkahku, tanpa peduli.

“Itu Kak Dimas pulanggg…” gumam Tante Hilda, ngomong sendiri sama Nino sambil nimang-nimang sepupuku yang masih balita itu.

Kunaiki tangga. Membuka pintu kamar, langsung masuk. Kulempar jaketku… dan… Brukkk…! Kujatuhkan diriku, rebah di kasur. Kubenamkan mukaku ke bantal.

Kenapa sih, aku nggak pernah bisa ngelakuin sesuatu dengan benar buat Erik…?!

“Ada apa, Mas?”

Kudengar Denis masuk kamar dan menanyaiku. Aku diam. Membisu di atas tempat tidurku. Nggak penting aku jelasin pengalaman memalukanku ke dia.

“Bete lagi? Ya ampun…” celetuk Denis.

Lalu dia duduk di kasurku sambil memetik-metik gitar. Aku semakin membenamkan mukaku ke guling.

“Mas, aku habis dengerin CD-nya Papa tadi. Lagunya Iona enak juga lho, Mas… Tapi gitarannya susah, lu dengar deh habis itu ajarin gue…!” cerocos Denis seolah dia itu nggak peduli perasaan hatiku saat ini seperti apa!

“I will give my love an apple, without any core…”

Lagi-lagi… Kudengar Denis malah menyanyi…

“I will give my love a house without any door…”

Kenapa dia harus nyanyi lagu itu?!! Kenapa harus ada lirik seperti itu…?!!!

Tiba-tiba Denis mengintip wajahku.


“Dimas, elu nangis…?”





***





Keranjang 8
A Break At Night






Aku terbangun tengah malam, di tengah waktu yang serba lelap. Terbaring, mata menatap langit-langit. Aku mau balik tidur untuk menghindari jalannya pikiran yang gundah, tapi… Mataku susah buat kupejamkan lagi. Benakku langsung mengawang pada kejadian tadi sore. Soal Erik. Kado. Apel… Perasaan yang dipenuhi kegagalan. Mencintai dengan begitu susah payah tapi semuanya gagal.

Aku tahu. Semua itu karena aku… cowok yang jatuh cinta sama cowok. Pasti ini sebuah lelucon besar bagi banyak orang. Itu membuatku di satu sisi ingin sembunyi, di sisi yang lain ingin ditemui… Siapa sih yang mau hidup sendiri? Siapa yang mau selamanya memendam perasaan? Nyiksa!

Erik… Ngebayangin aja susah, terlalu susah dan muluk ngebayangin sosok cowok sesempurna dia bisa suka ke sesama cowok seperti aku ini. Tapi gimana lagi, harus kuapakan perasaan yang telanjur tumbuh dalam diriku ini?

Munafik kalo aku bilang nggak pingin jadi pacar Erik… Tapi aku juga nyadar kehidupan nyata itu seperti apa! Belum bilang cinta saja sudah jadi olok-olokan. Ngasih perhatian dianggap show off, berlebihan… Gimana aku bisa terus terang? Andai saja dia itu ramah dan memperlakukanku tanpa membangun jarak, tanpa membangun dinding yang tebal, mungkin beban perasaanku nggak akan seberat ini. Paling nggak, aku nggak selalu jadi serba salah di tiap hal yang kulakukan demi dia…

Pengalamanku sore tadi waktu ngasih Erik kado, sekarang membuatku makin merasa kalau aku ini… memang nggak pantas buat dia. Lebih dari itu, aku merasa jadi orang yang layak dia benci. Aku cuma ingin ikut senang saja di momen ulang tahunnya. Tapi akhirnya aku tetap berujung pada rasa gelisah dan kesepian, yang membangunkanku malam ini…

Aku bangun dari rebahanku. Duduk di atas kasurku dan diam termenung. Sebersit melirik gitarku yang tersandar di tepi dipan. Kuraih, kudekap gitarku. Mulai kupetik pelan-pelan. Denting-denting kecil di tengah heningnya kamar.

“Lascia ch’io pianga… Mia cruda sorte…” aku mengecap satu lirik pelan-pelan…

Aku terdiam lagi. Bukankah… bersikap seperti ini malah akan membuatku tambah sedih…? Tenggelam tambah dalam…? Kuletakkan gitarku lagi. Sudahlah…! Jangan dibikin tambah sakit dengan menyanyi lagu sedih!


Aku menengok ke sampingku. Memandang beberapa saat… Setengah berbaring kutopang kepalaku, menghadap seseorang yang sedang tertidur di sampingku…

Denis tertidur pulas. Aku mengamati wajahnya. Mirip aku. Tapi… Raut wajahnya tampak lebih lepas. Nggak ada garis gelap di bawah matanya, nggak seperti mataku ini yang sering menyembunyikan masalah. Wajahnya kelihatan lebih damai. Bukan karena dia sedang tidur… tapi sepertinya, apa yang ada di dalam dirinya memang lebih mengalir dibanding diriku…


Denis ini… anak yang nggak pernah kapok meski aku sering ketus padanya. Aku lagi bete, dia malah menyanyi. Dan entah kenapa lagunya sering mengena buatku. Seperti tadi, aku terus berbohong kalau aku sedang menangis, lalu dia nyanyi lagi dengan begitu lepasnya seolah tanpa beban. Membuat perasaanku akhirnya ikut meringan… lalu aku bisa tertidur meninggalkan pikiranku yang kusut.

Meski sekarang aku terbangun lagi… tapi ini justru seperti kesempatan bagiku buat bercermin pada sodara kembarku ini. Sodara yang jauh, sejak kecil dipisahkan dari keluarga ini, tapi dia tetap jalan dengan hidupnya yang… mungkin lebih berat dariku. Kubayangkan saat dia harus hidup terpisah jauh dari orang tua, padahal waktu itu dia masih kecil… Iya, aku sendiri sekarang baru bisa berpikir lebih jernih bahwa… aku ini hidup lebih beruntung. Aku hidup dengan Papa sama Mama yang selalu ada di sini. Biarpun mereka sibuk tapi aku nggak pernah kekurangan kasih sayang… Perasaan cintaku ke Erik adalah masalah penting, tapi harusnya aku nggak secengeng ini. Memang berat dan serba salah, tapi… Aku nggak boleh lupa kalau aku masih punya kasih sayang lainnya dari orang-orang yang berharga dalam hidupku. Aku nggak boleh terbenam dengan rasa sedih seperti ini…

Pelan-pelan, kurebahkan wajahku ke sisi Denis. Aku sering merasa hati ini kosong… Harusnya aku nggak boleh merasa seperti itu! Orang yang kupeluk ini, sebenarnya orang yang selalu mencoba mengerti diriku di saat orang lain nggak mau mengerti. Saat satu orang nggak suka padaku, aku harus ingat bahwa ada orang lain yang menyayangiku…

Sudahlah… Lepaskan saja beban hati dan pikiran yang kusut ini. Bebaskan diri dari rasa serba salah itu. Istirahat dan berharap saja, esok pagi semuanya akan kembali baik.


Malam, tolong antar aku lagi… ke tidur yang lebih damai…





Bersambung Ke Keranjang 9...
0 komentar

Posted in

Posting Komentar