RSS

Keranjang 43 - 44


Keranjang 43

Boikot







Apa yang terjadi di sekolah hari ini?

Mataku terpaku menatap kolom-kolom kosong di bingkai besar itu. Kecemasan segera membayangiku…!

“Perasaanku nggak enak! Ini aneh!” gumamku terheran-heran menatap papan Mading. Baru kemarin aku membaca artikel-artikel Anita soal homoseksual itu. Sekarang artikel-artikel itu udah nggak ada!

“Udah! Bukannya lu senang nggak ada tulisan-tulisan itu di sini?!” sahut Denis yang berdiri di sampingku.

“Memang mending jangan pernah dipasang! Tapi kemarin nekat dipasang, dan sekarang dibredel! Firasatku nggak bagus!” bisikku resah. “Lihat tuh, tulisan-tulisan yang lain masih ada, cuma tulisan soal homoseksual aja yang nggak ada! Padahal ini bingkai Mading ada gemboknya! Ini kan aneh?!”

“Dibredel atau apa, biarin lah! Lu ambil positifnya aja! Habis ini kan berarti nggak ada lagi bahan buat ngungkit-ungkit soal gay, orang-orang jadi lebih cepet buat ngelupain soal lu kan?” sahut Denis menahan prasangkaku.

Memang, Denis kemarin juga baca artikelnya Anita. Dari kemarin dia juga menyemangatiku agar optimis. Tapi sekarang…???

“Aku tetap ngerasa nggak enak. Kalo aku belum tahu alasan apa yang bikin artikel-artikel ini dibredel, aku belum bisa tenang…!” cetusku risau.

“Terus lu mau apa?”

“Aku mau cari Anita. Dia pasti bisa ngasih penjelasan…!”

“Udah lah, Mas…!”

“Den, terus terang feelingku nggak bagus soal masalah ini! Aku nggak mau telat menyadari apa yang sedang terjadi. Aku berharap nggak ada masalah… tapi kenyataannya kayak gini…! Ini kayak ada yang nggak bener?!”

Denis mendesah, ikut gelisah.

“Aku cuma mau memastikan. Masalah harus dihadapi, bukan dihindari! Semoga saja memang nggak ada apa-apa!” harapku di tengah rasa cemas.

“Tapi lu juga harus bisa bedain, antara menghadapi masalah sama cari-cari masalah!” tukas Denis.

“Aku ngerti. Aku nggak akan cari-cari masalah. Tapi aku mau cari tahu apakah ini ‘masalah’ atau nggak! Kamu doain aja nggak ada masalah. Oke? Wish me luck aja, say…!” ujarku dengan senyum kecut.

“Pakai ‘say’…?! Ember lu ah!” tukas Denis dengan wajah kesal. “Ya udah terserah lu! Asal nggak tambah besar aja masalahnya! Gue mau ke kantin…!”

“Aku mau cari Anita dulu!” ucapku bulat.

Denis beranjak mendahuluiku, meninggalkanku yang masih berdiri di sini di depan Mading. Aku tahu dia perhatian denganku, tapi kurasa aku dan Denis memang punya feeling yang berbeda soal masalah ini. Hatiku was-was, rasanya nggak tenang. Masalah jangan dicari, tapi kalau masalah udah telanjur mencari kita maka mau nggak mau harus dihadapi!

Maka harus ada yang bisa menjelaskan perkara ini. Anita-lah orangnya…!

Tapi… Aduh!!! Kelasnya Anita di mana ya? Aku nggak tahu dia di kelas mana! Dodol banget nih otak! Niat udah serius gini buat cari tahu duduk persoalannya, malah sampai nggak nyadar kalau kelasnya Anita aja aku belum tahu!

Tapi, mungkin aku bisa tanya Aldo…? Aku masih ingat, dulu dia pernah bilang kalau dia sekelas sama Anita! Tapi… manusia sengak sinis plus sombong macam Aldo gitu emang bisa diajak kerjasama???

Dicoba dulu! Aku nggak punya banyak waktu, jam istirahat pertama ini tinggal 10 menit lagi! Kucari nomor Aldo di HP-ku, lalu segera kupanggil nomornya…

“Ada apa?!” suara malas Aldo langsung membalas panggilanku.

“Kamu di kelas mana?” aku langsung to the point.

“Mau apa? Dulu aku udah bilang kan, aku nggak bisa nemuin kamu di depan orang banyak! Apalagi di kelas!” nada curiga sekaligus ketus bisa kudengar dari suara Aldo yang pelan. Di belakangnya terdengar suara berisik, dia pasti di sekitar keramaian kelas. Makanya dia ngomong agak lirih, takut kedengaran! Tapi tetap saja nadanya tajam!

“Siapa yang mau nemuin kamu? Nggak usah ge’er ya!” tukasku. Sebal sama nih anak, udah sombong, sengak, ge’er pula!

“Terus ngapain tanya-tanya kelas?!”

“Kamu sekelas sama Anita kan? Aku mau ngomong sama dia!”

“Ngomong sama dia? Pasti soal Mading kan?! Kubilang juga apa?! Dari semula aku udah nggak setuju! Aku nggak mau bantu apa pun kalo masih ada hubungannya sama itu!” tukas Aldo.

“Iya, aku tahu kamu nggak mau ketahuan sama orang lain! Tapi yang perlu ngomong sama Anita itu aku, apa susahnya sih ngasih tahu kelas kalian?! Lagian aku juga nggak akan bocorin soal kamu…!”

“Udah bagus tulisan itu dibredel, biar semua cepat lupa. Ngapain kamu malah repot-repot ngurusin? Toh kemarin kamu habis diejek lagi sama orang-orang kan?!”

“Jadi kamu sendiri ngerti kan, kalo efeknya langsung ke aku?! Harusnya nggak aneh kan, kalo sekarang aku mau cari tahu masalah ini?!” balasku, ikut mengendalikan volume bicaraku biar nggak jadi perhatian anak-anak lainnya yang berseliweran di sekitarku.

“Kali ini udah di luar kendalimu. Kamu nggak akan bisa berbuat apa-apa lagi untuk masalah ini. Mungkin yang masih bisa kamu lakukan adalah berhenti membuat masalah ini makin besar. Udah lah… Anita pun nggak akan bisa bantu kamu juga! Jadi mending kamu tuh nggak usah nambahin tingkah!”

Kata-kata Aldo membuat dadaku jadi meremang dan bergidik. Kok sepertinya terasa makin serius gini…?!!

“Sebenarnya masalahnya tuh apa sih?!” kulikku tegang.

“Nanti kalo semua udah tenang mungkin aku bisa jelasin. Tapi nggak bisa sekarang. Ini juga orang-orang udah pada ngelihatin aku ngomong lewat HP kayak gini…!” tukas Aldo, dan…
TUTTT… dia menutup HP-nya!

Sialan! Bukannya membantu apa-apa, malah bikin pikiranku tambah runyam! Apa maksud Aldo bilang ini semua di luar kemampuanku? Ini malah membuatku makin nggak tenang! Ini jelas memang ada masalah…!

Sebentar…! Kulempar pandanganku ke seberang lapangan, ke komplek kelas IPA… Tampak di sana Aldo sedang duduk di serambi depan kelas, berbaur bersama kerumunan anak lainnya… Dia mulai berdiri, dan… masuk ke kelasnya…!

Kelas IPA C! Ketahuan juga kelasmu!!!

Aku bergegas menyeberangi lapangan, menuju ke komplek kelas IPA. Kelas IPA C, jelas itu pasti kelasnya Aldo dan juga Anita!

Dengan langkah pasti aku masuk ke kelas IPA C. Dan dengan mudah sosok cewek jangkung berambut kriwil dan berkacamata bundar itu langsung kutemukan sedang duduk di salah satu bangku deretan depan. Kulihat sekilas Aldo juga tengah terbengong-bengong di bangku duduknya di deret tengah, saat melihatku berhasil menemukan kelasnya. Tapi nggak ada waktu buat menghiraukan Aldo! Aku langsung menuju ke tempat duduk Anita!

“Anita!” tegurku.

Anita langsung mengalihkan mukanya dari majalah yang sedang dibacanya, memandangiku dengan terkaget-kaget.

“Kenapa dengan Madingnya?” tanyaku to the point, sedikit berbisik, takut terdengar anak-anak lainnya yang ada di kelas.

“Aku nggak bisa bahas itu sekarang…!” Anita langsung mencoba menghindar.

“Nggak perlu panjang-panjang, cukup kasih tahu aja inti masalahnya apa! Ini aneh, tulisan-tulisanmu langsung menghilang padahal baru sehari dipajang?!” desakku.

Anita mendengus lesu. “Oke, oke… Tulisan-tulisan itu dibredel tadi pagi…!” bisik Anita dengan muka kalut. “Ada yang komplain soal kelayakan artikel itu. Tadi Dewan Pembina Mading ngasih tahu aku, kalo artikelku harus diturunkan…”

“Dewan Pembina…?” aku tercekat.

“Guru-guru bahasa, mereka dewan pembinanya. Pak Solikhul ketuanya…”

“Mr. Cool…? Guru bahasa Indonesia itu?! Jadi ini masalah sampai ke guru?! Memangnya siapa yang komplain?!” tanyaku makin tegang.

“Mas, ini masalahku!” sahut Anita ketus. “Aku yang nulis artikel itu. Habis jam sekolah nanti akan ada rapat. Aku harus bisa ngasih penjelasan soal artikel yang dikomplain itu ke Dewan Pembina… Aku belum bisa ngasih penjelasan sebelum hasil rapatnya jelas, aku sendiri belum yakin apakah ini seserius itu apa enggak. Jadi sebaiknya kamu nggak usah terlalu maksa dulu…! Mungkin ini juga nggak seserius yang kita kira…!”

Aku makin tercekat. “Sampai ada rapat segala sama guru-guru? Ini kayaknya serius An…?!” gumamku gelisah.

“Ya, mungkin juga serius! Tapi ingat, ini bukan untuk bahas kamu! Ini soal artikel itu, dan aku yang akan ditanyai soal artikel itu. Jadi kamu nggak perlu bawa-bawa diri kamu karena masalahnya bisa makin lebar. Itu bisa ngerepotin diri kamu sendiri, dan terus terang… itu juga akan menambah bebanku…!” cetus Anita dengan muka kalut.

Aku terhenyak.

Tet… tet… tet… Bel tanda akhir istirahat jam pertama berbunyi…

“Dulu aku udah susah payah bilang, sebagus apapun tulisanmu, nulis artikel seperti itu buat dipajang di Mading tetap bukan ide yang bagus…! Biarpun mungkin bukan aku yang harus menghadapi guru-guru itu, tapi akulah yang menghadapi cemoohan di luar sana dan itu udah terjadi sejak hari pertama artikel kamu dimuat… Aku akan lega kalo masalah ini cepat selesai. Tapi aku lebih senang kalau semua ini nggak pernah terjadi…!” cetusku mengakhiri perdebatanku dengan Anita.

Kutinggalkan Anita yang cuma terdiam dengam wajah kusutnya. Kutinggalkan kelas IPA C tanpa menghiraukan siapa-siapa lagi. Berpapasan dengan kerumun anak-anak lainnya yang masuk ke kelas, berpapasan dengan pandangan-pandangan mereka yang kadang masih terasa menyimpan cibiran… Yaaahhh… Masih kuhadapi, meski nggak begitu kuhiraukan lagi!
Dalam gegas langkah menuju ke kelasku, seketika jadi terpikir lagi… Siapa yang sampai segitunya komplain soal artikel-artikel itu???
Saat aku bicara lewat telpon sama Aldo tadi, sepertinya dia sudah tahu masalah ini?! Malah dia bisa bilang kalau ini semua di luar kemampuanku, dari mana dia bisa menilai seperti itu? Dari mana dia tahu?
Aldo juga selalu menentang soal pemasangan artikel itu di Mading…
Jangan-jangan…???
Aku tercekat dan menghentikan langkahku. Pikiranku mulai meruncing pada sebuah kecurigaan…
Apa peran Aldo di balik semua ini…???





***





Keranjang 44

Debat Kusut di Rekaman Tanpa Pita







Badan lesuku bersandar di atas kasur sejak pulang sekolah. Masalah makin ada aja, capek mikirin itu terus! Aku butuh merefresh kepalaku. Aku butuh sesuatu yang bisa bikin aku tenang.

Sebenarnya di saat seperti ini, aku ingin ada yang menemani. Sebenarnya aku pingin ke kost-nya Fandy. Tapi di luar sedang hujan. Aku kirim SMS, tapi nggak dibalas sampai sekarang. Memang cuma basa-basi sih, tanya “Lagi apa? Gmn kbr hr ini..?”

Memang bukan SMS penting, namanya juga cari teman ngobrol. Apa pulsa dia habis atau gimana, nggak tahulah. Tadi aku calling satu kali tapi juga nggak diangkat. Lagi ngapain ya dia…?

Tadi juga SMS ke nomornya Ben, tapi juga nggak dibalas. Kayaknya nomornya lagi nggak aktif, nggak ada ‘sent report’nya. Denis juga nggak tahu kemana, sejak sore tadi udah keluar rumah. Kalau ada Denis, paling nggak ada bahan buat usil, seru-seruan aja buat hiburan…

Akhirnya kembali ke laptop deh…! Cari hiburan sendiri!

Kubuka Facebook-ku. Siapa tahu ada status baru yang lucu, atau ada teman ngobrol… Eh, rupanya ada notifikasi baru…! Ada yang mengirim permintaan pertemanan…!

Permintaan pertemanan dari orang dengan nick… ‘Demas Andika’…??? Namanya kok mirip aku?!! Aku Dimas, dia Demas…? Sama-sama ada ‘Andika’ nya juga…??? Mau ngerjain aku nih??

Foto profilnya, kayaknya aku pernah lihat orang ini…? Dan ada ‘teman yang sama’… yaitu… Aku dan dia berteman dengan…

Mas Awan…?!!

Ingat, ingat, pantesan aku ngerasa pernah lihat orang ini! Ini kan boyfriend-nya Mas Awan!!! Aku pernah lihat dia di foto HP-nya Mas Awan, terus waktu di Sangeh aku juga lihat dia menjemput Mas Awan…!

Kalau begitu… confirm deh…!

Aku jadi penasaran melihat foto-fotonya yang lain. Diamati lebih lekat… wajahnya cakep juga sih… Ya ampunnn, ini sih secara fisik sekelas sama Erik.

Jadi kangen juga sama Mas Awan. Tapi dia jarang online. Sesekali SMS-an, tapi kadang aku rada sungkan juga kalau SMS-an, takut kalau dia lagi sibuk. Sekarang dia sama boyfriend-nya juga nggak online…

Kapan aku bisa kayak mereka?

Tiba-tiba HP-ku berbunyi, nada panggilan! Langsung kuraih HP-ku, dan kulihat nomor siapa yang menelpon.

“Halo?” kuangkat panggilan Aldo.

“Aku kirimin sesuatu di email-mu…” Aldo langsung tanpa basa-basi.

“Eh…? Ke emailku??? Tahu dari mana alamat emailku?!!” sontak aku heran dan curiga!

“Ada di FB-mu…!”

“Lho…? Memangnya kita berteman di FB?”

“Nggak. Tapi info kontakmu nggak di-private! Dasar ceroboh! Untung aku nggak maksud jahat sama kamu!”

Ya gini nih! Bawaannya tuh pingin berantem aja kalau ngomong sama mahluk satu ini! Belum ada 10 detik ngomong kayaknya, udah ngatain aku ceroboh! Kampret tuh anak!

“Oooo… Jadi ceritanya kamu cari-cari profil FB-ku dari friendlists teman-temanmu, ketemu, terus beruntung dapat email-ku, terus langsung ngirim-ngirim ke email-ku gitu? Cara stalker gini bikin risih tahu?!”

“Udah sekarang buka aja kirimanku! Komentarnya nanti!”

Tut. Aldo langsung menutup HP-nya. Berasa pingin kunyah-kunyah nih HP saking sebalnya!

Kubuka emailku. Di antara notifikasi dari Facebook yang bejibun di email-ku, ada satu yang paling mencolok karena berjudul ‘rekaman’. Yang itu jelas bukan dari Facebook! Aku langsung tanggap, itulah kiriman Aldo!

Rekaman? Rekaman apa? Nggak pakai pikir panjang, kubuka kiriman Aldo. Kubaca catatan di suratnya.

“Rekaman Rapat Mading”

Rapat yang bahas soal artikel Anita itu kah? Gimana Aldo bisa bikin rekaman rapat itu? Makin bikin penasaran…! Kalau benar ini rekaman rapat, Aldo ini bukan stalker lagi! Tapi spionase!

Kutunggu proses download file dengan sedikit tegang. 3 menit… 5 menit… 8 menit… Selesai! Sebuah file WMA ter-download, rekaman suara…

Segera kuputar rekaman itu…

Aku dengar sebuah percakapan, agak berdesis tapi cukup jelas untuk diikuti…

“Terima kasih atas kehadirannya… Saya sebagai Ketua Dewan Pembina Majalah Dinding membuka rapat ini. Pada intinya kita akan mendiskusikan mengenai muatan tulisan dalam Mading yang telah mendapatkan keluhan dari beberapa pihak, yaitu tulisan artikel yang ditulis oleh Saudari Anita. Meski rapat ini berada di lingkup Organisasi Siswa Intra Sekolah dan meliputi peran serta dari beberapa guru, tapi kita akan menjalankan secara semi formal saja, santai tapi santun, dengan harapan masalah selesai secara damai dan kekeluargaan…”

Bla, bla, bla… Seperti biasa, Pak Solikhul guru Bahasa Indonesia itu kalau ngomong panjang lebar kemana-mana. Cara ngomongnya itu gampang banget ditebak!

“Majalah Dinding ini pada dasarnya adalah bentuk kreatifitas yang dikelola di bawah OSIS, tepatnya Divisi Majalah Dinding yang secara organisasi berada di bawah Seksi Persepsi, Apresiasi dan Kreasi Seni. Oleh karenanya kami juga mengundang seksi-seksi yang bersangkutan, begitu juga kami mengundang Ketua beserta Sekretaris OSIS. Sedangkan Seksi Ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Mahaesa, juga kami undang berkenaan dengan keluhan yang telah diajukannya kepada redaksi Majalah Dinding…”

Yang komplain soal tulisan Anita itu adalah dari Seksi Ketaqwaan…???!!! Ooo My GOD…!

“Kemarin, begitu kami menerima keluhan yang disampaikan oleh Saudara Indra dari Seksi Ketaqwaan mengenai artikel yang ditulis oleh Saudari Anita berjudul… ‘Homoseksual, Sebuah Warna Realita’, kami segera menurunkan artikel tersebut dari Majalah Dinding sebagai usaha untuk menenangkan suasana terlebih dahulu. Tidak menutup kemungkinan artikel tersebut akan dipajang lagi nanti, itu tergantung pada kesepakatan yang bisa diambil melalui rapat ini. Oleh karena itu, supaya masalah bisa segera dijernihkan, mari kita mulai berdialog. Pertama-tama, saya persilakan dulu Seksi Ketaqwaan untuk menyampaikan kembali keluhan-keluhannya supaya dapat didengarkan secara langsung oleh semua yang hadir di rapat ini khususnya para Pengurus Redaksi Majalah Dinding…”

Benar! Ternyata yang komplain adalah dari Seksi Ketaqwaan…! Apa tujuan mereka…???

“Baik, terima kasih untuk kesempatan yang diberikan kepada kami. Saya mewakili Seksi Ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Mahaesa, yang mana saat ini beberapa anggotanya turut hadir, akan menyampaikan keluhan kami atas artikel yang ditulis oleh Saudari Anita yang telah dimuat di Majalah Dinding. Kami sudah berdiskusi secara intern dengan para anggota Seksi Ketaqwaan dan juga sharring dengan beberapa teman dari luar kepengurusan, sejak kemarin begitu artikel tersebut dimuat. Dan kami sepakat bahwa artikel yang membahas tentang homoseksual tersebut tak layak diterbitkan di Majalah Dinding sekolah…! Kami berpendapat bahwa artikel tersebut memuat persuasi yang memancing pembaca untuk bersimpati terhadap kaum homoseksual. Bahkan dengan dipaparkannya tokoh-tokoh yang notabene adalah homoseks, kami menangkap itu seperti ajakan kepada pembaca untuk mengaguminya. Padahal sudah jelas di dalam agama, homoseksual itu adalah sebuah perilaku yang dilarang! Bangsa kita adalah bangsa Timur, menganut budaya yang menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan moral kesusilaan. Dan sekolah adalah tempat di mana siswa menuntut ilmu, belajar akhlak dan budi pekerti, Majalah Dinding sebagai media ilmu seharusnya bisa memuat konten-konten yang bermoral…! Karenanya kami tidak setuju artikel tentang homoseksual itu dimuat di Majalah Dinding sekolah kita. Untuk itu kami berterima kasih karena artikel tersebut telah ditarik kembali, dan kami berharap artikel tersebut tidak akan dimuat lagi. Tapi kami tetap meminta penjelasan dari pihak pengelola Mading khususnya Saudari Anita sebagai penulis artikel tersebut, sebenarnya apa tujuan menulis seperti itu? Mohon dijelaskan kepada kami…! Untuk sementara itu dulu, terima kasih!” juru bicara Seksi Ketaqwaan itu menyampaikan panjang lebar.

“Baik. Jadi seperti itu keluhan yang disampaikan oleh Seksi Ketaqwaan, sebagaimana sudah disampaikan juga kepada saya kemarin. Mungkin ada lagi yang ingin menambah pendapat, sebelum saya menyerahkan kesempatan kepada Pengurus Redaksi Majalah Dinding untuk menjawab?” tanggap Pak Solikhul.

“Maaf Pak, saya ingin bertanya kepada Seksi Ketaqwaan…” tiba-tiba ada yang menyahut, tapi yang pasti bukan suara Anita, karena suaranya cowok.

“Ya, silakan…!”

“Saudara Indra, anda mewakili Seksi Ketaqwaan?”

“Ya, saya ditunjuk teman-teman saya sebagai juru bicaranya…” jawab Indra, yang mengaku juru bicara dari Seksi Ketaqwaan itu.

“Oke. Ada berapa sub-Seksi di dalam Seksi Ketaqwaan?”

“Sub-Seksi tergantung pada jumlah agama yang dipeluk di sekolah ini, ada 4, sub-Seksi Kerohanian Islam, Kristen, Katholik, dan Buddha. Tidak ada sub-Seksi Kerohanian Hindu karena tidak ada yang beragama Hindu di sini… Mungkin ada, tapi tidak mengajukan wakilnya ke dalam Seksi Ketaqwaan…” jelas juru bicara Seksi Ketaqwaan yang bernama Indra itu.

“Jadi ada 4 sub-Seksi. Seperti tadi anda bilang bahwa anda sudah berdiskusi secara intern dengan anggota-anggota Seksi Ketaqwaan, apakah itu meliputi semua sub-Seksi yang ada di Seksi Ketaqwaan?”

Suasana hening sejenak. Sepertinya juru bicara Seksi Ketaqwaan itu sedang berpikir-pikir… Mungkin. Aku ikut merasa tegang…!

“Sebenarnya tidak meliputi semua sub-Seksi. Sub-Seksi Kerohanian Katholik dan Buddha tidak ikut dalam diskusi…” jawab juru bicara itu kedengaran agak ragu.

“Karena?” si penanya masih mengejar.

“Karena… Diskusi kami adakan tidak secara formal, karena begitu artikel itu diterbitkan pikiran kami merasa terganggu dan ingin secepat mungkin menyikapinya. Maksud saya, antara sub-Seksi Kerohanian Islam dan Agama Kristen, kebetulan kami berdua satu kelas jadi…”

“Jadi tak perlu rapat Seksi secara formal?” si penanya memotong.

“Ya… Kami merasa terganjal dengan isi artikel itu, dan kebetulan kami leluasa untuk saling sharring karena kami sekelas, dan untuk masalah ini kami sepakat satu pendapat. Maka kemarin sepulang sekolah kami segera menyampaikannya kepada Pak Solikhul yang kami tahu sebagai Ketua Dewan Pembina Majalah Dinding…”

“Jadi sub-Seksi Kerohanian Katholik dan Kerohanian Buddha tidak ikut membicarakannya bersama anda berdua? Bagaimana anda bisa mengajukan komplain atas nama Seksi Ketaqwaan, padahal tidak ada pembicaraan yang memadai yang melibatkan semua sub-Seksi secara lengkap?”

“Tapi kami berdua dari sub-Seksi Kerohanian Islam dan Kristen, 2 sub-Seksi berarti sudah separuhnya… Bagaimanapun kami tetap pejabat Seksi Ketaqwaan kan?” ucap juru bicara itu agak gugup.

“Cuma separuh. Sebenarnya kalau ada tiga-per-empat sekalipun, anda tetap tidak bisa mengatasnamakan Seksi Ketaqwaan. Karena sesuai aturan, aspirasi atas nama Seksi Ketaqwaan diharuskan bulat, disepakati dengan melibatkan semua anggotanya. Prinsip yang dipakai bukan suara mayoritas, tapi hasil mufakat yang bulat melibatkan semua sub-Seksi… Kalau tidak ada kontribusi kesepakatan dari satu sub-Seksi saja, maka tidak bisa diatasnamakan Seksi Ketaqwaan…”

Suasana terdiam beberapa saat. Ada suara berbisik-bisik tapi nggak terekam jelas. Seperti suasana yang mulai menemui kebingungan. Dan kebingungan itu kayaknya ada di pihak Seksi Ketaqwaan, yang niatnya mau komplain tapi nggak tahunya malah kena kritik balik…

Siapa sih yang ngritik ini? Kritis benar…?

“Ya, aturannya memang begitu. Tapi kami tergerak oleh kondisi yang menurut kami harus segera disikapi. Menurut kami artikel itu harus secepatnya ditarik karena isinya terlalu bertentangan dengan moral, itu menimbulkan keprihatinan kami. Mungkin memang aspirasi kami tidak mewakili semua anggota Seksi, tapi bukankah kita menjalankan prinsip demokrasi?! Kami tetap punya hak untuk beraspirasi kan? Dan bagi kami ini menyangkut masalah penting! Jadi mohon supaya masukan yang berniat positif ini tidak dimentahkan…!” juru bicara yang bernama Indra itu terdengar gugup dan sepertinya mulai emosional.

“Tenang-tenang…!” suara Pak Solikhul menyela, menenangkan perdebatan. “Benar, kita menganut demokrasi. Aspirasi yang telah disampaikan Saudara Indra tetap akan kami tampung. Apakah Saudara Erik punya gagasan yang lebih baik?”

Erik si rambut jigrak itu…? Atau ada Erik lain sih…???

“Justru karena kita memakai prinsip demokrasi, maka seharusnya tidak boleh ada pemaksaan aspirasi. Maksud saya, mekanisme yang dipakai Saudara Indra mengatasnamakan Seksi Ketaqwaan tapi kenyataannya tidak memberi ruang aspirasi kepada sub-Seksi yang lain secara adil!”

ASTAGAAAA… Itu memang mirip suaranya Erik!!! Tololnya aku, baru nyadar! Itu suara Erik…!!!

“Jadi kami tidak bisa beraspirasi hanya karena tidak memenuhi quota dalam Seksi Ketaqwaan?!” suara Indra membalas lagi.

“Saya perjelas lagi, yang saya tahu Seksi Ketaqwaan tidak memakai quota untuk menggalang suara, tapi mufakat yang disepakati bersama melalui keterlibatan semua sub-Seksi. Satu saja sub-Seksi tidak dilibatkan, maka aspirasi tidak bisa diatasnamakan Seksi Ketaqwaan. Begitu aturannya.”

“Jadi menurut anda, kami harus menarik aspirasi kami sampai kami bisa membuat rapat internal yang melibatkan semua sub-Seksi?” balik Indra.

“Prinsipnya jelas, memang begitu. Kalau semua sub-Seksi sudah sepakat satu suara, baru aspirasi tersebut bisa diatasnamakan Seksi Ketaqwaan… Kalau ada satu saja sub-Seksi yang tidak setuju, maka tidak bisa diatasnamakan Seksi Ketaqwaan…”

“Butuh waktu dua atau tiga hari untuk merencanakan diskusi seperti itu! Sedangkan masalah seperti ini harusnya cepat ditanggapi!”

“Kalau anda ngotot demikian, berarti anda arogan! Anda ingin aspirasi anda dihargai, tapi anda sendiri melanggar hak aspirasi dari sub-Seksi yang lain, karena anda tidak mau menyediakan waktu untuk melibatkan pandangan mereka. Kalau menurut anda masalah ini sedemikian penting, harusnya anda justru menyikapinya dengan matang! Bukan terburu-buru seperti ini…!”

Nah loh! Pada diam lagi semua…! Nggak bisa jawab kan?! Dapat pengalaman baru mereka, didamprat si idola sekolah…! Kalau aku sih udah kenyang didamprat sama dia!

“Kami tidak bermaksud seribet ini! Aspirasi kami seharusnya lebih penting untuk dibicarakan. Kalaupun mekanisme penyampaian kami harus dipermasalahkan, saya rasa Ketua OSIS lebih berwenang bicara. Saya dengan anda punya kedudukan sama, sama-sama sebagai pejabat Seksi. Kalau itu memang harus dipermasalahkan, kami minta petunjuk Ketua OSIS saja untuk meluruskan…!” tukas Indra si juru bicara itu pada akhirnya. Pusing pasti dia…!

“Saudara Erik, saya setuju mekanisme itu penting. Tapi rapat ini sudah berjalan, penyampaian pendapat sudah dilakukan. Jadi sebaiknya kita tetap tindak lanjuti saja. Saya tidak akan menyatakan pro atau kontra. Biar keluhan yang disampaikan oleh Saudara Indra ditanggapi oleh pihak pengurus Mading dahulu, baru kemudian disepakati keputusannya secara bersama, saya akan mendukung apapun keputusannya…” seseorang yang lain ikut bicara.

“Ya, saya setuju dengan pendapat Saudara Yuda, Ketua OSIS. Masalah mekanisme akan menjadi PR kita untuk diindahkan pada kesempatan-kesempatan berikutnya. Saat ini, sebaiknya kita fokus pada penyelesaian masalah saja supaya tidak berlarut-larut… Tadi saya juga sudah menyampaikan kalau rapat ini kita jalankan secara semi formal saja, tak perlu terlalu berat pada aturan, yang penting masalah selesai secara baik dan damai…” suara Pak Solikhul ikut menanggapi.

“Pada intinya saya cuma bermaksud menunjukkan, bahwa apabila Saudara Indra membawa nama Seksi Ketaqwaan maka itu tidak fair. Sepenting-pentingnya suatu masalah, sebaiknya tetap konsekuen dengan aturan. Pada dasarnya, saya juga mendukung supaya masalah ini segera tuntas, tidak hanya dengan damai, tapi juga dengan adil!” komentar Erik tegas. Meski juga terkesan diplomatis.

Nggak tahu kenapa, mendengar suara Erik di sini aku seperti merasakan wibawanya… dan integritas yang lebih dibanding yang lain… Kenapa ya??? Aku seperti… membuka kekagumanku lagi…

“Jadi, menurut anda rapat ini masih bisa dilanjutkan?”

“Saya cuma ingin mengingatkan bagian yang menurut saya keliru saja, Pak. Menurut saya, Saudara Indra bersama rekan-rekannya masih bisa menyampaikan aspirasinya. Tapi bukan atas nama Seksi Ketaqwaan, cukup sebagai aspirasi individu saja yang disampaikan secara bersama. Bagi saya juga tidak ada buruknya apabila masalah ini didiskusikan, asalkan dengan aturan yang adil…” tandas Erik.

“Baik, terima kasih atas masukannya. Kita akan berusaha sebaik mungkin supaya masalah ini selesai dengan damai dan adil. Saya setuju. Jadi bisa kita lanjutkan diskusinya…? Ada yang mau menanggapi lagi? Bagaimana Saudara Indra, dan rekan-rekan?” tanggap Pak Solikhul.

“Kalau kami tidak boleh mengatasnamakan Seksi Ketaqwaan, kami akan mencoba menerimanya. Yang penting aspirasi kami tetap ditanggapi dengan serius…!” tekan Indra.

“Jelas, kita tetap akan menampung dan menanggapinya. Kita tetap akan mengusahakan jalan keluar bersama…!”

“Segera dilanjutkan saja kepada Redaksi, Pak, supaya menghemat waktu. Ini sudah mau sore…” ada suara perempuan yang pelan menimpali. Mungkin anggota Dewan Pembina Majalah Dinding itu yang menemani Pak Solikhul, karena suaranya kedengaran agak tua.

“Baiklah kalau begitu. Kepada Pengurus Redaksi Majalah Dinding saya persilakan untuk menjawab aspirasi yang disampaikan oleh Saudara Indra tadi. Siapa yang akan mewakili bicara?”

“Saya, Pak. Sebagai Ketua Redaksi, sekaligus penulis dari artikel tersebut…!” satu suara segera menjawab. Jelas kali ini suara Anita!

“Silakan, Saudari Anita…!”

“Terima kasih…” suara Anita terdengar tenang sekaligus tegang. “Saya akan menjawab apa yang sudah disampaikan Saudara Indra yang mewakili rekan-rekannya. Meski saya sendiri merasa kalau penyampaian pendapat tersebut agak maksa, tapi saya bersedia menghormati hak orang lain untuk berpendapat…” ujar Anita dengan gaya sindirannya. “Saya akan menjawab berdasarkan poin-poin yang tadi dikemukakan. Salah satunya, tadi anda menyebut-nyebut istilah ‘bangsa dan budaya Timur’ sebagai alasan untuk mengkomplain artikel saya. Anda bilang isi artikel saya tidak sejalan dengan moral ‘bangsa dan budaya Timur’, yang menurut kata anda sangat menjaga nilai susila. Tapi maaf, menurut saya alasan anda masih sangat absurd. Jadi sebelum saya menjawab lebih lanjut, mohon supaya anda menerangkan lebih jelas apa yang anda maksud dengan ‘bangsa dan budaya Timur’?”

Lho…? Kok kesannya… Anita malah mengajak tebak-tebakan nih…??? Bakal makin ramai kayaknya…???

“Eee… Bangsa dan budaya Timur…” Indra menjawab dengan gugup. Sepertinya nggak siap mendapat pertanyaan balik! “Anda tahu lah, bangsa-bangsa Asia digolongkan dalam bangsa Timur, budayanya juga disebut budaya Timur. Indonesia termasuk di dalamnya. Sedangkan bangsa Barat meliputi Amerika dan Eropa…”

“Ehemm… Kalau begitu, coba anda lihat ke peta dunia itu…!” balas Anita, aku membayangkan dia pasti sedang menunjuk peta dunia yang mungkin dipajang di ruang rapat itu dan semua peserta rapat langsung melihat ke peta itu. “Anda lihat di peta dunia itu, sebelah barat benua Eropa ada Samudera Atlantik, kemudian setelah itu ada benua Amerika. Menurut anda, setelah benua Amerika jika terus ke barat akan sampai di mana?”

“Samudera Pasifik…” jawab Indra.

“Setelah Samudera Pasifik?”

“Benua Asia…”

“Nah… Jadi bukankah orang Amerika yang menurut anda adalah bangsa Barat, juga bisa menyebut Asia sebagai ‘bangsa Barat’ karena berada di arah barat benua Amerika?” balik Anita enteng. “Sebaliknya, dari Asia menuju ke timur maka juga akan sampai ke Amerika. Jadi kita juga bisa menyebut Amerika sebagai ‘bangsa Timur’ kan, karena letaknya di timur?”

“Y..yaa… Tapi saya rasa anda salah konteks! Semua daerah di bumi bisa ditempuh dari arah manapun karena bumi itu bulat! Tapi istilah ‘Timur’ setahu saya pertama kali dipakai oleh penjelajah Eropa, karena mereka menuju ke arah timur untuk memasuki Asia… Dalam konteks ini, istilah ‘Timur’ mengacu pada Asia! Termasuk Indonesia!”

“Saya salut dengan pengetahuan sejarah anda, tapi kalau saya harus memakai perspektif itu maka saya bisa saja menyebut India dan Arab juga ‘bangsa Barat’, karena saat memasuki Nusantara mereka datang dari arah barat. Tapi bukankah itu konyol? Saat anda membawa-bawa ‘bangsa dan budaya Timur’ untuk mempertanyakan artikel saya, maka saya harus menyebut pendapat anda sangat absurd. Homoseksualitas ada di belahan dunia manapun, jadi bukan soal ‘bangsa Barat’ ataupun ‘bangsa Timur’! Argumen anda tidak relevan dengan isi artikel saya! Kenapa harus bawa-bawa istilah ‘bangsa Timur’ untuk menyalahkan artikel saya? Tidak ada hubungannya!”

Nggak ada suara yang menjawab, cuma terdengar samar-samar suara ketawa. Ya, aku membayangkan muka orang-orang yang di-skak Anita itu pasti merah padam, malu dan geram, tapi nggak mampu jawab. Aku membayangkan saja rasanya tergelitik!

“Kenapa malah meributkan peta?! Esensinya bukan di situ…!” ucap Indra terdengar keki.

“Lho, justru itu bukti bahwa dasar argumen anda membingungkan…!” balas Anita.

“Baik, kita tidak perlu membahas istilah itu kalau anda bingung!” tukas Indra ngeles. “Saya to the point saja: bangsa Indonesia adalah bangsa yang berke-Tuhan-an, beragama, dan menjunjung tinggi etika. Itu maksud saya! Apakah anda mau menyebut perilaku homoseksual itu beretika, dan tidak bertentangan dengan agama? Kita bangsa Indonesia, kita punya Sila Pertama dalam Pancasila, ingat itu! Moralitas yang berlaku di Indonesia tidak menyetujui perilaku homoseksual yang jelas-jelas bertentangan dengan agama!”

“Baik, kita akan membahas sejarah lagi…” sahut Anita tenang. “Anda sekarang mulai memakai istilah ‘bangsa Indonesia’. Menurut anda, sejak kapan istilah ‘bangsa Indonesia’ dipakai?”

“Tentu saja sejak Indonesia menjadi negara! Negara itu wadahnya, bangsa itu isinya!” tukas Indra mantap.

“Indonesia jadi negara, berarti sejak 17 Agustus ’45…? Sebelum Indonesia merdeka, bukannya istilah ‘bangsa Indonesia’ sudah dipakai waktu Sumpah Pemuda…?” ada suara sahutan agak menggumam.

“Betul, saya setuju dengan Erik…!” cetus Anita. “Bangsa Indonesia sudah ada dan berbudaya, jauh sebelum Indonesia jadi negara, jauh sebelum Pancasila jadi dasar negara. Saya akan jelaskan dengan beberapa contoh. Di suatu daerah di Jawa Timur ada suatu tradisi di mana nilai-nilai homoseksualitas dianut bukan hanya sebagai nilai individu, tapi juga sebagai nilai sosial dan itu tidak ditabukan. Dan tradisi itu sudah ada sebelum kalimat Sila Satu Pancasila disusun! Kita, yang tinggal di Solo, harusnya juga tahu sejarah budaya Jawa. Menurut sebuah literatur klasik, homoseksualitas sudah dikenal oleh masyarakat Jawa sejak dulu. Kalau ingin tahu, namanya Kitab Centhini, dan buku itu juga sudah ada sebelum Pancasila jadi dasar negara Indonesia. Kesimpulannya, homoseksualitas sudah menjadi bagian dalam kekayaan budaya Indonesia, jauh sebelum Indonesia sendiri menjadi negara. Saya tidak hanya setuju dengan sila pertama Pancasila, saya setuju dengan semua sila Pancasila! Tapi kita juga tak seharusnya menafikan sejarah budaya kita! Dengan artikel itu, saya bermaksud melihat realitas…!”

Begitu jawaban panjang Anita berhenti, cuma ada keheningan tanpa sahutan. Nggak ada yang membalas…! Dan di sini aku bertepuk tangan…! Hebaatttt…!

“Kemudian soal tuduhan anda bahwa saya mengajak pembaca untuk mengagumi perilaku homoseksual,” lanjut Anita lagi, “Saya nyatakan bahwa anda salah alamat! Maaf kalau saya harus membuat pernyataan pribadi: saya sendiri pacaran dengan laki-laki dan saya tidak berharap pacar saya seorang penyuka sesama jenis! Apa yang saya sampaikan dalam artikel saya adalah, supaya kita berhenti menghakimi kaum homoseksual apalagi dengan dasar yang tidak jelas! Kalau anda benar-benar membaca artikel saya, saya pikir anda seharusnya cukup mampu untuk mencerna kalimat terakhir dalam artikel itu, saya bacakan saja di sini: Menerima homoseksual bukan berarti harus menjadi seperti mereka, tapi yang pasti akan menjadi pribadi yang lebih ramah dan toleran terhadap realita: bahwa realita itu memang penuh warna…! Apa saya memuji gay? Apa saya memuji lesbian? Apakah memaparkan sebuah realita itu sama artinya dengan memuji? Apakah kalau saya menyebut kaum homoseksual itu eksis, maka artinya saya menyuruh anda menjadi homoseks?!”

Buset…! Anita ini memang seperti orang yang tua sebelum saatnya! Di saat lawan bicaranya harus mikir-mikir dulu tiap kali menjawab pertanyaan, dia bisa menjabarkan isi otaknya dengan segitu entengnya! Mungkin itu juga yang membuat rambutnya jadi keriting, kepalanya gampang panas karena data-data di dalamnya sudah bejibun! Salut!

“Oke… Terima kasih buat kuliahnya…!” komentar Indra.

Halah…! Basi ah kalau pakai kalimat sinis macam itu!

“Bagaimana, Saudara Indra…?” tanya Pak Solikhul.

“Saya masih ingin menyampaikan sesuatu, Pak!”

“Ya, silakan…!”

“Masih saya tujukan kepada Anita. Jadi apa menurut anda kita tidak perlu menyeleksi budaya yang kita miliki? Anda menyebut homoseksual sebagai kekayaan budaya, sangat berkesan kalau anda menganggap homoseksual itu hal yang POSITIF! Meski anda tidak membuat kalimat ajakan secara langsung, tapi sepertinya anda memang membenarkan perilaku homoseksual! Anda sama sekali tak memberikan tinjauan agama dalam artikel anda karena anda tahu tidak ada agama yang membenarkannya! Anda cuma menulis apa yang bisa menunjukkan bahwa homoseksual itu ‘benar’! Di mana moral dari tulisan anda?” Indra masih menyerang lagi.

“Maaf, saya juga orang beragama, tapi saya tahu kapasitas yang saya bawa. Sekolah kita adalah sekolah umum, tidak berbasis pada agama tertentu. Mading juga media yang dibaca oleh siswa dengan latar agama berbeda-beda. Kalau ada agama yang harus saya pakai sebagai dasar tinjauan, yang mampu saya pakai cuma agama yang saya anut, karena cuma itulah yang paling saya pahami. Padahal belum tentu pengetahuan agama saya lebih baik dari anda kan?” balas Anita merendah, tapi tetap terasa menyindir. “Kalau saya memaksa diri untuk memakai sudut pandang agama saya, lalu bagaimana dengan pembaca yang latar belakang agamanya berbeda dengan saya? Ujung-ujungnya tulisan saya akan menjadi timpang juga kan? Lebih baik saya tidak bawa-bawa agama.”

Lagi, nggak ada yang membalas. Anita masih memimpin perdebatan.

“Itu kalau saya harus melayani arah pikir anda yang ingin bawa-bawa agama!” tukas Anita melanjutkan bicaranya. “Tapi sepertinya saya harus menekankan lagi kalau tujuan saya bukan untuk membahas benar-salahnya perilaku homoseksual. Tujuan saya adalah membicarakan realitasnya, terutama kedudukan sosialnya! Kaum homoseksual masih sering menerima diskriminasi dalam lingkungan sosial. Coba kita renungkan, pelaku kriminal saja yang hukum pidananya jelas, masih diberi hak untuk membela diri dan mengajukan banding. Sedangkan homoseksual, dimana hukum pidana tidak menyebutnya sebagai perilaku kriminal, malah didiskriminasi dan dikenai stigma-stigma yang keliru! Itu konyol! Tidak adil. Saya membahas toleransi, bukan benar-salahnya…!”

“Anda terlalu naif! Anda melupakan kenyataan bahwa masyarakat kita memiliki etika dan agama. Keberadaan homoseksual itu sendirilah yang melawan arus! Masyarakat manapun pasti akan mempertahankan norma yang dimilikinya! Jadi jangan salahkan masyarakatnya! Homoseksual mungkin memang tidak dikategorikan kriminalitas, tapi sudah jelas bahwa itu menentang norma masyarakat! Mengingat artikel anda itu dibaca oleh siswa di sekolah ini, yang notabene adalah generasi muda, kami prihatin merasakannya. Kalau anda sendiri merasa diri anda ‘normal’, kenapa anda tidak tergerak untuk membuat wacana yang lebih mencerminkan moral yang wajar? Yang sesuai dengan norma masyarakat kita?” balas Indra sengit.

“Maaf, saya ingin ikut bicara…” suara Erik muncul lagi. “Saat saya mendengarkan penjelasan Anita, saya faham maksudnya. Tapi sepertinya anda masih bingung menanggapinya. Supaya tidak semakin berbelit-belit, saya coba beri analogi saja. Misalnya, agama A mengharamkan daging babi, tapi agama B menghalalkannya, lantas apakah agama A harus berperang untuk melawan agama B? Tolong jawab dulu…!”

“Tidak, perang itu respon paling ekstrem. Tapi tentunya agama B juga tidak boleh memaksa umat agama A untuk memakan babi…!” jawab Indra dengan agak ragu setelah sepertinya perlu berpikir sejenak.

“Tapi menurut agama A, perilaku agama B salah bukan?” kejar Erik.

“Ya, tapi keyakinan seseorang tidak bisa dipaksakan! Selama tidak saling memaksa, tentunya tidak perlu ada konfrontasi…!” jawab Indra.

“Nah, saya rasa prinsipnya sesederhana itu. Kalau anda bisa membuktikan bahwa Anita telah MEMAKSA pembaca, maka saya siap berada di pihak anda!” cetus Erik.

Huaaa….!!! Mantap banget diplomasinya! Betul…!

“Sekali lagi, tujuan artikel saya bukan untuk menilai homoseksual itu dosa atau tidak. Saya tidak peduli kalau anda tetap menganggap homoseksual itu salah, silakan sebut homoseksual itu bertentangan dengan semua norma yang anda anut, itu hak anda dalam memiliki pandangan hidup. Tapi apakah anda boleh memaksakannya kepada orang lain? Apakah anda sendiri mau dipaksa? Apa yang saya buat adalah wacana. Wacana itu bukan paksaan. Kalau memang ada tolong tunjukkan saja, di kalimat mana saya MEMAKSA!” tantang Anita.

Indra bungkam sekarang. Begitu juga rekan-rekannya, memang sedari tadi mereka nggak bersuara sedikitpun. Begitu juga peserta rapat yang lain, nggak berkomentar. Semua terdiam.

“Saya sendiri membaca artikel Anita, dan saya menilainya sebagai sebuah wacana. Siapapun boleh setuju ataupun tidak setuju, tapi seharusnya tak perlu direspon secara panik…” Erik berkomentar lagi.

Iya, benar, menurutku komentar-komentar Indra menunjukkan semacam kepanikan…

“Saya maklum dengan komentar anda. Divisi Majalah Dinding ada di bawah seksi anda…!” ucap Indra dengan nada rendah, mencibir Erik. Tapi nada itu adalah tanda bahwa sepertinya dia sudah menyerah!

“Majalah Dinding memang ada di bawah Seksi Persepsi, Apresiasi dan Kreasi Seni. Tapi mau menjabat di seksi manapun, pendapat saya akan tetap sama kok…” jawab Erik terdengar santai.

“Rik, padahal kalau melihat sejarahmu, kamu sendiri punya pengalaman buruk dengan sesama laki-laki kan…?” tiba-tiba ada suara cowok lainnya yang menyahut sambil terkekeh.

“Nggak usah disinggung, Yud… Masa lalu!” tukas Erik sambil ketawa pelan.

APAAAAA???!!! Lagi rapat bisa-bisanya pada ngerumpi! Mereka ngungkit-ungkit soal itu di dalam rapat, mereka pasti berpikir kalau aku nggak mungkin dengar! Kurang ajar!!!

“Masa lalu apa?” tanya Pak Solikhul.

“Nggak, Pak! Cuma becanda aja si Yuda!” sahut Erik.

“Biar nggak stress aja kok, Pak. Dari tadi kan debat serius terus…” cetus Yuda, si Ketua OSIS yang rupanya selengean di rapat itu. Dari tadi diam saja, begitu ngomong langsung mengungkit masa lalu orang lain! Ketua OSIS sialan!

“Ya, baik, baik. Jadi bagaimana Indra? Tadi Anita dan Erik sudah menyampaikan jawabannya, masih mau ditanggapi?” ujar Pak Solikhul melanjutkan rapat.

“Saya sudah menyampaikan pendapat-pendapat saya, mewakili teman-teman saya. Kami sudah mendapatkan jawaban, tapi kami merasa tidak ada titik temu. Kami tetap berharap ada keputusan yang mengutamakan kebaikan siswa-siswa di sekolah ini. Karena tujuan kami bersekolah ingin mendapat pengetahuan yang benar dan bermanfaat. Bagi kami tetap akan lebih baik kalau artikel tersebut tidak diterbitkan…” ujar Indra panjang lebar, dan datar.

“Bagaimana dengan yang lain? Masih banyak yang dari tadi cuma diam…? Ada yang mau menanggapi?” tanggap Pak Solikhul. “Anita, masih ada yang ingin disampaikan?”

“Tidak, Pak. Saya sudah menjawab semuanya…”

“Kalau begitu, karena sudah tidak ada lagi yang mengajukan pendapat dan tanggapan, saya butuh waktu sebentar untuk berembug dengan pembina yang lain, dan juga dengan para Pengurus Redaksi Majalah Dinding. Mohon waktu sebentar. Yang lain, bisa menggunakan waktu untuk beramah-tamah…” ujar Pak Solikhul menutup perdebatan.

Aku mulai sadar dengan sesuatu yang aneh pada rapat ini. Terutama pada Pak Solikhul dan para pembina yang lain itu. Gimana ya… kalau dinalar, sebagai Dewan Pembina Majalah Dinding berarti seharusnya berada di pihak Majalah Dinding juga, kan? Tapi di sini malah Pak Solikhul jadi moderator rapat…? Prakteknya sih nggak terkesan sebagai moderator, karena selama diskusi dia kebanyakan diam. Kalaupun ngomong, cuma buat mengatur giliran bicara. Pada saat sengit, menengahi pun tidak! Menurutku kesannya malah seperti… pihak yang mengadu debat dua belah pihak…! Waktu Indra dan team-nya sudah ‘keok’, baru Pak Solikhul mengajak team Mading berembug. Harusnya sejak awal, sebagai Pembina dia pro aktif melindungi team Mading-nya! Nalarnya kan gitu…? Selama perdebatan, dia nggak membuat pembelaan sama sekali buat Mading-nya! Pembina-pembina yang lain juga, nggak ada yang angkat bicara! Aneh…!

“Baik. Setelah kami berembug, kami akhirnya membuat kesepakatan bersama,” suara Pak Solikhul muncul lagi. “Berhubung waktu juga sudah sore, saya akan langsung menyampaikan keputusannya. Mempertimbangkan kepentingan bersama, mengingat sekolah ini adalah tempat untuk mencari ilmu bagi siswa, maka kami berusaha membuat keputusan yang diharapkan bisa memberikan kenyamanan belajar bagi seluruh siswa di sekolah ini. Dewan Pembina Majalah Dinding, didukung kerelaan dari para Pengurus Redaksi Majalah Dinding, memutuskan bahwa artikel yang bermasalah tersebut kami tarik dari halaman Majalah Dinding secara permanen… tidak akan diterbitkan lagi…”

“Meskipun pihak redaksi sudah menjawab sebaik-baiknya keluhan yang ada, namun kami akhirnya menyadari, bahwa menerbitkan artikel itu lagi hanya akan mempertebal pergumulan di antara para siswa yang membacanya. Kemarin artikel tersebut sudah diterbitkan, lalu dicabut. Dan sekarang kalau diterbitkan lagi, saya kuatir itu hanya akan memancing tanda tanya yang lebih besar. Alangkah baiknya kenyamanan belajar-mengajar di sekolah ini tetap terjaga, karena itu adalah hal yang lebih penting. Mengenai diskusi kita hari ini, sebenarnya sangat menarik. Namun dalam hemat kami sebagai guru, alangkah lebih baik kalau perdebatan tadi tidak tersebar keluar demi kenyamanan bersama. Kepada Saudari Anita, sekali lagi kami mohon kerelaannya. Tulisan anda sangat bagus, tapi mungkin belum cocok untuk dipublikasikan di lingkungan sekolah. Kepada Saudara Indra dan rekan-rekan yang menjabat dalam Seksi Ketaqwaan, kami harap keputusan ini dapat diterima dengan rendah hati dan tidak dijadikan polemik lagi. Kami rasa ini langkah yang paling bijak. Apakah keputusan ini bisa diterima?”

Aku terbelalak menyimak keputusan yang diucapkan Pak Solikhul…! Rasanya ada yang nggak make sense…!

“Kami sebagai siswa sekaligus pejabat Seksi Ketaqwaan, menerima keputusan tersebut dengan lega. Kami berterima kasih karena kenyamanan kegiatan belajar-mengajar siswa tetap diutamakan dalam pengambilan keputusan ini… Saya harap kelak tidak ada lagi tulisan-tulisan dalam Majalah Dinding yang mengundang kontroversi yang meresahkan siswa. Terima kasih!” ucap Indra menyampaikan tanggapannya.

“Saya menerima keputusan rapat ini,” tiba-tiba suara Anita menyahut, tapi kedengarannya datar dan seperti nggak punya tekad lagi. “Saya menerima. Tapi saya juga ingin menyampaikan uneg-uneg saya, khususnya kepada Dewan Pembina Majalah Dinding. Kami, Pengurus Redaksi Majalah Dinding, selalu berusaha memberikan wacana dengan standar yang layak. Termasuk artikel saya yang satu ini. Sebelum kami memajangnya, kami sudah berusaha menyerahkannya terlebih dahulu kepada Dewan Pembina. Harapan kami, tulisan kami benar-benar sudah disaring secara optimal sebelum diterbitkan. Tapi waktu itu, Pak Solikhul yang kami serahi semua naskah untuk diteliti, cuma menyatakan bahwa Bapak percaya kepada kami. Bapak tidak meneliti satupun dan langsung menyerahkan lagi kepada kami untuk segera diterbitkan. Ternyata, sekarang ada yang komplain. Dan keputusannya seperti ini… tulisan saya harus dicabut. Tapi terus terang, kami team redaksi selalu bekerja keras untuk membuat tulisan yang sebaik mungkin. Meskipun Anda percaya pada kami, tapi mohon lain kali sempatkan waktu untuk mengoreksi karya-karya kami sebelum diterbitkan. Kejadian sekarang ini, meski saya ikhlas tapi sebenarnya saya merasa tidak dihargai. Itu saja uneg-uneg saya…”

Yaaa…! Itulah anehnya! Makin jelas sekarang! Pak Solikhul dan juga guru-guru Pembina lainnya nggak ada yang memihak Anita! Malah di saat keadaan menjadi sulit, dengan mudahnya mereka mengorbankan hasil kerja anak didiknya itu! Apa yang membuat Dewan Pembina itu sampai hati bersikap begitu?!! Hasil akhir rapat itu terasa konyol sekali…!!!

“Ya, terima kasih untuk masukan anda. Kami Dewan Pembina akan introspeksi juga. Masalah ini akan menjadi pelajaran buat kita semua. Kami mohon maaf kepada semua Pengurus Redaksi Mading, khususnya Saudari Anita… Dan juga kepada semua pihak yang merasa tidak nyaman…” ucap Pak Solikhul. Permintaan maaf yang kedengarannya juga nggak tulus. Sekedar basa-basi, formalitas aja…!

Dan rekaman habis sampai di situ…

Ya, selesai.

Speechless…!

Aku masih tercengang, membisu di tempat tidurku, menatap kosong ke screensaver di layar laptop. Apa yang harus aku dengar di akhir rapat itu bikin aku geram! Aku nggak menghargai jerih payah Anita dan Erik kalau aku bilang perdebatan itu mubazir, tapi kenyataannya… mereka memang harus ‘kalah’… Homophobic tetap menang!

Dulu aku menolak keras waktu Anita berinisiatif menulis artikel itu. Apa yang aku cemaskan memang terjadi saat Anita nekat memajang tulisannya itu di Mading, yaitu orang-orang jadi gatal lagi buat mengejekku. Dan ketika tulisan Anita tiba-tiba dicabut, bukannya masalah selesai, malah berujung pada rapat konyol tadi!

Aku salut dan berterima kasih dalam hati… karena pada akhirnya, Anita dan Erik mau bersikap adil saat membicarakan masalah itu. Itu menghiburku. Tapi sepertinya… semua telanjur salah sejak awal. Tulisan Anita mau dicabut atau diterbitkan lagi, mungkin nggak akan memberi perbaikan yang berarti terhadap tekanan-tekanan yang aku hadapi di sekolah…! Ya, rantai reaksi sudah telanjur menggelinding…

Ahhh, tapi semoga saja nggak seburuk yang kubayangkan!

Erik… Kini sosoknya jadi menebal lagi dalam benakku. Antara percaya dan nggak percaya, saat aku mendengar dia bisa begitu fasih menguraikan kalimat-kalimat di dalam rekaman itu. Kenapa aku nggak mendengarnya sebijak itu saat dia menampikku dulu…? Ada apa denganmu, Rik…?

Tuhan, kertas nasibku sebenarnya terbuat dari apa? Kenapa tulisan-tulisanMu seperti tergores kurang baik bagiku…? Padahal aku yakin pena-Mu harusnya sempurna. Aku sulit membaca apa yang sedang kuhadapi! Selalu kebingungan yang aku temui…!

Apa memang akulah yang terlalu muda untuk mengamini jati diri ini?

Bagaimana lagi, inilah yang paling kuyakini…! Pahit, tapi inilah yang paling terasa sebagai diriku yang sebenarnya! Mengingkarinya, rasanya hanya akan membuatku menjadi lebih bingung…!

Kutinggalkan lamunanku.

Kuraih HP-ku. Kutelpon Aldo…

“Ya…?” suara Aldo di sana.

“Dari mana kamu dapat rekaman ini?” tanyaku datar tanpa basa-basi.

“Aku ikut rapat itu.”

“Ya, aku juga udah mikir ke situ. Tapi kayaknya kamu cuma diam aja…?”

“Aku Sekretaris OSIS, aku fokus bikin notula!”

“Hooo…? Ternyata kamu Sekretaris toh?”

“Karena itu aku juga leluasa merekamnya. Biasanya rapat OSIS memang direkam. Arsip-arsip rekaman biasanya di-order untuk bahan pelajaran Bahasa Indonesia. Tapi kali ini memang lain. Kamu tahu? Sehabis rapat Pak Solikhul langsung menyuruhku menghapus rekaman itu!”

“Hahhh? Kenapa begitu???” rasa penasaranku langsung terpancing.

“Ya, untungnya dia percaya begitu saja waktu kubilang rekamanku sudah kuhapus. Apa kamu nggak nangkap ada yang aneh sama Pak Solikhul selama rapat?” Aldo balik memancingku.

“Yaaa… Iya sih. Aku ngerasa Pak Solikhul sama sekali nggak melindungi Anita, padahal Anita itu anak binaannya. Dia sendiri Ketua Dewan Pembina Mading, tapi kayaknya nggak ada usaha buat membela Mading-nya…! Malah artikel Anita dia cabut secara permanen…! Menurutku memang aneh!” ujarku mengungkapkan isi pikiranku.

“Ya. Kamu ternyata cukup peka juga! Tapi aku akan kasih tahu lebih jauh…” bisik Aldo dengan nada serius. “Indra itu keponakan Pak Solikhul…!”

“Hahhh…? Masa…?” sentakku sedikit kaget. “Terus…? Apa ada hubungannya dengan masalah itu…?”

“Indra punya kakak cewek. Kakaknya itu sudah menikah, tapi suaminya itu kepergok selingkuh dengan sesama cowok. Dan itu dianggap aib oleh keluarga besarnya Indra!”

“GOD!!! Kamu serius??? Dari mana kamu tahu?!!” aku makin kaget.

“Rumah Indra satu komplek denganku! Kamu bisa bayangin kan? Perumahan, dimana tiap sore tetangga-tetangga ngerumpi di depan rumah…!” tukas Aldo.

Aku menelan ludah. “Jadi maksudmu… Indra sekeluarga termasuk Pak Solikhul jadi homophobic gara-gara aib itu?” ucapku tercengang-cengang.

“Coba kamu pikir ulang dengan cermat! Komplain itu pasti sudah terjadi sejak hari pertama artikel Anita dimuat, hari Senin. Soalnya Selasa pagi artikel itu sudah nggak ada. Dan Selasa pagi pada jam istirahat pertama undangan rapat sudah beredar. Semua itu terjadi hanya dalam waktu 24 jam! Tapi itu nggak mustahil kalo Indra sama Pak Solikhul yang mengatur! Mereka anti dengan apa saja yang menyangkut homoseks, seperti artikel Anita itu! Rapat itu cuma akal-akalan biar mekanismenya terkesan benar dan sah. Padahal kalo dicermati, rapat itu sendiri sebenarnya acak-acakan!”

“Iya, Pak Solikhul seharusnya juga mendampingi Redaksi Mading yang dibinanya! Moderator harusnya diserahkan pada pihak yang netral… Toh saat jadi moderator Pak Solikhul juga nggak membantu Anita berdebat. Begitu mau selesai tiba-tiba aja bikin keputusan seperti itu!” timpalku terheran-heran.

“Semua itu acak-acakan karena direncanakan dengan tergesa-gesa! Yang penting gimana caranya artikel itu bisa segera dienyahkan!” tukas Aldo.

“Tapi… bukannya Pak Solikhul punya wewenang soal Mading? Kalo tujuannya memang itu, kenapa nggak langsung dicabut aja artikelnya? Kenapa nggak ditangani secara intern, toh akhirnya Anita juga nurut kan? Kenapa sampai ke rapat OSIS segala?” tanyaku heran.

“Terlepas dari sentimen pribadi, kayaknya yang komplain memang bukan cuma Indra, tapi ada beberapa juga yang lain meski aku yakin nggak sampai seluruh sekolahan. Kebetulan Indra punya posisi di dalam OSIS, dengan bawa-bawa seksi yang dia pegang dia bisa menyamarkan sentimen pribadinya. Rapat itu sepertinya cuma alat legitimasi buat ‘memberi pelajaran’ pada Anita!”

Aku tercengang mendengar tanggapan Aldo. “Apa kamu nggak melakukan sesuatu…? Setidaknya buat mengimbangi situasi…?”

“Nggak ada gunanya! Ketua OSIS-nya saja penakut, nggak pernah berani mengkritik! Ada empat anak dari Seksi Ketaqwaan yang hadir, tapi semua juga cuma ngikut sama Indra. Dewan Pembina ada tiga guru yang hadir, semua juga disetir Pak Solikhul. Pengurus Mading nggak ada yang berani ngomong selain Anita, padahal ada tiga anak juga yang hadir! Itu perang konyol mereka! Dan sejak semula aku punya feeling kalo keputusan rapat itu memang sudah di-set…!”

“Tapi apa kamu nggak tergerak sama sekali? Anita sama Erik aja gigih ngebelain kita…?!” cetusku, mempertanyakan keberanian Aldo sendiri.

“Ngebelain kita? Hahaha… Masih polos saja pikiranmu!” cetus Aldo, mulai kumat sinisnya. “Masa kamu lupa sih Anita itu orang kayak gimana? Dia itu tukang cari sensasi! Kalo dia berdebat panjang lebar di rapat tadi, itu karena dia harus jaga gengsi! Dia merasa penulis hebat dan paling pandai di sekolah, gengsi lah kalo dia kalah debat! Terus Erik lagi…?! Dia itu Ketua Seksi yang membawahi Divisi Mading, jelas saja dia pro membela Anita! Bukannya dia itu juga gede gengsinya?! Lagian apa kamu nggak ingat pengalamanmu sendiri sama Erik…?”

“Kalo memang Anita itu demi gengsi, ngapain pada akhirnya dia ngalah juga? Dan soal Erik, gimana yaa… Terus terang aku juga bingung dengar dia bisa ngomong seperti itu di rapat… Tapi kok aku ngerasa dia nggak pura-pura dengan kata-katanya…?” gumamku gundah.

“Kalo Anita mengalah, itu bisa ditebak! Wajar lah, mau gimana-gimana namanya murid pasti akhirnya harus menurut sama guru, meski terpaksa! Kalo soal Erik… Sudahlah! Dia itu juga orang yang suka cari muka! Dia pasti senang bisa terlihat pandai…!”

“Hmmmhhhh…” aku mendesah dengan lesu. “Entahlah. Aku juga nggak yakin sih. Yang aku tahu, orang itu kan bisa berubah…?”

“Aku ngasih kamu rekaman ini cuma dengan satu tujuan…!” ucap Aldo tajam. “Supaya kamu sadar seperti apa dunia yang kamu hadapi! Homophobic ada di mana-mana. Kamu kira mereka mencaci kamu cuma buat iseng cari kesenangan? Nggak! Mereka lebih senang kalo orang seperti kita nggak pernah ada di dunia! Indra dan Pak Solikhul, mereka contoh nyata orang-orang yang nggak ingin orang seperti kita ini ada! Ada banyak orang seperti mereka…! Orang-orang telanjur tahu kamu gay, kalo kamu masih mellow dan gampang mimpi indah kayak sekarang, sampai kapan kamu bisa bertahan menghadapi tekanan mereka?! Orang-orang seperti kita harus kuat, nggak usah mengharapkan kebaikan orang-orang straight yang suka cari muka itu! Naif banget kalo mengharapkan pembelaan dari mereka! Sama artinya mengaku kalo kita ini lemah! Biarpun Anita dan Erik berbicara seperti itu di rapat tadi, kamu pikir mereka benar-benar peduli dengan kita? Nggak! Aku sudah hafal dengan mereka, mereka cuma cari sensasi…!”

Aku tercenung mendengar kata-kata Aldo yang pelan tapi berapi-api. Lalu akhirnya aku malah tertawa kecut…

“Do, kapan kamu mau coming out ke orang lain kalo kamu gay?” tanyaku.

“Coming out? Ngapain kamu nanyain itu? Bukan urusanmu…!” tukas Aldo.

“Hahaha… Kamu sendiri nggak tahu kapan kan?”

“Aku nggak bodoh kayak kamu. Kamu itu ibarat orang yang terpeleset masuk ke kandang macan. Menurutmu, aku harus jalan tanpa beban masuk ke kandang yang sama dengan kamu, gitu? Kalo kamu nggak terima dengan kecelakaan yang diakibatkan kecerobohanmu sendiri, jangan minta orang lain buat bunuh diri!” Aldo kumat sarkas.

“Nah, jadi kamu nggak mau ketahuan gay karena masih pingin hidup aman kan? Kamu nggak mau di-bully sama ‘macan-macan’ itu kan? At least, aku sudah merasakan gimana rasanya menjalani hari-hari yang kamu sebut ‘kandang macan’ itu. Toh aku nggak sampai dicabik-cabik, cuma diejek aja sih… Ya istilahnya bukan ‘macan’ lah, tapi ‘anjing’, gonggongan mereka memang bikin hati sakit! Tapi itu nggak bikin aku ngerasa harus sinis ke orang straight, karena aku sendiri punya teman-teman straight dan mereka juga tahu aku gay, and it’s ok! Jadi, mending buktiin dulu kalo kamu bisa menjalani hidup sebagai gay secara coming out. Kalo kamu sendiri masih menghindari resiko jadi gay, gimana kamu bisa ceramahin aku untuk jadi gay yang kuat?”

“Hei! Sombong banget ya kamu?! Kamu merasa lebih pemberani ya mentang-mentang udah coming out? Nggak ingat apa, kamu tuh ketahuan gara-gara dipecundangi sama Erik! Nggak usah sok!” Aldo langsung mencak-mencak.

“Udah deh, nggak usah marah-marah. Aku ini nggak sengaja kecebur kolam, tapi gara-gara itu justru akhirnya aku bisa belajar berenang. Kalo kamu mau ngasih tahu cara berenang, jangan cuma bahas teori di pinggir kolam. Ayo sini nyebur! Airnya aja kamu belum ngerasain kan? Aku nggak peduli aku kecebur gara-gara kepeleset atau sengaja nyebur, yang penting akhirnya aku belajar berenang beneran, nggak cuma teori…!” balasku dengan nada santai. Dan memang sengaja aku bikin ‘terdengar sombong’!

Aldo terdiam di sana. Nggak jawab. Tapi dia belum menutup HP-nya.

“Makasih, kamu mau ngirim rekaman ini. Makasih udah ngasih banyak informasi. Itu banyak gunanya buat aku. Tapi kalo aku boleh membalas ngasih sesuatu buat kamu, tolong dengar kata-kataku… Aku udah sering dihina-dina sama orang-orang. Saat aku ngerasain sakitnya diejek, aku jadi sadar pentingnya menghargai orang lain. Di saat banyak orang mengejekmu, siapa lagi yang bisa bikin kamu merasa lebih berarti selain orang yang mau jadi temanmu? Apa kita layak berharap untuk dihargai, kalo kita sendiri selalu sinis sama orang lain? Meski kamu kuat, tapi suatu saat kamu pasti akan letih. Saat kamu letih, apakah kalimat sinis akan menolongmu? Belajarlah menghargai dan mempercayai orang lain, suatu saat kamu pasti akan menemukan artinya…!”

Aldo masih terdiam saat aku menghentikan kalimatku.

“Kamu nggak harus langsung setuju dengan kata-kataku. Tapi moga-moga kamu punya waktu buat memikirkannya, itu berarti kamu sudah berusaha menghargai pemberianku. Makasih buat semuanya. Goodnite…” pungkasku dengan senyum yang nggak mungkin dilihat Aldo.

Kututup HP-ku.

Hmmm… Wowww! Hebat benar ya aku? Aku bilang aku bisa ‘berenang’… Ya, aku memang mulai belajar. Tapi aku tahu, sebagian kata-kata Aldo juga benar. Aku tegar, tapi belum tentu sekuat itu… Aku belum tahu gelombang masalah ini bisa jadi sebesar apa. Bagaimana kalau cukup besar untuk menelanku hingga tenggelam ke dasar…?

Tenggelam ke dasar dan membuatku nggak pernah muncul lagi…?

Hmhhh… Sudahlah, Dimas… Pikiranmu terlalu penat! Endapkan saja di bawah selimut…

Ya. Aku butuh istirahat…






Bersambung...
0 komentar

Posted in

Posting Komentar