Keranjang 51
Keranjang 51
We Are Friends...
Akhirnya, sampai rumah lagi. Hari yang melelahkan ini sudah seharusnya berhenti di sini, di tempat dimana aku…
“Pulang…” decakku dengan hela nafas lega. Aku berhenti dengan Vespa-ku di depan gerbang rumah. “Ini rumahku, Ben…”
Ben juga berhenti dengan motornya. “Oke, sekarang aku punya tempat tujuan buat main…” sahutnya dengan senyuman.
“Mampir!” ajakku.
Aku meneruskan Vespa-ku masuk ke halaman, tanpa menunggu Ben menjawab mau atau tidak. Aku nggak butuh jawaban karena pokoknya dia harus mau! Harus, nggak perlu alesan! Hehehe…
Ben mengikutiku masuk dengan motornya. Aku bahkan sudah lupa kapan terakhir kali ada teman yang main ke rumahku. Jadi Ben mau mampir ke rumahku, that’s really cool!
Aku duduk di teras yang remang-remang. Mengendurkan syaraf. Perjalanan yang menguras pikiran. Menghadapi Bu Yanti, menghadapi Bang Togar, Geri dkk… Capek. Tapi syukurlah, akhirnya menghasilkan sesuatu yang bisa memberiku alasan buat menghela nafas lega sekarang. Ini semua progres yang bagus! Dan bantuan seorang sobat sejati seperti Ben… makin membuatku terharu…
Sekarang giliranku untuk menjadi tuan rumah yang baik!
“Mau minum apa?” selorohku menawari Ben, sok royal.
Ben duduk di kursi sebelahku. “Mana Denis?”
Aku langsung jadi sebal. “Ditanya ini, ganti nanya itu!”
“Tuh, sewot lagi kan?!” balas Ben jutek. “Aku pingin lihat kamu baikan sama dia! Kamu bisa maafin Geri masa nggak bisa maafin dia?! Cepat baikan!”
“Ya pastinya! Tapi ngapain juga didramatisir, musti di depan kamu gitu?!” balasku nggak mau kalah jutek. “Pokoknya kamu mau minum apa dulu sekarang?!”
“Itu srabinya dikasih dulu sana! Udah beli segitu banyak juga! Urusin dulu tuh adikmu!” kelit Ben. Lama-lama mulai nyebelin nih anak. Atau dia memang sengaja begitu? Kayaknya!
“Jangan-jangan kamu tuh memang suka sama Denis ya?!” aku balik menuding Ben. Tapi begitu lihat dia ganti cemberut, aku langsung cengengesan lagi. “Hehehehe… Becanda! Gitu aja marah…!”
Aku langsung ngacir masuk ke rumah sebelum mendapat perlakukan anarkhis dari sohibku itu. Kubawa srabi yang habis kubeli dari Notosuman. Oleh-oleh buat adikku… Mana dia…?
“Den…???” panggilku sambil menyusuri ruang tengah yang lengang.
Jam dinding menunjukkan pukul delapan kurang sedikit. Biasanya jam segini Papa sama Mama jadi juru kunci ruang TV. Tapi kali ini kayaknya mereka lagi nggak di rumah. Bik Marni pasti juga sudah tidur kalau jam segini. Dan Denis juga nggak nongol…? Sepi!
“Dennn…???” panggilku lagi.
Belum ada sahutan. Ahhh… Ke dapur dulu saja. Nyiapin minum buat Ben. Kubuka kulkas, mencari apa saja yang bisa dimakan dan diminum. Ketemu sirup sama… Biskuit kucing. Cuma itu yang ada. Payah…!
“Pusss… Pusss…” kupanggil kucing-kucing itu. Binatang-binatang imut dan gemuk itu langsung nongol, berlarian menuju dapur. “Nih, makan nih…!” kuhamburkan beberapa potong biskuit ke lantai.
Kuamati kucing-kucing itu makan. Bersama, rukun dan damai. Membuatku tersenyum dan ingin membelai mahluk-mahluk lucu itu. Aku jongkok menunggui mereka makan. Huuuu… Makin hari makin gemuk. Denis pasti sayang sama mereka. Mana Denis…? Apa mungkin udah tidur?
Aku menuju ke kamar Denis. Kuketok pintu kamarnya. Tapi nggak ada sahutan. Kubuka pelan-pelan…
Kumasuki kamar Denis yang lumayan berantakan. Ya beginilah kebiasaannya, selimut nggak dirapiin, buku-buku berserakan di meja, baju seragam sekolah teronggok di tempat tidur… Yang empunya kamar juga nggak ada. Seperti kamar tanpa tuan…
Kurapikan buku-buku di meja. Kugantungkan baju seragamnya di gantungan yang ada di dinding. Kulipat selimutnya… hingga semua tampak rapi…
Lalu…
Aku duduk di tepian kasur, termenung memandangi kamar yang sunyi ini. Aku mulai terseret rebah di atas kasur, memeluk guling seraya memandangi langit-langit yang bisu…
Denis di mana…?
Aku bawain dia oleh-oleh…
Aku mau baikan…
Aku mau minta maaf…
Denis di mana…?
Aku masih termenung di sini. Perasaanku kenapa menjadi gelisah…?
Ohh, ya Tuhan… Aku sampai lupa… Aku ninggalin Ben di luar…! Aku segera bangkit dan menuju ke dapur lagi. Kubikin dua gelas sirup lalu bergegas ke depan lagi. Ya ampun! Benar-benar tuan rumah yang nggak sopan, teman yang nggak punya perasaan! Aku ninggalin tamuku sendirian di teras…!
Tapi…
Aku malah terkejut bagitu tiba di teras. Nggak sampai menjatuhkan gelas ke lantai sampai pecah kayak di sinetron-sinetron itu… tapi… Gimana nggak terkejut?
Ben sedang bercakap-cakap dengan Denis!
“Hai! Lama ya kamu bikin minumnya?” Ben langsung menyindir sambil nyengir.
Dongkol, tapi juga jadi sedikit segan saat Denis sudah di hadapanku. Bagaimana dia bisa sudah ada di sini…? Ya, setidaknya aku juga lega… bisa melihat dia lagi…
“Dari mana, Den…?” tanyaku datar, sambil meletakkan gelas yang kubawa ke atas meja.
“Dari warung…” jawab Denis singkat.
Aku memperhatikan wajah Denis sekilas. Setelah dua hari dengan kemarahan, ini pertama kalinya aku kembali bisa menatapnya dengan… perasaan sayang… Sebagaimana nyatanya, sebagaimana dia adalah sodara kembarku sendiri, yang juga selalu menyayangiku. Aku tahu itu…
Denis lalu berdiri, beranjak masuk ke dalam. Tangannya menenteng plastik, entah isinya apa tapi pastinya itulah alasan dia ke warung tadi. Ya… Everything’s ok… Dia nggak kemana-mana, dan nggak kenapa-napa. Aku lega…
“Aku bawain oleh-oleh tuh, di meja dapur…” ucapku waktu Denis mau masuk ke dalam.
Denis berhenti sesaat, menatapku sekilas dengan canggung. Lalu dia melangkah masuk lagi. “Thanks…” ucapnya sambil lalu, bisa kudengar meski pelan.
“Gitu ya baikannya…?” celetuk Ben begitu Denis sudah masuk ke dalam.
“Memangnya kamu mau yang kayak gimana? Biasa aja lah! Sama-sama cowok nggak perlu lebay kali…!” bisikku sebal.
Tapi… sebenarnya memang aku rada jaim sih… Iyalah, ada Ben gini! Kalau aku cuma berdua sama Denis mungkin bisa saja udah peluk-pelukan! Aku yang peluk Denis, dan dia pasti akan balas pakai tonjok…! Itulah kami!
“Ngobrol apa aja kamu sama Denis tadi?” selidikku ke Ben.
“Nggak banyak. Cuma basa-basi aja. Tadi dia juga baru datang kok…” jawab Ben.
“Dia kayaknya gimana…? Kayaknya nggak ada masalah kan…?” tanyaku agak ragu.
“Kok tanya aku? Ya kamu tanya langsung ke dia lah!” tukas Ben mencibirku. “Kamu masih gengsi kan?! Nggak boleh gitu! Kayak Bang Togar bilang, minta maaf itu jangan pakai gengsi. Siapa yang ngerasa punya salah, jangan nunggu-nunggu buat minta maaf duluan…!”
Aku terdiam. Memang aku akui, niat ini ada. Tapi aku rikuh dan sungkan buat ngomong… Bukannya aku gengsi. Tapi aku bingung gimana mulainya…
“Tapi ya udah bagus sih, kamu udah mau ngajak dia ngomong, udah bawain oleh-oleh. Awal yang bagus kok…” Ben melanjutkan kata-katanya seolah memahami kebingunganku, tapi sambil tersenyum rada ngeledek!
“Kalo aku nyusul Denis ke dalam sekarang, kamu bakal lebih lama aku tinggal di sini!” tukasku ganti mencibir.
“Iyalah, pasti drama banget kalian!” balas Ben.
“Udah, diminum tuh!” tukasku kesal.
“Ini oleh-olehnya?” tiba-tiba Denis muncul lagi sambil menunjukkan piring berisi srabi.
“Iya…” jawabku rada bengong.
“Tadi ada dua biji yang dimakan kucing…!” cetus Denis.
“Hahh??!!!” sentakku kaget. “Kurang ajar! Rusuh amat kucingmu?!”
“Lu ikhlas nggak ngasih gue oleh-oleh?” balas Denis ketus.
Aku langsung melongo. “Kenapa musti nanya? Ya ikhlas lah…!”
“Kalo lu ikhlas ngasih gue, lu juga harus ikhlas kucing gue dapat bagian!”
“Hahaha…” Ben malah ketawa. “Ayo berantem! Berantem…!”
“Gila, malah ngomporin?!” tukasku ke Ben.
“Nih! Kalo nggak ikhlas gue balikin!” Denis meletakkan piring srabi itu ke meja.
Aku terdiam seketika. Kami semua diam. Ini maksudnya apa…? Kok Denis masih sensi gini? Soal sepele lagi…? Cuma soal kucing sama srabi…??? Kulihat srabi-srabi di piring itu…
Tapi… lho…???
“Ini srabinya tinggal sepuluh…? Tadi aku beli limabelas… ALAAAAHHHH…!!! Berarti kamu udah makan tiga biji kan?!!!” sentakku langsung nyadar!
“Hwahahahaha…” Denis langsung ngakak.
“Aku nggak ikhlas! Balikin yang tiga biji!!!” seruku geram!
Denis ngacir ke dalam sambil ketawa-ketawa waktu aku mau menendangnya. Kamprettt…! Baru aja baikan, langsung sebel lagi sama dia! Lagaknya pakai pura-pura sensi segala! Bawa-bawa kucing segala! Dasar tukang makan…!!!
“Udah, kejar sana! Berantem lagi…!” cetus Ben sambil ketawa.
“Apaan sih? Dasar provokator!” sungutku kesal.
Ben menahan ketawa sambil meminum sirupnya. Setelah minum, mukanya kelihatan agak gimana-gimana, aneh… Lalu dia mengamati minumannya…
“Ini sirupnya… rasa apel…?” tanya Ben.
“Bukan. Rasa kedondong!” jawabku cuek.
“Mana ada? Rasa apel nih kayaknya…!” gumam Ben. Yaelah, malah ngomentarin sirup! Akhirnya dia habisin juga minuman itu…!
Tapi… memang agak gimana gitu ya…? Apel… Hmmm… Jadi ingat sesuatu… Ah, lupakan!
“Mau dibikinin lagi?” tanyaku.
“Nggak usah…” sahut Ben. Lalu dia menyantaikan duduknya. “Ngomong-ngomong rumahmu sepi ya? Ortumu nggak di rumah?”
“Baru pergi. Nggak tahu kemana…”
“Ortumu kerja di mana sih?”
“Papaku kerja di perusahaan advertising. Mama kerja di asuransi…” jelasku singkat.
“Jarang di rumah ya?”
“Nggak juga. Tiap sore biasanya udah pada pulang. Kalo pergi lagi paling arisan atau apa gitu, tapi nggak terlalu sering juga. Biasa aja…”
“Kalo boleh nanya, kenapa sih kamu sama Denis sempat dipisah dulu?” tanya Ben. Rasa penasaran dapat kulihat dari sorot matanya.
“Hmmm… Kalo dari cerita Mama sih, dulu keluargaku sempat agak collapse. Papa waktu itu kena PHK, dan agak kesulitan buat dapat kerjaan lagi. Waktu itu Papaku juga masih harus menanggung Nenek yang udah lama sakit. Ekonomi keluarga jadi sulit. Terus, ceritanya Tanteku di Medan belum punya anak padahal udah nikah cukup lama. Akhirnya ortuku setuju Denis dititipkan ke Tante di Medan. Yahh, menurut tradisi biar bisa ‘mancing’ keturunan buat Tante, katanya. Selain itu buat meringankan beban Papa juga. Akhirnya Tanteku beneran bisa dapat keturunan. Sekarang keadaan keluarga di sini juga udah stabil lagi, jadi Denis diminta buat balik ke sini… Kata Denis sih sebenarnya dia betah tinggal di Medan, dan masih pingin tinggal di sana. Tapi akhirnya dia lebih milih kumpul lagi sama keluarga di sini…” tuturku, setengah termenung menceritakan tentang keluargaku.
Di benakku terlintas lagi ingatan waktu itu. Denis udah disiapin tiket buat balik ke Medan, tinggal berangkat bersama Om dan Tante. Dia juga sudah pamitan ke aku lewat telpon karena waktu itu aku masih di Bali. Tapi… secara mendadak dia berubah pikiran, dia memilih tinggal di sini. Cuma dia yang mengerti dengan pasti alasannya, tapi bagiku keputusannya itu memang pilihan yang terbaik untuk mengembalikan keutuhan keluarga ini. Kami semua menerimanya dengan senang hati…
“Hmmm… Hebat juga ya ceritanya. Tapi kenapa Denis yang dititipin ke Tantemu? Kok bukan kamu?” tanya Ben lebih jauh.
Aku ketawa. Jadi rada malu buat menjelaskan bagian itu. “Waktu itu kan masih umur 10 tahun. Kata Mamaku juga sih, Denis itu sejak kecil memang lebih bandel. Nggak gitu tergantung sama orang tua. Jadi dia dianggap lebih kuat buat pisah sementara…”
“Ooo… Jadi memang sejak orok kali ya, kamu lebih lemah lembut dibanding adikmu…?” komentar Ben.
“Sialan! Ngeledek lagi?!” tukasku dongkol.
Ben tertawa.
“Sekarang gantian kamu cerita! Ortumu kerja dimana? Di rumah ada siapa saja? Sehari-harinya gimana?” aku ganti memberondong pertanyaan.
Ben langsung berhenti ketawa, sekarang garuk-garuk kepala. “Nggak ada yang istimewa!” cetusnya.
“Mungkin kamu perlu orang lain buat nunjukin dimana istimewanya keluargamu…!” desakku dengan senyum licik sekaligus penasaran.
“Hahaha…” Ben tertawa pelan. Lalu wajahnya setengah merenung. “Ayahku jadi manager di pabrik furniture. Ibuku ikut MLM, yang sebenarnya sih nggak gitu penting soalnya penghasilan ayah udah cukup. Tapi ibuku kayaknya nggak betah kalo diam di rumah aja. Makanya cari kesibukan juga. Tapi akhirnya malah kadang jadi ngelantur, jarang di rumah. Ayahku juga pulangnya kadang malam. Jadinya rumah sering sepi…”
“Nggak ada pembantu di rumah?”
“Nggak ada. Rumahku nggak gede-gede amat, isinya juga cuma tiga orang. Itupun jarang ada di rumah. Semua dikerjakan sendiri-sendiri. Jadi kalo nggak ada kerjaan, benar-benar bete kalo cuma di rumah. Makanya aku juga cari kesibukan. Ngeband, atau keluyuran nggak jelas. Kalo nggak ya tidur seharian di rumah…” gumam Ben bercerita, mencurahkan kesepian yang tampak tersirat dalam diri sahabatku itu.
Aku termangu mendengarnya.
“Jadi menurutmu ada istimewanya…?” lontar Ben padaku, dengan senyum masam.
Aku ikut tersenyum. “Kalian tetap bertahan sebagai keluarga. Dan kamu tetap bertahan jadi anak baik-baik. Semangat untuk tetap menjadi keluarga… yang kalian sendiri mungkin tidak menyadarinya… Itulah istimewanya…!” jawabku mengurai apa yang bisa kusimpulkan.
Ben tertawa agak sinis. “Dari mana kamu yakin kalo aku anak baik-baik?”
“Kamu ngerasa broken home kan? Kesepian? Tapi… kamu nggak terjebak buat mengasihani diri sendiri. Malah kamu datang ngebantuin masalahku… Mungkin kamu itu memang susah dimengerti, dan sebenarnya butuh dimengerti, tapi hebatnya kamu justru mau mengerti orang lain lebih dulu. Biarpun katanya bandel, tapi… you’re a good guy! Good friend. Mungkin… best friend…!” ujarku, mengakui di hadapan Ben, tanpa perlu merasa malu…
Senyum Ben menghias tipis di bibirnya. “Tapi buat orang tuaku, kayaknya aku bukan anak yang bisa dibanggakan…” ucapnya pelan.
Aku tertawa kecut. “Aku nggak menilai kamu sebagai ‘anak’, aku nggak bisa. Aku temanmu, bukan orang tuamu. Karenanya, aku menilaimu sebagai seorang teman. Mungkin kamu memang punya masalah dengan keluargamu, tapi menurutku kamu nggak kehilangan diri kamu sebagai orang baik… Kamu seorang teman yang baik, dan karena itulah aku bangga sama kamu!” ucapku mantap.
Ben terdiam bersama senyumnya yang samar, seolah ada kelegaan di dalam hatinya…
Dia anak baik yang terjebak oleh keterasingan. Aku juga pernah merasakan keterasingan, tapi mungkin oleh situasi yang lain. Ben karena hubungannya yang kurang hangat dengan keluarganya. Aku karena kondisiku yang berbeda dari orang-orang pada umumnya. Keterasingan yang berbeda, tapi yang kami butuhkan pada dasarnya sama :
Rasa diterima.
“Makanya… aku mendorong agar kamu lekas baikan sama adikmu. Kamu punya sodara yang hebat. Nggak semua orang seberuntung kamu…” ucap Ben pelan.
Aku tersenyum. “Ya. Kamu sama Denis, kalian berdua hebat…!” pujiku jujur.
Sekelumit percakapan soal keluarga ini membuat suasana jadi terasa teduh, selaras dengan beranda yang remang-remang ini…
Tapi kemudian aku mulai menyadari kalau ada sepasang telinga ketiga yang ikut mendengarkan! Atau mungkin juga sepasang mata lainnya yang mengintip dari balik kaca jendela…! Aku langsung sigap melongok ke dalam rumah…!
“Hei! Ngapain?! Nguping ya?!!” hardikku ke Denis. Ternyata dia duduk di sofa ruang tamu, tepat di balik jendela beranda!
Denis langsung tersenyum-senyum, gugup mati kutu. Ketangkap basah! Aku sebenarnya jengkel kalau dia mulai bertingkah nyebelin seperti ini! Tapi… ya aku mengerti, kami sama…
Kami tidak ingin ada keterasingan…
“Duduk bareng sini!” ajakku sambil duduk lagi di sebelah Ben.
Denis akhirnya ikut keluar, bergabung di teras. Tapi dia memilih duduk jongkok bersandar pilar beranda.
“Jadi kayak anak ilang gitu?” cibir Ben sambil ketawa.
“Sini duduk atas! Kayak mau sungkem aja…?” tukasku.
“Nggak. Di sini aja…” jawab Denis. Dia masih tetap duduk jongkok di tempatnya.
“Kenapa sih…? Kok jadi kayak menderita gitu…? Tadi aja bisa becanda…?” tanya Ben.
“Nggak apa-apa…” jawab Denis pelan, dengan senyum samar.
Aku garuk-garuk kepala. Entah Denis lagi akting atau gimana… Tapi aku rasa nggak ada yang serius. Kami sudah baikan. Tadi juga sudah bercanda. Sudahlah, nggak perlu jadi beban pikiran lagi… Kami harus berdamai.
“Nih… Adikku yang cakep, makan lagi srabinya…!” ujarku sambil mengulurkan piring srabi ke Denis.
Denis cemberut geleng-geleng kepala. Ben tambah ketawa…
“Huhhh… Ya udah, kalo nanti srabinya sampai sisa, lain kali aku nggak akan beliin lagi!” sungutku sambil meletakkan kembali piring srabi itu ke meja. Kehabisan akal buat membujuk Denis yang entah, seperti anak sedang merajuk! Biarin lah, udah gede juga! Biasanya dia memang suka akting sih…!
Tiba-tiba ada suara mobil yang menyita perhatian kami. Sebuah sedan berwarna gelap berhenti di depan rumah. Kami bertiga terpaku penasaran memandangi mobil itu. Mobil siapa…?
Nggak lama kemudian seseorang turun dari mobil itu, dan…
“Lho… Misha…?” gumamku kaget bercampur heran.
“Hai, Mas…!” Misha menyapa di depan pagar, dengan senyum agak canggung. “Wahh… Baru party ya ternyata…?”
“Nggak… Cuma ngobrol-ngobrol aja kok… Sini masuk!” balasku seraya berdiri hendak menyambutnya. “Kamu sama siapa…?”
Belum sampai Misha menjawabku, ada satu orang lagi turun dari mobil. Kali ini…
Lebih mengejutkan lagi!
“Erik…?!!”
Aku berdiri terbelalak, kehilangan kata-kata saat dua orang itu melangkah masuk menuju kemari, makin dekat di hadapanku… Misha sama Erik…??? Bagaimana mereka bisa barengan kemari?!! Satu mobil…?!!
“Kok Misha sama Erik…?” bisik Denis yang ikut berdiri di sampingku. Dia juga keheranan…!
“Hai… Boleh masuk?” Misha berdiri di depanku dengan senyum tipisnya. Erik ada di belakangnya, menyembunyikan senyumnya yang terkesan… rikuh.
“Kan aku udah bilang ‘masuk’ tadi…?” kelitku dengan senyum gugup. Mencoba bersikap wajar, menyembunyikan kekagetanku, tapi tetap saja sulit!
“Kabarmu gimana? Kok SMS-ku nggak dibalas…?” sentil Misha. Dia segera melihati kondisiku dengan raut prihatin, pasti dia bisa melihat beberapa bekas memar yang ada padaku.
“Ya gini lah, tambah cakep…!” jawabku dengan canda yang garing. “Sorry aku belum sempat balas SMS-mu…”
“Biar gue ambilin kursi lagi…” gumam Denis seraya beranjak ke dalam rumah.
“Sini duduk…!” aku menyilakan mereka berdua duduk di kursi yang masih ada dua di sebelah Ben.
Denis mengeluarkan dua kursi plastik ke beranda. Aku duduk di kursi yang dibawakan Denis. Kali ini Denis juga ikut duduk di sebelahku. Sekarang kami berlima. Aku, Denis, Ben, Misha dan Erik, duduk di sini…! My God…! Sekalipun nggak pernah terbayang kami bisa berkumpul seperti ini di sini! Dan… ada apa ini…???!!!
“Gue bikinin minum juga ya…” Denis berdiri dan masuk ke dalam lagi.
“Nggak usah repot-repot…!” Misha bermaksud mencegah tapi Denis sudah masuk duluan ke dalam.
“Nggak usah pura-pura nolak…!” celetukku.
Misha langsung bengong, memandangiku dengan wajah kecut.
“Haha… Becanda! Ramah tamah…!” kelitku sambil garuk-garuk kepala.
Suasana jadi canggung karena ada Erik di sini! Jelas, benar-benar kehadiran yang nggak pernah kuduga! Kapan pernah terlintas dalam pikiranku kalau Erik bakal kemari bersama dengan Misha…?!! Nggak pernah…! Karenanya… ini benar-benar membingungkan…!
“Gimana kabarmu, Ben…?” sapa Misha pada Ben. Basa-basi.
“Baik. Kamu gimana?” balas Ben. Ramah-tamah.
“Baik juga…” sahut Misha.
“Erik gimana…?” Ben gantian ke Erik.
“Fine…” jawab Erik simpul.
“Denger-denger kamu mau cabut dari band sekolah, Rik?” lanjut Ben.
“Iya. Bosan, terlalu diatur sama pembinanya…” balas Erik diiringi tawa agak enggan.
“Ehh, tunggu, tunggu…!” aku langsung buru-buru menyela. Lagi-lagi aku dibikin heran! “Jadi kalian berdua juga udah kenal…?” tanyaku seraya memandangi Ben dan Erik bergantian, tercengang!
“Satu sekolah siapa yang nggak kenal Erik? Dia kan artis…!” jawab Ben sambil tersenyum menyindir Erik.
Erik langsung tertawa kecut. “Please! Aku memang banyak kerjaan di sekolah, tapi jangan sebut aku artis dong!” kelitnya, lalu dia ganti memandangiku. “Kamu nggak tahu, Mas? Band-ku di sekolah kan ganti gitaris sampai empat kali! Aku pernah ngajak Eka buat join juga…”
“Tapi nggak sampai join. Baru coba-coba. Cuma ngejam bareng satu kali, terus aku nggak jadi join…” sahut Ben cuek.
“Kalian ngeband bareng?! Kok kamu nggak pernah cerita…?!” tukasku ke Ben, dongkol.
“Kenapa memangnya? Nggak ada hubungan yang istimewa sama dia! Cerita nggak cerita, nggak ada pengaruhnya…!” kelit Ben dengan senyum menyindir. Dia menyebut istilah ‘hubungan yang istimewa’…?! Dikiranya aku lagi cemburu kali ya?! Sial…! Aku ini cuma kaget aja!!!
“Kamu mainnya yang cadas-cadas sih! Kalo beneran join palingan juga cepet-cepet didepak sama manajer…!” Erik ganti nyindir Ben.
“Manajer? Keren amat band sekolah pakai manajer? Guru Pembina kali…!” Ben membalas Erik.
“Ya gitu lah! Prakteknya sih kayak manajer. Ngatur-ngatur aja bawaannya. Makanya aku cabut pilih aja…!”
“Nggak mau diatur, atau karena kamu udah punya band di luar?”
Erik ketawa. “Dua-duanya. Aku mau serius sama bandku yang di luar. Rencananya mau bikin demo album…”
Aku cuma bengong melihat Ben sama Erik asyik ngobrol soal band…! Ternyata mereka ini nggak cuma sekedar tahu, tapi udah kenal baik!!! Ben ini kebangetan amat nggak pernah cerita dikit aja?! Huuuhhh…!
Aku sama Misha dikacangin. Misha cuma diam aja. Tapi mata kami berdua sempat bertemu. Kelihatan kalau Misha nggak nyaman, seperti menyembunyikan sesuatu. Ya udah pasti lah! Kok dia bisa sama Erik? Jelas selama ini dia main rahasia di belakangku…! Tapi dari tadi aku belum dikasih penjelasan apa-apa soal itu!
“Kalo mau bikin demo berarti udah punya lagu sendiri dong? Udah berapa lagu?” tanya Ben, masih asyik ngobrol sama Erik.
“Aku bikin dua lagu. Baru materi awal, aku bikin pakai software digital…” Erik masih asyik juga nerusin ceritanya.
“Software digital? Aku juga biasa pakai, tapi hasil soundnya tetap kedengaran imitasi banget. Kurang asyik didengerin…!” sahut Ben.
“Itu buat materi mentahnya aja. Buat konsep dasarnya, biar nggak lupa. Ideku sering melebar sih, Bro… Kalo ada rekaman konsep dasarnya kan bisa jadi patokan seumpama mau dibikin aransemen lain…” jelas Erik ke Ben.
Wooww…! Oke, dua anak band ini masih asyik ngobrol sendiri! Aku sama Misha masih dibiarin bengong aja dari tadi…! Huuuhh, aku masih tuan rumah yang sabar…!
“Makanya aku sempat kelabakan dulu…” Erik masih nerusin ceritanya, cerewet juga ternyata! “Komputerku pernah error. Hardisk-ku terpaksa diganti dan data-datanya nggak bisa diselamatkan. Untungnya aku sempat back-up data-data penting ke Flashdisk, termasuk lagu-lagu yang aku bikin… Tapi masih sial juga, waktu piknik di Sangeh kemarin Flashdisk-ku diserobot monyet…!”
Aku sedikit kaget. Aku langsung bisa menebak cerita Erik ini mau kemana…
“Terus gimana tuh…?” Ben rupanya tertarik sama cerita itu, dan penasaran buat mendengar kelanjutannya…!
“Surprise! Nih, si Dimas tiba-tiba datang ngembaliin Flashdisk-ku…! Nggak tahu gimana caranya, dia cuma bilang menukarnya dengan… sesuatu… Tapi aku nggak yakin juga sih kalo cerita Dimas itu beneran…!” gumam Erik seraya melirikku dengan senyum… penuh isyarat…!!!
Aku tahu mata mereka sedang tertuju padaku sekarang! Tapi aku diam dengan cuek, karena aku yakin tujuan utama Erik dan Misha datang kemari pastinya bukan untuk membahas lagunya Erik, atau Flashdisk, atau monyet-monyet di Sangeh…! Aku masih bingung sebenarnya ini semua soal apa…?! Kenapa malam ini tiba-tiba menjadi acara reuni yang susah dipercaya?!! Tapi mereka masih belum tahu diri juga, kalau aku sedang menunggu penjelasan dari mereka! Nggak punya perasaan…!
“Tapi Flashdisk-mu beneran balik kan?” Ben masih mengumpani cerita Erik. Damn!!!
“Yap…”
“Jadi Dimas udah nolongin sesuatu yang penting buat kamu kan?”
“Hahaha… Kalo nanti beneran jadi album, aku udah siapin bagian ucapan terima kasihnya kok. Rumusnya masih klise sih, kayak ucapan terima kasih di album-album orang lain. Pertama pasti buat Tuhan, kedua buat orang tua. Ketiga adalah nama-nama sodara atau teman yang berjasa, nanti nama ‘Dimas’ aku tulis di urutan pertama deh…” ujar Erik dengan senyum lebar, entah bercanda atau serius!
“Woooowwwww…!” Plok plok plok plok…! Tiba-tiba Ben dan Misha langsung kompak bertepuk tangan diiringi sorak tawa mereka…! Oke, sekarang Misha ikut jadi penggembira!
“Dimas kok diam aja?!” Misha sekarang mulai ikut nimbrung. “Terlalu muluk ya…?”
“Nggak. Bikin album apanya yang muluk? Sekarang band indie ada di mana-mana, mereka pada bikin album juga. Tapi kalian percaya? Erik ini udah punya cewek tapi malah namaku mau disebut lebih dulu…? Aku sih nggak percaya!” tukasku enteng.
Semua langsung diam. Oo…? Aku menyinggung sesuatu…???
“Kamu masih cemburu…?” Ben langsung bertanya dengan senyum konyol.
“Justru aku ini kepikiran kalo nanti ceweknya Erik cemburu! Kalo aku sih nggak disebut juga nggak papa…” jawabku kalem.
Mereka bertiga langsung ketawa. Tentu cuma aku yang nggak ketawa. Konyol dan lucu itu beda. Buatku percakapan ini konyol! Nggak jelas…!
“Kalo gitu doain aja albumnya beneran jadi! Kita lihat aja beneran nggak omongan Erik!” tantang Ben.
“Oke, oke… Harusnya aku nggak terlalu pede ngomong kayak tadi. Oke, aku ngaku, aku tadi nggak ingat kalo aku udah punya cewek…” kilah Erik sambil ketawa masam. Cengengesan! Rupanya sekarang dia bukan mahluk yang jaim lagi!
“Jadi Dimas bisa mengambil alih perhatianmu juga ya…?” sentil Ben. Kurang ajar!!!
Erik terdiam sesaat dengan senyum penuh teka-teki. “Mungkin. Tapi ini soal seseorang yang berjasa, itu saja. Nggak ada maksud lebih dari itu…” jawabnya kemudian.
Semua terdiam menatap Erik. Sepertinya sama-sama sedang membaca arti kalimat Erik, pada bagian ‘nggak ada maksud lebih dari itu’… Oke, siapapun yang tahu tentang masa laluku dengan Erik pasti bisa menebaknya!
Dan akhirnya aku juga sudah terlalu jengah, nggak bisa bersabar lagi!
“Oke guys, cukup basa-basinya! Sekarang to the point aja! Terus terang aku bingung…! Rik, kalo kamu udah kenal sama Ben aku bisa terima, not a big deal. Tapi kamu sama Misha…? Aku baru tahu kalo ternyata kalian udah kenal, tapi dari tadi aku belum dengar penjelasan apa-apa? Jelasin dong! Dan tujuan kalian berdua kemari apa…?!” tandasku dengan gugup sekaligus agak emosi.
Semua terdiam sejenak. Tapi kali ini bukan untuk menunggu basa-basi jilid baru. Please, jangan basa-basi lagi!
“Oke, Mas… Sorry kalo aku bikin kamu kaget. Sorry juga kalo selama ini aku nyembunyiin sesuatu dari kamu…” Misha akhirnya mulai berucap dengan wajah sedikit tegang. “Aku harap kamu bisa terima… Gini… sebenarnya…”
Misha berhenti di tengah kalimatnya yang terbata-bata. Selintas matanya melirik agak rikuh ke Ben…
Ben rupanya tanggap keadaan. “Kalo ini urusan tertutup kalian bertiga, aku nggak papa kok… Aku bisa pul…”
“Jangan pulang! Tetap di sini aja, nggak papa…!” aku langsung mencegah Ben.
“Atau aku nyusul Denis aja ke dalam…?”
“Nggak perlu! Aku nggak keberatan kamu tahu urusanku! Kamu udah bantu aku seharian ini, sekarang aku kedatangan orang lain terus aku harus nyuruh kamu pergi gitu?!” cetusku agak ketus.
“Don’t worry, aku nggak merasa diusir kok! It’s ok, aku nyusul Denis aja… Santai aja!” ujar Ben dengan senyum tenang, tetap memilih untuk memisahkan diri. Dia segera beranjak masuk, menyusul Denis ke dalam.
Oh, damn!
Sekarang tinggal bertiga di sini. Aku memandangi Misha dan Erik bergantian…
“Udah, terusin…” ucapku dengan jengah.
Misha masih kelihatan agak ragu. Lalu…
“Erik ini sepupuku…”
Satu kalimat terngiang aneh di telingaku… Erik sepuu… WHAAATTT…??? Aku ternganga memandangi dua orang di hadapanku, bergantian…
“Aku sama Erik udah akrab dari kecil, Mas. Mamanya adalah tanteku. Aku udah biasa main ke rumah dia. Tapi kalo di sekolah memang nggak kelihatan, mungkin cuma beberapa orang aja yang tahu…” jelas Misha dengan agak ragu.
Oke, oke… Sebuah cerita keluarga. Tapi mengingat hubunganku dengan Erik…? Dan Misha yang teman satu meja denganku, orang yang tahu banyak soal aku…? Aku merasa dicurangi…!!!
“Kenapa kamu nggak bilang dari dulu? Kamu sengaja nyembunyiin itu? Masalahku sama Erik pasti ada kaitannya kan…?” korekku tajam.
“Ya, jujur aja, memang iya… Aku tahu kamu pernah dikecewain sama Erik… Jadi aku harap kamu bisa maklum kalo aku berpikir… mungkin kamu dendam atau gimana-gimana sama Erik…” ujar Misha berhati-hati.
“Ya wajar sih kamu mikir begitu… Tapi aku nggak dendam kok sama Erik…!” cetusku, masih tercengang dan terheran-heran.
“Iya. Sekarang aku yakin kamu memang nggak dendam… Tapi kamu masih marah kan?”
“Sorry, Mis… tapi kayaknya ini nggak harus menjadi urusanmu…?” lontarku agak sinis.
Mulut Misha terbuka hendak menjawab, tapi akhirnya tanpa ada kata-kata yang terlontar. Tersentak tanpa mampu menjawab!
“Iya, Mis… Ini memang masalahku sama dia…” sela Erik tiba-tiba. “Aku aja yang jelasin…”
Aku menatap Erik. Dia juga memandangiku. Tapi dia lalu memilih menundukkan kepalanya…
“Mas… Aku tahu aku udah bikin kamu susah. Aku tahu akibat dari tindakanku dulu, fatal banget…!” ujar Erik lirih dan agak terbata. “Aku nyesel banget, Mas…”
Aku termangu. Sesuatu di dalam dadaku terasa gemetar… dan sesak! Seolah ingin meluap, tapi aku hanya mampu membisu… Sebisa mungkin menahannya…
Erik kini memandangiku lagi dengan raut yang tampak lesu. “Andai aku bisa jaga mulutku waktu itu, pasti kamu nggak perlu ditimpa masalah seperti sekarang… Sikap yang gampang sekali aku buat, tapi kamu yang menanggung resikonya. Aku ngerti… itu nggak adil, Mas… Melihat banyaknya masalah yang kamu terima, aku jadi tahu… kamu punya hati yang besar! Aku cuma ingin kamu tahu kalo aku menyesal… Tapi kamu nggak harus ngasih maaf kok…”
Aku makin terpana meresapi kata-kata Erik. Tapi, kemudian aku tertawa…
“Yaa… di mana-mana namanya minta maaf memang nggak boleh maksa…” celetukku melempar sedikit humor. Humor garing yang sombong dan kejam, mungkin…
Erik langsung tertawa kecut. Begitu juga Misha.
“Tapi aku duduk satu meja sama kamu bukan Erik yang nyuruh kok, Mas…” Misha segera ikut menimpali. “Itu inisiatifku sendiri. Aku tahu Erik nyesel banget soal sikapnya ke kamu, pulang dari Bali dia langsung ngomongin masalah itu ke aku. Jadi waktu hari pertama masuk kemarin, begitu aku tahu kalo sekelas sama kamu, aku langsung berpikir buat berteman sama kamu… Harapanku, aku bisa tahu kalo kamu baik-baik saja setelah kejadian itu… Yaaahh, dengan begitu aku bisa meyakinkan Erik kalo kamu baik-baik saja, jadi dia bisa tenang… Tentunya juga baik buat kamu kalo semuanya baik-baik saja kan…?”
Aku terhenyak. Misha sedang berbicara tentang simpatinya padaku…? Ahhh… Sepertinya lebih ke soal simpatinya kepada Erik…
“Jadi… Sebenarnya niat kamu berteman sama aku nggak 100% murni buat aku? Sebenarnya demi Erik…? Kamu duduk semeja denganku, biar kamu bisa selalu menceritakan ke Erik kalo aku baik-baik saja… Gitu?” lontarku menyimpulkan pengakuan Misha, sambil melayangkan senyum masam padanya.
Misha kelihatan terpukul. “Sorry, Mas… Awalnya memang seperti itu, aku ingin bantu Erik agar dia nggak terus ngerasa bersalah. Di sisi lain aku sendiri belum benar-benar kenal sama kamu, aku cuma tahu dari cerita Erik…”
“Cerita Erik? Cerita soal cowok yang ngejar-ngejar dia…?” balasku dengan senyum pahit.
Misha menghela nafas. “Mas… Aku ngerti kamu berhak sinis, karena kamu udah mengalami banyak kejadian yang nggak menyenangkan…”
“Ya, jadi… semua nggak baik-baik saja, Mis… Kamu tahu itu, aku nggak baik-baik saja…” ucapku pahit. Seraya memandangi Misha dan Erik, bergantian dengan pandangan lesu.
Dan mereka terdiam. Tertunduk…
“Tapi aku tetap menghadapinya…!” timpalku lirih.
“Dan itulah yang membuatku akhirnya benar-benar kagum sama kamu, Mas…” sahut Misha kembali menatapku dengan sayu. “Itu juga membuatku yakin, kalo kamu memang pantas dibela…! Kamu nggak seburuk yang diomongkan orang-orang, bahkan mereka belum tentu lebih baik dari kamu! Sejak menyadari itu, yang aku pikirkan nggak cuma demi Erik… tapi juga demi kamu…! Aku nggak bisa melihat kamu terus-menerus menanggung masalah seperti sekarang, tapi… aku sadari, ternyata aku nggak bisa melakukan apa-apa buat kamu… Aku minta maaf, Mas…”
Aku termangu. Meremaskan kedua telapak tanganku di wajah, seolah ingin sebisa mungkin memburai semua jalinan yang begitu rumit untukku ini…! Kenapa masalahku ini harus menyeret pikiran dan perasaan orang lain untuk ikut menjadi rumit…? Kenapa?
Pengakuan Misha menggerakkan hatiku, membuatku terharu…
“Mas… Kalo aku pernah sebal sama kamu, pernah merasa repot gara-gara kamu, itu memang iya…” ucap Erik terbata-bata, menyela kebisuan kami. “Aku harus akui kalo aku sudah menilaimu hanya berdasarkan stereotip yang sering dipakai orang lain… Dan itu salah. Aku juga masih ingat, aku pernah bilang kamu ‘sakit’… Tapi setelah aku renungkan, sebenarnya kamu cuma bermaksud jujur terhadap dirimu sendiri, dan terhadap orang lain… Meski aku nggak punya perasaan yang sama denganmu, seharusnya aku tahu kalo itu bukan berarti aku berhak nyakitin perasaanmu… Aku benar-benar minta maaf, Mas…”
“Sorry kalo aku naif, aku tahu aku terlalu ikut campur, Mas… Aku kenal kalian. Kalian itu baik. Kamu sama Erik, bagiku kalian itu… my best friends… Kalo memang ada maaf di antara kalian, harusnya kalian tetap bisa berteman…” ucap Misha, makin menggetarkan batinku…
Misha… Memperjuangkan persoalan batin antara aku dan Erik, memperbaiki pertemanan yang telah goyah… Apakah ini naif…? Mungkin iya. Tapi mungkin buat Misha, hati seorang teman memang bisa senaif itu… Seperti hatinya itu… demi kebaikan kami semua…
Pertemananku dengan Erik hancur, karena sebenarnya motivasiku memang bukan berteman, aku ingin mencintainya lebih dari teman… Lalu, apa sekarang aku pun sudah dipenuhi oleh gengsi…? Sama halnya dengan Erik waktu dulu dia menyakitiku…? Aku mengaku memaafkannya, tapi apakah aku benar-benar sudah memaafkannya?
Apakah sakit hati ini telah membuatku angkuh, dan jika demikian… apakah aku lebih baik darinya…?
Lucunya hati kami…!
Aku melirik Erik. Aku tersenyum…
“Apa hanya karena aku ngembaliin Flashdisk, itu langsung merubah semua pandanganmu…?” lontarku padanya.
“Sejak aku ngomong ke orang lain soal rahasiamu, aku sudah tahu sebenarnya itu salah… Aku membela diri dengan cara mengorbankan orang lain. Dan setelah itu semua, kamu masih mau berbaik hati… Yaahh, itu berkat sekaligus tamparan buat aku…” ujar Erik dengan senyum pahit.
Aku tercenung memandangi Erik. Cowok yang pernah aku cintai. Cowok yang pernah bikin aku sakit hati. Cowok yang mendatangkan banyak perubahan besar dalam hidupku… Dulu aku sangat memujanya. Badan atletisnya, rambut spike, wajah tampan, suara bagus… Setelah membuat hatiku hancur, sekarang dia menemuiku dengan hati yang berbeda. Sebagaimana hatiku juga telah berbeda…
Meski sejujurnya, aku juga masih mengaguminya…
“Sebenarnya aku sendiri juga sadar kok, Rik… saat itu aku sudah bikin situasimu jadi sulit. Aku juga minta maaf, karena pernah bikin kamu jadi serba salah…” ucapku pelan… mengakui bahwa aku sendiri juga nggak lepas dari kekurangan…
Ya, siapa yang sempurna?
Erik menatapku lekat. Lalu dia tersenyum dan mengangguk pelan, penuh arti…
“Cowok straight manapun mungkin akan bersikap sama seperti kamu… Pasti tengsin kalo disukai sesama cowok…” ujarku lagi, berkaca dan menertawakan diri sendiri…
Erik tertawa masam. Dan sekonyong-konyong raut wajahnya seperti berubah menjadi berbinar. “Tapi si Eka kayaknya cuek-cuek aja…? Dia… straight kan? Kayaknya dia bisa enjoy aja dekat sama kamu…?” lontarnya…
Tiba-tiba saja aku dibikin terbengong-bengong…!
“Kayaknya dia straight kok! Tapi dia kan bukan tokoh idola di sekolah, nggak jadi sorotan kayak kamu… Jadi nggak ribet sama urusan image!” Misha pun ganti menyindir Erik.
“Ben itu straight! Dan dia bisa nonjok orang yang macem-macem sama dia! Siapa yang berani gosipin dia? Dan kasusnya juga beda, aku nggak jatuh cinta sama dia!” tukasku jadi kesal!
Tapi setelah itu…
Tiba-tiba kami bertiga bisa tertawa…! Begitu lepas tanpa pura-pura…
“Nonjok orang? Nggak segitunya kali!” sahut Erik sambil ketawa.
“Tapi kayaknya dia memang cuek soal image, nggak kayak kamu…!” balas Misha kembali mencibir Erik.
“Yaa… aku tetap nggak menyangkal kalo disukai orang itu memang kadang bisa bikin ribet!” timpal Erik nggak mau kalah mendebat Misha.
“Nha iya, ribet karena kamu tuh terlalu jaga image!” Misah juga masih nggak mau kalah.
Dua sepupu itu berdebat sendiri saling mencibir, dan sekarang lama-lama aku hanya bisa tersenyum geli melihat mereka…
Lalu Erik kembali menatapku, dengan rautnya yang sayu…
“Tapi aku juga nggak akan menyangkal… kalo caraku memperlakukan kamu memang nggak adil, Mas… Dan itu mengakibatkan masalah-masalah lainnya yang makin nggak adil…!” ucap Erik lirih…
Aku balas menatapnya, dan aku makin memahami bahwa begitu sulit baginya… untuk menggambarkan betapa menyesalnya dia…
“Kamu tadi bilang, kamu ke sini buat minta maaf kan? Sebenarnya dulu kamu juga udah bilang kok… Aku masih ingat, waktu di studio itu…” cetusku pahit.
“Dan yang ngajak ke sini juga Erik kok, bukan aku…” sela Misha sambil tersenyum melirik Erik. “Akhirnya aku pikir-pikir, memang udah saatnya juga, Mas… kamu tahu soal aku sama Erik… Lagian rahasia kayak gini kan soal waktu juga, nggak mungkin bisa ditutupi terus. Kalo kamu bisa terima, ya kita berdua bersyukur banget… Harapannya sih, aku sama Erik juga bisa bantu nyelesein masalahmu…”
Aku tersenyum menatap mereka berdua… haru…
“Aku dengar soal masalahmu dengan BP, dengan orang-orang yang ngeroyok kamu… Aku benar-benar pingin bisa bantu kamu, Mas…” ucap Erik lirih.
“Yang pasti… semua masih bisa aku hadapi kok. Aku juga udah nggak sendirian kayak dulu lagi… Sekarang ada Denis, Ben… Yeahhh, ada kalian juga… Semangat dari kalian udah sangat membantu kok… Aku makin yakin semua pasti bisa diselesaikan. Selama ini aku juga sudah banyak merenungkan, kalo aku harus bisa melihat ini semua dari sisi positif. Tempaan biar lebih kuat, biar lebih lebih dewasa…!” ucapku mantap, di sela-sela rasa haruku. Aku makin yakin dengan itu!
Erik dan Misha memandangiku dengan senyum tipis. Entah arti detail dari senyum itu apa, tapi aku melihat sebuah semangat dipancarkan untukku… Kekuatan yang terbangun ketika kami saling jujur, saling introspkesi, dan saling memaafkan…
Sejenak kami terdiam, membiarkan keheningan berbicara kepada hati kami. Lalu perlahan, sekali lagi kami saling tertawa. Ringan, dan lepas…
Akhirnya aku bersyukur bukan karena aku hidup tanpa masalah, tapi karena di dalam setiap masalah aku diberi kekuatan untuk menghadapinya. Dan Tuhan memancarkan kekuatan itu… melalui sahabat-sahabat yang kumiliki, dengan segala kelebihan dan kekurangan masing-masing…
Yeaah, we are friends!
Lalu aku pun mulai teringat teman-teman kami yang lain…
“Dua orang tadi pada kemana sih? Nggak nongol-nongol?!” gumamku begitu ingat Denis dan Ben yang menghilang terlalu lama. “Tunggu ya, aku cari mereka dulu! Itu srabinya dimakan…!” ujarku ke Misha dan Erik.
Erik dan Misha mengangguk. Aku segera beranjak masuk, mencari Denis dan Ben. Aku menuju dapur, tapi mereka nggak ada. Cuma ada kucing-kucing gemuk yang lagi pada bercanda bergulingan di lantai. Gelas-gelas berisi air sirup ada di atas meja, sudah dibikin tapi ditinggal begitu saja. Kemana dua anak itu?!!
Aku mencari di ruangan lainnya. Kecurigaanku yang sebenarnya mengada-ada, membuatku ingin memeriksa ke…
“Nah!!! Di sini ternyata!!!” sentakku begitu menemukan Ben sama Denis. “Padahal cuma asal duga, tapi ternyata benar! Katanya bikin minum nggak tahunya malah pada berduaan di kamar!!! Pada ngapain?!”
Mereka berdua di kamar Denis!!! Gimana nggak kaget?! Jelas curiga lah…!
“Kenapa? Cuma ngobrol aja kok… Kan juga lihat sendiri?” kelit Ben.
“Ngobrol di kamar? Ngobrol berduaan? Terus aku disuruh nggak curiga gitu?” tukasku.
“Ya emang cuma ngobrol kok…” kilah Denis.
“Lihat sendiri kan, aku duduk di kursi, Denis duduk di kasur…” sahut Ben sambil menunjuk.
“Tapi juga ngapain coba? Tadi katanya bikin minum, itu gelasnya malah ditinggal gitu aja di dapur?!” omelku.
“Kalian bertiga kayaknya ngomong masalah serius sih, takut ganggu…” jawab Ben.
“Alesan! Udah sekarang keluar!” perintahku dengan kesal.
Ben sama Denis cuma berhaha-hihi sambil ngikutin dari belakang. Dasar nggak jelas…!
“Misha sama Erik habis ngomong apa?” bisik Denis.
“Mereka sepupuan! Baru tahu kan? Bagus!” cetusku jutek.
“Hah…?!!”
Ben sama Denis bengong. Aku nggak peduli mereka kaget atau gimana, aku sendiri juga kaget! Tapi kan tetap harus jadi tuan rumah yang baik! Katanya bikinin minum malah pada sembunyi nggak jelas!
“Sana minumannya dibawa ke depan!” aku memerintah Denis. “Aku ke kamar bentar…”
“Gimana sih? Sekarang gantian lu yang ke kamar?!” protes Denis.
Aku nggak peduli. Aku bergegas menuju ke kamarku. Aku cuma mau mengambil gitarku aja. Yang lagi datang kemari kan anak-anak yang doyan musik, kan bisa buat hiburan… Biar nggak garing!
Akhirnya, aku kembali ke teras dengan gitar di tanganku. Bergabung berlima sama Denis, Ben, Erik dan Misha. Sungguh malam yang nggak direncanakan…!
“Nih, siapa mau nyoba gitarku?” kuulurkan gitarku.
Ben langsung menyambutnya. Gitarku pindah ke tangannya. “Mantap juga gitarmu!” cetusnya sambil memetik-metik.
“Diminum tuh, sorry cuma sirup…” tawarku ke mereka.
Erik langsung mengangkat gelasnya. Dia minum, dan… mukanya langsung bersemu tipis…
“Ini rasa apel ya…?”
Tuiiinggg…! Ya ampun, kenapa sih Erik ngomentarin sirup itu juga?! O my God, jangan-jangan dia jadi teringat sesuatu…?!!
“Masa sih rasa apel?” Misha langsung ikutan minum.
“Ini kenapa sih, pada ngomentarin sirupnya? Biasa aja kali…! Emang aneh ya kalo rasa apel?” cetusku rada sebel.
“Bukan aneh, tapi kan jarang sirup rasa apel? Kalo jus sering, tapi kalo sirup jarang…Tapi enak, seger kok…!” cerocos Misha.
“Apel itu unik unsur rasanya… Manis, kecut, sepet, harum…” gumam Erik sambil meminum sirupnya sedikit-sedikit.
“Mengkudu juga unik…!” celetukku asal.
“Tapi siapa yang doyan mengkudu?” Ben ikut nimbrung, sambil masih memetik-metik gitar di tangannya.
“Itu kan obatnya orang darah tinggi…” celetuk Denis.
“Berarti Ben yang harus minum, darah tinggi dia. Emosian. Kata guru silatnya sih…” celetukku ngeledek Ben. Tapi ternyata dia cuma diam nggak balas, malah senyum-senyum cool. Mungkin mau ngebuktiin kalau dia bukan pemarah dan nggak perlu minum sirup mengkudu! Salut kalau begitu!
“Apple… it’s adorable…! Biasanya kalo orang ngasih tanda cinta, kalo kue atau permen biasanya yang rasa coklat. Tapi kalo buah, pasti akan pilih apel…!” seloroh Misha.
“Yakin?” balik Denis.
“Iya lah! Paling cocok ya apel!” cetus Misha dengan yakin.
Aku melirik Erik yang sedang tersenyum aneh. Matanya mengerling seperti ada ide yang sedang mendarat di dalam kepalanya…
“Berhubung di sini yang cewek cuma kamu, kamu aku kasih pertanyaan…!” cetus Erik ke Misha, kayaknya mau ngerjain sepupunya itu. “Seumpama kamu punya satu apel, dan harus dikasih ke salah satu cowok di sini… siapa yang akan kamu kasih?”
Nah! Misha kena batunya sekarang! Sukur! Ngapain tadi sok tahu soal apel?! Sekarang ketiban pertanyaan tuh…! Btw, pertanyaan yang seru juga! Misha langsung kelihatan gugup. Sekarang semua mata di sini menatapnya dengan seringai yang menuntut jawaban…!
“Hayo jawab…!” desak Ben ke Misha.
“Jawab! Yang jujur!” aku ikut mendesaknya.
“Harusnya aku tadi nggak ke sini ya?” kelit Misha mulai cengengesan.
“Nggak usah alesan! Salah sendiri masuk ke sarang cowok!” tukasku dengan seringai jahil.
“Jawab!”
“Jawab!”
Misha akhirnya mati kutu juga. Dia mulai memandangi satu per satu semua yang ada di sini… Lalu pura-pura sok pede!
“Hmmmm… Kukasih ke Denis aja deh…!” cetus Misha.
“Huuaaaa… Deniiiisssss…!!!” semua langsung nyorakin Denis…!
“Aku udah curiga dari dulu…!!!” seruku geregetan.
Denis cuma meringis cengengesan, malu-malu kucing…!
“Kenapa pilih dia?” tanyaku penasaran.
“Ya terserah gue donggg…! Kalian nggak boleh cemburu ya!” lagak Misha ganjen.
“Huuuu…” aku, Ben dan Erik kompak mencibir Misha. “Nggak kaleee…!”
“Gue terima, tapi gue kasih ke Dimas…!” celetuk Denis tiba-tiba.
Semuanya langsung terdiam sesaat. Bengong… Denis pun tersenyum meringis lagi…
“Jadi… kamu nolak Misha?” lontar Ben.
“Huuuu… Kasihan kamu, Mis…!” Erik meledek Misha.
Misha cemberut. Pura-pura kesal. “Nyesel…!” dengusnya sambil melirik jutek ke Denis.
“Jadi… Kamu nembak sodara kembarmu sendiri???” celetuk Ben dengan muka konyol.
“Woiiiiii…!!! Bukan gitu!!!” Denis langsung mencak-mencak. “Dimas kan lebih tua dari gue… Yang lebih tua harus punya pasangan dulu dong, baru habis itu yang lebih muda nyusul…!”
Denis… Selalu pintar bikin alasan…!
“Kalo gitu… sekarang milik Dimas apelnya…?!” celetuk Ben seraya memandangiku dengan jahil. “Berarti gantian Dimas yang harus jawab!”
“Nah, iya!!! Hayo sekarang ngaku, mau dikasih siapa tuh apelnya?!!” sekarang Misha gantian beringas mendesakku! Balas dendam!
Anjrittt…?!
“Sukur…! Hayo jawab!!!” Misha semangat meledek sekaligus mendesakku.
“Yang cowok siap-siap tengsin ya, soalnya nggak mungkin Dimas ngasih apelnya ke cewek!” cetus Denis. Kurang ajar! Aku tahu dia tuh ngelempar apelnya sengaja buat ngerjain aku!
“Ngumpet, ngumpet…!” Ben berlagak takut, menutupi mukanya dengan bodi gitar.
“Woiii, yang cowok-cowok di sini nggak usah pada ge’er ya…!” omelku dongkol.
“Dikasih ke siapa memangnya…?” tanya Ben.
“Ngaku!” desak Misha lagi.
Perlahan-lahan… mataku mulai menerawang jauh ke satu wajah di benakku. Aku terdiam sesaat. Dan mulai tersenyum pahit…
“Apelku akan aku kasih ke seseorang…” aku menggumam seraya membayangkan wajah itu. “Tapi dia nggak di sini sekarang…”
Sesaat semuanya juga ikut diam menyimak. Lalu…
“Hmmm… Gue tahu…” celetuk Denis.
“Aku juga tahu!” sahut Misha sambil melirik ke atas pura-pura ikut membayangkan.
“Aku juga tahu. Pasti si itu…” gumam Ben sambil garuk-garuk kepala.
“Kalo udah tahu ya udah diam! Nggak perlu aku jawab lagi kan?!” sentakku jutek.
“Cuma aku yang belum tahu…” celetuk Erik, dengan komentar yang berbeda…!
Dan semua segera beralih memandangi Erik…!
“Kamu nggak boleh cemburu ya! Dulu kamu kan udah dapat jatah!” cibirku ke Erik.
Semua saling berpandang-pandangan sekejap. Lalu tawapun meledak di teras ini. Semua spontan mengolok-olok Erik…!
“Ooo… Udah dapat jataaahhh…???”
“Jatah dicintai, udah lewat…!” selorohku enteng.
Semuanya ketawa makin keras. Dan Erik cuma garuk-garuk kepala dengan muka yang tersipu merah…!
Malam yang indah. Persahabatan makin mengembang!
Tapi… dalam hati aku juga bergumul dengan secercah rasa sesal…
Terima kasih Tuhan, untuk persahabatan ini.
Tapi…
Andai saja dia juga ada di sini…
Bersambung...
Keranjang 51
We Are Friends...
Akhirnya, sampai rumah lagi. Hari yang melelahkan ini sudah seharusnya berhenti di sini, di tempat dimana aku…
“Pulang…” decakku dengan hela nafas lega. Aku berhenti dengan Vespa-ku di depan gerbang rumah. “Ini rumahku, Ben…”
Ben juga berhenti dengan motornya. “Oke, sekarang aku punya tempat tujuan buat main…” sahutnya dengan senyuman.
“Mampir!” ajakku.
Aku meneruskan Vespa-ku masuk ke halaman, tanpa menunggu Ben menjawab mau atau tidak. Aku nggak butuh jawaban karena pokoknya dia harus mau! Harus, nggak perlu alesan! Hehehe…
Ben mengikutiku masuk dengan motornya. Aku bahkan sudah lupa kapan terakhir kali ada teman yang main ke rumahku. Jadi Ben mau mampir ke rumahku, that’s really cool!
Aku duduk di teras yang remang-remang. Mengendurkan syaraf. Perjalanan yang menguras pikiran. Menghadapi Bu Yanti, menghadapi Bang Togar, Geri dkk… Capek. Tapi syukurlah, akhirnya menghasilkan sesuatu yang bisa memberiku alasan buat menghela nafas lega sekarang. Ini semua progres yang bagus! Dan bantuan seorang sobat sejati seperti Ben… makin membuatku terharu…
Sekarang giliranku untuk menjadi tuan rumah yang baik!
“Mau minum apa?” selorohku menawari Ben, sok royal.
Ben duduk di kursi sebelahku. “Mana Denis?”
Aku langsung jadi sebal. “Ditanya ini, ganti nanya itu!”
“Tuh, sewot lagi kan?!” balas Ben jutek. “Aku pingin lihat kamu baikan sama dia! Kamu bisa maafin Geri masa nggak bisa maafin dia?! Cepat baikan!”
“Ya pastinya! Tapi ngapain juga didramatisir, musti di depan kamu gitu?!” balasku nggak mau kalah jutek. “Pokoknya kamu mau minum apa dulu sekarang?!”
“Itu srabinya dikasih dulu sana! Udah beli segitu banyak juga! Urusin dulu tuh adikmu!” kelit Ben. Lama-lama mulai nyebelin nih anak. Atau dia memang sengaja begitu? Kayaknya!
“Jangan-jangan kamu tuh memang suka sama Denis ya?!” aku balik menuding Ben. Tapi begitu lihat dia ganti cemberut, aku langsung cengengesan lagi. “Hehehehe… Becanda! Gitu aja marah…!”
Aku langsung ngacir masuk ke rumah sebelum mendapat perlakukan anarkhis dari sohibku itu. Kubawa srabi yang habis kubeli dari Notosuman. Oleh-oleh buat adikku… Mana dia…?
“Den…???” panggilku sambil menyusuri ruang tengah yang lengang.
Jam dinding menunjukkan pukul delapan kurang sedikit. Biasanya jam segini Papa sama Mama jadi juru kunci ruang TV. Tapi kali ini kayaknya mereka lagi nggak di rumah. Bik Marni pasti juga sudah tidur kalau jam segini. Dan Denis juga nggak nongol…? Sepi!
“Dennn…???” panggilku lagi.
Belum ada sahutan. Ahhh… Ke dapur dulu saja. Nyiapin minum buat Ben. Kubuka kulkas, mencari apa saja yang bisa dimakan dan diminum. Ketemu sirup sama… Biskuit kucing. Cuma itu yang ada. Payah…!
“Pusss… Pusss…” kupanggil kucing-kucing itu. Binatang-binatang imut dan gemuk itu langsung nongol, berlarian menuju dapur. “Nih, makan nih…!” kuhamburkan beberapa potong biskuit ke lantai.
Kuamati kucing-kucing itu makan. Bersama, rukun dan damai. Membuatku tersenyum dan ingin membelai mahluk-mahluk lucu itu. Aku jongkok menunggui mereka makan. Huuuu… Makin hari makin gemuk. Denis pasti sayang sama mereka. Mana Denis…? Apa mungkin udah tidur?
Aku menuju ke kamar Denis. Kuketok pintu kamarnya. Tapi nggak ada sahutan. Kubuka pelan-pelan…
Kumasuki kamar Denis yang lumayan berantakan. Ya beginilah kebiasaannya, selimut nggak dirapiin, buku-buku berserakan di meja, baju seragam sekolah teronggok di tempat tidur… Yang empunya kamar juga nggak ada. Seperti kamar tanpa tuan…
Kurapikan buku-buku di meja. Kugantungkan baju seragamnya di gantungan yang ada di dinding. Kulipat selimutnya… hingga semua tampak rapi…
Lalu…
Aku duduk di tepian kasur, termenung memandangi kamar yang sunyi ini. Aku mulai terseret rebah di atas kasur, memeluk guling seraya memandangi langit-langit yang bisu…
Denis di mana…?
Aku bawain dia oleh-oleh…
Aku mau baikan…
Aku mau minta maaf…
Denis di mana…?
Aku masih termenung di sini. Perasaanku kenapa menjadi gelisah…?
Ohh, ya Tuhan… Aku sampai lupa… Aku ninggalin Ben di luar…! Aku segera bangkit dan menuju ke dapur lagi. Kubikin dua gelas sirup lalu bergegas ke depan lagi. Ya ampun! Benar-benar tuan rumah yang nggak sopan, teman yang nggak punya perasaan! Aku ninggalin tamuku sendirian di teras…!
Tapi…
Aku malah terkejut bagitu tiba di teras. Nggak sampai menjatuhkan gelas ke lantai sampai pecah kayak di sinetron-sinetron itu… tapi… Gimana nggak terkejut?
Ben sedang bercakap-cakap dengan Denis!
“Hai! Lama ya kamu bikin minumnya?” Ben langsung menyindir sambil nyengir.
Dongkol, tapi juga jadi sedikit segan saat Denis sudah di hadapanku. Bagaimana dia bisa sudah ada di sini…? Ya, setidaknya aku juga lega… bisa melihat dia lagi…
“Dari mana, Den…?” tanyaku datar, sambil meletakkan gelas yang kubawa ke atas meja.
“Dari warung…” jawab Denis singkat.
Aku memperhatikan wajah Denis sekilas. Setelah dua hari dengan kemarahan, ini pertama kalinya aku kembali bisa menatapnya dengan… perasaan sayang… Sebagaimana nyatanya, sebagaimana dia adalah sodara kembarku sendiri, yang juga selalu menyayangiku. Aku tahu itu…
Denis lalu berdiri, beranjak masuk ke dalam. Tangannya menenteng plastik, entah isinya apa tapi pastinya itulah alasan dia ke warung tadi. Ya… Everything’s ok… Dia nggak kemana-mana, dan nggak kenapa-napa. Aku lega…
“Aku bawain oleh-oleh tuh, di meja dapur…” ucapku waktu Denis mau masuk ke dalam.
Denis berhenti sesaat, menatapku sekilas dengan canggung. Lalu dia melangkah masuk lagi. “Thanks…” ucapnya sambil lalu, bisa kudengar meski pelan.
“Gitu ya baikannya…?” celetuk Ben begitu Denis sudah masuk ke dalam.
“Memangnya kamu mau yang kayak gimana? Biasa aja lah! Sama-sama cowok nggak perlu lebay kali…!” bisikku sebal.
Tapi… sebenarnya memang aku rada jaim sih… Iyalah, ada Ben gini! Kalau aku cuma berdua sama Denis mungkin bisa saja udah peluk-pelukan! Aku yang peluk Denis, dan dia pasti akan balas pakai tonjok…! Itulah kami!
“Ngobrol apa aja kamu sama Denis tadi?” selidikku ke Ben.
“Nggak banyak. Cuma basa-basi aja. Tadi dia juga baru datang kok…” jawab Ben.
“Dia kayaknya gimana…? Kayaknya nggak ada masalah kan…?” tanyaku agak ragu.
“Kok tanya aku? Ya kamu tanya langsung ke dia lah!” tukas Ben mencibirku. “Kamu masih gengsi kan?! Nggak boleh gitu! Kayak Bang Togar bilang, minta maaf itu jangan pakai gengsi. Siapa yang ngerasa punya salah, jangan nunggu-nunggu buat minta maaf duluan…!”
Aku terdiam. Memang aku akui, niat ini ada. Tapi aku rikuh dan sungkan buat ngomong… Bukannya aku gengsi. Tapi aku bingung gimana mulainya…
“Tapi ya udah bagus sih, kamu udah mau ngajak dia ngomong, udah bawain oleh-oleh. Awal yang bagus kok…” Ben melanjutkan kata-katanya seolah memahami kebingunganku, tapi sambil tersenyum rada ngeledek!
“Kalo aku nyusul Denis ke dalam sekarang, kamu bakal lebih lama aku tinggal di sini!” tukasku ganti mencibir.
“Iyalah, pasti drama banget kalian!” balas Ben.
“Udah, diminum tuh!” tukasku kesal.
“Ini oleh-olehnya?” tiba-tiba Denis muncul lagi sambil menunjukkan piring berisi srabi.
“Iya…” jawabku rada bengong.
“Tadi ada dua biji yang dimakan kucing…!” cetus Denis.
“Hahh??!!!” sentakku kaget. “Kurang ajar! Rusuh amat kucingmu?!”
“Lu ikhlas nggak ngasih gue oleh-oleh?” balas Denis ketus.
Aku langsung melongo. “Kenapa musti nanya? Ya ikhlas lah…!”
“Kalo lu ikhlas ngasih gue, lu juga harus ikhlas kucing gue dapat bagian!”
“Hahaha…” Ben malah ketawa. “Ayo berantem! Berantem…!”
“Gila, malah ngomporin?!” tukasku ke Ben.
“Nih! Kalo nggak ikhlas gue balikin!” Denis meletakkan piring srabi itu ke meja.
Aku terdiam seketika. Kami semua diam. Ini maksudnya apa…? Kok Denis masih sensi gini? Soal sepele lagi…? Cuma soal kucing sama srabi…??? Kulihat srabi-srabi di piring itu…
Tapi… lho…???
“Ini srabinya tinggal sepuluh…? Tadi aku beli limabelas… ALAAAAHHHH…!!! Berarti kamu udah makan tiga biji kan?!!!” sentakku langsung nyadar!
“Hwahahahaha…” Denis langsung ngakak.
“Aku nggak ikhlas! Balikin yang tiga biji!!!” seruku geram!
Denis ngacir ke dalam sambil ketawa-ketawa waktu aku mau menendangnya. Kamprettt…! Baru aja baikan, langsung sebel lagi sama dia! Lagaknya pakai pura-pura sensi segala! Bawa-bawa kucing segala! Dasar tukang makan…!!!
“Udah, kejar sana! Berantem lagi…!” cetus Ben sambil ketawa.
“Apaan sih? Dasar provokator!” sungutku kesal.
Ben menahan ketawa sambil meminum sirupnya. Setelah minum, mukanya kelihatan agak gimana-gimana, aneh… Lalu dia mengamati minumannya…
“Ini sirupnya… rasa apel…?” tanya Ben.
“Bukan. Rasa kedondong!” jawabku cuek.
“Mana ada? Rasa apel nih kayaknya…!” gumam Ben. Yaelah, malah ngomentarin sirup! Akhirnya dia habisin juga minuman itu…!
Tapi… memang agak gimana gitu ya…? Apel… Hmmm… Jadi ingat sesuatu… Ah, lupakan!
“Mau dibikinin lagi?” tanyaku.
“Nggak usah…” sahut Ben. Lalu dia menyantaikan duduknya. “Ngomong-ngomong rumahmu sepi ya? Ortumu nggak di rumah?”
“Baru pergi. Nggak tahu kemana…”
“Ortumu kerja di mana sih?”
“Papaku kerja di perusahaan advertising. Mama kerja di asuransi…” jelasku singkat.
“Jarang di rumah ya?”
“Nggak juga. Tiap sore biasanya udah pada pulang. Kalo pergi lagi paling arisan atau apa gitu, tapi nggak terlalu sering juga. Biasa aja…”
“Kalo boleh nanya, kenapa sih kamu sama Denis sempat dipisah dulu?” tanya Ben. Rasa penasaran dapat kulihat dari sorot matanya.
“Hmmm… Kalo dari cerita Mama sih, dulu keluargaku sempat agak collapse. Papa waktu itu kena PHK, dan agak kesulitan buat dapat kerjaan lagi. Waktu itu Papaku juga masih harus menanggung Nenek yang udah lama sakit. Ekonomi keluarga jadi sulit. Terus, ceritanya Tanteku di Medan belum punya anak padahal udah nikah cukup lama. Akhirnya ortuku setuju Denis dititipkan ke Tante di Medan. Yahh, menurut tradisi biar bisa ‘mancing’ keturunan buat Tante, katanya. Selain itu buat meringankan beban Papa juga. Akhirnya Tanteku beneran bisa dapat keturunan. Sekarang keadaan keluarga di sini juga udah stabil lagi, jadi Denis diminta buat balik ke sini… Kata Denis sih sebenarnya dia betah tinggal di Medan, dan masih pingin tinggal di sana. Tapi akhirnya dia lebih milih kumpul lagi sama keluarga di sini…” tuturku, setengah termenung menceritakan tentang keluargaku.
Di benakku terlintas lagi ingatan waktu itu. Denis udah disiapin tiket buat balik ke Medan, tinggal berangkat bersama Om dan Tante. Dia juga sudah pamitan ke aku lewat telpon karena waktu itu aku masih di Bali. Tapi… secara mendadak dia berubah pikiran, dia memilih tinggal di sini. Cuma dia yang mengerti dengan pasti alasannya, tapi bagiku keputusannya itu memang pilihan yang terbaik untuk mengembalikan keutuhan keluarga ini. Kami semua menerimanya dengan senang hati…
“Hmmm… Hebat juga ya ceritanya. Tapi kenapa Denis yang dititipin ke Tantemu? Kok bukan kamu?” tanya Ben lebih jauh.
Aku ketawa. Jadi rada malu buat menjelaskan bagian itu. “Waktu itu kan masih umur 10 tahun. Kata Mamaku juga sih, Denis itu sejak kecil memang lebih bandel. Nggak gitu tergantung sama orang tua. Jadi dia dianggap lebih kuat buat pisah sementara…”
“Ooo… Jadi memang sejak orok kali ya, kamu lebih lemah lembut dibanding adikmu…?” komentar Ben.
“Sialan! Ngeledek lagi?!” tukasku dongkol.
Ben tertawa.
“Sekarang gantian kamu cerita! Ortumu kerja dimana? Di rumah ada siapa saja? Sehari-harinya gimana?” aku ganti memberondong pertanyaan.
Ben langsung berhenti ketawa, sekarang garuk-garuk kepala. “Nggak ada yang istimewa!” cetusnya.
“Mungkin kamu perlu orang lain buat nunjukin dimana istimewanya keluargamu…!” desakku dengan senyum licik sekaligus penasaran.
“Hahaha…” Ben tertawa pelan. Lalu wajahnya setengah merenung. “Ayahku jadi manager di pabrik furniture. Ibuku ikut MLM, yang sebenarnya sih nggak gitu penting soalnya penghasilan ayah udah cukup. Tapi ibuku kayaknya nggak betah kalo diam di rumah aja. Makanya cari kesibukan juga. Tapi akhirnya malah kadang jadi ngelantur, jarang di rumah. Ayahku juga pulangnya kadang malam. Jadinya rumah sering sepi…”
“Nggak ada pembantu di rumah?”
“Nggak ada. Rumahku nggak gede-gede amat, isinya juga cuma tiga orang. Itupun jarang ada di rumah. Semua dikerjakan sendiri-sendiri. Jadi kalo nggak ada kerjaan, benar-benar bete kalo cuma di rumah. Makanya aku juga cari kesibukan. Ngeband, atau keluyuran nggak jelas. Kalo nggak ya tidur seharian di rumah…” gumam Ben bercerita, mencurahkan kesepian yang tampak tersirat dalam diri sahabatku itu.
Aku termangu mendengarnya.
“Jadi menurutmu ada istimewanya…?” lontar Ben padaku, dengan senyum masam.
Aku ikut tersenyum. “Kalian tetap bertahan sebagai keluarga. Dan kamu tetap bertahan jadi anak baik-baik. Semangat untuk tetap menjadi keluarga… yang kalian sendiri mungkin tidak menyadarinya… Itulah istimewanya…!” jawabku mengurai apa yang bisa kusimpulkan.
Ben tertawa agak sinis. “Dari mana kamu yakin kalo aku anak baik-baik?”
“Kamu ngerasa broken home kan? Kesepian? Tapi… kamu nggak terjebak buat mengasihani diri sendiri. Malah kamu datang ngebantuin masalahku… Mungkin kamu itu memang susah dimengerti, dan sebenarnya butuh dimengerti, tapi hebatnya kamu justru mau mengerti orang lain lebih dulu. Biarpun katanya bandel, tapi… you’re a good guy! Good friend. Mungkin… best friend…!” ujarku, mengakui di hadapan Ben, tanpa perlu merasa malu…
Senyum Ben menghias tipis di bibirnya. “Tapi buat orang tuaku, kayaknya aku bukan anak yang bisa dibanggakan…” ucapnya pelan.
Aku tertawa kecut. “Aku nggak menilai kamu sebagai ‘anak’, aku nggak bisa. Aku temanmu, bukan orang tuamu. Karenanya, aku menilaimu sebagai seorang teman. Mungkin kamu memang punya masalah dengan keluargamu, tapi menurutku kamu nggak kehilangan diri kamu sebagai orang baik… Kamu seorang teman yang baik, dan karena itulah aku bangga sama kamu!” ucapku mantap.
Ben terdiam bersama senyumnya yang samar, seolah ada kelegaan di dalam hatinya…
Dia anak baik yang terjebak oleh keterasingan. Aku juga pernah merasakan keterasingan, tapi mungkin oleh situasi yang lain. Ben karena hubungannya yang kurang hangat dengan keluarganya. Aku karena kondisiku yang berbeda dari orang-orang pada umumnya. Keterasingan yang berbeda, tapi yang kami butuhkan pada dasarnya sama :
Rasa diterima.
“Makanya… aku mendorong agar kamu lekas baikan sama adikmu. Kamu punya sodara yang hebat. Nggak semua orang seberuntung kamu…” ucap Ben pelan.
Aku tersenyum. “Ya. Kamu sama Denis, kalian berdua hebat…!” pujiku jujur.
Sekelumit percakapan soal keluarga ini membuat suasana jadi terasa teduh, selaras dengan beranda yang remang-remang ini…
Tapi kemudian aku mulai menyadari kalau ada sepasang telinga ketiga yang ikut mendengarkan! Atau mungkin juga sepasang mata lainnya yang mengintip dari balik kaca jendela…! Aku langsung sigap melongok ke dalam rumah…!
“Hei! Ngapain?! Nguping ya?!!” hardikku ke Denis. Ternyata dia duduk di sofa ruang tamu, tepat di balik jendela beranda!
Denis langsung tersenyum-senyum, gugup mati kutu. Ketangkap basah! Aku sebenarnya jengkel kalau dia mulai bertingkah nyebelin seperti ini! Tapi… ya aku mengerti, kami sama…
Kami tidak ingin ada keterasingan…
“Duduk bareng sini!” ajakku sambil duduk lagi di sebelah Ben.
Denis akhirnya ikut keluar, bergabung di teras. Tapi dia memilih duduk jongkok bersandar pilar beranda.
“Jadi kayak anak ilang gitu?” cibir Ben sambil ketawa.
“Sini duduk atas! Kayak mau sungkem aja…?” tukasku.
“Nggak. Di sini aja…” jawab Denis. Dia masih tetap duduk jongkok di tempatnya.
“Kenapa sih…? Kok jadi kayak menderita gitu…? Tadi aja bisa becanda…?” tanya Ben.
“Nggak apa-apa…” jawab Denis pelan, dengan senyum samar.
Aku garuk-garuk kepala. Entah Denis lagi akting atau gimana… Tapi aku rasa nggak ada yang serius. Kami sudah baikan. Tadi juga sudah bercanda. Sudahlah, nggak perlu jadi beban pikiran lagi… Kami harus berdamai.
“Nih… Adikku yang cakep, makan lagi srabinya…!” ujarku sambil mengulurkan piring srabi ke Denis.
Denis cemberut geleng-geleng kepala. Ben tambah ketawa…
“Huhhh… Ya udah, kalo nanti srabinya sampai sisa, lain kali aku nggak akan beliin lagi!” sungutku sambil meletakkan kembali piring srabi itu ke meja. Kehabisan akal buat membujuk Denis yang entah, seperti anak sedang merajuk! Biarin lah, udah gede juga! Biasanya dia memang suka akting sih…!
Tiba-tiba ada suara mobil yang menyita perhatian kami. Sebuah sedan berwarna gelap berhenti di depan rumah. Kami bertiga terpaku penasaran memandangi mobil itu. Mobil siapa…?
Nggak lama kemudian seseorang turun dari mobil itu, dan…
“Lho… Misha…?” gumamku kaget bercampur heran.
“Hai, Mas…!” Misha menyapa di depan pagar, dengan senyum agak canggung. “Wahh… Baru party ya ternyata…?”
“Nggak… Cuma ngobrol-ngobrol aja kok… Sini masuk!” balasku seraya berdiri hendak menyambutnya. “Kamu sama siapa…?”
Belum sampai Misha menjawabku, ada satu orang lagi turun dari mobil. Kali ini…
Lebih mengejutkan lagi!
“Erik…?!!”
Aku berdiri terbelalak, kehilangan kata-kata saat dua orang itu melangkah masuk menuju kemari, makin dekat di hadapanku… Misha sama Erik…??? Bagaimana mereka bisa barengan kemari?!! Satu mobil…?!!
“Kok Misha sama Erik…?” bisik Denis yang ikut berdiri di sampingku. Dia juga keheranan…!
“Hai… Boleh masuk?” Misha berdiri di depanku dengan senyum tipisnya. Erik ada di belakangnya, menyembunyikan senyumnya yang terkesan… rikuh.
“Kan aku udah bilang ‘masuk’ tadi…?” kelitku dengan senyum gugup. Mencoba bersikap wajar, menyembunyikan kekagetanku, tapi tetap saja sulit!
“Kabarmu gimana? Kok SMS-ku nggak dibalas…?” sentil Misha. Dia segera melihati kondisiku dengan raut prihatin, pasti dia bisa melihat beberapa bekas memar yang ada padaku.
“Ya gini lah, tambah cakep…!” jawabku dengan canda yang garing. “Sorry aku belum sempat balas SMS-mu…”
“Biar gue ambilin kursi lagi…” gumam Denis seraya beranjak ke dalam rumah.
“Sini duduk…!” aku menyilakan mereka berdua duduk di kursi yang masih ada dua di sebelah Ben.
Denis mengeluarkan dua kursi plastik ke beranda. Aku duduk di kursi yang dibawakan Denis. Kali ini Denis juga ikut duduk di sebelahku. Sekarang kami berlima. Aku, Denis, Ben, Misha dan Erik, duduk di sini…! My God…! Sekalipun nggak pernah terbayang kami bisa berkumpul seperti ini di sini! Dan… ada apa ini…???!!!
“Gue bikinin minum juga ya…” Denis berdiri dan masuk ke dalam lagi.
“Nggak usah repot-repot…!” Misha bermaksud mencegah tapi Denis sudah masuk duluan ke dalam.
“Nggak usah pura-pura nolak…!” celetukku.
Misha langsung bengong, memandangiku dengan wajah kecut.
“Haha… Becanda! Ramah tamah…!” kelitku sambil garuk-garuk kepala.
Suasana jadi canggung karena ada Erik di sini! Jelas, benar-benar kehadiran yang nggak pernah kuduga! Kapan pernah terlintas dalam pikiranku kalau Erik bakal kemari bersama dengan Misha…?!! Nggak pernah…! Karenanya… ini benar-benar membingungkan…!
“Gimana kabarmu, Ben…?” sapa Misha pada Ben. Basa-basi.
“Baik. Kamu gimana?” balas Ben. Ramah-tamah.
“Baik juga…” sahut Misha.
“Erik gimana…?” Ben gantian ke Erik.
“Fine…” jawab Erik simpul.
“Denger-denger kamu mau cabut dari band sekolah, Rik?” lanjut Ben.
“Iya. Bosan, terlalu diatur sama pembinanya…” balas Erik diiringi tawa agak enggan.
“Ehh, tunggu, tunggu…!” aku langsung buru-buru menyela. Lagi-lagi aku dibikin heran! “Jadi kalian berdua juga udah kenal…?” tanyaku seraya memandangi Ben dan Erik bergantian, tercengang!
“Satu sekolah siapa yang nggak kenal Erik? Dia kan artis…!” jawab Ben sambil tersenyum menyindir Erik.
Erik langsung tertawa kecut. “Please! Aku memang banyak kerjaan di sekolah, tapi jangan sebut aku artis dong!” kelitnya, lalu dia ganti memandangiku. “Kamu nggak tahu, Mas? Band-ku di sekolah kan ganti gitaris sampai empat kali! Aku pernah ngajak Eka buat join juga…”
“Tapi nggak sampai join. Baru coba-coba. Cuma ngejam bareng satu kali, terus aku nggak jadi join…” sahut Ben cuek.
“Kalian ngeband bareng?! Kok kamu nggak pernah cerita…?!” tukasku ke Ben, dongkol.
“Kenapa memangnya? Nggak ada hubungan yang istimewa sama dia! Cerita nggak cerita, nggak ada pengaruhnya…!” kelit Ben dengan senyum menyindir. Dia menyebut istilah ‘hubungan yang istimewa’…?! Dikiranya aku lagi cemburu kali ya?! Sial…! Aku ini cuma kaget aja!!!
“Kamu mainnya yang cadas-cadas sih! Kalo beneran join palingan juga cepet-cepet didepak sama manajer…!” Erik ganti nyindir Ben.
“Manajer? Keren amat band sekolah pakai manajer? Guru Pembina kali…!” Ben membalas Erik.
“Ya gitu lah! Prakteknya sih kayak manajer. Ngatur-ngatur aja bawaannya. Makanya aku cabut pilih aja…!”
“Nggak mau diatur, atau karena kamu udah punya band di luar?”
Erik ketawa. “Dua-duanya. Aku mau serius sama bandku yang di luar. Rencananya mau bikin demo album…”
Aku cuma bengong melihat Ben sama Erik asyik ngobrol soal band…! Ternyata mereka ini nggak cuma sekedar tahu, tapi udah kenal baik!!! Ben ini kebangetan amat nggak pernah cerita dikit aja?! Huuuhhh…!
Aku sama Misha dikacangin. Misha cuma diam aja. Tapi mata kami berdua sempat bertemu. Kelihatan kalau Misha nggak nyaman, seperti menyembunyikan sesuatu. Ya udah pasti lah! Kok dia bisa sama Erik? Jelas selama ini dia main rahasia di belakangku…! Tapi dari tadi aku belum dikasih penjelasan apa-apa soal itu!
“Kalo mau bikin demo berarti udah punya lagu sendiri dong? Udah berapa lagu?” tanya Ben, masih asyik ngobrol sama Erik.
“Aku bikin dua lagu. Baru materi awal, aku bikin pakai software digital…” Erik masih asyik juga nerusin ceritanya.
“Software digital? Aku juga biasa pakai, tapi hasil soundnya tetap kedengaran imitasi banget. Kurang asyik didengerin…!” sahut Ben.
“Itu buat materi mentahnya aja. Buat konsep dasarnya, biar nggak lupa. Ideku sering melebar sih, Bro… Kalo ada rekaman konsep dasarnya kan bisa jadi patokan seumpama mau dibikin aransemen lain…” jelas Erik ke Ben.
Wooww…! Oke, dua anak band ini masih asyik ngobrol sendiri! Aku sama Misha masih dibiarin bengong aja dari tadi…! Huuuhh, aku masih tuan rumah yang sabar…!
“Makanya aku sempat kelabakan dulu…” Erik masih nerusin ceritanya, cerewet juga ternyata! “Komputerku pernah error. Hardisk-ku terpaksa diganti dan data-datanya nggak bisa diselamatkan. Untungnya aku sempat back-up data-data penting ke Flashdisk, termasuk lagu-lagu yang aku bikin… Tapi masih sial juga, waktu piknik di Sangeh kemarin Flashdisk-ku diserobot monyet…!”
Aku sedikit kaget. Aku langsung bisa menebak cerita Erik ini mau kemana…
“Terus gimana tuh…?” Ben rupanya tertarik sama cerita itu, dan penasaran buat mendengar kelanjutannya…!
“Surprise! Nih, si Dimas tiba-tiba datang ngembaliin Flashdisk-ku…! Nggak tahu gimana caranya, dia cuma bilang menukarnya dengan… sesuatu… Tapi aku nggak yakin juga sih kalo cerita Dimas itu beneran…!” gumam Erik seraya melirikku dengan senyum… penuh isyarat…!!!
Aku tahu mata mereka sedang tertuju padaku sekarang! Tapi aku diam dengan cuek, karena aku yakin tujuan utama Erik dan Misha datang kemari pastinya bukan untuk membahas lagunya Erik, atau Flashdisk, atau monyet-monyet di Sangeh…! Aku masih bingung sebenarnya ini semua soal apa…?! Kenapa malam ini tiba-tiba menjadi acara reuni yang susah dipercaya?!! Tapi mereka masih belum tahu diri juga, kalau aku sedang menunggu penjelasan dari mereka! Nggak punya perasaan…!
“Tapi Flashdisk-mu beneran balik kan?” Ben masih mengumpani cerita Erik. Damn!!!
“Yap…”
“Jadi Dimas udah nolongin sesuatu yang penting buat kamu kan?”
“Hahaha… Kalo nanti beneran jadi album, aku udah siapin bagian ucapan terima kasihnya kok. Rumusnya masih klise sih, kayak ucapan terima kasih di album-album orang lain. Pertama pasti buat Tuhan, kedua buat orang tua. Ketiga adalah nama-nama sodara atau teman yang berjasa, nanti nama ‘Dimas’ aku tulis di urutan pertama deh…” ujar Erik dengan senyum lebar, entah bercanda atau serius!
“Woooowwwww…!” Plok plok plok plok…! Tiba-tiba Ben dan Misha langsung kompak bertepuk tangan diiringi sorak tawa mereka…! Oke, sekarang Misha ikut jadi penggembira!
“Dimas kok diam aja?!” Misha sekarang mulai ikut nimbrung. “Terlalu muluk ya…?”
“Nggak. Bikin album apanya yang muluk? Sekarang band indie ada di mana-mana, mereka pada bikin album juga. Tapi kalian percaya? Erik ini udah punya cewek tapi malah namaku mau disebut lebih dulu…? Aku sih nggak percaya!” tukasku enteng.
Semua langsung diam. Oo…? Aku menyinggung sesuatu…???
“Kamu masih cemburu…?” Ben langsung bertanya dengan senyum konyol.
“Justru aku ini kepikiran kalo nanti ceweknya Erik cemburu! Kalo aku sih nggak disebut juga nggak papa…” jawabku kalem.
Mereka bertiga langsung ketawa. Tentu cuma aku yang nggak ketawa. Konyol dan lucu itu beda. Buatku percakapan ini konyol! Nggak jelas…!
“Kalo gitu doain aja albumnya beneran jadi! Kita lihat aja beneran nggak omongan Erik!” tantang Ben.
“Oke, oke… Harusnya aku nggak terlalu pede ngomong kayak tadi. Oke, aku ngaku, aku tadi nggak ingat kalo aku udah punya cewek…” kilah Erik sambil ketawa masam. Cengengesan! Rupanya sekarang dia bukan mahluk yang jaim lagi!
“Jadi Dimas bisa mengambil alih perhatianmu juga ya…?” sentil Ben. Kurang ajar!!!
Erik terdiam sesaat dengan senyum penuh teka-teki. “Mungkin. Tapi ini soal seseorang yang berjasa, itu saja. Nggak ada maksud lebih dari itu…” jawabnya kemudian.
Semua terdiam menatap Erik. Sepertinya sama-sama sedang membaca arti kalimat Erik, pada bagian ‘nggak ada maksud lebih dari itu’… Oke, siapapun yang tahu tentang masa laluku dengan Erik pasti bisa menebaknya!
Dan akhirnya aku juga sudah terlalu jengah, nggak bisa bersabar lagi!
“Oke guys, cukup basa-basinya! Sekarang to the point aja! Terus terang aku bingung…! Rik, kalo kamu udah kenal sama Ben aku bisa terima, not a big deal. Tapi kamu sama Misha…? Aku baru tahu kalo ternyata kalian udah kenal, tapi dari tadi aku belum dengar penjelasan apa-apa? Jelasin dong! Dan tujuan kalian berdua kemari apa…?!” tandasku dengan gugup sekaligus agak emosi.
Semua terdiam sejenak. Tapi kali ini bukan untuk menunggu basa-basi jilid baru. Please, jangan basa-basi lagi!
“Oke, Mas… Sorry kalo aku bikin kamu kaget. Sorry juga kalo selama ini aku nyembunyiin sesuatu dari kamu…” Misha akhirnya mulai berucap dengan wajah sedikit tegang. “Aku harap kamu bisa terima… Gini… sebenarnya…”
Misha berhenti di tengah kalimatnya yang terbata-bata. Selintas matanya melirik agak rikuh ke Ben…
Ben rupanya tanggap keadaan. “Kalo ini urusan tertutup kalian bertiga, aku nggak papa kok… Aku bisa pul…”
“Jangan pulang! Tetap di sini aja, nggak papa…!” aku langsung mencegah Ben.
“Atau aku nyusul Denis aja ke dalam…?”
“Nggak perlu! Aku nggak keberatan kamu tahu urusanku! Kamu udah bantu aku seharian ini, sekarang aku kedatangan orang lain terus aku harus nyuruh kamu pergi gitu?!” cetusku agak ketus.
“Don’t worry, aku nggak merasa diusir kok! It’s ok, aku nyusul Denis aja… Santai aja!” ujar Ben dengan senyum tenang, tetap memilih untuk memisahkan diri. Dia segera beranjak masuk, menyusul Denis ke dalam.
Oh, damn!
Sekarang tinggal bertiga di sini. Aku memandangi Misha dan Erik bergantian…
“Udah, terusin…” ucapku dengan jengah.
Misha masih kelihatan agak ragu. Lalu…
“Erik ini sepupuku…”
Satu kalimat terngiang aneh di telingaku… Erik sepuu… WHAAATTT…??? Aku ternganga memandangi dua orang di hadapanku, bergantian…
“Aku sama Erik udah akrab dari kecil, Mas. Mamanya adalah tanteku. Aku udah biasa main ke rumah dia. Tapi kalo di sekolah memang nggak kelihatan, mungkin cuma beberapa orang aja yang tahu…” jelas Misha dengan agak ragu.
Oke, oke… Sebuah cerita keluarga. Tapi mengingat hubunganku dengan Erik…? Dan Misha yang teman satu meja denganku, orang yang tahu banyak soal aku…? Aku merasa dicurangi…!!!
“Kenapa kamu nggak bilang dari dulu? Kamu sengaja nyembunyiin itu? Masalahku sama Erik pasti ada kaitannya kan…?” korekku tajam.
“Ya, jujur aja, memang iya… Aku tahu kamu pernah dikecewain sama Erik… Jadi aku harap kamu bisa maklum kalo aku berpikir… mungkin kamu dendam atau gimana-gimana sama Erik…” ujar Misha berhati-hati.
“Ya wajar sih kamu mikir begitu… Tapi aku nggak dendam kok sama Erik…!” cetusku, masih tercengang dan terheran-heran.
“Iya. Sekarang aku yakin kamu memang nggak dendam… Tapi kamu masih marah kan?”
“Sorry, Mis… tapi kayaknya ini nggak harus menjadi urusanmu…?” lontarku agak sinis.
Mulut Misha terbuka hendak menjawab, tapi akhirnya tanpa ada kata-kata yang terlontar. Tersentak tanpa mampu menjawab!
“Iya, Mis… Ini memang masalahku sama dia…” sela Erik tiba-tiba. “Aku aja yang jelasin…”
Aku menatap Erik. Dia juga memandangiku. Tapi dia lalu memilih menundukkan kepalanya…
“Mas… Aku tahu aku udah bikin kamu susah. Aku tahu akibat dari tindakanku dulu, fatal banget…!” ujar Erik lirih dan agak terbata. “Aku nyesel banget, Mas…”
Aku termangu. Sesuatu di dalam dadaku terasa gemetar… dan sesak! Seolah ingin meluap, tapi aku hanya mampu membisu… Sebisa mungkin menahannya…
Erik kini memandangiku lagi dengan raut yang tampak lesu. “Andai aku bisa jaga mulutku waktu itu, pasti kamu nggak perlu ditimpa masalah seperti sekarang… Sikap yang gampang sekali aku buat, tapi kamu yang menanggung resikonya. Aku ngerti… itu nggak adil, Mas… Melihat banyaknya masalah yang kamu terima, aku jadi tahu… kamu punya hati yang besar! Aku cuma ingin kamu tahu kalo aku menyesal… Tapi kamu nggak harus ngasih maaf kok…”
Aku makin terpana meresapi kata-kata Erik. Tapi, kemudian aku tertawa…
“Yaa… di mana-mana namanya minta maaf memang nggak boleh maksa…” celetukku melempar sedikit humor. Humor garing yang sombong dan kejam, mungkin…
Erik langsung tertawa kecut. Begitu juga Misha.
“Tapi aku duduk satu meja sama kamu bukan Erik yang nyuruh kok, Mas…” Misha segera ikut menimpali. “Itu inisiatifku sendiri. Aku tahu Erik nyesel banget soal sikapnya ke kamu, pulang dari Bali dia langsung ngomongin masalah itu ke aku. Jadi waktu hari pertama masuk kemarin, begitu aku tahu kalo sekelas sama kamu, aku langsung berpikir buat berteman sama kamu… Harapanku, aku bisa tahu kalo kamu baik-baik saja setelah kejadian itu… Yaaahh, dengan begitu aku bisa meyakinkan Erik kalo kamu baik-baik saja, jadi dia bisa tenang… Tentunya juga baik buat kamu kalo semuanya baik-baik saja kan…?”
Aku terhenyak. Misha sedang berbicara tentang simpatinya padaku…? Ahhh… Sepertinya lebih ke soal simpatinya kepada Erik…
“Jadi… Sebenarnya niat kamu berteman sama aku nggak 100% murni buat aku? Sebenarnya demi Erik…? Kamu duduk semeja denganku, biar kamu bisa selalu menceritakan ke Erik kalo aku baik-baik saja… Gitu?” lontarku menyimpulkan pengakuan Misha, sambil melayangkan senyum masam padanya.
Misha kelihatan terpukul. “Sorry, Mas… Awalnya memang seperti itu, aku ingin bantu Erik agar dia nggak terus ngerasa bersalah. Di sisi lain aku sendiri belum benar-benar kenal sama kamu, aku cuma tahu dari cerita Erik…”
“Cerita Erik? Cerita soal cowok yang ngejar-ngejar dia…?” balasku dengan senyum pahit.
Misha menghela nafas. “Mas… Aku ngerti kamu berhak sinis, karena kamu udah mengalami banyak kejadian yang nggak menyenangkan…”
“Ya, jadi… semua nggak baik-baik saja, Mis… Kamu tahu itu, aku nggak baik-baik saja…” ucapku pahit. Seraya memandangi Misha dan Erik, bergantian dengan pandangan lesu.
Dan mereka terdiam. Tertunduk…
“Tapi aku tetap menghadapinya…!” timpalku lirih.
“Dan itulah yang membuatku akhirnya benar-benar kagum sama kamu, Mas…” sahut Misha kembali menatapku dengan sayu. “Itu juga membuatku yakin, kalo kamu memang pantas dibela…! Kamu nggak seburuk yang diomongkan orang-orang, bahkan mereka belum tentu lebih baik dari kamu! Sejak menyadari itu, yang aku pikirkan nggak cuma demi Erik… tapi juga demi kamu…! Aku nggak bisa melihat kamu terus-menerus menanggung masalah seperti sekarang, tapi… aku sadari, ternyata aku nggak bisa melakukan apa-apa buat kamu… Aku minta maaf, Mas…”
Aku termangu. Meremaskan kedua telapak tanganku di wajah, seolah ingin sebisa mungkin memburai semua jalinan yang begitu rumit untukku ini…! Kenapa masalahku ini harus menyeret pikiran dan perasaan orang lain untuk ikut menjadi rumit…? Kenapa?
Pengakuan Misha menggerakkan hatiku, membuatku terharu…
“Mas… Kalo aku pernah sebal sama kamu, pernah merasa repot gara-gara kamu, itu memang iya…” ucap Erik terbata-bata, menyela kebisuan kami. “Aku harus akui kalo aku sudah menilaimu hanya berdasarkan stereotip yang sering dipakai orang lain… Dan itu salah. Aku juga masih ingat, aku pernah bilang kamu ‘sakit’… Tapi setelah aku renungkan, sebenarnya kamu cuma bermaksud jujur terhadap dirimu sendiri, dan terhadap orang lain… Meski aku nggak punya perasaan yang sama denganmu, seharusnya aku tahu kalo itu bukan berarti aku berhak nyakitin perasaanmu… Aku benar-benar minta maaf, Mas…”
“Sorry kalo aku naif, aku tahu aku terlalu ikut campur, Mas… Aku kenal kalian. Kalian itu baik. Kamu sama Erik, bagiku kalian itu… my best friends… Kalo memang ada maaf di antara kalian, harusnya kalian tetap bisa berteman…” ucap Misha, makin menggetarkan batinku…
Misha… Memperjuangkan persoalan batin antara aku dan Erik, memperbaiki pertemanan yang telah goyah… Apakah ini naif…? Mungkin iya. Tapi mungkin buat Misha, hati seorang teman memang bisa senaif itu… Seperti hatinya itu… demi kebaikan kami semua…
Pertemananku dengan Erik hancur, karena sebenarnya motivasiku memang bukan berteman, aku ingin mencintainya lebih dari teman… Lalu, apa sekarang aku pun sudah dipenuhi oleh gengsi…? Sama halnya dengan Erik waktu dulu dia menyakitiku…? Aku mengaku memaafkannya, tapi apakah aku benar-benar sudah memaafkannya?
Apakah sakit hati ini telah membuatku angkuh, dan jika demikian… apakah aku lebih baik darinya…?
Lucunya hati kami…!
Aku melirik Erik. Aku tersenyum…
“Apa hanya karena aku ngembaliin Flashdisk, itu langsung merubah semua pandanganmu…?” lontarku padanya.
“Sejak aku ngomong ke orang lain soal rahasiamu, aku sudah tahu sebenarnya itu salah… Aku membela diri dengan cara mengorbankan orang lain. Dan setelah itu semua, kamu masih mau berbaik hati… Yaahh, itu berkat sekaligus tamparan buat aku…” ujar Erik dengan senyum pahit.
Aku tercenung memandangi Erik. Cowok yang pernah aku cintai. Cowok yang pernah bikin aku sakit hati. Cowok yang mendatangkan banyak perubahan besar dalam hidupku… Dulu aku sangat memujanya. Badan atletisnya, rambut spike, wajah tampan, suara bagus… Setelah membuat hatiku hancur, sekarang dia menemuiku dengan hati yang berbeda. Sebagaimana hatiku juga telah berbeda…
Meski sejujurnya, aku juga masih mengaguminya…
“Sebenarnya aku sendiri juga sadar kok, Rik… saat itu aku sudah bikin situasimu jadi sulit. Aku juga minta maaf, karena pernah bikin kamu jadi serba salah…” ucapku pelan… mengakui bahwa aku sendiri juga nggak lepas dari kekurangan…
Ya, siapa yang sempurna?
Erik menatapku lekat. Lalu dia tersenyum dan mengangguk pelan, penuh arti…
“Cowok straight manapun mungkin akan bersikap sama seperti kamu… Pasti tengsin kalo disukai sesama cowok…” ujarku lagi, berkaca dan menertawakan diri sendiri…
Erik tertawa masam. Dan sekonyong-konyong raut wajahnya seperti berubah menjadi berbinar. “Tapi si Eka kayaknya cuek-cuek aja…? Dia… straight kan? Kayaknya dia bisa enjoy aja dekat sama kamu…?” lontarnya…
Tiba-tiba saja aku dibikin terbengong-bengong…!
“Kayaknya dia straight kok! Tapi dia kan bukan tokoh idola di sekolah, nggak jadi sorotan kayak kamu… Jadi nggak ribet sama urusan image!” Misha pun ganti menyindir Erik.
“Ben itu straight! Dan dia bisa nonjok orang yang macem-macem sama dia! Siapa yang berani gosipin dia? Dan kasusnya juga beda, aku nggak jatuh cinta sama dia!” tukasku jadi kesal!
Tapi setelah itu…
Tiba-tiba kami bertiga bisa tertawa…! Begitu lepas tanpa pura-pura…
“Nonjok orang? Nggak segitunya kali!” sahut Erik sambil ketawa.
“Tapi kayaknya dia memang cuek soal image, nggak kayak kamu…!” balas Misha kembali mencibir Erik.
“Yaa… aku tetap nggak menyangkal kalo disukai orang itu memang kadang bisa bikin ribet!” timpal Erik nggak mau kalah mendebat Misha.
“Nha iya, ribet karena kamu tuh terlalu jaga image!” Misah juga masih nggak mau kalah.
Dua sepupu itu berdebat sendiri saling mencibir, dan sekarang lama-lama aku hanya bisa tersenyum geli melihat mereka…
Lalu Erik kembali menatapku, dengan rautnya yang sayu…
“Tapi aku juga nggak akan menyangkal… kalo caraku memperlakukan kamu memang nggak adil, Mas… Dan itu mengakibatkan masalah-masalah lainnya yang makin nggak adil…!” ucap Erik lirih…
Aku balas menatapnya, dan aku makin memahami bahwa begitu sulit baginya… untuk menggambarkan betapa menyesalnya dia…
“Kamu tadi bilang, kamu ke sini buat minta maaf kan? Sebenarnya dulu kamu juga udah bilang kok… Aku masih ingat, waktu di studio itu…” cetusku pahit.
“Dan yang ngajak ke sini juga Erik kok, bukan aku…” sela Misha sambil tersenyum melirik Erik. “Akhirnya aku pikir-pikir, memang udah saatnya juga, Mas… kamu tahu soal aku sama Erik… Lagian rahasia kayak gini kan soal waktu juga, nggak mungkin bisa ditutupi terus. Kalo kamu bisa terima, ya kita berdua bersyukur banget… Harapannya sih, aku sama Erik juga bisa bantu nyelesein masalahmu…”
Aku tersenyum menatap mereka berdua… haru…
“Aku dengar soal masalahmu dengan BP, dengan orang-orang yang ngeroyok kamu… Aku benar-benar pingin bisa bantu kamu, Mas…” ucap Erik lirih.
“Yang pasti… semua masih bisa aku hadapi kok. Aku juga udah nggak sendirian kayak dulu lagi… Sekarang ada Denis, Ben… Yeahhh, ada kalian juga… Semangat dari kalian udah sangat membantu kok… Aku makin yakin semua pasti bisa diselesaikan. Selama ini aku juga sudah banyak merenungkan, kalo aku harus bisa melihat ini semua dari sisi positif. Tempaan biar lebih kuat, biar lebih lebih dewasa…!” ucapku mantap, di sela-sela rasa haruku. Aku makin yakin dengan itu!
Erik dan Misha memandangiku dengan senyum tipis. Entah arti detail dari senyum itu apa, tapi aku melihat sebuah semangat dipancarkan untukku… Kekuatan yang terbangun ketika kami saling jujur, saling introspkesi, dan saling memaafkan…
Sejenak kami terdiam, membiarkan keheningan berbicara kepada hati kami. Lalu perlahan, sekali lagi kami saling tertawa. Ringan, dan lepas…
Akhirnya aku bersyukur bukan karena aku hidup tanpa masalah, tapi karena di dalam setiap masalah aku diberi kekuatan untuk menghadapinya. Dan Tuhan memancarkan kekuatan itu… melalui sahabat-sahabat yang kumiliki, dengan segala kelebihan dan kekurangan masing-masing…
Yeaah, we are friends!
Lalu aku pun mulai teringat teman-teman kami yang lain…
“Dua orang tadi pada kemana sih? Nggak nongol-nongol?!” gumamku begitu ingat Denis dan Ben yang menghilang terlalu lama. “Tunggu ya, aku cari mereka dulu! Itu srabinya dimakan…!” ujarku ke Misha dan Erik.
Erik dan Misha mengangguk. Aku segera beranjak masuk, mencari Denis dan Ben. Aku menuju dapur, tapi mereka nggak ada. Cuma ada kucing-kucing gemuk yang lagi pada bercanda bergulingan di lantai. Gelas-gelas berisi air sirup ada di atas meja, sudah dibikin tapi ditinggal begitu saja. Kemana dua anak itu?!!
Aku mencari di ruangan lainnya. Kecurigaanku yang sebenarnya mengada-ada, membuatku ingin memeriksa ke…
“Nah!!! Di sini ternyata!!!” sentakku begitu menemukan Ben sama Denis. “Padahal cuma asal duga, tapi ternyata benar! Katanya bikin minum nggak tahunya malah pada berduaan di kamar!!! Pada ngapain?!”
Mereka berdua di kamar Denis!!! Gimana nggak kaget?! Jelas curiga lah…!
“Kenapa? Cuma ngobrol aja kok… Kan juga lihat sendiri?” kelit Ben.
“Ngobrol di kamar? Ngobrol berduaan? Terus aku disuruh nggak curiga gitu?” tukasku.
“Ya emang cuma ngobrol kok…” kilah Denis.
“Lihat sendiri kan, aku duduk di kursi, Denis duduk di kasur…” sahut Ben sambil menunjuk.
“Tapi juga ngapain coba? Tadi katanya bikin minum, itu gelasnya malah ditinggal gitu aja di dapur?!” omelku.
“Kalian bertiga kayaknya ngomong masalah serius sih, takut ganggu…” jawab Ben.
“Alesan! Udah sekarang keluar!” perintahku dengan kesal.
Ben sama Denis cuma berhaha-hihi sambil ngikutin dari belakang. Dasar nggak jelas…!
“Misha sama Erik habis ngomong apa?” bisik Denis.
“Mereka sepupuan! Baru tahu kan? Bagus!” cetusku jutek.
“Hah…?!!”
Ben sama Denis bengong. Aku nggak peduli mereka kaget atau gimana, aku sendiri juga kaget! Tapi kan tetap harus jadi tuan rumah yang baik! Katanya bikinin minum malah pada sembunyi nggak jelas!
“Sana minumannya dibawa ke depan!” aku memerintah Denis. “Aku ke kamar bentar…”
“Gimana sih? Sekarang gantian lu yang ke kamar?!” protes Denis.
Aku nggak peduli. Aku bergegas menuju ke kamarku. Aku cuma mau mengambil gitarku aja. Yang lagi datang kemari kan anak-anak yang doyan musik, kan bisa buat hiburan… Biar nggak garing!
Akhirnya, aku kembali ke teras dengan gitar di tanganku. Bergabung berlima sama Denis, Ben, Erik dan Misha. Sungguh malam yang nggak direncanakan…!
“Nih, siapa mau nyoba gitarku?” kuulurkan gitarku.
Ben langsung menyambutnya. Gitarku pindah ke tangannya. “Mantap juga gitarmu!” cetusnya sambil memetik-metik.
“Diminum tuh, sorry cuma sirup…” tawarku ke mereka.
Erik langsung mengangkat gelasnya. Dia minum, dan… mukanya langsung bersemu tipis…
“Ini rasa apel ya…?”
Tuiiinggg…! Ya ampun, kenapa sih Erik ngomentarin sirup itu juga?! O my God, jangan-jangan dia jadi teringat sesuatu…?!!
“Masa sih rasa apel?” Misha langsung ikutan minum.
“Ini kenapa sih, pada ngomentarin sirupnya? Biasa aja kali…! Emang aneh ya kalo rasa apel?” cetusku rada sebel.
“Bukan aneh, tapi kan jarang sirup rasa apel? Kalo jus sering, tapi kalo sirup jarang…Tapi enak, seger kok…!” cerocos Misha.
“Apel itu unik unsur rasanya… Manis, kecut, sepet, harum…” gumam Erik sambil meminum sirupnya sedikit-sedikit.
“Mengkudu juga unik…!” celetukku asal.
“Tapi siapa yang doyan mengkudu?” Ben ikut nimbrung, sambil masih memetik-metik gitar di tangannya.
“Itu kan obatnya orang darah tinggi…” celetuk Denis.
“Berarti Ben yang harus minum, darah tinggi dia. Emosian. Kata guru silatnya sih…” celetukku ngeledek Ben. Tapi ternyata dia cuma diam nggak balas, malah senyum-senyum cool. Mungkin mau ngebuktiin kalau dia bukan pemarah dan nggak perlu minum sirup mengkudu! Salut kalau begitu!
“Apple… it’s adorable…! Biasanya kalo orang ngasih tanda cinta, kalo kue atau permen biasanya yang rasa coklat. Tapi kalo buah, pasti akan pilih apel…!” seloroh Misha.
“Yakin?” balik Denis.
“Iya lah! Paling cocok ya apel!” cetus Misha dengan yakin.
Aku melirik Erik yang sedang tersenyum aneh. Matanya mengerling seperti ada ide yang sedang mendarat di dalam kepalanya…
“Berhubung di sini yang cewek cuma kamu, kamu aku kasih pertanyaan…!” cetus Erik ke Misha, kayaknya mau ngerjain sepupunya itu. “Seumpama kamu punya satu apel, dan harus dikasih ke salah satu cowok di sini… siapa yang akan kamu kasih?”
Nah! Misha kena batunya sekarang! Sukur! Ngapain tadi sok tahu soal apel?! Sekarang ketiban pertanyaan tuh…! Btw, pertanyaan yang seru juga! Misha langsung kelihatan gugup. Sekarang semua mata di sini menatapnya dengan seringai yang menuntut jawaban…!
“Hayo jawab…!” desak Ben ke Misha.
“Jawab! Yang jujur!” aku ikut mendesaknya.
“Harusnya aku tadi nggak ke sini ya?” kelit Misha mulai cengengesan.
“Nggak usah alesan! Salah sendiri masuk ke sarang cowok!” tukasku dengan seringai jahil.
“Jawab!”
“Jawab!”
Misha akhirnya mati kutu juga. Dia mulai memandangi satu per satu semua yang ada di sini… Lalu pura-pura sok pede!
“Hmmmm… Kukasih ke Denis aja deh…!” cetus Misha.
“Huuaaaa… Deniiiisssss…!!!” semua langsung nyorakin Denis…!
“Aku udah curiga dari dulu…!!!” seruku geregetan.
Denis cuma meringis cengengesan, malu-malu kucing…!
“Kenapa pilih dia?” tanyaku penasaran.
“Ya terserah gue donggg…! Kalian nggak boleh cemburu ya!” lagak Misha ganjen.
“Huuuu…” aku, Ben dan Erik kompak mencibir Misha. “Nggak kaleee…!”
“Gue terima, tapi gue kasih ke Dimas…!” celetuk Denis tiba-tiba.
Semuanya langsung terdiam sesaat. Bengong… Denis pun tersenyum meringis lagi…
“Jadi… kamu nolak Misha?” lontar Ben.
“Huuuu… Kasihan kamu, Mis…!” Erik meledek Misha.
Misha cemberut. Pura-pura kesal. “Nyesel…!” dengusnya sambil melirik jutek ke Denis.
“Jadi… Kamu nembak sodara kembarmu sendiri???” celetuk Ben dengan muka konyol.
“Woiiiiii…!!! Bukan gitu!!!” Denis langsung mencak-mencak. “Dimas kan lebih tua dari gue… Yang lebih tua harus punya pasangan dulu dong, baru habis itu yang lebih muda nyusul…!”
Denis… Selalu pintar bikin alasan…!
“Kalo gitu… sekarang milik Dimas apelnya…?!” celetuk Ben seraya memandangiku dengan jahil. “Berarti gantian Dimas yang harus jawab!”
“Nah, iya!!! Hayo sekarang ngaku, mau dikasih siapa tuh apelnya?!!” sekarang Misha gantian beringas mendesakku! Balas dendam!
Anjrittt…?!
“Sukur…! Hayo jawab!!!” Misha semangat meledek sekaligus mendesakku.
“Yang cowok siap-siap tengsin ya, soalnya nggak mungkin Dimas ngasih apelnya ke cewek!” cetus Denis. Kurang ajar! Aku tahu dia tuh ngelempar apelnya sengaja buat ngerjain aku!
“Ngumpet, ngumpet…!” Ben berlagak takut, menutupi mukanya dengan bodi gitar.
“Woiii, yang cowok-cowok di sini nggak usah pada ge’er ya…!” omelku dongkol.
“Dikasih ke siapa memangnya…?” tanya Ben.
“Ngaku!” desak Misha lagi.
Perlahan-lahan… mataku mulai menerawang jauh ke satu wajah di benakku. Aku terdiam sesaat. Dan mulai tersenyum pahit…
“Apelku akan aku kasih ke seseorang…” aku menggumam seraya membayangkan wajah itu. “Tapi dia nggak di sini sekarang…”
Sesaat semuanya juga ikut diam menyimak. Lalu…
“Hmmm… Gue tahu…” celetuk Denis.
“Aku juga tahu!” sahut Misha sambil melirik ke atas pura-pura ikut membayangkan.
“Aku juga tahu. Pasti si itu…” gumam Ben sambil garuk-garuk kepala.
“Kalo udah tahu ya udah diam! Nggak perlu aku jawab lagi kan?!” sentakku jutek.
“Cuma aku yang belum tahu…” celetuk Erik, dengan komentar yang berbeda…!
Dan semua segera beralih memandangi Erik…!
“Kamu nggak boleh cemburu ya! Dulu kamu kan udah dapat jatah!” cibirku ke Erik.
Semua saling berpandang-pandangan sekejap. Lalu tawapun meledak di teras ini. Semua spontan mengolok-olok Erik…!
“Ooo… Udah dapat jataaahhh…???”
“Jatah dicintai, udah lewat…!” selorohku enteng.
Semuanya ketawa makin keras. Dan Erik cuma garuk-garuk kepala dengan muka yang tersipu merah…!
Malam yang indah. Persahabatan makin mengembang!
Tapi… dalam hati aku juga bergumul dengan secercah rasa sesal…
Terima kasih Tuhan, untuk persahabatan ini.
Tapi…
Andai saja dia juga ada di sini…
Bersambung...