Karung 11
Karung 11
Sri Tanjung Dan Cerita Lain
Sri Tanjung adalah kereta kelas ekonomi. Murah
pastinya. Selain itu, aku tak membuat ekspektasi yang besar untuk kereta ini.
Kumuh, kotor, tanpa AC, dan berhenti hampir di tiap stasiun. Inilah
satu-satunya kereta yang bisa mengantar penumpang dari Solo sampai Banyuwangi.
Hanya memberangkatkan satu kali tiap harinya. Dengan durasi perjalanan kurang
lebih dua belas jam! Bayangkan, betapa capeknya ‘menikmati’ perjalanan bersama
kereta ini! Tapi seperti sudah kubilang, aku memang tak berharap banyak dari
kereta ini. Yang penting tarif hemat dan sampai ke tujuan, itu saja. Soal
suasananya, aku dapat beradaptasi. Beda dengan Dimas, dia pasti sudah semaput
karena nggak kuat dengan kumuh dan gerahnya kereta ini.
Tantangan terbesarku biasanya adalah rasa bosan. Aku
nggak seperti Dimas yang bisa betah berdiam diri dan sendirian dalam waktu
lama. Untung di sini ada yang bisa diajak ngobrol: Erik dan Fandy. Itulah
untungnya bepergian bersama teman, membuat suasana lebih bisa dinikmati. Tapi
kemudian Erik pilih menuju ke deret kursi di ujung gerbong, demi berkenalan
dengan dua bule yang tampaknya juga sedang backpacking. Kursi yang semula
ditempati Erik sementara kosong, seperti beberapa kursi lainnya. Kurasa gerbong
belakang ini memang lebih longgar dibanding gerbong lainnya, kami cukup leluasa
untuk berpindah tempat duduk kalau mau. Sesekali agak penuh saat ada penumpang
baru yang naik. Tapi kemudian mereka turun di stasiun berikutnya, jadi longgar
lagi. Atau mungkin kami memang sedang beruntung, kereta Sri Tanjung hari ini
cukup longgar? Padahal kereta ini biasanya penuh, katanya.
Selain kotor dan hawa gerah, yang terasa mengganggu di
kereta ini adalah berisiknya suara pengamen dan penjaja makanan. Mereka maraton
dari gerbong ke gerbong seperti nggak ada habisnya. Lama-lama uang recehkulah
yang terancam habis. Selanjutnya tiap kali memberi ke pengamen aku harus
gantian dengan Fandy. Malah sesekali kami harus ‘dadah’ ke pengamen, demi
menghemat. Sejak awal sudah cukup jelas kenapa kami memilih naik kereta kelas
ekonomi ini: penghematan!
Tapi ada juga yang menarik untuk diamati di kereta
ini. Yaitu interaksi para penumpang. Posisi deret kursi yang saling berhadapan
sepertinya menjadi pendorong utama yang membuat para penumpang ‘harus’ saling
berkenalan dan mengobrol. Beberapa dari mereka mengobrol dengan logat yang
berbeda satu sama lain. Yang satu logat Jawa Tengah, yang lain logat Jawa
Timur. Seperti halnya Erik yang keasyikan ngobrol dengan bule-bule itu, bahasa
mereka pasti ‘gado-gado’. Yea, rupanya beginilah suasana penumpang di dalam
kereta ekonomi. Lebih ‘nendang’ dibandingkan di bus ataupun angkot!
“Istilahnya adalah gesellschaft. Kelompok
sosial yang terbangun untuk kepentingan pragmatis dan formalitas. Tak ada
ikatan yang personal. Yang terjalin adalah demi nilai sopan-santun, dan
selebihnya adalah basa-basi biar perjalanan tidak membosankan. Setelah turun,
mereka tak akan mengingat satu sama lain. Interaksi berakhir,” begitu Fandy
mengulas panjang lebar soal interaksi penumpang di kereta ekonomi ini. Iya
deh, yang anak IPS!
“Kalau interaksi antara kamu sama Dimas, istilahnya
apa?” celetukku.
“Pacaran,” jawab Fandy singkat.
Tuiwww! Padahal maksudku: apakah di dalam ilmu sosial
ada istilah ilmiahnya juga? Biar terdengar lebih keren gitu, seperti istilah
yang tadi dia sebut. Malah jawabnya pakai bahasa polos begitu.
Karena jayus, aku mengambil-alih percakapan dengan
pendapat spontanku. “Istilah ilmiah buat kalian adalah: mutualisme-homoseksual.
Tabiat seperti itu juga terjadi pada spesies Pygoscelis adeliae, dan
beberapa hewan lainnya. Pada spesies Homo sapiens, kamu dan Dimas adalah
sample-nya.”
“Kamu sedang menyamakan aku dengan binatang?” Fandy
langsung agak tersinggung.
“Cieee, sensi amat? Aku cuma mau pamer, aku juga bisa
menghapal istilah-istilah yang susah dieja. Dan ngomong-ngomong, di dalam ilmu
biologi manusia itu memang tergolong sebagai binatang. Manusia termasuk dalam
kerajaan Animalia.”
“Kamu akhir-akhir ini beneran aneh,” komentar Fandy
sinis. “Hanya karena aku pakai istilah asing, kamu langsung nggak mau kalah
gitu. Memangnya di kelas IPA soal homoseksual itu dibahas? Sampai kamu hapal
contoh-contohnya gitu?”
“Nggak. Aku baca di Wikipedia.”
“Itu belum jadi alasan kuat kenapa kamu bisa menghapal
nama Latin dari spesies itu.”
“Karena itu nama Latin dari binatang favoritku: Pinguin.”
“Oh, jadi favoritmu adalah binatang homoseksual.
Apakah itu suatu pertanda?”
Aku menyikut Fandy. “Jaga mulut lu!”
“Hahaha. Aku baru saja mau bilang, ‘welcome to the
club!’,” Fandy cengengesan.
Karena komentarnya bikin kesal, aku jadi ingin
mengisenginya. “Kamu tahu arti Homo erectus, Fan?” lontarku.
“Manusia yang berjalan tegak,” jawabnya.
“Hooo…” aku menggumam, “syukurlah kamu ngerti. Aku
kira kamu bakal mengartikannya ‘homo yang ereksi’.”
Fandy memandangiku dengan mimik kesal. Aku malah
senang, sudah berhasil membuatnya kesal. Hihihihi….
“Berapa ukuranmu kalau sedang ereksi?” tiba-tiba dia
menanyaiku begitu.
Dug! Serasa kepalaku ketiban lokomotif!
“Kok, tiba-tiba ucapanmu jadi nggak senonoh gitu?”
tukasku ketus.
“Karena omonganmu dari awal juga nggak jelas! Ngapain
bikin statement soal ‘homo ereksi’ segala? Kayaknya kamu juga nggak
peduli omongan ini bakal didengar orang lain? Nggak punya perasaan!” Fandy
ngedumel.
Aku mengamati sejenak para penumpang lainnya. “Mereka
nggak dengar,” gumamku santai, “sama seperti kita ke mereka, kita tahu mereka
ngobrol tapi kita nggak dengar mereka mengucapkan apa. Mereka tahu kita
ngobrol, tapi nggak bakal tahu kita ngomongin apa. Tegang amat, sih?”
Dia ikut melirik sekilas suasana penumpang. “Oke,
mereka tidak dengar. Tapi pernyataanmu tadi bukan berarti lebih senonoh dari
pertanyaanku,” sahutnya sinis. Ucapan yang ribet.
“Kamu nggak tahu maksudku…”
“Terus apa maksudmu?”
“Maksudku, cuma Homo erectus yang mengira arti Homo
erectus adalah ‘homo yang ereksi’. Kamu menjawab dengan benar, berarti kamu
bukan Homo erectus.”
“Terus?”
“Kamu lulus jadi Homo sapiens. Karena terbukti
bisa berpikir. Welcome to the club!”
“Tapi penting ya, untuk dites dengan pertanyaan
seperti itu?”
“Kalau kamu betah menikmati dua belas jam perjalanan
di kereta seperti ini, mungkin pertanyaan dan pernyataanku tadi memang jadi
nggak penting buat kamu. Tapi tahu nggak, gue capek banget…! Padahal setengah
perjalanan aja belum.”
“Lihat, sekarang siapa yang rewel?” balasnya jutek.
“Iya, gue yang rewel! Puas?”
Dengan cuek kujulurkan kedua kaki ke atas kursi di
depanku. Mumpung Erik masih mengobrol dengan bule-bule di ujung gerbong sana,
aku bisa menyantaikan kakiku biar tidak pegal. Biarpun mood Fandy
kayaknya lagi jelek, aku masih tergerak untuk iseng lagi.
“Memangnya… ukuranmu kalau lagi ereksi berapa, Fan?”
Dia diam sesaat. Lalu, “Kamu beneran mau tahu?”
Sekarang aku jadi bergidik sendiri dibuatnya. “Lu
sebut aja, nggak usah tunjukin!” tukasku waswas.
“Ge’er banget! Ngapain aku tunjukin ke kamu?” dia
langsung sewot. “Kalau ketemu Dimas, tanya saja ke dia.”
Aku hampir mau mengumpat saat dengar jawaban Fandy
itu, tapi di saat bersamaan aku terpingkal. Sampai aku tersedak, dan membuat
penumpang-penumpang di kursi lain menoleh memandangiku.
“Somplak! Jadi beneran sudah pada nakal kalian!” umpatku.
“Of course! Kakakmu itu nakal banget kalau di
tempat tidur. Tak hanya di tempat tidur, dia juga pernah mengajak di atas meja,
di kamar mandi, di atas motor, dan di gubuk tengah sawah. Dia punya ukuran yang
panjang dan besar, tahan berjam-jam, dan menguasai banyak gaya. Makanya, ke
manapun dia pergi aku akan susul dia. Aku nggak rela dia dimiliki orang lain!”
cerita Fandy sambil ikut menjulurkan kakinya ke atas kursi.
Aku melongo. Lalu perlahan mengernyit.
Sebentar, sebentar… Fandy yang kemarin mau ganti baju
saja malu, sekarang dengan santainya membeberkan itu semua? Itu aneh. Dia
kedengaran hiperbola banget.Lagipula soal ukuran, aku masih berpegang pada
hipotesa berdasarkan yang kuingat: waktu kecil tiap kali mandi berdua, punya
Dimas kelihatan lebih kecil dari punyaku. Jika sekarang dibilang punya Dimas
segitu besar, itu pasti nggak serius. Nggak mungkin pula Dimas yang rada
fanatik pada kebersihan dan kerapian itu mengajak main di atas meja. Di gubuk
tengah sawah pula? That’s it, Fandy bohong!
Kupegang kening Fandy. “Panas!” cetusku.
Fandy langsung menepis tanganku sambil merengut.
“Sebagian besar komposisi otak adalah cairan. Wajar
jika dehidrasi membuat cara berpikir kita jadi menyimpang,” sindirku sambil
mengibas-ngibas baju. Sudah siang bolong, gerahnya memang serius. Aku
meneruskan celetukku, “Selebay apapun Dimas, dia nggak akan melakukan adegan
seperti ceritamu. Sebagai orang yang biasanya pendiam, polos, dan baik-baik,
ternyata fantasimu liar juga. Tapi mungkin aku masih bisa percaya kalau dia
pernah ngajakin kamu main ‘panjang-panjangan’.”
“Karena dia juga pernah ngajak kamu?”
“Najis!” umpatku.
Fandy tertawa.
Selanjutnya, guyonan porno is over. Norak!
“Kembali ke soal statusmu dengan Dimas,” aku mengulas,
“kurasa nggak tepat juga kalau masih disebut ‘pacaran’. Kamu sendiri mengaku
kalau kalian sudah putus. Ibarat suami-istri, kalian itu… pisah ranjang. Eh,
bukan… kalian itu sudah cerai. Nah!”
“Sekarang sedang mau rujuk.”
Aku terbahak. “Cuma aku heran, memangnya sama sekali
nggak ada usaha untuk cari pasangan lain?”
“Aku perlu garis-bawahi, aku dan dia putus bukan
karena sudah nggak cinta,” tandas Fandy, kalimat romantisnya mulai keluar. “Itu
karena keadaan.”
Oke, aku tahu soal itu. Tapi, “Memangnya sekarang
keadaan sudah berubah?”
“Setidaknya, di keluargamu sudah.”
Aku terdiam. Tiba-tiba termenung. Teringat adegan di
stasiun tadi, ketika kami berpamitan. Aku juga teringat percakapanku dengan
Mama kemarin, di meja makan.
“Membuatmu merenung?” dengan santai Fandy menyindirku.
Aku menimpali dengan pertanyaan baru, “Kamu yakin
Dimas belum bersama cowok lain?”
“Maksud surat yang dia kirim kemarin sudah jelas,”
jawabnya diplomatis.
“Dan kamu juga tak bersama cowok lain?”
Alis Fandy mengerut, memandangiku seperti merasa
tertuduh. “Mau mengujiku lagi?”
Aku tertawa. “Sepertinya kamu akrab sama Ricky,”
sindirku.
“So what? Sama akrabnya seperti aku sama kamu,”
balasnya, masih terus memandangiku. Kali ini sambil tersenyum.
Hmmm, bagian ‘aku sama kamu’ itu lagi-lagi terdengar
romantis.
“Kamu sudah tahu, kalau kamu berani menciumku pasti
aku akan menonjokmu,” balasku santai. “Tapi kalau kamu cium Ricky, kayaknya dia
bisa terima. Atau dia cium kamu, aku yakin kamu juga pasti mau. Tahu maksudku?”
“Ya, aku tahu,” lagi-lagi Fandy sama santainya
menjawabku. “Memangnya kenapa? Cuma ciuman.”
“Berarti kamu memang pernah mencium cowok lain selain
Dimas?”
“Memangnya aku bilang begitu?”
Aku tercenung sesaat. Lalu tertawa. “Pertahanan yang
baik,” tukasku.
“Jadi rupanya ada suatu waktu dalam hidupmu, entah
sudah lama atau baru saja, di mana kamu membayangkan aku berciuman dengan
Ricky, atau cowok lain selain Dimas. Kamu yang selama ini selalu sok straight,
ternyata membayangkan itu!” cetus Fandy dengan nada seperti membaca sebuah
paragraf.
Membuat perutku tambah sakit karena tawa yang susah
ditahan.
“Aku curiga kamu pernah membayangkan adegan yang
lain,” tuduhnya padaku.
Aku menggeleng. “Nggak. Itu tidak baik. Itu nakal. Aku
nggak mau jadi anak nakal seperti kalian.” Lalu aku tergelitik lagi, menelan
tawaku ke perut.
Dia cuma mendengus. Lalu berdiam diri dengan mimik
kesal. Aku mulai menguasai tawaku, kembali bersikap santai dan tenang.
Kemudian Fandy kembali memecah kebisuan dengan kalimat
yang terdengar ganjil, “Semoga ini bukan topeng.”
“Hah?” gumamku tak paham.
Dia memaling, memandangiku. “Semoga kamu tidak sedang
pura-pura,” ucapnya.
“Pura-pura apa?”
“Pura-pura happy. Pura-pura bisa tertawa.
Pura-pura tak punya beban. Nggak mungkin kamu nggak punya beban….” gumamnya,
sambil mengambil sepotong serabi dari dalam bungkusan yang ada di meja.
Sekarang aku tercenung. Menimbang-nimbang perasaanku
sendiri. Lalu kembali tertawa ringan. “Kamu juga nggak mungkin nggak punya
beban,” balasku santai.
Dia tersenyum masam menanggapi ucapanku.
“Malah, menurutku sebenarnya bebanmulah yang lebih
berat, Fan.”
“Kenapa begitu?”
Aku mencoba lebih serius. Mengurai penjelasanku
baik-baik, “Kamu betul. Keadaan keluargaku sudah membaik akhir-akhir ini. Kedua
orang tuaku sudah akur. Mama sudah mulai bisa menerima Dimas, makanya kita
diijinkan mencarinya. Malah… Mama-ku pakai peluk-peluk kamu segala di stasiun
tadi. Aku nggak heran kalau kamu jadi semakin yakin mengharapkan Dimas. Kalau
suatu saat kamu melamarnya, kayaknya bakal dikabulkan.”
Fandy tertawa sembari menutup mulutnya, menahan serabi
yang dikunyahnya. Tapi mungkin itu yang terlihat saja. Sedangkan yang
terdengar, aku merasa tawanya tidak sungguh-sungguh bahagia. Seperti tawa yang
dilema. Raut mukanya juga bukan raut yang lepas.
“Aku pergi dengan restu orang tua, Fan. Tapi kamu
nggak. Kamu harus dengan sembunyi-sembunyi, dan saat pulang nanti mungkin kamu
akan menghadapi sesuatu yang…” aku tercekat, agak berat hati untuk melanjutkan
kalimatku, “mungkin kamu akan menghadapi kemarahan yang serius dari kedua orang
tuamu, jika mereka tahu….”
“Itu pasti,” jawabnya simpul.
“Hmmm. Semoga itu juga bukan topeng,” tanggapku,
meminjam kalimat yang tadi dia ucapkan.
“Apanya?”
“Sikap tenangmu itu.”
Dia tertawa kecut. “Semoga mereka tidak tahu,” ucapnya
santai (atau pura-pura santai). Ya, semoga kelak mereka percaya skenariomu,
Fan. Bahwa kamu cuma main-main di Jogja, bukan mencari Dimas.
Keputusannya untuk kabur demi mencari Dimas memang
sebuah tindakan bodoh. Aku tak akan menyalahkan siapapun yang mengatainya
bodoh. Tapi yang kulihat adalah: dia melakukan kebodohan ini dengan keberanian.
Aku tak akan memuji kebodohannya. Tapi aku salut pada keberaniannya. Aku
berharap, pada saatnya nanti aku bisa membantunya. Sebab kebodohannya ini sebenarnya
akan menjadi hutang budiku padanya.
“Benarkah nggak ada satupun dari keluargamu yang
mendukungmu?” aku mengulik.
Sorot matanya berubah sayu. Dia menggeleng.
“Kakak-kakakmu?”
“Apatis,” jawabnya singkat. “Karena mereka juga nggak
di rumah. Aku tidak dekat dengan mereka. Kurasa mereka akan menuruti apapun
keputusan bapak-ibuku soal aku.”
Aku sebenarnya tak enak untuk mengungkit lebih lanjut,
tapi aku juga masih penasaran. Dengan hati-hati aku bertanya, “Kamu pernah
cerita, kamu punya kakak yang sudah meninggal. Sorry kalau sensitif.
Tapi aku cuma ingin tahu saja, menurutmu apakah dia akan mendukung pilihanmu?”
Fandy melihatku sesaat dengan mimik tak paham. “Kenapa
kamu tanya itu?”
“Karena katamu, dia adalah saudara yang paling dekat
denganmu.”
“Mas Bagas,” dia menggumamkan nama kakaknya itu. Dia
termangu. “Memang dia yang paling dekat denganku. Tapi dia sudah meninggal.
Mana aku tahu, jika sekarang masih hidup dia akan bersikap seperti apa…?”
Aku tertawa masam. “Hmhhh…. Rupanya kamu masih punya
sisi realistis juga,” aku menyindirnya. “Dan sikap realistismu itu malah
membuatku jadi tambah miris….”
“Kenapa miris?”
“Karena kamu benar-benar berani ‘tersingkir’ dari
keluargamu. Sampai-sampai kamu merasa nggak perlu membayangkan: andai
saudara yang paling dekat denganmu itu, mendukungmu. Karena dia sudah
meninggal.”
“Den, kita harus bisa bedakan antara mensugesti diri,
dan membohongi diri.”
“Aku mengerti. Aku salut,” ucapku.
“Aku tak akan membohongi diri dengan cara membayangkan
Mas Bagas mendukungku. Karena aku memang tak pernah tahu akan seperti apa
sikapnya. Tapi jika dia masih hidup, pasti aku akan bicarakan ini dengannya….”
“Apapun sikapnya nanti? Kamu berani menghadapinya?”
“Ya, karena memang dialah yang paling kuharapkan.
Kalaupun ternyata dia juga menentangku, ya apa mau dikata. Setidaknya aku sudah
jujur kepadanya,” ucap Fandy pelan. Dengan mimik sedih dia menghela napas.
“Kamu bikin sedih aku saja, Den….”
Aku tersenyum kecut. “Sorry….” ucapku sambil
menepuk-nepuk pundaknya. “Kamu menyayanginya. Tapi Tuhan lebih sayang dia.”
“Kurasa itu sugesti yang absurd,” dia malah menyanggah
kalimat yang kumaksudkan untuk menghibur.
“Absurd?”
“Kenapa kita berpendapat: jika ada orang yang
meninggal, berarti Tuhan menyayangi orang itu? Jika orang jahat mati, apakah
juga berarti Tuhan menyayangi orang jahat itu?”
Pertanyaan yang dilontarkan Fandy itu langsung
membuatku tercenung. Seperti berdenging berulang-ulang di dalam kepalaku….
“Aku yakin kakakku bukan orang jahat. Tapi apakah dia
meninggal dikarenakan Tuhan lebih menyayanginya dibanding siapapun? Apakah
Tuhan menyayangi seseorang dengan cara membuatnya mati? Jika begitu, berarti
orang-orang yang masih hidup tidak lebih disayang oleh Tuhan? Lalu di manakah
harga sebuah kehidupan di mata Tuhan, dan di mata kita?”
Pertanyaan yang diuraikan Fandy itu benar-benar meniup
pikiranku ke suatu tempat yang lebih dalam, lebih tinggi, entahlah. Dia
memandangiku sambil tersenyum ringan, seolah itu perkara yang mudah untuk
dipikirkan.
“Lalu apa yang membuatmu bisa menerima kematiannya?”
tanyaku.
“Kuanggap itu kenyataan, meski menyakitkan. Awalnya
memang berat, awalnya aku juga komplain nggak jelas. Tapi lama-lama aku bisa
mengerti.”
“Mengerti apa?”
“Bahwa apa yang tampaknya milik kita, sebenarnya bukan
milik kita.”
Aku terpukau pada pemikirannya itu. Membuatku
penasaran!
Aku kembali mengulik, “Kalau begitu, sebenarnya apa
yang membuatmu senekat ini mencari Dimas? Toh, dia juga bukan milikmu?”
“Meskipun bukan milik kita, tetapi selalu ada yang
disediakan untuk kita. Kita bisa menemukannya pada sebuah keluarga, pada diri
seorang sahabat, pada diri kita sendiri. Kita bisa menyebutnya takdir. Kita
juga bisa menyebutnya: jodoh.”
Pikiranku kembali ditiup.
“Ooo….” gumamku manggut-manggut. “Jadi kamu sudah
yakin Dimas itu jodohmu?”
“Aku sedang mencari tahu,” ucap Fandy, kembali sambil
ngemil serabi.
Aku termenung, memikirkan ulang percakapanku dengan
Fandy barusan. Tapi lama-lama bukan ucapannya yang kupikirkan, melainkan dianya
sendiri. Sok unyu, sok innocent, tapi kadang pikirannya bisa begitu
‘menyimpang’. Ah, aku sudah tahu dia memang tukang baca buku-buku serius. Klop
dengan Dimas!
“Tapi jika dikembalikan pada keyakinan, seberapa besar
keyakinanmu bahwa kalian adalah jodoh?” tanyaku lagi.
“Yang pasti keyakinanku lebih besar dibanding
keraguanku,” ucapnya tenang. “Tapi jika ternyata aku salah, setidaknya aku
sudah mencoba membantu kalian. Dan aku berharap tak akan pernah merasa rugi,
biarpun sudah membuang waktu.”
“Meskipun kamu akan dianggap naif?”
Dia tersenyum tipis. “Semoga semua orang pernah naif.”
Hmhhh…. Dia memang terlihat naif di mataku. Tapi dia juga
membuatku terharu.
“Tak pernahkah kamu berpikir, sebenarnya Dimas adalah
orang yang lebih beruntung darimu?”
Fandy pelan-pelan menertawaiku. “Apakah itu artinya
kamu juga sedang berpikir bahwa kamu lebih beruntung dariku?”
“Ya. Tapi aku tahu diri terhadap keberuntunganku,”
timpalku, membuat pembedaan. “Seharusnya yang lebih beruntung membantu yang
kurang beruntung, bukan sebaliknya. Dan seharusnya Dimas juga belajar darimu,
untuk merenungkan bagaimana rasanya jika kehilangan saudara yang disayangi.”
Oughhh, aku malah curhat ke Fandy! Sialan!
“Kamu sedang mengakui perasaan sayangmu terhadap
Dimas? Wow, itu manis sekali!” sekarang dia mulai cengengesan meledekku.
“Karena secara teknis dia adalah saudaraku
satu-satunya!” tukasku kesal.
Fandy mendehem senyum-senyum. “Itukah beban
terberatmu?”
Aku membuang napas. Merasa tak perlu menjawabnya.
“Den, memangnya mengecewakan seorang gadis bukan beban
berat buatmu?” tiba-tiba Fandy menambahkan sindiran kampret itu!
“Ya, itu bukan beban yang berat!” tukasku sengit.
“Tapi jujur saja aku akan lebih menyesalinya, dibandingkan perasaan bersalah
saat aku meninju mulutmu.”
“Ouugh, jahat!” celetuknya, seolah tidak takut kutinju
beneran.
Fandy sudah mulai menyebalkan. Aku malas meneruskan
obrolan. Aku pilih menjaga emosi agar tetap kalem, karena udara sudah cukup gerah
untuk membuat kepala panas. Aku berdiam menyantaikan diri. Fandy kembali ngemil
serabi, kali ini sambil kipas-kipas. Anginnya mengenaiku, tahu sendiri rasanya.
Mataku mulai memberat, susah diajak terjaga. Aku terpejam… lama-lama….
“Emghh….” aku terbangun agak kaget, karena ada yang
menepuk-nepuk kakiku. Rupanya Erik sudah kembali dan menyuruh kakiku turun dari
kursinya. Dia tak sendirian, dia bersama dua kenalan bulenya. Dia mengajak
mereka untuk duduk di sini?
“Keenakan tidur,” Fandy mencibirku.
“Kenalin, nih, mereka juga mau ke Bali,” Erik
mengenalkan teman-teman barunya itu.
Dua orang bule, cowok dan cewek. Kami berkenalan tak
saling menjabat tangan, cuma saling melempar senyum. Erik yang menyebut nama
kami satu persatu. Yang cewek berambut pirang sebahu itu bernama Cecile.
Pipinya chubby seperti bakpao, tapi badannya langsing. Sedangkan yang
cowok bernama Fillipe, berambut coklatcepak, badannya ramping atletis, dan
berkacamata. Erik bilang, mereka dari Perancis.
“Kamu bisa ngomong Perancis?” tanyaku ke Erik.
Erik menggeleng. “Nggak. Kita pakai Bahasa Inggris.
Tapi Cecile lumayan bisa Bahasa Indonesia juga, kok.”
“Apa kabar?” lontarku, mengetes benarkah cewek bule
itu mengerti Bahasa Indonesia.
“Very good. Baik sekali,” jawab Cecile dengan
bahasa ‘gado-gado’.
“Sudah berapa lama di Indonesia?”
“Sudah satu tahun. Saya sedang study di Jogja. Now
I’m going to Bali,” jelas Cecile yang murah senyum itu. Aksennya terdengar
sengau dan agak cadel, tapi masih bisa kutangkap maksudnya.
Aku manggut-manggut. “Apa yang membuatmu tertarik
dengan Indonesia?” tanyaku makin tertarik.
“Saya suka music-nya. Saya punya teman di France,
dia dari Indonesia. Dia mengenalkan rekaman music dari Jawa, saya sangat
tertarik. Kemudian saya mengambil study gamelan di sini, selama satu
tahun,” jelas Cecile. Biarpun Bahasa Indonesia-nya kaku dan campur-baur, dia
tak terlihat malu. Malah terlihat antusias bercakap-cakap dengan kami.
“Gamelan? Wow, itu keren!” aku terkesan.
“Tapi setelah di sini, saya mengenal tidak hanya music
yang menarik. Budaya orang-orang Indonesia juga membuat saya kagum.”
“Budaya yang mana? Budaya ngaret, merokok dan buang
sampah di mana saja?” celetukku iseng.
“Tentu bukan yang itu,” jawab Cecile dengan tawa
sungkan. “I mean your musics, and then… batik, architectures….
Sangat indah.”
Aku merasa bangga mendengar pujian itu. Tapi tiba-tiba
berubah jadi rasa malu. Karena aku hampir nggak pernah pakai batik, aku juga
nggak bisa main gamelan. Padahal ada orang bule yang bela-belain meninggalkan
negerinya demi bisa belajar gamelan.
“Temanmu juga belajar yang sama denganmu?” tanyaku ke
Cecile, sambil melirik sekilas ke Fillipe yang dari tadi hanya diam.
“Oh, tidak, dia baru datang minggu lalu. Dia mau
menemani saya berlibur,” jelas Cecile. Ditanggapi oleh Fillipe dengan
senyum-senyum saja.
“He’s your boyfriend?” tiba-tiba Fandy kepo.
Cecile tertawa ringan sambil berpandang-pandangan
sejenak dengan Fillipe. “Ya. Of course.”
Kulihat tampang Fandy seperti agak-agak kecewa. Aku
menyikutnya sambil berbisik, “Ganjen!”
“Which places in Bali you are going to visit?”
Fandy kembali bertanya dengan Bahasa Inggris.
Sebelum pertanyaan itu dijawab, aku berbisik lagi
mengisengi Fandy, “Yakin Bahasa Inggris-mu udah bener?”
“Kalau salah juga nggak masalah,” bisik Fandy cuek.
“Dia saja pede pakai Bahasa Indonesia biarpun nggak lancar. Kenapa kita malu
kalau giliran Bahasa Inggris kita yang kacau?”
“Many places. But Kuta for sure,” Fillipe kini
menjawab pertanyaan Fandy tadi, dengan Bahasa Inggris yang juga terdengar beda.
Lidah Perancis.
“Aku punya rencana jalan-jalan dengan mereka di sana
nanti. Kami sudah sepakat,” sahut Erik memamerkan rencananya. “Mereka tertarik
kuajak bareng komunitas backpacker di sana.”
Aku langsung menyikut Fandy lagi. “Gimana, mau ikut
Erik atau ikut aku? Kalau ikut Erik dapat bonus, lho!”
Fandy sok cuek menjawabku. “Aku cowok setia.”
Kujitak kepalanya.
“Kenapa tertarik dengan gamelan?” aku kembali mengajak
Cecile ngobrol soal musik.
Cecile terlihat antusias mendapat pertanyaan itu. “Itu
music yang sangat unique. Saya kagum, alat sebanyak itu dapat
dimainkan… without conductor. Dan mereka memainkan dengan duduk
di bawah, for hours… Awalnya saya mencoba, dan setengah jam mencoba,
kaki saya rasanya seperti…”
Saat Cecile kesulitan menjelaskannya, aku menebak,
“Kesemutan?”
“Pins and needles?” sahut Fandy.
“Yes, that’s it!” Cecile langsung menjentikkan
telunjuknya sambil tertawa.
Kami semua tertawa. Termasuk Fillipe yang belum tentu
mengerti maksud pembicaraan kami.
“It sounds very beautiful,” Fillipe
berkomentar. Oh, rupanya sedikit-sedikit dia bisa menangkap pembicaraan kami.
“Yes,” Cecile menimpali, “Fillipe juga bermain
musik. Tapi dia bermain band.”
“I play electronic music. But I just like to listen
what she does like, and i think your music is great,” ucap
Fillipe.
“What kind of instrument do you play?” mulai,
Fandy kepo lagi ke cowok bule itu.
“I play keyboards, organ. And … ,” jawab
Fillipe, selain keyboard dan organ dia juga menyebut alat lain yang
terdengar asing.
“I’m sorry?” aku mengernyit, kesulitan
menangkap nama alat musik itu.
“Ondes Martenot,” Erik memperjelas ucapan
Fillipe. “Begitu kalau dieja dengan lidah orang Indonesia.”
Lalu Fillipe kembali menyebut nama alat musik itu
dengan lafal aslinya, lafal Perancis kurasa. Susah banget.
“Itu semacam purwarupa dari synthesizer.
Instrumen yang cukup kuno,” Erik menjelaskan lagi.
“Purwarupa?” aku lagi-lagi tak mengerti kata yang
kudengar.
Fandy menyikutku. “Prototype!” jelasnya jutek.
Aku baru paham. “Ooo… jadi purwarupa itu prototype?
Ternyata Bahasa Indonesia bisa terdengar lebih asing dibanding bahasa asing,”
celetukku. Aku ganti menimpali Fillipe, “Well, it’s exciting that you’re
mastering an… antique instrument. Your band should be very cool!”
Fillipe tertawa. “Thank you.”
Aku belum kehabisan komentar, “And it’s exciting
too that the name of your instrument sounds like the name of Indonesian
traditional cakes.”
Fillipe dan Cecile tersenyum bengong menyimak
komentarku.
“Traditional cakes?” Cecile mengulang disertai
mimik penasaran.
“Yes. It sounds like ‘onde-onde’ and ‘martabak’,”
jawabku.
Mereka berdua manggut-manggut bingung. Sesaat kemudian
barulah Cecile berbinar-binar. “Oh, I know it… it’s a ball with beans
inside, right?” tebaknya.
Aku nggak tahu apakah dalam Bahasa Inggris itu memang
disebut ‘bean’. “Kacang hijau,” sahutku menegaskan dengan Bahasa
Indonesia.“That is ‘onde-onde’!”
“Yes, that’s it,” sahut Cecile. Lalu dengan
antusias dia menjelaskan ke pacarnya tentang kue itu, dengan Bahasa Perancis
disertai gerak tangan yang membuatnya terlihat lucu. Lalu keduanya tertawa
sendiri.
“But I have another cake and this is more delicious
than that two. Here it is, you must try this!” aku meraih bungkusan serabi
di meja kecil dekat jendela. Tapi setelah kulihat ternyata cuma tinggal satu.
Kusikut Fandy, orang yang bertangung-jawab mengembat kue-kue serabi punyaku.
Cecile mengambil satu-satunya kue serabi yang tersisa.
“Sorry, tinggal satu,” ucapku agak malu.
“No problem, thank you,” jawab Cecile, lalu
membagi serabi itu jadi dua. Separuhnya untuk Fillipe. Mereka memakannya sambil
berbisik-bisik dalam Bahasa Perancis.
“Tasty,” celetuk Fillipe sambil mengunyah.
“That is serabi,” jelasku, memperkenalkan nama
kue itu.
“This is like… made from rice flour?” gumam
Cecile menebak-nebak.
“Correct!” Erik menyahut.
“How do you know?” tanyaku, kagum pada
kemampuan lidah Cecile menerka makanan yang bukan asli dari negerinya.
“Hey, saya juga senang membuat kue!” Cecile kembali
berbahasa Indonesia. “Selain fashion, kami orang Perancis juga senang
memasak.”
“Well, I know it. Aku juga suka memasak,”
sahutku tak mau kalah. “Aku suka membuat kue dan sup.”
“Wow, that very nice. Kita punya
kesamaan,” balas Cecile.
“I have a brother, he also likes to cook,”
ceritaku. “Tapi dia spesialis memasak sosis.”
Cecile agak mengernyit. “Sausage?”
“Ya. Dia sangat tertarik dengan sosis,” celetukku.
Diam-diam Fandy menginjak kakiku.
Sebelum Cecile memperlihatkan ekspresi yang lebih
aneh, rupanya Erik cukup paham untuk mengembalikan pembicaraan kami ke jalur
semula. “Negeri Perancis lebih kecil dari Amerika, tapi masakannya jauh lebih
kaya,” selorohnya.
“Indonesia juga besar, tapi makanan di sini juga
sangat kaya!” Cecile balik memuji.
“Second that! Pagi kami boleh makan hamburger,
siangnya kami makan serabi. Sore kami makan pizza, malamnya kami makan
martabak. Hari ini makan kebab, besok makan rendang. Semua bisa hidup di
sini. Kami hidup dalam toleransi. Tapi kami juga hebat soal korupsi.”
Pidatoku yang antusias ternyata tak disambut apa-apa,
selain wajah-wajah yang bengong menatapku.
“Sorry. Baiklah, soal korupsi nggak usah
dibahas,” ucapku buru-buru memperbaiki alur bicara.
“We also have many literatures. We have Pram,
NH Dini, Rendra….” Fandy mulai ngomongin sastra. “Just like France has
Voltaire, Victor Hugo, and…”
“Marquis de Sade!” Fillipe langsung menyahut.
Fandy tertawa. “That’s a classic porn!”
“You read him too?”
Fandy menggeleng, dan kurasa wajahnya itu agak
tersipu. “No. I read Les Miserables, but I have not read anything yet from
de Sade. I just know few about him, and it’s not his novels….” jelasnya.
“Yeah, I see,” Fillipe menyahut lagi dengan
mimik agak nakal, sepertinya.
Aku menyikut-nyikut Fandy. “Kalian ngomongin bacaan
jorok?” bisikku.
Fandy tak mau menjawabku. Diam sok jaim.
“Awas, aku bilangin Dimas!” bisikku lagi. Tak butuh
dijawab, aku tertawa dalam hati saja memperhatikan tingkah Fandy yang kesal
kujahili.
“We have those great names. However, Harry Potter
took them all. Anywhere!” Fandy masih melanjutkan omongan sastranya.
“Do you hate it?” tanggap Fillipe.
“Sadly, I like Harry Potter.”
Fillipe dan Cecile tertawa mendengar komentar Fandy.
Obrolan kami menyambung dari satu topik ke topik lain.
Perkenalan yang menyenangkan. Dengan bahasa gado-gado percakapan kami berhasil
menghilangkan rasa kantukku. Fillipe juga membuktikan kemampuannya bermain
musik, dia memainkan beberapa lagu dengan gitar Erik. Sayangnya lagu-lagu itu
nggak ada yang kukenal. Tapi tetap dapat kulihat bahwa dia memang jagoan
bermain musik. Meski yang dipakai bukan keyboard atau instrumen
‘onde-onde martabak’ yang tadi dia sebut, ternyata jemarinya juga bisa lincah
di atas fret gitar kecil itu.
Lalu Fillipe menawari siapapun di antara kami yang mau
menggantikannya memainkan gitar itu. Tapi Cecile buru-buru mengajukan
permintaan, “Ada yang bisa lagu Jawa dengan gitar?”
Aku, Fandy, dan Erik bertatap-tatapan saling melempar
‘tanggung jawab’. Ternyata tak satu pun dari kami yang bisa menjawab permintaan
Cecile. Permintaannya benar-benar mempermalukan kami, orang-orang Jawa ini.
Sebenarnya aku bisa saja bikin alasan, “Aku besar di Medan.” Tapi nggak gentle,
ah.
“Kami tahu lagu-lagu Jawa. Tapi kalau memainkannya,
nggak yakin bisa,” jawabku.
Raut Cecile tampak kecewa sekaligus geli. “Ooh, sayang
sekali,” ucapnya terdengar polos.
“But I know some Indonesian ballads. You can
listen,” ujarku sambil mengambil-alih gitar itu.
Dengan sok jago aku ancang-ancang mengambil nada.
Memetik intro, kemudian…
“Ijinkanlah, kukecup keningmu. Bukan hanya ada di
dalam angan. Esok pagi kau buka jendela, ‘kan kau dapati seikat kembang merah.
Engkau tahu, aku mulai bosan bercumbu dengan
bayang-bayang. Bantu aku temukan diri menyambut pagi membuang sepi….”
Jemariku sempat meleset menembak chord. Aku
melanjutkan bernyanyi biarpun suaraku juga nggak istimewa. (Tapi aku tetap
yakin suaraku lebih bagus dari Amos, yakin!). Lagu ini memiliki notasi piano
yang menurutku enak banget. Berhubung aku cuma bisa bermain chord,
melodi piano itu kuganti dengan siulan.
“You have awesome tune,” Fillipe memuji.
“I think, the lyric is so lovely….” Cecile juga
memuji.
“That’s Ebiet G. Ade’s song. He’s a great ballad
singer, one of a kind,” Erik menjelaskan.
“He has very different taste. He doesn’t listen
mainstream,” Fandy menimbrung. Bukan ngomongin Ebiet G. Ade, tapi ngomongin
aku. “Everytime he sings, he often makes me think that we are too young to
listen his very old songs.”
“He’s wrong,” aku membantah Fandy, “I listen
any mainstream musics. But more enjoying folk musics. And I don’t think that
I’ve sung an old song. What I think is, I sing a beautiful song.”
Mendengar ucapanku, Fillipe kelihatannya seperti
melihat sasaran empuk untuk dikerjai. “Very interesting. Give us more
example!” tantangnya, seperti yang sudah kuduga.“But I hope not
Indonesian, because… you know…”
“Kami tak terlalu paham lagu-lagu berbahasa
Indonesia,” ucap Cecile memperjelas maksud Fillipe.
Musik berlanjut, menemani perjalanan kami. Erik,
Cecile dan Fillipe bergantian memainkan gitar. Mereka juga bergantian
bernyanyi. Fandy mencoba mengimbangi mereka dengan memainkan harmonika. Aku baru tahu Fandy bisa memainkan alat tiup
itu. Tidak jelek, lumayan juga mainnya. Pingin aku mencoba harmonika itu,
karena suaranya sangat unik. Tapi itu artinya secara tidak langsung aku
berciuman dengan Fandy. Ogah, nggak jadi!
Kereta singgah dan melewati stasiun demi stasiun. Di
stasiun Gubeng, Surabaya, terjadi perubahan formasi gerbong. Lokomotif
dipindahkan ke ujung lainnya, sehingga gerbong yang tadinya adalah ekor
sekarang menjadi leher. Waktu juga sudah sore. Semua sudah letih, musik
diistirahatkan. Cecile sudah tertidur di pundak Fillipe. Erik juga tampak
mengantuk, sebelum dia tertidur aku meminjam gitarnya lagi.
Aku memetik-metik pelan tanpa nyanyian. Mengantar
mereka semua tidur, dan mengisi kekosonganku sendiri. Tinggal aku dan Fandy
yang masih terjaga. Kulihat Fandy asyik menatap pemandangan di luar jendela.
Aku juga, ikut memandangi panorama pedesaan dengan hamparan sawah berpohon
kelapa. Gunung berada di kejauhan, entah gunung apa itu. Tampak segerombol anak
bermain layang-layang, di sisi lain tampak penggembala dengan
kerbau-kambingnya, berjemur di bawah cahaya sore kekuningan. Pemandangan itu
sambung-menyambung oleh gerak laju kereta, memukau mataku.
Aku nggak tahu sekarang sedang melewati daerah mana.
Tercetus begitu saja pertanyaan di benakku, kenapa kereta ini diberi nama Sri
Tanjung? Rute Jogja sampai Banyuwangi, nama Sri Tanjung ini diambil dari mana?
“Kenapa kereta ini dinamai Sri Tanjung? Nama itu dari
mana, sih?” sambil memetik gitar aku mencetuskan pertanyaan itu ke Fandy.
“Dari legenda Banyuwangi,” Fandy menjawab. Rupanya
tahu. Sambil masih menatap ke luar jendela, dia bercerita, “Itu nama seorang
putri. Dia dituduh sudah tidak setia, oleh suaminya. Demi membuktikan, dia
menceburkan diri ke sebuah sungai. Dia tenggelam dan tak pernah muncul lagi.
Tapi air sungai berubah menjadi harum, sebagai tanda bahwa dia adalah seorang
istri yang setia. Itu menjadi asal mula nama Banyuwangi, yang artinya ‘air yang
harum’.”
Aku manggut-manggut. “Sad ending?” tanggapku.
Fandy merenung beberapa saat sebelum menanggapiku.
Sambil menerawang ke luar jendela, dia mengulas…
“Cerita roman selalu tentang pembuktian. Cinta yang
disajikan bisa apa saja, tapi intinya selalu tentang pembuktian. Bandung
Bondowoso membuktikan cintanya ke Roro Jonggrang dengan membangun seribu candi.
Sangkuriang membuktikan cintanya ke Dayang Sumbi dengan membuat danau. Rahwana
membuktikan cintanya ke Sita dengan cara menculiknya. Sita membuktikan
kesetiaannya kepada Rama dengan jalan membakar diri. Romeo dan Juliet
membuktikan cinta mereka dengan cara mati bersama. Begitulah. Di akhir cerita,
cinta bisa dikhianati, bisa tak terbalas, bisa tak bersatu. Tapi yang pasti,
cinta itu telah dibuktikan dengan sepenuh hati.”
Aku termangu mendengar uraian Fandy. Aku
menggarisbawahi satu hal dari penjelasannya itu. Cinta adalah pembuktian.
Selain nama-nama tokoh cerita tadi, kurasa Fandy juga sedang membicarakan
dirinya sendiri. Sebenarnya agak menggelikan juga, mengingat maksudku hanya
sekedar bertanya tentang asal nama sebuah kereta, tapi ternyata berujung pada
sebuah curhat tersembunyi. Aku tak akan menanggapinya lebih jauh. Aku sudah
cukup mengerti.
Aku kembali melihat pemandangan di luar jendela. Sama
seperti Fandy yang masih termangu menikmati pemandangan itu.
“Kalau melihat pemandangan sebagus itu, apa yang ada
di pikiranmu?” tiba-tiba Fandy menggumamkan pertanyaan kepadaku.
Nah! Lagi-lagi dia mengucapkan kalimat romantis kepada
sesama cowok. Aku nggak heran, sih, mengingat Fandy memang sukanya sama cowok.
Apalagi dia juga penyuka novel, puisi atau semacamnya, yang menurutku sangat
berkorelasi dengan kadar romantisme seseorang. Inilah, cowok gay romantis di
sebelahku ini menanyaiku. Aku harus menjawabnya?
Sikap paling aman yang bisa kuambil adalah: balik
bertanya, “Kamu sendiri gimana?”
“Pastinya ingin bisa ke sana bersama orang yang
kucintai,” jawabnya sambil tersenyum.
Tuh, kan? Romantis! Dasar sok unyu!
Aku tetap nggak mau jawab. Lalu ikut memejamkan mataku yang
juga sudah penat.
Kami tak lagi memainkan apa-apa, selain keheningan.
Keheningan di tengah derai laju kereta. Terpekur dengan mata terpejam. Lalu
menyerah kepada kantuk.
Kurasa waktu sudah berjalan beberapa puluh menit. Aku
cuma setengah tertidur. Tapi yang di sebelahku sudah sepenuhnya lelap, sama
seperti teman-temanku yang lain. Perjalanan memang sangat melelahkan. Dia tak
sadar kepalanya melorot bersandar ke pundakku. Sekali-sekali
berbaik hati ke orang lain tak apa-apa, lah.
Sebuah improvisasi, kuarahkan kamera HP-ku. Dan…
Crrkk!
Tiba-tiba saja aku juga tak keberatan melakukannya.
bersambung…