Keranjang 53
Keranjang 53
Jiwa-Jiwa Yang Besar
Bayangkan…
Suatu ketika mendung sangat gelap dan kau mengira hujan lebat akan datang mengguyurmu. Awan sangat kelam dan kau mengira petir akan menyambarmu. Tak ada tempat untuk berlindung, yang ada hanya takut… Tapi, ternyata tiba-tiba matahari muncul dan pelangi menyapa tanpa kau duga…
Di saat kau mengira semuanya akan membuatmu jatuh, ternyata semuanya baik-baik saja.
Apa yang akan kau katakan?
Sesuatu yang indah ternyata juga bisa membingungkan. Kalau kau bingung, maka kau pun seperti aku…
Siapapun pasti pernah dengar tentang malaikat. Tapi siapa yang tahu malaikat itu wujud sebenarnya seperti apa? Semua cuma katanya, dan katanya… Katanya, malaikat itu adalah penolong bagi orang baik yang sedang kesusahan. Sebaliknya, dia tak pernah berkompromi jika harus menghukum orang-orang yang salah. Katanya, dia adalah utusan Tuhan, mahluk baik yang tak mengenal jalan tengah…
Katanya.
Kadang orang tua itu dianggap seperti malaikat oleh anaknya, karena kasih sayang dan kebaikannya. Begitu juga orang tuaku. Mereka adalah malaikat… aku pernah menganggapnya begitu. Tapi, sekarang aku telah merenungkannya lagi, dan… sepertinya aku telah membuat metafora yang keliru…
Malam itu, setelah rahasia terbesarku diketahui oleh Papa, diperkuat oleh pengakuan Denis, aku mengira hidupku di dalam keluargaku sudah berakhir… Aku menyangka malaikat sedang datang dengan mobilnya, memarkirnya di garasi lalu segera menuju ke dapur karena ada anak yang harus secepatnya dihukum! Tapi… apa yang terjadi…?
Ternyata mereka ke dapur untuk mengucapkan, “Kami membawa nasi goreng special…”
Dan itu bukan metafora.
Malam itu aku telah dibuat terkejut luar biasa oleh berita yang menakutkan, dan aku berpikir tentang sebuah penghakiman. Tapi yang terjadi, tenyata adalah makan malam bersama, dan aku harus jujur… itu makan malam keluarga yang sangat hangat… Tak ada yang bisa kubuktikan bahwa malam itu telah terjadi suatu penghukuman. Tak ada yang dihukum, seorang pun di antara kami…
Aku bersyukur. Terharu…
Dan bingung!
Malam itu, aku masih terus memikirkan apa yang sedang terjadi karena kenyataan terasa begitu sulit untuk kupercaya. Kenyataan yang jauh dari bayanganku selama ini, telah mengaduk sampai bagian-bagian yang tersembunyi dalam batinku…! Aku merenung sendirian di kamarku, duduk menerawang di depan jendela… Mengintip cakrawala malam yang sangat terang penuh bintang, seolah langit telah melupakan hujan yang sejak siang hingga sore sempat memburamkannya…
Aku tak pernah berharap untuk dihukum…! Tapi aku tahu benar bagaimana sebagian besar orang menilai orang seperti diriku ini! Biasanya, orang sepertiku adalah orang yang pantas untuk dihakimi! Bahkan orang tua pun bisa tega menghakimi anaknya jika keadaannya seperti aku…! Itu yang aku tahu, itu yang selalu kutakuti… Tapi, apa yang sudah terjadi sekarang…? Kenapa aku tidak dihukum…???
Hatiku gelisah dan bertanya-tanya…
Lalu saat itulah, tiba-tiba Papa datang menyusul ke kamarku malam itu…
Aku sempat menatap Papa. Meski cuma sekilas tapi aku langsung bisa membacanya, bahwa Papa memang sudah tahu semuanya… Papa sudah tahu anaknya ini gay, dan dia pasti ingin membicarakan itu denganku! Bicara serius empat mata, bukan obrolan di meja makan…!
“Denis tadi bilang ke Papa…” Papa membuka percakapan dengan arah yang cukup jelas.
“Papa udah tahu sekarang…?” timpalku tanpa mengangkat wajahku. Kecut, gentar…!
“Yaa…” gumam Papa singkat dan lesu.
“Sekarang… Papa mau bilang apa…?” ucapku, dengan bibir nyaris gemetar.
Papa duduk di tepian tempat tidurku. Lalu mulai bercerita…
“Dimas, Papa ini bukan orang kuper… Papa bekerja dengan banyak orang, bertemu dengan macam-macam orang tiap hari. Papa bergaul dengan mereka. Di antara mereka… ada yang lesbian, ada yang transgender, ada yang gay… Kadang bagi orang lain itu memang dunia yang sulit diterima. Tapi Papa bekerja secara professional, buat Papa yang penting bukan kehidupan pribadi seseorang, tapi prestasinya, dan integritasnya dalam bekerja…”
Aku menyimak cerita Papa tanpa berani memandangnya. Ada rasa malu yang menekan dalam diriku. Rasa malu dan sungkan, jelmaan rasa sayang dan juga hormatku pada Papa. Aku tertunduk…
Papa mendesah lesu. “Tapi… itu semua adalah dunia kerja. Bisnis, dimana yang harus dilihat adalah profesionalismenya, sebisa mungkin masalah pribadi tidak dibawa-bawa. Selama ini Papa selalu berusaha menjadi orang yang terbuka… Tapi… saat keadaan seperti ini terjadi pada anak Papa sendiri, ini nggak semudah kalau terjadi pada orang lain… Papa selalu bilang ‘it’s ok’ ke orang lain, Papa bilang itu hak mereka… Tapi kalau anak Papa sendiri…? Jujur, Papa bingung…! Papa tahu, Papa harus fair dan nggak boleh membuat standart ganda… Tapi Papa tetap bingung…!” ujar Papa terbata-bata.
Aku hafal dengan pembawaan Papa yang selalu mencoba tenang. Seperti waktu ada di meja makan, siapa yang bisa menduga apa yang bergumul di balik sikap tenangnya itu? Di saat kami hanya berdua, begitulah… akhirnya kegundahan Papa itu terlihat begitu jelas…! Semakin membuatku galau dan takut menghadapinya…
“Sejak kapan kamu seperti ini…?” tanya Papa pelan.
“Aku nggak tahu, Pa…” jawabku kelu dan tertunduk. “Aku nggak merasa pernah trauma… Aku juga nggak pernah bergaul dengan orang yang sama kondisinya seperti aku… Aku merasa, ini mengalir begitu saja…”
“Lalu… sejak kapan kamu menyadarinya…?” Papa bertanya lagi.
“Mungkin… udah sejak SMP, Pa…” jawabku ragu.
“Kamu langsung menerima gitu aja?” suara Papa terdengar keheranan sekaligus sedih.
“Kalo bisa milih, aku nggak akan pilih punya kondisi kayak gini, Pa…! Kenyataannya aku lebih suka kalo… sama laki-laki…!” tekanku bingung dan kalut. “Aku lebih suka, lebih nyaman, dan merasa lebih jujur kalo sama laki-laki… Itu kenyataannya! Aku pernah nyoba buat suka sama cewek, tapi tetap aja nggak bisa…! Jadinya aku malah merasa bodoh, karena berpikir kalo rasa suka itu bisa dibuat-buat… Rasanya bodoh dan palsu! Nggak ada orang yang bisa milih mau dilahirkan seperti apa kan, Pa…? Tapi saat aku sadar kalo keadaanku seperti ini, mau nggak mau aku harus memilih… untuk menerima atau menyangkalnya! Dan aku pilih menerimanya, Pa… Aku ingin ngikutin apa yang jujur dari diriku sendiri, aku nggak mau mengingkarinya lagi! Bersikap jujur aja masih serba salah dan nggak tenang, apalagi kalo harus terus-terusan menipu diri sendiri?!” curahku terbata-bata, membanjirkan semua beban batinku selama ini di hadapan Papa.
Aku mulai menatap wajah Papa yang sayu dan lelah. Raut yang jarang kulihat darinya…
“Sudah seberapa jauh kamu melakukannya…?” tanya Papa lirih dan tampak resah.
Seberapa jauh aku melakukan apa? Aku bisa saja ketawa karena pertanyaan Papa itu, tapi yang keluar hanyalah satu senyum pahit di wajahku… amat pahit…!
“Aku suka… dan juga pernah jatuh cinta, Pa. Tapi semuanya masih sepihak… Jadi kalo maksud Papa dengan istilah ‘seberapa jauh’ itu apakah aku pernah begini-begitu, aku cuma bisa bilang… kalo aku nggak pernah nyoba macam-macam… Semua masih sebatas perasaanku sendiri, Pa… Tapi itu tetap perasaan dari diriku, itu tetap hal yang paling jujur buat aku… bahwa memang beginilah keadaanku… Aku nggak bisa menyangkalnya…” curahku dengan senyum pahit.
Papa sekejap menahan tawa masamnya. Tanpa berkomentar.
“Aku nggak kaget… kalo Papa malu karena aku seperti ini… Aku minta maaf, Pa…” ucapku lirih gemetar. “Tapi… aku harus gimana…?”
“Nggak, Dimas… Buat Papa ini bukan soal malu…” timpal Papa…
“Tapi di mata orang lain ini aib kan, Pa…?! Papa tahu itu…!” sergahku setengah berseru…
Wajah Papa menerawang jauh. “Buat Papa, anak Papa lebih penting dari orang lain…”
Kalimat yang diucapkan Papa membuatku nanar. Keharuan menelanku kian dalam ketika aku melihat Papa yang harus tersenyum di tengah kekecewaan dan kesedihannya…
“Dengar Dimas, Papa nggak bilang kamu benar… Tapi Papa juga nggak mau langsung menilai kamu salah… Kamu sedang mencari jatidiri, itu yang Papa lihat…” ucap Papa dengan senyum pahit…
“Tapi jujur aja, Pa…! Papa lebih ingin aku jadi orang normal kan?!” kejarku menggugat kejujuran Papa.
“Semua orang tua seperti itu, Dimas…! Siapa yang nggak ingin? Papa nggak mau munafik… Tapi Papa juga nggak mau egois…” tandas Papa, wajah teduhnya itu begitu serba salah… Tapi hati besarnya membuatnya mengalah…!
“Aku juga nggak mau ngecewain Papa! Jadi kalo Papa malu, kalo Papa nggak mau aku seperti ini, tolong Papa bilang aja sejujurnya…!” ucapku dalam kekalutan yang semakin sulit kubendung…
“Papa sudah jujur, tapi kalo Papa minta kamu berhenti jadi seperti ini, apa kamu akan melakukannya…?! Papa nggak bilang kalo Papa senang… Tapi Papa juga nggak bisa memaksa…!” tandas Papa dengan wajah masam…
Aku berpandangan dengan Papa. Wajah yang sama-sama letih dan resah… Jiwa yang penuh dengan beban… Membisu menanggung pergumulan di batin kami…
Akhirnya aku tertunduk. Air mataku sekali lagi hampir terjatuh lagi…
“Itu adil buat Papa…?” ucapku perih…
Perlahan Papa berdiri dari duduknya. Dia lalu berdiri di sampingku. Tangannya menepuk-nepuk pundakku dengan lembut. “Suatu saat kamu akan dewasa, Dimas… Kamulah yang akan meneruskan hidupmu. Itu milikmu, bukan milik Papa… Orang tua hanya bisa ikhlas, dan berharap anaknya baik-baik saja kalau nanti sudah waktunya ditinggalkan… Jadi kalau memang kamu yakin itu bisa membahagiakan kamu, Papa juga akan berharap itulah yang terbaik buat kamu…” ucap Papa, menenangkanku dengan kata-kata sejuknya…
“Tapi aku ini anak macam apa kalo sampai bikin orang tua kecewa…?” desahku pedih…
“Dan orang tua macam apa kalau sampai menyiksa batin anaknya…?” balas Papa pelan…
Aku diam tertunduk, semakin ditelan oleh kebesaran hati Papa. Aku sadar, siapa yang pada akhirnya harus berkorban… Berkorban sangat besar…!
“Papa nggak akan melarang… Kamu sudah besar, tapi juga masih muda. Carilah jati dirimu. Mungkin memang ini jati dirimu. Tapi mungkin juga waktu akan membuktikan yang lain… Masih banyak kemungkinan di waktu yang akan datang…” ucap Papa dengan senyum sayu yang tersamar oleh sorot jendela.
“Bagaimana kalo ini memang jatidiriku, Pa…?”
“Sebaiknya kamu sudah dewasa saat kamu meyakininya. Maka itulah hidupmu… Papa cuma bisa berharap itulah yang terbaik buat kamu, dan kamu bisa bahagia dengan itu…”
“Bagaimana kalo bukan…?”
“Kalau bukan…???” Papa memandangiku, meski pahit tapi senyumnya itu terasa hangat. “Kalau bukan, berarti kamu akan menikahi perempuan kan? Apa sedihnya Papa punya cucu dan menantu…?”
Seketika aku tertawa bercampur dengan air yang menyelinap keluar dari pelupuk mataku. Papa ikut tertawa pahit, seraya mengusap-usap rambutku…
Lalu Papa kembali berpesan padaku…
“Karena itu, mengertilah… kalau waktumu masih panjang. Semua yang kamu anggap pasti saat ini, bisa saja kelak akan berubah. Jadi… jagalah dirimu! Jangan terlalu jauh bertindak seolah semua nggak mungkin berubah…! Jangan melakukan yang terlalu jauh melebihi usiamu, karena tiap hal selalu memiliki waktu yang lebih tepat. Apapun yang kamu jalani saat ini, Papa minta kamu tetap prioritaskan sekolahmu… Itu saja…”
Aku mengangguk pelan, penuh haru mendengarkan kebijaksanaan Papa…
Lalu…
“Bagaimana… kalo nanti aku punya pacar…?”
Tiba-tiba aku mulai menanyakan sesuatu yang kurang tahu malu, dan aku baru tahu malu saat itu sudah telanjur terucap….! Ya ampun! Aku masih saja berharap lebih…!
Tapi Papa malah ketawa lagi. “Hhhhh… Soal pacar, nggak cuma kamu… Denis mungkin juga akan punya pacar! Papa kayaknya akan sulit buat melarang kalian. Papa sendiri pernah seusia kalian! Tapi Papa tetap minta, untuk saat ini prioritas kalian tetap sekolah! Yang lain buat penyeimbang saja…!”
Aku serasa belum puas dengan jawaban Papa. “Intinya boleh kan, Pa…?” tanyaku, masih tak tahu diri…
Papa menghela nafas karena pertanyaanku yang merepotkan. “Jangan bertindak terlalu jauh, rambu-rambunya tetap itu!”
“Menunggu sampai dewasa…?”
“Di keluarga manapun aturannya seperti itu…! Di sini juga sama!”
Aku tersipu, mengangguk-angguk malu. Aku nggak berani mengejar pertanyaan itu lagi. Tapi ada satu hal yang hampir terlewat…
“Bagaimana dengan Mama…?” tanyaku ragu-ragu…
“Papa belum bicarakan ini sama Mama. Nanti saja di waktu yang tepat. Yang penting kamu ingat kata Papa, waktumu masih panjang…! Nanti kalau kamu sudah dewasa, kita bisa bicarakan lagi bersama-sama. Saat ini yang penting buktikan dulu sekolahmu beres! Oke?”
Aku terharu, damai tak terkira saat Papa memberikan kebesaran hatinya…
“Oke, Boss… Adil!” anggukku pelan, seraya mengembangkan senyumku… dan mengusap air mata haruku…
Aku berdiri memeluk Papa… dan tangannya yang hangat menyambutku, menepuk dan mengusapku…
Ya aku hafal, semua selalu cenderung diplomatis kalau Papa yang bicara… Tapi sesungguhnya, mungkin tak ada kosakata yang mampu mewakili kedalaman dan kebesaran hati seseorang… Aku tak tahu, apa lagi yang harus kuucap untuk semua keajaiban yang diberikan kepada keluarga kami… keajaiban yang kurasakan pada hati seorang ayah… jiwa besarnya yang tetap menerima anaknya yang ‘berbeda’ ini…
Kebaikan yang terlampau besar. Hingga semua ketakutanku seperti terhapuskan seketika… Aku bingung dalam kekaguman…
Jadi, apakah Papa adalah seorang malaikat…?
Tapi yang aku dengar, malaikat itu hanya menilai hitam dan putih…?
Papa nggak cuma melihat hitam dan putih. Papa adalah ayah yang percaya bahwa pelangi indah karena warnanya. Entah aku akan menjadi merah, biru, kuning ataupun yang lain, bagi Papa aku tetaplah menjadi warna di dalam keluarga kami… Warna yang tak akan dibuang!
Aku pernah menganggap Papa sebagai malaikat karena itu terdengar indah dan terasa penuh kasih sayang… Kurasa, sekarang itu nggak perlu lagi. Dia adalah ayah yang kubutuhkan. Ayah yang menyayangi keluarganya. Ayah yang sangat manusiawi, dengan kelebihan dan kekurangannya. Dan bagiku, ternyata itu lebih indah…
Papa dan Mama, aku nggak mau mengecewakan mereka… meski aku tetap ‘berbeda’! Suatu saat, aku akan membuat mereka bangga… Aku harus bisa!
Dan Denis…?
Malam itu, selepas pembicaraanku dengan Papa yang telah menanggalkan semua bebanku, satu hal yang terpikir di dalam benakku cuma satu. Aku ingin bertemu Denis…! Aku menuju ke kamarnya, dan… seperti biasa, dia nggak pernah mengunci pintu kamarnya!
Aku masuk, dan mendapatinya telah tertidur…
Aku ingin memeluknya… Aku ingin tidur di sampingnya sampai malam tuntas dan tetap memeluknya sampai pagi…! Karena dia telah menjadi sodara yang melengkapi hidupku, mengisi bagian hatiku yang masih kosong dengan arti seorang sodara sekaligus sahabat yang nggak pernah aku sadari sebelumnya! Tapi yang terlebih berarti dari itu adalah… karena dia selalu setia…!
Aku nggak bisa berterima kasih padanya dengan kata-kata, karena sekali lagi… APAKAH ADA KOSA KATA YANG BISA MEWAKILI KEBESARAN HATI SESEORANG…?? Aku hanya bisa memeluknya, tapi… kulihat dia sudah terpulas dengan wajahnya yang tampak letih… Letih karena selalu ikut menanggung beban-bebanku. Apa aku harus mengganggunya…?
Kulihat selimutnya yang tersibak, perlahan aku membenahkannya lagi… menyelimuti tubuhnya karena malam begitu dingin. Sebaiknya aku nggak menganggunya lagi. Lagipula, dia juga nggak suka dipeluk-peluk…
Dia juga bukan malaikat. Dia adalah sodara yang lebih indah dari itu!
Aku keluar lagi dari kamar Denis, dan kembali ke kamarku sendiri… Melangkah dengan hati damai melewati ruang-ruang rumah yang lampunya telah padam, menyongsong waktu tidur untuk menanti esok yang baru… Dalam doaku, semoga warna-warna yang indah dalam kehidupan akan menyapa lebih cemerlang…
Dan itulah akhir malam itu…
Aku tahu aku harus mengucap syukur pada Tuhan, tapi aku belum juga menemukan kalimat yang sempurna… Ya, lagi-lagi kosakata apa yang sanggup mewakili keajaiban dan kebaikan-Nya?
Ketakutan yang dulu hinggap membayangi hatiku, sekarang reda dan semakin sirna. Tapi meski begitu, kurasa masalah yang tersisa tetap harus dituntaskan. Dan yang masih membayangiku adalah…
Rencana Visitasi Guru BP…!
Aku tahu, ketakutanku selama ini adalah karena aku mengira Papa dan Mama akan menghukumku jika mereka tahu tentang kondisiku. Karenanya aku resah dengan rencana Visitasi itu! Tapi sekarang, Papa sudah berada di pihakku meski Mama belum tahu masalah ini… Setidaknya, jika diibaratkan seekor serigala maka Pak Alex yang arogan itu telah patah satu taringnya!
Bagaimanapun, aku tetap ingin tahu seperti apa penuntasan masalah ini!
“I’m ready…!” dengan setengah sadar aku menulis dan mecorat-coret di atas lembaran buku catatan Sosiologi-ku…
“I’m ready…?” tiba-tiba Misha ikut mengeja tulisanku.
“Ehh…!” aku kaget.
“Wah, ada gambar malaikatnya juga…?” sambung Misha.
Langsung kututup bukuku yang penuh corat-coret. Misha cuma nyengir di sampingku.
Aku mengejap-ngejapkan mataku sejenak. Entah, sudah berapa lama aku melamun…? Aku tadi baru saja membayangkan lagi, percakapanku dengan Papa malam itu…
Aku masih saja terharu kalau merenungkannya… Bahkan sampai terlarut… Apalagi di tengah pelajaran Sosiologi yang membosankan seperti sekarang…!
Sekarang semua indraku telah aktif sepenuhnya, menangkap suasana di ruang kelas ini! Aku melongok jam tanganku, lima menit menjelang jam istirahat. Tapi pantat guru Sosiologi itu sepertinya masih betah di atas kursinya!
Lalu tiba-tiba Bu Yanti muncul. Aku terkejut waktu Wali Kelas-ku yang cantik itu sudah berdiri di muka pintu kelas…!
“Permisi, Pak, saya mau bicara sebentar sama siswa saya…” Bu Yanti meminta ijin ke Pak Agum, guru Sosiologi yang membosankan itu.
“Silakan…!” Pak Agum menyilakan sambil tersenyum ganjen ke Bu Yanti.
Lalu Bu Yanti mendekat ke mejaku. “Dimas, saya tunggu di kantor BP ya…” bisik Bu Yanti memberi isyarat padaku.
Pesan yang cukup jelas buatku. Aku bisa menebak ini soal apa. Aku segera mengangguk. “Iya, Bu…” jawabku.
Akhirnya, ada panggilan juga dari BP…!
“Terima kasih, Pak Agum…” Bu Yanti langsung permisi lagi ke Pak Agum begitu selesai menyampaikan pesannya padaku.
Pak Agum mengangguk-angguk penuh semangat. Dan dia langsung berdiri sambil mengemasi buku-bukunya begitu Bu Yanti pergi…
“Anak-anak, sebentar lagi jam istirahat. Pelajaran kita akhiri. Jangan lupa PR-nya, Bab II sampai Bab V, dirangkum! Lusa dikumpulkan! Selamat pagi!” Pak Agum memungkasi pelajarannya. Lalu segera buru-buru meninggalkan kelas.
Wanjriiiiitttt…!!! Dua hari disuruh ngerangkum 4 Bab??? Guru edaaannn!!!
“Huuuuuuuuu…!!!” seisi kelas langsung menyoraki begitu Pak Agum pergi.
“Pak Agum gatel tuh disamperin Bu Yanti!” mulutku menggerutu nggak jelas.
“Untung nggak cemburu sama kamu…!” celetuk Misha.
“Ngapain cemburu sama aku?!” tukasku.
“Kan Bu Yanti ke sini nyamperin kamu, bukan Pak Agum?”
“Nyamperin? Katanya aku ditunggu di ruang BP… Kok nggak ditunggu di kantin aja ya?”
“Yeee… Jadi kalo sama Bu Yanti kamu mau ya?”
“Ya kalo ditraktir masa nggak mau sih?” celetukku enteng.
“Hiii… Matree…!” cibir Misha. “Memangnya di BP ada apa? Perkembangan kasus yang kemarin itu ya…?”
Aku mengemasi buku-bukuku. Bersamaan bel jam istirahat pertama berbunyi. Lalu aku menghelas nafas.
“Aku belum bisa cerita detailnya, Mis… Masih proses, nanti kalo udah jelas aku pasti ceritain…!” ujarku simpul.
Misha diam sesaat menatapku. Lalu tersenyum optimis. “Apapun yang terjadi, kamu nggak usah takut. Kamu punya teman, kamu punya sodara… and at least, kamu punya Papa yang siap bela kamu kan?”
Aku mengangguk dengan yakin. “Yup. Thanks…!” ucapku seraya membalas senyum Misha dengan optimis pula.
“Goodluck…!” ucap Misha memberiku semangat.
“I’m ready!” sahutku mantap.
Aku beranjak dari kursiku. Meninggalkan Misha. Melangkah ringan melewati sudut-sudut sekolah yang ramai di jam istirahat. Hmmm… Masih seperti biasa. Ada yang tetap melirik dengan mata yang sinis, senyum yang mencibir… Ada yang nggak peduli… Tapi, ada juga yang menyapa…
“Gimana kabarnya, Mas…?”
Akupun mulai belajar untuk lebih ramah dan tanpa prasangka. “Lebih baik dari kemarin…!” jawabku seraya tersenyum lebar.
Aku mulai faham bahwa nggak semua orang yang bukan temanku berarti jahat dan membenciku. Dunia nggak sekaku itu. Hati manusia nggak sesempit itu. Sesuatu juga nggak selalu mulus. Dan kadang memang nggak harus mulus. Karena seberat apapun, perjuangan itu selalu menyelipkan momen yang indah bila kita mau berpikir positif, dan mau introspeksi…!
Ya. Seperti hari ini. Teman yang kukenal menyemangatiku. Teman yang nggak kukenal menyapaku. Kenapa nggak berpikir positif aja…? Iya nggak?
Melangkah dengan optimis. Dan siapkan hati…!
Akhirnya, aku tiba di kantor BP…
Kuatur diriku. Menyiapkan sikap tenang…
“Permisi…” salamku di muka pintu.
Di ruang utama telah duduk dua guru yang menantiku, Bu Yanti dan Bu Kamti. Aku melihat Pak Dibyo ada di ruang samping, kelihatan dari pintu ruangan yang terbuka. Pak Dibyo cuma menoleh sekilas dan tersenyum singkat padaku, lalu sibuk lagi dengan pekerjaan di mejanya. Aku nggak melihat Pak Alex, yang tampak sedang menungguku cuma Bu Yanti dan Bu Kamti…!
“Masuk, Dimas…!” sahut Bu Yanti.
Aku melangkah pelan. Ternyata masih tersisa rasa deg-degan di jantungku. Tapi situasi ini masih bisa kuatasi. Aku duduk, berhadapan dengan kedua guru yang sudah menungguku.
“Kamu yang bernama Dimas?” Bu Kamti bertanya. Wajahnya tetap kelihatan angker bagiku, meski katanya saat ini dia akan membantuku…!
“Betul, Bu…” jawabku.
Bu Kamti menghela nafas dengan ringan dan tenang. Raut tegas di wajahnya masih memberi kesan galak sebagaimana biasanya. Tapi ternyata dia juga bisa tersenyum. Hoohhh… Sedikit membantu mentalku!
“Saya sudah dengar cerita dari Bu Yanti. Hari Jumat, minggu kemarin, Bu Yanti datang ke rumah saya…” ujar Bu Kamti.
Hari Jumat? Berarti sehabis aku ke rumahnya itu, Bu Yanti langsung menemui Bu Kamti kemarin? Aku harus salut… Bu Yanti ternyata memang serius dengan niatnya untuk membantuku!
“Kemudian esoknya, hari Sabtu, saya dan Bu Yanti langsung membicarakannya dengan Pak Alex…” lanjut Bu Kamti dengan serius. “Saya sudah pelajari permasalahannya. Sebenarnya hari Sabtu itu saya ingin mengajak kamu untuk ikut berembug secara langsung. Tapi kamu belum masuk sekolah. Dan kemarin, hari Senin, ternyata kamu juga belum masuk…”
“Iya, Bu. Maaf… Sama dokter saya memang belum diperbolehkan masuk…” jelasku agak sungkan. Ya, memang seharusnya aku belum boleh keluyuran waktu itu. Ke rumah Bu Yanti, ke Sriwedari, ke tempat Bang Togar, naik Vespa! Esoknya sekujur badanku langsung jadi nyeri lagi! Baru hari ini Papa sama Mama memperbolehkan aku mulai masuk sekolah.
“Iya, saya mengerti. Pada dasarnya permasalahan ini sudah kami bicarakan. Dan kami juga sudah mencari solusinya…” lanjut Bu Kamti datar.
Aku menunggu semua penjelasan Bu Kamti dengan seksama. Jantungku rupanya masih berdegup cukup kencang…!
“Menurut saya, Pak Alex memang terlalu berlebihan menyikapi persoalan ini…” tutur Bu Kamti.
Dan segera terbaca kesimpulannya di benakku. Samar-samar aku mulai tersenyum…
“Dari mana kamu tahu soal kode etik itu…?” Bu Kamti tiba-tiba sedikit membelokkan arah pembicaraannya…
“Emmhh… Dari internet, Bu…” jawabku agak ragu.
“Maksud saya, itu terpikir begitu saja waktu kamu mencarinya?”
“Emhhh… Tidak juga… Kebetulan, saya juga sering melihat berita di TV, kadang ada berita guru yang bertindak semena-mena kepada muridnya… Lalu saya pikir, kalau murid punya peraturan, guru tentunya juga punya… jadi seharusnya tak boleh bertindak sewenang-wenang…! Karena saya merasa sedang menghadapi masalah yang sama, saya terpikir untuk mencari tahu soal itu… Lalu saya menemukan tentang Kode Etik itu…” jelasku sedikit gugup.
Perlahan Bu Kamti tersenyum. “Memang ada aturannya. Saya kagum kamu bisa berpikir ke situ…!” timpalnya.
Aku membalas senyum Bu Kamti yang penuh wibawa itu dengan agak rikuh.
“Saya, Bu Yanti, Pak Alex dan Pak Dibyo sudah membicarakannya. Kami rasa, Pak Alex memang terlalu emosional sehingga menabrak aturan-aturan konseling. Dan beliau sudah mengakuinya. Setelah kami berembug, akhirnya beliau bersedia menitipkan penyelesaian masalah ini kepada saya. Saya harap, kamu tidak memperpanjang seandainya kamu pernah merasa sakit hati…” tutur Bu Kamti dengan hati-hati.
Aku mengernyitkan kening mencerna arti tersirat dari ucapan Bu Kamti.
“Jadi…?” ucapku meminta kejelasan.
Bu Kamti mengatur nafas sejenak. “Dimas, saya punya pendapat dan saya juga sudah mengutarakannya pada Pak Alex. Menurut saya, kondisi seseorang seperti keadaan mental, gender, orientasi seksual, itu adalah suatu… katakanlah ‘status’… Orang tidak boleh dihakimi hanya karena berdasarkan statusnya, itu tidak adil. Kamu tidak seharusnya dihakimi hanya karena statusmu adalah laki-laki yang menyukai sesama laki-laki… Perasaan seperti suka atau cinta, itu bukan kejahatan. Tapi bila atas dalih cinta kamu melakukan sesuatu yang merugikan pihak lain… misal saja, perkosaan… maka kamu harus diadili berdasarkan perbuatan itu, bukan ‘cinta’nya atau ‘suka’nya yang diadili. Orang dinilai dari perbuatannya! Setuju?”
Aku mengangguk-angguk, terharu. Couldn’t agree more!
“Jadi kamu bisa mengambil kesimpulannya?” pancing Bu Kamti.
“Saya tahu, Bu. Saya nggak akan melakukan yang macam-macam… Saya mengerti prioritas saya sebagai pelajar. Saya juga sudah berjanji pada ayah saya…” jawabku mantap.
Bu Kamti dan Bu Yanti kelihatan agak terkesiap sehabis mendengar kalimatku.
“Ayah saya juga sudah tahu, Bu. Dan ayah saya tidak melarang. Tapi ayah saya tetap menegaskan kalo saya harus mengutamakan sekolah dulu… Dan saya akan mematuhinya! Saya nggak mau mengecewakan orang tua saya…!” ujarku mantap.
Bu Kamti tersenyum mengangguk, tampak terkesan. Begitu juga Bu Yanti.
“Jatidiri itu proses. Kita tak pernah tahu batasnya sampai kapan. Tapi masa sekolah itu sangat jelas batas waktunya! Ayahmu benar!” tegas Bu Kamti.
“Jadi saya akan mengawasi kamu, Dimas! Saya tidak mau kamu mengecewakan orang tuamu!” Bu Yanti ikut menimpali seraya tersenyum tegas.
Aku tersenyum kecut. Aku jadi ingin bertanya pada Bu Kamti…
“Kalo saya boleh tahu, bagi Bu Kamti apa memang sudah seharusnya bertindak seperti ini? Maksud saya… seorang guru biasanya punya standart moral… Misalnya, agama…? Pak Alex kemarin mencecar saya dengan dasar itu juga… jadi apa menurut Bu Kamti, Pak Alex itu salah…?” tanyaku, sedikit gugup mengurai pertanyaan yang mengganjal di batinku. Karena aku tahu, itu pertanyaan yang sensitif.
Bu Kamti mengernyitkan keningnya. “Jadi kamu merasa kalau sebenarnya kamu salah?”
“Ehmmm… Bukan begitu, Bu…”
“Lantas?”
“Maaf kalo saya lancang. Saya cuma ingin memastikan bahwa pembelaan Bu Kamti pada saya tidak bertentangan dengan hati nurani Ibu…”
Bu Kamti tersenyum lebar terkesan agak geli. “Dimas, saya punya dua alasan untuk keputusan saya. Pertama, alasan formal. Kamu benar bahwa Pak Alex sudah mengabaikan beberapa hal penting dalam tugas konseling, telah terjadi suatu pelanggaran beberapa kode etik. Dan selaku pendidik sekaligus rekan kerja beliau, maka saya punya tanggung jawab untuk meluruskan kembali jalannya roda yang keluar jalur! Dengan begitulah kita menghargai hak siswa dan menempatkan kewenangan guru dalam kapasitas yang semestinya. Itu alasan formalnya…”
Lalu Bu Kamti mengatur nafasnya sejenak dengan tenang. Dia menatapku lebih lekat, dan di dalam matanya sana seolah Bu Kamti sedang menimbang-nimbang sesuatu…
“Alasan saya yang kedua adalah alasan moral…” ucap Bu Kamti kemudian.
Moral…? Perasaanku kembali tegang. Tapi aku siap mendengar apapun…!
“Nak, soal moral orang punya pendapatnya sendiri-sendiri. Bahkan yang seagama pun belum tentu memiliki pendapat yang sama…” Bu Kamti mulai menjelaskannya dengan nada yang terdengar lebih hati-hati. “Membicarakan apakah homoseksual itu benar atau salah, tak akan ada habisnya. Saya rasa, pendapat pribadi saya pun tidak akan memecahkan kontroversi ini. Tapi saya percaya, kalau Tuhan mampu menyatakan kuasa-Nya dalam cara yang istimewa pada setiap orang. Itulah kenapa karakter setiap orang memiliki kelebihan, kekurangan, dan keunikan masing-masing… Saya juga percaya Tuhan bisa berada di hati setiap orang, asalkan hatinya memang mau jujur dan terbuka. Jadi saya anggap itu adalah bagian dari pencarian jatidirimu, selama tidak menabrak hak orang lain maka saya tidak boleh memperkarakan kondisimu itu… Karena saya sendiri faham, bahwa kamu juga punya hak untuk menentukan pilihan hidupmu. Begitulah hati nurani saya bicara…!”
Aku tercengang, berbinar, sekaligus terharu…! Guru yang galak dan reseh ini…??? Baiklah, saya janji, Bu… mulai sekarang saya nggak akan lagi bilang Anda reseh…!
Sebuah pelajaran dari salah satu guru tergalak di sekolah ini. Galak dan bijak ternyata nggak selalu bertentangan…! Setiap orang memang memiliki kelebihan, kekurangan, dan keunikan masing-masing… Itu benar!
Benar salah soal gay? Ya, kapan habisnya? Yang aku tahu perasaanku ini kuat dan jelas…! Apakah orang lain bisa merasakannya lebih kuat dari diriku sendiri…?
Lalu terdengar bel berbunyi. Jam istirahat berakhir…
Bu Kamti menghela nafas, sedikit membenahi kerudungnya. “Baiklah, Dimas. Saya harap kamu ingat kata-kata saya! Di sini kamu adalah siswa sekolah, sama dengan teman-temanmu yang lain. Kamu tahu prioritasmu! Saya tidak akan mengawasi kamu siapa, tapi saya akan mengawasi sikapmu di sekolah! Saya tetap tidak pandang bulu kalau ada yang melanggar tata tertib sekolah!” pesan Bu Kamti dengan senyum tegas.
“Saya juga mengawasimu, Dimas!” susul Bu Yanti dengan senyum mewanti-wanti. Kemudian raut mukanya sedikit berubah, seperti menyesali sesuatu. “Saya sebenarnya ingin dengar bagaimana ayahmu bisa tahu… Itu pasti menarik! Sayang jam istirahat sudah habis… Tapi pokoknya, kalau kamu masih ada ganjalan atau masalah, saya tetap siap untuk bantu!”
“Siap, Bu…!” jawabku sedikit berkelakar. Tersenyum lebar. Lalu aku teringat sesuatu lagi. “Oh iya, Bu… Soal ganti rugi untuk pihak kantin, bagaimana kami menggantinya…”
Kedua guru itu sesaat tersentak.
“Oooo…! Hampir saja lupa…!” sentak Bu Kamti sambil menepuk-nepuk dahinya. “Bukankah kamu sudah diberitahu Denis…?”
“Hahhh…???” kali ini ganti aku yang tersentak!
“Kemarin kami menanyakannya ke pemilik kantin, tapi katanya sodaramu sudah menggantinya. Lalu kami mencari sodaramu yang bernama Denis itu untuk memastikan, ternyata memang benar dia sudah menggantinya. Dia membayar ganti rugi untuk tiga kursi milik kantin yang rusak…” jelas Bu Kamti panjang lebar. “Apa dia tidak cerita ke kamu?”
Aku menggeleng keheranan. “Dia tidak cerita, Bu… Atau mungkin belum…” jawabku ragu.
Berapa sih duitnya Denis? Aku yakin dia pasti mengambil dari tabungan, dan pastinya habis cukup banyak! Kenapa sih dia nggak cerita saja padaku? Kan harusnya patungan! Nggak perlu dia sendiri yang menanggungnya!
“Saya malah nggak nyangka, ternyata kalian tho yang sedang bermasalah… Anak kembar yang dulu pernah menabrak saya!” ceplos Bu Kamti kemudian.
Aku langsung menelan ludah dan tersenyum gugup. Ya ampun…! Ternyata ingatan Bu Kamti tajam juga!!!
“Hehehe… Iya, Bu… Bu Kamti dulu juga pernah menghukum adik saya waktu razia seragam…” jelasku agak segan dan malu.
“Ya, saya juga masih ingat!” cetus Bu Kamti, sekarang wajahnya mulai judes. “Itu sodaramu dihukum masih berani cengengesan! Berani mengerjai saya…!”
Aku tercengang geli. “Berani gimana, Bu…?”
“Anak-anak lain itu pada nunduk semuanya kalau saya marahi. Tapi dia malah ngajak saya ngobrol! Nggak merasa kalau sedang dihukum! Akhirnya saya malah jadi nggak bisa marah…! Saya malah kebablasan ngobrol sama dia…!” gantian uneg-uneg Bu Kamti tumpah…!
Aku menahan tawa. “Dia kalo lagi cerewet memang gitu, Bu… Memang rada menyebalkan…”
“Ya. Salam buat dia ya…!” kelakar Bu Kamti. Bu Kamti becanda nih…?
“Hahaha… Iya, Bu…” sahutku sambil tertawa.
“Ya sudah. Masalah ini sudah kita selesaikan. Pak Alex sudah sepakat untuk membatalkan rencana visitasi itu. Tapi jangan sampai ada ulah lagi seperti di kantin kemarin ya! Peraturan sekolah tetap tidak ada pengecualian!” pesan Bu Yanti memungkasi pembicaraan. “Sekarang kamu bisa kembali ke kelas… Jam istirahat sudah selesai…”
Aku mengangguk dan segera menyalami Bu Kamti serta Bu Yanti. “Terima kasih, Bu…” ucapku sepenuh hati.
“Jangan bikin ulah ya!” pesan Bu Kamti.
“Iya…” pungkasku dengan senyum hormat. Aku segera berdiri dan berpamitan. “Permisi, Bu…”
Bu Kamti dan Bu Yanti mengangguk membalas pamitanku.
Aku beranjak dari kursiku. Aku masih sempat melihat ke ruang Pak Dibyo. Dia cuma mengangguk sekejap padaku, lalu sibuk lagi dengan pekerjaan di mejanya. Aku meneruskan langkah, menuju dan melewati pintu keluar…
Akhirnya… Hati ini sepenuhnya lega…! Masalah-masalah itu telah selesai…! Akhirnya, hari-hariku di sekolah bisa kembali tenang…
Langkahku mengayun bersama denyut yang damai di jantungku. Menggema ringan, sepanjang koridor yang lengang…
Jam istirahat sudah usai dan semua aktivitas telah tersita lagi di dalam ruang kelas. Dan aku sedang menuju ke kelasku saat perhatianku tiba-tiba tercuri…! Kulihat seseorang sedang melakukan sesuatu di salah satu sudut sekolah, di depan papan Mading…
Kuurungkan sejenak niatku untuk kembali ke kelas. Aku bergegas menghampiri anak itu…
“Lagi ngapain?” sapaku pada Anita.
Cewek berambut kriwil itu tampak terkejut menoleh padaku. “Ehhh…! Ooh… Ini baru masang…” sahutnya.
“Diganti ya?”
“Iya. Guru Pembina menyuruhku menggantinya…!” jawab Anita sambil lalu. Sibuk menempelkan materi-materi Mading yang baru.
Aku sudah tahu bagaimana ceritanya. Jadi aku nggak perlu bertanya, karena mungkin ini justru masalah yang sedang sensitif buat Anita. Wartawan Mading yang dibredel tulisannya…!
“Kenapa nggak tadi pas jam istirahat aja?” tanyaku basa-basi.
“Minta dikerubungi anak-anak yang lain?” sahut Anita cuek.
Aku cuma tersenyum. Ya, reputasi Anita mungkin memang lagi jelek di mata orang-orang tertentu. Kayaknya memang sudah dari dulu reputasinya nggak begitu bagus, soalnya kadang dia menulis dengan ‘seenaknya’. Tapi pastinya akhir-akhir ini tambah berat! Terutama di mata orang-orang yang homophobic… Aku kayaknya juga nggak akan kaget kalau habis ini akan muncul isu Anita lesbian… Hahaha… Sorry kalau pikiranku ngelantur…!
“Ini posting terakhirku sebagai pengurus Mading…” gumam Anita.
“Hah? Kenapa?” aku jadi agak kaget.
“Aku diterima jadi wartawan freelance. Majalah remaja, segmen sekolah. Minggu depan aku sudah ikut workshop! Sebenarnya sih aku bisa menjalani dua-duanya, freelance sama Mading. Tapi… sekarang aku tahu kayak gimana piciknya guru-guru pembina Mading ini, jadi aku pilih lepas aja…!” cerita Anita sambil menatap Mading yang telah selesai dikerjakannya.
“Bukannya kamu pernah bilang, Mading ini hal yang kamu cintai di sekolah…?” tanyaku.
“Cepat atau lambat aku pasti juga akan berhenti jadi pengurus Mading, kita kan nggak selamanya sekolah di sini! Yang penting, jiwa dari Mading inilah yang harus tetap aku miliki. Kreatifitas jurnalistik, apapun wadahnya!” cetus Anita dengan nada bangga. Lalu dia ganti memandangiku dengan senyum sedikit kurang ajar. “Seperti kamu, jiwamu menyukai laki-laki. Entah itu Erik, atau yang lain…!”
Hmmm… Sindiran yang kurang ajar! Lalu tiba-tiba dia mendengus seraya menyiba-nyibak rambut kritingnya. Kelihatan kesal…
“Kamu benar, Mas. Bikin tulisan soal homoseksual cuma menimbulkan masalah aja di sini! Nggak peduli maksud kita baik, bagi orang-orang kita tetap salah…!” keluh Anita.
“Aku udah bilang…!” cibirku cuek.
“Sorry ya, Mas…” ucap Anita, yang biarpun singkat tapi aku yakin dia serius dalam mengakui kesalahan. Yaahhh, untuk ukuran ‘Miss Gossip’ seperti dia cukup hebat lah berani mengaku khilaf!
“It’s fine. Kesalahan itu bisa buat belajar juga…” gumamku sambil lalu.
Mataku mulai beralih ke papan Mading. Aku mengamati sekilas isinya yang sebagian telah berubah. Edisi Revisi nih jadinya…!
“Kuganti tema artikel utamanya, jadi Peringatan HUT RI…!” cetus Anita mengomentari tema Madingnya yang baru. “Dan kali ini ada susulan kolom puisi…”
“Kolom puisi?” gumamku.
“Waktu posting minggu kemarin aku udah pasang pengumuman kalo dibutuhkan materi buat kolom puisi. Tapi puisinya baru ada yang ngirim kemarin. Yaahh, mepet sih, tapi belum telat. Dan rada sayang juga, puisinya nggak bertema HUT RI… Tapi gimana lagi, yang ngirim cuma satu orang…!” cerocos Anita.
“Dan kamu langsung pasang sekarang?” gumamku. Mataku jadi tertarik mencari bagian puisi itu. Ingin sekedar membacanya.
Anita menghela nafas dengan lesu. “Ini Mading terakhirku. Untuk pekerjaan terakhir setidaknya aku masih menunjukkan dedikasiku… Aku nggak mau mengecewakan orang yang sudah peduli sama Mading ini…!”
Tanpa bilang apa-apa lagi, Anita mengambil langkah. Dia pergi. Aku ditinggalkan sendiri di sini, dengan mata yang sudah terpaku pada kolom puisi.
Aku mencoba membaca baris-baris puisi yang ada di hadapan mataku. Saat aku merasa mulai meresapi artinya… aku pun terkesiap…! Aku mencerna baris-barisnya, menelaah semuanya, dan aku segera merasakan…
Seperti suatu pertanda yang tersirat…!!!
“Anita, ini siapa yang ngirim…???” tanyaku terlontar, tapi aku segera tersadar kalau Anita sudah pergi…!
Cuma aku sendiri di sini, terpaku dan tercengang…!!!
Aku menatap puisi itu lagi. Membacanya lagi… Meresapinya lagi…! Sekali lagi aku terhenyak, makin terpana… Rasa penasaran ini pun makin menjadi-jadi…!
Benakku mengawang, perasaanku mulai terbawa pada seseorang… Benarkah perasaan ini…?
Mataku segera menengok ke arah lain. Pandanganku menyeberang ke sana, ke sebuah tempat yang agak jauh… sebuah tempat yang penuh kenangan!
Di depan kantin sekolah, di sebuah pohon yang rimbun, dengan bangku beton di bawahnya… Semua terbayang lagi seolah aku kembali ke waktu itu…
Di sana aku mengenalnya…
Lalu semua bergulir makin dalam… antara aku dan dia…
Ya Tuhan, apakah ini tanda darinya…?
Bersambung...