RSS

Keranjang 52



Keranjang 52
I Have A Family


Teman-temanku udah pada pulang. Ben, Erik, Misha… Sekarang tinggal aku berdua sama Denis. Di dapur yang senyap dan agak remang, kami sedang mencuci gelas yang tadi dipakai buat minum. Sisa malam yang terasa teduh. Tapi Papa dan Mama masih belum pulang juga.

Tadi waktu masih ada teman-teman yang lain, jarak antara aku dan Denis rasanya bisa cair lagi setelah sebelumnya aku marahan dengannya. Tadi kami sudah terasa akrab lagi. Tapi sekarang, saat tinggal kami berdua saja satu ruangan, rasanya jadi canggung lagi… Entahlah, aku merasa kalau Denis masih belum melepas semua beban yang mengganjal di antara kami. Belum semuanya.

Aku meliriknya dengan perasaan agak segan. “Dari tadi kamu kebanyakan diam aja…?” gumamku.

“Nggak papa…” jawab Denis juga menggumam. Ya, nggak apa-apa… dan nggak jelas!

Kuletakkan gelas di tanganku. Aku duduk di kursi, memandangi Denis yang masih sibuk di wastafel tempat nyuci. Aku rasa aku memang harus memulai lebih dulu, secara lebih sungguh-sungguh buat minta maaf padanya… mungkin juga dengan kata-kata yang lebih lugas.

“Sorry ya… Aku kemarin marah sama kamu…” ucapku pelan.

“Harusnya gue yang minta maaf…” balas Denis dingin.

“Nggak, kamu kan cuma bermaksud belain aku… Aku sadar itu…”

“Tapi malah bikin semuanya tambah kacau…”

“Bukan berarti aku harus marah dan nyalahin kamu. Si Geri yang udah keterlaluan. Hhhh… Dari awal memang udah kacau…” desahku seraya menghela nafas.

Tapi syukurlah kalau Denis sendiri juga terbuka buat mengakui kekhilafannya. Pada dasarnya aku memang udah maafin dia. Dan aku juga ingin dia maafin aku. Karena aku sendirilah yang sebenarnya banyak merepotkan dia… hingga dia sampai harus berkelahi…

Denis merapikan gelas-gelas itu. Lalu dia berdiri menyandar ke dinding. Matanya mengawang jauh. Wajah yang sangat letih…

Semua memang melelahkan.

“Kamu hari ini nggak masuk sekolah kan? Kemana aja?” singgungku pelan.

“Huhhh… Nggak jelas, gue sendiri juga nggak mau mengingat-ingat kemana aja seharian tadi. Yang penting gue bisa jauhin sekolah, soalnya kalo sampai lihat si Geri pasti gue akan hajar dia habis-habisan! Gue tahu lu nggak cuma kecelakaan waktu itu, tapi sebelumnya juga dikeroyok sama gerombolan anak itu! Tapi kalo gue berkelahi lagi, masalah lu akan tambah panjang kan…? Mending gue menghindar… Jangan sampai lihat muka dia!” desah Denis tajam. Tampak menahan geram sekaligus begitu serba salah.

Aku sampai miris dan pahit mendengarnya. “Kamu tahu dari mana…?” tanyaku lirih.

“Lu pasti bisa jawab sendiri lah… Lu dikeroyok ada yang pada lihat kan? Kejadian kayak gitu nggak mungkin nggak nyebar. Jelas diomongin di sekolah. Makanya gue lebih baik menghindar…! Bukannya gue nggak mau belain elu, tapi gue nggak mau nambahin masalah lu lagi…”

Aku terdiam mendengarkan kata-kata Denis. Selama ini aku dan dia berbagi buah simalakama… Dilema. Serba salah. Dan aku benar-benar terharu hingga nggak bisa berkata apa-apa lagi, mendengar beban batin yang ikut ditanggung Denis demi aku…

“Kenapa lu nggak cerita ke gue?” desah Denis.

“Aku nggak pernah berharap seorang pun tahu… Meski aku tahu, nggak mungkin aku terus menutupinya… Aku juga bingung…” ucapku lirih.

Denis menghela nafas dengan lesu. “Tapi sekarang masalah lu sama Geri udah selesai kan…?”

Aku sedikit terkejut. Denis dengar dari…???

“Tadi Ben udah cerita ke gue…” gumam Denis.

“Waktu di kamar tadi…?”

Denis mengangguk.

“Begitulah. Sekarang tinggal masalah sama BP. Masalah sama Pak Alex itu!” desahku lesu.

Raut muka Denis masih kelihatan canggung dan gelisah. Dan sepertinya semakin berat saja dia menanggung sesuatu… Entah apa. Aku jadi ikut terganjal, tapi… aku juga agak rikuh kalau harus memaksa dia bercerita… Kami sama-sama lelah. Apa sebaiknya aku tunggu saja sampai dia menceritakannya sendiri…?

“Mas…” bisik Denis dengan mata yang mengawang tampak risau.

“Apa?”

“Lu masih suka nulis diary…?”

Aku agak tertegun dan heran dengan pertanyaan Denis.

“Udah telanjur kecolongan, jadi nggak ada mood buat nerusin…” jawabku juga agak canggung. Otomatis aku udah nyindir dia.

“Gara-gara gue ya…?”

Aku tertawa masam. Aku tahu aku sudah menyindirnya, tapi bagiku sebenarnya itu juga soal lalu yang sudah kumaafkan setulus-tulusnya… mengingat Denis adalah sodara yang selalu berushaa menerimaku apa adanya.

“Sebenarnya diary itu kan cuma pelampiasanku aja… Dulu nggak ada teman buat curhat, jadi aku bikin teman sendiri yang bisa aku pakai buat curhat. Yaahhh, diary itu… buat menuliskan semua hal yang sedang aku jalani, aku alami, aku rasakan… Begitu ada orang lain yang ikut baca, nggak tahu kenapa rasanya aku jadi nggak mood lagi buat nerusin. Tapi sejak itu juga, aku jadi tahu hal yang lebih penting!”

“Apa…?”

Aku pun tersenyum lepas saat membayangkannya lagi. “Diary itu memang teman yang akan selalu menerima curhat kita, apa saja dan kapan saja. Tapi diary cuma bisa tahu, dia nggak pernah bisa menjawab kalo kita minta nasehat, solusi atau kritik… Sebenarnya diary itu cuma tong sampah yang cantik aja…” jelasku haru.

Sesaat kami berdua terdiam…

“Aku pernah mau menulis lagi…” lanjutku agak tersipu. “Tapi… akhirnya aku malah bingung dan merasa aneh sendiri… Aku kan udah ada kamu, ada Ben, Misha… Fandy…” aku menyebut nama terakhir seraya melepas senyum pahit. “Kalianlah tempat berbagi yang sesungguhnya, manis ataupun pahit… Dengan kelebihan dan kekurangan, kalian adalah tempat berbagi yang lebih sempurna bagiku…”

Denis menatapku dengan muram. Sorot matanya masih terlihat risau, penuh keraguan. Lama-lama aku mulai nggak bisa menahan diri melihat raut wajahnya yang resah itu…

“Kenapa sih?” tanyaku menjadi terbeban.

“Diary itu lu hapus…?” tanya Denis ragu-ragu.

“Nggak lah…! Gimana-gimana juga, itu kenang-kenangan. Nggak perlu dihapus. Kenapa sih memangnya?” kulikku, mengernyitkan kening makin bingung.

Kalut di wajah Denis kelihatan tambah jelas, aku pun semakin resah dan curiga…!

“Ada apa sih? Kayaknya kamu masih menyimpan beban gitu…?” desakku penasaran.

“Mas…” suara Denis pelan dan agak gemetar. “Hari ini… lu buka situs gay di laptop…?”

Aku tercekat seketika. Perasaanku sekonyong-konyong ikut terseret oleh ketegangan yang makin besar! Firasatku langsung bergumul dengan tanda-tanda yang sangat mengkhawatirkan hatiku…!

“Forum… ya, forum gay… Cuma forum…” ucapku ragu dan gagu. Mataku nanar menatap Denis, berharap semoga nggak ada apa-apa sehubungan dengan pertanyaannya itu!

Denis melesahkan nafas dan tertunduk.

“Ada apa, bilang?!” sentakku di ujung kecemasan dan takut…

“Lu pasti nggak bersihin history-nya ya…? Tadi laptop Papa rusak. Papa pakai
laptop lu di kamar… Dan kayaknya… Papa ngecek history di browser lu…”

DEGGG…!!!

Beberapa saat lamanya aku ternganga. Jantungku serasa meluncur ke suatu tempat yang curam dalam dadaku…

“App…?” aku tergugup… suaraku tercekat!

“Papa tahu, Mas…” ucap Denis parau. “Tadi Papa langsung tanya ke gue… Papa tanya… siapa yang buka situs gay…?”

Aku terpana hampir tak percaya… Terpaku menatap wajah Denis yang dilema…

“Kamu jawab apa…?” tanyaku lirih dan terbata…

“Menurut lu… gue musti jawab gimana…?” balas Denis gagu…

Semua sudut langit-langit seperti melesat… mengatup, menusuk kepalaku…! Pandanganku rasanya langsung mau melayang… Gundah ini rasanya seperti mau kiamat…! Marasuk hingga melunglaikan semua dayaku…!

“KAMU JAWAB APAA?!!” seruku panik, tanpa sanggup berdiri dari tempat dudukku…!

Denis menatap nanar padaku. “Sorry, Mas… Gue terpaksa harus jujur ke Papa…”

Ya Tuhannn…

Aku kehilangan kata-kata. Aku meringkuk di atas kursiku, menggigit kepalan tanganku erat-erat di bibirku… Dadaku gemetar! Ya Tuhan… ini akhirnya terjadi…! Dayaku rasanya sirna semuanya… Aku seperti mau kehilangan kesadaranku dan nggak tahu harus bagaimana setelah mendengar semua ini…!

Mataku mulai perih. Ya Tuhan… apa yang sedang kuhadapi ini…?!!

“Papa juga baca diaryku…?” racauku sesak…

“Gue nggak tahu… Habis gue jelasin, Papa ke kamar lu lagi… Lama. Gue nggak berani nyusul… Mungkin Papa periksa semua yang ada di kamar lu… Apa aja yang masih lu simpan…?” suara Denis parau dan terbata-bata…

“Nggak ada yang macam-macam… Aku udah bersihin semuanya… Diaryku masih ada tapi aku udah ganti passwordnya… Papa nggak mungkin buka…” racauku kalut dan panik. “TAPI KENAPA KAMU HARUS BILANG…?!!”

Denis makin nanar menatapku…

“Papa punya bukti, Mas… Papa nggak bisa dibohongi…!!!”

Ya Tuhan…!!! Keteledoran sebesar apa yang sudah kubuat…?!!

Semua keceriaan yang sempat kualami malam ini rupanya cuma hiburan sesaat, sebelum aku harus menghadapi kenyataan besar ini…! Lebih besar… Sesuatu yang selama ini selalu aku takutkan…!

Keluarga ini nggak akan pernah sama lagi…! Ada orang tua yang baru saja tahu kalau anaknya gay…!!!

Aku lunglai di tempat dudukku, mendekap dan meremas bahuku, menahan ketakutan yang begitu perih mencabik-cabik batinku… Air mata tumpah tanpa suara…!

Semuanya hening. Cuma tetes-tetes air yang jatuh dari mulut kran wastafel yang terdengar begitu nyaring, seperti detik-detik yang angkuh menggiring ketakutanku… Aku dan Denis cuma sanggup membisu…

Hingga kemudian…

Suara mobil sayup-sayup terdengar… Makin jelas, tepat di depan rumah…

“Papa sama Mama pulang…” cekat Denis lirih…

Kutahan nafasku yang rasanya ingin pecah di dada. Kegentaran terbesar dalam hidupku benar-benar telah terjadi saat ini!

BRAAAKKK!!! Tanganku memukul meja dengan keras… Mataku menahan tangis yang terasa panas di wajahku…!

“Mas…” bisik Denis lirih. “Maaf… gue nggak bisa bohongin Papa… Tapi gue mohon, lu jangan takut…”

Aku menatap Denis, wajah nanar kami bertemu. Aku melihat matanya yang ikut memerah. Tapi… perlahan senyumnya mulai mengembang. Tipis, sayu… dan tegar…

“Semua nggak seperti yang kita takuti…” bisik Denis bersama senyum rapuhnya.

Aku masih terdiam sejuta kata menatapnya, berusaha mengunci geram dalam kebisuan… Semua di dalam batinku telah terasa hancur… Apa lagi yang bisa menghiburku sekarang…?

Aku memejam membendung air mata yang kian sulit kutahan, berharap semua ini bukan kenyataan…!

“Lho… Pada di sini…?” tiba-tiba suara Papa terdengar menyapa di belakangku.

Segera kuusap mataku. Kuusap wajah basahku tanpa sedikitpun menoleh ke belakang. Jangan sampai Papa melihat seperti apa raut wajahku saat ini, biarpun dia mungkin bisa menduga…! 

“Mama beli nasi goreng spesial! Denis sama Dimas bantuin bawa piring-piring ke meja makan…!” suara Mama yang nyaring itu kemudian ikut menyusul, menyeruak meramaikan dapur.

Denis beranjak dari hadapanku. Dia masih sempat meninggalkan senyumnya padaku, senyum letih itu… Letih, tapi… kenapa begitu damai…? Kenapa…??? Kenapa masih memberiku teka-teki setelah ini semua…?!!

Aku terpaku tanpa berani berbuat apapun, meski hanya untuk sekedar menoleh kepada Papa ataupun Mama…

“Dimas ayo, kok diam aja…?” suara Papa itu mengajakku…

Suara sejuk itu… mengajakku…?

Di kala kebimbangan dan ketakutan besar ini menelanku, sesaat sesuatu seperti mendorongku… untuk perlahan mulai memberanikan diri…

Menoleh kepada mereka…

Mama, Denis… yang sibuk membawa piring-piring… Dan Papa yang tersenyum padaku…

“Ayo dong, gabung…!” ajak Papa lagi.

Aku harus mempercayai semua yang kulihat dan kudengar ini…?

Kekuatan kecil ini pun mengedip kian terang dalam hatiku… Aku takut, tapi bagaimana mungkin aku ingin kehilangan mereka…???

Perlahan aku mulai berdiri dari dudukku… Meski ragu, akhirnya kaki ini melangkah juga, membawaku mengikuti mereka…

Aku duduk di depan meja makan, di hadapan Papa, Mama dan Denis. Aku tetap belum mampu memiliki kata-kata sepatahpun di bibirku…

“Ada nasi goreng tuna, kekian, roll udang, puding…” Mama menyebut menu-menu di meja dengan bersemangat…

“Ma…” sela Denis. “Kita kan jarang makan bareng. Kalo ada kesempatan kayak sekarang… kenapa nggak doa bareng aja sekalian…?”

Semua mata menatap Denis…

“Doa bareng? Ya nggak apa-apa…” ujar Mama dengan tawa kecil.

“Anak paling tua yang mimpin doa…” cetus Papa sambil tersenyum menopangkan tangannya di dagu.

Dan kini giliran semua mata memandangiku…

Hatiku tergetar keras…!

“Bukannya… lebih bagus kalo orang tua yang mimpin…?” kelitku, dengan gugup dan berusaha mengalihkan wajahku dari mereka.

“Di hadapan Tuhan semua orang sama…” ujar Papa datar. “Ada yang miskin, kaya, baik, jahat… ada karakter yang unik… tapi hakekatnya tetap sama…”

“Papa malah khotbah ih…!” sindir Mama sambil menata piring-piring di atas meja.

“Kalo gitu kenapa musti aku…?” aku masih terus berkelit…

“Siapa setuju?” Papa malah melontarkan tawaran.

“Setuju, Dimas aja…!” sahut Denis.

“Iya, Dimas aja…!” susul Mama sambil menelan tawa.

“Demokratis kan?! Papa juga setuju…!” ucap Papa dengan senyum mengembang.

Aku tercenung nanar menatap meja, masih bingung apakah aku harus percaya ini semua nyata…

“Ayo, Dimas pimpin doa dong…!” desak Mama.

Lalu semua mulai memejamkan mata. Cuma aku yang masih membuka mataku untuk memandangi mereka satu-persatu. Papa, Mama, Denis… Keluargaku, orang-orang yang aku sayangi…

Akhirnya dengan gemetar telapak tanganku mulai merapat di atas meja. Aku kian tertunduk…

Menahan haru…

Pejaman mataku mendesak air mata untuk keluar lagi. Siapa yang melihat jatuhnya air mata ini, membasahi jari-jariku yang erat terlipat? Jangan, sebaiknya jangan ada seorangpun yang melihatnya…

Karena bukankah ini saatnya untuk mengucap syukur…?

Doaku pun, perlahan mulai terucap…

Untuk semuanya, termasuk air mata ini…

“Tuhan… Terima kasih…”

Terima kasih untuk keluarga ini…

Ya Tuhan… aku sayang mereka…!






Bersambung...
0 komentar

Posted in

Posting Komentar