Keranjang 22 - 23
Keranjang 22
Kembali Ke Sekolah
Tahun ajaran baru di sekolah sudah dimulai. Hari ini adalah hari
pertama masuk. Dan hari ini juga bakal jadi hari yang ‘berat’. Kenapa? Lihat saja nanti…!
Denis tidak jadi berangkat ke Medan, dia memutuskan untuk kembali ke rumahnya di Solo dan bersekolah bersamaku di sekolahan yang sama.
Aku memarkir motorku. Berulang kali kumantapkan dalam hati… “Siap mental, siap mental…!”
Lalu, whiuuuu… Semilir angin pagi membelai wajahku saat kulepas
helmku… Atmosfer pagi di tengah suasana sekolah, yang cukup kurindukan…
tapi juga bikin aku gamang…!
“Ngantuk gue bonceng elu, lelet banget!” tukas Denis yang juga baru membuka helmnya.
“Cerewet! Aku lagi punya beban mental tahu nggak?!” tukasku.
“Napa beban mental segala…?”
“Ya jelas lah! Kita pasti jadi pusat perhatian! Kemarin aku sekolah nggak pernah bawa kembaran, sekarang tiba-tiba bawa kamu…!”
“Ooo, jadi gara-gara kembar elu nganggap gue beban ya? Lebih beban di gue, punya sodara kembar gay…”
“Eh anjrittt! Bilang jujur aja kalo kamu malu…!” tukasku emosi.
“Lu juga jujur aja kalo malu bawa gue!”
“Aku nggak malu ya! Aku cuma nggak nyaman kalo nanti jadi pusat perhatian!”
“Cuek aja kenapa…?!”
“Kamu bisa cuek! Kamu nggak kenal mereka!” umpatku dongkol sambil menggeloyor.
“Justru karena lu udah kenal mereka, harusnya lu bisa lebih nyantai!” Denis masih membalas.
Pagi-pagi udah ribut! Mending jalan, apapun yang
terjadi harus dihadapi…! Toh kalau dipikir-pikir… aku sendiri senang
Denis sekarang tinggal di Solo. Dan kami bersekolah di sekolah yang
sama, itu mungkin juga pilihan paling logis. Beginilah konsekuensinya!
Sepanjang jalan menuju ke kelas, orang-orang menujukan
matanya pada kami berdua! Memandangi dengan ekspresi… campuran kaget,
heran, ada juga yang tertawa! Denis sih kelihatan nyantai, dia memang
serba cuek, ada anjing lewat terus kencing di kakinya aja mungkin juga
bakal cuek! Aku yang serba rikuh!
Ribetnya jadi anak kembar ‘dadakan’!
Ahh, daripada ribet sendiri soal Denis dan respon orang-orang,
mending aku memikirkan hal lain saja! Setidaknya di tahun ajaran baru
ini ada tiga hal yang menarik untuk diperhatikan…!
Pertama, kelas baru! Tentu saja aku penasaran, siapa saja yang bakal
jadi temanku di kelas baru ini. Di kelas satu kemarin aku memang nggak
begitu banyak bergaul, karena teman-teman sekelasku kurang asyik.
Rata-rata anaknya serius, aku sendiri juga rada sombong sih… kuakui kok.
Semoga di kelas baru ini suasananya akan jauh lebih menyenangkan.
Yang kedua, aku masuk ke kelas IPS! Itu artinya: bye Fisika, bye
Kimia…! Matematika? Sialnya, yang satu itu masih! But overall, it will
be much better!
Yang ketiga… MURID-MURID BARU…! Sambil jalan aku
melihati murid-murid baru kelas satu yang berseliweran. Mereka masih
memakai seragam SMP…! Mereka masih diharuskan memakai seragam SMP selama
tiga hari, yaitu selama MOS (Masa Orientasi Sekolah) berlangsung. Waktu
aku baru masuk kelas satu dulu juga begitu. Lucu juga melihat mereka…
Perbedaan penampilan yang mencolok banget! Anak-anak putih-biru di
lingkungan putih-abu-abu, anak-anak bercelana pendek di lingkungan
celana panjang. Nggak berhenti aku memandangi mereka… Terutama yang
cowok! Pastinya…!
BRUUKKKK…!!!
“Aduh…!” sentakku kaget. Saking sibuknya memperhatikan murid-murid
baru itu, tanpa sengaja aku menabrak seorang guru… Dan… Ooo my GOD…!!!
Aku terpaku di tempatku, gugup seketika…
“Jalan jangan sambil melamun…!!!” Bu Guru itu langsung menjewerku sambil melotot.
“Iya iya, Bu… Maaf…!” ucapku gugup.
“Hahaha…” Denis ketawa.
Bu Guru itu langsung ganti menoleh ke Denis dan tambah melotot. Denis
langsung bungkam sejuta suara… Tapi selanjutnya Bu Guru itu malah
kelihatan bingung. Dia memandangi aku dan Denis bergantian dengan
ekspresi kaget. Baru tahu kan Bu Guru ini, dua mahluk yang ada
di depannya ini kembar…!
Tapi dengan jaim Bu Guru itu langsung meneruskan langkahnya lagi,
tanpa meninggalkan komentar apa-apa. Tapi memang lebih baik begitu!
Males banget kalau harus dengar Bu Guru itu berkomentar, apalagi
tanya-tanya soal aku dan sodara kembarku ini!
“Jutek amat tuh Bu Guru…?” Denis baru berkomentar begitu Bu Guru tadi sudah pergi.
“Hati-hati ya kalo sama dia!” aku ngasih peringatan ke Denis. “Itu Bu
Sri Kamtini, dia guru BP paling galak di sini! Kalo udah marah,
suaranya bisa lebih keras dari mercon…! Jangan cari masalah sama dia…!”
“Mas, anterin gue cari kelas ya. Gue kan belum tahu tempat-tempatnya.
Sekalian kalo ada yang nanya-nanya soal kita bisa elu jelasin, mending
sekalian aja biar pada tahu daripada ribet di belakang…!” gumam Denis
sambil jalan.
“Kenapa musti aku yang jelasin? Kalo yang ditanya kamu ya kamu yang jawab!” tukasku. Enak aja aku yang disuruh jelasin…!
“Kan gue anak baru di sini?! Elu dong yang harusnya kenalin gue ke temen-temen lu di sini…!” kilah Denis.
“Ahh, ribet! Penting amat ngenalin kamu ke teman-temanku?! Aku cuma
ngantar aja, kalo kamu yang ditanya-tanya, kamu yang jawab!” balasku.
Aku mengantar Denis ke bagian kelas IPA. Jatah kelas diumumkan di
selembar kertas yang ditempel di tiap pintu ruang kelas. Nama yang
tercantum di situ, berarti menempati ruang kelas itu. Dan ini bikin
repot juga! Tiap siswa harus membaca lembar pengumuman dari pintu ke
pintu, kertasnya cuma selembar tapi yang baca berjubal!
Aku sama Denis sudah mampir ke beberapa kelas. Dan yang aku kuatirkan
memang benar! Harus sabar tiap kali dilihati anak-anak
lainnya, dengan muka mereka yang heran, kaget, dan kadang kelihatan aneh
saat menatap kami berdua! Ujung-ujungnya aku harus menjawab
pertanyaan-pertanyaan mereka…
“Lho, kalian kok mirip? Sodara ya?”
“Iya.”
“Baru pindah ya?”
“Iya.”
“Kalian kembar ya?”
“Iya.”
Males banget ngasih jawaban yang panjang-panjang! Soalnya
pertanyaannya ya cuma itu-itu aja dan diulang-ulang dari mulut ke mulut!
Cuma jawab, “Iya, iya, dan iya…”, gitu aja capek minta ampun!!! Kuping
capek dengerin pertanyaan yang sama diulang-ulang, mulut capek ngasih
jawaban yang sama diulang-ulang juga, mata capek menghindari
pandangan-pandangan mereka yang… Capek jelasin!
“Kelas gue di sini, Mas…” akhirnya Denis menemukan kelasnya. Dia
dapat jatah kelas 2 IPA F.
“Ya udah. Kalo gitu aku tinggal ya! Kamu cari teman aja sana! Paling cewek-cewek demen sama kamu…” cetusku.
“Ya udah. Elu cari kelas lu sendiri ya. Cari temen juga, paling cowok-cowok demen sama elu…” celetuk Denis.
Rarasanya pingin jitak tuh anak! Berani ngeledek aku kayak gitu di
depan keramaian! Untung aja dia ngomong pelan, jadi nggak kedengaran
anak-anak lainnya.
Giliranku cari ruang kelasku. Aku menuju ke bagian kelas IPS. Aku
membaca lembar pengumuman yang ada di pintu kelas 2 IPS A. Meneliti
nama-nama yang tercantum di situ, dan…
Ketemu!
Wah, untung! Nggak perlu capek-capek nyamperin kelas lainnya. Udah
ketemu di sini. Kelasku 2 IPS A. Tapi… Aku baca nama-nama teman
sekelasku, cuma sedikit nama yang kukenal. Hmmm… Tapi juga bukan masalah
besar sih. Siapa tahu malah orang-orangnya lebih asyik! Lihat saja
nanti. Yang penting optimis saja!
Aku langsung masuk ke ruang kelas. Cari tempat duduk. Aku mencari
kursi kosong di deretan agak depan. Males duduk di deretan belakang!
Deretan belakang itu biasanya tempat favorit anak-anak bandel, kalau
bukan tukang tidur atau tukang ngemil, ya tukang mantengin gambar porno.
Makanya deretan belakang itu seringnya jorok. Waktu kelas satu aku
sempat duduk di deret belakang, jadi tahu kebiasaan anak-anak yang suka
duduk di deret belakang. Dan aku kapok!
Kutaruh tasku di laci meja yang telah kupilih, deret nomor dua dari
depan. Aku duduk mengamati ruang kelasku sebentar. Lalu sekilas melihat
teman-teman baruku yang sebagian sedang ngobrol di dalam kelas. Hmmm…
Suasananya memang terasa baru. Semoga lebih menyenangkan. Semoga aku
juga bisa belajar dengan tenang di sini, nggak ketemu ganjalan gara-gara
berita yang sempat menyebar waktu di Bali kemarin. Berita soal aku sama
Erik itu… Itu salah satu harapanku, di kelas baru ini.
Baru manyun sendirian di tempat dudukku, tiba-tiba terdengar suara pengumuman dari megaphone…
“Anak-anak, limabelas menit lagi upacara pembukaan tahun ajaran
baru 2009/2010 akan dimulai. Untuk itu dimohon segera mempersiapkan diri
berbaris di lapangan sesuai dengan kelas masing-masing. Untuk siswa
kelas satu, supaya menempatkan barisan di deret sebelah timur dan diatur
sesuai kelas masing-masing…” bla bla bla…
Satu lagi acara yang bakal ngebosenin. Upacara
pembukaan tahun ajaran baru yang pasti akan diisi ceramah puanjaaaang
dari Kepala Sekolah. Apalagi panas-panas gini! Bikin males! Tapi mau
bolos upacara, kalau ketahuan guru yang suka menggeledah ruang kelas,
ujung-ujungnya malah kena kasus. Hari pertama masuk, masa udah bikin
kasus?! Apalagi kalau ketahuan sama Bu Sri Kamtini…?
Terpaksa. Hijrah ke lapangan…!!!
***
Keranjang 23
Insiden Kecil
Habis upacara, terus rapat kelas sama wali kelas. Upacaranya lama. Rapat kelasnya ngalor-ngidul. Memang harus
diakui, wali kelasku yang baru ini cantik! Bu Suyanti, guru Bahasa
Inggris. Tapi mau cantik kayak Luna Maya juga, aku kan nggak tertarik
sama cewek…! Jadi ya nggak ngefek buat aku…!
Ceritanya, hari ini masih difokuskan buat menyusun organisasi kelas.
Menyebalkan! Lagi-lagi aku dijadikan Seksi Literatur, tukang catat di
papan tulis kalau ada materi pelajaran dari guru. Alasannya klise:
tulisanku bagus! Ya memang bagus! Tapi kalau ujung-ujungnya cuma buat
memilih aku jadi Seksi Literatur, mending bilang tulisanku jelek aja
deh… Jadi kayak disuap!
Tapi lega sekarang, acara-acara membosankan itu sudah selesai. Dan
hari ini juga nggak diisi pelajaran. Jadi sekarang… aku
nongkrong-nongkrong di bangku di depan taman kelas. Menonton anak-anak
kelas satu diplonco sama senior di lapangan…
Anak-anak kelas satu itu sedang digojlok PBB, Peraturan Baris
Berbaris. Udah kepanasan, masih dibentak-bentak. Salah sedikit
dihukum. Sedangkan para senior cuma dengan alasan capek bisa duduk-duduk
di tempat yang teduh sambil minum-minum. Kasihan, tapi lucu juga…!
Kalau melihat cowok-cowok kelas satu yang kebanyakan masih culun itu,
dibentak-bentak, dipanasin di lapangan, pikiranku jadi nyasar… Udah
culun, muka ketakutan, celana pendek, keringetan, disuruh-suruh plus
dibentak-bentak… Apalagi nggak sedikit anak kelas satu itu yang mukanya
lumayan cakep.
“Kelas lu mana?” tiba-tiba Denis sudah menyusul di sebelahku.
“Itu, IPS A…” jawabku sambil menunjuk ruang kelasku. “Kamu ngapain nyusul aku ke sini? Nggak dapat teman?”
“Dapat lah! Udah ngobrol-ngobrol malah, tapi masih banyak yang jaim sih…”
“Kamu kali yang jaim? Anak barunya kan kamu, harusnya kamu yang lebih open…”
“Lha, elu juga ngapain sendirian di sini? Elu kali yang nggak dapet temen?!”
“Kalo aku sih udah biasa… Ada yang nyamperin ya aku temenin, kalo nggak ya sendiri aja… Nyantai.”
“Kalo gitu caranya ya elu susah dapet temen lah…!”
“Ya gimana lagi…” gumamku pelan. Pikiranku kali ini jadi terasa
pesimis lagi. “Kayaknya aku udah dapat stigma jelek gara-gara kejadian
di Bali kemarin… Nanti kalo aku terlalu maksa buat cari teman, takutnya
malah disangka yang enggak-enggak… Mending aku nyantai aja, biar nggak
tambah ribet…”
“Aahhh, nggak semua orang juga kali yang mandang elu negatip…! Kalo
gitu caranya, malah elu sendiri yang mikir negatip ke orang lain kan…?”
balas Denis.
Aku jadi berpikir lagi. Iya… Benar juga yang dibilang Denis. Yaahhh…
Selama ini aku memang kurang terbuka buat bergaul, dan sekarang malah di
antara anak-anak satu sekolah telanjur tersebar fakta soal masalah
pribadiku… Soal aku dan Erik… Aku sebenarnya pingin lebih terbuka, tapi
jadi serba salah juga…
“Tadi gue sempat ngobrol sama Erik lho… Tapi habis rapat kelas dia langsung cabut. Ikut panitia MOS dia…”
“Haahhh…?!! Kamu sekelas sama Erik…???” aku langsung kaget.
“Iya. Napa? Ngiri ya…?” ledek Denis.
“Nggak!” aku langsung ngeles. “Aku udah putus sama dia!”
“Weee… Emang kapan lu jadian sama dia? Bukannya lu ditolak?”
“Maksudku udah putus harapan! Udah nggak ngarep!” tukasku kesal.
“Sumpahhh…???” Denis cengar-cengir tambah ngeledek. “Tadi dia nanyain elu…”
“Nggak percaya!”
“Bener kok! Gue bilang elu habis sakit. Gue ceritain elu sempat kabur gara-gara mau dikerokin…”
“Haaaa…?!! Kamu ceritain sampe segitunya…?!! Aahhhh… gila!!! Sengaja
malu-maluin aku…?!!” tukasku langsung menjitak kepala Denis. Sial…!
“Habisnya dia nanyain kabar elu…! Ya gue kasih berita up to date soal elu lahhh… Dia juga nitip salam tadi…!”
“Alahhh…! Salam apaan?!! Basa-basi…! Daripada mentok ngarepin dia,
aku mending cari target baru! Tuh… anak-anak kelas satu, masih seger..!”
cetusku dengan pede.
“Astagaaa… Mau cari yunior lu?! Buseeettt…!” Denis melihati aku dengan senyum aneh.
“Emang kenapa kalo sama yunior? Asal cakep, nggak sengak, nggak gila eksis kayak si Erik…” sungutku pelan.
“Oooh… Jadi sekarang lu ngatain dia gila eksis? Dulu ngejar-ngejar, sekarang ngata-ngatain gitu? Nggak baik itu, Mas…!”
“Nggak juga. Awalnya memang aku suka dia populer di sekolah! Tapi
kayaknya justru itu yang lama-lama bikin gengsinya jadi gede! Dengar
komentar miring dikit aja langsung sensi dia. Aku lebih suka kalo dia
itu low profile aja… Tapi ya gimana lagi…? Hampir tiap klub di sekolah
dia ikut. Klub musik, klub basket, klub fotografi, klub naik gunung,
OSIS, dilahap semuanya!” aku nyerocos, uneg-uneg soal Erik tumpah.
“Hmmm… Ya kalo gue punya hobi, terus di sekolah ada klubnya semua, ya
pasti gue ikutin semua. Nggak ada salahnya kan kalo memang hobinya
itu…?” Denis masih mencoba menyanggahku.
“Haha… Kamu belum pernah lihat Erik main basket sih! Aku ngelihat dia
main basket hampir nggak bisa bedain sama main voli! Aku juga pernah
komentar langsung sih di depan dia, dan waktu itu aku masih suka sama
dia. Terus dia bilang apa coba…?”
“Apa?”
“Dia nggak bilang apa-apa. Cuma ngasih senyum sengak aja!”
“Ya mungkin dia baru belajar kali, terus elu malah ngasih komentar
asal jeplak aja! Mending lah dia mau belajar basket, kan keren?!
Daripada elu, dari dulu olah raganya cuma kasti aja… Jaman sekarang mana
ada anak SMA main kasti…?!”
“Eh, kamu kok kayaknya jadi ngebelain Erik banget?! Jangan-jangan
sekarang ganti kamu yang suka sama dia…?!” semprotku, langsung nuduh!
“Anjrit…! Lu jangan main fitnah ya! Gue cuma ngerasa kalo Erik tuh
asyik-asyik aja anaknya…! Elu aja yang kesannya jadi benci gitu sama
dia! Itu bukan karena dia udah nolak elu kan?”
“Aku nggak benci! Aku cuma udah nggak ngarep aja…!” balasku agak sengit. “Lagian ngapain kamu ungkit-ungkit soal dia?!” tukasku kesal.
“Gue cuma ngerasa sayang aja, kenapa sih hubungan kalian jadi jelek
gini? Kalo dia nolak elu kan itu haknya dia? Tapi apa terus kalian nggak
bisa jadi temen lagi? Ya paling enggak, lu jangan jadi serba sinis gini
dong sama dia…!” desah Denis.
Aku diam. Sebenarnya aku maklum Denis bicara seperti itu, dia
memang belum tahu semuanya. Dulu yang aku ceritain ke Denis cuma… soal
Erik yang sudah nolak aku… Aku nggak cerita soal tindakan Erik, yang
membocorkan identitas gay-ku ke anak-anak lainnya. Yang Denis tahu…
identitasku itu tersebar karena ada yang menguping omonganku sama Erik
waktu aku nembak dia. Ya. Aku nggak sepenuhnya jujur pada Denis.
Termasuk pada bagian dimana Erik mengucapkan kata-kata yang nggak bisa
aku lupakan sampai sekarang, saat dia bilang, “Dimas, kamu itu sakit…!”
Aku nggak mau Denis tahu bagian itu… Aku nggak mau membakar
perasaannya, menyulut kebencian dalam dirinya… karena itu nggak akan
membuat rasa sakitku jadi lebih baik.
“Erik kan udah punya cewek. Aku nggak mau gangguin dia…” akhirnya aku
menjawab dengan alasan yang kucari-cari. “Dan aku udah kenal Erik lebih
lama dibanding kamu, aku lebih tahu soal dia…!” tambahku.
Denis cuma cemberut. Diam dengan bibir dibikin imut. Dasar kebanyakan gaya!
“Udah! Pulang aja…!” akhirnya aku mulai jengah. Aku bangkit dari dudukku.
“Emang udah boleh pulang ya?”
“Ya boleh lah…! Kan hari ini cuma pembukaan aja, nggak ada pelajaran.
Tuh sebagian juga udah pada pulang! Cuma anak kelas satu aja yang masih
ada MOS…”
“Udah puas lu, ngelihatin anak-anak kelas satu itu…?”
“Alahh…! Capek lama-lama! Lagian besok kan juga masih bisa lihat…!”
“Hmmm… Ya udah…” akhirnya Denis juga bangkit dari duduknya.
Aku mengambil tasku di kelas. Setelah itu gantian aku sejenak
menunggu Denis yang juga mengambil tasnya di kelasnya. Lalu kami pun
melangkah, berjalan meninggalkan halaman utama. Meninggalkan anak-anak
lainnya yang masih tersenyum-senyum melihati kami. Beginilah,
hari pertama masuk kami jadi pusat perhatian! Semoga cukup hari ini
saja, dan besok semua sudah jadi biasa lagi…!
Aku berjalan sambil melihat kesana kemari. Kuperhatikan sekelompok
anak kelas satu yang sedang digojlok senior, disuruh mengumpulkan sampah
plastik di lahan dekat taman…
BRUKKK…!!!
“Aduh, maaf, Kak…” seorang cowok murid kelas satu langsung kaget saat bertabrakan denganku.
Aku sendiri juga kaget! Ini yang kedua kalinya hari ini! Gara-gara mata lihat kesana kemari, nggak fokus sama yang di depan…!
Kulihat kertas-kertas yang dibawa anak itu jatuh berserakan di tanah.
Anak itu kelihatan gugup dan cemas memunguti kertas-kertasnya. Karena
aku juga merasa tadi jalan nggak lihat depan, aku pun membantunya
memunguti kertas-kertas yang berserakan itu.
“Udah dua kali sehari, jalan nggak lihat-lihat…!” Denis langsung mengomeli aku.
“Maaf Kak, aku nggak sengaja…” anak yang kutabrak itu minta maaf
lagi, kayaknya dia mengira Denis sedang memarahi dia. Padahal Denis
marahnya sama aku.
“Aku kok yang nggak lihat-lihat…” ucapku sambil ngasih kertasnya yang aku pungut.
“Aduhhh…” anak itu mengeluh saat tahu kertasnya ada yang kotor agak parah, kena air di tanah. Dia kelihatan cemas sekali.
“Tugas dari senior ya?” tanyaku.
“Iya, hasil kerja kelompok… disuruh ngumpulin sekarang…” jelas anak itu kikuk.
“Wah, kalo kotor gitu kena hukuman nggak tuh?” Denis ikut nimbrung.
“Moga-moga aja nggak… Maaf, Kak… buru-buru…” anak itu segera pergi cepat-cepat, seperti wartawan dikejar deadline.
“Elu tuh, mata jelalatan kemana aja sih?!” Denis memarahi aku lagi.
“Kayaknya bakal kena hukuman tuh anak…” gumamku. Aku juga jadi merasa bersalah. Anak tadi kelihatan takut banget.
Kami berdua jalan lagi. Kami melewati lagi barisan anak-anak kelas
satu yang sedang diinspeksi sama senior. Anak yang tadi nabrak aku juga
ikut berbaris di situ. Dan… Surprise! Rupanya senior yang sedang
menggojlok mereka adalah… ERIK…!
“Lihat sebentar!” bisikku ke Denis. Kami berdiri agak jauh, tapi cukup jelas untuk melihat barisan itu.
Erik memanggil salah satu nama kelompok. Lalu anak yang tadi
menabrakku maju ke depan. Anak itu kelihatan sekali gelisahnya. Dia
menyerahkan kertas-kertas hasil kerja kelompoknya itu ke Erik.
“Ini kenapa kotor seperti ini?!!” cecar Erik dengan suara ketus.
“Maaf, Kak, tadi habis jatuh ke tanah…” jawab anak itu grogi.
“Jatuh ke tanah?! Ceroboh kalian!” Erik setengah membentak.
“Maaf, Kak… tidak sengaja…” jawab anak tadi.
“Kalau kalian serius dengan tugas, pasti tidak akan bertindak
ceroboh! Kamu, dan kelompokmu, dihukum! Tulis ulang tugas kalian ini
sepuluh kali!” bentak Erik galak.
Anak-anak satu kelompok yang kena hukuman itu langsung kelihatan
kaget, ekspresi mereka lesu seketika. Apalagi anak yang tadi nabrak
aku, yang jadi wakil kelompok itu. Kelihatan benar-benar down…! Kasihan…
“Kalian tidak boleh pulang sebelum tugas hukuman kalian selesai!” seru Erik ketus.
Lalu habis bicara begitu, Erik merogoh ke dalam saku celananya sambil
sedikit menjauh. Dia mengeluarkan HP-nya, mengangkat sebuah panggilan…
“Haloo…?” sapa Erik lewat HP-nya.
“Rik, nggak usah galak-galak lah…!” cetusku lewat HP-ku. “Yang nabrak
anak itu tadi aku, sampai kertasnya jatuh… Bukan salah dia! Jadi kalo
mau ngasih hukuman, kasih aja hukumannya ke aku…!”
Aku lihat di sana, tingkah Erik langsung kelihatan bingung. Dia
tengak-tengok mencari di mana aku menelponnya. Akhirnya ketemu, dia
melihatku. Aku langsung tersenyum meledek begitu melihat tampangnya yang
kikuk.
“Kasihan lah sama anak-anak yang nggak salah itu…!” ucapku lagi.
“Kasih aja hukumannya ke aku, Denis juga udah siap bantuin kok!”
tambahku sambil ketawa ngelirik Denis. Denis langsung cemberut
menyikutku.
Erik langsung menutup HP-nya. Ekspresinya jadi kelihatan malu dan
hampir mati kutu di sana. Tapi dia masih mencoba jaim ke anak-anak yang
sedang digojloknya itu.
“Ya sudah, karena ini MOS hari pertama, kesalahan kalian masih
dimaafkan. Tapi lain kali, setiap keteledoran dalam melakukan tugas
tidak akan ada toleransi lagi!” tegas Erik, akhirnya membatalkan
hukumannya.
Anak-anak yang hampir kena hukuman itu langsung kelihatan lega. Aku
juga. Aku sama Denis jalan lagi, sambil melempar senyum ke Erik. Erik
membalas dengan senyum jaim. Hahaha… Makanya jangan galak-galak! :P
Sekilas, aku juga melihat anak yang tadi menabrakku. Dia juga sedang
melirik padaku. Mataku kami bertemu. Anak itu segera menarik lirikannya,
dan kelihatan tersenyum agak malu. Apa mungkin dia tahu ya, kalau yang
meloloskan kelompoknya dari hukuman tadi aku…?
JGLUKKK!!!
“Aduh…!” pekikku kaget… satu kakiku terpeleset, nyungsep ke selokan.
Erik dan anak-anak kelas satu itu langsung melihatku, dan pipi mereka
langsung kembung menahan tawa. Aseeemmmmm…!!! Mereka bisa jaim nahan
tawa, tapi gimana aku bisa nahan malu…?!!
“Tiga kali! Rasain!” umpat Denis.
Bersambung Ke Keranjang 24...