RSS

Kranjang 19 - 21


Keranjang 19

Sakit







Rasanya nggak ada semangat. Lesu. Seperti zombie. Mati gairahku buat ngelakuin apa aja. Kuseret langkahku, sekedar ikut melewatkan suasana karena nggak ada pilihan lain selain mengikuti trip yang sudah dijadwalkan buat hari ini. Aku nggak mungkin tinggal sendiri di hotel!

Pantai Kuta. Pantai yang tersohor namanya sampai ke seluruh belahan dunia. Ya, memang indah…
Indah tanpa rasa. 

Ibarat orang sedang sakit, meski di depannya dihidangkan menu makanan fantastis kelas bintang lima, apa akan bernafsu juga buat memakannya? Yahh… kemarin ada yang bilang aku ‘sakit’, tapi terus terang… sebelumnya aku nggak pernah merasa sesakit ini!

Aku termenung menatap ombak Pantai Kuta, yang tanpa henti menghampiri pasir pantai. Ombak menggayut, pasir menyambut. Lalu ombak beringsut kembali ke laut, pasir-pasir surut seperti hendak ikut… Seperti tangan yang menggapai, lalu saling melepas lagi dengan hasrat ingin tetap bersama. Ahhh… bahkan alam saja bisa bercinta… Dan aku cuma bisa melihat bersama perasaan yang terluka.
Mungkin memang benar. Cinta itu takdir. Dan bisa saja takdir adalah sebuah kenyataan pahit yang harus diterima…

Entah berapa lama di Kuta. Yang aku ingat, sepanjang singgah aku cuma sendiri merenung, memisahkan diri dari yang lain… Lalu kembali melanjutkan perjalanan, untuk singgah di pantai yang lain.

Ahhh… Lagi-lagi pantai…!

Sekarang tiba di Tanah Lot. Sebuah pantai, kali ini dengan pulau kecil yang di atasnya berdiri sebuah pura. Dan kali ini juga, aku mencoba turun ke air. Jalan-jalan di tengah sapuan ombak pantai yang nggak begitu besar. Mungkin bisa mengurangi kepenatanku.

Sebenarnya aku juga tertarik dengan cerita yang kudengar waktu di bus, cerita yang diuraikan panjang lebar oleh Tour Guide yang aku belum juga tahu namanya itu. Dia bilang, ada sumber air di pulau yang berdiri di seberang pantai itu. Air tawar alami di tengah pantai. Katanya juga, ada kepercayaan kalau air tawar itu berkhasiat buat mengabulkan permohonan.

Seperti di Mangkunegaran, tiang bangunan yang bisa mengabulkan permohonan…?

Kepercayaan…? Mitos…?

Ehhh… tapi tunggu…!

Aku jadi ingat, waktu di Mangkunegaran itu aku memanjatkan harapan tentang Erik…! Dan waktu aku memeluk tiang itu, tanganku nggak sampai…! Kenyataan sudah bicara tadi malam, Erik menolakku! Apa itu berarti… mitos itu benar…?

Aku bengong di tengah air pantai, menatap pulau yang ada di depanku. Pikiranku sekarang malah dipenuhi tanya-jawab soal mitos itu! Sampai akhirnya… lama-lama aku jadi ngerasa konyol sendiri.
Masa takdir ditentukan oleh mitos sih? Kayaknya nggak lah! Mungkin kebetulan saja mitos itu singkron dengan kenyataan yang kutemui!

Tapi apa salahnya juga aku lihat-lihat ke pulau itu? Yaahhh, anggap saja biar nggak rugi. Sudah bayar mahal-mahal buat ke Bali, cuma demi ditolak Erik…? Demi bersakit-sakit diri…? Memang sakit, dan justru itu seharusnya aku bisa menemukan manfaat lain dari piknik ini! Menghibur diri selagi kesempatan ini ada!

Aku garuk-garuk kepala sambil berjalan lesu menuju ke pulau yang nggak jauh di depanku, menapaki pasir di dalam air yang dangkal. Kulihat teman-temanku satu rombongan juga banyak yang ke sana. Kalau dipikir-pikir, ya memang bodoh kalau piknik yang mahal ini disia-siakan begitu saja!

Lokasi air tawar berada di sisi bawah pulau. Seorang penjaga objek wisata yang berbaju putih dengan ikat kepala khas Bali, menempelkan semacam butiran beras di pelipis keningku saat aku mau memasuki lokasi air suci itu. Nggak tahu maksudnya apa, nurut aja…

Sumber air tawar itu mengalir dari semacam batu karang. Orang-orang ada yang mengambilnya dan minum dengan tangannya, ada yang memakainya buat membasuh muka, ada juga yang menyimpannya ke dalam botol plastik. Aku? Hmmm… Buat basuh muka aja. Permohonan? Percaya nggak percaya… nggak ada ruginya juga kan…?

“Semoga suatu saat aku menemukan cinta yang bisa membuatku bahagia…” satu harapan terbayang begitu saja di benakku saat aku membasuh wajahku dengan air suci.

Lalu aku termenung sejenak. Merenungkan keinginanku. Cinta? Lebih bahagia…? Yahhh, semoga saja, suatu saat. Nggak ada salahnya punya pengharapan. Setiap orang memilikinya.

Setelah puas melihat-lihat pemandangan sekitar pulau, aku kembali menuju ke pantai. Lalu mencari toilet buat mencuci kakiku yang belepotan pasir dan habis terendam air laut. Biar nggak lengket.

“Ehh, habis ini balik ke bus ya, waktunya lanjut nih…” pesan salah seorang panitia yang kebetulan berpapasan denganku.

“Oke,” balasku singkat.

Aku langsung kembali ke busku. Duduk lagi di kursiku. Di sebelah Bambang yang rupanya hari ini jadi pendiam. Syukurlah, aku memang lebih suka ketenangan.

“Habis ini kemana?” aku sekedar berbasa-basi.

“Bedugul,” jawab Bambang agak malas.

Bedugul? Huhhh… Tadi habis dari Kuta terus ke Tanah Lot, dari pantai yang satu ke pantai yang lain. Sekarang habis dari pantai, mau gantian ke danau? Air lagi? Cool. Panitia yang kreatif! Terima kasih buat objek yang monoton! Untungnya hatiku sedang kacau, jadi aku nggak terlalu ambil pusing soal jadwal trip yang jelek ini. Nggak mau tambah pusing. Mau kemana pun, akhirnya komentarku tetap: terserah! Ya, dengan sedikit menggerutu.

Bus kelihatannya sudah penuh. Siap berangkat. Tour Guide yang manis itu juga sudah stand by. Sebentar lagi dia pasti akan tanya pesan dan kesan setelah kunjungan di Tanah Lot ini. Lalu dia akan cerita soal objek wisata berikutnya. Ahh… Untung dia cakep! Kalau aku bosan sama ceritanya, aku pandangi saja wajahnya tanpa peduli sama ceritanya. Seperti biasanya.

Lihatlah… Ketampanan Erik bukan satu-satunya yang bisa bikin aku tertarik. Artinya, Erik bukan satu-satunya cowok yang harus kuharapkan. Suatu saat, pasti sangat mungkin bahwa aku akan jatuh cinta lagi. Meski entah kapan… Entah dengan siapa… Meski mungkin butuh waktu lama. 

Atau… entahlah, takdir sangat pandai menjaga rahasianya…

Aku menatap Tour Guide itu… Mengingat lagi foto di HP-nya. Kalau dia memang seperti aku, pasti cowok yang bersama dia di foto itu adalah boyfriend-nya. Maka betapa beruntungnya dia… Ah, andai saja dia masih sendiri… Dan andai saja aku mengenalnya di Solo, atau paling nggak bukan di tempat yang sejauh ini, di Bali… Pasti aku akan… Akan…

Ahhh…! Buang pikiran yang kacau ini! Apa berandai-andai seperti ini berguna?! Mau lari dari patah hati ini? Lari kemana…? Angan-angan…? Makin ironis!

Koordinator rombongan mengabsen satu per satu penumpang bus, memastikan bahwa semua sudah ada di bus dan siap berangkat. Kubuang perhatianku. Kupalingkan muka mencoba mencari pemandangan di luar jendela. Dan ternyata cuma untuk menemukan… pemandangan dari orang yang sudah membuatku patah hati…!

Ludahku tercekat di kerongkongan yang pahit, melihat Erik sedang berjalan santai menuju busnya dengan wajah cerah, bersama… seorang cewek. Mungkin teman sekelasnya, mungkin juga bukan, mungkin…

Aahhhh… Lagi-lagi ‘mungkin’ dan ‘mungkin’…! Nggak jauh beda dengan ‘andai’ dan ‘andai’…! Apa ini semua akan memberiku sesuatu yang lebih baik…?!! Aku cuma ingin keluar dari perasaan yang buruk ini, bukan untuk membuatnya tambah pahit!

Huuhhh…!

Kupalingkan lagi wajahku, menatap nanar pada punggung kursi di depanku. Sedikit lebih baik sekarang… Berusaha melupakannya memang berat. Tapi aku harus bisa…!

Brmmmm… Suara mesin bus menyala.

Kata ‘selamat tinggal’ bisa ada kapan saja untuk apa saja. Tapi seperti bus ini harus meneruskan perjalanan, hidup juga harus terus berlanjut. Hancur… tapi masih ada diri yang tersisa! 

Life must go on!





***





Keranjang 20

Jamuan Untuk Pecundang







Seharian keliling Bali. Kuta, Tanah Lot, Bedugul… Hampir nggak ada kesan yang bisa kuingat. Hampir sepenuhnya hambar. Kayaknya cuma keajaiban air tawar di tengah laut Tanah Lot, dan keelokan pemandangan Danau Bratan di Bedugul yang bisa membuatku cukup terkesan. Sisanya? Penat dan capek! Aku bersyukur sekarang sudah berada di hotel lagi.

Turun dari bus, aku melangkah gontai dan langsung menuju ke kamar. Kulempar ranselku ke lantai. Kucuci mukaku di wastafel. Kubasahi rambutku. Kulihat mukaku di cermin. Ohhh! Buruk sekali! Berantakan. Wajahku memang tergolong biasa saja, tapi jujur… aku pernah jauh lebih tampan dari wajah yang kulihat di cermin itu!

Kujatuhkan badanku ke atas kasur. Memejamkan mata. Memijit-mijit keningku. Menghela nafas pelan-pelan, santaikan pikiran…

Kreekkkk… Pintu kamarku terbuka. Sosok bongsor agak tambun masuk ke kamarku. Menjatuhkan tasnya ke kasur, lalu segera melangkah menuju pintu lagi.

“Makan, coy…!” lontar Bambang sambil lalu. Kemudian menghilang lagi, keluar dari kamar.

Makan? Hmmm… Aku nggak makan seharian. Pagi nggak ikut sarapan di hotel. Makan siang kardusan, aku kasih ke Bambang. Nggak nafsu sama sekali. Sekarang akhirnya terasa juga laparnya.
Mungkin makanan yang masuk ke mulutku rasanya akan seperti sampah. Tapi… perutku harus tetap diganjal!

Aku bangkit dari rebahan. Masih dengan malas aku menuju ke ruang makan. Nggak kaget, ruang makan penuh orang. Pada sibuk memilih menu prasmanan. Kuambil piringku, lalu memilih menu dengan asal-asalan, apa saja yang kira-kira aku suka. Lalu aku duduk di pojok. Kupaksa diriku untuk makan.

“Eh, Dimas… Habis ditolak Erik ya semalam? Hahaha…”

Deg! Jantungku seperti tergelincir…

Aliran darahku langsung berdesir dua kali lebih cepat menuju saraf-saraf di wajahku, membuat kulit wajahku meremang… Kutengok orang yang tadi bicara… Salah satu dari segerombolan orang…

“Wah… Kasian amat, cowok sampe ditolak cowok juga…”

“Resiko jadi hombreng ya gitu lah…”

Orang-orang itu, nggak cuma satu… Dan mereka adalah teman-teman sekelasku sendiri, menghujamkan kata-kata sinis bergantian… sambil tertawa-tawa… melirikku dengan mata yang menikam…

“Ketinggian sih ngarepnya! Cewek-cewek aja udah pada ngantri si Erik…!”

“Oh, sosis makan sosis ya si Dimas…?”

“Untungnya besok kita udah ganti kelas…”

“Kenapa?”

“Malu, man…! Sekelas sama homo…!”

“Hahahaha…”

Tawa mereka bersahutan di ruang makan. Pandangan mata mereka silih berganti menusukku… Diikuti sekian mata dari sudut yang lain, ikut memandangiku…

Cukup…!

Tanganku gemetar menahan piringku. Prkkk… Kuletakkan piringku di kursi. Aku berdiri, kutinggalkan ruangan itu… Tapi tawa-tawa yang mengejek itu masih saja berusaha mengejar telingaku meski aku sudah menghindar sebisa mungkin. Kupercepat lagi langkahku… Nggak tahu menuju kemana…

AKU CUMA INGIN PERGI DARI SINIII…!!!

Langkahku terhenti ketika aku yakin suara-suara itu sudah nggak terdengar lagi, dan wajah-wajah pengejek itu sudah lenyap kutinggalkan di belakang. Sekarang aku berdiri dengan bimbang di sini, di satu sisi hotel yang sepi. Lututku lemas. Goyah…

Aku terduduk di pinggiran taman. Jutaan rasa lesu menumpukiku. Kudekapkan tanganku rapat-rapat, dan kurasakan dadaku gemetar kencang…

Ya Tuhan…

Bagaimana mereka tahu…? Kenapa mereka bisa tahu…?! Siapa yang begini berniat membuatku jatuh…? Apa Erik mengatakan semuanya…? Ya Tuhan… apa dia setega itu…? Aku nggak cuma kalah. Aku kalah dan ditelanjangi di depan orang-orang yang begitu senang melihatku malu…! Mereka merasa menang menginjak-injak perasaanku! Mereka puas dengan tawa mereka yang keras itu…!

Kuremas wajahku. Gigiku berderak menahan kertak tangis… Rasanya aku ingin berteriak di depan mereka: “HAIII!!! AKU PUNYA HARGA DIRI…!!!” Tapi… cuma ini yang aku bisa, cuma ini sisa kemampuanku… Merintih sendirian, tanpa sanggup berkata apa-apa di depan orang-orang yang menertawaiku…

Aku sendirian dan kalah. Tanpa satu pun yang membelaku…

Ya Tuhan… Apa aku memang nggak pantas dibela…?!!

Apa memang nggak ada keadilan untuk orang sepertiku…?!!

Apa gay itu memang sampahhhh…?!!

“Dik…?” tiba-tiba ada suara menyapaku, dan tangan seseorang menjamah bahuku…

Kuredam mataku yang basah. Kukeringkan di lenganku, sesaat menahannya… Lalu perlahan kutengok orang yang menyapaku. Kutatap wajah orang itu sekejap. Aku mengenalinya…

Tour Guide itu…

“Ada masalah apa?” tanyanya pelan.

“Nggak apa-apa…” jawabku gemetar. Kusembunyikan lagi wajahku darinya. Aku nggak mau memperlihatkan mata basahku, menambah rasa maluku di depan siapapun…!

“Kalo ada masalah jangan seperti ini. Nggak baik…” ujarnya lagi. Lalu dia merengkuh bahuku, mengajakku berdiri. “Ayo…” ajaknya.

Semangatku terasa begitu lesu dan rapuh, tapi entah kenapa aku mau mencoba berdiri saat dia mengajakku…

“Ayo, lebih baik jangan sendiri di sini…” laki-laki itu mengajakku untuk mengikutinya.

Aku nggak punya alasan buat menolaknya. Sebenarnya aku juga nggak punya alasan buat mengikutinya. Tapi… aku nggak sanggup lagi menghadapi masalah ini seorang diri…

Aku memilih mengikutinya…

Dengan lesu aku berdiri. Aku nggak peduli apapun lagi, aku mengikuti Tour Guide itu dengan langkah pelan di belakangnya…

Hingga kami tiba di bagian lain dari hotel. Sebuah bangunan kamar, dengan teras di depannya. Lampu gantung menerangi teras dengan sorot cahaya lembut kekuningan. Mungkin kamar khusus staff biro wisata…

“Duduk sini…” ujar Tour Guide itu sambil menyiapkan kursi untukku.

Aku duduk. Kucoba menenangkan diri biarpun batinku rasanya masih sangat sesak. Denyut emosiku masih terasa naik turun. Labil…

Tour Guide itu menuang teh dari poci ke dua buah cangkir yang telah siap di meja.

“Minum dulu, mumpung masih hangat…” tawarnya.

Aku cuma mengangguk pelan. Tanganku masih sedikit gemetar saat mengangkat cangkirku. Perlahan kuminum tehku, berharap bisa membantuku lebih tenang.

Tour Guide itu tertawa simpul. “Aku nggak tahu masalahmu, Dik. Tapi itu pasti masalah pribadimu. Aku cuma mencegah… kalo mungkin akan terjadi apa-apa… yang nggak baik…”

“Terjadi… apa…?” tanyaku tercekat.

Tour Guide itu tertawa lagi dengan lirih. “Kamu kan sedang jauh dari rumah… Kadang kalo ada masalah yang berat, di situasi seperti ini… orang bisa menjadi nekat…”

“Nekat…?” aku sedikit mendelik. Aku terpaksa tertawa pahit. “Tapi… aku nggak akan bunuh diri…?!”

“Ohh… Aku nggak berpikir seburuk itu juga kok…! Maksudku, orang yang lagi kena masalah itu biasanya mudah terpengaruh buat melakukan hal yang buruk… Mengamuk, merusak apa saja, pergi tanpa tujuan… ya seperti itulah kira-kira… Aku nggak bermaksud berpikiran negatif, tapi kecenderungannya memang bisa seperti itu…”

Laki-laki itu tersenyum. Aku menatapnya. Kali ini aku juga ikut tersenyum. Menarik kedua ujung bibirku sedikit naik ke samping, agak berat dan terpaksa, tapi… Begitulah. Aku pun mengangguk pelan. Aku faham maksud Tour Guide itu.

“Aku lupa nama Mas… Siapa ya…?” tanyaku dengan lesu.

“Awan,” jawabnya simpul.

“Mas Awan…” gumamku sambil mengangguk.

Terasa bukan situasi yang nyaman untuk berkenalan. Tapi biapun perasaanku saat ini sangat buruk, sangat kacau, sangat nggak sopan juga kalau aku masih belum tahu siapa nama laki-laki yang ramah dan baik hati ini, yang sepertinya tulus memperhatikanku…

“Namaku Dimas…” ucapku.

“Dimas…” ulang Mas Awan. “Anak yang ngembaliin HP-ku waktu itu…”

Aku langsung menarik pandanganku lagi menatap Tour Guide itu. Aku tertawa masam. Rupanya dia mengingatku… Segera terbersit satu hal di pikiranku. Meski sebenarnya enggan, dan terasa agak lancang… tapi aku merasa nggak mampu lagi menahan rasa ingin tahuku.

“Mas, apa aku boleh nanya…?” ucapku hati-hati.

“Soal apa?”

“Soal HP Mas itu…” ujarku agak sungkan. “Maaf, bukannya sengaja, tapi aku sempat ngeliat… foto yang di HP itu… Apa itu orang yang istimewa buat Mas…?” tanyaku hati-hati.

Mas Awan kelihatan berpikir-pikir sejenak. Lalu perlahan-lahan dia tersenyum agak masam…

“Ya. Kenapa?” dia menjawab sekaligus balik bertanya.

“Kalo aku nggak sopan, maaf ya, Mas… Apa dia… pacar Mas?”

Laki-laki itu langsung tertawa. Tapi nggak terlihat mau marah. Saat dia terdiam, dia kelihatan merenung. Matanya yang teduh itu menerawang jauh.

“Kamu menyimpulkan dari mana?” dia balik menanyaiku lagi.

“Mas, aku suka cowok… Aku cuma menebak kalo Mas juga seperti aku… Mungkin aku salah. Makanya aku ingin tahu…”

Mas Awan memandangiku, kelihatan agak kaget…

“Kamu…?” pertanyaannya terputus, seolah dia juga ragu untuk menandaskannya.

“Aku gay,” tandasku singkat.

“Gay…? Dan kamu mengakuinya ke orang lain semudah itu…?” delik Mas Awan pelan dan masih kelihatan ragu.

“Resikonya udah telanjur aku ambil Mas… Teman-temanku hari ini udah pada tahu kalo aku… yahh gitu lah… Gay. Padahal aku nggak pernah bilang ke mereka. Entah darimana mereka tahu… Tapi akhirnya sama aja, mereka tahu dan aku yang menanggung konsekuensinya. Jadi kayaknya nggak ngaruh, misalnya ada satu orang lagi yang tahu kalo aku gay…”

Mas Awan menatapku dengan beku. “Jadi itu masalahmu…?”

Aku tertawa getir. “Ya… Gitu lah. Rasanya nggak adil. Aku nggak pernah bilang, tapi orang-orang bisa tahu dan mereka ngetawain aku. Seolah aku nggak punya hati buat ngerasa sakit… Kalopun itu harus diketahui orang lain, seharusnya akulah yang berhak memutuskan buat membukanya ato tetap menyimpannya…! Tapi tanpa pakai perasaan mereka menguaknya, demi bisa mengolok-olok aku yang selama ini sudah berusaha keras menyimpannya…! Aku ngerasa nggak punya harga diri lagi…” desahku lesu.

Ohh, aku jadi curhat sekarang! Untuk yang pertama kalinya dalam hidupku, aku merasa butuh pendengar untuk masalah ini…! Hidupku sudah sekacau ini rupanya!

Mas Awan cuma mendesau pelan. Lalu meluruskan duduknya, menyantaikan diri. Dia mengeluarkan HP-nya. Bibirnya tersenyum memandangi foto di HP-nya itu.

“Iya, dia boyfriend-ku…” ujarnya sambil menatap foto di HP-nya itu.

Aku terdiam memandangi Mas Awan. Sebenarnya aku nggak begitu kaget mendengarnya…

“Dia temanku sejak SMA. Tapi kami jadian saat kami sudah kuliah. Yahhh… Mengakui perasaan kepada orang yang kita cintai, apalagi orang seperti kita, bukan hal yang mudah. Bisa butuh waktu lama, dan yang pasti juga butuh keberanian… Kami bersyukur… karena diberkati perasaan yang sama… Dan itu berjalan sampai sekarang…” tuturnya dengan mata menerawang, dan dengan senyum kecil penuh arti.

Aku termangu menyimak kata-katanya… Ternyata dia memang sepertiku. Tapi… ahh, alangkah dia lebih beruntung dariku, bisa bersatu dengan orang yang dia cintai…

“Apa orang lain juga ada yang tahu? Keluarga…?”

“Keluarga kami? Ya… Mereka tahu… Akhirnya…” desah Mas Awan seraya menghela nafas. Seolah sesuatu yang berat juga masih tersisa di dalam dirinya.

“Tanggapan mereka…?” kulikku makin penasaran.

“Kecewa. Kami tahu mereka kecewa… Tapi mereka tetap menerima kami…”

Aku tertegun. “Menerima…? Apa bisa begitu?”

Mas Awan mengalihkan pandangannya padaku lagi. Dia tersenyum sayu. “Setiap orang pasti punya kelemahan di mata orang lain. Tapi menurutku, cara pikir orang dewasa adalah menghargai orang lain berdasarkan kemampuannya. Yang aku tunjukkan pada mereka adalah… aku menjalani hidupku dengan baik. Aku mandiri. Aku tidak bermaksud menyakiti orang lain. Aku menentukan pilihanku sendiri, dan bertanggung jawab terhadap pilihan itu. Mereka kecewa, tapi mereka akhirnya berusaha mengerti…”

Aku terdiam. Berpikir dalam-dalam merenungkan kata-katanya…

“Keluarga mungkin memang lebih bisa mengerti kita, karena mereka menyayangi kita. Tapi… bagaimana dengan orang lain…? Kita juga hidup di tengah dunia dengan macam-macam orang…?” kulikku dengan rasa risau.

Mas Awan mengernyitkan keningnya. “Ya… Tapi nggak semua orang adalah bagian dari hidup kita kan? Nggak semua orang harus tahu, karena belum tentu mereka ingin tahu. Dalam pekerjaan, yang penting aku profesional. Dalam pergaulan, yang penting aku ramah. Dalam hubungan dekat, aku menyayangi mereka dengan menjadi diriku sendiri… Dunia sangat rumit, kita harus punya cara yang lebih sederhana karena hati dan pikiran kita nggak akan bisa kalo harus menuruti semuanya…” tutur Mas Awan diikuti kekeh tawanya yang hangat.

Sesuatu terasa meniup keruhnya isi pikiranku. Aku mengejapkan mata seraya ikut tersenyum. Kata-kata itu penuh arti bagiku… Seperti sesuatu yang menguatkan bagi perasaanku yang rapuh ini…

“Jadi… apa aku juga harus bilang ke orang tuaku, Mas…?” sesaat aku kembali ragu, dan berusaha mencari jawab atas kebimbangan yang kurasakan selama ini.

“Semua ada waktunya,” jawab Mas Awan seraya tersenyum simpul. “Sebelum menanyakan perlu-enggaknya ngomong ke orang tua, yang lebih perlu adalah menanyakan pada diri kita sendiri: apa kita sudah bisa membuat mereka bangga? Karena yang ada di dalam harapan orang tua itu nggak cuma soal siapa yang akan jadi pacar anaknya, tapi juga bagaimana sekolahnya, bagaimana prestasinya, pekerjaannya, pergaulannya…”

Aku tersenyum semu, menangkap semua maksud nasehat Mas Awan. Dan itu membawaku bercermin pada diriku sendiri…

“Terus… bagaimana aku harus menghadapi teman-temanku…? Aku ketemu mereka tiap hari di sekolah, dan mulai dari sekarang… kayaknya mereka akan suka mengejekku… Lalu nyebarin semuanya ke orang lain, pasti akan tambah banyak orang yang tahu…” keluhku.

“Lihat saja dari sisi yang lebih jernih. Teman sejati itu, akan menerima siapapun kita… Di saat banyak orang mengejek kita, maka di saat yang sama kita bisa lebih mudah melihat siapa yang benar-benar di pihak kita… Bukan begitu?”

Aku menatap Mas Awan lekat-lekat. Ada kecemasan yang masih bergumul dalam diriku…

“Gimana kalo nggak ada…?” tanyaku ragu.

“Berarti… saatnya kamu menjadi dewasa…” ujar Mas Awan makin menyiratkan sesuatu yang sulit kupahami.

“Apa menjadi dewasa itu harus bisa hidup tanpa teman?” sanggahku ragu.

Mas Awan tertawa ringan. “Yang aku tahu, nggak ada orang hidup tanpa teman. Yang ada adalah, orang yang sombong buat berteman… Menjadi dewasa itu, berani introspeksi! Kalo kamu mau membuka diri, pasti akan ada yang namanya: teman sejati. Sahabat yang menerimamu, apa adanya. Jadi kalo sampai nggak ada orang yang mau berteman denganmu, introspeksilah!”

Kenapa kali ini aku merasa seperti ditampar…?

Sombong untuk berteman…?

Aku…?

Dengan siapa selama ini aku berteman? Yang ada adalah, aku berteman dengan kesepian… Aku selalu lebih suka sendiri… Lalu… Kenapa aku merasa nggak mampu menghadapi masalah ini sendiri…? Aku butuh teman, tapi siapa…?

Apa aku pernah menjadi teman bagi orang lain…?

Kapan…?

Nggak pernah…

Selama ini yang aku kejar cuma… Ya, selalu Erik, cuma Erik… Erik, Erik dan Erik…! Aku cuma mementingkan apa yang aku suka, membuatku jadi terobsesi… Tapi akhirnya, ya ampun… Erik sendiri ternyata menolakku!

Dan sekarang aku mengeluh saat orang lain nggak mau peduli pada perasaanku…?

Hhhhh… Sekarang rasanya aku sadar, aku sombong sebagai orang yang akhirnya cuma jadi… pecundang…

“Teh… ?” Mas Awan memecah lamunanku, menuang teh lagi ke cangkirku.

“Ya…” cekatku lesu dan gugup.

Kuangkat lagi cangkirku, meminum tehku pelan-pelan…

“Mas Awan percaya kalo teman sejati itu ada…?” tanyaku setengah merenung.

“Percaya.”

Aku menatap Mas Awan. Sorot matanya yang teduh, senyum sayunya yang hangat, seperti menyiratkan satu keyakinan sekaligus sisa-sisa kenangan yang pahit dalam dirinya. Entah apa…

“Terima kasih, Mas…” akhirnya aku berucap.

“Buat apa…?”

“Buat…” aku sedikit bimbang, menurunkan mataku ke meja. “Buat tehnya, buat semangatnya… Buat… apapun yang bikin aku jadi… merasa lebih baik…”

Mas Awan tertawa hangat. Aku ikut tertawa pelan.

“Teman sejati itu pasti ada ya, Mas…? Entah kapan dan di mana…?” gumamku menerawang. Lalu aku menatapnya lagi, dan menjawab ucapanku sendiri. “Mungkin sudah ya, sekarang di sini…”

Kami seketika tertawa. Meringankan hatiku dengan pelan dan pasti, mengangkatnya ke satu tempat yang membuatku terharu…

“Akan ada yang lain juga lah…” celetuk Mas Awan.

“Doain aja…” balasku seraya tertawa lirih.

Aku pun termenung lagi, merenungkan pelajaran yang kudapat malam ini… Pahit, getir, masam… dan juga sejumput rasa manis pada akhirnya, itulah menu makan malamku malam ini… Aku pun terpejam sesaat dan menertawakan diriku yang naif… Tawa perih yang penuh arti.

“Maaf ya, Mas… kalo aku ngerepotin… Padahal Mas Awan pasti sudah capek habis ngantar rombongan seharian, dan besok masih harus ngantar lagi…” ujarku kemudian, luruh.

“Aku kan dibayar buat jadi Guide!” canda Mas Awan.

“Tapi nggak buat ngobrol sama aku kan?”

“Jadi Guide aku dibayar, tapi jadi teman nggak perlu bayar…”

“Nice reason.”

Kami tertawa lagi dengan hangat.

“Makasih, Mas, udah bikin aku banyak introspeksi… Harusnya aku nggak boleh cengeng menghadapi masalah seperti ini…” gumamku setengah merenung, menegarkan diri. Lalu, perlahan aku mulai berdiri dari dudukku. “Aku juga nggak boleh egois, menyita jam istirahat Mas Awan… Besok kan masih harus ngelanjutin perjalanan…” lanjutku sedikit bercanda, hendak berpamitan…

Mas Awan tertawa seraya ikut berdiri. Dia mengulurkan tangannya. Kujabat tangannya itu…
“Jangan nyerah…! Dan nggak usah merasa rendah diri, semua orang pernah nangis kok…” ucap Mas Awan dengan senyum canda.

Aku mengangguk tersipu. “Aku coba…”

“Sampai ketemu besok…”

“Pasti!”

Aku menuruni undakan teras. Sesaat aku menoleh lagi ke belakang. Senyum terakhir buat malam ini. Buat seseorang yang… memberiku banyak kekuatan setelah hari yang kacau ini. Hari buruk yang berakhir pada satu pelajaran berharga untukku. Aku akan mengingatnya. Pasti.

Aku tahu kekuatan ini belum mengakhiri masalahku. Malah, aku harus siap dengan hal-hal buruk berikutnya karena kusadari bahwa sebenarnya ini semua baru dimulai… Semangat ini akan membuatku lebih tegar. Itu berarti, semua ini harus mendorongku untuk berubah menjadi pribadi yang lebih baik…

Mungkin akan makin banyak orang yang meneriaki aku dengan ejekan mereka. Tapi satu hal, jangan sampai aku diteriaki: PENGECUT…!

Ya. Baiklah. Aku akan menghadapinya…

Terima kasih Mas Awan…





***





Keranjang 21

Berdamai







Aku kembali ke kamarku. Kamarku yang sepi. Ini malam terakhir di Bali. Pastinya banyak yang ingin menikmati malam ini, nongkrong atau jalan-jalan ke luar hotel. Si Bambang mungkin juga begitu. Sebenarnya aku juga pingin. Tapi, aku terlalu capek… Aku butuh istirahat karena hari ini sudah menjadi hari yang berat.

Mungkin esok juga akan jadi hari-hari yang berat buatku. Bahkan bisa jadi akan lebih berat. Saat orang-orang tahu aku seorang gay, artinya mau nggak mau aku harus siap dengan cacian pedas, bahkan perlakuan menyakitkan yang belum pernah kukenal sebelumnya. Mungkin memang nggak akan selalu seberat itu, tapi yang pasti resikonya sangat jelas. Aku hidup di dunia yang masih menganggap gay sebagai anomali. Aku harus sadari itu. Apa yang tadi kuhadapi di ruang makan adalah bukti yang nggak perlu dibantah.

Karena itu, sebaiknya aku segera istirahat di sisa malam ini. Mengendapkan semua beban ini sementara waktu. Karena esok, dan hari-hari berikutnya, nggak akan pernah sama lagi… Aku harus siap dengan segala resikonya!

Baru saja kucoba buat tidur, HP-ku menyela pejaman mataku. Sebuah nada panggilan. Segera kuraih HP-ku dan melihat nomor siapa yang sedang memanggilku.

Ternyata…

Sesaat aku cuma terpaku menatap layar HP-ku. Ragu…

Apa aku harus mengangkatnya…?

“Hallo…?” akhirnya kuangkat juga.

“Hai, Mas…” suara Denis lirih di sana.

“Ada apa?” tanyaku dengan canggung.

“Emmhhh… Mas, lu masih marah…?”

“Cuma mau nanya itu?”

“Mas… Gue bener-bener minta maaf…”

Aku terdiam. Apa minta maaf itu memang lebih mudah dibanding berpikir masak-masak sebelum mengorek privacy orang…?!

“Mas… Gue akui, gue memang udah lancang buka-buka diary elu. Gue tahu lu sakit hati… Gue sungguh-sungguh, Mas, minta maaf sama lu…”

“Kenapa baru bisa berpikir sekarang kalo aku sakit hati? Kamu nggak bisa, mikir sebelum berbuat kalo aku bakal sakit hati…?”

“Iya. Gue ngerti. Kesalahan gue bukan karena nggak bisa baca tanpa ketahuan, tapi kesalahan gue karena gue lancang… Lu bakal tahu ato nggak, gue tetap salah udah mengorek privacy elu… gue nyesel, Mas…”

“Kenapa sih, kamu harus lancang kayak gitu…?!” kecamku lirih, menahan gusar.

“Mas… Terus terang, gue cuma bermaksud… pingin tahu soal lu…”

Pingin tahu? Oh, alasan yang gampang banget!

“Dengan cara buka diary yang jelas-jelas aku kunci? Aku udah berusaha sebisa mungkin buat percaya sama kamu…!” balasku ketus.

“Mas… Gue mau jujur sama lu sekarang…”

“Jujur…? Setelah kamu ngerusak kepercayaanku sama kamu?”

“Elu mau percaya ato nggak, gue nggak maksa kok, Mas. Kayaknya kita nggak akan ketemu lagi buat waktu yang lama, makanya sekarang gue harus bilang… Meski gue udah lancang baca diary elu, tapi justru dari situlah akhirnya gue jadi tahu diri elu yang sebenarnya…”

“Maksudmu?! Kamu senang… bisa memiliki semua rahasiaku…?!”

“Nggak, Mas… please…! Jangan terus menerus nganggap gue musuh… Lu pasti marah karena gue tahu rahasia kalo lu itu… suka cowok kan…? Lu suka sama Erik dan lu marah waktu gue tahu itu, iya kan? Mas, sumpah… gue nggak malu punya sodara lu! Siapapun yang lu sukai itu hak elu, lu tetep sodara gue… Gue bisa ngerti kemarahan lu soal kelancangan gue, dan gue terima. Tapi gue nggak ngerti kenapa seolah-olah lu nggak butuh sodara yang bisa nerima elu…?”

Aku tercekat membisu mendengarkan kata-kata Denis. Tanganku gemetar memegangi HP-ku. Sekejap, yang bisa kurasakan adalah… keangkuhan dari diriku yang sebenarnya rapuh ini… Keangkuhan yang selama ini telah membuatku berpura-pura, keangkuhan yang selama ini menyembunyikan semua ketakutan dalam diriku… Sekarang semua itu terkuak saat aku nggak mampu lagi mengingkari perasaanku… bahwa sebenarnya aku butuh seseorang yang mau menerimaku…

Pencuri yang dulu membuatku marah itu, telah membangunkan kepura-puraanku…

“Gue nggak tahu gue musti bersyukur ato gimana, tapi yang pasti begitu gue tahu sejatinya elu, gue ingin bilang kalo… Lu jangan bawa beban itu sendirian…”

“Beban apa? Beban bahwa aku gay…?” ucapku gemetar. Setetes air mata tergelincir dari pelupukku…

“Bukan. Beban lu itu… kesepian. Lu cuma berbagi sama diary, karena lu nggak tahu harus berbagi sama siapa kan? Gue ngerti kalo lu cemas sama tanggapan orang lain… Tapi lu bukan orang lain buat gue, Mas, biarpun kita ini dipisah sejak kecil. Kita dikandung sama-sama berdua, gue nggak mau jadi sodara buat lu benci, dan gue juga nggak mau benci sama lu… Gue nekat baca diary lu… karena gue juga pingin berbagi sama lu… Gue pingin kenal sama sodara gue lagi…”

Kudengar suara Denis yang lirih di sana, menyibak semua perasaanku dengan gamblang… Rasa marah, rasa malu, rasa angkuh… yang sebenarnya cuma jelmaan dari sebuah ketakutan, takut kehilangan orang-orang yang kusayang, takut kalau mereka nggak mau menerimaku…, takut kalau mereka berbalik membenciku… Papa, Mama…, Denis… Bagaimana mungkin aku bisa membenci kalian…?

“Mas, gue tetap minta maaf soal kelancangan gue. Gue nggak nuntut elu buat maafin gue. Tapi gue ingin lu tahu… Selama lu ingin semua itu tetap jadi rahasia, gue akan jaga buat lu… Sebenarnya gue sendiri juga butuh waktu buat merenungkan keadaan elu. Tapi akhirnya gue bisa pahami… lu ngejalanin sesuatu yang nggak mudah, gue percaya lu ngejalanin itu bukan buat sekedar main-main sama hidup elu… Jadi… gue akan berada di pihak elu. Lu tetap kakak gue, dan gue sayang sama elu…”

Badanku luluh di atas tempat tidurku mendengar semua pengakuan Denis… Mataku nanar memandang langit-langit, nggak ada sepatah katapun yang sanggup kukatakan. Dadaku terasa sesak dan pedih.

“Gue cuma ingin sampein itu aja, Mas… Met malem…”

“Tunggu…” akhirnya sekecap kata keluar dari mulutku sebelum Denis menutup HP-nya.

“Kenapa?”

“Den…” ucapku menahan gemetar di bibirku. “Kamu benar… selama ini akulah yang selalu pura-pura… Akulah yang pengecut, selalu nyalahin orang lain. Aku marah karena aku munafik…! Sekarang baru aku sadar… aku butuh kamu, Den… Harusnya aku bersyukur… Kalo kamu nggak lancang, mungkin aku nggak akan pernah tahu arti yang sebenarnya dari… sodara seperti kamu…” aku terbata-bata mencurahkan isi perasaanku yang nggak bisa bersembunyi lagi. “Aku juga harus minta maaf sama kamu…”

Kudengar tawa kecil Denis di sana, sebaliknya air mata mengalir makin deras membanjiri pipiku. Ya Tuhan… Betapa memalukan aku ini…! Karena manusia sombong ini rupanya begini cengeng…!

“Mas… Lu nangis ya…?”

“Diammm…!” tukasku jengkel.

Aku mengusap mataku yang makin banjir. Sedangkan Denis tertawa lagi.

“Gue nggak bilang lebay kok, Mas… Cowok kan juga boleh nangis. Malah harusnya bersyukur, karena itu tandanya punya hati. Gue juga pernah nangis kok…”

“Mulai… cerewet!” tukasku.

Denis tertawa lagi.

Akhirnya, meski dengan jarak yang jauh ini, meski hanya lewat segenggam HP… Kami bisa tertawa. Jiwaku terhibur lagi…

“Den… Erik habis nolak aku…”

“Hahh…? Lu udah ngomong ke dia…?”

“Akhirnya… Tapi aku udah ikhlas kok… Yahh, masih berusaha ngatasin sakit hati sih…”

Kami lalu terdiam. Aku mau menceritakan semuanya, tapi… mungkin sebaiknya jangan. Kalau aku cerita semuanya, perasaanku yang sudah dikecewakan ini mungkin mudah terjebak buat menjelek-jelekkan Erik… Itu nggak perlu. Denis tahu intinya, itu sudah cukup.

“Dia nggak suka sama lu…?”

“Dia… nggak seperti aku… Jadi ya… nggak bisa nerima aku. Dia bilang cuma bisa cinta sama cewek. Sudahlah… Berani suka, juga harus berani ditolak…” ujarku menegarkan diri meski pahit rasanya.

“Gue suka lu bisa bersikap gentle…” cetus Denis.

Aku tersenyum lebar seraya memejamkan mataku. Ya, aku harus belajar melepaskan harapan-harapan yang sepertinya memang terlalu tinggi itu… Menyukai seorang idola sekolah? Ahhh… Sudahlah, lupakan mulai sekarang! Kenyataan sudah bicara.

“Mas… Kalo lu memang udah yakin sama kondisi lu, apa nanti lu akan ngomong ke Papa sama Mama…?” Denis melontarkan satu pertanyaan yang cukup berat buatku.

“Entahlah… Ngomong ato tetap merahasiakannya, dua-duanya nggak mudah. Jadi… kayaknya aku belum bisa memikirkan keputusan apa-apa. Lihat aja nanti lah…” desahku lesu.

“Oke… Selama lu mau tetap menyimpan itu, gue akan ikut jaga rahasia lu…”

Rahasia…? Sekarang hampir semua teman sekolah sudah tahu soal ‘rahasia’ itu. Bukan rahasia lagi. Sesuatu yang nggak bisa kucegah lagi. Yang masih bisa kucegah mungkin adalah… agar Papa sama Mama nggak sampai dengar masalah itu. Entah bagaimana caranya…

“Sebenarnya itu juga udah bukan rahasia lagi, Den… Teman-temanku udah pada tahu…”

“Hahhh…?!” kudengar suara Denis yang kaget. “Kok…? Gimana bisa…?”

“Aku nggak tahu… Tapi nanti pasti akan jelas juga, siapa yang nyebarin…”

“Erik…?”

“Aku nggak tahu, dan aku juga nggak mau nuduh… Biar nanti ketahuan sendiri…” ucapku gamang. Sebenarnya… kecurigaan itu memang ada. Tapi… aku sulit percaya Erik akan setega itu. Aku nggak boleh gegabah menuduh orang.

“Terus…? Gimana tanggapan temen-temen lu?”

Aku tercenung sesaat. Apa aku harus ngasih tahu Denis berita buruk hari ini? Buat bikin dia resah dan membakar emosinya…?

“Ada yang ngatain sih… Tapi… masih wajar kok, buat becandaan aja…” akhirnya aku berbohong. Demi kebaikan.

“Kalo ketahuan siapa orangnya, biar gue yang hajar…!”

“Udah! Ngapain sih sampai segitunya…?! Nanti juga pada diam sendiri kalo udah capek…” cegahku. Nah, rupanya yang kucemaskan memang bisa terjadi kalau aku mengatakan yang sebenarnya. “Lagian kapan mau hajar orangnya? Bukannya kamu mau balik ke Medan…?”

Denis terdiam. Aku menunggunya, agak lama…

“Kamu… mau pulang ke Medan kan…?” ulangku perlahan.

“Iya… Besok lusa berangkat pagi, tiketnya udah dipesan…” akhirnya Denis menjawab.

Dan akhirnya… rasa sedih begitu terasa saat Denis memastikan dia akan balik ke Medan. Setelah melewati berbagai pertengkaran, kemarahan, kepura-puraan, dan saling memaafkan… akhirnya rasa kehilangan ini muncul…

Kapan lagi aku bisa melihat dia? Sodara kembarku yang usil dan menyebalkan itu, aku pasti akan kangen sama dia…

“Ohh… Ya udah… Ati-ati ya…” ucapku dengan lirih dan berat.

“Kalo mau bilang ati-ati, jangan ke gue, tapi ke pilot pesawat…! Hehehe…”

Lagi-lagi rasa haru membuatku ikut tertawa.

“Aku kayaknya akan kangen sama kamu, Den…”

“Itu sih pasti…”

“Ah, sialan…!” umpatku jadi rada gengsi.

“Hahaha… Gue tahu kok, Mas, kalo elu sebenarnya sayang sama gue…”

“Tahu dari mana?”

“Mama yang cerita…”

“Cerita apa?”

“Dulu pas gue dibawa sama Tante ke Medan, katanya elu sering nangis tiap mau tidur… Hampir sampe sebulanan gitu katanya… Pasti kangen kan sama gue…?”

Ini dia, gelagat menyebalkan kalau Denis mulai cerewet! Tapi aku diam saja, soalnya… yang dia omongin memang benar. Memang kok, aku cengengnya segitu…

“Gue juga kangen kok, Mas… Dulu gue juga sering nangis kok…”

“Hahaha…” aku ganti ketawa sekarang.

Tapi kemudian… hatiku jadi sesak ketika mengingat kami yang harus dipisah pada saat masih kecil. Apalagi Denis, dia yang jauh dari orang tua… Sekarang dia pulang ke rumah kami di Solo, tapi aku nggak di rumah… Dan di saat aku baru menyadari rasa sayangku… kami sudah nggak punya kesempatan buat bertemu lagi… Kami cuma bisa bicara dan saling berbagi rindu lewat benda mungil ini… sebuah handphone. Dia akan berangkat lusa pagi, aku mungkin baru sampai di rumah lusa siang…

Melihat wajahnya sebelum berpisah saja aku nggak punya waktu…

“Lu musti lebih terbuka, Mas… Jangan menyendiri terus!” Denis berpesan.

“Iya… Tapi pasti susah cari teman yang mau nerima orang kayak aku…”

“Pasti ada lah! Sebenarnya gue juga nggak ngerasa asing-asing amat sama gay. Gue di Medan juga ada kok teman yang gay, dan teman yang lain juga bisa nerima. Tapi jujur aja, gue tetep kaget juga waktu tahu lu seperti itu… Pokoknya jangan jalanin semuanya sendirian…!”

Aku mengangguk di atas bantalku. “Oke… Kamu juga harus jaga diri di Medan…!”

“Hmmhhh… Iya. Gue pamit ya…”

Rasanya berat buatku menjawab ucapan perpisahan ini. “Iya… Take care!”

“Oke. Nite…”

“Bye.”

Lalu…

Tuttt… Denis menutup HP-nya.

Aku sendirian lagi sekarang. Di kamar yang hening ini. Senyap…

Dan... Akhirnya terlelap...





Bersambung Ke Keranjang 22...
0 komentar

Posted in

Posting Komentar