RSS

Keranjang 34 - 36


Keranjang 34
Aku Tahu Pilihanku...







Aku sedang berada di sebuah mall, Solo Grand Mall. Salah satu mall terbesar di Solo. Kalau mau belanja, nonton bioskop, atau jajan makanan, mall satu ini termasuk lengkap. Tapi kalau mau cari bokep bajakan, kayaknya nggak bakal dapat sih.

Aku sudah agak lama berdiri di sini, menyandar di pagar balkon lantai foodcourt. Sendirian di tengah keramaian, melihat orang-orang yang ramai berlalu-lalang. Siapa tahu dengan cuci mata, pikiranku bisa jernih lagi. Refreshing nggak selalu harus di tempat yang sepi kan?

Sejak dari tadi sebenarnya aku curiga sama cowok yang berdiri nggak jauh di sebelahku. Dia kelihatannya seumuran denganku. Brondong bergaya chic, dengan baju dan celana warna cerah tapi rada norak, modis tapi… ehemmm… ya gitu deh… Tiap aku ngelirik ke dia, entah sengaja atau enggak dia juga pas sedang ngelirik aku. Lalu habis itu dia buang muka sambil cemberut. Lagaknya! Jangan-jangan ke-ge’er-an dia…? Aku ngelirik karena penasaran ya, bukan naksir!

Aku melangkah jalan-jalan di depan jajaran kedai foodcourt. Pingin jajan makanan, tapi bingung mau makan apa saking banyaknya kedai dan menu yang ditawarkan. Akhirnya cuma muter-muter aja, berjubal dengan pengunjung lainnya yang ramai dan bising…

Nggak kerasa, setelah muter-muter langkah kakiku sampai lagi di depan cowok brondong tadi, dan lagi- lagi dia cemberut sok imut ngelihatin aku.

Tapi… kemudian terjadi sesuatu yang menarik perhatianku…

Seorang om-om datang menghampiri brondong di sebelahku itu. Om tadi menyapa anak itu. Lalu mereka ngobrol, entah apa yang diomongkan aku nggak dengar. Tapi terkesan sekali kalau mereka baru berkenalan… Mereka ngobrol sebentar, habis itu mereka berdua jalan ninggalin balkon. Tangan Si Om menempel di pinggang anak itu…

Sekarang aku mulai berpikir, kayaknya di tempat ini nggak cuma buat jajan makanan, tapi juga jajan ‘brondong’…! Ada wajarnya sih, pusat belanja dan hiburan yang ramai kayak mall ini akhirnya jadi lokasi kencan! Dari segala usia, dari segala motif…! Sebenarnya hal seperti itu sudah nggak asing juga sih…

“Hei…” seseorang menyapaku.

Aku menoleh agak kaget…

“Hai, Bro!” sambutku hangat.

“Ngapain bengong di sini?” tanya Ben sambil toss.

“Nggak ngapa-ngapain. Baru nggak jelas aja nih!” sahutku masam. “Kamu sendiri ngapain?”

“Nih habis cari DVD,” ujar Ben sambil menunjukkan bawaannya. “Udah makan?”

“Belum. Kenapa? Mau nraktir?” candaku.

“Enggak! Aku mau makan nih, kalo kamu nggak ada duit temenin aku aja ya!” ujar Ben sambil jalan ke kedai foodcourt.

“Pelit!” ejekku sambil ngikut.

Ben mampir ke kedai Bento. Dia pesan paket Chicken Teriyaki. Tadi aku bingung mau makan apa, tapi sekarang berhubung ada teman jadi ngikut aja… Aku pesan Beef Yakiniku. Kurogoh dompetku…

“Ini aja,” cegah Ben sambil menyodorkan duitnya duluan ke kasir.

“Nggak usah, aku bayar sendiri!” sahutku sambil ikut menyodorkan duitku ke kasir. “Aku bayar sendiri, Mbak!” ujarku ke penjaga kasir. Duitku diterima sama penjaga kasir itu sambil tersenyum-senyum.

“Katanya minta ditraktir?” celetuk Ben.

“Becanda kali!” tukasku. Nggak enak lah, ketemunya kebetulan kok minta ditraktir?! Kecuali kalau sudah kencan dari rumah dan yang ngajak dia, baru dia wajib nraktir!

Aku sama Ben duduk menghadapi meja foodcourt. Harus menunggu 15 menit buat menu yang kami pesan. Suara dentum house musik, celoteh orang-orang yang makan di meja foodcourt, dan wara-wiri orang yang lewat, jadi suasana di mall yang megah ini. Aku bengong lagi di depan meja makanku, melewatkan suasana yang masih terasa mengambang…

“Kamu lagi cari apa?” pertanyaan Ben mengulik kerancuanku.

“Nggak tahu, aku juga bingung. Dari tadi cuma jalan-jalan aja…” gumamku datar.

“Stress?” cetus Ben disertai tawa kecil.

Aku cuma menggumam dengan senyum mengawang…

“Kenapa nggak nonton film aja?” cetus Ben.

“Filmnya nggak ada yang bagus. Lagian ke sini memang nggak niat. Asal belok aja tadi…” sahutku.

“Memangnya sebelum ke sini kamu dari mana?”

“Dari sepedaan. Nggak jelas juga…”

“Wahhh… Stress berat nih kayaknya? Ada masalah apa?” tanya Ben kelihatan penasaran.

“Banyak sih. Sebenarnya kalo dibilang berat banget sih enggak juga. Cuma masalahnya melibatkan banyak orang aja. Lumayan menekan kalo dipikir terus. Makanya aku pingin nyantai aja, main-main ke sini…” jelasku sedikit lesu.

“Hmmm…” Ben menggumam. Dia melipat tangan di balik kepalanya, duduk sambil mengayun-ayunkan kursi. Senyum kecil menghias bibirnya, senyum yang straight banget! “Masalah cowok?” tebaknya dengan sorot mata agak jahil.

“Hahaha… Salah satunya!” sahutku agak malu.

Ben langsung ketawa juga. “Kenapa? Baru naksir atau udah ditolak?”

“Udah ada rasa suka sih. Tapi… kamu ngerti lah situasiku, gimana-gimana nggak semudah hubungan cowok sama cewek…” ujarku pelan.

“Iya sih, aku bisa ngebayangin. Salah-salah, bukannya dapat pacar malah dapat malu. Yang ini… masih dengan yang dulu itu?” cetus Ben.

“Sama Erik? Bukan! Aku udah nggak ada urusan sama dia…!” gumamku sambil mencomot isi kantong plastik yang dibawa Ben, iseng-iseng melihati DVD yang barusan dia beli. DVD musik semua, band-band yang aku nggak kenal. Symphony X, Angra… Metal semua nih kayaknya…

“Berarti baru lagi nih?” selidik Ben lagi.

“Iya…” desahku dengan senyum agak malu. “Menurutmu, aku tuh konyol nggak sih, Ben…?” pancingku kemudian, sambil memasukkan lagi DVD-nya Ben ke dalam plastik.

“Konyol? Dalam hal apa?”

“Cowok suka cowok. Konyol ya?”

“Nggak…” sahut Ben sambil tersenyum masam. “Menurutku nggak ada hal yang konyol, selama dijalanin dengan serius. Tapi aku nggak nyangka juga sih, kamu bisa dapat gebetan baru. Lumayan cepat…!”

“Hahaha… Memang perasaan kayak gini nggak bisa ditebak. Aku juga nggak pernah punya rencana habis ditolak Erik musti cepat-cepat cari pengganti… nggak, nggak ada rencana! Pas ketemu ngerasa cocok aja, terus jadi suka. Nggak tahu juga nantinya bakal gimana, aku pingin mengalir aja…”

“Terus, masalahnya di mana?”

“Ya itu, aku sih pinginnya mengalir. Tapi jalan buat mengalirnya itu yang ribet…! Di sekolah kan udah banyak yang tahu soal aku, bisa aja kan kalo lama-lama dia juga dengar? Rasanya nggak rela kalo dia tahu dari kasak-kusuk orang lain, tapi kalo aku sendiri yang bilang ke dia… saat ini juga masih terlalu cepat…! Sekarang kondisinya lebih susah dibanding waktu aku sama Erik dulu. Sekarang udah banyak yang tahu soal aku, jadi lebih kerasa bebannya…!” desahku lesu.

“Waktu kamu masih suka Erik, sebenarnya kamu juga udah tahu resikonya kan? Kamu harus berani dong! Kalo cuma diolok-olok sih cuekin aja! Namanya juga anjing menggonggong…!”

“Kalo soal diolok-olok sih lama-lama aku juga udah biasa. Kebal sendiri. Tapi yang aku pikirkan justru posisi cowok yang aku sukai itu…” bisikku pelan.

“Tapi aku cuek kok temenan sama kamu. Aku nggak malu atau gimana-gimana…!” sahut Ben.

“Ya memang dasarnya kamu tuh cuek orangnya! Lagian posisi antara aku sama kamu juga beda. Kalo aku sama anak itu, karena aku ada ‘rasa’ ke dia, ada motivasi yang mengarah ke… ya kamu tahu lah maksudku…! Disukai sama cowok yang sering dicaci di sekolah, pasti jadi beban mental juga buat dia kan? Aku tahu Erik dulu juga gitu, ngerasa jengah tiap kali aku dekati soalnya anak-anak lain suka ngolok-olok! Akhirnya aku ditolak sama Erik… Aku cemasnya yang sekarang juga begitu, karena beban mental yang dia hadapi pasti nggak gampang…” jelasku.

Aku masih ingat sama kata-kata Aldo waktu di sekolah tadi pagi, nggak mungkin lupa. Anak-anak yang sesama gay aja akan berpikir dua kali buat bergaul sama aku, malu dan takut kalau orang lain tahu bahwa mereka sama sepertiku… Apalagi Fandy, yang belum tentu dia gay sepertiku, kalau orang-orang pada tahu aku suka sama dia, itu bisa jadi beban buat dia… Aku nggak boleh menyamakan semua orang seperti Ben atau Denis, atau Misha yang bisa enjoy bergaul sama aku!

“Sebenarnya intinya, kamu bingung dia bisa nerima kamu atau nggak kan?” tanya Ben.

“Ya iya! Untuk tahu dia bisa nerima aku apa nggak, otomatis dia perlu tahu kondisiku… Entah lewat pengakuanku sendiri atau dari omongan orang lain, baru dia akan ngasih respon kan?”

“Memangnya selama ini dia gimana? Kira-kira bisa nerima kamu apa nggak?”

“Aku juga nggak tahu. Aku juga nggak bisa nebak, apa dia itu sama kayak aku atau enggak…” keluhku. Kuakui sekarang, betapa radarku memang payah!

“Ribet ya… Tapi, kenapa mikirnya musti seberat itu? Kalo misalnya sama yang ini kamu ditolak jadi pacar, bukan berarti kamu udah nggak punya kesempatan buat menemukan yang lain kan? Kalo kamu juga ditolak jadi teman, aku yakin kamu juga masih punya teman yang lain…”

Aku menatap Ben yang berusaha memberiku semangat. “Iya, aku tahu…” gumamku seraya tertawa pahit. “Tapi, aku tetap punya harapan sama dia. Meskipun nggak terlalu… tapi tetap berharap… Yaaahh setidaknya, misalnya nggak bisa jadi ‘boyfriend’, dia tetap mau berteman denganku…”

Ben mengangguk dengan senyum tipis. Sorot matanya seolah menegaskan kalau dia ada di pihakku. Ya, aku tahu itu.

“Maaf, Mas, pesanannya agak lama…” sapa Pramusaji yang menghampiri kami, sambil meletakkan menu pesanan kami di atas meja. “Silakan…” ucap Pramusaji itu, kemudian dia segera berlalu lagi.

“Lumayan…” gumamku sambil ngelirik ke cowok pramusaji tadi.

“Ahhhh! Jelalatan!” tukas Ben sambil mengaduk bumbu Teriyaki-nya.

“Hehehe… Memangnya kamu nggak gitu kalo sama cewek?” balasku.

“Biasa aja!” cetus Ben.

Aku mencicip Yakiniku milikku sambil tertawa kecil. “Kamu pernah pacaran nggak sih, Ben?” tanyaku.

“Pernah. Kenapa?”

“Nggak. Cuma nanya aja. Sama cewek kan?”

Ben langsung ngelirik aku dengan mata judes. “Ya iya lah! Kenapa? Ngarep aku sama cowok?” tukasnya agak ketus.

“Enggak…” gumamku sambil cengengesan. “Masih jalan?”

“Udah putus. Udah jaman SMP dulu…”

“Wahhh… Ternyata kamu eksis juga ya, SMP udah pacaran…?!”

“Biasa aja lah. Jaman sekarang anak SD aja juga udah tahu pacaran!”

“Betul…!” gumamku sambil mengunyah nasi Yakiniku di mulutku.

“Siapa sih gebetan barumu itu?” tiba-tiba Ben balik bertanya seputar masalahku tadi.

“Palingan kamu juga nggak kenal. Anak kelas satu…”

“Anak baru? Hmmm…” Ben mengangguk-angguk sambil mengunyah makanannya.

“Kenal juga belum ada seminggu. Tapi anaknya nyenengin sih… Makanya aku bisa cepat suka sama dia…” gumamku sambil membayangkan Fandy… anak yang menyenangkan. Pasti asyik kalau bisa jalan-jalan sama dia, terus makan-makan sambil ngobrol seperti sekarang ini…

Tapi kalau dirasa-rasa, sebenarnya terlalu banyak berkhayal seperti inilah yang bikin orang jadi terlalu berharap! Pikiran itu memang memiliki ruang jebakan, kita dimanjakan untuk bermain imajinasi di sana, lalu terjebak dengan harapan-harapan yang muluk! Makin tinggi menaruh harapan, saat jatuh… semakin mungkin untuk hancur!

“Kamu kenapa sih?” tanya Ben memandangiku.

“Nggak papa!” gumamku jutek. Aku sedang termakan kebingungan!

“Mukamu itu, kayak orang yang kebelet punya pacar!” cibir Ben.

“Enak aja! Bukan kebelet ya! Kalo kebelet aku pasti udah nembak dia!” tukasku kesal.

“Kamu terpikir buat nikah nggak sih, suatu saat?” celetuk Ben.

“Moga-moga…” jawabku cuek.

“Tapi soal seks nggak nunggu nikah kan?”

Aku hampir keselek nasi gara-gara omongan Ben…

“Kenapa? Kok mukamu tambah aneh gitu?” tanya Ben sok polos.

“Omonganmu rusak juga ya! Itu urusanku!” tukasku ketus. “Aku bukan orang yang nggak bisa mengendalikan diri!”

“Iya, iya… Gitu aja sewot…!” gumam Ben cengengesan sambil mengunyah makanannya. “Masalah yang lain apa lagi? Masalah cowok cuma salah satunya kan?”

“Ahh… Ntar aja lah, biar jelas dulu. Terus terang aku belum tahu masalah-masalah ini mau bermuara ke mana… Masih belum bisa kutebak…” tandasku lesu.

Di sela-sela aku mengunyah makanan sambil merenung, mataku sekilas menangkap lagi sosok Om dan Brondong tadi… masih dengan bergandengan sambil menenteng plastik besar berlogo department store terkenal. Aku terpana mengamati dua orang itu, yang melintas seolah tanpa peduli dengan ramainya orang di sekitar mereka. Aku di sini dengan perasaanku yang jungkir balik, sedangkan di luar sana sepertinya mereka bisa mencari kesenangan dengan begitu mudahnya, meski mungkin cuma untuk sesaat…

Entahlah, aku nggak bermaksud menilai sebuah film dari posternya, tapi begitulah yang sekedar terbayang dalam pikiranku. Aku tahu banyak orang yang berprinsip lebih baik hubungan sesaat tanpa ikatan, yang penting menguntungkan… Daripada hubungan serius tapi sering makan hati, dan akhirnya kandas juga. Ya, seperti perasaanku terhadap Erik dulu…

Apa memang naif, kalau aku masih percaya sama cinta…?

“Boleh tahu, gimana Denis bisa nerima kondisi kamu?” tiba-tiba Ben memecah lamunanku.

“Emmmhhh…” aku menggumam, agak kikuk berpikir. “Yaahhh… Dia bilang… selama aku yakin ini bisa bikin aku bahagia, it’s OK… Kurang lebih, mungkin sama seperti yang kamu bilang, nggak ada pilihan yang konyol selama dijalani dengan sungguh-sungguh…”

Aku segera terpekur lagi, merenungkan apa yang sudah mampu kuucap barusan…

“Kamu beruntung punya sodara kayak dia…” gumam Ben pelan.

Aku mengangguk. “Gimana dengan sodara-sodaramu?” aku balik bertanya.

Ben menatapku dengan senyum tipis. “Aku anak tunggal…” jawabnya.

Aku tercekat. Memandangi Ben tanpa berucap apa-apa.

Sekejap, sesuatu segera menggugah pikiranku lagi…

Aku kadang memang mendapat cacian. Tapi mereka yang mencerca bukan siapa-siapa…! Bukankah yang seharusnya lebih penting untuk kupedulikan adalah… sodara dan juga sahabat yang menerimaku dengan tulus…?

Pandanganku kembali terlontar pada sosok Om dan Brondong tadi. Mereka sedang duduk berdua menghadapi salah satu meja makan di foodcourt. Apapun yang mereka jalani, mereka pasti berdiri di atas pilihan mereka, prinsip mereka. Dan aku, dengan keluarga di mana aku masih memiliki harapan, dengan teman-teman yang masih setia menerimaku, di situlah tempatku berdiri! Kurasa… kesenangan yang mereka cari, bukanlah yang aku cari.

“Sekarang senyum-senyum sendiri…!” sindir Ben memecah lamunanku lagi.

“Hahaha…” aku cuma tertawa masam sambil meneruskan makanku.

Lalu HP-ku berbunyi, SMS masuk…

“Mas, titip beliin srabi donk…”

SMS dari Denis. Biasanya aku paling malas kalau dimintai titip atau duitku dipinjam. Tapi sekarang, rasanya kok malah pingin beliin dia oleh-oleh yang banyak…? Beliin kue srabi sekilo sekalian!

“Ada yang kangen sama aku,” gumamku sambil tertawa kecil. “Kangen sama oleh-olehku maksudnya…”

“Adekmu ya?”

“Iya. Kapan-kapan aku pingin main ke rumahmu, Ben…”

“Aku aja yang ke rumahmu, kan lebih rame ada si Denis juga.”

“Oke, tapi kapan-kapan aku tetap ke rumahmu…!” sahutku.

“Gampang lah!” gumam Ben santai.

Kulihati meja makan kami. Mangkok, piring dan botol softdrink yang sudah nggak ada apa-apanya lagi. 

“Habis ini kamu pulang?” tanya Ben. Dia kelihatan sudah bersiap-siap.

“Yoi. Paling mampir buat beli titipan bentar…” ujarku.

“Aku mau langsung pulang…”

“Oke. Bareng!”

Kami berdiri dari tempat duduk, melangkah meninggalkan meja kami. Berjalan ringan menyusur lantai, menuju escalator. Sekilas masih sempat kutengok Om dan Brondong tadi… mereka kelihatan masih asyik ngobrol sambil makan, dengan sepasang tangan mereka saling memegang di atas meja…

Aku cuma tersenyum melihatnya.

Hanya mereka yang tahu apa yang sedang mereka jalani. Yang aku tahu, setiap orang ingin berdiri pada pilihan masing-masing.


Begitu juga aku.





***





Keranjang 35
Pensi







Hari ini ada inagurasi MOS siswa-siswi kelas satu. Aku ingat dulu waktu jaman aku kelas satu juga ada acara seperti itu, berkumpul di aula mendengar pidato-pidato panjang dari guru dan sebagainya, yang intinya sebenarnya cuma ngasih selamat karena MOS sudah diikuti sampai tuntas. Tapi habis acara ngomong-ngomong yang membosankan itu, ujungnya adalah Pentas Seni!

This is the day! Sekolah pun dibebaskan dari jam pelajaran karena sebagian besar guru sibuk mengurusi acara itu. Bebas jam pelajaran, ada tontonan pula…! We’re happy! Termasuk aku, langsung semangat menuju aula!!!

“Homo, mau kemana…?”

Agak kaget saat sekecap ejekan dilempar ke telingaku. Aku tengok sekilas, anak-anak kelas sebelah ketawa-ketawa ngelihatin aku. Ketawa ngejek. Lama-lama aku mulai hafal anak-anak yang suka mengejek itu. Ya itu-itu aja orangnya! Nggak usah dipikirin, nggak penting! Ketawa aja terus, sampai kering gigi kalian…!

Kudengar suara musik sudah mulai menggebrak di aula. Berarti pidato-pidato, serah terima piagam, pesan kesan, dan tetek bengek formal lainnya itu sudah selesai. Sekarang tinggal acara hiburan, Pentas Seni! Anak-anak lainnya juga sudah berduyun-duyun berangkat ke aula…

So, c’mon…! Percepat langkah…!

Sampai di aula, sudah penuh banget! Aku awalnya pingin ikut masuk… tapi begitu membayangkan suasana di dalam aula yang sumpek tanpa AC itu… pasti seperti terbakar rasanya…! Jadi ragu buat masuk ke sana. Tapi band-nya kedengarannya asyik dan suasana di dalam sana meriah…?!

Aku celingak-celinguk di depan aula yang ramai dan gaduh. Mataku segera tersita pada mistar serambi yang rendah, yang biasanya buat duduk-duduk… Misalnya dipakai buat berdiri, pasti bisa melongok pentas yang ada di dalam sana lewat jendela…! Tapi… nggak ada yang berdiri di situ, kayaknya nggak ada yang berani soalnya kalau ketahuan guru pasti dimarahi…!

Ah, cuek! Coba saja dulu…!

Kunaikkan kakiku ke mistar serambi yang tingginya sepaha… Huppp! Aku berdiri sekarang, dan… benaarrr!!! Aku melongok lewat jendela dan bisa kulihat pentasnya dengan jelas!!! Nah, kalau begini kan nggak perlu ikut gerah-gerahan di dalam aula!

Band yang sedang main di pentas adalah band anak-anak kelas satu. Lumayan juga! Audience di dalam sana banyak yang ikut nyanyi, tepuk-tepuk, sorak-sorak, jingkrak-jingkrak… Sambutan yang positif!

“Ehh, sini, sini, sini…!” tiba-tiba ada segerombolan ibu-ibu, eh… cewek-cewek kelas tiga yang badannya lumayan pedaging semua, tergopoh-gopoh menginvasi tempatku berdiri…

Busettt! Badan pada bigsize gitu mau nangkring di atas sini?!!

“Eh, ikut berdiri sini ya…” salah satu dari mereka langsung naik ke atas mistar, dengan susah payah… Lalu disusul teman-temannya yang lain. Dan begitu mereka sudah berhasil berdiri di atas, langsung ribut…!

“Hahaha… Waahh, asyik nih pas depan jendela!”

“Ahhh, tapi cupu bandnya!”

“Nggak ahh, imut kaleee…!”

“Nyadar dong! Kalo imut emang matching sama body kita?!”

“Hahahahaha…!!!”

Berisik!!!

Jadi terusik sama kedatangan mereka! Dan kayaknya jadi nggak sedap dilihat nih kalau aku berdiri berjajar sama cewek-cewek gendut urakan ini… aku cowok sendiri, langsing sendiri, pendiam sendiri… Kontras sama mereka!!! Dan tanda-tandanya mereka bakal betah nonton dari atas sini…! Terpaksa harus pindah tempat nih…!

“Ehh, sorry ya, jadi kegusur…!” seloroh salah satu dari gank cewek gemuk tadi sambil cekikikan.

“Nggak papa. Malah kalo temboknya rubuh aku nggak perlu ikut tanggung jawab…” balasku cuek sambil menghindar.

“Ih, kok sengak gitu sih…?!” cewek tadi langsung menyahut dengan judes sambil komat-kamit nggak jelas.

Biarin! Memang aku kesal daerahku direbut! Apalagi sekarang anak-anak lainnya juga ikut-ikutan naik berdiri di atas mistar, sepanjang serambi penuh dipakai buat berdiri! Aku sebagai pencetus ide malah tersingkir…! Sialan!

“HEIII…!!! Siapa yang mulai ini?!!! Ayo turun!!!” tiba-tiba terdengar suara galak menggelegar.

Entah datang dari mana, Bu Kamti sudah melotot di belakang anak-anak yang berdiri di atas mistar… Otomatis, BUBAR!!! Semua langsung turun dan sebagian lekas-lekas ngacir… Paling ribet jelas saja cewek-cewek gemuk tadi! Kondisi fisik mereka jelas mengakibatkan hambatan teknis untuk turun dari mistar yang tingginya sepaha itu. Gimana enggak? Buat ngangkang enampuluh derajat aja belum tentu sukses tanpa bikin rok mereka robek…! SUKUUUURRRR…!!!

“Masya’allah…! Siapa tadi yang mulai?!!” seru Bu Kamti pada cewek-cewek gemuk yang masih susah payah turun dari mistar itu.

Siapa yang mulai…??? Instingku langsung nggak enak! Aku segera menyelip-nyelip ke tengah kerumunan, kabur diam-diam… Kalau cewek-cewek tadi menunjukku bisa mampus aku berurusan sama Bu Kamti! Mending kabur…!

Secara darurat aku terpaksa masuk ke dalam aula, menceburkan diri ke kolam manusia yang benar-benar bikin… Gerah…!!!

Suara musik berdengung-dengung jadi satu dengan suara gaduh anak-anak yang menonton. Aku bingung, berulang kali kakiku tersandung kursi yang tersebar nggak rapi! Berulang kali juga tersenggol kesana kemari oleh anak-anak yang berjoget… Bisa-bisanya mereka enjoy dengan tempat seperti ini?!! Baru saja masuk, rasanya aku sudah pingin keluar saja dari ruangan ini…! Kubayangkan, ini baru pentas kecil… gimana kalau konser gede?!! Aku pasti semaput, nggak kuat menahan gerah dan bau keringat…!

Aku kembali menyusup menembus kerumunan… berusaha mencapai pintu keluar di sisi seberang. Dengan susah payah, akhirnya sampai juga aku di depan pintu keluar… I’m coming, free air…!!!

“Mas…!” tiba-tiba ada yang menarik tanganku, menghentikan langkahku yang sudah berada di ambang pintu.

Aku langsung menengok, dan… Fandy tersenyum di belakangku, tanganku masih dipegangnya…

“Mau kemana?” sapa Fandy.

“Eh, mau keluar… Nggak kuat aku di dalam sini…!” seruku. Suasana ramai seperti ini ngomongnya juga harus keras biar kedengaran!

“Kenapa?” tanya Fandy.

“Gerah…!” keluhku sambil mengibaskan kerah kemejaku.

“Baru seru, masa mau keluar?!! Sini aja dulu…!” Fandy malah menarikku masuk lagi.

Jadi berat juga buat menolak yang satu ini… Lihat dong, siapa yang mengajak…!!!

Akhirnya aku kembali ke tengah keruman di dalam aula ini. Tentu saja karena yang Fandy yang mengajakku…!

“Seruuuu…! Aku baru sekali ini nonton pensi di sekolah…!” cetus Fandy dengan senyum lebarnya. Dia kelihatan sangat senang, sesekali ikut bersorak, tertawa…

Dan aku di sini menemaninya, nggak peduli lagi betapa panasnya ruang ini, betapa bisingnya di sini, ada bahagia tersendiri saat berada di sampingnya…

“Kok kalem-kalem aja, Mas…?” seloroh Fandy padaku.

Aku cuma tersenyum membalasnya. Demi dia aku mau tetap di sini, dan melihat wajahnya yang tampak senang… aku juga merasa senang. Perasaanku makin jelas, kalau Fandy memang punya arti lebih bagiku…

Lagu demi lagu, band bergantian, waktu terus berjalan di tempat yang riuh ini… Tapi sekarang aku hampir nggak peduli lagi dengan itu semua… karena ada dia di dekatku! Dialah yang selalu menjadi perhatianku…

Tapi… kepalaku lama-lama mulai pusing. Ruang sepertinya makin sesak, badanku terus tersenggol kesana kemari, pendengaranku berdengung… Lalu… lama-lama seperti mulai berhenti mendengar… Kulihat Fandy sedang menatapku dan seperti sedang bicara, tapi aku nggak dengar… Ya ampun… Nafasku sesak…

Pemandangan berputar…

Dan tiba-tiba badanku seperti melayang…


“Mas…”

“Dimas…”

Lamat-lamat aku mendengar namaku dipanggil. Sinyal pendengaranku perlahan-lahan mulai peka. Kemudian indra penciumanku juga mulai aktif, ada bau minyak angin di ujung hidungku… Dan akhirnya, radar penglihatanku siuman, mataku terbuka melihat berkeliling… Pemandangan yang kulihat seperti dipenuhi kunang-kunang. Tapi lama-lama jadi makin terang dan jelas…

“Hahhh…?” desahku kikuk.

Ada sekumpulan orang yang sedang memandangiku. Fandy… Lalu Denis… Terus Ben… Misha… Lhoooo…? Semuanya duduk mengelilingiku, dan aku sendiri sedang berada di…

“Lhohh…? Kok aku tiduran di sini???” sentakku tertegun.

“Haiyah…! Nyadar ya sekarang? Lu habis pingsan tadi!” cetus Denis.

Aku terbelalak, makin siuman dan sadar dengan tempat di mana aku berada sekarang… Ini seperti ruang UKS…?!

“Air, air…!” seloroh Misha.

Aku bangun, duduk di atas kasur. Ben mengulurkan segelas teh hangat padaku. Kupegang gelas yang dikasih Ben, tapi nggak langsung kuminum. Masih bingung… Kepalaku juga masih agak berat.

“Udah diminum dulu…!” suruh Ben.

“Aku kok bisa pingsan?” tanyaku terbengong-bengong.

“Kamu ngerasanya gimana tadi?” Misha ganti bertanya.

Aku mengingat-ingat. “Yaa… tadi terasa pusing gitu, terus… nggak ingat, nggak sadar…! Ingatnya tadi aku kegerahan, terus nafas sesak…”

“Kepanasan tuh, kurang oksigen…!” cetus Ben. “Sekitar setengah jam kamu pingsan!”

“Mas Dimas belum makan kali? Atau baru sakit?” Fandy ikut menimpali.

“Aku udah makan kok. Kayaknya sih memang nggak kuat sama sumpeknya tadi…” jawabku sambil memegangi kepalaku yang masih pening.

“Yaaah… Hot dikit aja nggak kuat lu, Mas…!” celetuk Denis.

“Kamu nggak prihatin apa, aku pingsan? Malah ngeledek…!” sungutku sambil ngemplang Denis.

“Yeee… Manjanya kumat! Ini juga gue tungguin elu!” balas Denis.

Misha yang dari tadi kelihatan tenang-tenang saja, nggak tahu dapat dari mana tiba-tiba sudah ada kipas plastik di tangannya. Lalu dia ngipasin aku…

“Biar nggak kegerahan lagi…” cibir Misha.

“Ini lagi! Ikut ngeledek ya?!” tukasku.

“Idihh, sewot amat sih?!! Udah dibaik-baikin juga…!” balas Misha cemberut.

“Sini, sini!” Denis merebut kipas plastik dari tangan Misha. Lalu Denis ngasih kipas itu ke Fandy. “Nih…!”

“Lho, kok dikasih ke aku?” tanya Fandy rada bengong.

“Pakai nanya lagi! Tadi lu yang cerita, Dimas tuh udah mau keluar dari aula terus elu yang ngajak dia masuk lagi…! Dia pingsan gara-gara nemenin elu di dalam! Tanggung jawab sekarang, kipasin tuh!” suruh Denis.

Aku menelan ludah… Ini Denis gimana sih? Mau mengeksploitasi rasa bersalah orang? Fandy juga langsung nurut-nurut aja ngipasin aku sambil pasang muka polos… Yang lain langsung pada senyum-senyum…

“Udah nggak usah!” kurebut kipas yang dipegang Fandy dengan sebal. “Kamu tuh dikerjain Denis mau aja!” malah kumarahi sekalian dia.

“Habisnya… memang aku yang salah sih…” gumam Fandy dengan muka kecut.

“Nggak salah! Denis aja tuh yang bawaannya ngusilin orang mulu…!” balasku.

“Eh! Nggak sadar sih lu, tadi yang gotong elu dari aula sampe sini tuh gue! Berdua nih, sama Ben…!” balas Denis nggak mau kalah.

“Kok kamu tahu aku pingsan di aula?” kulikku.

“Tadi gue nyusul elu yang lagi asyik sama Fandy, tiba-tiba malah lu pingsan!” tukas Denis.

“Tadi aku sama Denis nyusul kamu ke aula…” tambah Ben.

“Sama Misha juga!” tambah Denis.

Oooo… Aku jadi termangu-mangu. Gitu ceritanya…?

“Sekarang gimana, udah baikan?” Misha bertanya.

“Masih agak pusing dikit. Agak lemes juga… Tapi paling bentar lagi juga baikan,” gumamku lesu.

Kukipasi diriku sendiri dengan kipas yang tadi dipakai Fandy. Tapi lama-lama… aku duduk di atas dipan gini sambil kipas-kipas, dan dikelilingi banyak orang… berasa kayak juragan aja ya…?

“Ben, balik ke aula yuk… Dimas paling bentar lagi udah kuat tuh… Nggak usah dimanjain!” Denis mengajak Ben.

“Nggak papa ditinggalin?” balas Ben.

“Alahhh… nggak papa! Biar Fandy aja yang nemenin Dimas di sini…!” sahut Denis sambil ngelirik jahil ke Fandy. “Mau kan nemenin Dimas di sini? Kan tadi Dimas udah nemenin elu?” ujarnya sambil menepuk-nepuk bahu Fandy. Kurang ajar, usil lagi.

“Kamu jangan asal nyuruh-nyuruh ya! Nggak punya perasaan!” tukasku memarahi Denis sambil nabokin dia pakai kipas. “Fan, kamu kalo mau ke aula nggak papa kok… Aku kan udah nggak pingsan, ditinggal juga nggak papa…” ujarku ke Fandy.

“Nggak apa-apa kok, aku nemenin di sini aja…” jawab Fandy.

“Tuh… Fandy-nya aja mau! Ya udah, kita balik yuk Ben?” sahut Denis sambil kedip-kedip ke Ben… Tanda sekongkol…!

“Ya udah…” jawab Ben kompak sama Denis.

“Misha ikut aja sekalian!” Denis juga mengajak Misha.

“Oke!” Misha mengangguk setuju.

“Baik-baik ya, Mas…” ujar Ben sambil ngasih senyum ‘misterius’ padaku. Jangan-jangan sekarang dia sudah tahu tentang aku sama Fandy…?!

“Bye…” Misha mendadahkan tangannya. Sorot matanya kayaknya juga paham akan sesuatu…

“Jagain Dimas ya, Fan…!” ujar Denis ke Fandy.

Mereka bertiga lalu keluar dari UKS… 

Aku ditinggal berdua sama Fandy di sini…!

Bukannya aku mau munafik menyangkal perasaanku pada Fandy, tapi bukan berarti aku senang kalau dikerjai seperti ini! Kupandangi Fandy dengan agak kesal…

“Kamu dikerjain Denis kok nurut aja…?” gumamku menahan rasa dongkol.

“Bukan gitu, Mas… Mas Dimas pingsan gara-gara aku, jadi aku harus tanggung jawab lah…” jawab Fandy dengan senyum polos.

“Tanggung jawab? Aku kan cuma pingsan biasa, bukan epilepsi! Ini juga udah sadar, kalo kamu mau balik ke aula aku nggak papa kok…!” tukasku pelan.

“Lho… Kok malah ngambek gitu sih, Mas? Aku malah jadi tambah nggak enak…”

“Kamu tuh sebenarnya nggak salah, tapi akhirnya malah jadi ngerasa bersalah! Kamu tuh dikerjain Denis!”

“Atau Mas Dimas nggak suka, kalo aku nemenin di sini?” dengan polosnya Fandy malah menohokku.

Oh, God…! Jelas aja aku senang ditemani sama dia…! Tapi aku nggak mau kalau dia menemaniku hanya karena merasa dipojokkan…! Soalnya… masa sih, Fandy nggak pingin balik ke aula…? Bukannya nanti Erik mau tampil di sana…? Bukankah Fandy mengidolakannya…?

“Sebenarnya nggak perlu Mas Denis yang nyuruh, aku pasti tetap nemenin Mas Dimas di sini…” gumam Fandy, seakan dia mendengar apa yang bergumul dalam batinku.

“Kamu nggak pingin lihat Erik di pentas…?” lontarku pelan.

“Mas Erik kan pasti tampil lagi lain waktu. Kalo Mas Dimas, belum tentu lain waktu pingsan lagi…” balas Fandy santai.

“Sekarang kamu berani ngeledek aku ya…?!” tukasku pelan.

Fandy tertawa. “Habisnya, Mas Dimas itu terlalu ribet mikirnya…!”

“Aku bukannya nggak berterima kasih udah kamu temenin di sini… Aku cuma nggak mau ngerepotin kamu aja. Semua orang di sini pingin lihat Pensi. Kamu pasti juga kan…?” gumamku.

Fandy melipat tangannya di tepi kasur, kemudian menaruh kepalanya di atas lengannya. Sambil duduk dia menidurkan kepalanya.

“Hmhhh… Aku capek, Mas…” desah Fandy, cuma itu yang dia ucap. Entah capek yang dia maksud itu apa… Capek buat lihat Pensi, atau capek sama aku yang ribet ini…?

Mungkin itu artinya, aku jangan bertanya lebih banyak lagi…

Aku dan Fandy terdiam. Suara gema dari aula terdengar sampai kemari, di ruang UKS yang kecil ini. Terdengar sayup suara pentas yang sepertinya seru. Kami cuma terpaku berdua di sini, diam di tempat masing-masing.

“Aku boleh ikut naik nggak…?” tiba-tiba Fandy bertanya.

“Ehh…? Naik? Kemana?” aku balik bertanya dengan gugup.

“Naik ke dipan. Pingin ikut tiduran aja…”

“Hah?” decakku terbengong-bengong… Fandy pingin tidur sama aku…? Eh, anu… tiduran maksudnya…?!!

“Cukup nggak sih…?” tanya Fandy dengan polosnya.

“Cukup, cukup!” ucapku gugup, sambil menggeserkan badanku ngasih tempat buat Fandy.

“Suntuk, Mas…” gumam Fandy dengan santainya, seolah nggak ngerasa berdosa sudah bikin hati orang di sampingnya ini berdegup kencang bak irama dugem!

Aku benar-benar bingung… Fandy benar-benar belum tahu situasi yang bisa terjadi seandainya ada orang yang melihat aku dan dia tiduran berdua seperti ini! Tapi… di sisi lain aku juga ingin diriku ini bahagia…! Nggak munafik! Biarpun cuma semenit atau lebih sedikit, berada di dekatnya seperti sekarang bagaimana aku bisa menampiknya?!!!

Perlahan-lahan, aku menoleh ke wajah Fandy, hati-hati mengamatinya… Dia sedang terpekur, matanya yang sayu menerawang ke langit-langit. Leher putih yang jenjang, dada ramping yang naik turun memompa nafas… Pinggang yang langsing, terbalut seragam SMA… Perut… dan…

Kupalingkan lagi kepalaku. Dalam pikiranku jadi timbul keinginan buat ngapa-ngapain, gara-gara terpaku memandangi Fandy yang tanpa dosa berbaring tepat di sampingku! Buang! Berhenti! Jangan main-main dengan imajinasi, karena bisa memancing niat yang enggak-enggak!

“Nanti kalo ada yang lihat gimana…?” bisikku was-was.

“Memangnya kenapa? Kita kan nggak ngapa-ngapain…?!” tukas Fandy cuek.

Ngapa-ngapain…? Ngapa-ngapain gimana yang dibayangkan Fandy…? Jelas aja kita ngapa-ngapain! Kita kan tiduran berdua!!!

“Ya semoga aja, kalo ada yang lihat kita mereka nggak berpikir macam-macam…” sahutku.

“Jangan cuma mengharapkan orang lain untuk berpikir positip, kita sendiri juga harus berpikir positip dong…!” gumam Fandy.

Ya ampun, Fandy benar! Kata-katanya langsung menamparku. Aku takut orang lain berpikir macam-macam, padahal aku sendiri sempat berpikiran ngeres sama Fandy!

“Mas Dimas sama Mas Denis tuh banyak akurnya atau banyak berantemnya sih?” tiba-tiba Fandy sudah mengalihkan pembicaraan.

“Yaa… Gimana ya? Sebenarnya kalo berantem tuh tanda aku akrab sama dia. Soalnya berantemnya juga nggak serius… Malah berasa nggak afdol kalo nggak berantem!” jawabku runtut. “Kok tiba-tiba nanya soal Denis?”

“Hahaha… Nggak apa-apa. Lucu aja kalo ngelihat Mas Dimas sama Mas Denis…”

“Apanya yang lucu?”

“Yaa, kompaknya… Usilnya…!”

“Yang usil tuh Denis! Aku nggak pernah ngusilin orang!” tukasku.

Fandy tertawa pelan. “Oh iya, Mas… Aku nanti sore pulang ke desa lho…” ujarnya beralih ke topik lain lagi.

“Hari ini?”

“Iya. Kan ini akhir pekan. Aku mau pulang kampung. Besok Minggu sore aku balik ke sini lagi. Mas Dimas pernah bilang mau main ke rumahku di desa kan?”

“Ehh, nagih ya?!” cetusku agak kaget. “Kalo sekarang… nggak siap nih…”

“Haha… Ya nggak perlu sekarang lah. Kapan-kapan juga boleh. Cuma kalo Mas Dimas ke sana sekarang, ada pasar malam di sana…!”

“Pasar Malam?”

“Iya. Ada rombongan keliling, tiap tahun selalu mampir ke desaku. Ada komidi putar, kincir raksasa, dan mainan-mainan gitu lah… Minggu kemarin udah mulai dipasang. Biasanya dibuka sekitar seminggu sampai dua minggu…” cerita Fandy.

Pasar Malam? Di desa…?

Segera terbayang di dalam kepalaku, suasana sebuah desa di pelosok yang tenang, dengan orang-orang yang ramah, lalu di sana ada komidi putar, kereta halilintar, kereta kelinci keliling desa, orang jual jajanan tradisional… Alangkah itu sebuah nuansa yang eksotis…!

“Tapi kalo buat Mas Dimas, kayaknya nggak menarik ya? Di sini kan sudah ada Sri Wedari yang buka tiap malam… Hiburan yang lain juga jauh lebih banyak di sini…” Fandy buru-buru mengalihkan persuasinya.

“Tapi dari semua tempat hiburan yang ada di Solo, tetap ada satu hal yang nggak bisa kita temukan…!” sanggahku.

“Apa?”

“Suasana desa!”

“Suasana desa…?”

“Ya!” jawabku mantap. “Dan itu yang bikin aku jadi tertarik buat ke sana…!”

“Lhoo…? Mungkin… tahun depan aja Mas Dimas ke sana… Kan ini habis pingsan, dijagain dulu kesehatannya!” tukas Fandy menasehatiku.

“Sekarang aja ah…!” sahutku dengan semangat bulat.

“Jangan dipaksa dong, kondisi Mas Dimas kan baru nggak baik?! Jadi nyesel aku cerita…” ujar Fandy, setengah mengeluh.

“Nggak usah pura-pura! Tadi kamu cerita soal Pasar Malam buat apa? Kamu pingin ngajak aku kan?!” tudingku ketus.

“Ya tadinya sih gitu, tapi begitu ingat kalo Mas Dimas baru sakit jadi nyesel aku!” kelit Fandy.

“Aku sakit apaan sih?!”

“Ini tadi baru pingsan?!”

“Gara-gara kegerahan, sekarang kan udah baikan!”

“Kok jadi ngotot gitu sih Mas Dimas? Aku bisa dimarahi Mas Denis nanti, Mas Dimas habis pingsan malah aku ajak ke desa…?!” kelit Fandy makin bikin geregetan.

Aku bangun dari rebahanku. “Udah! Denis nanti urusanku! Sekarang kamu jawab aja, kamu seneng nggak aku main ke tempatmu?!”

Fandy menatapku kebingungan. “Ya seneng-seneng aja, tapi…”

“Kalo seneng ya udah, nggak usah pake ‘tapi’!” sahutku langsung memotong ‘tapi’nya Fandy. “Aku pingin jalan-jalan ke Pasar Malam di tempatmu! Nanti kan malam Minggu, jadi pas!” tandasku penuh semangat.

“Tapi Mas Denis…?”

“Udah aku bilang, Denis urusanku!” tukasku ngotot.

“Terus kalo malam… Mas Dimas pulangnya gimana…?” tanya Fandy.

“Kalo aku menginap di rumahmu… boleh nggak…?” tanyaku ragu-ragu.

“Menginap…?” Fandy juga bertanya-tanya dengan ragu.

“Iya. Menginap…” ulangku dengan berharap-harap.

“Ummmhh… Ya nggak apa-apa sih…” jawab Fandy akhirnya.

“ASYIIIKKKK…!!!” seruku kegirangan, dan spontan tanpa rencana menjatuhkan diri memeluk Fandy…

“Aduhh…!” Fandy kaget dan spontan…

DOEEEENGGGG…!!! Fandy yang bermaksud menghindariku malah terguling jatuh dari dipan, menimpa kursi kaleng…!

“AAAHHHH…!!! MAAF… MAAF…!!!” sontakku begitu sadar aksi spontanku telah mendatangkan bencana…! Aku langsung turun dari dipan dan menghampiri Fandy yang terduduk di lantai memegangi keningnya.

“Nimpa kursi…” rintih Fandy sambil meringis, menahan sakit…

“Maaf, maaf… Aku nggak sengaja…” ucapku diiringi sejuta penyesalan dan rasa malu. Kulihat kening Fandy yang memar agak biru. “Habisnya… kebawa kebiasaan… kebiasaan becanda sama Denis…”

“YEEEEE… Gue dibawa-bawa!!!” tiba-tiba tampang Denis sudah ada di jendela.

“HEIII…!!! Ngapain kamu di situ?!!!” aku langsung menghardik Denis dengan rasa kaget setengah mati!

“Gue mau ambil HP, ketinggalan tuh di meja!” tuding Denis ke meja, di situ ada HP-nya yang ketinggalan. “Ya sekalian aja mau ngintip kalian berdua… Hehehe…”

Malu, gengsi dan… maraaAARRGGHHHH…!!! Dasar tukang bikin rusak suasana!!!

Aku langsung berdiri dan bergerak sigap… Menangkap Denis yang masih cekikikan di muka jendela!

“Nggak usah ketawa!” bentakku, sambil mencengkeram leher Denis dengan kedua tanganku dan menyeretnya masuk ke dalam UKS.

“Mas, ampun, Mas…!!!” Denis meronta-ronta mau lari.

Nggak bisa lari!!! Kujatuhkan Denis di lantai, dan…

“Gini nih kalo aku sama dia berantem!!!” seruku ke Fandy yang terbengong-bengong.

Lalu aku menggulat Denis, dan menggelitikinya…!!!

“AAAAAAAA…!!! Kapok… kapok…!!!” Denis meronta-ronta.

Fandy tertawa terpingkal-pingkal. Aku terus berantem sama Denis di lantai, kursi-kursi kaleng terhempas gedombrengan…!

“Ampuuunnnn…!!!” Denis terus meronta sejadi-jadinya.

NGGAK ADA AMPUUUUNNN!!!

Momen romatisku sama Fandy buyaaaarr…!!!





***





Keranjang 36
Menginap...?







“Pokoknya nggak boleh…!” Mama menolak dengan tegas.

“Cuma semalam, Maaa…!” aku memohon-mohon.

“Nggak boleh! Mama nggak kasih ijin!”

“Selama ini aku kan nggak pernah macem-macem! Kalo main pasti ke tempat yang bener kok…!”

“Iya, tapi kalo pakai menginap segala Mama nggak kasih ijin! Mama nggak mau nanti kamu jadi kebiasaan, kayak nggak punya rumah aja…!”

“Sekali ini aja lah, Maa…!”

Mama memandangiku dengan galak. “Nggak boleh…! Udah, Mama nggak mau dibantah lagi!” tegas Mama sambil berlalu dari depanku.

Gini nih yang bikin aku kesal sama Mama! Aku ini cowok, udah gede, masa mau main menginap sehari aja nggak boleh?! Aku kan main juga tujuannya jelas! Mau refreshing, main ke desa, ke rumahnya Fandy… Entah Mama kuatir atau curiga, tapi tetap aja berlebihan!

Memang dari dulu Mama paling ribet kalau soal perijinan. Kalau dulu waktu Denis belum balik ke rumah ini, aku bisa ngerti kalau Mama super protektif sama aku, karena aku jadi anak satu-satunya di rumah ini. Tapi sekarang kan di rumah sudah ada Denis! Aku juga bukan anak kecil lagi yang harus dikekang terus di dalam rumah! Lagian aku juga pasti bisa jaga diri…!

Aku masuk ke kamar. Kututup keras-keras pintu kamarku… Blammm…!!!

“Ngapain kamu di sini? Minggir!” tukasku ke Denis yang enak-enakan mendekam di tempat tidurku. Lalu aku terjun ke kasur dan segera membenamkan mukaku di balik bantal.

“Nggak dikasih ijin ya sama Mama?” cibir Denis.

Sudah tahu juga, masih nanya! Denis pasti dengar waktu aku ribut sama Mama di bawah tadi…!

“Kenapa nggak nekat aja kalo emang pingin ke rumah Fandy?” cetus Denis.

“Nekat, nekat! Asal aja kalo ngomong!” balasku sengit.

“Daripada cuma bisa marah-marah sendiri di kamar…?”

“Masalahnya nggak se-simple itu!”

“Masalahnya tuh simple kok. Mama tuh cuma kuatir kalo elu kenapa-napa selama pergi. Kalo lu bisa pulang selamat, paling dimarahin sebentar… habis itu Mama juga udah lupa…”

“Lupa apanya?! Bisa-bisa malah nggak dikasih duit jajan… seminggu! Atau malah sebulan!”

“Elu tuh nggak berani main strategi sih… Kalo nggak dapat uang jajan, ya nggak usah masuk sekolah…! Uang jajan kan buat ke sekolah…” celetuk Denis enteng. “Namanya ortu di mana-mana tuh cuma pingin anaknya baik-baik aja, makanya awalnya dilarang ini dilarang itu… Tapi kalo anaknya bisa buktiin nggak pernah macam-macam, lama-lama ortu pasti juga percaya. Makanya ini saatnya elu buktiin, kalo elu nekat tapi punya tanggung jawab…!”

“Ngomong gampang! Kalo ada akibat, aku yang nanggung! Bukan kamu…!” balasku sengit. Ngomong sama Denis bukannya terhibur malah tambah dongkol!

“Ya udah, kalo elu mau nurut sama Mama, turutin dengan ikhlas dong…! Jangan marah-marah di belakang kayak gini…!”

“Manusiawi! Mau marah yang penting nggak bantingin apa-apa! Tapi kalo kamu nggak bisa diam lama-lama kamu yang aku banting!”

Denis akhirnya mau diam juga. Lagian, nggak dimintai pendapat aja cerewet! Dasar adik bawel…!

Kuraih HP-ku. Kuketik SMS…

“Sorry bgt, Fan… Aku gk jd ikt ke rmh u. Gk diksh ijin sm ortu… Sorry ya…” kuketik SMS-ku, lalu kukirim ke Fandy.

Nggak lama kemudian Fandy membalas SMS-ku, “Gpp, MaZ.. LaEn wkT Ja.. LgiaN BiZ sKiT kaN..?”

Baru ingat sama tulisannya Fandy yang alay… Tapi aku rela pusing sebentar membacanya. Habisnya tadi siang aja aku ngebet banget, sampai berapi-api mau menginap di rumah dia segala. Nggak tahunya sekarang aku harus bilang ‘nggak jadi’. Aku bisa saja dicap sebagai orang yang nggak konsisten. Tapi syukurlah, kayaknya dia bisa mengerti.

“Makasih ya.. Ati2 di jln…” ketikku, lalu kukirimkan lagi.

Kudekap gulingku sambil merenung. Sedih… Nuansa indah di desa yang kubayangkan akan jadi akhir pekan menyenangkan bersama Fandy, aku harus mengucapkan selamat tinggal sebelum sempat menyaksikannya…

“Kalo nggak bisa sekarang, kenapa nggak besok siang aja nyusul ke sana…?” celetuk Denis memecah lamunanku.

Besok siang…? Pasar Malam, siang-siang…?

“Yang dilarang sama Mama cuma menginapnya aja kan…? Jadi lu pulang rada malam nggak apa-apa, yang penting nggak menginap…” tambah Denis santai. “Kecuali… tujuan utama lu emang mau menginap…! Kalo gitu, gue sendiri juga harus curiga sama elu… Bisa jadi lu mau ‘macam-macam’ sama Fandy…!”

“Macam-macam apa?!!” seruku rada tersinggung.

“Ya elu kan doyan cowok…! Ya ‘macem-macemin’ Fandy lah!”

“Kamu nuduh aku mau cabul sama dia…?!!”

“Kalo lu ngebet pingin menginap! Siapa tahu lu pingin grepe-grepe dia waktu tidur…?”

Kepalaku seperti teko di atas kompor… MENDIDIH…!

“Seandainya ‘iya’, terus kenapa?!” tantangku.

“Kalo ‘iya’, maka gue setuju sama Mama buat ngelarang elu!” lagak Denis mulai mirip Mama. “Kita tuh masih nebeng orang tua, Mas… Kewajiban kita sekarang sekolah! Biarpun lu nggak akan bikin dia hamil, tetap aja belum waktunya buat main ‘gituan’!”

“Ngelantur!!! Yang mau ‘gituan’ siapa…???!!!” seruku marah.

Kurajam Denis pakai bantal…! Emosi…!!!

“Kalo aku mau ngelakuin itu, aku juga nggak perlu minta ijin sama kamu! Lagian kalo niatku mau begituan, nggak usah pakai menginap segala juga bisa…!” teriakku berang.

Denis melotot. “Jadi lu memang niat mau gituan?!!!”

“Dodol…!” tukasku nunjuk kening Denis. “Fandy tuh suka cowok apa enggak juga belum jelas! Kamu kira aku mau nekat merkosa dia? Kamu tuh yang mikirnya kebablasan!!!”

Denis bengong sekarang. Makanya nggak usah sok tahu! Prasangka dia sendiri tuh yang cabul! 

“Kamu tuh… jangan-jangan cemburu aku dekat sama Fandy…?!” tudingku gantian curiga.

Muka Denis langsung merah tomat. “Apa lu bilang…???!!!” dia gantian murka.

Secepat kilat Denis gantian mencekikku sambil menghujamkan bantal bertubi-tubi ke mukaku…! Sampai aku gelagapan…!

“Gede kepala lu!” teriak Denis ngamuk. “Lu mau ke desa kek, mau ke jurang kek, gue nggak peduli lagi sama lu!!!”

Denis turun dari kasurku sambil bersungut-sungut. Pergi ninggalin kamarku…

“Ngambek tanda cemburu…!!! Besok aku pasti nyusul Fandy…! Aku mau senang-senang sama dia…!!!” teriakku puas.

Ehhh, tapi… masa sih Denis cemburu…? Denis yang aneh, atau pikiranku yang aneh? Pikiranku kali ya? Terserah deh! Yang penting akhirnya bisa bikin dia tengsin!

Kuraih lagi HP-ku. Mengirim SMS lagi…

“Fan, aku jd k rmh u… Tp aku nysul bsok yaa…?!”

Nggak lama kemudian Fandy membalas…

“Iya, Mas. See u tomorrow… ^_^

Yes! Of course, I’ll see him tomorrow! Pasti menyenangkan…!

Ehh, tapi… Sebentar, sebentar…! Kubuka lagi HP-ku, dan kubaca lagi SMS Fandy yang terakhir…

Kok ada yang aneh ya…?






Bersambung...
0 komentar

Posted in

Posting Komentar