Keranjang 47 - 48
Keranjang 47
Belum Ada Yang Kalah!
Kekacauan.
Kehilangan.
Rasa sakit…
Semuanya menggempurku…
Dan sepanjang hari aku hanya berkutat di
sini, di dalam kamarku yang senyap, seolah tinggal di sinilah rasa damai
dan aman masih ada. Padahal, tetap saja di sini aku bergumul dengan
beban-beban yang sama! Merasakan memar-memar yang nyeri di tubuhku,
ditekan oleh memori-memori yang masih segar sekaligus menyakitkan…!
Yaahhh, tapi setidaknya di sini nggak ada orang lain yang mengganggu dan
memperburuk keadaan yang harus kuhadapi…
Sudah dua hari lewat sejak persitiwa itu.
Kini aku masih berdiam di kamar ini, berusaha menenangkan diri dari
semua emosi dan segala rasa sakit yang terasa labil. Aku termangu, dua
mataku nanar melihat diriku di depan cermin. Lama kutatap wajahku yang
berantakan dihiasi memar. Aku hanya membisu. Merenungkan semua kejadian
itu lagi dan lagi…
Hidupku telah sekacau ini…!
Aku senang… seandainya ada yang bisa
menghiburku. Tapi bagaimana aku harus berharap? Orang yang biasanya
selalu membelaku, justru dialah yang akhirnya meletuskan perkara menjadi
separah ini…!
Sedangkan orang yang paling kuharapkan
ada di pihakku di saat-saat seperti ini, kenyataannya justru memilih
pergi meninggalkanku…
Kadang masih saja kubayangkan, dia muncul
di depan pintu kamarku sambil membawa parcel buah atau biskuit, seperti
yang biasa dilakukan siapapun saat menengok orang sakit. Hahaha… Tapi
mana mungkin itu terjadi? Aku nggak mungkin mengharapkan Fandy datang ke
kamar ini demi sebuah adegan sinetron… Nggak mungkin lagi! Di saat
semua perkara merobohkan lututku, lalu air langit makin memeras
perih-perih di tubuhku… saat itulah dia meninggalkan kata-katanya
untukku, bahwa antara aku dan dia, apapun itu… sudah selesai…!
Dia sudah meninggalkanku. Aku marah. Aku sedih. Aku hancur! Tapi… bagaimanapun, demi dia, aku terima kekecewaan ini…
Kualihkan pandanganku dari muka cermin.
Kini ganti kupandangi gulingku yang teronggok di atas kasur. Sama-sama menghabiskan waktu di tempat tidur, apa bedanya aku dengan
gulingku…??? Yaaa, tentu saja gulingku itu nggak bernyawa, sedangkan aku
jelas, masih bernyawa. Puji Tuhan! Tapi perbedaan yang ironis
adalah, gulingku nggak ganti baju kira-kira dua minggu, sedangkan aku
terakhir kali ganti baju baru tadi pagi… toh tetap saja penampilanku
lebih menyedihkan! Gulingku yang selalu diam manis dengan sarung biru
motif abstraknya itu jauh lebih enak dilihat daripada diriku yang kacau
seperti ini!
Kubuka kaosku, kulihati lagi memar-memar
di tubuhku. Bagian iga ini masih sakit jika kutekan dengan tanganku. Ya,
kenang-kenangan dari perkelahian di kantin itu, hasil tendangan dari
anak yang bernama Ronald…! Lalu kuamati pangkal jari tengah tangan
kananku yang sedikit lecet, hmmm… aku rasa ini bekas tinju yang
kulayangkan ke muka Geri waktu itu. Hahaha… Rasanya malah ingin ketawa
sekarang, karena seumur-umur aku nggak pernah berkelahi…! Tapi saat itu,
aku memang benar-benar dipaksa untuk membela diri! Secara spontan aku
membalas pukulannya dan kena! Yaahh, meninggalkan sedikit lecet di
tanganku. Memar-memar yang lain sudah mulai
pudar bekasnya, aku juga sudah nggak bisa lagi membedakan antara memar
akibat pengeroyokan dan memar akibat kecelakaan motor. Tampak sama saja,
nyeri dan membiru…
Ya, bertubi-tubi. Setelah peristiwa
pengeroyokan, aku masih ditimpa sebuah musibah lagi. Saat aku pulang
dengan motorku, di jalanan yang licin terguyur hujan itu aku mengalami
kecelakaan. Saat motorku melewati sebuah polisi tidur, goncangan roda
seketika membuat sendi-sendi tubuhku yang memar menyengatkan sakit yang
amat sangat…! Aku kehilangan keseimbangan, dan motorku melesat menabrak
pinggiran taman. Aku terlempar dari motor, jatuh menghantam tanah!
Sesaat aku kehilangan kesadaran… Tapi kemudian segera berangsur pulih
dan menyadari orang-orang yang berdatangan menolongku. Salah seorang
dari mereka mengantarku ke rumah sakit…
Disidang oleh Guru BP, dikeroyok di
jalan, ditinggalkan Fandy… lalu kecelakan motor di tengah hujan…!
Lengkap bukan?! Tapi… setidaknya, pada akhirnya ada hikmah juga dari
semua itu. Terutama kecelakaan itu. Ya, benar… Saat aku dibawa ke rumah
sakit, aku segera menyadari bahwa keadaan bisa semakin buruk. Sebab, mau
nggak mau aku harus menghubungi keluargaku untuk mengurus keadaanku di
rumah sakit…
Lalu apa yang harus kukatakan pada Papa dan Mama…???
“Kenapa keningmu juga lebam gitu? Kamu nggak pakai helm?” selidik Papa waktu itu, saat melihat memar di keningku.
“Nggak, Pa… Kondisi hujan, pakai helm malah lebih susah lihat jalan…” jawabku mencari alasan.
“Tapi akhirnya kamu jatuh juga kan?!”
“Pingin cepat-cepat sampai rumah, jadi rada ngebut, Pa…”
Ya. Kepada dokter dan juga Papa, aku
bilang… bahwa semua adalah akibat kecelakaan itu… Memar-memar ini,
termasuk satu tulang igaku yang ternyata retak…
Aku harus berbohong. Karena… meski bukan
kejadian yang baik, tapi mungkin bisa dibilang bahwa justru kecelakaan
itulah yang bisa menolong situasiku! Kecelakaan itu menjadi alatku untuk
menutupi kejadian pengeroyokan itu. Karena nggak mungkin aku bilang
kepada Papa bahwa aku habis dikeroyok gara-gara orang-orang nggak suka
dengan persoalan pribadiku…! Apa aku harus membuka fakta di depan Papa
dan Mama bahwa aku gay?!! Nggak!!! Resikonya bisa lebih besar!!! Aku
tetap harus merahasiakannya…!!!
Dokter, dan juga Papa, percaya bahwa
luka-luka di tubuhku diakibatkan oleh kecelakaan motor itu… Yahhh,
mungkin akan berbeda ceritanya kalau orang-orang itu mengeroyokku dengan
senjata tajam! Syukurlah itu nggak sampai terjadi…!
Aku juga masih bisa sedikit lega, karena
aku nggak perlu menginap di rumah sakit. Aku dirawat di rumah, dan sudah
dua hari aku nggak masuk sekolah dengan ijin sakit. Kalau aku sampai
dirawat di rumah sakit, itu pasti akan lebih menyita perhatian
teman-temanku di kelas. Mereka bisa menjengukku, dan bisa jadi kejadian
yang sebenarnya akan bocor ke telinga orang tuaku! Lagi-lagi, jangan
sampai itu terjadi!
Papa dan Mama jangan sampai tahu.
Meskipun… Denis mungkin sudah tahu kejadian yang sebenarnya… Sebab
beberapa orang yang menolongku setelah pengeroyokan, adalah anak-anak
satu sekolahan juga. Mereka cukup buat jadi saksi sebuah berita heboh di
sekolah, Denis tinggal menunggu waktu buat mendengarnya! Tapi… tahu
ataupun tidak, semoga saja dia nggak akan memperparah masalah ini lagi.
Meski aku ragu apakah masih bisa berharap pada Denis. Selama dua hari
ini, aku dan dia masih belum saling bicara. Aku masih malas buat bicara
dengannya…
Terus terang, meski rahasiaku
masih aman, aku belum berhenti was-was dengan kelanjutan semua peristiwa
ini! Sepanjang hari pikiranku terus tertekan! Masalah dengan Denis,
dengan Fandy, Geri, Pak Alex, Mama dan Papa…!
Tapi… meski itu semua menggangguku, sebenarnya bukan itu masalah yang utama…!
Lalu apa…???
Bukan kapan memar-memar ini sembuh. Bukan
apakah Fandy akan muncul di kamar ini dan memberiku adegan drama manis.
Bukan apakah Denis tahu aku dikeroyok. Bukan kapan Papa sama Mama
berdiskusi dengan Pak Alex di ruang tamu…
Tapi… kapan aku berhenti mengurung diri meratapi nasib seperti ini…?!!
Seharian ini aku telah merenung. Dan jawabannya adalah: SEKARANG!
Sebenarnya hari ini aku telah menyusun
rencana! Kuhampiri meja bacaku, kuamati kembali file-file yang hari ini
kukumpulkan dari internet dan juga telah selesai kucetak. Aku duduk
sambil membaca ulang lembar-lembar data di tanganku dengan lebih
seksama. Kupacu otak, berkonsentrasi dengan kepala yang memar-memar ini,
mempelajari ulang rencanaku hari ini. Dan akhirnya, aku tersenyum.
Pikiranku rasanya seperti tunas baru yang mengembang dari sebongkah
batang lapuk. Sebuah harapan sedang berkedip di benakku!
Sekali lagi aku pun berpaling menatap
kembali gulingku di atas kasur, dan merenungkan kesimpulan yang lebih
sederhana: Bernyawa dan tak bernyawa adalah sebuah perbedaan penting,
tapi mau punya seribu nyawa sekalipun, apa gunanya hidup jika kita
memilih berhenti berjuang…?!!
Kini kuraih gitarku. Lalu menerawang ke
luar jendela, memandangi gerimis yang berderai lembut seperti percikan
kabut. Dingin yang menyusup ke kamar ini, segera terasa seperti waktu
itu…
Wajahnya pun segera tersenyum lagi di
dalam kepalaku, senyuman seperti di saat pertama kami bertemu… Seperti
saat kami berkenalan… Seperti saat kami saling berbagi waktu, di dalam
sebuah becak, di sebuah bilik baca, di sebuah kamar, di hamparan rumput,
di sebuah titik yang tinggi dimana desa, gunung, sawah, dan danau…
berpadu sesejuk senyumannya waktu itu… Ya, waktu itu, sebelum dia
memilih meninggalkanku di sebuah jalan yang basah oleh gerimis, dimana
darah dari lukaku luntur terbasuh derainya… Akhirnya, saat itu aku pun
tersenyum memandangi perginya, dengan senyuman di bibir yang perih dan
hati yang menangis…
Senyum ikhlas untuknya. Dan… aku hanya bisa berharap, semoga dia baik-baik saja…
Kreekkkk…
Petikan gitarku terhenti, sesuatu memecah lamunanku. Pintu kamarku terbuka, dan…
“Gimana? Udah baikan?” wajah Papa menyembul dari balik pintu seraya melayangkan sapa padaku.
“Emhh… Masih rada nyeri sih… Tapi udah jauh mendingan…” sahutku datar.
Papa melangkah masuk. “Obatnya udah diminum?” tanya Papa sambil duduk di pinggiran tempat tidurku.
“Udah. Kok jam segini udah pulang, Pa? Biasanya kan rada sore?” sambutku ringan.
“Nggak apa-apa, kerjaan di kantor udah beres. Jadi bisa ditinggal.”
“Tuh, korupsi jam kerja tuh namanya! Mau dicontoh anaknya?” sahutku sedikit berkelakar, sambil meletakkan gitarku.
Papa ketawa. “Lho, Papa rajin kok kalo
kerja! Kerjaan pasti kelar lebih awal. Makanya nyantai-nyantai aja kalo
pulang duluan… Lagian mau lihat keadaan kamu gimana?”
“Ashh, ngeles. Kalo kepikiran nggak perlu segitunya kali, udah gede gini juga…” balasku.
Papa ketawa lagi. “Buktinya kamu sampai
nggak masuk sekolah dua hari kan?! Papa kuatirnya kamu malah sengaja
dibetah-betahin tuh sakitnya…?!”
“Gimana sih? Tadi pagi kan aku udah
rencana mau masuk, tapi Papa juga kan yang nggak ngebolehin?! Ya udah,
habis ini aku mau main keluar aja. Bosen di kamar terus…!” sungutku
berlagak judes. “Sini minta duit, pingin cari hiburan nih!”
“Wah, wah… Mental preman nih, anak Papa
nih…? Udah benjut-benjut gitu masih berani nodong?!” cibir Papa. Tapi
habis itu Papa mengeluarkan dompetnya. “Nih…!”
“Asyik…! Tengkyu, Pa…” ucapku sambil menerima selembar limapuluh ribuan dari tangan Papa.
“Tapi sama Denis ya!”
“Yahhh, kenapa sama Denis sih?!”
“Lho, kenapa?”
“Kan dia masih sekolah?!”
“Ya makanya tungguin Denis pulang. Kamu kan lagi sakit gini, kalo sama Denis kan ada yang jagain?” ujar Papa.
“Iya kalo Denis pulangnya langsung ke rumah? Kalo kesorean males ah!” kelitku.
“Lagian kan juga masih hujan gini? Tunggu Denis pulang, sekalian tunggu hujan reda…!” ucap Papa.
“Hfff… Ya udah deh, gampang…” kilahku dengan malas.
Papa…
Apa dia tahu, apa yang sedang kupikirkan…?
Sebenarnya… bukan soal aku ingin cari
hiburan di luar rumah. Juga bukan karena aku senang dikasih uang. Tapi…
karena aku butuh kehangatan seperti ini… Ya, keluarga ini. Bisa ngobrol
dengan Papa atau Mama, bisa bercanda seperti sekarang, merasakan
perhatian mereka… Meski cuma hal-hal yang sederhana, tapi aku tahu ini
akan menjadi sesuatu yang paling kurindukan dalam keluarga ini…!
Karenanya, jangan sampai mereka tahu… bahwa anaknya ini telah menanggung sesuatu yang sangat mengecewakan di mata mereka…!
Jangan, jangan sampai…!
Papa ganti meraih gitarku. Memetik-metik
pelan, dengan wajah manyun menerawang ke meja bacaku. Dan kemudian
tersenyum. “Kursus gitarnya nggak diterusin lagi?” gumam Papa bertanya.
“Males. Udah telanjur lama…” jawabku pelan.
“Ya nggak apa-apa, lanjutin aja. Kursus
kan bukan sekolah formal, mau dilanjutin kapan aja juga terserah. Tapi
kalo nggak dilanjutin kan sayang tuh… Apalagi dulu udah pernah dapat
piala kan?” ujar Papa, masih menerawang ke sesuatu di mejaku.
Aku tahu. Papa sedang menatap fotoku yang
ada di meja. Foto saat aku menang lomba gitar klasik yunior, juara tiga
se-Jawa Tengah. Waktu itu aku umur 13 tahun…
“Dimana pialanya sekarang?” tanya Papa.
“Di dalam lemari…”
“Dipajang dong! Kan prestasi tuh…?”
“Cuma juara tiga aja…”
“Ya udah bagus lah. Lagian waktu itu
tanganmu habis terkilir kan, gara-gara jatuh dari sepeda? Coba kalo
nggak sakit, mungkin bisa jadi juara satu…! Siapa tahu?” seloroh Papa
pelan.
“Papa masih ingat…?”
“Ya ingat dong! Anak dapat juara masa
lupa! Baru sekali itu kan kamu ikutan lomba? Sayang tuh bakatnya…!”
gumam Papa sambil tersenyum.
Aku terdiam. Aku tahu Papa itu seperti
apa… Dia seorang ayah yang jarang mengobral pujian ke anaknya. Tapi juga
nggak pernah memarahi. Dia nggak pernah membanding-bandingkan anaknya,
baik itu membandingkan aku sama Denis ataupun membandingkan kami berdua
dengan anak lain, dalam hal positif ataupun negatif. Papa nggak pernah
berlebihan kalau bicara. Dia selalu menyemangati tanpa harus
dibesar-besarkan. Tapi… aku tahu, dengan sifatnya yang pendiam itu dalam
hati dia selalu bangga sama anak-anaknya… Begitulah Ayah-ku ini…!
Ya, aku juga masih ingat, Pa… Dulu waktu
mengantarku ke Semarang buat lomba gitar itu, Papa bela-belain nggak
masuk kerja. Iya sih, Papa mungkin bukan pekerja paling teladan di
kantor. Tapi di keluarga ini Papa adalah ayah yang baik. Dan ayah yang
baik akan selalu menjadi pria yang dibanggakan oleh keluarganya,
melebihi apapun! Setidaknya itulah yang kurasakan…
Ya, aku bangga dengannya, meski aku juga nggak pernah memujinya… Sepertinya, aku memang mirip dengannya…
Dan itulah yang membuatku makin tertunduk dalam batinku…
Maaf, Pa… Aku terpaksa nggak bisa jujur.
Karena kalau Papa tahu semua masalahku, pasti akan malu… Aku ini cuma
bahan olok-olokan di sekolah. Mereka bilang aku nggak normal. Mereka
bilang aku ini ‘sakit’. Aku merasa mengkhianati rasa banggamu, Pa… Dan
aku nggak bisa melihatmu kecewa… Lebih baik kusembunyikan semua itu, dan
biar aku sendiri yang menghadapinya… Meski aku juga nggak tahu, sampai
kapan aku kuasa menahannya…
“Udah, pokoknya rajin diminum ya
obatnya!” pesan Papa sambil meletakkan gitarku lagi, seraya berdiri dari
duduknya. “Papa mau istirahat…”
“Pa…” panggilku sekecap.
Papa menoleh lagi padaku. Aku menatapnya dengan haru…
“Papa kok nyantai aja…?” tanyaku pelan.
“Nyantai? Maksudnya?” kening Papa berkerut ringan.
Aku menghela nafas. “Aku sampai babak
belur gini… Aku udah rusakin motor, ngeluarin biaya banyak… Aku udah
bikin ulah… Aku bingung, kok Papa nggak marah…?” gumamku agak terbata.
Papa kelihatan tertegun. Tapi… kemudian
malah tertawa ringan. “Marah? Menurut kamu itu nyelesein masalah apa
nggak?” Papa malah balik bertanya dengan mimik santai.
“Yaa… paling enggak, aku kan jadi lebih nurut dan lebih hati-hati…?”
“Lho… Kan katanya kamu udah gede? Nggak
perlu Papa marahin pasti kamu juga bakal lebih hati-hati kan? Lagian
apes tuh kadang memang nggak bisa ditolak. Ibarat kamu nggak jahil tapi
ada orang lain yang iseng jahilin kamu, yang salah kan bukan kamu?
Gimana kalo kamu nanti punya anak, kalo dia lagi apes kamu mau marahin
dia? Ya kasihan cucu Papa ah…!” ujar Papa sambil tertawa ringan.
Lalu Papa berlalu dari kamarku. Suaranya bersiul-siul menuruni tangga.
Dan aku terhenyak, sendiri lagi di kamarku yang senyap…
Kalau aku dijahili orang…? Kalau nanti
aku punya anak…? Kata-kata Papa seperti gambar indah di sebuah puzzle.
Sesuatu yang menghiburku, memberiku harapan, sekaligus teka-teki…
Kalau aku punya anak…???
Seandainya aku berada di posisi Papa, apa
yang akan kulakukan…? Memang ada kisah tentang orang tua yang pada
akhirnya bisa menghadapi kenyataan anaknya, tapi… apa mereka pernah
berharap anaknya seperti itu…? Seperti aku…???
Nggak mungkin. Bahkan sebaik apapun sikap
lembut Papa, dia tetap membayangkan andai aku punya anak… Bahwa anaknya
ini bukan gay! Itu harapan Papa. Itu juga harapan Mama. Itu harapan
semua orang tua terhadap anaknya…!
Tuhan… aku paham itu!
Karena itulah, meski di hadapan orang
tuaku aku harus selalu menutupi jatidiriku, tapi di hadapan orang-orang
yang merendahkanku aku akan membuka semua kekuatanku untuk melawan! Aku
bukan pencapaian sempurna dari harapan orang tuaku, tapi aku akan
memperjuangkan bahwa setidaknya aku masih punya harga diri…! Bahwa Papa
dan Mama memiliki anaknya ini bukan untuk direndahkan!
Aku nggak akan tinggal diam!
Kulihat jam di meja, waktu sudah melewati
jam pulang sekolah. Sudah lewat jam tiga sore. Dan hujan di luar
tampaknya juga sudah reda. Segera kuganti celana tidurku. Kupakai celana
jeans panjangku. Kupakai sweaterku. Kulipat lembaran kertas file yang
telah kusiapkan di meja, dan segera kumasukkan ke dalam tas. Saatnya
sudah tiba untuk bergerak menjalankan rencana…!
Maaf, Pa. Maaf, Ma. Aku sayang kalian,
tapi aku juga nggak bisa mengingkari apa yang ada dalam diriku. Dan aku
akan melawan mereka yang telah menginjakku!
Jadi siapapun yang mengira bahwa aku
telah kalah, maka mereka salah! Karena aku belum menyerah, dan
kekuatanku juga belum patah…!
Ayo, kita lihat saja!
***
Keranjang 48
Diplomasi
Motorku rusak gara-gara kecelakaan waktu
itu. Karena itu, aku memakai Vespa milik Papa. Sembunyi-sembunyi,
memanfaatkan situasi karena kebetulan Papa lagi tidur dan Mama juga
sedang nggak di rumah. Kalau mereka tahu, jelas aku nggak akan dikasih
ijin buat keluar sendirian, apalagi dengan Vespa kuno-nya Papa! Lagipula
aku juga nggak akan menunggu Denis untuk mengantarku, nggak perlu. Aku
bisa melakukannya sendiri!
Di bawah langit sore yang teduh selepas
hujan, aku meluncur menuju ke tempat seseorang. Di daerah Solo sebelah
selatan, dengan udara yang sedikit lebih segar dan jauh dari keramaian,
aku mulai masuk ke sebuah gang perumahan. Dulu aku sudah pernah kemari
dan aku masih ingat rumahnya. Nggak sulit buat menemukannya lagi.
Kuhentikan Vespa-ku di halaman sebuah
rumah bercat hijau telur, berteras panjang dan terbuka. Sederhana, dan
kelihatan sejuk. Aku melangkah sedikit gugup menuju pintu rumah yang
tertutup. Lalu…
Tok, tok, tok…! Kuketuk pintu rumah.
“Yaaaa…” ada suara menyahut dari dalam. Suara laki-laki.
Lalu pintu pun terbuka…
Aku sedikit tertegun. Seorang cowok sepantaran denganku muncul dari balik pintu, berdiri di hadapanku…
“Madosi sinten, Mas?” cowok itu bertanya dengan bahasa Jawa halus yang sangat ramah.
“Eee… anu…” aku jadi agak gugup. “Bu Yanti wonten, Mas…?”
“Oo, wonten. Monggo mlebet, Mas…!” cowok itu langsung menyilakan aku masuk.
“Inggih…” balasku simpul.
Aku masuk ke ruang tamu, duduk di kursi
bludru merah khas tahun 80′an. Sedangkan cowok tadi langsung menghilang
ke dalam. Adiknya Bu Yanti mungkin… Lumayan sih…
“Ooo… Dimas?” sapa Bu Yanti yang muncul
di ruang tamu. Wajahnya tampak berbinar sekaligus menyiratkan rasa kaget
melihatku ada di sini.
“Iya, Bu…” balasku seraya tersenyum sungkan sambil menyalami Bu Yanti.
Bu Yanti lalu duduk di kursi, berhadapan
denganku. “Kamu tadi belum masuk ya? Gimana keadaanmu? Kok malah
main-main ke sini?” Guru Bahasa Inggris-ku yang cantik itu segera
memberondong pertanyaan dengan gaya ramahnya yang bersahabat.
“Udah agak baikan kok, Bu. Tapi tadi belum dibolehkan masuk sama ayah saya…” jawabku masih sedikit sungkan.
“Ooo… Sebenarnya gimana kejadiannya? Apa
benar soal pengeroyokan itu? Tadi saya tanya ke Misha, teman semeja
kamu, tapi dia bilang tidak tahu. Tadi saya juga mengusulkan buat
menjenguk kamu, tapi anak-anak masih memikirkan waktunya…” ujar Bu Yanti
panjang lebar. Hmmm… Ternyata beliau sudah tahu soal pengeroyokan itu.
Seperti yang kucemaskan, berita seperti itu cepat menyebar!
“Ah, paling besok saya juga sudah masuk kok, Bu…” kilahku meyakinkan.
“Ya ampun, itu mukamu cakep-cakep jadi lebam gitu…!” tunjuk Bu Yanti, nggak lupa mengomentari penampilanku.
Bu Yanti bilang aku cakep? Ehem… Becanda ya? Cakep mana sama adiknya tadi?
“Jadi yang benar bagaimana, soal
pengeroyokan itu?” Bu Yanti segera fokus lagi ke soal pengeroyokan,
dengan mimik serius. Sudah kuduga juga, aku pasti akan diinterogasi!
Aku berpikir-pikir sejenak dengan agak sangsi. “Memangnya berita yang Ibu dengar bagaimana?” aku membalik pertanyaan.
“Saya dengar, katanya kamu dikeroyok sama gerombolan anak dari kelas lain. Tapi saya tidak tahu masalahnya apa… Kamu bisa jelaskan?”
“Saya dengar, katanya kamu dikeroyok sama gerombolan anak dari kelas lain. Tapi saya tidak tahu masalahnya apa… Kamu bisa jelaskan?”
“Rumit, Bu… Lagian, pengeroyokan itu di
luar jam sekolah, dan mereka juga nggak pakai atribut sekolah. Kayaknya
mereka memang sudah menyiapkan biar pihak sekolah nggak bisa ikut
campur…”
“Biarpun kejadiannya di luar sekolah,
kalau latar belakang masalahnya masih berhubungan dengan lingkungan
siswa di sekolah, pihak sekolah tetap akan menanganinya! Makanya saya
ingin tahu yang sebenarnya, dari kamu langsung…!” desak Bu Yanti.
Aku menghela nafas. Hmmhhh… Bukan hal gampang menguraikan sesuatu yang menyakitkan!
“Mereka anak-anak yang suka mengejek saya
tiap ketemu di sekolah. Kami kenal memang cuma di lingkungan sekolah
saja, Bu… Mungkin cuma di situ hubungannya dengan sekolah, selebihnya
saya rasa ini soal sentimen pribadi mereka terhadap saya…” uraiku
hati-hati.
“Tapi itu masih ada hubungannya dengan perkelahian di kantin sebelumnya kan?” kulik Bu Yanti.
“Ee… yaa… Memang masih ada hubungannya…
Perkelahian di kantin itu sudah disidangkan di BP, kami semua dapat
sanksi poin pelanggaran. Tapi rupanya mereka masih nggak terima.
Sepertinya jadi dendam kepada saya. Makanya waktu saya pulang, mereka
mengeroyok saya…!” jelasku agak tegang.
“Jadi peristiwa itu masih ada kaitannya
dengan perkelahian kalian di kantin, dan ada kaitannya juga dengan
ketidakpuasan atas keputusan BP! Artinya itu masih berhubungan dengan
sekolah! Jadi pihak sekolah tinggal menunggu laporan kamu, Dimas! Nanti
pihak sekolah pasti akan menindak anak-anak yang mengeroyok kamu itu…!”
“Tapi… justru itu yang mengganjal saya, Bu…!” ucapku sedikit gugup.
“Kenapa?” wajah Bu Yanti berkerut menatapku.
“Sebenarnya… saya kemari menemui Bu Yanti
bukan untuk mengadukan anak-anak yang mengeroyok saya… Kalo saya
melaporkan mereka, pihak sekolah pasti akan menyelidiki akar masalahnya
kan, Bu? Ujung-ujungnya itu hanya akan memancing lagi perdebatan saya
dengan BP…! Akhirnya lagi-lagi akan jadi bumerang buat saya sendiri…!”
“Maksud kamu…?”
Aku menatap Bu Yanti dengan rasa kurang percaya. “Masa Bu Yanti nggak dapat informasi apa-apa dari BP…?” aku ganti menyelidik.
Air muka Bu Yanti segera berubah jadi
agak tegang. “Yaaa… Saya memang dapat informasi. Pak Alex yang
memberitahu saya… Beliau menjelaskan pada saya soal perkelahian di
kantin itu…”
Aku berbinar sekaligus kecut. “Ya, saya
sudah menduga Pak Alex pasti memberitahu Bu Yanti. Pasti Pak Alex
menjelaskan panjang lebar kan, Bu…? Tentang alasan perkelahian, tentang
perdebatan saya dengan Pak Alex… tentang masalah pribadi saya yang
dibawa-bawa…!” kulikku dengan nada masam.
Bu Yanti menghela nafas dengan sedikit lesu. “Ya… Pak Alex menjelaskan semuanya pada saya, termasuk soal… bahwa kamu…”
Bu Yanti sejenak menghentikan kalimatnya, memandangiku dengan mimik ragu sekaligus menyelidik.
“Gay…” sahutku datar, menyambung kalimatnya.
Wajah Bu Yanti langsung kelihatan menyesal. “Apa itu benar?” beliau masih bertanya, seolah belum percaya.
“Sebenarnya saya nggak ingin mengumbar
masalah pribadi saya, Bu. Tapi saya tahu, nggak ada gunanya juga
mengelak di hadapan Bu Yanti. Karena saya yakin, nggak mungkin Pak Alex
nggak ngasih tahu Bu Yanti soal itu…!” ucapku dengan lesu. “Pak Alex
menekan saya. Saya bingung…! Tinggal Bu Yanti harapan saya…!”
Wajah Bu Yanti tampak ragu. “Apa yang bisa saya lakukan?”
“Anda Wali Kelas saya, Bu…!”
“Ya. Tapi kamu ingin saya bagaimana?”
Aku agak ragu menghadapi Bu Yanti.
“Sebelumnya saya ingin tahu terlebih dahulu, apa saja yang sudah
disampaikan Pak Alex kepada Ibu…?” akhirnya kupancing Bu Yanti untuk
jujur.
“Hmmhhh… Pak Alex belum menyinggung soal
pengeroyokan itu, mungkin beliau belum tahu karena kejadiannya di luar
sekolah. Beliau baru bicara soal perkelahian di kantin, dan soal
perdebatan dengan kamu di ruang BP…”
“Terus terang, Bu, fokus saya saat ini
bukan soal perkelahian ataupun pengeroyokan. Mereka sudah memukuli saya,
saya anggap saja mereka sudah puas. Tapi justru tindakan Pak Alex lah
yang paling menekan saya saat ini…! Pak Alex memaksa untuk melakukan
visitasi, mau melaporkan saya ke orang tua saya! Masalahnya yang akan
dilaporkan bukan soal perkelahian di kantin, tapi masalah pribadi saya
yang nggak ada hubungannya dengan wewenang BP! Itu yang mengganggu saya,
karena masalah itu bisa mengancam kondisi keluarga saya, Bu!” keluhku
menahan geram. “Saya berharap… Bu Yanti mau membantu saya buat mencegah
rencana Pak Alex…!”
“Kamu meminta saya untuk mencegah BP…?” sahut Bu Yanti kelihatan bimbang.
Kukeluarkan lembaran berkas dari dalam
tasku. “Saya mengumpulkan berkas ini dari internet, dan saya sudah
mempelajarinya!” cetusku.
“Apa itu?” Bu Yanti bertanya dengan raut menyelidik pada kertas yang masih kupegang.
“Berkas tentang ‘Tugas Guru BK/Konselor
dan Pengawas Bimbingan dan Konseling Menurut PP No. 74 Tahun 2008’…”
kubaca judul berkasku dengan nada yakin.
Bu Yanti memandangiku terbengong-bengong, heran sekaligus tampak merasa konyol…
“Bu Yanti adalah Wali Kelas saya, wakil
orang tua saya selama di sekolah. Maaf, Bu, sebenarnya saya curiga Pak
Alex juga melibatkan Bu Yanti soal rencana visitasi itu…! Kalo iya, saya
mohon… jangan setujui rencana itu…!” desakku memohon.
Raut wajah Bu Yanti semakin bimbang. Lalu
beliau hanya bisa tertawa masam, lagi-lagi nggak bisa mengelak! Aku
rasa kecurigaanku benar, Bu Yanti diajak Pak Alex untuk terlibat dalam
visitasi itu…!
“Bu Yanti bisa mencegahnya. Ibu punya wewenang untuk itu…!” tandasku lagi.
“Darimana kamu bisa bilang saya punya wewenang itu?”
“Ibu Wali Kelas saya, Ibu bertanggung jawab melindungi saya dari tekanan dalam bentuk apapun di sekolah…”
“Memang saya punya tanggung jawab atas
diri kamu. Tapi masalahnya… apa kamu sendiri bisa bertanggung jawab
kepada saya?” balik Bu Yanti dengan tenang sekaligus ulet.
“Bisa.”
“Dengan cara apa?”
“Ibu sebut saja, dalam hal apa saya pernah mempermalukan sekolah?”
“Kamu kemarin berkelahi di kantin, Dimas…!”
“Apa Pak Alex tidak menjelaskan kepada
Ibu, bahwa bukan saya yang memulai perkelahian? Bahkan saya tidak
membalas mereka! Kecuali kalo Bu Yanti bermaksud bahwa ‘ditindas’ itu
mempermalukan sekolah…!”
“Tergantung, kenapa sampai ‘ditindas’…? Pasti ada akar masalahnya…?!”
“Baik, akar masalahnya adalah… seperti
yang sudah saya akui, saya gay… dan mereka nggak suka itu!” tegasku
terbata-bata. “Baiklah, mungkin Bu Yanti berpendapat bahwa gay itu
salah… Tapi apa itu berarti bahwa gay layak ditindas, dan tidak berhak
untuk diperlakukan adil?”
Bu Yanti menatapku lama. Lalu perlahan-lahan dia mulai tersenyum sayu sambil mengusap keningnya.
“Terus terang, Dimas, saya tidak punya
argumen untuk berkata bahwa menjadi gay itu hal yang bisa dibenarkan…
Jujur, saya pribadi juga kecewa kamu seperti itu…” ujar Bu Yanti pelan.
Aku terhenyak. Sesaat aku kehilangan kata-kata…
“Oke. Ibu nggak perlu membenarkan soal
gay, kalo memang menurut Ibu itu salah. Tapi kalo Ibu membiarkan saya
ditekan, Ibu harus punya dasar kenapa saya layak ditekan! Apakah sekolah
kita memang mengatur orientasi seksual siswanya? Ibu bisa tunjukkan
aturan nomor berapa?” aku menantang dengan tetap menghaluskan nada
bicara.
Bu Yanti terlihat tenang, meski nggak
bisa sembunyi dari raut pergumulannya. “Tidak ada yang mengatur soal
itu. Tapi kita semua berpegang pada kebiasaan umum…”
“Kalo benar-salah diukur berdasarkan
kebiasaan umum, berarti yang banyaklah yang menang. Seperti orang-orang
yang mengeroyok saya, mereka banyak dan mereka menang. Tapi apa itu
adil?!”
Bu Yanti mendesah lesu dan tampak letih.
“Hhhhh… Jujur, Dimas, saya sebagai Wali Kelas sangat ingin masalahmu ini
cepat selesai dan tidak menjadi sorotan lagi. Baiklah kalau saya tak
boleh mencampurkan pendapat pribadi saya di sini, sebenarnya saya juga
faham porsinya. Tapi posisi saya juga serba salah, Dimas…! Karena BP
juga punya wewenang untuk menilai permasalahan siswa dan merencanakan
tindakan. Apalagi masalah yang kamu anggap pribadi itu sudah berubah
jadi konfrontasi dengan orang lain, bukti riilnya adalah perkelahian di
kantin itu…! Sebagai Wali Kelas saya ingin membantu kamu. Tapi saya
sedang berhadapan dengan BP yang juga punya wewenang, dan kenyataannya
kamu memang sudah memicu masalah…!”
Aku terkesima. Tercenung merenungkan kata-kata Bu Yanti…
Ya, ya… Akhirnya aku faham. Sekarang aku
baru sadar posisi Bu Yanti, Wali Kelas-ku… Guru yang masih muda, harus
menghadapi guru yang jauh lebih senior seperti Pak Alex… Di samping itu,
kenyataannya BP memang lembaga yang punya wewenang!
“Kalo kita membawa sentimen pribadi, saya
rasa masalahnya nggak akan selesai, Bu, akan terus jadi debat kusir…!
Tapi bagaimana dengan Kode Etik…?!” cetusku menjentikkan gagasanku.
“Kode Etik?” Bu Yanti mengernyitkan keningnya.
Aku menunjukkan lagi lembaran kertas yang
kubawa! Kali ini kuserahkan kepada Bu Yanti. Wali Kelas-ku itu menerima
dan segera membacanya.
“Hmhhh… Kode Etik. Sebenarnya saya sempat
berpikir ke situ… Tapi saya tidak terlalu faham soal pedoman-pedoman
BP…” gumam Bu Yanti, sambil membaca berkas yang kuserahkan.
“Rencana Pak Alex untuk melaporkan
masalah pribadi saya ke orang tua saya itu adalah arogan, karena
jelas-jelas melanggar asas konseling!” tandasku seraya mengingat semua
yang sudah kupelajari tentang asas-asas konseling. “Asas Kesukarelaan,
konseling hanya boleh dilakukan apabila konseli menghendakinya secara
SUKARELA. Tapi dalam kasus ini Pak Alex MEMAKSAKAN tindakan konseling
kepada saya! Lalu dalam Alih Tangan Kasus, apabila Konselor tidak mampu
lagi menjalankan konseling maka bisa dialih-tangankan kepada pihak lain.
Salah satunya ke orang tua siswa, itulah yang akan dilakukan Pak Alex
terhadap saya! Tapi berdasarkan aturan, Alih Tangan Kasus hanya bisa
dilakukan jika status konseli sudah ditetapkan. Sedangkan saya tak
merasa berstatus sebagai konseli, karena saya tak pernah setuju! Di
situlah pelanggaran Pak Alex terhadap Kode Etik Konseling!”
Bu Yanti sekarang makin terpana menatapku.
“Dan di dalam Asas Keterpaduan, tindakan
bimbingan seharusnya meminta persetujuan dan dukungan dari pihak-pihak
yang terkait dengan siswa, salah satunya adalah Wali Kelas…! Jadi Bu
Yanti sebagai Wali Kelas jelas punya wewenang untuk setuju ataupun tidak
setuju terhadap tindakan yang diambil pihak BP…! Itulah yang saya
harapkan dari Anda, Bu… Arogansi Pak Alex sudah jelas, tapi saya nggak
bisa melawannya sendirian…” ucapku penuh harap.
Lalu kami berdua terdiam dalam pikiran
masing-masing. Bu Yanti kembali membaca berkasku dengan raut termenung
serius. Sesaat kemudian, perlahan beliau tersenyum menyiratkan kesan…
“Dimas… Sepertinya kamu berbakat jadi Pengacara…!”
Byoooongggg… Haduhhh!!! Kok Bu Yanti malah komentar itu sih???!!!
“Kamu dapat ide dari mana buat menyusun semua ini?” tanya Bu Yanti sambil mengacungkan berkasku.
Aku tersenyum. “Saya ingat, ada kasus
yang kadang saya lihat di TV, atau saya baca di koran, tentang tindakan
arogan yang dilakukan guru terhadap murid. Bahkan banyak kasus seperti
itu. Sialnya, ternyata saya juga mengalami hal yang sama! Itu membuat
saya berpikir dan menjadi yakin, bahwa kewenangan guru pasti tetap ada
batasnya!” ucapku mantap.
Bu Yanti tersenyum rapat sedikit bersemu.
“Ya, benar. Terus terang selama ini saya kurang begitu faham soal Kode
Etik BP. Tapi saya rasa dasar-dasar ini memang sangat logis dan
mengena…!” ujarnya.
“Jadi… Anda setuju dengan pendapat saya, Bu…?”
“Sebentar… Saya juga ingin kamu tahu
terlebih dulu, Dimas. Apabila BP tidak bisa meneruskan suatu konseling,
maka biasanya akan dilimpahkan kepada Wali Kelas. Ya, istilahnya Alih
Tangan Kasus. Artinya, pada akhirnya saya lah yang akan menggantikan
tugas BP untuk menangani kamu… Bagaimana menurutmu…?”
“Saya lebih bisa menerima itu, Bu. Memang
seharusnya BP tidak langsung melimpahkan ke orang tua saya, tapi ke
Anda dulu sebagai Wali Kelas saya. Buat saya, yang penting masalah ini
tidak sampai ke orang tua saya…”
“Itulah yang ingin saya tanyakan
sekarang…” sahut Bu Yanti dengan tenang. “Sekarang saya ingin kamu jujur
kepada saya, dan juga kepada dirimu sendiri. Anggap saja ini bagian
dari tugas saya untuk mempelajari masalahmu…! Dimas, kenapa kamu tidak
mau orang tuamu tahu soal masalah ini…?”
Aku tercekat, dan jadi bimbang lagi menghadapi pertanyaan Bu Yanti.
“Bu…! Apa Anda tidak bisa membayangkan?
Nggak ada orang tua yang berharap anaknya punya kondisi seperti saya…!
Saya nggak mau mengecewakan orang tua saya…!” tandasku lirih.
“Nah, logikanya, kalau kamu nggak mau
mengecewakan orang tuamu, bukankah sebaiknya kamu berhenti menjadi
seperti ini…? Pada sisi itu, sebenarnya maksud BP untuk membina kamu
dapat saya mengerti, Dimas… Toh sampai kapan kamu mau berlari…?”
Pertanyaan yang juga sering terlintas di benakku. Tapi aku selalu berusaha untuk menghindarinya…
Aku tertunduk. Resah bergumul dengan pertanyaan itu…
“Kalau kamu tidak mau berubah, suatu saat
orang tua kamu pasti tetap akan tahu, Dimas. Saat ini mungkin saya bisa
membantumu untuk menolak rencana visitasi dari BP. Tapi bukankah itu
cuma solusi sesaat? Bagaimana rencanamu untuk masa depan yang lebih
panjang?” runut Bu Yanti dengan nada tenang, tapi menghantam!
“Hmmmhhh… Saya tahu. Sukar saya bayangkan
seandainya saya menyembunyikan hal ini selamanya….” ucapku lirih dan
gundah. “Tapi saya berpikir, setidaknya saya bisa menyimpannya sampai
saya sudah cukup dewasa, sampai saya cukup umur dan berhak penuh untuk
menentukan pilihan hidup saya… Meski mungkin nanti tetap akan sulit bagi
saya untuk membukanya kepada orang tua, tapi setidaknya saat itu mereka
faham… bahwa saya sudah dewasa…”
Bu Yanti mengangguk, menunjukkan raut
simpatinya. “Saya tidak ingin menghakimi kamu, tapi terus terang saya
juga cemas dengan pilihanmu ini… Kamu masih muda. Saya ingin tahu, apa
yang membuat kamu begitu yakin dengan pilihanmu? Bahkan segitu yakinnya
seolah kamu akan bertahan dengan pilihan itu selamanya…?”
Aku mendesah dan tersenyum pahit. “Saya
nggak bisa menjelaskan kenapa saya begini, Bu… Saya cuma merasakan,
bahwa orientasi dalam diri saya terasa jelas… Saya nggak bisa
mengingkarinya. Saya menganggap, inilah jati diri saya… Saya tahu orang
akan melihat saya terlalu muda. Dan keputusan saya cenderung diremehkan…
Tapi ini bukan soal pendapat orang lain, ini soal keyakinan saya
terhadap diri saya sendiri. Pernahkah Bu Yanti merasa ada sesuatu yang
menurut Ibu cuma Ibu sendiri yang faham? Apa Ibu akan merasa lebih baik,
seandainya harus hidup di luar keyakinan yang sudah Ibu miliki? Saya
selalu heran… ketika demi bisa diterima oleh orang lain, seseorang
dipaksa mengikuti kondisi orang lain dan harus mengingkari dirinya
sendiri… dan mereka menyebut itu ‘adil’! Benarkah itu ‘adil’…?” renungku
pahit.
Bu Yanti terdiam dengan senyum tipis yang bisu. Tanpa jawaban…
“Bagaimana, Bu…? Apakah Ibu mau membantu saya…?” akhirnya kutandaskan lagi harapanku kepada Bu Yanti.
Bu Yanti masih terdiam sejenak. Lalu
akhirnya beliau tersenyum sambil menepuk berkasku di tangannya.
“Baiklah. Semoga ini memang demi kebaikan kamu…”
Getaran yang mengalir dalam darahku serasa mau mengangkat tubuhku… Ya Tuhan, terima kasih… Bu Yanti berpihak padaku…!
“Terimakasih banyak, Bu…!” ucapku lirih dengan senyum haru…
Bu Yanti mengangguk. “Saya juga akan berusaha mengkonsultasikan masalah ini dengan Bu Kamti…”
“Haaa…??? Bu Kamti…?!!” aku jadi tersentak lagi…!
“Ya. Beliau mengikuti seminar pendidikan
di luar kota beberapa hari, tapi saya dengar hari ini sudah pulang. Tapi
mungkin beliau baru akan masuk kantor minggu depan…”
“Tapi… bukankah Bu Kamti juga anggota BP?!!” sergahku cemas.
“Justru itu. Bu Kamti sama seniornya
dengan Pak Alex. Meski Pak Alex yang menjadi koordinator, tapi saya kira
selama Bu Kamti tidak absen maka Pak Alex tetap akan mempertimbangkan
pendapat beliau. Yang saya kuatirkan, dari gelagatnya Pak Alex ingin
menjalankan visitasi itu secepatnya…”
“Ya Tuhan…” cekatku gundah.
“Pak Alex memang berusaha melibatkan
saya. Tapi saya bilang masih ingin mempertimbangkan dulu. Mungkin besok
Pak Alex akan mendesak saya lagi. Kalau saya bilang ‘ya’, beliau pasti
akan segera menelpon orang tuamu buat mengatur pertemuan. Mungkin
Minggu, atau malah Sabtu sore…” tandas Bu Yanti.
“Sekarang sudah hari Jumat… Berarti waktu kita tinggal hari ini dan besok…?!” gumamku cemas.
“Karena itu, saya akan berusaha menemui Bu Kamti, mendului Pak Alex…”
“Tapi… Bu Yanti yakin, Bu Kamti bisa membantu…?” tanyaku bimbang.
Bu Yanti tersenyum tenang. “Saya kenal
baik Bu Kamti. Buat kalian mungkin beliau itu sosok yang galak… Tapi
sebenarnya itu karena beliau orang yang disiplin dan konsekuen dalam
kewajiban. Saya yakin, dengan dasar-dasar yang kamu ajukan ini, beliau
pasti akan membantu!”
Kata-kata Bu Yanti terdengar begitu yakin. Itulah yang akhirnya membuatku percaya, dan merasa lega…
Bu Yanti lalu agak tersipu. “Terus
terang, Dimas. Begitu kamu menunjukkan ini pada saya, sebenarnya saya
agak malu… Saya harus salut dengan kegigihanmu. Soal pilihan hidup kamu
itu, soal benar atau salah, mungkin bisa kita bicarakan lain waktu saja.
Yang penting saat ini, bagaimana caranya supaya kamu bisa merasa nyaman
lagi untuk sekolah dan belajar tanpa tekanan. Itulah tugas saya, karena
saya Wali Kelas-mu…!” tandasnya pelan.
Aku mengangguk. Hatiku benar-benar terharu…
“Saya masih ingat waktu Bu Yanti bilang
bahwa pilihan hidup itu soal moral, dan nggak perlu dibahas di pelajaran
Bahasa Inggris. Karenanya, saat saya memutuskan untuk kemari sebenarnya
saya sudah yakin, bahwa Bu Yanti pasti bisa bersikap adil… Terima
kasih, Bu…” ucapku lirih.
Bu Yanti mengangguk. “Terus terang,
ketegaran dan kecerdasanmu lah yang membuat saya percaya… bahwa kamu
memang layak diperlakukan secara adil…!” ucap Bu Yanti mantap.
Aku mengangguk semakin yakin…
Setiap orang memang harus diperlakukan adil.
Dan keadilan itu bukan untuk ditunggu sambil mengeluh…
Tapi diraih dengan gigih!
“Terima kasih, Bu Yanti…”
Bersambung...