Keranjang 50
Keranjang 50
Ular / Merpati - Ultimatum!
Aku bersama Ben berhenti di sebuah area
parkir, di depan sebuah bangunan gedung. Gedung yang lumayan besar dan
tampaknya berlantai dua, berdiri di antara deretan panjang bangunan kota
di Jalan Urip Sumoharjo Solo yang ramai namun agak temaram. Aku turun
dari Vespaku. Aku merasa ragu waktu menatap logo besar yang terpampang
di pintu masuk. Logo yang sama dengan yang ada di tas milik Ben itu…!
“Kamu serius ini bakal berhasil?” gumamku bimbang.
“Udah, percaya aja! Ayo…!” Ben menepuk
pundakku seraya melangkah dengan mantap memasuki gedung sasana beladiri
yang pernah dia ikuti itu.
Gimana lagi? Udah sampai sini juga, ya udah… terpaksa ngikut Ben masuk! Moga-moga benar rencananya ini akan berhasil!
Baru sampai ruangan depan, sudah
terdengar gema suara dari orang-orang yang sepertinya sedang berlatih di
ruangan lainnya. Riuh dan terdengar tangguh! Sedangkan di ruangan depan
ini hanya ada sebuah lobby kecil dengan macam-macam pajangan, dari
foto-foto sampai beragam tropi. Seorang laki-laki berambut acak-acakan
sedang duduk ongkang-ongkang di balik meja lobby sambil menghisap rokok.
Sapanya langsung menyeruak begitu melihat Ben…
“Woiii…! Bonbon! Kemana aja kau?! Nongol
lagi sekarang!” laki-laki itu berdiri sambil membentangkan tangan,
seperti mendapatkan kejutan!
“Sibuk, Bang…” sahut Ben santai sambil menjabat tangan laki-laki itu.
“Ashhh! Alesan! Sibuk cari pacar baru
kan?! Kau payah sih, cuma putus sama cewek aja langsung mogok latihan!
Tuh, mantanmu masih jomblo, baru latihan di dalam! Udah latihan lagi
sana!” laki-laki itu berkelakar seraya ketawa kencang… ala Mbah Surip!
“Ngapain bawa-bawa dia?! Nggak ada
hubungannya sama dia!” kelit Ben dengan muka rada bersemu merah. Weww,
Ben bisa tersipu juga???
“Nggak usah ngeles…!” seru laki-laki itu
sambil menggaplok Ben, dan tertawa gelak-gelak. “Masa jagoan pakai
ngambek-ngambekan? Jagoan India kau…! Wahahahaha…!” laki-laki itu tambah
kencang tawanya kayak orang mabok, malah kali ini pakai gebrak-gebrak
meja segala.
“Udah! Puasss?!” tukas Ben dengan muka kesal. “Mana Boss-mu?! Ada urusan aku sama dia!”
Tawa laki-laki itu langsung berhenti,
bengong setengah terperanjat. “Buseeettt… Berani juga kau tanya begitu…?
Punya guru baru kau…???” desisnya dengan mulut melebar.
Aku sendiri juga kaget…! Gayanya si Ben
udah kayak mafia mau melabrak aja…!!! Sialnya aku ikut kemari pula sama
dia…?!! Padahal sudah pasti ini sarangnya orang-orang jago berkelahi…!!!
“Ada nggak? Aku kangen sama kepala botaknya!” tukas Ben lagi.
Laki-laki di lobby itu langsung ketawa lagi. “Hahahahaha… Tuuhhh…! Di dalemmm…!” tunjuknya sambil cengengesan.
“Dikurangin tuh minum! Keren apa teler saban hari?!” tukas Ben sambil berlalu.
“Woyooo, maannnn…!” seloroh laki-laki itu, masih ketawa-ketawa nggak jelas.
“Yuk, masuk…!” Ben menggamitku dengan cuek.
“Panggilanmu di sini ‘Bonbon’ ya…?”
celetukku sambil ngikutin Ben. “Kok kesannya jadi unyu banget ya?” aku
masih menggumam-gumam sendiri. “Jadi ceritanya kamu dulu pernah cinlok
ya di sini?”
Ben langsung melirik judes ke aku. “Udah komentarnya?!”
“Weeee… Gitu aja sensi…!” balasku sambil
tersenyum-senyum geli. Mulai ketahuan nih track record sohibku yang
misterius ini.
Kami melangkah di sebuah koridor yang
berlampu terang. Gema suara yang mantap dan serempak makin bergemuruh!
Koridor ini adalah lorong panjang dengan dinding beton di satu sisi,
sedangkan sisi lainnya adalah deretan sekat berupa tirai bambu bercat
biru yang memanjang. Dari balik sekat bambu ini, bisa kuintip ruangan
besar di mana puluhan orang tampak sedang berlatih. Suara instruktur,
gerak tinju dan tendang, tangkis, semua serempak menggema…! Aku sampai
terpukau mengintipnya…!
Tapi dadaku segera merasakan sesuatu yang
menusuk…! Rasa kesumat langsung menyengat begitu kulihat orang yang
pernah memukuliku juga ada di ruangan itu…
Geri…!
“Benar kan, dia anak sasana ini…!” Ben berbisik, dia juga memperhatikan Geri.
Aku cuma mengangguk pelan.
“Tunggu sini…!” bisik Ben padaku.
Lalu Ben menerobos tirai bambu. Dia masuk
ke ruang latihan yang besar itu, melangkah dengan santai dan cuek
melewati murid-murid sasana yang sedang berlatih. Dia mendekati salah
satu instruktur, yang berbadan tinggi kekar, berkepala gundul… dan
berwajah angker!
Instruktur itu kelihatan terkejut saat
menyambut Ben. Dia menggablok-gablok pundak Ben sambil ketawa-ketawa.
Lalu mereka bercakap-cakap, entah apa. Aku cuma bisa mengintip dari
sini, cukup jauh untuk bisa mendengar percakapan mereka.
Beberapa saat kemudian, Ben dan
instruktur itu melangkah menuju ke arahku. Dadaku makin berdebar.
Benar-benar ini ide yang jauh dari pikiranku… Terus terang aku grogi!
Apa ini bakal berhasil sesuai perkiraan Ben…?!!
Sekarang, Ben dan instruktur berwajah angker itu sudah berdiri di hadapanku!
“Mas, kenalin, ini Bang Togar, pelatihku dulu…!” Ben langsung mengenalkan aku ke pelatihnya itu.
Dengan grogi kujabat tangan instruktur
berkulit gelap dan berkepala plontos itu sambil mengenalkan namaku.
“Dimas, Om…” ucapku memperkenalkan diri, agak gugup…
“Togar! Kau panggil Bang saja…!” sapanya
dengan aksen Batak yang kental. Dia menyambut uluran tanganku seraya
melebarkan bibirnya yang tebal.
Tanganku… Anjriiittt…! Ini orang jabatan tangan apa adu panco?!
“Hahaha…” Bang Togar melepaskan tangannya sambil ngakak.
Gelo nih orang…! Tanganku sampai linu diremas sama dia…!
“Bang Togar ketua sasana ini…” jelas Ben.
“Kau mau gabung juga?” tanya Bang Togar padaku, kelihatan bersemangat.
“Nggak, Bang. Ada masalah lain nih, Bang… serius! Kayaknya musti dibicarain di tempat yang lebih nyaman…” Ben segera meluruskan.
Bang Togar melongo, menatap aku dan Ben
bergantian. Tatapan matanya jadi agak curiga. Lalu bibirnya tersungging
ragu-ragu. “Serius? Oke… Ayo ayo, ke atas lah…!” dia akhirnya menimpal
dengan ayunan kepalanya, seraya beranjak cekatan menuju ke arah tangga.
Ke lantai dua.
Aku dan Ben mengikutinya dari belakang. Hatiku belum berhenti was-was. Malah makin tegang! Aku sedikit memperlambat langkahku…
“Beneran, ini nekat…!” gumamku gelisah.
“Udah, tenang aja! Aku kenal baik sama dia. Yang penting kamu jujur aja sama dia!” tukas Ben berusaha meyakinkanku lagi.
“Justru itu! Artinya aku musti ngomongin masalahku ke orang yang baru aku kenal!” keluhku berbisik-bisik.
“Tapi orang ini ada hubungannya sama masalahmu!” balas Ben.
“Menurutku sebenarnya nggak ada hubungannya. Justru kita yang maksa dia terlibat!”
“Kalo dalam kamusku, kita ‘memanfaatkan’ dia…!”
“Huuhhh… Cerdik seperti ular…?” sindirku agak kesal. Itu yang ditandaskan Ben padaku saat dia meyakinakanku pada rencananya ini.
“Tulus seperti merpati…” sahut Ben.
“Kenapa kita nggak cukup jadi merpati saja?”
“Kalo kamu cuma jadi merpati, kamu cuma
bisa mengandalkan sayap untuk terbang tiap kali ada masalah. Menghindar
dan menghindar…!”
“Aku bukannya diam saja! Aku juga sudah berusaha…!”
“Ya, diplomasi dengan guru. Tapi musuhmu
ini anjing, sengatan tawon kurang ngefek! Kamu harus jadi ular! Kamu
harus membuat manuver yang lebih keras! Musuhmu butuh orang yang
benar-benar bisa menendang pantatnya!” sahut Ben sambil menepuk
pundakku.
“Sebaiknya rencanamu ini berhasil!” tandasku lesu, mengerem perdebatan yang mengiring langkah kami ke lantai dua.
Aku masih ragu, tapi juga nggak punya ide
lain yang lebih meyakinkan. Aku hanya bisa berharap rencana ini
benar-benar berhasil! Sangat berharap, karena aku telanjur melangkah
kemari!
Di lantai dua, kami memasuki sebuah
ruangan berukuran sedang dan ber-AC. Ada sofa siku panjang yang
dilengkapi meja di tengah ruangan. Lalu lemari buffet besar yang merapat
di dinding, dipenuhi buku-buku dan pernak-pernik lainnya, dan juga TV
20 inch. Di salah satu ujung ruangan masih ada pintu lagi, menghubungkan
ke ruangan lainnya.
Ini semacam ruang tamu pribadi. Sekilas
aku tertarik mengamati benda logam mirip panci steamboat yang biasa
dipakai buat tempat sup. Benda itu cukup besar dan berdiri sendiri di
salah satu bilik buffet. Oohhhh… Itu bukan panci sup, itu piala!
“Duduk sini, bikin santai sajalah…! Apa masalah kalian? Kenapa dibawa ke aku?” seloroh Bang Togar sambil mendudukkan dirinya.
Aku dan Ben ikut duduk di sofa menghadapi Bang Togar yang bermuka preman tapi murah senyum itu.
“Gini, Bang…”
“Jooonnnn…! Ambil minum tiga bawa
sini!!!” teriak Bang Togar kencang, memotong kalimat Ben yang belum
selesai mengawali pembicaraan.
Aku sama Ben cuma bengong…
“Terus, terus!” instruktur geje itu lalu bersiap menyimak lagi.
“Ada muridmu yang bikin ulah, Bang!” Ben langsung tanpa basa-basi lagi.
Bang Togar kelihatan agak kaget. “Siapa? Bikin ulah apa?” deliknya agak tajam.
“Muridmu yang namanya Geri, Bang… Dia habis mukulin orang!” jawab Ben to the point.
“Hahh?!!” cekat Bang Togar. Cuma gitu aja komentarnya, cuma ‘hahh’ sambil mendelik seperti orang kena sembelit.
“Beberapa hari kemarin dia mukulin temanku ini…” lanjut Ben sambil menepuk bahuku.
Bang Togar sekarang menatapku, masih
dengan muka mendeliknya itu. Aku tambah grogi dan nggak enak. Mau
nyembunyiin muka tapi ngerasa salah juga. Segan, sungkan… menyesal
telanjur kemari! Serba salah…!
“Beneran, kau serius ini?!” Bang Togar kembali mengorek Ben.
“Serius, Bang! Memangnya kamu ulang tahun
apa, Bang, musti dikerjain?!” tukas Ben enteng, punya mental juga nih
anak berani ngomong seperti itu ke master-nya yang bermuka angker itu…!
“Hei, hei! Kalo sampai berkelahi pasti ada alasannya lah?! Apa masalahnya? Kenapa sampai mukul orang?!” sergah Bang Togar ketus.
“Nah, Bang Togar tanya langsung aja ke
Dimas! Aku nggak bohong, tapi lebih adil kalo Dimas sendiri yang
jelasin…!” lontar Ben seraya mengalihkan pandangannya padaku.
Dua pasang mata menatapku sekarang!
Mampusss…! Ini yang paling kucemaskan! Aku harus mengungkapkan masalahku
ke orang yang baru beberapa menit kukenal namanya.
“Ceritain aja, Mas…!” Ben mendorongku.
“Apa masalahnya?!” kejar Bang Togar dengan mimik serius.
Aku dapat bonus waktu untuk bernafas…!
Seseorang datang membawa selingan, laki-laki muda tambun berwajah
ngantuk muncul dari ruang sebelah sambil membawa tiga botol minuman. Dia
meletakkannya di atas meja di depan kami bertiga, habis itu berlalu
lagi dengan cuek.
“Tengkyu, Joonnn…!” seloroh Bang Togar
sambil menyambar minumannya. Secara sambil lalu saja dengan kode
tangannya, dia menawari kami untuk ikut minum. Mukanya berseri untuk
sesaat. Ya, cuma sesaat. Begitu selesai dengan tegukannya, matanya
kembali tertuju serius padaku.
“Gini, Bang…” aku mulai bercerita dengan
agak gugup. “Geri itu satu sekolah denganku. Dia suka sekali ngolok-olok
aku. Beberapa hari kemarin, celakanya dia ngejek aku pas ada adikku.
Jadinya… dia dihajar sama adikku…”
“MURIDKU DIHAJAR SAMA ADIK KAUUU…?!!” Bang Togar tersentak bak sebiji jarum menancap di pantatnya dengan tiba-tiba!
Seketika nyaliku ciut begitu melihat respon Bang Togar yang seperti geledek itu…!
“Aku nggak lihat sih, tapi pastinya muridmu babak belur, Bang!” sahut Ben sambil tersenyum mencibir.
ANJRIIIITTT! Malah dibumbui! Keren Ben,
moga-moga Bang Togar terima dengan komentarmu! Moga-moga jarum yang tadi
mencoblos pantatnya nggak berubah jadi paku sekarang!
Tapi di luar dugaan…
“Wah, wah, wah…! Hebat kali adik kau? Jagoan mana adik kau?!!” balas Bang Togar dengan senyum lebar.
Terus terang aku jadi bingung lagi,
instruktur ini sedang menunjukkan selera humornya atau sedang
menunjukkan ancamannya?! Senyum atau seringai?
“Memangnya Geri tingkat berapa sih, Bang?” Ben kayaknya masih mau nambah bumbu.
“Adik kau belajar apa? Punya tingkat berapa dia?!” Bang Togar menanyaiku lagi, nggak menggubris Ben.
Aku agak ragu menjawabnya. “Nggak gitu
tahu, Bang… Kalo nggak salah Karate, ekskul dia sejak SMP waktu masih di
Medan… Aku pernah lihat di raportnya…” jelasku.
“BAH!!! Kau dari Medan?!! Aku juga dari Medan!!!” Bang Togar terbelalak antusias.
“Bukan, Bang! Kalo aku sih asli Solo…
Tapi adikku pernah diasuh sama Tante yang tinggal di Medan…” jelasku
meluruskan.
Bang Togar mendelik lagi. “Ahhh, muka kau memang tak kelihatan seperti orang Batak…!” komentarnya dengan cengiran lebar.
“Ayahku asli Jawa, Bang. Mama ada
campuran Manado…” kegugupanku menghadapi Bang Togar malah membuatku
ngelantur, menjabarkan keluargaku… Penting nggak sih?
“Bah! Gado-gado keluarga kau!!!” seru Bang Togar, lalu ngakak keras.
Aku jadi berpandang-pandangan dengan Ben saking herannya dengan instruktur yang susah ditebak perangainya itu…!
Ben mengisyaratkan dengan gerak bibirnya sambil tersenyum, “Santai aja…!”
“Tak heran lah adik kau bisa hajar si
Geri sampai babak belur! Muridku itu belum ada setahun belajar di sini.
Dia masih pemula. Tapi… gimana ini? Mana yang benar? Yang dihajar kau,
atau muridku…???” ujar Bang Togar bingung, seraya memandangi aku dan Ben
bergantian.
“Habis dihajar adiknya si Dimas, Geri
balas dendam! Dia gantian mukulin Dimas…! Padahal dia sendiri yang cari
gara-gara, dia nggak pernah bosan mengejek Dimas! Kalo menurutku sih
udah wajar lah kalo Dimas dibelain sodaranya!” jelas Ben ke Bang Togar.
“Tapi kenapa muridku musti olok-olok kau?
Kau punya masalah apa sebelumnya sama dia? Cerita saja lah semuanya!
Tak jelas kalo cuma setengah-setengah!” desak Bang Togar padaku.
Ya ampun… aku ragu buat mengutarakannya!
Bagaimana kalimat yang pas untuk menguraikannya…? Bagaimana menjelaskan
semuanya…??? Apa aku bisa percaya pada orang ini…?!!
“Gini, Bang…” ucapku, hampir nggak terdengar. Aku benar-benar sulit mengutarakannya!!!
“Dia kayak adik kamu, Bang…” tiba-tiba Ben menduluiku.
Aku terkesiap. Bibirku menganga. Sedangkan bibir Bang Togar menciut!
“Maksud kau apa?” tanya Bang Togar ke Ben dengan mimik ragu.
“Kayak Bonar, adikmu itu, Bang…!” Ben berusaha ngasih clue ke mantan instrukturnya itu.
Bang Togar lalu menatapku lekat-lekat, tanpa kata-kata…
“Aku… Hmmmhhh…” aku mendesah gundah
sambil mengusap kepalaku yang rasanya gerah. “Ben cerita ke aku soal
adikmu, Bang… Ya, kondisiku sama kayak adikmu, Bang…”
Sulit, tapi akhirnya kulepaskan
juga pengakuan itu. Entahlah, semoga itu memang bisa membantu seperti
yang diyakinkan Ben padaku!
Bang Togar masih diam dengan mulut ciut memandangiku.
“Geri suka mengolok-olok dan ngebully Dimas karena kondisinya itu…” Ben mempertegas penjelasanku.
“Memangnya orang-orang pada tahu kau seperti itu?” tanya Bang Togar dengan wajah datar padaku.
“Ya, tapi bukan atas niatku sendiri, Bang. Itu nggak disengaja. Gimana ya, susah jelasinnya…” jelasku bingung.
“Soal kenapa orang-orang bisa tahu kalo
temanku ini gay, itu nggak ada hubungannya sama Geri, itu soal lain
lagi, Bang. Tujuan kami ke sini, fokusnya soal Geri aja!” tandas Ben.
“Tapi… rasanya ada tendensi tertentu yang
aku tangkap dari kalian. Hehhh… Gimana ya…?” Bang Togar sekarang
kelihatan berpikir-pikir dengan bimbang. Lalu dia tersenyum licin.
“Kalian pakai mengungkit soal adikku…! Memang adikku seperti itu, dia
suka laki…! Tapi itu tak ada hubungannya sama masalah kalian tho?!”
“Memang nggak ada hubungannya, Bang. Kalo
aku ngaku soal itu tadi, itu karena aku ingin ngomong jujur sejak awal.
Memang akar masalahnya di situ. Semua awalnya dari kebiasaan Geri
ngolok-olok aku, padahal aku nggak pernah cari ribut dengan siapapun.
Aku jelasin secara terbuka aja biar Bang Togar bisa menilai siapa yang
salah, siapa yang cari gara-gara duluan…” terangku dengan hati-hati.
“Tapi aku rasa sih Bang Togar sebaiknya
juga jujur aja. Kalo ada gay yang dibully, apa Bang Togar nggak bisa
ngebayangin seandainya itu terjadi sama adikmu, Bang? Apalagi si Geri
yang tukang bully ini murid kamu sendiri, Bang…!” sahut Ben menambahi
penjelasanku.
“Hahahaha…! Licik kau…! Benar kan, kau
ungkit-ungkit adikku lagi!” Bang Togar tertawa sinis sambil
menuding-nuding Ben. Lalu perlahan wajahnya berubah dengan mimik
setengah merenung. “Yaaah… secara pribadi memang aku tak suka dengan
orang yang suka gencet orang lain. Apalagi kalo itu terjadi sama si
Bonar, pasti aku hajar itu orang! Adikku memang begitulah seperti yang
kalian tahu, tapi buatku dia tetap adikku. Si Bonar seperti itu ya aku
terima sajalah dia, aku laki-laki yang lebih tua musti bisa lindungi
yang lebih muda. Apalagi di tempat rantau. Orang Batak harus bisa jaga
keluarga…!”
Aku tercenung sesaat mendengar ucapan
Bang Togar. Rupanya di balik penampilannya yang garang itu tersimpan
rasa pengertian dan simpati yang besar terhadap keluarganya, terhadap
adiknya… Aku benar-benar kagum.
“Tapi sekali lagi itu soal pribadi,
Bonbon! Aku tak boleh mencampurkan itu dengan urusan orang lain!” Bang
Togar segera menimpali lagi.
“Oke lah, Bang. Intinya sih kami cuma
ingin ngomong terbuka aja. Sebenarnya ini memang masalah pribadinya
Dimas. Tapi… buat Bang Togar harusnya ini menjadi masalah sasana juga…!”
ujar Ben.
“Bah! Kenapa jadi masalah sasana?! Itu urusan Geri di luar sasana!” potong Bang Togar.
“Ya, pastinya nggak akan jadi masalah sasana kalo Geri nggak main keroyok sambil pakai seragam sasana!” tukas Ben enteng.
Air muka Bang Togar dengan cepat langsung berubah lagi. Jarum kedua… jleb!!!
“Keroyokan? Pakai seragam?!!!” sentak instruktur bela diri itu kaget!
“Iya, Bang. Aku ingat jelas kok, Geri
sama beberapa temannya pakai kaos hitam yang ada logonya sasana ini!”
sahutku memberi klarifikasi.
“Ada saksi yang lain juga kok, Bang. Temanku sekelas juga ada yang lihat!” tambah Ben.
Alis Bang Togar menyambung di pangkal
hidungnya. Jidatnya langsung berkerut dengan tonjolan urat syaraf di
pelipis. “Serius kau?!!!” sentaknya.
“Bang, aku dulu juga belajar di sini! Aku
nggak akan bohong apalagi ngejatuhin nama baik sasana ini! Aku juga
pernah berantem di luar, tapi aku nggak pernah main keroyok dan
bawa-bawa nama sasana! Selama ini sasana ini punya reputasi bagus, punya
sportifitas! Tapi begitu ada kasus kayak gini, rasanya nama sasana ini
jadi nggak prestis lagi, Bang… Aku jadi ikut malu juga…!” Ben tersenyum
pahit mengakhiri kalimatnya. Sindiran yang tajam ke mantan gurunya!
“Hei, kau tak perlu begitu lah!” tukas
Bang Togar dengan senyum sinis. “Mana perlu kau malu?! Ini cuma ulah
beberapa orang, tak bisa kau pukul rata sasana ini semuanya begitu! Kau
sendiri tahu aku tak pernah mengajari murid buat main keroyok!”
“Kan ada pepatah, Bang, nila setitik aja
bisa bikin rusak susu satu belanga. Sayang kan, nama sasana jadi taruhan
cuma gara-gara ulah segelintir orang?” balas Ben.
“Kemarin ada sekitar lima orang yang
mukulin aku, kalo nggak salah ada tiga orang yang pakai kaos sama dengan
Geri… Tapi yang aku kenal cuma Geri. Yang bermasalah denganku
sebenarnya juga cuma si Geri, tapi kayaknya dia memprovokasi
teman-temannya yang lain…!” jelasku makin percaya diri.
“Tiga orang, Bang, dari sasana ini! Yang
pasti provokatornya ya si Geri itu. Dia suka ngatain ‘banci’, tapi dia
sendiri beraninya main keroyok! Bawa-bawa nama sasana lagi…! Ini serius,
Bang…! Malu-maluin!” Ben terus berusaha mempengaruhi mantan
instrukturnya itu.
“Anj**g…!!!” Bang Togar mengumpat dengan wajah geram. Lalu dia berteriak lagi. “JOOOONNNNNN…!!!”
Orang yang dipanggil Bang Togar itu buru-buru muncul lagi dari ruang sebelah…
“Kau panggil itu si Geri, suruh dia ke sini!” perintah Bang Togar ke orang yang dipanggilnya itu.
“Geri… yang mana anaknya, Bang? Nggak tahu aku…?” si Jon balik nanya.
“Ya kau bilang saja ke mereka yang punya
nama Geri musti segera ke sini menghadap aku!!! Bah! Tak sigap juga kau
dari dulu?!” tukas Bang Togar ngomel-ngomel.
Habis disemprot, si Jon langsung buru-buru keluar melakukan perintah Bang Togar!
Dengan wajah angkernya yang merah padam,
Bang Togar rupanya masih bisa tersenyum. “Oke, aku akan urus masalah
ini! Aku akan kasih hukuman kalo memang si Geri ini benar bikin ulah!”
tandasnya. Akhirnya!
“Benar kok, Bang! Kami nggak bohong. Bang
Togar boleh bilang aku keras kepala, tapi apa pernah sih aku bohong
sama kamu, Bang…?” tegas Ben meyakinkan mantan instrukturnya itu.
Bang Togar mengangguk-angguk. Dia akhirnya tampak percaya. “Oke. Yang salah harus dihukum! Biarpun itu muridku sendiri…!”
“Mau dihukum apa biar dia bisa jera, Bang?”
“Hei, jera itu soal kesadaran, Bonbon!
Aku bisa saja kasih hukuman seberat-beratnya, tapi tak ada yang bisa
jamin dia bakal jera! Dia di sini cuma 2 jam 4 kali seminggu. Di luar
mana bisa aku awasi dia? Dia tetap akan dihukum! Kita harap dia bisa
jera, tapi tak ada yang bisa jamin!” tandas Bang Togar.
“Kalo hukumannya nggak tegas, nggak
ngefek, kasihan temanku ini dong, Bang…? Nanti dia jadi bulan-bulanan
lagi di luar…?!” sergah Ben.
Berangsur-angsur muka Bang Togar berubah
lagi. Dia mulai menyeringai tampak jahil. “Begini saja, kalo memang si
Geri itu benar bikin ulah, aku akan jadi hakim sekaligus juri kalian!”
celetuk instruktur itu.
Keningku berkerut. Hakim? Juri? Maksudnya???
“Maksudnya, Bang?” Ben juga bertanya-tanya.
“Sebenarnya aku juga sudah bisa membaca
orang macam apa si Geri itu. Aku lihat dia memang sombong dan sok jago
anaknya!” ujar Bang Togar. Lalu dia tersungging makin lebar. “Jadi biar
si Geri nanti tahu, rasanya dihajar sekali lagi…! Kali ini dihajar sama
bekas muridku yang kabur dari sasana gara-gara patah hati sama adik
seperguruan! WHAHAHAHAHA…!!!” instruktur langsung ketawa
sekencang-kencangnya…!
“BANG…!!! Jangan becanda kau, Bang…!!!” Ben langsung kelihatan shock!
“Kenapa kau?!! Jangan pura-pura pengecut
kau?!! Kalo si Geri saja bisa berlagak jadi jagoan, mana boleh kau
berlagak pengecut macam itu?!!” cibir Bang Togar kepada Ben.
“Aku bukannya nggak berani, Bang…!” sentak Ben.
“Tentu sajalah kau berani! Kau juga
tukang berkelahi dulu! Aku mau kasih pelajaran itu si Geri biar dihajar
sama jago berkelahi beneran macam kau ini! Biar tahu dia gimana harusnya
jadi jagoan…!”
“Bang… aku udah insyaf, Bang…! Sumpah!” kelit Ben, jadi tampak konyol.
“Sekali-sekali lagi lah…!” Bang Togar terus menekan dengan mimik jahil.
“Kamu mau balas dendam kan, Bang?! Aku tahu kamu kesal sama aku sejak dulu, Bang…!” Ben ganti menuding mantan instrukturnya itu.
“Tentu saja aku kesal sama kau! Aku tak
pernah ajarin orang buat suka berkelahi. Tapi kau dulu sering berkelahi
kan?! Bagusnya kau tak pernah main keroyok. Tapi aku tetap kesal sama
kau…!” tukas Bang Togar.
“Kalo gitu kenapa sekarang malah mau ngadu aku sama Geri, Bang?!” gerutu Ben.
“Kau musti mengerti, buat aku kau tetap
keluarga sasana. Karena aku tak pernah keluarkan kau! Kau yang kabur,
kuanggap kau bolos latihan selama setahun lebih dikit lah… Aku tak
mungkin mengeluarkan kau! Bandel-bandel kau punya progres yang bagus!
Nah, biar si Geri itu dapat pelajaran dari kau!”
“Tapi prakteknya aku disuruh berkelahi
kan, Bang?!! Kalo aku milih penyelesaian dengan cara berkelahi, terus
apa bedanya aku sama Geri?!!” tukas Ben kesal.
“Terus apa gunanya kau latihan selama ini?!” balik Bang Togar.
“Yang pasti bukan buat pamer!”
Bang Togar ketawa lagi. “Aku tak minta
kau untuk pamer! Aku cuma ingin kau kasih pelajaran harga diri ke si
Geri ini! Meski ujungnya tetap berkelahi, tapi kau orang yang bisa
berpikir lebih dulu sebelum main pukul. Itu bedanya kau dengan si Geri
ini!”
“Udah, Bang, nggak usah pakai muji-muji segala. Intinya tetap mau ngadu aku sama Geri! Aku nggak mau!”
“Adu kemampuan antar murid itu hal biasa!
Anggap saja kau kukasih kesempatan buat ‘melatih’ si Geri, karena kau
lebih senior. Biar dia nggak sombong lagi di luar! Biar dia berhenti
nge-bully orang! Itu lebih efektif buat keamanan Dimas teman kau ini!
Geri tak akan berani lagi ganggu dia, kalo tahu kau temannya! Tentu saja
kau harus bisa hajar si Geri sampai bonyok dulu, biar dia kapok!”
Aku meneguk ludah. Ben juga kelihatan
shock. Kami berdua tegang, sedangkan Bang Togar cuma tersenyum-senyum
dengan entengnya. Ampuunnn… Jadi… Bakal ada darah nih…???
“Sebenarnya nggak seperti itu rencana
kami, Bang! Harapan kami cukup Bang Togar saja yang menghukum Geri. Aku
bisa saja hajar dia, kapanpun aku nggak takut. Tapi Bang Togar sebagai
guru sekaligus ketua sasana, secara mental pasti lebih ngefek lah!”
protes Ben.
“Aku menghukum si Geri lewat kau!” tukas Bang Togar sambil tersenyum-senyum dengan bibir lebarnya.
Aku dan Ben bungkam total sekarang!
Kacau! Akhirnya malah Ben yang harus berkelahi demi nyelesein masalahku!
Kreekkk…
Pintu ruangan dibuka dari luar. Mata kami bertiga segera menatap ke orang yang berdiri di ambang pintu itu…
Geri balas menatap kami. Tapi kemudian
matanya cuma terpaku padaku. Gugup sekaligus geram yang begitu jelas di
matanya! Kejutan hahh…?!!
“Sini kau!” bentak Bang Togar ketus. Raut mukanya kini kembali berubah menyeramkan, tanpa senyum sedikitpun!
Dengan ragu-ragu Geri melangkah masuk.
Wajah cemas dan curiganya benar-benar nggak bisa disembunyikan…! Dia
tampak gugup di hadapan Bang Togar…!
“Masih ingat sama dia?” tanya Bang Togar ke Geri, sambil menunjukku.
Geri kembali menatapku. Di balik
ekspresinya yang terlihat gelisah, tersirat kembali rasa geramnya!
Seolah dia masih bernafsu untuk memukulku! Ya, sepertinya kata-kata Ben
benar… Geri bukan orang yang bisa diharapkan untuk cepat jera! Sorot
matanya masih tampak beringas padaku!
“Hei, jawab!! Aku tanya kau!” bentak Bang Togar ke Geri. “Masih ingat tidak kau?!!”
“Iya, Bang…” jawab Geri gugup.
“Iya apa?! Apa yang kau ingat?!”
Geri diam lagi. Wajahnya mulai pucat, tapi sekaligus seperti menyembunyikan sorot berang!
“Jawab! Apa yang kau ingat?!!” ulang Bang Togar lebih keras.
“Teman… satu sekolah, Bang…” jawab Geri makin segan menghadapi Bang Togar.
“Kalo cuma teman sekolah tak usah kuminta kau ke sini!! NGAKU…!!! Apa yang sudah kau buat ke dia?!!!”
“Aku… pernah pukul dia, Bang…” jawab Geri gugup agak gagu.
Bang Togar melongo. Lalu dia berdiri
mendekati Geri. “Ooo… Kamu pukul…?” ulangnya dengan nada pelan. “Dipukul
gimana…? Dipukul begini? Begini…?” Bang Togar ‘memukul-mukul’ wajah
Geri, tepatnya menyentuh pelan-pelan dengan kepalan tangannya. “Begitu…?
Iya…?”
Geri bengong diperlakukan seperti itu oleh instrukturnya…
“KAU PUKUL ATAU KEROYOKKK??!!!” bentak Bang Togar meledak laksana geledek!
“KEROYOK BAANGG…!!!” seru Geri mulai panik. Mukanya makin pucat begitu Bang Togar mulai marah sungguhan!
“Kau katain dia ‘banci’??? JAWAB?!!!”
“Dia memang gitu, Bang…” jawab Geri gemetar.
“Gitu? Apa ‘gitu’? ‘Gitu’ apa?!! Yang jelas kalo ngomong!!!” bentak Bang Togar.
“Memang… dia banci, Bang…” racau Geri ketakutan.
“Jadi buat mukul ‘banci’ KAU MAIN
KEROYOK?!!! Jagoan apaan kau?!! Lebih banci kau!!!” Bang Togar
memaki-maki Geri yang gemetar ketakutan.
Aku dan Ben juga cuma diam nggak berani menyela, menyerahkan waktu sepenuhnya kepada Bang Togar buat menyidang muridnya itu!
“Siapa saja yang kau ajak buat keroyokan? Siapa saja yang dari sasana?!!” Bang Togar menginterogasi Geri.
“Yoyon sama Boris, Bang…” jawab Geri kikuk.
“JOOOONNNN…!!!” Bang Togar memanggil lagi.
Laki-laki gemuk yang wajahnya terkesan rada dungu itu segera datang lagi dengan wajah ngantuknya…
“Ada apa, bang?” tanya si Jon.
“Kau panggil itu Yoyon sama Boris…! Suruh kemari!!” perintah Bang Togar.
Si Jon langsung berangkat, kali ini tanpa balik nanya lagi. Dan Bang Togar kembali memelototi Geri.
“Sekarang jelasin! Apa maksud kau pakai seragam sasana buat mukulin orang di luar? Kau pakai kaos sasana kan?!!” hardik Bang Togar ke Geri.
“Nggak ada maksud apa-apa, Bang… Kebetulan pakai baju itu, Bang…”
“Tak usah bohong kau! Masa tiga orang ‘kebetulan’ pakai kaos sama?!!”
“Benar, Bang… Kebetulan, Bang…” jawab Geri memelas.
“Aku yakin disengaja, Bang!” Ben langsung
menyanggah. “Kejadiannya habis sekolah, saksi-saksi bilang mereka masih
pakai celana seragam, tapi atasnya kaos sasana! Mereka yang nyerang
duluan, dan mereka juga yang ngeroyok, jadi nggak mungkin kalo nggak
direncanain! Kayaknya mereka memang nge-gang…!”
Habis berkata begitu, Ben langsung
melirik dan tersenyum licik padaku. Huh, kurang ajar nih anak, ternyata
berani dia memprovokasi mantan guru-nya sendiri! Tapi setidaknya bagiku
dia memprovokasi sebagai pihak yang benar!
“Nah! Kau bohong kan?!” Bang Togar
membentak Geri lagi. “Kau sudah rencanakan semuanya! Bawa-bawa sasana
buat berlagak jagoan! Aku pernah ajari kau buat ngerjain orang??? Bikin
malu kau! Kutampar kau!!!” Bang Togar geram seraya mengangkat tangannya.
Tapi nggak ada pukulan yang melayang, cuma gertakan dan ekspresi
kemarahan.
Geri tertunduk. Tapi sambil menunduk, matanya melirik Ben dengan sorot dendam…!
“Hei!!! Apa kau pandang-pandang si Bonbon
macam itu? Kau tak terima dia bela si Dimas?! Kau mau nantang dia?!”
bentak Bang Togar, rupanya dia mengamati gerak-gerik Geri. “Kau belum
tahu si Bonbon ini…? Belum tahu kau siapa dia…?”
Bang Togar lalu menunjuk piala besar yang ada di bilik lemari buffet. Mata kami semua segera tertuju ke benda itu…
“Kau lihat itu piala yang mirip
tempayan…!” tukas Bang Togar sambil masih menuding ke buffet. “Kau pikir
itu piala punya siapa…?”
Geri tampak kikuk. “Itu… piala dia, Bang…?”
“GOBLOKKK!!! Itu piala aku!!!” sentak
Bang Togar kencang. “Kalo itu piala si Bonbon kenapa dia pajang di ruang
aku?!!! Bego kau! Kau tak tahu maksudku! Itu piala juara satu nasional!
Aku dapatkan itu dengan cara satu lawan satu, bukan KEROYOKAN!!! Siapa
yang bangga sama tukang keroyok macam kau?!!! Jagoan tak pernah main
keroyok! Sasana ini dibangun dengan semangat ksatria yang gentle, tapi
sekarang semuanya dibikin malu gara-gara kau!!!”
Ooo, gitu… Terus terang, aku tadi juga sempat berpikir itu pialanya Ben…!
“Kau merasa jagoan, pandang-pandang macam
itu ke Bonbon?” Bang Togar menghardik Geri lagi. “Dia tak pernah
keroyok orang, dia bandel tapi tak pernah cari masalah lebih dulu! Tapi
asal kau tahu, enam biji batako bisa hancur sekali pukul sama dia! Kau
pikir sendiri lah, lebih keras mana batako sama gigi kau… Bisa tamat
kau!”
Geri kelihatan ketakutan. 180 derajat, nggak berani melihat Ben lagi!
“Bilang saja terus terang kalo kau mau
tantang dia, biar aku bisa atur arenanya. Biar ditonton sama semua murid
sasana…! Biar tahu malu kau…!” Bang Togar terus menggencet.
“Nggak, Bang, nggak…!” Geri makin down. Ternyata ciut nyalinya…!
Lalu dua orang lagi masuk. Dua orang yang aku masih sedikit ingat, teman Geri yang ikut ngeroyok aku waktu itu…!
“Nah!!! Ini lagi, tambah lagi biang
keroknya! Sini kalian!!!” tukas Bang Togar ke teman-teman Geri itu. Lalu
Bang Togar memalingkan mukanya padaku. “Ini yang bantu Geri mukulin
kau?”
“Iya, Bang… Mereka berdua, aku masih ingat!” tegasku yakin.
Bang Togar menghardik teman-teman Geri
itu. “Sudah, tak usah banyak cakap kalian berdua! Ini si Geri sendiri
yang bilang kalo kalian ikut ngeroyok si Dimas! Tak bisa mungkir kalian!
Kenapa kalian ikut-ikut bikin ulah?!! JAWAB!!!”
Dua teman Geri itu ikut ketakutan, berdiri mematung bersama Geri…!
“Boris, jawab kau!” tukas Bang Togar.
Teman Geri yang berambut keriting, yang
bernama Boris menjawab dengan gugup. “Diajak Geri, Bang… Katanya dia
dipukul lebih dulu, Bang…”
“Siapa yang punya ide bawa-bawa kaos sasana?!!”
“Ide Geri juga, Bang…”
“Terus kenapa kau turuti dia?! Tolol!!!”
“Sama-sama satu sasana harus solider… Gitu kata dia, Bang…”
“SOLDER KEPALA KAU!!!” Bang Togar teriak.
“Solider, Bang… bukan solder…” Boris mengoreksi dengan gugup.
Entah kenapa aku mau ketawa. Ben juga hampir saja kelepasan tawanya. Temannya Boris malah beneran bocor, keluar desis gelinya…
“WOIII…!!! Apa kau ketawa-ketawa?!!!”
Bang Togar mencak-mencak diketawain sama murid yang sedang dia sidang.
“Kau kira aku tak tahu soal solider?!! Minta kutampar kau…?!!!”
“Maaf, Bang…” teman Boris yang tadi ketawa sekarang langsung ciut disemprot Bang Togar.
Instruktur bela diri itu memandangi tiga
murid yang disidangnya bergantian, sambil mengulikkan kelingkingnya ke
telinga. Mukanya merah padam. Sedangkan tiga muridnya itu cuma diam
menunduk ketakutan.
“Kalian bikin malu aku. Kalian pikir
solider itu musti keroyok orang? Tak pernah aku ajari muridku macam itu!
Kalo kalian terpaksa berkelahi, satu lawan satu! Keroyokan itu menang
nggak bikin bangga, kalah makin memalukan! Sasana ini malu punya murid
macam kalian…!” bentak Bang Togar.
Suasana hening sejenak. Hening dan tegang!
“Sekarang aku tanya sama kalian. Kalian merasa benar atau salah…?!” lontar Bang Togar pelan tapi tajam. “Boris?”
“Aku ngaku salah, Bang…” jawab Boris lirih, gemetar.
“Kenapa kau salah?”
“Aku sama Geri temenan udah lama, Bang…
Aku tahu mukulin orang itu nggak bener, tapi aku ngerasa nggak setia
kawan kalo nggak bantu Geri, Bang…”
“Bah!! Tak punya pendirian kau! Geri ini
bukan istri kau, bantu teman itu mustinya kau pikir dulu baik-baik!
Bantu teman tapi bikin malu orang satu sasana! Tak waras kau!” maki Bang
Togar pedas. Lalu dia gantian memandangi muridnya yang lain. “Yoyon,
kau sekarang jawab! Benar apa salah kau?!”
“Salah, Bang… Aku salah…” jawab Yoyon yang tadi sempat ketawa, sekarang tampak grogi.
“Kenapa kau salah?”
“Aku ngerti ngeroyok orang itu salah,
Bang… Tapi Geri kan lebih senior, Bang… Aku nurut aja, aku juga nggak
terima teman satu sasana dipukuli…”
“Bego kau! Geri dihajar sama adiknya si
Dimas ya pantas lah dia! Siapa suruh maki-maki sodara orang?!! Kau
bangga punya senior macam Geri ini? Lawan anak karate lulusan SMP saja
keok dia! Ujungnya malah ngajak main keroyokan! Senior macam dia kau
takuti? Belum apa-apa sudah sok jagoan dia!” bentak Bang Togar.
Ketiga ‘tersangka’ diam.
“Sekarang kau, Geri! Mau ngomong apa kau sekarang?” akhirnya giliran Geri diinterogasi Bang Togar.
Tapi Geri diam saja, tertunduk mati kutu.
“Aku tanya kau?!! Dua teman kau ini sudah
ngaku, kau yang ajak mereka buat ngeroyok si Dimas ini pakai bawa-bawa
identitas sasana! Mau ngomong apa kau sekarang…?!!” bentak Bang Togar
tajam.
“Aku… Aku ngaku salah, Bang…” ucap Geri pelan.
“Bah! Bisa ngaku salah juga kau?! Terus kalau kau salah, mau apa lagi kau?”
Geri kebingungan. Benar-benar kelihatan terpojok…
“Kalo kau salah terus gimana?!!!” bentak Bang Togar lagi.
Geri mengangkat mukanya sedikit. Wajahnya masih ragu, tapi dia mengucap juga, “Aku… mau minta maaf, Bang…”
“Minta maaf sama siapa?!!”
“Sama Bang Togar…”
Wajah Bang Togar langsung mengembang tambah merah…!
“Bah!!! Rupanya tak cuma mental ecek-ecek
kau, tapi bego juga kau! Tak punya perasaan pula kau! Kalo kau minta
maaf sama aku, itu karena kau takut sama aku! Maaf kau itu tak tulus.
Aku tak butuh kata maaf dari kau…!” tukas Bang Togar sambil mencibirkan
bibirnya, gayanya seperti dibikin sok gengsi bak seorang mantan pacar
menolak buat baikan. Atau mungkin memang begitulah ekspresi alaminya.
“Kalo kau memang benar menyesal, kau mustinya minta maaf ke Dimas!
Menyesal yang sungguh-sungguh tak boleh gengsi, kalo kau memang menyesal
minta maaflah sama dia! Benar menyesal tidak kau?!”
Jantungku terpacu lagi. Bisa kubayangkan
seperti apa tekanan yang dirasakan Geri. Dan aku nggak bisa membayangkan
kalau dia benar-benar akan minta maaf padaku…! Apa untungnya buatku
kalau dia cuma minta maaf karena ditekan? Benar, itu bukan jaminan. Tapi
sekarang aku juga merasakan sendiri, kalau mempermalukan orang lain di
depanku itu ternyata juga nggak membuatku nyaman…!
Geri kelihatan sangat meragukan…!
“Kalo kau memang tak sungguh menyesal,
bilang saja! Biar aku bisa atur supaya kalian selesaikan di arena!
Selesaikan dengan cara laki-laki, kau merasa benar maka buktikan saja
satu lawan satu. Tapi kalo kau memang menyesal, minta maaflah kau sama
dia sekarang juga!!! Jangan plin-plan kau!!!” desak Bang Togar.
Aku langsung terkesiap dan ternganga
mendengar ultimatum Bang Togar!!! Geri juga tampak terperanjat!
WHAT THE F**K…!
Geri segera memandangiku. Wajahnya yang
penuh keraguan itu… Oh, ya ya… makin jelas sekarang! Matanya kembali
beringas menatapku…! Dia memang nggak sungguh-sungguh menyesal! Dia
memang nggak bermaksud minta maaf! Mukanya menunjukkan kalau sekarang
dia sedang menangkap angin segar, kesempatan untuk menghajarku lagi…?!!
Bang Togar menepuk-nepuk Geri. “Aku lihat
kau memang tak sungguh-sungguh menyesal. Ya sudah, kau selesaikan saja
secara gentle di arena…!” ucapnya…
DAMN…!!! What the hell is going on…???!!!
“Tapi kalo aku adu kau sama Dimas, itu
tak adil!” lanjut Bang Togar dengan datar. “Jelas dia tak pandai
berkelahi. Lagipula harusnya kau sudah puas pukuli dia kemarin…!
Sekarang sudah ada si Bonbon ini, dia bilang siap bela si Dimas. Adil
kalo kau lawan Bonbon, karena kalian sama-sama bisa berkelahi, dan
kalian juga sama-sama satu sasana…!”
Ada tiga orang yang wajahnya berubah
drastis…! Aku lega tapi sekaligus merasa nggak tahu diri di hadapan Ben.
Ben terbengong-bengong karena ternyata dia benar-benar dipatok Bang
Togar buat berkelahi melawan Geri. Dan… Geri yang langsung terjun bebas
dari harapan sesaatnya untuk menghajarku di arena, sekarang menjadi
wajah kecut penuh raut kesialan dan kepanikan yang sungguh kasihan…!
Sedangkan Bang Togar cuma tersenyum-senyum santai seolah puas bisa mempermainkan tensi emosi kami!
“Bagaimana…?” tanya Bang Togar ke Geri dengan tenangnya.
Geri tertunduk lesu. “Kenapa cuma aku
yang dihukum, Bang…? Yang ngelakuin nggak cuma aku, Bang…?” rupanya dia
mulai nggak malu buat merengek.
“EHHH!!! Tak tahu diri kau?!! Semua yang
mulai kau, yang punya masalah sama si Dimas ini kau!! Yoyon sama Boris
ikut karena kau yang paksa! Kau musti berani tanggung kesalahan mereka!”
sentak Bang Togar jadi emosi lagi. “Apa? Tak berani kau begitu tahu
lawan kau si Bonbon?!!”
“Udah, Bang… Aku kapok, Bang…” desah Geri terdengar agak tersengguk.
Aku tercekat terbelalak…! Semua mata di
ruangan juga sama, terbengong-bengong melihat Geri yang tanpa diduga
bisa menangis seperti itu di depan kami…
“Mas, aku minta maaf, Mas…” ucap Geri mengarahkan badannya padaku tanpa mengangkat wajahnya.
“Bohong dia! Kalo memang menyesal, sudah dari tadi dia minta maaf sama kau!” tukas Bang Togar sengit.
“Udah, Bang… Aku kapok, Bang… Aku nggak akan ulangi lagi, Bang…” ucap Geri mengiba.
“Kau bikin aku malu sama si Dimas! Kalo
sampai Dimas maafin kau, makin malu lagi aku! Pantasnya kau memang harus
dihajar!” Bang Togar nggak berhenti mengomel. “Bon, hajar dia, Bon!
Biar aku bawa dia ke arena, biar malu dia!”
Ben tampak bimbang dan bingung di tempat duduknya. Aku jadi makin nggak tahan…
“Udahlah, Bang… Aku maafin dia…” kata-kataku akhirnya terucap…
Semua menatapku, kecuali Geri yang terus menundukkan kepalanya…
“Apa kau bilang?” Bang Togar mendelik padaku.
“Aku maafin dia, Bang…”
“Dia tak tulus minta maaf! Dia bilang maaf karena takut sama aku, sama Bonbon…!”
“Tulus apa enggak, siapa yang bisa jamin
juga sih, Bang?” sahutku dengan senyum pahit. “Kalian semua udah cukup
buat jadi saksi kalo Geri udah minta maaf dan nggak akan mengulangi
ulahnya lagi… Buatku itu udah cukup…!”
“Ya, Bang. Aku jadi saksi. Kalo ternyata
dia masih berani macam-macam lagi sama temanku, aku sendiri yang akan
hajar dia, nggak perlu nunggu Bang Togar ngadu di arena…!” tegas Ben
mendukungku.
Lalu semua yang ada di ruangan diam.
Begitu juga Bang Togar, dia berkacak pinggang menatap tajam pada Geri
tanpa bicara apa-apa. Tapi bisa kubayangkan seperti apa emosi yang
tertahan di dalam diri instruktur bela diri itu.
“Sudahlah, Bang…” desahku lesu, menegaskan keputusanku untuk menganggap masalah ini selesai. Aku sudah capek…
“Kalian dengar, Dimas maafin kalian. Kalo
sampai masalah macam ini terjadi lagi, aku sendiri yang akan hajar
kalian! Keluar kalian sekarang! Keluar!!! Bikin malu kalian!!!” hardik
Bang Togar geram. Akhirnya dia mengakhiri sidangnya.
Geri, Boris dan Yoyon melangkah menuju
pintu keluar dengan lesu. Tapi saat ketiganya sudah nyaris keluar dari
ruangan, Yoyon yang jalan paling belakang berbalik lagi. Dia melangkah
ke arahku dengan kepala tertunduk. Lalu…
Aku terkesiap saat Yoyon mengulurkan tangannya padaku…
“Sorry, ya… Aku ikut mukul kamu kemarin…” desah Yoyon lirih.
Sejenak aku jadi bingung di tempat dudukku…
“Aku beneran minta maaf… Aku nyesel udah ikut ngeroyok kamu…” ucap Yoyon lagi.
Kupandangi tangan yang terulur di hadapanku. Dengan ragu, akhirnya kujabat tangan Yoyon tanpa berucap sepatah katapun…
“Thanks…” ucap Yoyon. Lalu dia membalikkan badannya lagi, berlalu dari hadapanku.
“Tunggu…!” sekecap aku menahannya.
Yoyon menoleh padaku lagi. Sebenarnya aku
ragu dan nggak nyaman mengungkitnya, tapi akhirnya kupaksakan diri
untuk menanyakannya…
“Kenapa temanku juga dipukuli…?”
“Teman?” ulang Yoyon dengan mimik agak ragu.
“Aku sedang bersama temanku waktu itu,
dan dia juga kalian pukuli… Kenapa?! Dia nggak salah apa-apa!” cetusku
dengan menahan sakit hati yang sekonyong-konyong tergetar lagi di dada.
Yoyon terpaku gugup menatapku. “Dia belain kamu, dia mau melerai… dan… dia juga sempat memukulku…”
“Membelaku…?” aku tercekat tak percaya…!
“Makanya dia dipukuli juga…”
Aku terpana mendengar penjelasan Yoyon
yang telah menjelaskan sesuatu yang nggak aku duga…! Untuk kesekian
kalinya, perasaanku kembali hancur…
Jadi waktu itu… Fandy membelaku…?
“Titip permintaan maafku juga buat dia…” kata Yoyon pelan. Lalu dia pun pergi.
Ruangan senyap lagi. Beberapa saat cuma hening yang berucap di dalam ruangan.
“Kuharap kau ikhlas kasih maaf sama mereka…” ucapan Bang Togar memecah kebisuan.
“Ikhlas itu kadang nggak bisa dalam
sekejap, Bang… Maafku aku kasih sekarang, tapi ikhlasnya sambil jalan
aja… Aku cuma ingin masalah nggak berlarut-larut aja… Aku udah capek…”
desahku dengan tawa pahit.
“Jujur harus aku akui, aku suka dengan
sikap kau!” ujar Bang Togar dengan nada rendah sambil menudingkan
telunjuknya. “Masalah itu memang akan lebih bagus kalo bisa selesai
tanpa baku hantam. Tapi kadang kita terpaksa harus pakai cara keras,
karena kita tak selalu bisa mengendalikan emosi setiap orang yang ribut
dengan kita.”
Bang Togar tampak lesu, kembali menjatuhkan dirinya duduk di sofa…
“Aku belajar cara berkelahi sejak
kecil….!” tutur Bang Togar bercerita. “Dari situ aku menemukan nilai
mulia dari beladiri. Kalo kalah harus berbesar hati, kalo menang tak
boleh tinggi hati. Beladiri yang benar itu tak cuma soal mengalahkan
lawan, tapi juga mengendalikan diri… Aku suka kau mau berbesar hati
meski kau sudah dipukuli. Memang benar, kadang ikhlas tak bisa dalam
sekejap. Hati itu juga butuh belajar, aku tahu itu…”
Lalu Bang Togar tersenyum, dengan senyum yang tampak bijak. Ya, aku percaya dengan senyumnya sekarang.
“Soalnya kalo mau balas pakai berantem, aku nggak bakal menang, Bang…!” kelakarku sambil ketawa.
“Hahahaha…! Kau tak usah merendah. Hampir
tigapuluh tahun aku menekuni martial arts! Enam tahun aku jadi guru di
sini, aku bisa bedakan orang sombong sama orang rendah hati…!” tukas
Bang Togar.
“Tapi kalo kebanyakan dipuji aku cepat kelihatan sombongnya lho, Bang…” balasku sambil agak tersipu.
“Iya, Bang, dia tuh narsis kok. Dia
pura-pura rendah hati biar dipuji… Sombongnya tuh di dalam. Pokoknya
gitu lah dia…!” Ben ikut nimbrung.
“Sejak kapan kamu kenal aku sampai yang dalam-dalam?” tukasku.
“Tuh, mulai sensi kan dia? Siapa bilang dia rendah hati?!” cibir Ben.
Ben sama Bang Togar ketawa-ketawa. Dasar
sialan! Kuambil botol minumanku yang ada di meja. Kusedot tehku.
Meredakan syaraf otak yang dari tadi tegang habis-habisan!
“Bon, kau hebat kali ya mau bela-belain
teman kau ini? Padahal dulu-dulu seingatku kau tak begitu suka
bergaul..?!” cetus Bang Togar kepada Ben. “Jangan-jangan si Dimas ini
pacar kau?!”
Brrrrccchhh…
Aku langsung tersedak, teh yang kusedot tumpah dari mulutku…
“Jangan ngawur kau, Banggg…!!” Ben langsung protes keras.
“Cuma teman, Bang!!!” aku juga ikut protes sambil mengusapi mulutku yang habis menyemburkan minuman.
“Alahh… Tak usah pura-pura kalian…!
Apalagi kau, Bon, yang bikin kau ngambek tak mau latihan lagi karena kau
diputus sama mantan pacar kau itu kan?! Banyak kok, cowok jadi suka
cowok gara-gara trauma sama cewek…! Katanya sih begitu…” cetus Bang
Togar sambil tersenyum kurang ajar.
“Aku nggak trauma ya, Bang…! Aku memang putus sama dia, tapi nggak sampai segitunya lah…!” kilah Ben sengit.
“Ahhh, gitu saja marah kau…!” balas Bang
Togar sambil cengar-cengir santai. “Lantas kenapa kau tak mau latihan
lagi? Sudah setahun lebih kau mogok! Jangan bilang karena kau sibuk
ngeband, tak mungkin lah kau ngeband tiap hari!”
“Udah telanjur males…! Lagian makin jago
malah makin niat buat berantem… Aku sadar, Bang, aku ini dasarnya
gampang emosi. Cukup aja lah yang aku dapat dari sini. Aku mau belajar
jadi orang sabar aja…” gumam Ben kalem.
“Bah! Payah kau kalau begitu! Berapa kali
aku musti bilang, beladiri itu buat jaga diri, tapi juga buat
mengendalikan diri! Jangan dilihat dari wujud luarnya, Bon! Tapi lihat
apa yang bisa kau bangun dari dalam!” tukas Bang Togar.
Ben menggeleng. “Justru itu, Bang. Aku harus membangun bagian dalam dulu. Banyak belajar sabar dulu…”
Bang Togar mendehem. “Makanya, kau itu butuh kegiatan yang positif! Aku bukannya tak suka kau sibuk ngeband, tapi sepertinya pergaulanmu di sana tidak bagus…!” Lalu Bang Togar menghela nafas sejenak. “Kau sampai masuk rumah sakit gara-gara drugs…! Kau sebaiknya tinggalkan itu lah! Itu yang bikin rusak kau!”
“Aku sedang coba, Bang… Tapi kadang masih
ngefek, kadang masih kerasa sakit di badan… Sekarang memang sudah
mendingan sih…” gumam Ben pelan, matanya merenung.
Aku bersimpati melihat sobatku ini. Aku menyangka semua sudah baik-baik saja buat dia. Ternyata dia masih berjuang dengan itu…
“Makanya, sebaiknya kau tak bergaul lagi sama mereka. Cari teman yang baik-baik saja lah…!” cetus Bang Togar.
“Udah kok, Bang, aku udah nggak ngeband
lagi sama mereka. Sebenarnya nggak ada kesibukan sekarang. Aku mau
menenangkan diri dulu aja…” jawab Ben pelan.
“Kalo sudah tenang, kau balik sini lagi ya!” bujuk Bang Togar ke mantan muridnya itu.
Ben cuma tersenyum simpul, tanpa menegaskan ya atau tidak.
“Aku kira dia beneran bakal berantem sama Geri…” gumamku menggoda Ben.
“Hahahaha…!” Bang Togar langsung ngakak.
“Kalian itu tak pandai menilai orang. Tadi aku cuma mau ngetes si Bonbon
ini, seberapa baik dia sekarang! Dia ini dulu bandel sekali, macam
petasan sumbu pendek lah dia! Yaahhh, tadi sekalian buat nakut-nakutin
si Geri juga, dan ternyata benar dia cuma pengecut. Biar malu si Geri
sekarang! Harusnya dia tak akan berani ganggu kau lagi! Dua nyamuk
sekali tepuk lah…!”
“Hoooohhh…” aku mendesah lega meski sedikit dongkol juga karena sudah dikerjain sama Bang Togar!
“Aku nggak gitu kaget sih, Bang. Aku udah tahu kamu tuh suka ngerjain orang…!” cetus Ben ke mantan instrukturnya itu.
Instruktur nyentrik itu tertawa terbahak-bahak.
“Nah! Sekarang kau!” Bang Togar sekarang
ganti menunjuk aku. “Kau masuk sini saja lah! Kau belajar di sini, biar
tak jadi bulan-bulanan kau di luar…!”
“Waduh…!” aku tercekat. “Enggak deh, Bang… Aku nggak suka berkelahi, Bang…!”
“Bah! Kau ini! Persoalannya bukan suka
tak suka, tapi kadang mau tak mau kita musti bisa membela diri! Kau
pikir aku suka berkelahi??? Tidak lah! Aku lebih suka damai…!” tukas
Bang Togar sambil mendelik.
“Enggak deh, Bang… Gimana ya…?” aku jadi
agak salah tingkah. “Ya mungkin bukan sekarang lah, Bang… Aku masih
disuruh fokus ke sekolah dulu sama ortu…”
“Ahh, kolot benar ortu kau? Banyak hal
bagus yang kadang tak bisa kita dapat di sekolah formal…!” sahut Bang
Togar setengah menggerutu.
Sebenarnya bukan soal fokus ke sekolah
sih… Tapi… Coba dipikirin lah, masa aku belajar beladiri di tempat yang
sama dengan orang-orang yang pernah mukulin aku? Si Geri dan
kawan-kawannya itu? Biarpun mereka udah minta maaf, tapi nggak semua
efek batin jadi lenyap tuntas gitu aja. Nggak sesederhana itu…!
Tiba-tiba ada suara HP berbunyi. Bang Togar merogoh HP dari saku celananya…
“Ya kenapa?!” Bang Togar bicara pada orang yang menelponnya. “Iya masih di sasana, kenapa? … Hooo, ya udah ke sini saja…!”
Lalu ditutupnya pembicaraan singkat itu sambil cengar-cengir.
Aku menyedot lagi teh botolku, diikuti Ben. Menghabiskannya.
“Si Bonar mau kemari. Katanya sudah dapat
pacar dia, mau dikenalin sama aku. Aneh kali kalo aku rasa-rasa, mau
minta restu apa?” ujar Bang Togar sambil senyum-senyum sendiri.
Aku dan Ben berpandangan sekilas seraya ikut tersenyum.
“Titip ucapan selamat aja deh, Bang, buat si Bonar. Kayaknya aku mau cabut dulu, masalah udah selesai…” ujar Ben.
“Begitu? Ya sudah lah…” balas instruktur itu.
“Terima kasih, Bang, udah mau bantuin…” ucapku sepenuh hati.
“Haha, santai saja lah. Malah aku harus
minta maaf karena muridku sudah pukuli kau… Tapi aku juga terima kasih,
karena kalian mau melaporkan ulah anak-anak itu. Aku tetap akan hukum
mereka!”
“Oh, kirain cuma maaf-maafan aja selesai, Bang…?” lontar Ben.
“Tak bisa lah! Minta maaf tadi tanggung
jawab mereka ke Dimas. Tanggung jawab mereka ke sasana lain lagi! Mereka
kan sudah bikin malu! Aku akan urus nanti!” tegas Bang Togar.
Aku dan Ben cuma manggut-manggut. Kalau menyangkut nama sasana, itu sudah jadi urusan Bang Togar sepenuhnya.
“Aku juga mau kasih pesan sedikit buat kau, Dimas…” ujar Bang Togar.
Aku sedikit terkejut. “Pesan apa, Bang?” tanyaku.
“Adik kau sudah tahu soal keadaan kau ini? Maksudku soal kau suka laki-laki…?” tanya Bang Togar sedikit hati-hati.
“Yaa… Dia tahu, Bang. Dia kan berkelahi karena belain aku…” jawabku agak enggan.
“Jadi dia bisa terima kau kan?”
“Iya, begitulah, Bang…”
“Hmmm… Aku pikir, hebat kali adik kau.
Dia mau terima kau, malah sampai berkelahi buat kau. Jaga baik-baik
sajalah persaudaraan kalian… Bukannya berharap jelek, tapi namanya orang
tua itu lebih dekat buat tutup umur mendului kita. Kalo sudah
ditinggalkan orang tua, siapa lagi keluarga kita kalo bukan
sodara-sodara kita? Bersyukur sajalah kau punya saudara macam dia.
Pertahankan! Itu saja pesan aku…” ujar Bang Togar dengan sikap tenang.
Aku tercenung. Beberapa saat lamanya yang
ada di dalam kepalaku cuma Denis. Sodara yang berbagi rahim denganku
dalam waktu yang sama selama sembilan bulan. Teman sejak dalam
kandungan…
Dan…
Terbayang bagaimana akhir-akhir ini aku marah sama dia…
“Makasih, Bang…” ucapku pelan.
Ben lalu berdiri dari duduknya sambil menepuk bahuku. Aku ikut berdiri. Kami mulai berpamitan seraya mengulurkan tangan kami…
“Makasih, Bang, kami pamit dulu…” ucap Ben.
“Makasih, Bang…” aku ikut mengucap sekali lagi.
Bang Togar membalas jabatan tangan kami,
kali ini nggak pakai otot lagi. “Oke, sukses sajalah buat kalian, apapun
kerja kalian…! Yang penting yang positif sajalah!” ujarnya dengan tawa
hangat.
Instruktur beladiri itu melepas kami. Dia
duduk lagi di tempatnya saat kami berdua mulai melangkah meninggalkan
ruangan. Kami turun dari lantai dua, dan kembali melintasi koridor di
lantai satu.
Aku bernafas dengan lega sepanjang
langkahku di koridor yang dipenuhi gema suara latihan murid sasana…
Sampai-sampai aku hampir nggak sadar kalau Ben masih tertinggal di
belakang. Kutengok, rupanya dia berhenti di sana… mengintip latihan dari
balik sekat bambu. Aku segera balik lagi menghampirinya.
“Biar kutebak, kamu lagi ngintip mantan cewekmu itu kan? Yang mana, yang mana?” aku langsung ikut mengintip.
“Apaan?!” Ben langsung menarik kepalanya. Lalu dia segera jalan lagi meninggalkanku.
“Woii, gitu aja ngambek! Ngambek apa malu?” lontarku meledek sahabatku itu, sambil mengikutinya dari belakang.
Kami melewati lobby bagian depan lagi. Dan penjaga yang mirip Mbah Surip tadi masih di situ, tapi sudah tepar di kursi. Ngorok!
Akhirnya sampai di luar. Menghirup udara
malam yang dingin dan terbuka. Kami berdua melangkah ringan di halaman
parkir yang dipenuhi motor dan bercahaya temaram. Aku duduk di sadel
Vespaku. Ben bersandar di jok motornya. Kami terpekur sesaat di sini…
“Makasih ya, Ben… Kamu udah bantu aku.
Aku udah lega sekarang, nggak ada beban lagi soal Geri. Thanks…” ucapku
dengan secercah rasa haru atas sobatku yang sudah menyempatkan diri
untuk membantuku…
Ben, sobatku itu cuma tersenyum simpul. Aku pun kembali termenung di atas dudukku.
“Tapi kayaknya masih ada yang kamu pikirin?” lontar Ben padaku.
Aku mendesah seraya tersenyum kecut. “Iya. Mikirin Fandy…”
“Dia lagi?”
“Kamu juga dengar kan tadi? Fandy juga dipukuli, karena dia bermaksud membelaku…!” renungku menerawang.
“Hmmm… Terus kamu mengartikannya gimana?”
“Sejak kejadian itu, kupikir dia
membenciku. Sekarang aku berpikir, dia mungkin nggak sebenci itu… Aku
nggak bermaksud menjerumuskannya ke dalam masalahku, tapi… ternyata dia
sendiri memutuskan buat mengambil resiko untuk mencoba menolongku…
Padahal sebenarnya dia bisa menghindarinya…!” renungku pahit.
“Artinya…?”
“Entahlah… Cuma Fandy yang tahu…” ucapku masam.
Kami berdua lalu terdiam, duduk terpekur di antara motor-motor yang berjajar rapi di bawah temaram cahaya malam.
Kemudian aku tersenyum memandangi Ben.
“Selama ini kayaknya kamu lebih banyak dengar soal aku. Tapi aku hampir
nggak tahu apa-apa soal kamu. Kalo dirasa-rasa nggak fair aja!
Sekali-sekali ngomongin masalahmu kenapa sih? Siapa tahu aku bisa
gantian bantu…?” sindirku agak kesal.
“Masalahku soal sepele aja kok…” balas Ben dengan tawa kecil.
“Bener nggak sih, kamu bisa hancurin enam batako sekali pukul…?”
“Pakai palu, bisa…!” jawab Ben enteng.
“Hahaha… Jadi Bang Togar bilang itu tadi cuma buat nakut-nakutin Geri ya…?”
“Kamu tadi pasti juga ngira piala di buffet itu punyaku kan?”
“Aku akui, gurumu itu gokil! Super nyentrik!” cetusku sambil ketawa.
“Memang gitu orangnya. Dia nggak suka formal. Makanya anak-anak di sasana ini nganggap dia kayak abang sendiri…” jelas Ben.
Hmmmm… Aku menggumam sambil tersenyum. “Terus… perkembanganmu gimana, soal obat-obat itu…?” tanyaku dengan sedikit hati-hati.
“Sudah lebih baik…” gumam Ben agak
enggan. “Dulu memang rasanya drugs itu semacam tempat bermain yang
menyenangkan. Tepat lah kalo istilahnya ‘fly’, rasanya bisa terbang
tanpa beban. Tapi makin tinggi orang terbang, kalo tiba waktunya jatuh
pasti akan makin hancur rasanya! Aku beruntung aja bisa menyadarinya
sebelum telat. Sekarang aku bisa berpikir, memang yang namanya ‘fly’ itu
ibarat orang dikasih sayap waktu ada masalah. ‘Terbang’ itu cuma lari
dari masalah…!”
Aku tersenyum penuh rasa kagum. “Jadi ternyata kamu pernah jadi ‘merpati’ juga ya?” sindirku.
“Pada bagian suka ‘fly’, memang iya…” sahut Ben.
Kami berdua tertawa.
“Sekarang, masalahnya cuma… kadang jadi
ngerasa kesepian aja. Memang udah resiko sih… Tapi kadang juga berat…”
gumam Ben kemudian.
“Mungkin akan kedengaran lebay buat bahasa cowok, but i’ll be there for you pokoknya…!” ucapku dengan nada yakin.
Ben ketawa sedikit mencibir. “Kamu memang lebay…”
“Hahaha… Aku jadi kepikiran sama komentar Bang Togar tadi, waktu dia nuduh kita pacaran…” gumamku mulai berpikir jahil.
“Kenapa?” tukas Ben langsung curiga.
Aku memutar dudukku, menghadap langsung
ke Ben. “Terus terang, kamu tuh tampang dapet, postur dapet, gaya cool,
bandel juga ada, cowok banget lah pokoknya! Kamu pikir sendirilah
gimana…? Nanti kalo aku jadi gimana-gimana, terus gimana…?” godaku
jahil.
Ben memandangiku dengan mata jutek. Lalu wajahnya jadi jahil juga. “Sorry ya kalo nyakitin. Tapi aku pilih Denis aja…”
“HEEEIIII…!!! Yang bener kalo ngomong?!!!” aku langsung nyolot, bak kesundut obat nyamuk.
“Kenapa? Cemburu?!”
“Nggak! Cuma penasaran! Kenapa pilih Denis?!!!”
“Sama! Dia lebih cowok dari kamu!”
“Masa sama-sama tukang berkelahi jadian? Ancur dong tempat tidurnya?!!!”
“Bilang aja, sama ancurnya dengan harga dirimu sekarang…!”
“HAHAHAHAHA…!!!” aku sama Ben ngakak berdua di atas jok masing-masing.
“Ahhh…! Becanda yang aneh!!! Udah, udah!!! Selesai…!” Ben lalu bersungut-sungut.
“Iya, iya. Sorry…! Otakku rasanya seperti
direndam air comberan selama beberapa hari ini. Aku memang lagi butuh
pelepasan…!” sahutku sambil menahan tawa. “Jujur, kamu yang bikin aku
bisa ketawa lagi seperti ini…! Thank you so much…!”
“Sama-sama…!” sahut Ben dengan senyum cool-nya.
Masih di bawah sorot cahaya malam yang
temaram. Sebuah mobil sedan masuk ke halaman parkir. Mobil itu berhenti
nggak jauh dari tempat aku dan Ben nongkrong. Nggak lama kemudian, dua
cowok turun dari mobil itu. Agak samar karena mereka berada di bagian
yang sedikit lebih remang.
“Bonbon, lama nggak kelihatan kau…?!” salah satu cowok itu menyapa Ben dari jauh.
“Horas…!” balas Ben sambil mengangkat tangannya. Rupanya Ben mengenalinya juga.
“Gimana kabar kau?” cowok berpenampilan necis itu bertanya sambil lalu.
“Baik. Ditunggu Abangmu tuh di dalam…!”
sahut Ben dengan cuek juga. Lalu Ben berbisik padaku. “Itu si Bonar,
adiknya Bang Togar…”
Tapi…
Bukan cowok necis itu yang menyita
perhatianku! Aku terkejut bukan kepalang saat menyadari cowok yang
satunya lagi…! Cowok itu juga sedang mengamatiku dengan gerak-gerik yang
mencurigakan… My God!
AKU KENAL DIA…!!!
“Kamu nggak kenal yang satunya itu…?!” bisikku ke Ben dengan masih kaget terheran-heran.
Ben segera ikut mengamati. “Lhooo… Itu kan…? Anak Kepala Sekolah kita…???” bisiknya dengan nada heran pula…
Pada saat itu juga Aldo segera menarik
mukanya, menghindar dari pandangan mata kami. Dan cowok yang bersamanya,
si Bonar, segera merangkul pundaknya. Menggegasnya masuk ke gedung
sasana.
“Kata Bang Togar tadi si Bonar mau bawa pacarnya…?” gumam Ben terheran-heran.
Tanpa menyimpulkan jawaban, tawaku segera
meledak terpingkal-pingkal! Aku sampai terbungkuk memegangi perutku…!
Ya ampunnnn… Kejutan yang luar biasa…!!!
“Jadi… Anak Kepala Sekolah kita…???” Ben masih bertanya-tanya…
“YOU KNOW IT…!!!” tukasku sambil menahan tawa sejadi-jadinya!
Nggak lama kemudian Ben ikut menyusul tawaku! Kami terbahak-bahak lagi berdua! Lebih keras!!!
Aldo, Ben sekarang juga tahu lho…! Tapi bukan salahku ya!!!
Bersambung...
Bersambung...