RSS

Keranjang 16 - 18


Keranjang 16

Curiousity…







Selesai menjalani trip seharian, akhirnya berujung juga di hotel. Malam ini kami semua menginap di sebuah hotel di Gianyar. Hotel biasa sih, paling masih kelas Melati. Nggak mewah tapi bersih dan rapi, udah lumayan lah buat istirahat ngilangin capek.

Pembagian kamarnya adalah: tiap kamar ditempati 2 orang. Buat memudahkan koordinasi, teman sekamar disesuaikan dengan teman duduk di bus. Jadi ya aku sama si Bambang lagi. Syukurlah, satu kamar udah ada dua tempat tidur. Ya memang harus gitu lah! Kalau nggak, mampuslah aku satu kasur sama si Bambang yang body-nya jumbo itu! Lagian, ya terus terang aja… soal tidur satu kasur aku cuma bisa seratus persen bersenang hati kalau cowok yang jadi teman tidurku adalah: Erik! Yang lain? Aku nggak terlalu ikhlas kayaknya.

Setelah soal kamar fixed, yang langsung terpikir di kepalaku adalah: Mandi! Segera kusiapkan pakaian gantiku. Lalu segera menuju ke kamar mandi.

“Mbang, aku mandi duluan yah…” lontarku ke Bambang. Nggak usah nunggu jawaban, aku langsung masuk ke kamar mandi.

Buka baju. Celana. Langsung buka shower-nya. Pyurrr… Titik-titik air mengguyur lembut.

Dari Tari Barong, Goa Gajah, Pasar Sukawati, lalu Pantai Sanur, pikiranku dijejali oleh Erik, Erik, dan Erik! Sekarang, ternyata lagi-lagi…! Sembari mandi pun aku masih kepikiran lagi sama Erik! Wajahnya, senyumnya, pesannya untukku malam ini… Semoga saja itu adalah sebuah KENCAN…!!!

Terbayang-bayang oleh Erik terus, apalagi pas adegan dia buka baju di Pantai Sanur…

Body putihnya, dada bidang, mulus…

Lama-lama… jatuhnya rintik air dari shower terasa seperti menggelitiki kulitku. Geli-geli… merinding…

Mungkin berapa belas menit aku mandi. Selesai. Kukeringkan badanku pakai handuk. Lalu berpakaian. Aku keluar dari kamar mandi sambil mengusap-ngusap rambutku yang habis keramas pakai handuk.

“Weh… keramas ya? Habis manjain ‘burung’ pasti ya…?! Hahaha…” nggak ada angin nggak ada hujan, Bambang langsung nyerocos main fitnah.

Ndas-mu!” umpatku. Nggak keramas pikiran keruh, begitu keramas malah difitnah

“Wakakakaka…” Bambang malah tambah ngakak.

Tiba-tiba ada seorang panitia piknik melongok ke kamarku sambil woro-woro. “Kalo mau makan malam bisa ngambil di ruang makan ya… Udah disiapin…!” cetus panitia itu, lalu kepalanya segera menghilang lagi dari balik pintu.

Kurapikan rambutku pakai tangan, lalu segera bergegas keluar dari kamar.

Berangkat menuju Ruang makan.

Ruang makan ada di dekat aula, ramai penuh orang. Antri prasmanan udah kayak antri sembako aja. Aku mengambil piring dan sendok, menciduk nasi lalu langsung milih-milih menu. Kayaknya enak-enak nih masakan Bali? Kulihat ada sate yang bentuknya aneh. Kayaknya enak, aku ambil sate yang bentuknya mirip cottonbud jumbo itu…

“Maaf ya, Sate Lilit-nya ambil satu aja…!” ada panitia yang langsung interupsi pas aku ngambil sate itu.

Anak-anak yang lain langsung menoleh padaku. Panitia sialan, bocor banget ngomongnya…! Dengan malu-malu aku kembaliin lagi sebagian sate yang aku ambil. Aku tadi ngambil tiga biji.

Selesai ngambil jatah makan, aku cari tempat nongkrong yang enak buat makan. Aku duduk di taman belakang aula. Ada bangku kosong yang bisa buat duduk. Dan lumayan agak sepi. Yahh, kebiasaan, nggak suka dengan suasana yang ramai-ramai. Aku duduk menyendiri, menikmati makan malamku.

“Boleh gabung…?”

“Heeekkkkk…” aku tersedak… Kaget! Karena Erik tiba-tiba menghampiri dan menyapaku…!

“Nah loh…! Keselek kan…?!” tukas Erik.

Aku batuk-batuk… Bagian dalam hidungku terasa sakit banget… Si Erik kalau nongol kok suka tiba-tiba gini sih?!! Bikin kaget…!

“Kamu ngagetin…!” sahutku masih agak seret.

“Kamunya aja yang suka bengong. Ada orang datang nggak nyadar. Begitu nyadar keselek…!”

“Tahu aku lagi bengong jangan langsung disamperin lah… Ya jelas aja kaget!”

“Terus gimana? Harus sungkem dulu gitu?” Erik malah ngajak becanda.

“Iya! Pakai cium tangan juga harusnya…!” aku jadi nyolot, dengan hati berbunga dan kepala membengkak.

“Pakai cium tangan? Ya udah sini aku cium tangannya…”

Aku bengong beberapa saat…

“Weew… Aku cuma becanda kok…” akhirnya aku malah ngeles. Bukannya nggak mau, tapi malu kalau aku yang harus ngasih tanganku… Pinginnya sih dia langsung pegang tanganku terus langsung dia cium…! Dengan lembut… Memang harusnya gitu kan sikap seorang Pengeran kalau mencium Puteri…? Ehhh anu, maksudku… sesama Pangeran tentunya…? Halahhh… malah makin ngawur pikiranku!

“Becanda ya? Aku juga cuma becanda…” Erik langsung ganti ngeles.

“Udah makan! Malah bengong lagi…” tukas Erik.

Malu-malu mau, menerima berkat diakrabi sama Erik seperti ini… Kusuapkan nasiku pelan-pelan ke mulutku sambil tersenyum-senyum sendiri.

Ini…, serasa dinner sama Erik jadinya. Harusnya ada lilin-lilin di sekitar sini!

“Nih, kamu tadi pingin Sate Lilit kan?” tiba-tiba Erik memindahkan Sate Lilit dari piringnya ke piringku, dua tusuk.

“Lho, kok kamu bisa ngambil banyak? Sampai lima tusuk…?” aku melihati Sate Lilit yang masih ada tiga tusuk di piring Erik.

“Aku kan panitia. Boleh ngatur jatah sendiri…” Erik cuek menjawab.

“Huuuh… Curang!” cetusku. ‘But thanks…’ 

“Panitia kan udah capek-capek ngurus pikniknya, jadi ya adil dong kalo sedikit diistimewakan…!” balas Erik sambil mengunyah satenya.

Erik yang udah lama aku harapkan, yang dulu sering ketus, akhirnya ngasih perhatian juga ke aku. Dan dia datang sendiri… Bukan aku yang minta.

Dan ini bukan mimpi, aku sangat yakin…

Plukk… Plukk! Kutampar pipiku pelan-pelan, dan terasa jelas… Ini nyata!

“Kenapa sih kamu suka menyendiri?” tanya Erik padaku.

“Eemmhh… Aku cuma nggak cocok sama suasana yang terlalu rame aja sih. Kenapa?”

“Nggak papa. Cuma kesannya agak aneh aja…”

“Aku lebih suka suasana tenang. Jadi ya aku nggak ngerasa kesepian soalnya memang mauku…” jelasku. Kesepian itu baru terasa, kalau orang yang aku sukai, sayangi dan cintai, mengabaikanku… Aku memang pernah merasa begitu. Tapi nggak lagi untuk saat ini. Karena sekarang dia benar-benar hadir di sini, di dekatku, di sampingku… Hangat dan akrab.

“Lha kamu sendiri, kenapa nggak gabung sama teman-temanmu? Kenapa malah di sini?” aku ganti bertanya. Mulai memancing, kenapa dia memilih denganku…?!

“Nggak apa-apa juga. Kamu nggak suka?”

“Eh… nggak masalah kok…! Aku senang kok…” aku langsung menimpal. Jadi tersipu-sipu aku mengakuinya… Kayaknya, memang udah saatnya buat lebih berani mengungkapkan perasaanku… Karena pintu yang dulu selalu tertutup sekarang sudah mulai terbuka! Tunjukkan rasa senangku, tunjukkan rasa bahagiaku, dan semoga Erik mengerti…!

“Senang?” Erik mengulang dengan nada tanya.

Aku cuma mengangguk. Kali ini aku benar-benar malu untuk mengucapkan yang kedua kali. Tapi aku mantap hati untuk menatap Erik dan memberinya satu senyuman. Lebih jelas dengan isyarat ini bukan, bahwa aku bahagia…?

Erik langsung menunduk. Aku sempat membaca gerak di bibirnya. Dia tersenyum…!

Tersenyum… meski rada aneh…

Ah, bukannya keakraban ini sebenarnya memang aneh…? Aku faham kalau perasaan seperti ini memang susah buat diutarakan, sehingga kerap membuat kami canggung. Aku sudah menjalani perasaan ini sejak aku mengenal Erik, aku faham betapa sulitnya dan juga kadang betapa lucunya. Itulah kenapa saat keakraban ini tiba, malah terasa aneh… Aneh tapi bikin bahagia…

“Tadi siang kamu bilang mau ngomongin sesuatu, mau ngomong apa?” akhirnya aku memancingnya, kembali pada rasa penasaran yang mengganjal selama seharian ini.

“Hmm… Iya. Tapi kayaknya nanti agak malam aja, jangan sekarang. Suasananya masih agak ribet, habis ini masih ada rapat…” jawab Erik pelan. Sorot matanya kelihatan gelisah. Gelisah, mungkin sama sepertiku juga.

“Kayaknya memang nggak bisa diomongin tergesa-gesa ya…? Penting pasti…” gumamku setengah bertanya-tanya sendiri.

“Hmmm… Yaahhh… Sebaiknya dibicarakan nanti sajalah pokoknya…” gumam Erik sambil menatapku seolah ingin mengisyaratkanku agar sabar sedikit lagi.

“Oke lah…” gumamku pelan sambil tersenyum tipis. Nggak mungkin mendesak Erik.

“Nanti aku sms,” tambah Erik.

“Aku tunggu…” timpalku dengan senyum simpul.

Sekelumit rasa gelisah. But anyway, nice dinner! Dinner dadakan bareng Erik. Incidental romance… Bahkan Erik seolah nggak lagi menghiraukan orang-orang yang biasanya mengolok-olok. Memang sih di sini sepi, tapi… yahhh, memang dia sudah berubah. Sabar saja lah, tunggu nanti, pasti semua akan jelas juga. Yang penting keakraban kami berdua malam ini sudah siap tersimpan sebagai kenangan manis di memoriku.

Sweet moment! 

“Udah…?” cetus Erik, piring di tangannya sudah kosong. Lalu dia juga menghabiskan tehnya. Gelasnya pun kosong juga sekarang.

“Ya,” gumamku, dengan piring dan gelas yang sudah kosong juga.

“Aku duluan ya…?” Erik mengisyaratkan diri mau beranjak.

Duluan…? Nggak bareng aku…? Ah, iya… Kan harus kembali ke ruang makan yang ramai orang? Aku rasa dia cuma ingin menghindari mulut-mulut yang gatal saja… Aku mengerti.

“Oke…” balasku pelan. “Makasih udah nemenin makan, buat satenya juga…”

Erik cuma menoleh sekilas padaku dengan senyum simpulnya sebagai sahutan. Ya, aku suka itu, gayanya yang cool itu setimpal dengan wajah tampannya. Kesan sederhana yang indah di akhir makan malam…

Aku masih tercenung agak lama setelah perginya Erik. Lalu akhirnya aku pun mulai berdiri juga dari dudukku, dan perlahan melangkah juga menuju ke ruang makan. Suasana di ruang makan juga masih cukup ramai. Aku meletakkan piring dan gelasku yang kosong.

Sekarang… Rasanya aku perlu ke toilet. Agak jauh kalau harus balik ke kamar. Mataku menangkap ada logo toilet yang lebih dekat. Nggak jauh dari aula. Nggak usah pikir panjang, ke sana saja…
Di ruang toilet, I want to pee…!

Selesai pipis aku menuju ke wastafel di salah satu sudut ruangan. Baru hendak mencuci tanganku, mataku langsung menangkap… Astaga…!

Sebuah HP tertinggal di ceruk dinding dekat wastafel, entah milik siapa…

Kuraih HP itu, kuamati. Mataku langsung tersita memandangi foto wallpaper yang terpajang di layar HP…

Foto dua orang… cowok yang berpose akrab! Bisa dibilang, sangat akrab…! Dan aku kenal salah satunya…

Aku terkesiap…

Dia…?!!

“Aku kembaliin aja lah…” gagasku di kepala.

Aku baru mau keluar dari toilet. Di depan pintu toilet aku sudah berpapasan dengan…

“Ehh…” orang itu agak kaget berpapasan denganku. Dia… Tour Guide yang memandu rombongan busku…!

“Eh maaf, ini benar HP-nya Mas?” begitu mengenali wajahnya spontan aku langsung nunjukin HP yang barusan aku temukan.

“Ahhh…! Iya…! Aduh, syukur deh…!” Tour Guide itu menerima HP dari tanganku. Wajahnya kelihatan lega sekali.

“Lain kali hati-hati dong, Mas! Sayang kalo hilang, HP mahal kan itu…?!” selorohku sambil senyum.

“Iya, lupa tadi. Terima kasih ya, Dik…!” ucap Tour Giude itu sambil mengulurkan tangannya padaku.

“Hehehe…” aku cuma tersenyum mengangguk, sambil menjabat tangannya yang terulur padaku.

“Terima kasih ya…” sekali lagi Tour Guide itu mengucap sambil mengangguk permisi dengan ramahnya. Aku ikut mengangguk dan tersenyum membalasnya. Lalu dia segera menghilang keluar dari ruang toilet.

Aku sekarang berdiri termangu sendirian di muka pintu toilet. Pikiranku masih iseng menebak-nebak soal Mas Tour Guide itu… Cowok ramah berwajah cerah sawo matang, senyum yang manis, mata yang teduh… Dan… 

Foto di HP-nya itu… Dia sama cowok…?

Apa dia juga…??? 

Yah, cuma dia yang tahu. Tapi nalarnya sih nggak mungkin kalau bukan seseorang yang spesial sampai dipasang fotonya di layar HP…! Itu kan urusan pribadinya! Aku ngembaliin HP-nya, itu udah cukup dan… end of this case! Kalau mau lebih, mungkin semoga saja dia bisa jadi kenalan baru yang baik.

Selanjutnya: Dimas, fokus saja ke Erik! Ingat, malam nanti dia mau ngomong sama kamu…!!!







***





Keranjang 17

Telepon






Aku sedang tiduran di kamar hotelku. Sepi sendiri. Bambang entah lagi kemana, mungkin jalan-jalan di luar. Aku memilih tetap tinggal di kamarku, nungguin Erik yang katanya mau sms. Sebenarnya pingin juga menikmati suasana malam di Bali di luar hotel. Tapi Erik lebih penting! Katanya dia kan lagi ada rapat malam ini, selesai rapat mau ketemu berdua denganku. Kalau nanti Erik nyariin aku dan aku malah keluyuran di luar hotel, takutnya dia jadi bete lagi sama aku!

Sambil menunggu Erik, aku termenung di atas kasur. Sayup-sayup kudengar suara gamelan. Musik Bali, ada penembangnya juga. Rasanya jadi syahdu… Jauh dari rumah, di Pulau Dewata, baru sekali ini seumur hidupku merasakan langsung sentuhan nuansanya…

Tenang…

Teduh…

Merdu…

Jiwaku rasanya damai dalam penantian ini. Rasa letih karena seharian jalan-jalan ke objek wisata, seperti teredam dalam ketentraman suasana. Di kamar senyap ini, di mana aku terbaring sendiri menatap langit-langit, terbang dalam angan-angan menyeling sebuah penantian…

Sekonyong-konyong lamunanku terpecah oleh bunyi HP-ku. Cepat-cepat kuraih benda itu, karena… siapa tahu Erik yang sedang menelponku…?

Ternyata… telepon dari rumah…

“Ya halo…?” sapaku, ke siapapun yang ada di sana.

“Gimana pikniknya, Dimas…?” suara Tante Hilda…

“Ohh, Tante ya…? Asyik-asyik aja… Ada apa, Tante?”

“Oh iya, gini nih… Tante sama Om mau ngasih tahu aja. Tadi pagi ada telepon dari Medan, katanya Bapaknya Om Frans masuk rumah sakit… Jadinya, Tante sama Om kayaknya mau balik ke Medan lebih awal dari rencana…”

“Haa…? Bapaknya Om Frans sakit? Ummhh… Sakit apa Tante…?”

“Ya, agak parah… Maag akut, ada pendarahan di lambung katanya. Jadinya Tante sama Om mesti segera balik ke Medan nih…”

“Tapi… bukannya Bapaknya Om Frans tinggal di Jakarta, Tante…?”

“Iya, dulunya. Tapi sekarang Bapak sama Ibunya Om Frans ikut tinggal di Medan… Di Jakarta dulu kan cuma rumah kontrakan. Mereka kan udah tua, perlu ada yang jaga. Terus Om Frans kan anak sulung dan syukurnya kondisi ekonomi juga udah mapan… Kemarin-kemarin sih sehat waktu mau ditinggal ke Solo, tapi nggak tahunya habis itu maagnya kambuh…” tutur Tante Hilda.

“Ohh, gitu… Jadi, mau balik ke Medan-nya kapan Tante?”

“Ini masih mau pesan tiket pesawat. Mungkin besok ato lusa lah… Maksud Tante, ini sekalian mau pamitan aja, soalnya kayaknya nggak akan sempat ketemu Dimas pulang dari Bali nih. Padahal pingin loh oleh-oleh dari Bali-nya…” Tante Hilda setengah cekikikan.

“Oohhh… Yaa… gimana lagi kalo memang darurat gitu…” gumamku, terus terang aku ragu harus bagaimana merespon kabar ini. “Terus, Denis-nya…?”

“Ya Denis pastinya ikut balik ke Medan lah… Gimana lagi…? Kalo ditinggal di sini, masa nanti dia mau balik ke Medan sendiri…? Ya sekalian aja lah…” jawab Tante Hilda.

“Oohh…” aku cuma menggumam. Lagi-lagi sebenarnya aku bingung harus merespon bagaimana. Sedih? Senang? Biasa saja? Ya, kalau rasa yang muncul dengan sendirinya sih… biasa saja… Semua yang kubalaskan itu hanya untuk ramah tamah yang sopan saja, karena ada kerabat yang sakit, dan ada yang mau pamitan…

“Kamu mau ngomong sama Denis…?” lontar Tante Hilda.

“Ahh, nggak, nggak Tante… Nggak usah…” jawabku buru-buru, jadi agak gugup lagi.

“Kenapa? Kalian nggak akan ketemu lagi lho…?”

“Yaa… gimana yah? Ya biar nanti Denis sendiri aja yang nelpon, kalo misal dia mau ngomong… Ato aku aja sendiri yang nelpon, nanti…” aku berkilah sebaik mungkin.

“Eh, kenapa nih? Kayaknya baru marahan ya?” Tante Hilda sepertinya tahu gelagatku.

“Nggak kok, Tante… Nggak ada apa-apa…” aku lagi-lagi berkilah.

“Emm… Ya udah deh kalo gitu. Tante sama Om nyicil pamit yaa… Denis juga titip pamit…”

“Iya, Tante… Ati-ati ya, Tante…”

“Kamu juga, hati-hati di situ…! Met piknik yaa…”

“Iya Tante, makasih…”

“Daaahh…” suara genit Tante Hilda memungkasi pembicaraan di telpon.

Hhhhh… Aku menghela nafas…

Mereka mau balik ke Medan. Denis juga… Aku nggak tahu seharusnya aku ngerasa gimana, tapi… perasaan ini memang biasa saja waktu mendengar kabar itu. Ada kagetnya juga, tapi jujur saja… nggak ninggalin sesuatu yang mendalam. Cuma seperti… ibaratnya suara petasan yang dengan cepat menguap gemanya. Mungkin karena… perbuatan Denis kemarin yang langsung menepis semua simpatiku ke dia… Ya, apa lagi kalau bukan itu?!

Bahkan sejujurnya, aku berharap dia memang lebih baik segera pergi. Pergi dari rumahku, dari hidupku… Dia mencuri rahasiaku udah cukup, jangan sampai dia ngasih tahu ke siapapun karena aku pasti akan membencinya seumur hidupku! Meski dia itu… sodaraku sendiri! Ya, apalagi dia itu sodaraku sendiri, tega-teganya kalau dia sampai ngelakuin itu!

Kami memang sodara kembar. Tapi kami tetap dibesarkan sebagai orang yang berbeda. Kehidupanku bukan kehidupannya. Jalan hidupku adalah pilihanku, bukan pilihannya. Sebaiknya dia sadari itu. Biar dia kembali dengan kehidupannya, dan aku dengan hidupku seperti sebelumnya, dengan tenang sesuai caraku karena aku berhak! Sebaiknya dia jangan merepotkanku lagi. Ya, itu saja.

Di tengah aku merenung sendiri ditemani sayup-sayup suara gamelan yang jauh itu, tiba-tiba HP-ku berbunyi lagi. Kali ini ada sms masuk. Segera kubuka, dan… kali ini seperti yang kuharapkan!
Dari Erik…

“Ku tggu d taman yg td ya..”

Erik menungguku di taman…?!

Senyumku mengembang lebar. Semangat menyeruak.

Yupp… Aku datang, Rik…!!!





***





Keranjang 18

Aku Cinta Kamu, Rik...






Di taman tempat aku tadi makan malam bersama Erik, kulihat dia sudah menunggu di sana. Dia duduk sendirian di bangku yang sama. Membelakangiku. Jantungku berdegup ragu, dan juga gamang… Apa yang akan kami bicarakan malam ini…?

Sesaat kuamati sekitarnya. Sepi. Anak-anak lainnya mungkin udah pada istirahat atau masih jalan-jalan di luar hotel. Cuma ada seorang dua orang yang kadang masih lewat dengan cuek.

Begitu yakin dengan amannya situasi, kuberanikan diri menghampiri Erik. Pelan-pelan… 

“Hai…” sapaku seraya duduk di samping Erik.

“Hai…” Erik menyambutku disertai senyum teduhnya. “Tadi udah tidur?” 

“Belum,” sahutku simpul.

“Nggak jalan-jalan sama anak-anak lainnya?” tanya Erik lagi.

“Nggak. Kamu sendiri, kenapa nggak jalan-jalan ke luar?”

“Aku kan udah bikin janji sama kamu…”

Aku tersenyum, jadi agak tersipu. “Aku juga nungguin sms-mu…” balasku simpul.

Erik cuma mengangguk pelan, disertai senyumnya pula.

Melewati basa-basi sejenak… Aku masih berusaha mengatur diriku, mengatasi ketegangan di jantungku yang dimainkan rasa penasaran sejak tadi. Melawan rasa gugup!

“Ada yang penting ya, buat diomongin sama aku…?” aku bertanya dengan agak segan.

Erik juga kelihatan mengatur diri sejenak. Melemparkan pandangan sekilas ke beberapa arah. Menyamankan diri buat bicara. Menghela nafas… lalu…

“Ya. Ada masalah yang… sebenarnya udah aku pikirkan sejak lama…” desah Erik terdengar sedikit canggung.

“Mikirin apa?”

“Kamu…”

Deg…!!! Jantungku terasa berdentum!

“Aku…?” ulangku, tersenggal oleh tawa yang kikuk.

“Iya. Mikirin kamu… yang udah lama berusaha ngasih perhatian ke aku… Dugaanku benar nggak sih…?” desah Erik seraya mengerlingkan matanya ke arah yang jauh.

Ya ampun… Aku sudah sering berandai-andai tentang dia, tapi nggak nyangka dia bakal ngomong selugas itu! Kami baru berbasa-basi lima menit sebelum dia mengarahkan pembicaraan menjadi sangat personal seperti ini…!

Aku terpaku menatap wajah Erik yang tersenyum dengan sorot matanya yang serius. Kata-kata lugasnya benar-benar langsung menonjok batinku. Wajahku pun terasa meremang, aahhh… mungkin bersemu merah!

“Perhatian…?” gumamku gugup.

“Kayaknya sejak pertama kita kenal, aku udah ngerasain kalo perhatian kamu itu… nggak seperti teman biasa…” lanjut Erik lirih.

“Nggak seperti teman biasa…? Maksudmu, Rik…?” tanyaku makin bertambah rikuh dan gugup.

Makin lama Erik juga tampak gelisah. “Tolong, sekarang kamu jujur aja sama aku, Mas… Nggak fair kalo cuma aku yang terus menduga-duga. Kamu juga harus bilang yang sebenarnya, benar apa enggak, kalo aku menganggap kamu punya perhatian ke aku…?” cecarnya dengan nada pelan.

Straight to the point…! Kata-kata Erik benar-benar menggiringku… untuk mengaku…! Kalau sudah begini… aku cuma punya dua pilihan: mengaku atau menyangkal…?!

Kalau menyangkal, MUNAFIK!

Kalau mengaku, ya Tuhan… apa aku bisa mengatakannya…?

“Rik… aku…” aku tercekat oleh kebingungan yang belum pernah kurasakan sebelumnya!

“Mas, apa aku cuma teman biasa buat kamu…?” Erik terus menggiringku, makin ke ujung ujian kejujuran!

“Kamu… nyuruh aku ngomong jujur…?” tanyaku bimbang dan makin gugup.

“Aku nunggu udah lama…! Ya iyalah, aku pingin jawaban jujur!” sahut Erik setengah menukasku disertai tawa sedikit geli.

Aku tersenyum gagu menatap Erik. Memandangnya dengan lekat… Melewati gurat-gurat sayu wajahnya, menembus ke lorong matanya yang tajam dan dalam. Aku termangu…

Meski rasanya risau, tapi aku seperti mendengar hatiku bicara… Samar-samar tapi makin jelas, “Dimas, jujurlah…! Jujurlah…!” 

“Iya… Kamu bukan teman biasa, Rik…” jawabku pelan…

Erik membalas tatapanku. “Bukan teman biasa…? Berarti…?” dia terus menyeretku, mengungkit kejujuran untuk keluar lebih lugas dari hatiku!

Kutarik pandangan mataku. Kupalingkan mukaku. Menunduk… Gelisahku makin jadi. Degup di dadaku makin kencang…

“Iya… Aku suka kamu…” bisikku dengan susah payah, menahan wajahku yang makin meremang tersipu.

“Suka…?” Erik mengulang lagi, satu kata yang terdengar ragu… tapi lagi-lagi terasa ingin mengeruk semua kejujuranku, makin jauh!

Ya ampun… Kurapatkan mataku. Mengejapkannya berulang kali… Dan…

Dear Heaven…! Setelah sekian lama… kalau bukan sekarang kapan lagi aku mengatakannya…?!! Harus kubulatkan keberanianku! Inilah kesempatan terbaikku untuk mengucapkannya!

Kukuatkan diriku untuk menatap Erik dalam-dalam…

Dan…

Aku cinta kamu, Rik…

Akhirnya…

TERUCAP…!

Seketika segera kutarik lagi wajahku dan kupejam mataku rapat-rapat. Ya Tuhan…! Bagaimana caranya agar aku percaya bahwa ini benar-benar terjadi…?! Lama aku berharap! Cuma bisa berharap! Sekarang aku baru saja membuka pengakuanku dan ternyata itu cuma dua detik dari sebuah ucapan…! Sekarang, apa yang akan terjadi setelah dua detik paling gila itu…?!!

Kurasakan lututku sampai gemetar… Ya ampun…!

Sesaat cuma ada keheningan di antara kami… Kesunyian yang menghadirkan rasa bingung, gamang, dan malu…

“Ooh…” akhirnya Erik merespon pengakuanku dengan ekspresinya yang tampak termangu. Cuma gumaman yang aku belum menangkap maknanya!

Kulirik wajah Erik. Dia terdiam. Ekspresinya tetap belum bisa kusimpulkan. Rik, kamu sendiri yang memintaku buat mengakuinya… Sekarang jawab aku…!

“Kenapa, Rik…?” tanyaku, masih bisa terselip tawa kecil di tengah kegundahan. Sejujurnya, aku nggak tahu harus merasa bagaimana setelah aku membuka semua kejujuranku… Yang pasti, tolong… jangan permalukan kejujuranku…

“Ternyata aku masih kaget juga…” Erik tertawa pelan, seperti ada sesuatu yang konyol. “Padahal selama ini aku sudah menduganya…”

“Kamu udah menduga…?” cekatku masam. Perasaanku mengambang makin bimbang.

“Sejak semula perhatianmu udah kelihatan nggak biasa, Mas… Wajar kan kalo aku menduga? Tapi aku tetap harus mendengar pengakuanmu. Soalnya yang bisa menjelaskan seutuhnya cuma kamu… Benar, kan?”

“Dan aku udah jawab jujur… Jadi…?”

“Yaa… Kalo udah jelas gini, aku kan jadi lebih yakin buat menyampaikan ini ke kamu…” ujar Erik perlahan, seolah dia juga sedang terbeban untuk membalas pengakuanku.

“Menyampaikan… apa…?” aku terbata.

Erik menghela nafas lagi. Perlahan-lahan, wajahnya yang gelisah itu mulai berubah… Dia tersenyum lebih tegas. Lebih tajam. Seolah sudah nggak ada lagi keraguan dalam dirinya. Lalu dia menatapku sesaat dengan matanya yang jernih itu…

“Kamu udah jujur, jadi aku harus menghargai perasaanmu…” bisik Erik, membuat jantungku seperti mau berhenti berdegup. “Aku juga harus jujur… kalo aku…”

Aku langsung menarik wajahku dari tatapan Erik, menahan nafas dan…

“Aku nggak bisa nerima kamu, Mas…”

Ruang dan waktu seperti kosong sesaat…

Lalu…

Yang bisa kurasakan setelah itu adalah… jawaban Erik seperti satu bongkah batu yang jatuh ke permukaan air. Dayaku serasa terhempas… Lenyap!

Dia bilang apa…?

“Aku nggak bisa…” Erik mengulangnya lagi.

“Karena…?” suaraku tertahan pelan… menahan gemetar.

“Karena aku nggak bisa…”

“Nggak bisa karena kenapa…? Pasti ada alasannya kan, Rik…?” racauku bingung hampir panik.

Erik menatapku. Matanya sekarang seperti… kembali pada sorotnya yang dulu yang hampir selalu menyudutkanku… Tajam dan dingin. Seperti pisau yang beku…

“Mas… Kamu mau aku bicara apa adanya kan? Kalo ini menyakitkan, sorry… Aku nggak bisa cinta dengan sesama cowok. Nggak mungkin. Aku ini normal, Mas…” ucap Erik pelan, namun nada sinisnya begitu menusuk…

Tubuhku terasa lemas seluruhnya. Semua harapan seperti pupus tanpa sisa lagi…

“Terus selama ini…? Akhir-akhir ini aku ngerasa kamu beda dengan yang dulu… Dulu aku sering ngerasa kamu selalu berusaha menghindariku. Tapi akhir-akhir ini kamu beda…! Aku ngerasa… kita jadi akrab… Aku ngerasa kamu… udah bisa nerima aku… Apa aku memang keliru menduganya…?” desahku kelu.

Perasaanku… sekarang terasa seperti dipermainkan!

“Memang, terus terang aja, Mas… Sebenarnya aku nggak nyaman sama kamu. Apalagi kalo kamu terlalu nunjukin perhatian. Please…! Aku nggak seperti kamu. Aku bukan gay…! Aku nggak suka diomongin orang-orang kalo aku ‘dekat’ sama kamu. Tapi kamu masih aja ngasih perhatian. Kelihatannya kamu memang terlalu berharap… Aku udah capek, Mas! Aku udah nggak tahan terus-menerus menghadapi kamu seperti itu. Tapi gimana caranya agar aku bisa menyadarkan kamu kalo aku nggak bisa ngasih harapan ke kamu? Kamu kan nggak pernah ngomong terus terang soal perasaanmu…?!”

Aku tertunduk nanar menatap tanah. Batinku hancur… Ternyata… begini…???

“Terpaksa, akulah yang harus menanting kamu. Aku harus nyoba bersikap baik sama kamu, nyoba buat dekat sama kamu, menguji perasaan yang selama ini kamu sembunyikan… itulah yang kulakukan sekarang… supaya kamu berani bicara jujur…! Jangan kamu kira aku nggak ngerasa ‘digantung’ sama kondisi selama ini, disukai seseorang yang nggak pernah mengaku… Sedangkan orang lain terus mengolok-olok kita…!” tandas Erik, yang meski suaranya lirih tapi terasa sangat tajam mengiris isi dadaku.

Tenggorokanku terasa kian berat. “Jadi… Kamu pura-pura…?” cekatku.

“Terserah kalo kamu mengistilahkannya ‘pura-pura’… Tapi bagiku, aku cuma nyari jalan biar kamu sadar kalo kamu berharap pada orang yang salah…” timpal Erik lugas.

Aku bungkam, membisu.

Tapi… lama-lama…

Aku mulai menelan tawa… Menertawakan diriku sendiri… Yang bodoh, naif, dan terlalu percaya diri ini…! Membayangkan kini di pintu hatiku tertulis tulisan besar: PECUNDANG…

“Ternyata, kebaikanmu ini cuma jebakan ya…?” ujarku kecut. Sekarang aku mulai menatap Erik lagi. “Apa soal apel yang pernah aku kasih dulu, yang kamu terima dan kamu bilang rasanya… manis ato apa lah… itu bagian dari rencanamu juga…?”

“Justru memang sejak itu, menurutku perhatianmu udah terlalu jauh…” jawab Erik dengan raut sayu. Tapi tetap ada senyum semu di wajahnya. Keangkuhan lama yang dulu sering kulihat darinya…

Aku tersenyum kecut. “Dengan ini semua… apa kamu merasa menang…?”

“Nggak ada yang menang, nggak ada yang kalah. Orang yang disukai punya hak buat menolak, dan orang yang suka harusnya tahu konsekuensi dari yang namanya ‘memiliki sebuah perasaan’… Ini soal menegaskan kenyataan. Kamu butuh jawaban, dan aku memberikannya. Sekarang semua udah jelas, itulah kenyataannya…”

“Ya, kamu benar, Rik. Aku tahu aku nggak pernah berterus terang, tapi kalo niatmu memang ingin… seperti yang kamu bilang ‘menegaskan kenyataan’… seandainya kamu langsung bertanya apa aku suka kamu…, aku pasti akan tetap menjawab dengan terus terang. Kenapa kamu harus berpura-pura akrab, dekat…, hanya untuk bilang kalo kamu nggak bisa menerimaku? Kita bukan orang yang baru saja kenal meski aku belum berterus terang… Kamu seperti… memancing ikan cuma untuk menceburkannya lagi ke kolam…, hanya karena kamu ngerasa nggak rugi apa-apa maka kamu melakukannya tanpa peduli sakitnya sebuah kail menancap di kerongkongan… Aku nggak cuma kecewa, Rik, tapi juga ngerasa nggak berharga…”

“Lalu kenapa kamu nggak berterus terang padaku…? Siapa yang punya perasaan? Kenapa bukan kamu saja yang langsung bertanya padaku, apakah aku akan menerimamu…?”

“Karena nggak mudah buat orang seperti aku… menyatakan perasaan, mengakui sesuatu yang dianggap nggak wajar…” desahku kelu.

“Jadi harus aku yang memancingnya kan?!!” balik Erik.

Hhhhh… Aku mendesah, menghela nafasku yang terasa berat. Terus mencoba menegarkan diri…

“Rik, kayaknya ‘menolak’ itu lebih mudah daripada ‘berharap untuk diterima’… Baiklah, ini memang konsekuensiku… Aku cuma mau bilang, kalo kamu bermaksud menolak bukan berarti kamu boleh melakukannya dengan cara yang menyakitkan…” ucapku lirih.

Erik terdiam. Dia merenung dengan alisnya yang berkerut. Lalu perlahan dia pun menghela nafasnya. “Oke… Aku udah minta maaf sebelum mengatakannya kan…?” ucapnya kemudian.

Aku sekarang juga hanya bisa membisu. Perasaan sudah kecewa dan sakit. Hancur. Ternyata beginilah kenyataan dari semuanya, jawaban dari semua harapanku. Kepura-puraan yang tersingkap, harapan yang patah, batin yang terinjak, aku punya apa lagi untuk berkata…?
Yahh… cuma punya asam pahit untuk menyisakan satu senyum di bibirku, atau sedetik tawa tanpa suara…

“Semua udah jelas kan, Mas? Nggak ada yang perlu kita bicarain lagi. Sekali lagi, maaf buat semuanya…” dengan perlahan Erik mulai berdiri dari duduknya.

“Rik, apa ini artinya, kamu juga nggak akan nerima aku meski cuma… sekedar teman…?” aku masih mencoba, bahwa meski berat… aku tetap berusaha untuk mampu menerima sikapnya.

Erik memandangku dengan datar. “Tergantung caramu menganggap aku teman…” jawabnya, mengambang.

“Apa keadaanku ini jadi masalah buat kamu…?”

“Mas…, gay itu ‘sakit’. Tapi selama nggak nular, mungkin aku nggak perlu menghindari kamu… Asal kamu bisa jaga sikapmu. Aku berharap omongan miring dari orang-orang tentang kita bisa berhenti mulai sekarang.”

Sekali lagi, perasaanku seperti dipukul keras…!

Ooh, aku cuma orang ‘sakit’ buat dia…

Aku mengira sakit hati ini sudah cukup, ternyata masih ditambah lagi. Perasaanku kayaknya memang nggak penting ya…? Baiklah, satu lagi senyum pahit di bibirku yang kelu.

“Oke… Tapi tolong… Jangan sampai orang lain tahu apa yang kita omongin ini… Tolong ya, Rik…?” ucapku lesu. Akhirnya cuma itu yang masih bisa kuminta darinya…

Erik cuma membalasku dengan senyum masamnya. Lalu dia pun melangkah pergi tanpa mengucap lagi.

Meninggalkan aku sendiri di sini…

Hati yang biasanya penuh dengan harapan dan angan-angan, sekarang kosong. Kekosongan yang menyakitkan. Gemetar di bibirku masih menyengat, sekejap-sekejap. Aku menggigitnya mengatasi kecamuk batin yang ingin berontak, yang ingin melawan kenyataan…

Jangan berontak! Ini kenyataan… Kehancuran yang harus diterima…!

Aku menahan sesuatu yang rasanya terus mendesak, ingin keluar dari bibirku. Kudekap mulutku rapat-rapat dengan telapak tanganku yang gemetar… Jangan sampai aku berteriak! Meski sesakit apapun…!!!

Tapi… satu isak berhasil lepas… Makin lama makin susah kubendung. Kuremas wajahku, kutahan apapun yang mau keluar… Aku nggak boleh nangis…! Tahannn…!!!

Tapi…

Ahhhh… Bodoh!!! Kenapa air mata ini tetap keluar…?!!






Bersambung Ke Keranjang 19...
0 komentar

Posted in

Posting Komentar