RSS

FINALE


FINALE:
Untuk Sebuah Apel







Aku tahu sebuah apel,
Dia berwarna jantung ranum yang menyala…
Aku melukisnya menyerupai lambang hati yang memendam cinta…
Andai bahuku kekar,
Aku ingin menjadi dahan yang kuat menopangnya
Dan jariku akan menjadi ranting yang melindunginya…
Andai aku cukup kuat.


Ketika aku memandanginya,
Jiwaku ikut melambung ke tempatnya yang tinggi…
Melihat gunung biru yang cemburu,
Menatap awan kelabu yang terharu…
Dia membuatku mengenal satu rasa,
Yang telah menyentuhku sejak itu…

Tapi…
Suatu ketika dia terjatuh,
Tergeletak di tanah yang lembab dan berbatu…
Lalu kenapa jiwa ini seperti daun kering yang enggan gugur?
Seperti dahan rapuh yang angkuh untuk layu…?
Dulu di tempatnya yang tinggi,
Aku melihat danau yang teduh…
Tapi saat dia terjatuh,
Danaupun nampak begitu dalam dan aku terlalu gentar untuk tenggelam,
Bersamanya…

Seperti komidi putar,
Itulah hidup yang bergulir bersama kesempatan…
Manis,
Pahit,
Dulu tertawa dan kini terdiam…
Wahai hatiku,
Sombongnya engkau mengingkari dan berpaling
Ketika dia jatuh dan sendiri!

Akhirnya…
Ku bawa padamu air mataku…
Agar kau tahu,
Sejujurnya kau berharga di hatiku…
Dan hatiku telah hancur bersamamu!

Meski aku tak menangkap jatuhmu,
Kepada semua rasa yang kau punya
Sesalku ingin bertanya…

Bolehkah aku memungut,
Dan sekali lagi
Memilikimu…?




Sekali lagi puisi itu kubaca dalam hati, di selembar kertas yang mulai kucal. Lalu kulipat lagi, kumasukkan ke dalam dompetku. Seperti melipat sebuah kegalauan, menyimpannya kembali baik-baik… di dalam hati.

Saatnya bersiap untuk sesuatu yang harus kulakukan hari ini!

Hari ini, Senin, 17 Agustus. Tradisi sejak tahun 1945, kegiatan ceremonial Upacara Bendera untuk memperingati Hari Proklamasi Republik Indonesia…! Begitu juga di sekolah ini, tapi upacara itu sudah berakhir pagi tadi. Sekarang, bukan waktunya lagi untuk berada di lapangan. Tapi di aula! Sekarang adalah…

Saatnya Pentas Seni!

Suasana hingar bingar berdesakan di dalam gedung aula. Parade seni yang sangat meriah. Band dan peserta atraksi lainnya ketat menunggu giliran untuk unjuk diri di panggung. Dan salah satunya adalah…

Aku.

“Rasain! Grogi kan lu?” Denis meledekku, disertai cengiran monyong di bibirnya.

“Udah, nyantai aja,” sahut Ben, ikut membaca kegugupanku.

“Kamu bisa nyantai! Kamu udah biasa naik panggung!” tukasku ke Ben. Tetap grogi!

Kami sedang duduk-duduk di backstage yang ramai, menunggu giliran buat naik ke panggung. Perasaanku tegang, mungkin yang paling tegang di antara yang lain! Entah kapan terakhir kali aku perform di atas panggung di hadapan banyak orang. Festival gitar klasik yang pernah kuikuti rasanya udah lama banget! Sekarang rasanya aku jadi pemula lagi untuk menghadapi suasana sebuah panggung!

Aku benar-benar demam panggung!

Berulang kali aku mengintip atraksi Erik dan bandnya yang sedang main di panggung. Apresiasi penonton benar-benar heboh! Aku makin down! Apa aku nanti bisa?!!

“Nyantai aja, Mas. Yang nonton juga belum tentu lebih berani dari kamu buat naik ke panggung!” Misha ikut nimbrung.

“Kamu sama Denis sih gampang tinggal bilang ‘nyantai’! Kalian nggak ikut naik! Coba kalian ikut naik ke panggung, pasti grogi juga!” sungutku uring-uringan sendiri.

“Ngapain gue ikut? Udah ada dua yang jago nyanyi sama gitar!” cibir Denis sambil ketawa.

“Tiga yang jago nyanyi, tuh ditambah Erik yang udah duluan di panggung!” sahut Misha.

“Bagus suaranya Dimas ahh…!” celetuk Denis sambil nyengir lagi.

“Nyindir?!” tukasku kesal.

“Udah. Ribut aja! Ntar kalo udah di panggung bakal ilang sendiri groginya. Lagian cuma pensi ini, bukan audisi. Nggak usah dibikin stress lah!” Ben menengahi.

“Tapi ini kan…? Ya memang bukan audisi… Tapi…” aku garuk-garuk kepala, bingung sendiri.

“Iya tahu! Makanya rileks!” semprot Ben.

“Lihat tuh, bandnya Erik bisa bikin heboh gitu. Pengalamanku belum sebanyak dia, beban mental tahu?! Kita latihan cuma berapa kali sih? Aku nyiapin lagunya aja dadakan, seminggu juga nggak ada!” keluhku makin minder.

“Tapi kan lu sendiri yang ngebet kemarin?” Denis berkomentar lagi. “Harusnya semangat dong! Bukan malah mengkeret. Tunjukin pesona lu buat menaklukkan hati si…”

PLOK! Kulempar kardus snack ke muka Denis.

“Cerewet!” tukasku jutek.

Dongkol aku sama sodara kembarku itu. Dia sendiri kemarin aku suruh bantuin juga ngeles aja isinya, bilang nggak pintar main gitar lah, nggak enak badan lah, males lah, bla bla bla… Sekarang hari H enteng banget tuh tinggal komentar!

Ben dan Misha cuma ketawa-ketawa.

“Hyuhhh… Juara gitar klasik beneran lu? Mental lu cuma segitu?!” cibir Denis lagi.

“Iya, juara gitar gitu. Cuek aja! Pasti bisa. Banzaiii…!!!” seru Misha sambil mengangkat tangannya penuh semangat.

“Merdekaa!” sahut Denis kompakan sama Misha, nggak kalah kencang!

Apaan sih? Sok heboh…!

Aku mengintip lagi suasana panggung. Erik, yang katanya itu performance terakhir dia bersama bandnya, tampil dengan keren di panggung. Penonton, terutama para pengagumnya terlihat antusias sekali. Heboh! Bayangkan kalau nanti gantian aku perform... Dengan lagu gado-gado, nggak ngetrend, cuma didasari motif sentimentil… Haaahhhhhh…! Aku benar-benar nekat mempertaruhkan mukaku di depan orang-orang. Mempertaruhkan Ben yang udah rela bantuin aku, mempertaruhkan Erik dan bandnya juga…

Mempertaruhkan karya seseorang…

Ya ampun, aku takut gagal!

Kenapa dengan mentalku sekarang? Orang takut gagal itu harusnya jadi down atau malah bersemangat sih??? Yang pasti… AKU DOWN…! Tanganku dingin seperti habis dicelup ke air es. Damn it!

Semenit, dua menit, duapuluh menit…

“Ayo, siap!” Ben menggablok pundakku, berdiri tepat di sebelahku di bawah tangga panggung.

“Aku deg-degan…” racauku panik.

“Nggak urusan! Kamu sendiri yang kemarin ngebet, sekarang jangan bilang kamu mau cancel!” tukas Ben agak galak.

Oh, God… Mampus aku!

Aku terpaku grogi di sisi panggung, menatap bagian panggung utama di mana Erik sedang berkomunikasi dengan penonton…

“Thanks guys, buat semangatnya…!” Erik berseru di depan semua penontonnya. Lalu dia sekilas melirik ke arahku dan tersenyum lebar. “Sekarang giliran teman-teman yang udah stand by dari tadi di backstage. Mereka akan nunjukin sesuatu yang beda, bakal keren juga pastinya. Kita akan berkolaborasi. Buat solidaritas sekalian ngasih bukti kalo di sekolah kita nggak sedikit orang-orang yang punya bakat. Kita panggil mereka sekarang juga! So… please make some noise!!!”

Tepuk tangan bergemuruh! Aku mulai melangkahkan kakiku, menenteng gitar akustik kesayanganku ke tengah panggung diikuti Ben di belakangku. Dan…

“HUUUUUUUUUUU…!!!” tepuk tangan yang meriah tadi tiba-tiba tenggelam, digantikan sorakan meremehkan…

Aku mengerti… Sehabis dimanjakan oleh anak band yang cakep, trendy dan bersuara merdu, terus disuruh menyambut cowok gay berkaki gemetaran ini??? Aku bisa maklum. Alias... NGGAK KAGET! Dan aku memilih… CUEK!

“Siap?” bisik Erik padaku.

“Nih, kakiku masih gemeteran! Tapi udah sini masa masih ditanya siap apa nggak?” bisikku dengan senyum kesal. Aku harus bertanggung jawab terhadap niatku yang sudah kutekadkan sejak kemarin, meskipun saat ini pinginnya cepat-cepat turun dari panggung. Biarpun grogi, harus berani konsisten.

“Kalo dia mau kabur, biar aku lempar ke penonton aja sekalian!” tukas Ben ikut cengengesan.

“Oke, nurut deh!” sahut Erik sambil nyengir. “Tapi kayaknya kalian harus ‘say hi’ dulu ke penonton deh?”

HUUUUUUUUUU…!!!

Penonton masih ribut bersahutan. Beberapa mengacungkan jempolnya ke bawah.

“Siang, all…!” tiba-tiba Ben udah cuap-cuap ke penonton dengan standing mic-nya. “Terus terang kami nggak peduli kalian mau bilang ‘huuu’ atau ‘woowww’, yang penting kami bisa di atas dan kalian cuma di bawah aja. Jadi mana yang lebih keren?!”

WHOOOOOO…!!! Penonton makin ribut. Astaga, Ben mau cari perkara??!!!

“Oke, oke, becanda…!” Ben langsung tertawa cengengesan. “Kita kan sedang memperingati Hari Kemerdekaan, daripada anarkhis mending kita have fun kan…?”

Jrnggg…! Ben mulai memetik gitar listrik di tangannya dengan ritme slow… Ballad banget gayanya, heavy metal!

“Jaman merdeka, anak muda katanya harapan bangsa, calon pahlawan baru yang berjuang dengan prestasi. Pak Guru dan Bu Guru bilang, belajar itu penting, sekolah itu penting… Tapi pacaran juga asyik kan? Bung Karno pasti juga setuju kalo pacaran itu asyik! SETUJU…?!!” seloroh Ben dengan lirik retorikanya sambil memetik gitar, dan langsung dapat sorakan meriah dari penonton.

Hahahaha… Cadas sekaligus cerdas. Punya kharisma juga dia!

“Karena realitanya sekolah bukan cuma cerita soal pelajaran, sekolah bukan cuma soal mengisi kemerdekaan, tapi sekolah juga punya cerita soal CINTA…! Siapa yang punya pacar, gebetan atau pun mantan, asal bukan selingkuhan… kita kasih lagu buat kalian…!”

JRNGGG…! Petikan intro yang dimainkan Ben menebal. Aku mengiringi dengan genjrengan gitar akustikku. Suara tepuk antusias penonton kembali bangkit bergemuruh…!

“Resah dan gelisah…” Erik langsung masuk dengan lirik lagu, disambut jerit dan teriak syahdu penonton. “Menunggu di sini… Di sudut sekolah, tempat yang kaujanjikan, tuk berjumpa denganmu, meski mencuri waktu…”

Penonton menyahut serentak. “BERDUSTA PADA GURU…!!!”

“Awas, ada Bu Kamti…!” celetuk Ben mengekor baris lirik yang dikumandangkan penonton.

Semua spontan tertawa riuh karena di saat yang sama menyadari Bu Kamti sedang berdiri mengawasi di muka pintu aula. Bu Kamti pun menyeringai seolah malah bangga pada dirinya. Hahaha…

“Malu aku malu…” aku mulai menyambung bait selanjutnya sambil menggenjreng gitar bolongku. “Pada semut merah, yang berbaris di dinding menatapku curiga, seolah penuh tanya sedang apa di sini…?”

“MENANTI PACAR JAWABKU…” astagaaa… tiba-tiba Bu Kamti sudah di pinggir panggung menyahut dengan mic yang dipinjamkan Erik!

HUUAAAAAAA…!!! Suasana aula dipenuhi gemuruh sambutan penonton… Semua tertawa dan bertepuk tangan makin keras. Bu Kamti segera ngacir lagi dengan tawa malu-malu, diiringi sorak anak-anak seisi aula!

Saking surprise-nya, aku sama Erik jadi bingung buat nerusin lagunya. Ben langsung ambil komando lagi…

“NYANYI BARENG, C’MOOOON…!!!”

“Sungguh aneh tapi nyata, tak kan terlupa… Kisah kasih di sekolah, dengan si dia… Masa-masa paling indah, kisah kasih di sekolah…” gema seisi aula menyanyikan lagu itu bersama-sama…

“Masa-masa paling indah, kisah kasih di sekolah…” Erik menutup dengan baris reff terakhir diiringi sorai penonton!

Lalu intro baru menyambung. Drum, bass, keyboard dan gitar pun menghentak…!

Sesuai rencana, MEDLEY…!!!

“Di kantin depan kelasku…” aku langsung memulai lirik baru.

Tanpa kuduga penonton pun mau bersorak menyambut. Aku makin percaya diri…!

“Di sana kenal dirimu… Yang kini tersimpan di hati, jalani kisah sembunyi… Memang usia kita muda, namun cinta soal hati, biar mereka bicara, telinga kita terkunci…!”

Kulihat tangan-tangan di depanku yang terangkat ke atas. Mengayun, bertepuk, membalik jempol yang tadi ke bawah menjadi tegak ke atas. Kulihat penonton-penonton yang tersenyum lepas dan ikut mengeja lagu…

“Seperti hari yang lain! Kau senyum tersipu malu… Ketika kusapa engkau… Genggamlah jari, genggamlah hati ini…!”

Ya Tuhan… Wajah itu langsung terbayang di sana di antara sekian banyak wajah, dan aku hampir menangis terharu mengucapkan lirik itu… Aku ingin dia ada! Aku ingin dia dengar...!

Dengarkan aku, tolong, di manapun kamu!

“Memang usia kita muda, tapi cinta soal hati… Biar mereka bicara, telinga kita terkunci… Biar tahu, BIAR RASA…! Maka tersenyumlah, Kasih…! Tetap langkah, jangan hentikan! Cinta ini milik kita…!”

Distorsi gitar Ben menyahutku di tengah-tengah interlude, bersama semua personel band yang bermain enerjik…! Emosi di panggung ini rasanya makin jadi! Mataku terus menjelajah ke tiap penjuru yang ada di hadapanku, belum berhenti berharap buat menemukan wajah yang kucari…

Hingga…

Akhirnya ujung lagu pun tiba…

“Buku ini aku pinjam, kan kutulis sajak indah… Hanya untukmu seorang… Tentang mimpi-mimpi malam… Biar tahu, BIAR RASA…! Maka tersenyumlah, Kasih… Tetap langkah, jangan hentikan! Cinta ini milik kita…! CINTA INI MILIK KITA…”

Suara tepuk tangan dan sorak-sorai berderai. Aku menghela nafasku… Ya, aku bisa melakukannya! Biarpun belum juga kutemui tanda dia ada di sini, melihat dan mendengarku… Tapi aku sudah melakukannya dan ini belum selesai. Belum selesai!

Intro baru langsung menggebrak lagi. Lincah, riang dan hangat! Spirit itu berhasil ditangkap penonton, mereka mulai berjingkrak lagi. Aku menggenjreng gitar akustikku mengikuti irama, mempertahankan semangat untuk melakukan ini sampai akhir…!

...

Lagu ketiga lagi-lagi ditutup dengan sorak dan tepuk tangan penonton yang terus antusias. Semua yang di atas panggung juga tersenyum puas. Semua lancar!

Lalu dengung distorsi dan bising penonton perlahan mulai mengendap setahap demi setahap. Sampai akhirnya tersisa atmosfer aula yang lebih tenang…

Ketenangan yang membawaku ke puncak ketegangan!

“Okee… Satu lagu terakhir, ini yang aku bilang ‘beda’!” Erik memulai intermezzo lagi ke penonton. “Tapi ini tetap akan menunjukkan kualitas yang nggak murahan, soalnya… by the way yang akan main adalah teman kita yang pernah jadi juara gitar klasik!” Erik menyindirku sambil ketawa.

Nomor tiga, tingkat propinsi, kelas junior dan itu sudah lama! Biasa aja kali! Ngapain sih masih diungkit juga? Bikin tambah beban aja!

“Kasih sambutan buat Dimas!” seru Erik penuh semangat.

HUUUUUU…!!! Lagi-lagi begitulah bunyi penonton!

“Terus terang ini bukan karya murni yang aku bikin sendiri…” ucapku di depan para penonton, memberi sebuah preview dengan agak gugup. “Musiknya hasil adaptasi dari komposisi klasik, liriknya dari puisi… milik seseorang…”

“PLAGIAT DOOOONGGG…!!!” tiba-tiba ada suara yang berseru dari tengah penonton dan langsung diiringi tawa sinis oleh beberapa dari mereka.

“Sorry, bukan guys! Plagiat itu kalo aku nyontek karya orang lain dan mengklaimnya. Aku kan nggak mengklaim ini karya murniku, jadi aku nggak bermaksud plagiat. Lagian ini public domain, dan banyak orang yang sudah pernah mendengarnya… jadi nggak mungkin aku akan plagiat!” jelasku dengan tenang, mengerahkan semua mental untuk menghadapi suasana yang sangat menekan. “Mungkin cuma satu orang yang benar-benar mengerti arti lirik yang aku pakai di lagu ini. Tapi semoga kalian juga nggak keberatan mendengarnya…” lanjutku, berusaha stay cool.

“Mungkin nggak istimewa buat kalian, tapi semoga istimewa buat seseorang…” tiba-tiba Ben menyahut, menyindirku…!

“COWOK TUH PASTI…!” tiba-tiba ada lagi penonton yang menyahut. Diiringi tawa lagi.

“Kalo itu sih nggak penting dibahas di sini!” balasku cuek.

Penonton ketawa. Terserah deh apa yang ada di pikiran kalian. Yang penting aku akan berusaha positif thinking aja!

Lalu suasana penonton tenang lagi, bahkan bisa dibilang senyap waktu aku mulai memetik gitarku. Ben memainkan harmoninya tanpa distorsi. Yang lain diam. Aku merasakan semua mata seperti tertuju padaku… Semua seolah diserahkan untuk menjadi waktuku, buat menunjukkan apa yang ingin kutunjukkan di sini, di depan semua orang… Untuk seseorang…

Dan kini aku mulai menyanyikannya…

“Somewhere in time
In my heart, in my mind,
There’ll be timeless name of someone…
That’s the name of you…

Memories, and dreams,
Once had ever been disappeared
Sometimes, I’m just not too strong to carry on
Still, truth remains your name…”

Melodi Canon bermain bersama jari-jariku di atas fret gitar. Gitar Ben menjaga ritmenya, Erik menjalankan tugasnya pada keyboard memberi latar orkestrasi sederhana. Melodiku terus bermain di tengah interlude bersahutan dengan harmoni yang dimainkan Ben…

Kudengar decak dan sorai lembut penonton…

Tapi dimana dia…? Apa dia melihat dan mendengarku sekarang…?


“I have wished for a dew…
But had I seen in you,
when empty filled the grail of my heart?

Whatever birds will say,
I will fly, to your high rainbowed sky…
I will try!
So can I?
Then may I?

I bless the day,
when you read my honest prayer…”

Sesaat hening serempak mengakhiri laguku.

Lalu satu demi satu tepuk tangan mulai terdengar. Riuh menyatu…

“Makasih…” ucapku tergugup di tengah suara riuh penonton.

“Keren, keren…!” Erik menyusul di sebelahku sambil menepuk-nepuk pundakku.

“Makasih! God bless you…!” seru Ben menutup performance kami.

“See you…!” susul Erik lantang sambil melambaikan tangannya.

Lalu satu persatu langkah kami mulai meninggalkan panggung dan suara riuh penonton. Akhirnya sesi kami selesai, semua berjalan lancar… Semuanya!

“Thanks, guys!” kujabati tangan teman-temanku begitu kami berada di backstage. Ben, Erik dan juga teman-teman bandnya. Kami semua saling berjabat erat.

“Goodjob!” seloroh Ben.

“Cool!” sahut Erik.

“Mau gabung sama kita nggak? Gantiin Erik yang mau cabut!” canda Ganes si drummer padaku.

“Nggak deh, nggak cocok. Tadi aja aku mati gaya gitu!” cetusku sambil ketawa.

“Tapi mainnya bagus kok!” puji Erik.

“Kalo speaking-nya sih memang rada kaku…” cibir Ben.

“Iya, bagusan kamu lah, yang udah ngamen sampai mana-mana!” balasku.

Semuanya tertawa.

“Kereeennnn…!” Misha langsung menyeruak sambil mengacungkan jempolnya.

“Keren kan?” sahut Erik dengan senyum lebar.

“Mantap, Mas! Berkelas lah pokoknya…!” Misha nyerocos.

“Iya lah, KLASIK gitu loh!” Nino, gitaris bandnya Erik ikut menimpali.

“Harusnya ‘Si Dia’ bangga tuh!” sindir Ben, disambut ledek tawa yang lain.

“Sebenarnya siapa sih…?” Erik langsung membujukku buat kesekian kalinya agar aku mau ngasih tahu.

“Bukan kamu pokoknya!” tukasku, disambut tawa lagi oleh yang lain.

“Tapi tadi dia nongol nggak sih, Mas?” tanya Ben.

Aku langsung terdiam sesaat. Semua ikut diam memandangiku.

“Aku nggak lihat… Kayaknya dia nggak nonton…” jawabku datar. Menelan kecewa.

“Yaaahhh…” Misha langsung menyahut dengan muka ikut kecewa.

“Kalo dia nggak nonton, berarti buat Dimas pertunjukan tadi gagal. Sebagus apapun mainnya, tetap fail…!” sindir Ben dengan tawa masam.

“Padahal bagus lho…” gumam Misha kuyu.

Aku cuma diam. Iya, memang. Sekarang apa yang sudah kupertunjukkan tadi terasa gagal. Biarpun secara teknis semuanya berjalan sesempurna rencana. Aku gagal menyanyikan untuknya…

“Tapi masa sih dia nggak lihat? Ada acara rame kayak gini masa nggak ikut nonton?” cetus Erik masih penasaran.

“Kamu aja kali, Mas, yang nggak lihat dia? Padahal sebenarnya dia nonton...?” Misha menghiburku dengan mencetuskan sebuah kemungkinan.

“Iya, tetap semangat lah, Bro!” Ben menimpali sambil menyikutku.

“Tepuk tangannya aja meriah gitu. Bu Kamti aja sampai ikut nyanyi segala. Masa nggak bangga sih?!” cetus Erik.

“Iya, Bu Kamti ngefans sama Dimas kayaknya…” celetuk Ben.

“Gila ah kalian!” dengusku kesal.

Semua langsung ketawa lagi.

Yaa, meski bisa bercanda, tapi rasanya ada kekosongan yang tetap tersisa. Aku tersenyum dan tertawa bersama teman-temanku, bercanda di backstage yang ramai dan bising. Dalam hati, kusembunyikan semua kekecewaanku serapi mungkin. Jangan sampai mengganjal keceriaan teman-temanku yang lain…

Tiba-tiba…

“Hai, Rik…” muncul seorang cewek berambut panjang yang… sepertinya aku nggak terlalu asing lagi.

“Hai!” Erik langsung menyambut.

“Nah! Senangnya dapat perhatian, nggak di atas panggung, nggak di belakang panggung!” sindir Misha ke Erik.

“Buat yang belum kenal, kenalin nih! Amanda!” Erik langsung memperkenalkan cewek itu ke kami semua.

“Kalo kita sih udah kenal. Ben sama Dimas tuh!” sentil Ganes si tukang drum.

“Pacarnya Erik ya?” Ben lebih dulu mengulurkan tangannya.

Cewek bernama Amanda itu cuma tersenyum agak malu-malu, sambil menjabat tangan Ben. Lalu anak-anak yang lain mulai usil.

“Gantian… gantian…! Sama mantan saingan sekarang!” cibir Ian si pembetot bass sambil tersenyum ngeledek padaku.

Sialan! Semua malah ketawa…!

Kuulurkan tanganku dengan agak rikuh. Pacar Erik itu membalas uluran tanganku, kami berjabatan. Hmmm… Dia cantik, dan kayaknya punya good attitude. Memang cocoklah sama Erik.

“Dimas kan?” lontarnya santai. “Gitaranmu keren!”

Aku sedikit terperangah, disambut sorak cibir dari anak-anak lainnya.

“Wuuuuu! Gede kepala ntar…!” suara yang nyeplos.

“Thanks,” ucapku tanpa menggubris yang lain.

“Kalian semua juga bagus kok mainnya!” sambung Amanda ke yang lain.

“Ya iyalah!” semua hampir serempak menyahut!

Kami semua kembali mengalir, meneruskan ngobrol dan bercanda di backstage yang agak berantakan dan kumuh ini. Lepas, tanpa ada yang terganjal masalah pribadi satu dengan yang lain. Menyenangkan!

Tapi…

“Mana Denis?” selentingku kemudian, aku baru sadar Denis nggak nongol di sini. Padahal sebelum tampil tadi dia ikut nongkrong di backstage sini?

“Tadi katanya ke toilet…” jawab Misha.

“Kok lama amat? Aku cari dia dulu!” cetusku.

“Wiiihh… Perhatiannya, sama adik kembar…?” canda Ben.

“Sama aja dengan Denis, perhatian banget sama kakaknya!” celetuk Misha.

“Hahaha… Misha cemburu nih jadinya!” Erik langsung mencandai Misha.

“Ya iyalah!” Misha langsung kumat centilnya.

“Apalagi kemarin habis ditolak juga!” aku ganti meledek Misha, disambut tawa lagi sama yang lainnya. Misha cuma melet sambil cemberut.

“Ntar sini lagi ya! Kayaknya habis Pensi kita nongkrong di mana gitu, pasti asyik nih!” cetus Ian, si bassis.

“Iya, asyik tuh!” sahut Erik bersemangat.

“Oke, gampang deh!” jawabku tanpa basa-basi. “Ben, aku titip gitarku dulu tuh.”

“Oke,” sahut Ben simpul.

Setelah berpamitan dengan yang lain, aku melangkah keluar lewat pintu belakang. Suasana di luar terasa jauh lebih longgar. Nggak kuhiraukan lagi yang lain, kutinggalkan semua kebisingan di aula itu. Memisahkan diri dari kerumunan…

Sebenarnya juga nggak jelas apa aku memang mau mencari Denis. Aku cuma merasa penat dan sumpek berada di dalam aula yang kumuh itu. Aku butuh udara segar… dan menenangkan diri sejenak.

Akhirnya langkahku juga nggak menuju ke toilet, tapi malah menuju ke kantin. Aku nggak kaget kalau nggak ada satu pun kantin yang buka karena ini memang tanggal merah, aktivitas di sekolah cuma dalam rangka Upacara Bendera dan Pentas Seni, dan sekarang tempatnya berpusat di aula. Komplek kantin sepi. Karena itulah, yang kutuju akhirnya juga bukan kantinnya, tapi…

Di depan salah satu kantin yang lengang…

Di bawah sebuah pohon. Di bangku beton…

Aku duduk dengan lesu. Pandanganku mengawang tanpa fokus. Semua tampak selintas lalu, suasana sekolah seperti pemandangan yang absurd. Mungkin karena suasana hatiku ini, yang sebetulnya sedang merasa kecewa… dan akhirnya terasa kosong…

Aku terlamun. Entah berapa detik… Berapa menit… Hingga akhirnya sesuatu membuatku tersadar dari lamunan kosongku. Sesuatu tak terduga!

Seseorang datang, seperti tiba-tiba saja dia sudah ikut duduk di sebelahku. Aku menatap padanya dan ternganga…

Seketika jantungku berdegup kencang!

“Hai…” sapanya agak ragu padaku.

“Hh..hai…” balasku masih terpana, kaget, heran bercampur gugup.

“Kok malah sendirian di sini?” dia bertanya, dengan agak canggung.

“Emmhh… Lagi pingin sendiri aja…” jawabku masih gugup, seraya segera memalingkan muka agar jangan terlihat wajahku yang pasti tampak kaget dan bodoh ini…!

“Ooo… Aku ganggu?” gumamnya terdengar segan.

“Eh, nggak, nggak…” aku langsung buru-buru menimpali. “Aku cuma… lagi jengah aja di tengah banyak orang.”

Ya Tuhan… Aku benar-benar jadi gugup. Karena… dia datang di saat aku telanjur mengira tak akan bertemu dia!

“Aku kirain kamu nggak datang… Padahal… aku tadi pingin nunjukin sesuatu ke kamu…” gumamku dengan senyum rikuh dan… malu! Jariku saling meremas sendiri, mengatasi rasa gugupku.

“Lagu tadi?”

Deg! Seketika, satu gedoran keras di jantungku saat mendengar responnya…

“Iyaa…” ucapku kikuk. Aku pun tertawa dengan malu. “Jadi… kamu dengar?”

“Aku memang nggak masuk ke dalam. Tapi aku dengar kok…” ujarnya dengan tawa pelan. Tawa… yang seolah ingin menembus sesuatu yang sedang membatasi kami…

Perlahan mulai kuberanikan diri, menatap kembali orang yang duduk di sampingku. Kutatap wajah putih belianya, dan juga bibir merahnya yang tampak lembut itu. Dan mata jernihnya yang tampak sayu.

Fandy, pencuriku yang polos dan tampan… Kemana saja kau bawa hati yang sudah kau curi ini? Kemana???

“Kenapa kamu nggak masuk ke dalam tadi?” tanyaku berusaha mencairkan pembicaraan.

“Aku pikir nggak ada yang istimewa di sana. Sekarang jadi menyesal juga, kenapa aku tadi nggak masuk ke dalam?” ujar Fandy dengan tawa yang tampak bersemu.

Apa maksudnya itu? Kenapa dia menyesal? Ya Tuhan, apakah kata-kata yang diucapkan Fandy itu bermakna sesuatu???

“Aku nggak nyangka akhirnya kamu bisa tampil di panggung, Mas…” sambung Fandy kemudian. “Nggak nyangka, soalnya dulu Mas Dimas pernah sampai pingsan gara-gara masuk ke sana!”

Fandy lalu tertawa, dan aku makin ternganga. Dia mengungkit kenangan kami dan dia tertawa…?! Dan seperti biasa, dia selalu membuatku ingin… ingin… ahhh, aku nggak tahu! Dia selalu bisa membuatku gemas, kesal, malu, bercampur jadi satu dan akhirnya aku tetap ingin… memeluknya... Atau lebih!

Ya Tuhan, bagaimana aku mengungkapkannya kepada orang yang sudah mencuri hatiku ini?

“Tertawa saja lah, yang penting kamu senang,” balasku akhirnya, dengan senyum menyerah padanya.

Fandy segera berhenti tertawa, dan wajahnya seketika berubah segan lagi.

“Oh, maaf, kalo aku menyinggung…”

“Ehh… Nggak, aku nggak tersinggung apa-apa kok!” aku langsung buru-buru memotongnya. “Aku bilang apa adanya, yang penting kamu senang. Aku juga senang kalo kamu bisa ketawa seperti itu…”

Mata kami saling bertemu. Sekilas, lalu segera saling menariknya kembali. Sekali lagi menyembunyikan wajahku yang mungkin telah tersipu. Ya ampun, serba salah!

Terus terang, aku nggak tahu bagaimana menggambarkan arti pertemuan ini… Pertemuan yang membuatku terharu dan ingin menangis! Karena aku bisa kembali melihat dia tertawa di sampingku. Aku tak peduli apapun alasannya. Aku tak peduli karena apa…!

AKU BAHAGIA! Dan kuharap dia tahu itu...

Kami terpekur, duduk di bangku ini sambil menatap kelengangan yang bisa kami lihat dari sini. Sudut yang jauh dari hingar-bingar pesta perayaan 17 Agustus. Menyimpan banyak hal untuk diucap, tapi tak kalah banyak juga kata-kata yang hilang dari baris-baris kalimat yang sedang berusaha kususun untuknya.

“Maaf, Mas… Atas sikapku selama ini…” tiba-tiba Fandy mengucapkan sesuatu yang mengejutkanku.

Membuat hatiku kembali tergetar.

“Maaf…?” ulangku gagu, menatap Fandy yang kini tertunduk lesu.

“Aku… sudah bersikap pengecut!”

Pandanganku makin nanar.

“Nggak… Kamu bukan pengecut!” sergahku terbata-bata. “Justru akulah yang harus minta maaf, Fan. Karena aku sudah menyembunyikan masalahku, dan waktu kamu mengetahuinya… kamu malah ikut kena imbasnya! Aku nggak nyalahin kamu kalo kamu marah…”

“Bukan soal itu, Mas…” sanggah Fandy, menatapku dengan raut yang belum pernah kulihat sebelumnya. Begitu terbeban.

“Lalu soal apa?”

Fandy terdiam, tampak dilema.

“Kalo kamu susah mengungkapkannya, nggak apa-apa kok. Aku ngerti, toh sebenarnya akulah yang udah nyusahin kamu…” tandasku pelan, mengisyaratkan penyesalanku.

“Aku pernah bilang kalo aku nganggap kamu ‘kakak’… Kamu masih ingat, Mas?”

Sekali lagi aku terkesiap. “Ya… Tentu saja aku ingat!”

Fandy kembali terdiam. Lama. Termangu dengan wajahnya yang tampak gundah.

“Ada apa?” tanyaku pelan, dengan hati-hati mencoba menyingkap di tengah-tengah kebisuannya.

“Sebenarnya… perasaanku nggak sungguh-sungguh seperti itu…” lanjut Fandy, terdengar berat mengungkapkannya. “Nggak cuma sebatas menganggap seorang ‘kakak’. Tapi lebih dari itu…”

Aku terpana, menatap wajahnya dalam-dalam. Wajah gelisahnya, wajah sayunya. Tapi rasa gamang membuatku takut untuk percaya begitu saja pada kata-katanya. Sebaliknya, justru keresahanku bergumul saat mendengar pengakuannya itu.

“Apa maksudmu?”

“Perasaanku… sama seperti kamu, Mas…” cetus Fandy lirih, tapi begitu jelas di telingaku. “Aku sama seperti kamu.”

Pengakuan itu kini ganti membisukanku. Sekarang, aku hanya mampu termangu menatapnya tanpa tahu bagaimana aku harus membalas pengakuannya. Dalam hati aku terhantam mendengarnya.

“Selama ini aku takut mengakuinya…” desah Fandy pahit. “Aku takut nggak ada yang bisa menerimaku. Dan saat aku tahu Mas Dimas juga sedang menutupi hal yang sama seperti aku, aku makin bingung harus bagaimana menyikapinya. Mendengar orang-orang mengejek, mencela, apalagi sampai berkelahi… aku jadi tambah takut buat menerima keadaan seperti ini... Kenyataan yang aku lihat, termasuk yang ada di sekolah ini, membuktikan kalo orang seperti aku ini nggak bisa diterima. Aku benar-benar bingung…”

Aku tak mampu menegakkan wajahku lagi. Tertunduk, ikut teriris batinku saat Fandy mengungkapkan semua isi hati yang selama ini belum pernah kudengar darinya… Hati yang ternyata juga menyimpan rahasia!

Rahasia yang sama sepertiku.

Meski inilah yang selalu kuharap, tapi bisakah aku percaya ini begitu saja?

“Kalo kamu bingung… lalu… kenapa kamu pilih membelaku saat pengeroyokan itu?” tanyaku dengan rasa ragu dan bimbang. “Aku tahu… kamu berusaha membelaku. Bukankah kamu mengambil resiko yang makin besar?”

Fandy terdiam sesaat. Lalu akhirnya tertawa pahit.

“Karena… bagaimanapun, kamu bukan orang lain buatku, Mas,” jawab Fandy sedikit terbata. “Sesulit apapun buat menerima semua itu, rasanya aku tetap nggak bisa menyangkal kalo kamu… tetaplah orang yang punya arti. Dan kita pasti sama-sama berharap nggak pernah bertemu masalah seberat itu kan, Mas? Akhirnya aku sadar kalo… aku juga nggak bisa nyalahin kamu, Mas. Karena aku sendiri juga merasakan keadaan yang sama. Dan aku sendiri juga dibuat jadi serba salah.”

Batinku rasanya seperti ditusuk, diremas!

“Siapapun, kalo bisa memilih, pasti nggak akan memilih untuk jadi pihak yang diperlakukan semena-mena…” balasku dengan senyum pahit.

“Iya, setelah aku renungkan, aku menyadarinya. Aku berusaha mengingat, kapan aku mulai merencanakan untuk jadi seperti ini. Dan… aku nggak bisa mengingatnya. Aku nggak mungkin mengingatnya, karena aku memang nggak pernah merencanakannya,” decak Fandy dengan tawa pahit. “Kalo ada yang harus kupilih… maka yang aku pilih adalah memecahkan masalah ini!”

Aku menatap senyum pahit di wajah Fandy.

“Memecahkan masalah ini? Bagaimana caranya?” tanyaku, terpancing.

Fandy menatapku.

“Dengan menjalaninya, Mas. Kita hanya akan terus menduga berbagai kemungkinan, tapi nggak akan pernah tahu dengan pasti jika kita masih menolak menjalaninya,” jawab Fandy, bersama senyum pahitnya yang semakin penuh arti.

Aku tersenyum ragu. Lalu tertawa agak masam.

“Haha… Kata-katamu menarik!” decakku, dengan nada sedikit mencibir. “Apa kamu benar-benar yakin dengan apa yang kamu ucap itu?”

Fandy tidak menjawab. Dia hanya tersenyum hening. Bersamaku menatap suasana di salah satu sudut sekolah ini… yang tetap sepi meski gema suara musik di aula masih terdengar begitu meriah. Kontras dengan perasaan kami yang terseret rasa gelisah.

“Aku merasa, itulah yang paling bisa aku fahami saat ini, Mas…” ucap Fandy setelah sejenak merenung. “Aku sudah lama menyembunyikannya, sampai resah menahannya sendirian. Sekarang ada orang yang aku rasa punya hal yang sama denganku, orang yang selama ini bisa mendengarku. Jadi, aku nggak ingin merahasiakan darinya lagi. Aku ingin dia tahu…”

Aku tercenung. Terharu. Tak pernah menyangka, aku akan mendengar semua pengakuan ini darinya. Seperti mimpi besar yang tiba-tiba muncul di jendela, membuatku sulit membedakan apa ini nyata, ataukah masih sebuah mimpi.

Tapi… sinar matahari yang hangat di wajahku, semilir angin di rambutku… Aku rasa, tidak… ini bukan mimpi!

Aku menatapnya. Dia tersenyum, wajahnya sedikit lebih berseri, meski masih meninggalkan jejak yang sayu. Hingga senyumku pun ikut haru karenanya.

“Ngomong-ngomong… Mas Dimas tahu darimana kalo aku yang nulis puisi itu?” tanyanya, sekonyong-konyong beralih topik dengan gelagat sedikit malu.

“Emhh… Aku… baca itu di Mading, dan aku merasa ada banyak hal yang rasanya pernah kita berdua alami…” gumamku setengah merenung, dan ikut tersenyum malu.

“Apa segitu jelas?” tanya Fandy terdengar penasaran.

“Gunung yang kita bicarakan, danau yang kita lihat dari ketinggian. Aku nggak lupa…” tegasku setengah termangu. Terbayang lagi di benakku, momen-momen indah itu. Bagaimana bisa aku lupa?

“Ternyata kita memang punya kesan yang sama ya…” gumam Fandy pelan, ikut termangu. “Tapi… yang kamu pakai buat lagu tadi kan bukan puisiku yang dipajang di Mading itu? Kok bisa dapat puisiku yang itu?”

Aku tertawa lirih. “Aku kenal pengurus Mading itu. Aku cari tahu ke dia, hingga aku tahu ada dua puisi yang dikirim oleh orang yang sama, anak kelas satu yang cuma memberi identitas berinisial ‘F’! Buatku, itu clue yang sudah cukup meyakinkan. Firasatku langsung bilang, bahwa itu kamu…!” jelasku dengan penuh semangat. “Yang dipajang di Mading adalah display hasil ketikan, sedangkan tulisanmu yang asli aku sudah memintanya. Dan sekarang aku menyimpannya.”

Fandy tersenyum, mencoba menyembunyikan wajahnya yang tersipu.

“Sebenarnya aku nggak yakin kalo puisiku itu layak dibaca,” cetus Fandy sambil menundukan wajahnya.

“Bagus kok!” pujiku dengan tawa simpul. “Dan aku juga nggak heran kamu bisa menulisnya, mengingat buku-buku hebat yang jadi bacaanmu!”

Fandy tertawa tipis. “Tapi cuma satu yang dipajang.”

“Kata temanku pengurus Mading itu, bukan karena puisimu nggak bagus. Tapi dia cuma pajang satu, karena space di Madingnya udah nggak muat. Dia pilih puisi yang pakai bahasa Indonesia, karena katanya lebih singkron dengan suasana HUT RI. Yaahhh, meski kalo dipikir-pikir, sebenarnya dua-duanya nggak ada hubungannya dengan HUT RI,” uraiku disertai derai tawa.

Fandy cuma tersenyum… seperti buah yang ranum!

Buah apel.

Oh, tunggu, tunggu! Apel…???

“Ehh… Aku masih heran, darimana kamu dapat ide tentang apel di puisimu itu?” lontarku, teringat pada satu hal yang sangat membuatku penasaran.

Mata Fandy sesaat berbinar, tapi kemudian berubah jadi tampak sayu lagi. “Aku… tahu dari Mas Denis,” jawabnya dengan senyum kecut.

“Denis?” decakku kaget.

“Iya.”

“Kalian ketemu di mana? Kapan?” kulikku penasaran.

“Emmhh… Sabtu kemarin kami ketemu. Aku hampiri dia waktu kebetulan melihatnya di kantin. Terus… aku tanya soal kabar Mas Dimas… Katanya, Mas Dimas belum masuk sekolah, masih sakit…” urai Fandy agak terbata.

Sekarang keherananku ditambah lagi oleh Denis, sodara kembarku itu! Kenapa dia nggak pernah cerita padaku kalau bertemu Fandy? Biar ini jadi kejutan? Ya, ini memang membuatku terkejut! Sangatttt…!

“Memangnya… dia cerita apa soal apel?” tanyaku, berdegup antara penasaran dan was-was. Cerita apa yang sudah dibeberkan Denis ke Fandy?!

“Mas Denis nggak cerita detailnya sih… Tapi katanya, itu sesuatu yang pasti akan berkesan buat Mas Dimas…”

“Ooo…” gumamku dengan senyum ragu. “Kok Denis sampai cerita soal apel segala ya? Memangnya kamu tanya apa ke dia?”

Wajah Fandy mulai tampak gelisah saat aku terus mencecarnya.

Aduhh! Bukankah ini pertemuan pertamaku dengannya sejak masalah-masalah yang rumit itu, kenapa aku terlalu mendesaknya? Kenapa aku begitu tidak peka?! Fan, aku nggak mau kamu jadi tertekan lagi. Please, lupakan saja semua pertanyaanku. 

“Waktu itu sebenarnya aku cuma mau tanya ke Mas Denis, sebaiknya gimana caranya… buat minta maaf ke Mas Dimas…” desah Fandy, menjawab pertanyaanku yang telah mendesaknya.

Jawaban yang membuatku terkesima.

“Karena di saat seharusnya aku menemani, aku malah pergi. Ninggalin kamu sendiri, Mas, seolah-olah nggak ada lagi yang berarti. Padahal… sebenarnya aku membohongi diri sendiri…” ucap Fandy lirih. “Itupun aku masih nggak berani buat bertemu langsung… aku menulisnya, tanpa nama terang. Cuma bisa berharap Mas Dimas kebetulan membacanya, dan bisa mengartikannya…”

Aku terharu. Aku nggak mampu melihat wajah sesal dan sedihnya itu…

“Andai tadi aku nggak dengar suara Mas Dimas bernyanyi di aula, aku nggak akan duduk di sini sekarang,” desah Fandy lesu. “Maafin aku, Mas...”

“Fan, aku juga udah nyusahin kamu. Selama ini aku juga nggak pernah terus terang sama kamu. Aku juga minta maaf…” ucapku terbata. “Dan bagiku kamu tetap bukan pengecut! Karena aku juga tahu seperti apa susahnya…”

Perlahan Fandy tersenyum sayu, lalu mengangguk pelan. Perlahan aku pun membalas senyumnya. Dan akhirnya… menjadi senyum lepas sepenuhnya, menanggalkan semua beban yang ada. Menghela nafas kelegaan yang nggak bisa kugambarkan dengan kata-kata.

Beginilah pahitnya, beginilah lucunya. Beginilah bahagianya.

Dalam hening rasa haru kami merenung… seperti satu bagian yang terasingkan di tengah gema riuh perayaan 17 Agustus di sekolah kami ini. Ya, tampaknya kami terasing. Tapi sesungguhnya, kami telah saling menemukan… satu sama lain.

“Apa ada orang lain yang sudah tahu tentang kamu, Fan? Soal keadaanmu ini?” lontarku dengan hati-hati.

“Belum. Cuma kamu, Mas…” jawab Fandy. “Kenapa?”

“Nggak apa-apa,” jawabku sambil menghela nafas. “Lebih baik memang harus hati-hati menjaganya, karena resikonya nggak pernah bisa kita tebak. Sewaktu-waktu bisa muncul orang-orang yang membenci kita. Setidaknya aku memang masih beruntung, Fan, aku punya teman-teman yang bisa menerimaku, begitu juga sodara dan ayahku juga bisa menerimaku…”

“Ayahmu sudah tahu, Mas?” lontar Fandy tampak tertegun.

Aku tersenyum. “Yaahhh… Begitulah. Lain kali aku akan ceritakan. Untuk saat ini, aku cuma ingin kamu tahu… bahwa meski aku punya orang-orang yang bisa menerimaku, toh tetap saja aku bertemu banyak masalah. Dan mungkin suatu saat nanti masalah-masalah akan muncul lagi. Aku harap kamu tahu bahwa ini bukan hal yang mudah, dan kamu nggak bisa main-main…”

Fandy memandangku dengan wajah tanpa keraguan. “Kalo itu memang masalah, maka aku nggak boleh terus berlari. Aku tetap akan coba jalani, Mas, dengan hati-hati!”

Aku tersenyum kagum pada kebulatan hatinya, meski di sisi lain aku tetap nggak berani membayangkan andai dia akan menemui masalah-masalah sepertiku… Nggak tega. Tapi, aku tahu apa yang akan dia perlukan ketika harus menghadapinya: orang yang setia berada di sisinya. Ya, seperti yang telah dilakukan oleh sahabat-sahabat hebatku!

“Ayahku nggak melarangku buat menjalaninya, tapi dia berpesan agar aku tetap mengutamakan sekolah… Yaahhh, aku rasa itu memang adil!” tuturku dengan sekecap tawa masam. “Aku harus tahu diri, setidaknya aku harus bisa bikin orang tuaku bangga terlebih dulu, baru aku boleh menuntut hak yang semestinya. Jadi, aku ingin penuhi harapan mereka, Fan… Aku ingin prioritaskan sekolah.”

Mata Fandy menerawang, menatap jauh ke depan. “Ya, prinsipku juga tetap sama, Mas. Utamakan sekolah dulu.”

“Tapi… aku juga tetap yakin, pacar yang baik akan membuat sekolah jadi lebih bersemangat!” timpalku mantap.

“Haahhh…?” Fandy langsung melongo.

Senyumku melebar. “Okey, setelah kita ngomong jujur soal perasaan, berduaan di sini seperti waktu kita pertama kali kenalan… sekarang kamu mau hubungan kita tetap platonis???” tukasku, mulai mengikuti sisi nakalku.

“Platonis???” Fandy jadi kikuk.

Wajah yang hari ini sudah kucari dengan resah dan harap-harap cemas. Akhirnya sekarang kami bertemu, jadi aku harus mengungkapkan satu hal ini padanya!

“Kamu nggak ingin tahu, kenapa aku pakai puisimu yang berbahasa Inggris itu?” tanyaku nggak mau menunda lagi.

“Ehhmm… Mungkin karena lebih cocok buat dibikin lagu?”

“Benar. Lebih sederhana, dan lebih bisa menyatu dengan musiknya!” cetusku bersemangat. “Kamu pernah dengar musik yang aku pakai itu?”

“Yaa… aku juga familiar dengan musik itu. ‘CANON in D’…!” jawab Fandy berseri.

“Yaa! Judul aslinya ‘CANON in D’, karya Johann Pachelbel. Tapi aku mengadaptasinya secara bebas, menjadi lebih simple sesuai dengan liriknya, soalnya terus terang aku nggak cukup yakin buat bikin lagu sendiri. Dan aku juga transpose nada dasarnya… menjadi ‘F’…!”

“F…?”

“Ya.”

“D ke F…?” ulang Fandy menggumam. Perlahan matanya mulai berbinar. “Itu… inisial…?”

Aku tertawa. “Pintar!”

Fandy tertawa renyai.

“Sebuah CANON, dari ‘D’ ke ‘F’… dan nada F ternyata juga lebih cocok buat suaraku…” gumamku malu-malu.

“CANON… Sebuah ‘tembakan’?!” tebak Fandy lagi.

“Hahaha… Imajinasimu tinggi juga ya?!” selorohku, lagi-lagi sulit menyembunyikan tawa maluku. “Kalo dalam musik, ‘Canon’ itu semacam aransemen yang bersahut-sahutan. Tapi terus terang, aku lebih senang kalo kamu mau mengartikannya… yahh… seperti tebakanmu!”

Wajah Fandy merona agak merah. Aku suka dengan wajahnya yang seperti itu! Ahhh… Mungkin wajahku sendiri juga sedang seperti itu?

“Kamu percaya cinta sejati nggak, Mas?” tiba-tiba Fandy malah melontarkan pertanyaan yang di luar dugaanku.

Cinta sejati?

“Percaya. Kenapa memangnya?”

“Aku juga percaya. Tapi aku rasa kita nggak bisa menilainya sekarang. Karena mungkin butuh kesetiaan seumur hidup buat membuktikannya!” ujar Fandy seraya menengadah.

Aku sejenak ikut memandang jauh ke langit yang cerah dan luas. Ya… Kusadari kecilnya diriku, kecilnya diri kami… Bagaimana aku tahu apa yang akan kuhadapi di hari-hari nanti? Aku rasa memang benar, cinta sejati itu misteri. Aku percaya, tapi sekarang bagaimana aku membuktikannya?

“Benar juga. Pastinya orang tua kita, atau kakek nenek kita yang lebih tahu. Mereka menjalani cinta lebih lama dari kita. Kalo belum apa-apa sudah bilang cinta sejati, mungkin lebih banyak gombalnya!” sahutku geli.

“Makanya… Terus terang, aku juga nggak tahu, Mas, apakah perasaan kita akan tetap sama. Apalagi sampai tua nanti…” desah Fandy disertai senyum tipisnya. “Jadi menurutku, setidaknya dijalani dulu agar kita tahu, dan apapun akhirnya nanti kita harus bisa menerima dengan besar hati…”

Dijalani?

Jantungku kembali menggedor kencang, seperti long march barisan kavaleri. Tanpa kuraba pun bisa kurasakan degupnya yang makin keras! Pengalamanku sebelumnya sangat buruk... Sekarang aku melakukannya lagi...?!!

“Jadi…?” aku terus menanting jawaban Fandy, menahan debaran di dada…

Fandy tersenyum. “Jujur saja aku belum sepenuhnya yakin dengan perasaan seperti ini. Jadi aku harap kamu bisa ngerti, Mas, seandainya suatu saat nanti perasaan kita yang seperti ini… mungkin akan berhenti…”

“Tapi mungkin juga akan tetap jalan kan?”

“Ya, mungkin juga. Karena itulah… kemungkinan-kemungkinan masih terbuka, jadi aku nggak ingin kita terburu-buru untuk melakukan terlalu jauh…”

“Kita…? Terlalu jauh…? Maksudnya…???” aku jadi serba salah.

Fandy tertawa tersipu lagi. “Masih ingat buku yang dulu aku pinjam di perpus, waktu Mas Dimas juga menemani baca…?”

Aku mengingat-ingat…

“Buku tentang… Pendidikan Seks kan?!” aku terkesiap.

“Hahaha… Masih ingat ternyata!” seloroh Fandy, tersipu nakal.

“Jadi maksudmu, kita ini lagi ngomongin soal seks…?!”

“Jiahh… Baru nyambung ya sekarang?” tukas Fandy sambil garuk-garuk kepala.

DAMN…!!!

“Kenapa jadi ngomongin seks sih? Jadi kita…???” aku makin salah tingkah. Firasatku menangkap tanda bahwa…

Fandy yang wajahnya merona berusaha menghindari wajahku yang penasaran menunggu jawabannya.

“Kalo Mas Dimas bisa menerima syaratku, berarti… okey. Ini pertama kalinya aku pacaran.”


TUHAN YANG MAHAESA, AKHIRNYA! FANDY BILANG KAMI PACARAN...!!!

LANGIT BUMI AWAN ANGIN BULAN BINTANG MATAHARI, MANA SAMBUTANMUUUUU…?!!


“JANGAN BECANDA!!!” sentakku masih sukar percaya!

“Serius dibilang becanda?!”

“Kita…?!!”

Fandy berbisik malu. “Boyfriend!”

Ya ampun… Kepalaku membesar! Dan hatiku jatuh kemana? Ya Tuhan, apa perasaannya memang begini kalau orang baru jadian??? Gugup, bingung, berbunga-bunga…?!! Seperti orang terbodoh tapi juga paling bahagia di dunia…???

“Jadi tembakan Canon-ku kena nih?!!”

“Kena, di hati banget!” Fandy tersenyum lebar memerah, sambil meletakkan tangannya di dada. “Atau… kita perlu bikin janji?” ia menyiapkan jari kelingkingnya.

Demi apa aku harus bersumpah?!! Bahwa dia ini memang seperti peri polos yang terbang telanjang di langit jiwaku! Dia nggak lagi bermaksud mencuri hatiku, tapi malah terus terang menantangku untuk memberikannya! Bagaimana aku bisa menolak kalau sudah begini?!!

“Janji pakai jari? Nanti kalo ada orang tiba-tiba lewat gimana?! Lagian kalo beneran, aku nggak akan cuma janji-janjian pakai jari! Aku akan cium kamu… di bibir…! Beneran, di bibir!” gegatku menggebu!

Raut Fandy langsung agak shock. “Cium…???”

“Aku yakin menurut Buku Pendidikan Seks yang kamu baca itu kissing nggak bikin hamil!”

“Ya cowok kan memang nggak bisa hamil?!”

“Jadi ‘yang lain’ juga nggak akan bikin kita hamil kan?!!” tukasku makin geregetan!

“Yang lain?” Fandy pura-pura blo’on. Kemudian tiba-tiba dia bisa berubah jadi jutek. “Tadi katanya mau prioritaskan sekolah, mematuhi nasehat orang tua??? Gimana sih?!!” dia marah-marah.

“Namanya cowok, bandel dikit nggak apa-apa lah!” tentu saja aku tetap berani ngeyel.

“Tapi itu udah masuk kategori ‘terlalu jauh’!” tukas Fandy.

“Hahaha… Iya, iya… Becanda!” akhirnya aku mengalah, sambil garuk-garuk kepala. “Tapi… kalo kissing nggak ‘terlalu jauh’ kan?”

Tetap saja aku menawar! Sebut saja aku lugu, atau terlalu terus terang, atau nggak tahu malu, terserah! Fandy yang tampan ini tepat di depanku dan sekarang HE’S MY BOYFRIEND! Apa aku menanyakan hal yang salah?!!

“NGGAK BOLEH!!!” tiba-tiba ada yang menjawab galak. “Kalo kalian sampai macam-macam gue aduin ke Papa ya…!!!”

ASTAGAAAA…!!! Denis nongol dari balik pohon sambil berkacak pinggang…!!!

“HEIII…!!! Ngapain kamu di situuuu??!!!” seruku terbelalak.

“Mas Denis???” Fandy ikut gugup salah tingkah begitu melihat Denis.

“Gue nggak ngelarang kalian jadian, tapi gue nggak dukung kalian main yang ‘macam-macam’! Belum waktunya!” seloroh Denis.

“Nggak tahu sopan santun! PERGIIIIII…!!!” aku naik pitam, kusambit Denis dengan bongkahan tanah.

“ADUUHHH…!” seru Denis, satu sambitan mendarat di punggungnya. “Mas, kelewatan lu…!”

“Biarin!!!” aku terus menyambiti Denis sampai dia lari tunggang langgang.

Kukejar larinya! Aku marah…!!!

“Mas, anjrit lu! Gue aduin ke Papa ya!” seru Denis sambil ngacir.

Aku nggak peduli lagi sama ocehannya! Aku terus mengejarnya sambil menyambitkan apa saja yang bisa kupungut! Menerobos lorong-lorong sekolah, melewati kerumunan. Aku nggak peduli anak-anak lainnya yang melihat dengan keheranan! Bukan urusan mereka…!

Meski akhirnya harus kuakui, Denis lebih kuat larinya.

Huhhhh…!!! Aku memegangi pinggangku yang sakit, menatap jengkel sodara kembarku yang berhasil kabur sambil ketawa-ketawa! Oke, ketawa saja sepuasnya! Dipikir-pikir, aku juga nggak tahu mau apain dia kalau sampai berhasil menangkapnya. Nanti di rumah saja, awas!!!

Terengah-engah aku meninggalkan kejaranku. Anak-anak lainnya tersenyum-senyum memandangiku. Aku cuma membalas dengan senyum cuek tanpa peduli isi pikiran mereka. Anggap saja ini tontonan selingan di tengah meriahnya hari ini. Anggap saja bagian dari perayaan kemerdekaan! Karena tanpa momen kebebasan itu apakah orang-orang muda seperti kita bisa menikmati romasa perasaan dengan selepas ini, sebahagia ini…??? Tertawalah saja! Katakan aku egois, katakan aku nggak tahu arti proklamasi, atau nasionalisme, terserah. Saat ini aku nggak peduli!

Yang penting aku tahu kemana aku harus kembali sekarang…

Langkahku makin cepat bersama detik-detik semangat hidup yang muda ini. Senyumku makin merekah seiring langkah pasti, yang membawaku kembali ke tempat itu… tempat di mana kami dulu mengawali perkenalan… Di tempat yang sama pula, akhirnya kami tahu bahwa ada sesuatu yang harus kami pecahkan bersama: CINTA.

Sebuah misteri yang bukan untuk ditakuti. Tapi untuk diikuti bersama dengan kata hati. Dan lihat saja nanti, apakah cinta ini memang cinta sejati…!

Di sudut yang lengang itu, di bawah pohon itu. Dia masih menunggu. Pencuriku yang tampan… Peri manisku yang polos sekaligus nakal!

Sekarang aku berdiri lagi di hadapannya. Di depan senyumannya yang rupawan. Baiklah, curi saja hatiku untuk kesekian kalinya, untukmu aku siap. Untukmu aku rela…!

So…

Apelku Yang Manis, di manakah kita akan memulai gigitan pertama?






~ TAMAT ~
0 komentar

Posted in

Posting Komentar