RSS

Keranjang 9 - 12


Keranjang 9
Mitos






Sebenarnya aku malas jalan-jalan sama Denis, aku kuatir bakal jadi perhatian orang-orang. Aku belum cukup mental buat coming out sebagai cowok kembar. Tapi gara-gara diiming-imingi uang jajan sama Mama, akhirnya berangkat juga. Gimana lagi, dompet udah tipis, selama liburan nggak dapat jatah duit jajan harian.

Di atas jalanan kota Solo, aku meluncur dengan motor berboncengan sama Denis. Rencananya mau nonton film. Berhenti di depan Solo Grand Mall, melongo melihat poster-poster film yang dipajang di depan gedung.

Film yang sedang diputar semuanya film Indonesia, komedi dan horror yang nggak jauh-jauh juga dari tema ‘selangkangan’. Makin basi aja. Kapan perfilman Indonesia bisa maju kalau temanya cuma gitu-gitu aja?!

“Filmnya jelek-jelek tuh…!” sungutku sebal.

“Terus kemana dong?” lontar Denis, sama-sama bingung.

Aku mikir-mikir. Kemana ya enaknya?

“Ke Kraton aja yuk…” tiba-tiba Denis punya ide.

“Kraton? Jadul banget…!” tukasku.

“Yee… Kok jadul sih? Bagus kan tempatnya?”

“Kalo sama pacar cocok, tapi masa kita jalan-jalan ke Kraton? Ngapain…?!”

“Emangnya napa? Malah pikiran lu tuh yang aneh! Emang cuma orang pacaran aja yang boleh ke Kraton?! 

Gue pingin lihat Kraton. Ayo lah ke sana aja…!”

Denis mendesak. Aku sendiri nggak ada ide lain. Objek wisata di Solo memang kebanyakan objek-objek budaya dan sejarah, kalau nggak Kraton ya museum…

“Ya udah. Ke Mangkunegaran aja yah? Kalo Kasunanan ribet jalannya…” akhirnya aku ngalah.

“Bedanya apa?”

“Bedanya? Kalo Kasunanan jalannya lebih ribet…! Aku nggak tahu pintu masuknya!” jawabku. Penjelasan yang nggak mutu ya? Aku nggak gitu ngerti soal Kraton. Aku kan bukan Guide!

Cuma butuh lima menit dari Solo Grand Mall ke Kraton Mangkunegaran. Dekat. Kami pun sampai. Dan seperti yang kucemaskan, baru turun dari motor, buka helm, orang-orang langsung melihati kami. Denis-nya sih cuek, tapi aku yang nggak nyaman! Untung nggak terlalu banyak orangnya.

Mangkunegaran terkenal karena punya bangunan pendapa yang katanya terbesar di Asia Tenggara. Aku duduk di tepi kolam di depan pendapa, memandangi bangunan berarsitektur Jawa campuran dengan Klasik itu. Memang megah sih. Gede banget pendapanya. Sayangnya agak kusam.

“Kok ukiran atapnya kayak gaya-gaya barat gitu ya?” Denis ikut duduk di sampingku sambil berkomentar.

“Pengaruh dari Belanda kali,” jawabku.

“Bukannya Belanda itu musuhan sama Kraton?”

“Nggak tahu ah. Nggak semua juga kali… Itu Pasar Gede di Solo arsiteknya juga orang Belanda, yang makai orang-orang pribumi.”

“Hmmm… Menarik nih! Masuk ke dalam yuk…!” ajak Denis.

Aku sendiri juga ikut penasaran. Pingin lihat seperti apa istana raja Jawa ini!

Aku dan Denis segera melangkah menuju ke Pendapa Mangkunegaran, lebih dekat. Aku lihat ada beberapa pengunjung lainnya yang sepertinya satu rombongan. Aku lihat mereka semua melepas sandal. Kayaknya aturannya begitu…

“Sandalnya dilepas, Den..” bisikku ke Denis.

Kami melepas sandal. Selanjutnya mulai jalan-jalan ke dalam pendapa. Aku dan Denis manggut-manggut mencuri dengar seorang guide yang sedang memberi penjelasan ke rombongan pengunjung. Penjelasan tentang sebuah mitos. Mitos tentang tiang pendapa…

“Ada satu mitos tentang tiang pendapa Mangkunegaran ini, bahwa barang siapa bisa melingkarkan kedua tangannya ke tiang ini, dan kedua tangan itu dapat bertemu, maka keinginan yang dipanjatkan akan terkabul. Siapa tahu ada yang ingin mencoba? Tapi sekali lagi ini mitos bapak-bapak, ibu-ibu, benar tidaknya tergantung bagaimana kita meyakininya…” bla bla bla, guide itu menjelaskan ke rombongannya.

Mulai, satu persatu anggota rombongan itu mencoba memeluk tiang pendapa itu. Ada yang tangannya bisa saling bertemu, ada yang enggak.

“Mas, mau ikut nyoba nggak?” Denis kelihatan penasaran juga.

“Pingin sih…” gumamku bersemangat.

Kami menunggu rombongan itu selesai menjajal tiang itu. Belum mulai aku sudah bingung, nanti kalau aku berhasil, mau memanjatkan harapan apa ya?

Boleh nggak yah misalnya… supaya sikap Erik jadi lebih baik padaku? Atau… Dia membalas cintaku…?

Maksa nggak sih? Makanya coba aja dulu! Sukses nggaknya biar takdir yang menentukan! Orang wajib usaha kan…?

Denis mulai duluan. Perlahan-lahan dia memeluk tiang itu. Dan…

“Woiii… gue nyampai, Mas!” Denis berbinar-binar.

“Hahhh? Wahhh…” aku terpukau melihat tangan Denis yang melingkari tiang itu dan ujung kedua tangannya bisa saling bertemu.

“Hehehe… Nyampai kan gue…! Coba sekarang elu…!” tantang Denis seraya melepaskan pelukannya.

Aku gantian ancang-ancang. Kupeluk tiang itu.

Heekkkk…

Berusaha keras!

“Kok nggak nyampai, Mas?”

“Iya nih…?”

Aku heran! Coba lagi, lebih keras! Kutekan tubuhku lebih erat lagi supaya tanganku yang melingkari tiang bisa saling bertemu.

“Hhhhhhhh….” akhirnya kulepaskan tanganku.

Aku yang lebih tinggi, mustinya tanganku juga lebih panjang dari tangan dia?! Tapi tanganku nggak sampai…?!! Kok bisa gitu…?!!

“Nggak bisa nyampai tangan elu, Mas…” cibir Denis.

“Nggak tahu nih… Jangan-jangan ini tiang memang bukan sembarang tiang nih…?!” gumamku tercengang-cengang.

“Elu banyak dosa kali?” ledek Denis.

“Sialan! Ngaco…!” tukasku kesal.

Apa ini tanda kalau semua harapanku tentang Erik itu… mustahil…? Terlalu muluk…? Ini sebuah pertanda?

“Udah, nggak usah dipikirin! Cuma mitos… Gitu aja stress…!” tukas Denis sambil mijit-mijit pundakku.

“Kamu tadi… keinginan apa yang kamu panjatin?” tanyaku ke Denis.

“Nggak ada. Tadi cuma penasaran aja buat meluk.”

“Beneran? Kan untung tuh bisa kesampean, kok nggak manjatin apa gitu…?”

“Manjatin apa? Manjatin tuh tiang sekalian?! Itu kan cuma mitos, gue sih nggak percaya…!” celetuk Denis.

“Tapi aneh nggak sih? Aku kan lebih tinggi dari kamu jadi mustinya tanganku lebih panjang juga, harusnya bisa nyampai juga dong?!” gumamku masih keheranan.

“Kan pernah gue bilang, badan elu tinggi nggak jaminan bagian yang lain juga ikut panjang!”

“Weii, asem!!! Nyindir nih?” aku langsung nyolot.

“Cuma nyuruh elu introspeksi aja…!” kelit Denis sambil melet.

Tapi ada benarnya juga sih yang dia bilang… Kok aku jadi percaya banget sama mitos-mitos gituan ya…? Akhirnya kami selesai melihat-lihat pendapa. Aku mengajak Denis ke museum kereta. Letaknya di seberang pendapa. Ada bangunan memanjang yang terdiri dari beberapa ruang. Di situ kami melihat-lihat kereta-kereta yang dulu biasa dipakai bangsawan Kraton. Melihat-lihat sebentar, lalu… sepertinya sudah nggak ada yang bisa dilihat lagi di tempat ini…

“Mau kemana lagi habis ini?” lontarku.

“Nggak tahu. Kemana ya? Harusnya ke Kraton yang satunya…” gumam Denis.

“Nggak usah lah! Males jalan ke sana, rame, kadang macet… Cari makan aja yuk!”

“Makan di mana?”

“Ya nanti cari di jalan!” ujarku sambil melangkah menuju tempat parkir motorku.

Kami meninggalkan Kraton Mangkunegaran.

Kembali duduk di atas motor, meluncur di jalanan kota Solo yang ramai. Sesekali aku masih kepikiran soal tiang di Kraton tadi. Masih bertanya-tanya, apa harapanku tentang Erik itu memang terlalu muluk? Apa itu memang mustahil buat kuraih, makanya aku nggak ‘diloloskan’ saat memeluk tiang itu…? Tanganku kan harusnya lebih panjang dari tangan Denis…?! Apa keampuhan tiang itu memang bukan ditujukan untuk… cowok yang suka sesama cowok…?





***





Keranjang 10
Aku, Denis, dan Erik






Dari Mangkunegaran, menyeberang jalan Slamet Riyadi, bertemu daerah Coyudan. Di situ ada McD. Lagi pingin frenc fries sama beefbuger.

“Yahh, kok ke McD sih?” keluh Denis.

“Kenapa?”

“Gue pingin nyobain masakan Jawa… Kangen!”

“Alahh, masakan Jawa kan tiap hari biasa dimakan. Mumpung ada duit, masa nggak suka McD?”

“Jangan keseringan makan fastfood! Nggak sehat! Yang tradisional aja, yang di Medan nggak ada…?!”

“Halahh… Sok tradisional segala…! Kalo mau tradisional nanti habis ini mampir ke Notosuman, beli Srabi. Tapi sekarang beefburger dulu!” cetusku nggak mau ngalah.

Akhirnya Denis nurut juga ke McD. Kami antri pesan menu. Lima menit, dapat menunya! Kami mencari tempat duduk di bagian yang agak belakang, yang agak sepi.

“Doyan amat sama fastfood? Nggak sehat tahu!” Denis masih ngedumel.

“Nggak sehat kalo keseringan! Kalo cuma sekali-sekali nggak papa lah! Lagi pingin, mumpung lagi ada duit…!” gumamku sambil siap-siap mencicip burger-ku.

Baru asyik melahap burger…

“Lho, Mas…?” tiba-tiba ada yang menyapaku.

Aku langsung menoleh dan…

Hampir saja aku keselek…

“Eh, halo, Rik…” sapaku gugup.

Erik meletakkan nampannya, satu meja dengan aku dan Denis… Dia pun segera beralih memandangi Denis, dan langsung nggak kalah kaget dariku.

“Lho, kalian mirip ya?! Ini adik… atau kakak nih…?” Erik memandangi kami berdua bergantian, matanya sampai bengong.

“Temannya Dimas?” tanya Denis ke Erik.

“Iya. Kamu?” Erik ganti bertanya dengan agak gugup.

“Sodaranya dia…” jawab Denis cuek sambil mengunyah frenc fries.

“Kalian… kembar…?” Erik menebak-nebak, bingung…

“Ya gitu deh…” jawab Denis cuek.

Denis bisa sesantai itu! Aku aja sampai salah tingkah. Apalagi ini di depan Erik?! Kemarin aku habis bertingkah konyol ngasih dia kado apel, sekarang malah ketahuan aku makan sama sodara kembarku.

“Wahhh… Aku baru tahu nih…! Nggak nyangka…!” Erik manggut-manggut, terus memandangi aku dan Denis bergantian dengan takjub sekaligus keheranan. “Kok aku baru tahu sih…?!”

“Udah lah! Nggak usah diceritain, panjang ceritanya…!” desahku enggan.

“Tapi… Exciting…!” decak Erik masih terkagum-kagum. “Asyik ya kayaknya, punya sodara kembar…?”

“Asyik apanya? Nyebelin punya sodara kayak dia…!” sahutku sambil nunjuk Denis, mencoba bersikap santai buat mengatasi gugup.

“Ahh, nggak percaya! Ini kalian bisa makan-makan berdua? Kayaknya asyik-asyik aja…?” Erik membantahku.

Erik kok jadi ramah gini sama aku? Seolah-olah… dinding tebal yang biasanya ada di antara kami sekarang lenyap.

“Dimas tuh emang jaim orangnya! Dia sebenernya sayang kok sama gue…!” balas Denis.

“Hahaha… Masa si Dimas jaim sih? Perasaan kalo dia perhatian suka nunjukin langsung tuh?” sahut Erik sambil melirikku dengan senyum misterius.

“Kalo sama orang lain iya kali. Tapi kalo sama adek sendiri nggak…!” Denis tambah jahil komentarnya.

“Ohh, jadi kamu adiknya…? Oh iya, sampai lupa kenalan…! Aku Erik…” Erik mengulurkan tangannya ke Denis.

“Denis…” Denis membalas jabatan Erik setelah dia membersihkan tangannya dari bekas frenc fries. “Lu temen sekolahnya Dimas?”

“Iya. Beda kelas sih. Tapi akrab kok sama dia…” jawab Erik.

Debar-debar jantungku… Barusan Erik bilang apa??? Dia akrab sama aku? Dia mengaku begitu…? Jujur apa basa-basi…?!!

“Wew, muka Dimas kok rada merah gitu? Abis kepanasan ya?” tiba-tiba Erik mengomentari wajahku.

“Kepanasan apaan? Emang muka gue merah juga?” sela Denis.

“Nggak tuh?” jawab Erik.

“Berarti merahnya bukan karena kepanasan! Tapi karena yang lain…!” sahut Denis.

Erik memandangiku dengan tersenyum-senyum. Aku dikerjain habis-habisan sama mereka berdua.

“Kalian jangan pada usil ya! Terutama kamu, ngerjain aku lagi, aku tinggalin di sini..!” ancamku sambil nunjuk Denis. Berusaha tetap cool, menyembunyikan rasa maluku.

“Tinggalin aja! Palingan ntar lu diomelin sama Mama… Terus disuruh jemput gue lagi di sini…!” balas Denis cuek.

“Nggak papa… Kalo ditinggal sama Dimas, nanti aku anterin…!” sahut Erik.

Kalau dilihat dari segi positipnya, memang sih kayaknya Erik jadi lebih ramah dan terbuka padaku. Kayaknya dia nggak kesal lagi sama aku… Biarpun keadaan ini lebih baik, tapi bukan berarti harus mempermalukan aku seperti ini.

Yah, nggak apa-apa lah… Meski Erik lebih pro sama Denis, sebaiknya aku tetap berpikir positif aja. Lagian kapan lagi bisa makan bareng kayak gini…? Mengalir saja, menikmati waktu ini. Dibikin enjoy…

“Bener nggak sih, sodara kembar itu ikatan batinnya kuat?” tanya Erik, masih seputar hubunganku sama Denis.

“Nggak. Ada hal yang bisa buat berbagi. Tapi nggak semuanya. Pada intinya sih aku nggak mau mikirin urusan dia… Mending mikirin urusanku sendiri! Biasanya sih aku sama Denis malah banyak berantemnya…!” jelasku cuek.

“Nggak juga ding, si Dimas tuh sering juga kok manjanya ke gue…” balas Denis.

“Mulai lagi?!” aku mengepalkan tanganku ke Denis.

“Hahaha… Kelihatan kok. Dimas tuh pura-pura aja jahat sama kamu…” komentar Erik.

“Ehh, dari tadi ngebelain Denis mulu sih?!” protesku ke Erik.

“Soalnya elu kebanyakan pura-pura! Bilang jujur aja napa, kalo lu sayang sama gue…?!” sahut Denis nyengir main tunjuk.

“Kayaknya kamu lebih pinter nebak perasaan orang ya?” lontar Erik ke Denis.

“Nggak juga sih. Tapi kalo perasaan dia sih emang gampang ditebak…!” sahut Denis sambil menunjukku.

“Nahhh, itu dia! Mungkin karena sodara kembar, kamu lebih mudah menebak Dimas dibanding kalo misalnya… aku yang nebak dia… Tapi Dimas-nya bisa nebak kamu juga nggak?”

“Nggak tahu deh. Tanyain aja ke Dimas…”

Lalu Erik sama Denis kompak memandangiku.

“Ngapain juga sih diurusin?! Nggak selesai-selesai nih makannya…!” kelitku.

Mereka berdua langsung ketawa-ketawa.

“Kamu bisa nebak perasaan Dimas sekarang nggak…?” tiba-tiba Erik menantang Denis untuk... MENEBAK PERASAANKU.

“Kayaknya lagi sebel dia. Ngiri kali, nggak dapat teman. Dari tadi kan kita kompak ngerjain dia…” celetuk Denis.

“Ngiri sama kita?”

“Hehehe… Udah, jangan dikerjain lagi. Kasian…!”

Lagi-lagi Erik sama Denis ketawa-ketawa. Mereka benar-benar kompak.

Aku iri…? Mungkin. Aku cemburu…? Bisa jadi kali ya…?

Tapi memang sih, kayaknya Denis bisa menebakku. Mungkin ini juga bukan pertama kalinya. Contohnya, pas aku pulang dari rumah Erik sehabis ngasih dia apel, pas aku lagi sedih-sedihnya, si Denis nyanyiin lagu tentang… apel… Apa dia memang punya intuisi itu ya? Naluri sodara kembar…? Tapi kok kayaknya… aku nggak punya itu…?

Sudah lah... Aku sama Denis sodara, kalau saling perhatian ya wajar lah! Kalau sering bertengkar ya wajar juga, namanya juga cowok!

Tapi kalau soal Erik… Kenapa dia jadi ramah begini? Itu yang aku belum mengerti. Dia mau menghampiriku di sini, padahal biasanya dia lebih suka menghindar dariku… Ada apa ya…? Biarpun aku senang, tapi ini tetap mengherankan…

Ngobrol, bercanda, mengalir di meja makan ini… Sampai nggak terasa, makanan dan minuman kami sudah nggak bersisa!

“Udahan yuk..” ucap Denis.

“Habis ini kalian mau kemana lagi?” tanya Erik.

“Kata Dimas mau beli srabi…” jawab Denis.

“Ke Notosuman…” tambahku.

“Ohh… Ya udah. Aku mau langsung pulang…” sahut Erik.

Akhirnya kami bertiga beranjak dari meja makan kami. Meninggalkan ruang restaurant McD…

“Ehh, Mas, apel yang kamu kasih itu beli di mana?” tiba-tiba Erik bertanya padaku.

Deg…!!! Jantungku berdegup keras.

“Di dekat Discstuff. Sampingnya ada toko buah…” jawabku agak enggan. Rikuh.

“Apel apaan?” Denis menyela.

“Nggak apa-apa. Dimas kemarin ngasih apel…” gumam Erik.

Kok Erik terus terang gitu sih ke Denis??? Kalau dia nanti mikir macam-macam gimana? Aku nggak mau masalahku sama Erik ada yang tahu di keluargaku.

“Ohh…” Denis cuma mengangguk-angguk. Untungnya dia nggak komentar yang aneh-aneh.

Tapi aku jadi cemas juga soal apel itu, kenapa Erik menanyakannya?

“Memangnya kenapa, Rik?” tanyaku dengan ragu.

“Enak apelnya. Kecut sama manisnya itu… Biasanya kalo aku beli di tempat lain nggak sesegar itu…” cetus Erik.

Aneh nggak sih dia mengungkit hal itu? Masa sebiji apel kesannya seistimewa itu? Perasaan kalau beli di tempat lain ya sama aja rasanya, kan tinggal pintar-pintar yang milih aja…?

Tapi… ya baguslah kalau ternyata kesan dia positif… Jauh dari yang pernah aku sangka.

Aku jadi malu lagi… Kali ini rasa maluku bukan karena aku merasa ngasih kado yang salah, tapi karena ternyata Erik menghargai pemberianku… Mungkin dia memang perlu basa-basi mengatakan rasa apelnya enak… Tapi intinya, mungkin dia mau bilang kalau… kado dariku itu bukan pemberian yang salah… Dan dia menghargainya…

Sikap Erik sekarang terasa welcome padaku. Seandainya tadi aku berhasil memeluk tiang di Mangkunegaran itu, pastinya aku bakal percaya kalau ini adalah tuah dari mitos itu. Tapi, sepertinya itu memang cuma mitos.

Ooohh… Shocked by this blessing…! And I’m blushing…

Di halaman parkir kami menuju pada motor masing-masing.

“Aku duluan ya…” Erik menstarter motornya.

“Oke,” sahut Denis.

Aku cuma tersenyum mengangguk. Erik jalan lebih dulu dengan motornya. Aku termangu memperhatikan perginya… Sampai sosoknya menghilang, berbelok di perempatan.

“Dalam rangka apa lu, ngasih Erik apel…?” tiba-tiba Denis bertanya.

“Bukan urusanmu…!” tukasku.

Tebak saja pakai naluri sodara kembarmu…! Kalau bisa…!





***





Keranjang 11
Pencuri






Besok aku berangkat piknik. Ke Bali! Siapa yang nggak senang ke Bali?! Siapa yang nggak pingin? Makanya hari ini aku serba nggak sabar aja bawaannya. Pingin cepet-cepet ganti hari, pingin cepet-cepet berangkat piknik!

Agendaku hari ini adalah belanja buat bekal piknik besok. Sudah dari tadi aku muter-muter keliling supermarket. Beli roti, cemilan, minuman kaleng, pasta gigi, sabun cair, dan keperluan lain, perlengkapan dan bekal untuk piknik!

Baru memilih-milih snack di depan rak, perhatianku tercuri oleh seseorang di sebelahku…

“Aduuuhhhh… ini roti semua…!” celetuk orang itu dengan gaya genit. Seorang cewek tinggi besar berbaju ketat dengan make up menor…

Astaga!!! Seorang waria…!!! Dan dia sekarang… melirik padaku…

Aku langsung menarik pandanganku lagi. Pura-pura fokus sama belanjaanku.

“Ihhhh… Apaan lirik-lirik?!” cetus Waria itu judes. O my God…! Sekarang dia mendekatiku! Lalu melongok isi keranjangku. “Beli apa tuh? Kondom ya…? Hihihihihi…”

Semprul nih orang!!! Aku hanya bisa mengumpat dalam hati.

“Bagian susu di mana sihhh? Dari tadi eike nggak ketemu-ketemu!” akhirnya Waria itu bertanya padaku dengan gaya ganjennya.

“Tanya ke penjaganya, aku juga nggak tahu…” jawabku datar berusaha cuek.

Tapi aku makin grogi dan tetap nggak bisa pura-pura cuek, soalnya Waria ini kayaknya ngikutin terus. Ke rak ini dia ikut, ke rak itu dia juga ikut. Kalau aku meliriknya dengan was-was, dia malah tersenyum superlebar seolah malah senang.

“Eehhhh… Ini kok malah di sini?!” tiba-tiba ada satu Waria lagi yang datang.

“Kesasar, Jeng!” seloroh Waria yang sedang mengikutiku dengan nyaring.

“Alah sengaja nyasar lu, Cong! Cari lekong aja, dasar gatel!” tukas Waria yang baru datang, yang wajahnya kelihatan galak.

“Hihihi… Sirik ya, Jeng? Habisna diana imyut…”

“Yang bener dong kalo cari lekong, diana kan brondong…!”

Dua Waria itu akhirnya ninggalin aku sambil ribut sendiri…

Kuteliti lagi belanjaanku. Kayaknya udah cukup juga sih… Aku melangkah menuju kasir. Syukurlah antrinya ngggak panjang. Cuma menunggu antrian tiga orang. Nggak lama menunggu, giliranku datang juga. Kutaruh keranjangku di meja kasir.

Pandanganku sekarang jadi teralih lagi. Kali ini… ke si Mas penjaga kasir. Kadar penyegarnya setara sama obat tetes mata! Aku mencuri-curi pandang cowok di depanku ini yang kayaknya usianya nggak jauh di atasku. Mungkin sekitar duapuluh tahunan. Wajahnya oval, berkulit sawo matang cerah. Kelihatan kalem dan cool. Dia seolah nggak tahu kalau aku sedang mengamatinya, dia tetap sibuk mendata belanjaanku, memilah-milah dan men-scan dengan cekatan.

“Totalnya tujuhpuluh sembilan ribu empat ratus, Mas…” suara ringannya langsung memecah lamunanku.

“Ohh… Iya…” sahutku dengan agak gugup. Aku merogoh-rogoh uang di dompetku. Lalu menyerahkannya ke penjaga kasir itu.

“Uangnya seratus ribu. Kembaliannya duapuluh ribu enamratus, yang seratus permen ya, Mas… Terima kasih,” ucap penjaga kasir itu sambil menyodorkan uang kembalian plus satu biji permen.

Aku mengangguk seraya menerima uang kembalianku plus permen itu, dan juga kantong belanjaanku. Pinginnya masih berdiri di sini, tapi pasti bakal digampar sama antrian di belakangku! Dengan agak berat hati, aku beranjak dari depan kasir.

Kubuka permen kembalian dari kasir tadi. Iseng-iseng mengamati bungkus permen yang kupegang, ada tulisan di bagian belakangnya…

I SEE YOU…”

Dasar! Ini si Mas tadi sengaja mau menyindirku yaaa…?!! Lain kali aku akan belanja lagi dan gantian aku yang bayar pakai permen! Aku akan kasih permen yang tulisannya, “I SEE YOU AGAIN…!”, atau “I SEE YOUR HAIR…” kalau ada! Lagian ini permen aneh-aneh juga, pakai tulisan-tulisan kayak gini segala!

Aku duduk di motorku dan segera men-starternya. Lalu tanpa menunggu lama aku segera meluncur di jalan. Pulang.

Sepuluh menit perjalanan, aku sampai di rumah lagi.

Rumahku yang sejuk dan menyenangkan dengan pohon mangga dan belimbing di depannya, dengan halaman berumput jepang berpadu aneka bunga. Teras kecil berkursi kayu dan berhias kentongan lombok warna merah, rumahku yang teduh dan nyaman, yang nggak lama lagi harus kutinggalkan selama piknik di Bali. Meski Bali pasti menyenangkan, tapi suasana rumah ini pasti tetap akan bikin kangen juga…

Sekarang waktunya berkemas-kemas biar besok nggak terburu-buru, tinggal berangkat! Kujinjing plastik belanjaanku, menaiki tangga ke lantai dua. Menuju ke kamarku.

Pintu kamar kubuka.

Dan…

Yang pertama kulihat adalah Denis yang sedang berada di depan laptopku. Tapi… yang membuatku curiga adalah… wajahnya langsung kelihatan gugup saat tahu aku datang… Tangannya kelihatan grogi berusaha menggerakkan mouse.

Jantungku seperti berderak keras dalam sesaat… Setengah sesaat termangu, aku melangkah masuk, menaruh plastik belanjaanku di dekat pintu. Dan baru kusadari… tanganku mulai gemetar…

Suasana hatiku seketika berubah. Riang ceria tadi lenyap… Rasa was-was ini tiba-tiba begitu kuat, dan aku benar-benar merasa gentar untuk tahu apa yang sedang terjadi di sini sekarang… Tapi nggak mungkin aku bersikap seolah nggak melihat apa-apa…

“Kamu buka apa…?” tanyaku pelan dan tegang, seraya menghampiri Denis dengan langkah ragu.

Kulihat indikasi layar di laptop yang hang… Dan ada satu tampilan yang belum sempat ditutup…

“Kamu baca diary-ku…?” tanyaku dingin. Darahku memang terasa beku seketika…

“Sorry, Mas…” Denis gugup menjawabku. Wajahnya seperti pencuri yang tertangkap basah.

Memang. Dia telah mencuri rahasiaku…

Aku terpaku menatap layar laptop yang hang. Wajahku meremang. Bibirku gemetar. Rasanya… aku masih sulit mempercayai ini…! Sulit…

“Kamu lancang…” lontarku pelan, dengan menahan gemetar di mulutku.

Kuambil alih laptopku, kumatikan dengan paksa.

“Sorry… gue nggak maksud gitu, Mas… Gue nggak sengaja…” ucap Denis lirih, nada yang takut.

“Nggak sengaja? Jadi kamu mau bilang diary-ku kebuka sendiri terus kamu nggak sengaja baca gitu?” sergahku. Rasanya… ubun-ubunku mau meledak ke atas…! Bagaimana dia bisa bilang ‘nggak sengaja’?!!

“Iya, sorry… Gue lihat ada diary di laptop lu… Gue iseng aja pingin baca…”

“Kamu tahu passwordnya dari mana…?”

“Dari… gue iseng aja… ketik nama lu, ternyata bisa kebuka…” jawab Denis kikuk.

DAAAMN!!!

Aku punya adik lancang dan aku sendiri goblok!!! Andai aku tahu akan ada orang yang berani iseng dengan diary-ku aku nggak akan bikin password dengan namaku sendiri.

Tapi… kenapa juga harus Denis?!! Kenapa harus sodara kembarku yang sudah kupercaya…?!!

“Jadi kamu masih mau bilang kalo kamu nggak sengaja…?! Ternyata salah aku ngasih tempat kamu di kamarku! Dan bodoh banget aku ya… ngasih ijin kamu pakai laptopku… Anjjj…!!!” hampir sebuah umpatan keluar dari mulutku.

Rasanya seperti menelan muntahan yang mau keluar, kembali masuk ke dalam perutku…! Jangan tanya rasanya…

HARUSNYA SEMUA ORANG TAHU BAGAIMANA RASANYA DITELANJANGI…!!!

“Iya, iya… Gue salah. Gue ngelanggar privacy elu… Sorry, Mas…”

“Apa aja yang udah kamu baca…?”

“Gue… ” Denis tergagu. “Gue tahu… soal elu…”

Kepalaku rasanya seperti mau melayang, menguap dan pecah di langit-langit. Tahu soal aku…? Tahu kalau aku… GAY… Gitu kan maksudnya?!!

“Ibaratnya baju, kamu udah merobek-robek yang aku pakai… Puas sekarang…?” ucapku, lagi-lagi menelan muakku.

Denis nggak jawab. Mau jawab apa? Dia cuma bisa membuat semuanya kacau tapi nggak mampu menjawab apa alasannya melakukan semua ini. Dia cuma bisa mengacaukan semuanya! Menghancurkan perasaanku yang sudah percaya dan menerima dia di sini!

“Maafin gue, Mas… Gue nyesel…” lagi-lagi cuma itu yang dia ucap. Lalu dia beringsut mau pergi.

“Tunggu…” aku mencegah Denis. “Nggak usah kamu yang pergi. Aku aja. Kamu pakai aja kamar ini, sekalian semua isinya. Kamu memang pingin tahu semuanya kan? Pakai aja selama kamu di sini, bongkar semua privacy yang aku simpan di sini, semuanya aja! Biar kamu puas, nggak nanggung…!”

Aku beranjak melangkah lesu dengan amarahku yang tertahan. Meninggalkan Denis yang telah mengkhianati kepercayaanku. Sekarang biar semua jadi miliknya, toh menelanjangiku pun dia tega!

Rahangku mengatup rapat, menahan mualnya rasa yang ingin berteriak. Kurengkuh daun pintu kamarku, rasanya… aku ingin membantingnya sekeras mungkin!!! Tapi… tangan yang gemetar ini hanya bisa menepisnya seperti menghalau selembar tirai… Kutinggalkan kamarku dalam kemarahan yang nggak mampu kuledakkan!

Dan batinku menangis…

YA TUHAN… KENAPA HARUS TERJADI…???!!!





***





Keranjang 12
Topeng Yang Retak






Semua seperti bencana yang nggak diundang, datang merusak suasana hatiku yang selama ini selalu kupertahankan dalam kenyamanan. Sekarang kenyamanan itu nggak ada lagi… Rusak sudah…!

Denis sudah baca semuanya, tentang aku, tentang Erik! Dan dia pasti cukup pintar buat menyimpulkan kalau aku ini GAY! Masalah yang terberat, apa aku bisa percaya lagi sama Denis? Dia sejak kecil suka mengadukan apa saja yang kulakukan, ke Papa ataupun Mama. Apalagi ini masalah serius, seorang anak dalam keluarga yang suka dengan sesama cowok…! Rahasia yang dicuri dariku terlalu besar…! Dan aku nggak mungkin memohon pada Denis untuk menjaganya, karena… bagaimana bisa?!! Dia mencuri dariku dan aku memohon agar dia menjaga apa yang telah dicurinya? Kelancangannya membuktikan betapa sulit untuk mempercayainya!

Aku sepertinya… tinggal menunggu waktu untuk menghadapi kenyataan yang lebih pahit, di mana rahasiaku yang sudah tersobek itu akhirnya diketahui nggak cuma oleh Denis, tapi oleh semua orang di rumah ini! Bukan hal yang nggak mungkin, Papa sama Mama akan jadi orang berikutnya yang tahu!

Kalau itu benar terjadi, hari-hariku yang nyaman bersama rahasiaku selama ini… apa masih bisa bertahan? Apa ada orang tua yang bisa menerima begitu saja, saat anaknya punya kondisi seperti aku ini…? Apa ada orang tua yang senang…?

Tidak mungkin.

Sejak semula aku sudah was-was dengan datangnya Denis di rumah ini! Tapi sikapnya yang begitu simpatik telah mengecohku untuk melenyapkan semua prasangkaku. Aku menerima dia di rumah ini, di kamarku. Aku kira rahasia yang kumiliki bisa tetap aman dengan anggapan bahwa Denis bisa dipercaya. Ternyata… Diary-ku yang dilengkapi sistem password, nekat dibobol oleh Pencuri lancang itu! Aku menyesal pernah bersimpati padanya. Dia nggak sepolos itu…!!! Justru dia memanfaatkan kenaifanku…! Dia memperdayaiku!

Aku ibarat orang yang memakai topeng retak. Aku sedang menunggu topengku pecah dengan sempurna, lalu Papa dan Mama akan tahu anak mereka ini sebenarnya seperti apa. Dan selanjutnya? Entahlah…

Mungkin aku memang nggak bisa menyembunyikan rahasia ini selamanya. Tapi jelas bukan sekarang saatnya untuk membuka rahasia ini! Aku masih merasa… rapuh… Aku belum siap dengan kemungkinan buruk yang bisa terjadi, sebagaimana yang aku tahu bahwa nggak ada orang tua yang ingin anaknya seperti aku…! Cowok suka cowok…! Gay. Mana ada…?!! Kalau mereka mau menerima orang sepertiku ini, aku nggak akan memakai topeng ini demi menepis keresahan mereka, dan memendam keresahanku sendiri dalam hati…!

Dengan semua kekacauan ini, yang aku bisa cuma berharap. Berharap semoga semuanya akan baik-baik saja… Meski harapan itu kedengarannya terlalu lugu.

Memangnya apalagi yang aku bisa…?

Aku termenung sendiri, berbaring di sofa ruang tengah. Merenungkan semuanya lagi…

Ya Tuhan… Apa kondisiku ini memang salah? Aku bingung, semua pilihan terasa berat buatku… Semua orang ingin hidup bahagia. Aku pun ingin begitu… Yang aku tahu, inilah diriku, seperti inilah perasaanku… Kalau ini dosa, kenapa Kau memberiku naluri ini, Tuhan…? Kau memberiku keadaan yang sulit ini, lalu Kau pun akan menarik orang-orang yang kusayangi dariku…?

Kuusap air mata yang mengembun di pelupuk mataku. Kukuatkan dadaku menahan sesak di batin ini…

“Dimas, kok tidur di sini?” Mama menengokku di ruang tengah.

“Nggak apa-apa, tadi habis nonton TV…” jawabku pelan.

“TV-nya udah mati gitu, kok nggak pindah ke kamar sana?”

“Males, Ma… Sekalian aja tidur di sini…”

Mama pun beranjak lagi ke kamarnya, meninggalkanku yang masih di sini.

Aku menatap perginya Mama. Apa aku mampu kehilangan dia…? Kehilangan Papa juga…? Rasanya nggak mungkin… Aku takut… Bisakah aku bertahan dengan rahasia ini…? Setidaknya, sampai di saat aku lebih siap dengan semua konsekuensinya… Di saat aku sudah dewasa, saat aku sudah mampu hidup sendiri, saat aku sudah mampu berpisah dengan mereka… Saat…

Apa takdir akan menggubris…?

Aku bisa apa…? Akhirnya juga cuma bisa bermuara pada rasa pasrah… Semua kembali pada kata ‘semoga’…

Malam pun kian melahap dan menelanku. Tapi resah dan kebingungan belum juga berkesudahan.

Doaku juga belum berubah…

“Semoga… semua baik-baik saja…”




Bersambung Ke Keranjang 13...
0 komentar

Posted in

Posting Komentar