RSS

Keranjang 24 - 26


Keranjang 24

Misha







Masuk sekolah di hari kedua. Aku berangkat masih berboncengan sama Denis. Gimana lagi, motor di rumah ada dua, yang satu dipakai Mama. Ada Vespa antik milik Papa, tapi takut makainya, takut rusak. Jadi ya praktisnya berboncengan berdua. Sampai sekolah, aku sama Denis misah sendiri-sendiri! Kelas kami beda. Lagian tahu sendiri… kalau keseringan terlihat sama dia, pasti jadi pusat perhatian!

Aku langsung menuju ke kelasku. Suasana kelas masih agak sepi karena memang masih agak pagi, duapuluh menit sebelum jam pelajaran dimulai. Aku duduk manyun di kursiku. Lalu, seorang murid cewek melangkah masuk ke kelas dan dengan pasti dia langsung menuju ke mejaku… Nyantai tapi pede, dia duduk di sebelahku… satu meja denganku…!

“Aku duduk sini ya?” ujar cewek itu sambil senyum.

“Iya,” sahutku agak bengong.

“Nama kamu Dimas kan?” dia langsung menyebut namaku.

“Iya. Kok tahu?” balasku agak heran.

Anak itu tersenyum lagi. Aku mengamatinya. Mungil, putih, berambut ala Dora. Matanya bulat agak mungil… Karakter wajahnya seolah-olah dia memang sering tersenyum. Pribadi periang…

“Kemarin aku lihat kursi ini belum ada yang nempatin. Tapi kemarin aku nggak langsung nempatin sih… Sekarang juga belum ada yang nempatin kan?” ujarnya. Belum menjawab pertanyaanku.

“Belum. Kenapa kemarin nggak langsung nempatin aja?” tanyaku dengan senyum acuh.

“Kemarin aku ambil duduk agak di belakang. Terus aku lihat kamu duduk sendiri di sini. Aku pikir-pikir, mending pindah sini aja sekalian, soalnya di tempatku kemarin aku juga belum dapat teman semeja…” jawabnya.

“Kamu kok udah tahu namaku?” aku mengulang pertanyaanku yang belum dia jawab.

Cewek itu tersenyum lagi menyipitkan matanya, gelagatnya agak rikuh. “Kayaknya… kamu memang cukup terkenal kok di sekolah ini… Ya aku tahu aja.”

“Terkenal apa?” aku tambah penasaran. Sekaligus merasa nggak enak.

“Hmmm… Sorry kalo agak sensitif ya… Kamu… deket sama Erik kan…?” ucap anak itu dengan raut agak sungkan.

“Oohhh… Karena itu ya?” gumamku pelan.

Sebenarnya aku sudah menduga ke arah situ. Tetap saja nggak nyaman jadinya. Aku benar-benar ingin mengubur masalahku sama Erik itu… Ingin menganggapnya sudah selesai, tapi ternyata efeknya masih aja kebawa! Memang pasti sulit buat melupakan masalah itu begitu saja. Berita itu kemarin lumayan… meledak!

Tapi kalau anak ini mau duduk satu meja denganku, berarti dia nggak masalah sama aku kan…? Semoga dia memang nggak mempermasalahkan hal itu. Cuma yaa… kira-kira dia punya niat apa…?

“Oh iya, namaku Misha,” anak itu akhirnya menyebut namanya.

“Aku nggak perlu ngenalin namaku lagi kan?” ucapku sambil tersenyum, mencoba bersikap lebih santai, membuang prasangkaku. “Memangnya berita soal aku sama Erik itu… yang kalian dengar gimana…? Kok sampai bikin aku terkenal?” aku mulai memancing. Ingin tahu cara pandangnya.

“Hummm… Soalnya Erik-nya kan terkenal di sekolah ini, tahu sendiri lah satu sekolah banyak yang ngefans. Banyak yang ngomong sih, katanya kamu sering posting-posting di Facebook-nya dia. Katanya kamu perhatian banget sama dia… Terus yang terakhir, soal kalian waktu di Bali kemarin itu. Katanya… kamu nembak Erik ya…?” ungkap Misha dengan hati-hati.

Aku cuma mendehem pelan. “Kamu oke-oke aja kalo duduk satu meja sama aku?” akhirnya aku memilih sedikit mengalihkan arah pembicaraan.

“Kalo aku bermasalah sama kamu, ya aku nggak mungkin duduk di sini…” jawab Misha santai. Diplomatis, aku bisa menebak jawaban seperti itu.

“Ya sapa tahu aja… Kamu kan kemarin udah duduk di kursi lain. Sekarang kamu pindah duduk semeja denganku padahal kamu tahu kalo aku… bisa dibilang… ‘beda’ dengan cowok-cowok pada umumnya… Sorry kalo aku mikirnya… jangan-jangan kamu punya tujuan tersembunyi…?” ujarku dengan senyum mencibir. Berusaha menunjukkan kalau aku bertanya serius tapi tanpa maksud sensitif.

Misha tertawa. “Oke, aku nangkep maksud kamu. Sebenarnya, justru aku malah risih kalo teman dudukku adalah… orang yang kamu sebut sebagai ‘cowok pada umumnya’ itu… cowok yang doyan cewek!” jawab Misha dengan gaya bercanda. “Justru karena kamu ‘beda’, makanya aku percaya kamu nggak akan usil sama aku. Terus terang, aku juga penasaran sih… Nggak papa kan…?”

Aku tersenyum mendengar alasan Misha. “Terus terang, aku malah suka kalo ada orang yang mau terbuka bergaul sama aku… Asal tujuannya bukan untuk… menjadikan aku obyek buat dicari-cari kelemahannya… Mengenali manusia nggak kayak mengenali barang, manusia ada perasaannya…” ucapku agak pelan.

“Iya, aku ngerti. Aku nggak bermaksud begitu kok. Buat aku, berteman itu justru buat menutupi kelemahan kita… jadi menurutku ya nggak fair kalo mengorek kelemahan teman kita sendiri… Soalnya bagaimanapun juga tiap orang pasti punya kelemahan…” gumam Misha mantap.

“OK. Lihat aja deh…” balasku dengan senyum santai.

Misha tersenyum menyipitkan matanya lagi. Optimis.

Meski aku belum ingin berharap banyak soal Misha, tapi setidaknya masih ada yang mau duduk satu meja denganku. Moga-moga aja dia memang tulus dengan niatnya. Kalau melihat orangnya sih, kayaknya dia apa adanya…

Nggak terasa, kelas sudah mulai ramai. Dan kemudian bel tanda masuk pun berbunyi…

“Jam pertama pelajarannya apa sih?” tanyaku. Maklum, masih belum ingat sama jadwal pelajaran soalnya baru hari kedua.

“Pelajarannya Mr. Cool, Bahasa Indonesia…” jawab Misha sambil baca jadwal pelajaran yang dia catat di bukunya.

“Damn…! Jam pertama langsung ngantuk nih pasti!” keluhku. “Harusnya dia jangan dipanggil Mr. Cool! Namanya Sholikul Jayusman kan? Harusnya dipanggil Mr. Jayus aja! Apes, kelas dua kita masih diajar dia lagi…!”

“Setuju…! Jayus banget!” sahut Misha.


“Kalo ngomong bahasanya EYD banget! Ejaan Yang Dipaksakan banget!” tambahku.

“Tapi biasanya kalo baru masuk gini nggak langsung pelajaran kan? Biasanya masih basa-basi dulu…?”


“Tetap aja basa-basinya jayus…!” timpalku.

Lalu, muncullah sosok yang dinanti-nanti…! Laki-laki tinggi kurus, kumis gaya mafia film Godfather, rambut belah pinggir dan klimis bak kelebihan stok minyak rambut, masuk ruang kelas dengan gaya sok berwibawa…!

“Selamat pagi, Pak…!” anak-anak sekelas langsung menyambut.

“Selamat pagi anak-anak…!” Mr. Cool menjawab sambil nyengir kuda. “Kepada kalian semua yang sudah memiliki buku diktat Bahasa dan Sastra Indonesia Jilid 2, silakan dikeluarkan dari tas masing-masing kita akan mulai membahas materi pelajaran sesuai dengan kurikulum yang telah ditetapkan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia untuk tahun ajaran 2009-2010…”


Baru juga masuk, langsung mau bahas pelajaran…?!! Nggak ada basa-basi ramah tamah dan silaturahim…?!!





***





Keranjang 25

Patroli







Akhirnya jam istirahat datang juga. Waktunya ngisi perut! Dengan langkah santai aku menuju ke kantin sekolah. Sampai di kantin, aku langsung pesan bakso sama es teh, jajanan favoritku! Kantinnya lumayan ramai, tapi untung masih dapat meja kosong. Aku duduk, menikmati baksoku.

“Hai…!” tiba-tiba ada yang join duduk semeja denganku, dengan membawa bakso dan es tehnya juga.

“Ben…! Gimana kabarnya?!! Kok kemarin aku nggak lihat kamu? Baru nongol hari ini ya?” aku langsung menyambut sobatku ini dengan hangat.

“Baik. Kemarin aku memang belum masuk. Kamu dapat kelas mana?” sahut Ben.

“IPS A. Kamu?”

“IPS F. Kamu nggak ikut panitia MOS?”

“Nggak. Males ah… Repot. Lagian aku kan nggak bisa bentak-bentak yunior!” cetusku.

“Kan Erik jadi panitia tuh kayaknya? Kesempatan tuh harusnya…!” canda Ben sambil makan baksonya.
“Wewww… Kamu dukung aku buat ngejar Erik ya?”

“Hehehe… Nggak juga! Memangnya kamu udah nggak tertarik sama dia?”

“Dia kan udah nolak aku. Ya udah! Lagian kan kamu juga udah dengar… dia udah bocorin soal aku ke anak-anak lainnya… Aku mau berharap apa lagi…?” tukasku.

“Hmmm… Iya. Sebenarnya aku malah dukung kok, kalo kamu mau berhenti ngejar dia…”

“Kenapa?” tanyaku lumayan penasaran dengan sikap Ben.

“Yaa… alasanmu benar. Pertama, dia udah nolak kamu. Kedua, dia malah membocorkan ke orang lain dan mempermalukan kamu… itu yang paling parah! Kalo aku jadi kamu, aku pasti udah hajar tuh anak!” cetus Ben.

“Hahaha… Itu namanya habis main hati terus main fisik! Nggak usah segitunya lah, nggak bakal nyetop berita yang sudah kesebar. Nanti malah reputasiku bisa tambah jelek kalo sampai main kasar!” sahutku.

“Lagian… memangnya kamu bisa berantem?” sindir Ben.

“Huhhh… Sialan!” tukasku.

Ben tertawa.

“Gabung ya!” tiba-tiba ada satu lagi yang nyusul duduk di sampingku, sambil ngucel-ngucel rambutku.

“Nguntit aja! Nggak dapet temen apa? Nggak di rumah, nggak di sekolah, ngikut terus!” tukasku ke Denis yang baru datang.

“Lho…?” Ben tercengang, menatap aku sama Denis bergantian. “Kalian…?”

“Iya, dia adik kembarku! Baru pindah dari Medan!” tanpa basa-basi aku langsung bilang.

“Baru pindah…?” Ben masih bingung dan terpana melihat Denis.

“Iya. Dulu dia ikut Tante, sekolah di Medan.”

“Kembar? Kelas dua juga…?”

“Iya! Dia masuk IPA!” tukasku mulai nggak sabar.

“Sekelas sama Dimas?” Denis nimbrung, bertanya ke Ben.

“Nggak. Kemarin waktu piknik aku satu rombongan sama dia… Ooo… Nama kamu Denis?” gumam Ben sambil melirik ke tanda nama yang nempel di seragam Denis.

“Iya. Elu?”

“Ben…!” sahutku menyela, sambil tersenyum ke Ben. “Panggil Ben aja… Lebih gaya!”

Ben masih terbengong-bengong. Dia melirikku. “Dia juga udah tahu… soal kamu?” bisiknya hati-hati.

“Udah. Malah dia yang paling dulu tahu dibanding yang lain…!” cetusku.

“Hah…? Kamu… ngaku ke dia?” bisik Ben tambah bengong.

“Nggak! Udah, nggak usah dibahas! Panjang…!” tukasku pelan. Itu kejadian masa lalu. Denis baca diary-ku dan dia jadi tahu soal aku. Dan saat itu aku marah besar sama dia. Tapi sudahlah, aku udah maafin Denis, jadi nggak usah diungkit lagi.

Ben manggut-manggut. Kayaknya Denis juga menangkap arah omonganku. Dan dia cuma diam, makan baksonya tanpa menyela.

“Kamu juga udah tahu soal Erik…?” tanya Ben ke Denis.

“Gebetannya Dimas? Dia temenku sekelas kok…” sahut Denis.

“Sapa yang gebetan?!! Udah nggak lagi…!” aku langsung protes.

Ben langsung tertawa. “Wah… Bisa-bisanya kamu punya sodara kayak dia, Mas…! Beruntung benget…!” gurau Ben.

“Beruntung apanya?! Kalo dia bisa cariin aku pacar yang lebih baek, dan lebih cakep dari Erik, baru aku anggap untung!” balasku sambil jitak kepala Denis.

“Ngapain cari pacar buat elu?! Gue sendiri aja tidur masih sama guling! Mending nyari buat gue sendiri!” celetuk Denis.

“Kamu… suka cowok juga…?!!” bisik Ben ke Denis, dengan muka makin keheranan.

“Yeeeee…!!! Kapan gue bilang suka cowok?!” Denis langsung sewot.

“Dimas kan minta dicariin cowok? Kamu bilang mending cari buat kamu sendiri, gitu kan…?” kulik Ben.

“Maksud gue mending cari pacar buat gue sendiri! Dan catat, gue cari pacar cewek!” tukas Denis tengsin.

Di tengah suasana makan di kantin, tiba-tiba…

“Patroli…! Patroli…!” seorang anak melongok ke kantin sambil woro-woro.

Habis itu, anak-anak yang ada di kantin langsung ribut. Sebagian ada yang langsung ngacir, ngumpet. Sebagian ada yang masih tenang-tenang aja. Yang ngacir jelas anak-anak yang merasa penampilannya ‘nggak beres’. Biasa kalau ada patroli BP memang reaksinya begitu.

Aku tenang-tenang aja sambil menikmati baksoku. Aku kan siswa yang taat aturan. Tapi saat aku melirik ke Denis yang lagi cuek ngemil jajanan, aku langsung menangkap ada sesuatu yang salah di baju seragamnya…! Tapi belum sempat aku ngasih peringatan ke Denis, sudah ada yang lebih dulu…

“Kamu…!” seorang guru nyamperin Denis. Guru yang paling rajin patroli, siapa lagi kalau bukan Bu Kamtini…!

Denis cuma bengong menatap Bu Kamti yang sudah melotot di sampingnya, dia masih belum nyadar terhadap ‘bahaya’ yang sedang dihadapinya! Aku sama Ben cuma nunduk.

“Ini…? Atribut seragam tidak lengkap, tidak ada tanda pangkat kelas!” Bu Kamti menunjuk bagian lengan di seragam Denis, yang seharusnya di situ ada tanda pangkat kelas.

Denis masih bengong saja beberapa saat. Lalu, akhirnya dia mulai cengingisan. Akhirnya dia sadar. Ketangkap BP…!

“Kamu kelas berapa?” tanya Bu Kamti dengan dingin sambil mencatat di buku notesnya.

“2 IPA F, Bu…” jawab Denis gugup.

“Kamu sekarang bergabung ke ruang BP sama teman-temanmu yang melanggar tata-tertib sekolah. Saya sudah mencatat nama dan kelas kamu, jadi jangan kabur! Ke ruang BP sekarang!” cetus Bu Kamti. Habis itu dia langsung pergi lagi dengan jaim, meneruskan patrolinya.

“Apes kamu…” gumam Ben sambil tersenyum kecut ke Denis.

“Rasain! Waktu daftar dulu kan udah dikasih atributnya lengkap! Salah sendiri nggak dipasang!” komentarku.

“Kan tanda yang itu ilang… Terus gimana nih?” Denis bingung.

“Ya udah sana, ke ruang BP! Udah ketahuan, nggak usah nambah masalah…!” sahutku.

Denis masih setengah bengong, lalu akhirnya dia menggeloyor dengan lesu ninggalin kantin.

“Nggak kasihan sama adikmu?” ujar Ben sambil nyengir padaku.

“Ngapain kasihan? Cuma kasus ringan aja. Paling nanti cuma dikasih ceramah sama guru BP… Biar jadi pelajaran buat dia…!” sahutku cuek. “Udah yuk, bayar ke kasir…!”

Ben cuma ketawa sambil mengikutiku ke kasir.

“Berapa Mbak, bakso satu sama es teh?” tanyaku ke kasir.

“Cuma satu? Itu bakso yang satunya sama es jeruk belum dibayar tadi, sama cemilannya juga…!” balas si Mbak pemilik kantin.

“Hahahaha… Kakak yang baik sekali-kali nraktir adiknya lah!” cibir Ben.

“Sialan tuh anak…! Makanya Denis kualat sama aku, aku kakak yang baik, dia adik yang kurang ajar!” sungutku sambil ngasih duit ke kasir. Ternyata tagihan jajannya Denis malah lebih banyak dari aku!

Ternyata aku juga apes…!!!






***





Keranjang 26

Salam...







Pulang dari sekolah, nyampai rumah langsung kumasukkan sepeda motorku ke garasi. Begitu aku mau masuk ke rumah, baru nyadar, dari tadi Denis membuntutiku sambil cengingas-cengingis…

“Apa?!” tukasku.

“Mas, jangan bilang Mama kalo gue tadi ketangkep sama BP ya… Please, ya…” Denis memohon sambil cengar-cengir.

“Nggak urusan! Aku bilangin pokoknya! Kamu kan disetrap BP sampai jam terakhir! Mama harus dikasih laporan!” ucapku ketus.

“Jangan, please…” Denis langsung memelas sambil menarik-narik tanganku.

“Ini apaan sih, jadi lebay gini?! Aku bilangin pokoknya…!” tukasku sambil menepiskan tanganku dan menggeloyor ke kamar.

Padahal sebenarnya aku sama sekali nggak terpikir buat mengadukan Denis ke Mama…! Tapi berhubung dia malah ngomong begitu, aku jadi punya gagasan buat ngerjain dia.

“Apaan sih ngikutin terus?!” tukasku melihat Denis masih ngikutin aku ke kamar.

“Gue ada berita buat elu! Menarik…!”

“Berita apa?!”

“Hehehe… Penasaran kan? Janji dulu nggak bilang sama Mama soal gue tadi!”

“Iya, iya…! Aku janji! Berita apa?” desakku penasaran.

“Tadi pas di ruang BP, ada anak yang nitip salam buat elu… Cowok…!”

“Hahh…?!! Cowok…? Nitip salam…?!” aku langsung ternganga.

“Nah… Menarik kan beritanya…?”

“Siapa tuh…?” tanyaku penasaran.

“Hehehe…” Denis langsung senyum-senyum mencurigakan. “Rahasia!”

“Rahasia? Mau aku bilangin ke Mama kalo kamu tadi disetrap BP?!” ancamku.

“Weeeee…! Elu kan udah janji…?! Dan gue udah kasih tahu beritanya?!”

“Tapi beritanya nggak lengkap!”

“Gue kan nggak janji ngasih tahu semuanya! Kalo mau berita lengkapnya, ya elu harus bikin janji yang lain buat gue? Mau kasih apa lu ke gue…?” kelit Denis. Lalu dia menggeloyor pergi sambil ketawa-ketawa.

Kurang ajar…!!! Aku langsung cepat-cepat ganti baju, terus segera mencari Denis di kamarnya.

“Siapa sih, Den, yang nitip salam…?” aku mendesak Denis yang lagi tiduran di kamarnya.

“Pijitin dulu dong…!” gumam Denis sambil tengkurap.

“Asem! Lebay amat sih, gitu aja minta dipijitin…?!!”

“Buat ketemu orang yang kirim salam ke elu, gue musti disetrap di ruang BP sampai jam terakhir! Hargain dong pengorbanan gue…! Capek banget nih…!”

“Itu kan salah kamu sendiri!”

“Dan elu dapat untung dari kesalahan gue! Pijitin bentar aja gih…!”

“Tapi kamu nggak bohong kan…?!” kulikku agak curiga.

“Gue nggak bohong! Dijamin asli! Elu pijitin, gue cerita… Adil kan?”

Akhirnya… harga diriku benar-benar kalah sama rasa penasaranku! Aku harus rela jadi tukang pijit…! Dengan menahan kesal setengah mati… kutarik kaos Denis ke atas…

“Woi woi…! Mau ngapain?!” Denis langsung salah tingkah saat kaosnya mau aku lucuti.

“Kan mau pijit? Ya bajunya dilepas…!” ucapku nyantai. Sengaja aku bikin lebay, biar dia jadi nggak mood buat dipijitin! Salah sendiri, dia juga lebay minta pijit segala!

“Nggak usah lepas baju! Ntar elu napsu lagi…!” tukas Denis sambil cemberut kayak marmut.

“Aku profesional, kalo pijit ya pijit, nggak pakai napsu-napsuan…” aku masih narik-narik kaos Denis, masih sengaja lebay.

“Edan lu ah…! Masih lebay gue tonjok nih!” Denis langsung menunjukkan kepalan tangannya ke mukaku. “Udah sana, minggat dari kamar gue!”

“Lho… Nggak jadi pijit nih…?”

“Nggak! Keluar sana!” Denis menyepak-nyepakkan kakinya mengusirku.

“Terus cowok yang ngasih salam ke aku itu siapa dong…?”

“Bodo…! Telanjur males gue buat cerita!” Denis marah. Bersungut-sungut sambil tengkurap menutupi kepalanya dengan bantal.

“Siapa, Den…?” aku memijat-mijat, tepatnya mencolek-colek pelan punggung Denis.

“Hiiihhhh…!” Denis langsung mengibaskan punggungnya. “Risih! Pergi nggak?!” bentaknya sambil menyambitku dengan bantal.

“Habisnya kamu nggak mau cerita…! Cerita dong, cerita…!” aku merengek sambil mendesak-desak badan Denis.

“Gue nggak cerita kalo lu masih lebay! Malah gue gampar nih lama-lama!” tukas Denis ngancam.

“Ya udah cepetan cerita! Yang ngasih salam siapa? Anak kelas berapa? Namanya siapa?”

“Anak kelas satu!”

“Kelas satu?! Gimana ceritanya…?” aku langsung terbelalak tambah penasaran.

“Tadi dia juga kena setrap di BP. Ngobrol sama gue, terus nitip salam buat elu…!”

“Dia… suka sama aku…?” celetukku ragu-ragu.

“Meneketehe?! Kalo dia suka masa mau ngaku ke gue?!”

Aku terbengong-bengong. “Memangnya… salamnya gimana…? Salam apaan…?”

“Salam kenal!”

“Ooo…” gumamku manggut-manggut. “Cakep nggak?”

“Jangan nanya ke gue soal cakep apa jelek! Gue bukan gay kayak elu!”

“Alaahhh…! Gaya! Memangnya kalo cowok menilai fisik cowok lain udah pasti gay? Kalo kamu bilang cakep bukan berarti harus suka sama dia!”

“Pokoknya soal cakep apa nggak jangan minta pendapat gue!” cetus Denis ketus.

“Kalo dia kelas satu, terus dia tahu aku dari mana? Kok bisa nitip salam sama kamu?” gumamku bertanya-tanya.

Denis nggak jawab. Dia malah balik tengkurap lagi.

“Woi, ditanyain! Dia kok bisa tahu kita berdua…?!” kugablok punggungnya Denis.

“Dia anak kelas satu, yang kemarin lu tabrak sampai kertasnya berantakan!” seru Denis dari balik bantal.

Aku langsung terbelalak kaget. Langsung teringat kejadian kemarin itu… Jadi anak itu…?!!

“Sekarang lu nilai sendiri, dia termasuk cowok cakep apa nggak!” tukas Denis.

“Sapa namanya…?” tanyaku dengan agak bengong.

“FANDY…!”

Fandy…?

Fandy… Fandy… Fandy…

Nama itu langsung terngiang berulang kali di dalam kepalaku…

“Udah keluar sana!” Denis mengusirku dan… BUKKK…! Diikuti dengan gebukan bantal ke mukaku.

Oke, oke… Silakan usir aku sekarang! Aku keluar dari kamar Denis dengan langkah santai. Begitu sampai di luar kamar… aku langsung cuap-cuap…

“MAMAAAAA…. TADI DENIS DISETRAP SAMA GURU BP…!!!”







Bersambung ke keranjang 27...
0 komentar

Posted in

Posting Komentar