Keranjang 1 - 3
Sebuah Dinding...
“Capek juga jadi pengurus OSIS. Udah mau liburan malah banyak
rapat. Makan aja sampai lupa. Berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke
tepian. Sekarang capek dulu, yang penting liburan nanti pikniknya
menyenangkan! We’ll be going to Bali!”
Kubaca tulisan status di Facebook Erik. Dia baru menulisnya delapan menit yang lalu.
Namanya juga pengurus OSIS, mana ada yang nggak sibuk? Atau minimal
sok sibuk lah. Yah, aku yakin pasti ada yang jadi pengurus OSIS hanya untuk ajang eksis, biar bisa sok keren nampang dan mondar-mandir keluar
kelas di jam pelajaran dengan alasan tugas OSIS. Malah kayaknya sih
kebanyakan pengurus OSIS memang anak-anak narsis macam itu. Paling
tidak, itulah yang sering kulihat di sekolah.
Tapi kalau Erik, aku masih percaya dia jadi pengurus OSIS bukan buat
cari sensasi. Dia nggak perlu sok keren, karena dia memang sudah...Keren.
Di sekolahku, murid cowok kelas satu yang ditaksir bejibun cewek dari
kelas satu sampai senior-senior kelas dua dan kelas tiga, siapa lagi
kalau bukan Erik?! Pengurus OSIS berwajah tampan tanpa jerawat, berbadan
atletis dan serba berbakat dari basket, main musik, sampai menyanyi. Bahkan namanya sekarang juga mulai populer sampai ke sekolah lain. Aku
rasa nggak berlebihan kalau aku menyebutnya sebagai idola di sekolah.
Setelah membaca status Facebook-nya tadi, seperti yang biasa kulakukan, dengan semangat kukirim komentarku.
“Kalo nggak sempat makan nasi makan pisang aja buat stok tenaga. Keep the spirit!”
Baru beberapa menit lewat, sudah ada dua komentar yang mengekor di bawah komentarku…
Rico Seratuspersen Cute: “Ciee… Dimas perhatian banget nih sama Erik…!”
Joni Selalu Bahagia: “Dimas, ingat kamu tuh cowok, Erik juga cowok! Hiii…!”
Sialan! Reseh banget dua orang norak ber-nickname superkatro itu. Memangnya salah ya kalau aku ikut menyemangati Erik?!!
Kuketik balasanku dengan emosi.
“Wooiii! Aku kan cuma ngasih masukan ke Erik! Nggak boleh???”
Tidak lama kemudian, langsung muncul balasan lagi!
Rico Seratuspersen Cute: “Ngelunjak banget sih? Cuma ngasih saran gitu aja balasannya pingin ‘masukin’?! Hehehe…”
Dosa apa aku hari ini sampai harus menghadapi komentator busuk macam
ini?!! Hatiku rasanya seperti kemasukan ulat bulu. Gatal dan panas! Naik
pitam!!!
“Aku maklum sih kalo pikiranmu tujuannya ke selangkangan. Otakmu kan memang di situ…!”
Kuketik balasanku, segera kukirim!
Tapi loading-nya kok lama gini…? Kutekan tombol refresh!
Dan…
Hahhh…?!! Kok tulisan statusnya Erik tadi udah nggak ada? Dihapus???
Kulihat di daftar chat, Erik masih online!
“Rik, statusmu yang tadi kamu hapus ya?” aku langsung menyapa Erik di halaman chat.
“Aku hapus,” jawab Erik nggak lama kemudian.
Ternyata benar dia hapus.
“Oo… Sorry ya, kalo bikin yang lain jadi reseh…” balasku, dengan rasa menyesal.
“Nevermind…” balas Erik.
Semoga Erik tidak marah. Tapi aku tetap ngerasa kurang enak
dengannya. Perkara kecil yang menyebalkan! Gara-gara dua mahluk
berkomentar busuk itu!
“Oke deh. Istirahat aja kalo memang kecapekan. Goodnight…” akhirnya kuketik pesan penutupku.
Tapi ternyata Erik langsung off lebih dulu!
Hffhhhh…
Aku tahu biarpun Erik bisa bilang ‘nevermind’, tapi pastinya dia
jengkel gara-gara perkara tadi. Aku memang selalu serba salah. Sebenarnya masalah di FB seperti ini
bukan cuma sekali ini terjadi. Beberapa hari kemarin juga terjadi hal
yang sama. Komentarku yang sebenarnya cuma satu kalimat berbunyi kurang
lebih, “Semangat ya Rik, semoga lulus tesnya!”, akhirnya juga berakhir
di tombol delete. Kalimat penyemangat dariku saat Erik harus ikut tes
susulan karena habis sakit, itu dihapusnya juga gara-gara jadi sasaran
komentar dari orang-orang nggak penting yang hobi nyampah.
Sekarang terjadi lagi! Kenapa sih, rasa perhatian itu bisa menjadi begitu salah?
Sedih dan dongkol bercampur aduk! Aku log out! Kututup pula browser-ku. Lalu shutdown, kututup laptopku!
Kutinggalkan tempat dudukku dan segera menggelinding ke kasur. Kupeluk gulingku erat-erat.
Makan hati, makan pikiran, emosi ini bikin aku capek! Lupakan sejenak dinding yang tebal itu.
Aku segera tidur...
***
Keranjang 1
Aku
Namaku Dimas Andika Setiawan. Aku akan berumur tepat tujuhbelas tahun di sebuah
tanggal di bulan September nanti. Aku kelas satu SMA, dan sebentar lagi
akan naik ke kelas dua. Aku tinggal di sebuah kota di Jawa Tengah, kota
yang cukup ramai tapi juga nyaman. Solo, kota yang punya slogan: The
Spirit Of Java!
Dalam banyak hal aku nggak jauh beda dengan anak cowok lainnya yang
seumuran. Aku punya enam hari buat berangkat ke sekolah tiap pagi, dan
pulang di sore hari. Selain teman sekolah, seingatku aku nggak punya
teman bergaul lainnya. Itupun aku jarang bergaul dengan mereka di luar
sekolah.
Ya, aku tergolong anak rumahan yang lebih banyak tinggal di rumah
sehabis pulang sekolah. Aktivitasku di luar rumah selain sekolah,
paling-paling cuma sekedar refreshing yang biasanya kunikmati sendiri.
Entah itu jalan-jalan, lihat-lihat kota ataupun nonton film.
Jadi, aku bukan anak gaul? Ah, predikat seperti itu sih nggak penting buatku.
Di rumah, aku tinggal bersama kedua orang tuaku. Sebutanku buat kedua
orang tuaku memang nggak ada kesan Jawa-nya sama sekali. Aku nggak
memanggil mereka Bapak ataupun Ibu seperti lazimnya keluarga Jawa, tapi
memanggil dengan sebutan Papa dan Mama. Karena, mungkin kebiasaan
dari kecil saja. Papa orang Jawa, asli dari Solo. Sedangkan Mama dulu
tinggal di Jakarta, tapi aslinya campuran Sunda dan Manado. Mama lebih
terbiasa pakai bahasa Indonesia daripada bahasa Jawa ataupun Sunda, Papa
akhirnya juga begitu. Tapi bukan berarti kami nggak bisa bahasa Jawa. Hanya soal kebiasaan saja.
Keseharian Papa, dia sibuk kerja di kantor dari pagi hingga sore
bahkan kadang sampai malam. Kalau bisa pulang lebih awal, biasanya juga
pilih tinggal di rumah aja. Sedangkan Mama kerja di perusahaan asuransi,
entah apa istilahnya, pokoknya sering berada di luar mencari nasabah.
Buat membantu mengurusi pekerjaan sehari-hari di rumah, kami punya
pembantu, Mbok Marni. Sudah setengah tua, tapi justru itulah, dia bukan
tipe pembantu yang banyak tingkah. Sederhana, sabar, nggak norak, dan
syukurlah dia juga nggak suka caper ke tetangga. Tipe pembantu rumah
tangga yang baik.
Lalu aku? Tetap dengan aktivitasku sendiri, berangkat ke sekolah tiap
pagi lalu pulang ke rumah sore hari. Sesekali bantu bersih-bersih
rumah, menyirami tanaman, menyapu halaman, atau keluar dengan motor
sekedar refrehsing. Begitulah, aku rasa nggak ada schedule yang istimewa
dalam keseharianku.
Apakah hidupku membosankan?
Aku memang punya orang tua yang cukup sibuk. Tapi aku bisa
memaklumi kesibukan mereka. Lagipula aku bukan anak cowok yang cuma bisa
bengong sepanjang hari di rumah sepulang sekolah. Sebenarnya, aku punya
satu hal spesifik yang selalu bisa kukerjakan, sendirian… di kamar.
Aktivitas dengan sebuah…
LAPTOP!
Baiklah, laptopku memang bukan seri termahal di merk-nya. Tapi dia
bisa berfungsi optimal, buatku itu udah cukup. Malah berkat Papa yang
mau berbaik hati memasang saluran internet di kamarku, itu lebih dari
cukup! Dengan begitu laptopku ibarat teman yang selalu siap kapan aja,
selama nggak lowbatt! Dia bisa jadi apapun yang kubutuhkan. Dia
memang nggak bisa jadi hamburger kalau aku lapar, tapi dia bisa jadi
bioskop kalau aku lagi pingin nonton film. Dia bisa jadi music player
yang asyik kalau aku lagi pingin dengar musik. Dia bisa jadi studio foto
kalau aku lagi pingin narsis, mengedit foto sendiri dibikin lebih
cakep, tapi pastinya bukan gaya sok imut seperti anak-anak alay.
Dengan fasilitas internet aku bisa bermain-main di situs-situs yang
menyenangkan, dari jejaring sosial, forum maya, situs pendidikan sampai
situs entertainment. Ya, aku memang anak rumahan, tapi bukan berarti aku
nggak tahu apa-apa soal realita di luar rumah. Kehidupan yang
sebenarnya, bahkan yang ada di luar sana yang nggak bisa kutemui secara
langsung, aku bisa mengintipnya lewat sebuah jendela bernama internet.
Aku nggak merasa ketinggalan jaman.
Jadi sekali lagi, apakah hidupku membosankan? Aku rasa selama ini aku
bisa menikmatinya, jadi aku harus jawab apa? ‘Nggak’ kali ya.
Ngomong-ngomong soal internet, aku juga nggak akan munafik buat
mengakui satu hal lagi. Buat anak cowok sepertiku, kayaknya udah rahasia
umum kalau dunia maya itu selain buat mencari pengetahuan soal
perkembangan jaman, juga merupakan sebuah tempat buat ‘cuci
mata’!
Ini abad 21. Seks dibicarakan dimana-mana termasuk oleh remaja-remaja
usia belasan. Usia SMP atau bahkan SD. Terlepas benar atau salah, itu
realita kan? Tapi mungkin kita semua juga faham, bahwa nggak semua orang
yang berani bicara soal seks itu pernah melakukan langsung apa yang
mereka bicarakan. Jaman sekarang, siapa anak SMA yang masih nggak tahu
soal ML? Pasti sudah pada tahu, tapi mungkin sebagian besar belum sampai
ke bagian prakteknya. Cuma pintar di teori saja, dan itu termasuk aku.
Di Indonesia, cowok umur tujuhbelas tahun yang mengaku belum
pernah berhubungan seks masih dianggap wajar. Beda soal dengan di
Amerika yang katanya sebagian besar anak usia SMA sudah pernah melakukan
hubungan seks, di sana mengaku ‘virgin’ hanya akan jadi bahan
tertawaan. Makanya, aku nggak malu buat mengakui bahwa aku
termasuk orang yang baru tahu teorinya. Karena ini adalah Indonesia,
bukan Amerika.
Ya, internet mungkin adalah salah satu faktor utama yang mendongkrak
revolusi pengetahuan, termasuk pengetahuan soal seks. Dengar cerita dari
sana sini, katanya waktu jaman tahun 90-an dulu orang-orang yang
berotak mesum udah ‘bersyukur’ banget bisa lihat gambar porno stensilan.
Sekarang, kalau mau, siapapun bisa nonton di layar dengan gambar yang
bergerak. Kalau mau nonton filmnya, nggak perlu lagi selintutan
malu-malu buat pinjam video porno jadul yang bentuknya mirip batu bata
itu. Tinggal download aja di internet! Malah tinggal pilih, mau cari
yang seperti apa.
Aku akui, aku memang bukan anak rumahan yang polos. Pikiranku sama
mesumnya dengan anak-anak cowok seumuranku yang sedang lancar hormonnya,
yang kadang merasa berdosa tapi masih ogah ‘tobat’. Tapi paling tidak,
aku masih tahu batas. Aku bukan maniak. Dan aku juga nggak akan
melakukan hal privat di tempat umum. Aku masih cukup tahu moral untuk
tidak mengotori meja warnet, apalagi meja di kelas.
Begitulah. Internet memberi banyak pengetahuan yang nggak diajarkan
di sekolah. Aku bisa mencari sendiri apa yang ingin aku tahu lewat dunia
maya. Dan sejauh ini, aku menikmatinya.
Baiklah, ada satu hal lagi yang harus kuakui tentang diriku. Oke,
yang ini lebih serius, dan juga lebih sensitif. Soal jatidiri.
Di antara kesamaan umum dengan anak cowok lainnya, aku memiliki satu
hal yang mungkin bisa dikatakan sangat berbeda dari kebanyakan orang.
Mungkin sejak awal kali aku masuk SMP, aku sudah menunjukkan tanda-tanda
itu, saat aku cenderung lebih suka mengamati orang-orang tertentu… Dan
aku makin menyadarinya sejak aku intens berhubungan dengan dunia maya.
Seringkali aku memang nggak bisa menghindari rasa penasaran untuk
melihat sesuatu yang kupikir bisa menjadi sekedar pelepas stress. Saat
aku melihat gambar-gambar sensual, menonton videonya, lama-lama…
kondisiku ini makin terasa jelas. Di saat melihat adegan antara cowok dengan cewek, mataku selalu cenderung untuk fokus melihat si…
COWOK…!
Jujur, aku sangat resah! Merasa cacat, sakit, salah, dan sebagainya. Awalnya begitu…
Tapi, seiring keakrabanku dengan dunia maya, aku juga belajar banyak
hal yang mengimbangi kebingunganku. Aku bergabung di forum-forum
termasuk forum gay di internet. Sebuah pengalaman sosial di dunia maya,
mempelajari realita berdasarkan pengalaman-pengalaman orang lain yang
punya kondisi sama sepertiku, mencari penjelasan-penjelasan ilmiah dan
merenungkannya. Hingga akhirnya kutemukan sebuah kesimpulan atas diriku,
bahwa aku rasa…
Aku memang seorang GAY…!
Berbeda dengan pendapat orang-orang pada umumnya yang menyebut
homoseksual adalah ‘penyakit’, sumber-sumber ilmiah yang kubaca
mengatakan bahwa ilmu kedokteran sudah lama meninggalkan anggapan itu.
Jadi, homoseksual bukanlah penyakit. Ini adalah sebuah karakteristik,
bukan untuk ‘disembuhkan’ ataupun ‘ditularkan’. Pemahaman itulah yang
melegakanku. Itu juga menuntunku pada kesimpulan bahwa… sebaiknya aku
mulai berhenti menyangkal keadaanku.
Aku memang belum pernah pacaran. Tapi, kalau kamu seorang cowok
straight, kamu tidak perlu harus berpacaran dengan cewek agar bisa
bilang bahwa kamu seorang straight. Untuk mengakui diri sendiri,
dasarnya adalah apa yang kita rasakan dalam diri kita secara jujur.
Bukankah begitu?
Apakah dunia maya membuatku menjadi gay? Tidak. Aku rasa, dunia maya
hanya mengungkap, seperti apa sebenarnya diriku. Dan sekarang aku mulai
menerimanya.
Aku tahu, gay masih sulit diterima oleh sebagian besar masyarakat.
Termasuk di Indonesia. Jadi, biarpun aku bisa menerima diriku sendiri,
bukan berarti aku akan coming out ke semua orang. Aku nggak senaif itu. Aku masih merahasiakannya, terutama di dalam keluarga ini. Karena
bagaimanapun aku tahu resikonya.
Entah, apa kelak aku akan bilang ke orang tuaku…
Aku tidak ingin memikirkan itu dulu. Terlalu rumit. Masa muda
cuma sekali, aku tidak ingin menghabiskannya dengan menjadi anak stress. Inilah diriku. Aku ingin menerima dan berusaha menikmatinya.
Aku ingat sebuah pendapat yang berkata: Everybody is unique! After
all, aku masih merasa normal meskipun aku ‘berbeda’. Aku masih realistis
meski aku sering berhubungan dengan dunia maya. Ingin bukti?
Aku punya cukup banyak kenalan di dunia maya. Kuakui di antaranya
adalah cowok-cowok tampan. Di antara mereka ada yang berterus terang untuk mencari pacar,
boyfriend. Bahkan sangat lugas menyatakan bahwa mereka mencari kepuasan
seks. Tapi ada juga yang menyatakan ‘cuma’ ingin mencari ‘adik’, dengan
kriteria fisik yang bla bla bla…! Terdengar aneh bukan, cari ‘adik’ tapi melibatkan
performa fisik? Sangat tidak tulus, yang diakui ‘adik’ cuma yang cocok
dengan seleranya. Maaf deh, aku nggak percaya!
Seindah apapun dunia maya tetaplah banyak hal yang menjebak di
sana. Karenanya, soal cowok aku lebih berharap pada orang yang
benar-benar aku kenal! Dan aku tahu siapa orang itu…
Ya, aku sedang menyukai seseorang.
Dia bukan model porno yang aku lihat di internet. Bukan juga kenalan
dari dunia maya. Dia seorang cowok tampan yang satu sekolah denganku,
dekat dengan lingkungan sehari-hariku! Seorang cowok yang sebenarnya anak yang baik meski kadang agak sensitif. Cowok yang pernah
beberapa kali menghapus komentarku dari Facebook-nya. Cowok yang jadi
idola dan disukai cewek-cewek di sekolahku, dan mungkin cuma aku
satu-satunya cowok yang menyukainya.
Erik.
Ya, dialah orangnya.
Tentang dia, aku selalu menulisnya di sebuah tempat di dalam laptopku. Di sebuah diary.
Sekarang, aku jadi ingin membukanya lagi...
***
Keranjang 2
Diary
“Namanya Erik. Aku tahu namanya dari tanda nama di seragamnya.
Aku lihat dia pertama kali waktu upacara penerimaan siswa baru di SMA.
Ya, beberapa hari yang lalu. Pandangan pertama, aku langsung suka
dengannya. Hatiku rasanya seperti digerakkan oleh penampilannya yang
PERFECT! Aku nggak peduli pendapat orang lain, yang pasti menurutku dia
sempurna!
Badannya memang nggak kekar, tapi cukup sporty. Lagian aku kan juga
bukan penggemar atlet binaraga yang lengannya lebih besar dari leher
orang sakit gondok! Badannya ramping tapi berisi. Jadi kalo aku ingin
memeluknya, kedua tanganku pasti akan cukup buat melingkari tubuhnya.
Misalnya dia yang memelukku, aku juga nggak akan sesak nafas dibuatnya,
meski mungkin akhirnya aku tetap pingsan dan langsung mimpi indah.
Wajahnya agak tirus. Berkulit putih. Hidung nggak mancung tapi juga
nggak pesek. Matanya jernih dan punya sorot yang cerah, berpadu dengan
alisnya yang hitam. Dia cakep tapi sangat jauh dari kesan metroseksual. Dia cakep natural, bukan menor.
Pertama kali aku lihat dia waktu upacara, dia kelihatan berkeringat
karena kepanasan. Di bawah sinar matahari seolah tubuhnya jadi
berkilat-kilat seperti malaikat. Auranya benar-benar… aku sampai nggak
bisa menggambarkannya.
Ada pesona lain yang unik darinya. Rambutnya selalu disisir spike.
Pastinya dia nggak naik motor, soalnya nggak mungkin rambutnya bisa
seperti itu kalo dia selalu pakai helm. Mungkin dia naik mobil atau
jalan kaki. Tapi melihat kulitnya yang putih bersih, kayaknya nggak
mungkin kalo dia sering jalan kaki di bawah panasnya matahari. Pasti
naik mobil. Entah mobil pribadi atau angkot. Tapi aku pernah berpapasan
jalan dengannya, dan… My God… Baunya wangi dan segar. Kayaknya rada
mustahil kalo dia bisa naik angkot tiap hari tanpa membikin badannya
jadi kucal dan bau asem. Kalo aku bisa dapat bajunya itu pasti akan aku
simpan di lemari tanpa perlu mencucinya lagi. Jadi, dia naik mobil
pribadi mungkin ya, diantar ortunya? Ahh… Sebenarnya nggak penting juga
sih. Aku cuma… lama-lama makin penasaran aja…!
Memang gini kali ya, kalo lagi suka sama seseorang? Selalu
membayangkan dia. Selalu ingin tahu soal dia. Andai saja aku sekelas
dengannya, pasti aku bisa dengan mudah kenalan dan akrab sama dia! Kami nggak sekelas, itu yang bikin aku kecewa!
Tapi… Ah, cuma beda kelas! Tidak perlu terlalu kecewa! Pasti ada jalan buat bisa kenal dengannya. Anggap aja ini tantangan…!
Kayaknya… Erik adalah cowok yang sudah bikin aku benar-benar… JATUH CINTA!!!”
Kubaca isi salah satu lembar diary digitalku itu. Salah satu lembar
favorit yang sering kubaca sampai berkali-kali. Dan itu selalu bikin aku
jadi tersenyum-senyum sendiri. Biarpun singkat, ungkapan
pertamaku tentang Erik itu memang sangat berkesan. Namanya juga
‘first impression’! Apalagi, aku menulis diary ini memang karena dia,
ingin mengungkapkan apa saja yang kurasakan tentang dia.
Aku buka lagi halaman lainnya yang aku suka. Ini dia…
“Wowww…!!! Ternyata si rambut jabrik itu jago nyanyi! Tadi ada
audisi buat personel band sekolah, dan ternyata Erik ikut mendaftar jadi
calon vokalis! Dan aku lihat sendiri audisinya tadi, suaranya memang
bagus!!! Moga-moga dia lolos!!!
Kayaknya ini kesempatan buat aku juga! Mumpung audisi buat gitaris belum ditutup, aku harus ikut daftar!
Ya Tuhan… Semoga kami berdua lolos! Kami bisa satu band! Aku
bisa kenal lebih dekat dengannya! Inilah saatnya, aku harus
berjuang!!!”
Berkesan juga membayangkan saat-saat itu lagi. Berusaha itu
memang hal yang menyenangkan! Selain dapat pengalaman, juga meninggalkan
kesan yang bikin hidup terasa lebih punya makna.
Dan rupanya tidak kelewatan juga kalau aku memuji Erik sampai
segitunya. Soalnya terbukti kalau dia nggak cuma cowok yang menang
tampang aja, tapi dia juga mempunyai bakat. Suaranya bagus dan alami,
vibratonya merdu tidak seperti artis-artis sinetron yang maksa jadi
penyanyi itu. Dan pada akhirnya juga tidak hanya aku saja yang menilai.
Orang lain juga, terutama cewek-cewek, dengan cepat Erik langsung jadi
idola mereka. Penilaianku tidak salah.
Aku buka lagi halaman diary-ku. Halaman hari berikutnya…
“Saingan Erik banyak. Tapi dia lolos! Dia resmi direkrut jadi
vokalis band sekolah! Dia kelihatan senang banget! Aku juga ikut senang
lah!
Berarti aku nggak boleh gagal! Soalnya Erik udah jelas-jelas terpilih
jadi vokalis, kalo aku juga lolos seleksi artinya aku bakal satu band
dengannya!!! Gila nggak?!!!
Besok giliran audisi gitaris, aku harus berhasil! Lagian sainganku
cuma tiga orang. Si Erik aja yang saingannya delapan orang bisa lolos!
Kalo aku nggak lolos, selain nggak bisa dekat sama Erik pastinya juga
bakal malu sama dia…!
Aku harus bisa!!!”
Lalu, Di halaman hari berikutnya…
“Aku lolos!!! Aku satu band dengan Erik!!! Terima kasih Tuhan yang baikkkkkk…!!!”
Waktu itu aku sampai guling-guling di kamar setelah pulang
audisi, saking senangnya. Terus terang bukan band-nya yang bikin aku
senang. Tapi jelas karena Erik. Akhirnya aku dapat kesempatan untuk lebih mengenalnya.
Aku juga masih ingat, gimana senangnya saat aku bisa bicara dengannya sehabis latihan pertama. Momen-momen yang menyenangkan itu
juga kutulis di diary…
“Hari ini aku ngobrol sama Erik. Anaknya ramah, dengan gaya
cool-nya itu ternyata dia juga humoris. Aku senang sekali. Bahagiaaaaa
rasanya…! Lebay nggak? Hahaha…
Aku juga jadi tahu lebih banyak tentang dia. Ayahnya dosen, ibunya
pegawai di Pemda. Punya kakak dua orang cewek, dan satu adik cowok yang
masih kecil. Zodiac-nya Cancer, ukuran sepatunya 42, ukuran bajunya M.
Yang pasti hari ini sangat menyenangkan. Biarpun latihannya bikin
lelah, tapi nggak mungkin aku nggak semangat! Pasti aku akan terus
semangat!!! Karena sekarang aku bisa dekat dengannya!
Thank God! Semoga semuanya akan semakin baik dan menyenangkan!”
Sejak itu, aku selalu semangat. Sampai sekarang pun aku tetap
semangat. Ya. Meskipun sekarang aku sudah tidak bergabung di band itu
lagi.
Inilah momen yang akhirnya membuatku kecewa.
“Rasanya berat buat menerima kenyataan seperti ini! Berita yang sangat buruk buatku. Aku dikeluarkan dari band…!
Belum ada sebulan audisi, belum ada sebulan aku gabung. Tapi mereka
udah main pecat! Katanya aku nggak bisa main gitar listrik. Oke, memang
biasanya aku cuma main gitar akustik. Aku akui aku belum begitu pintar
nge-set sound-nya, tapi aku mau belajar dan menurutku aku punya progres!
Lagian secara teknis main gitar itu chord sama picking-nya kan sama
aja! Nge-set sound kan aku juga terus belajar sambil jalan! Setelah
repot-repot audisi dan mutusin aku lolos seleksi, gampang banget mereka
bilang: Dimas, kamu nggak cocok main di band ini! Lalu mereka bilang
kalo mereka juga udah dapat penggantiku…! That’s bullshit!!!
Sebenarnya aku udah curiga dari kemarin. Waktu aku mau masuk ke ruang
studio, aku sempat dengar dari luar. Mereka yang di dalam sedang
membicarakan soal anak lain yang mainnya lebih bagus dari aku. Ah,
ember!!! Ini namanya nggak fair! Kalo boleh asal comot player kenapa
dulu pakai audisi segala? Lagian kalo gitaris baru itu niat buat
ngeband, kenapa dulu nggak ikut audisi?!!
Dan aku tambah kecewa lagi, karena Erik cuma diam saja. Dia
nurut-nurut saja,dan nggak bilang apa-apa waktu aku dipecat. Aku
dibiarkan keluar studio begitu saja setelah permintaan maaf basa-basi
dari mereka. Aku juga nggak minta harus ada drama pura-pura ada yang
mencegah aku pergi atau gimana, tapi… Harusnya mereka tidak perlu melakukan seenak jidat mereka!
Tapi okelah, aku terima. Aku nggak bisa ngeband lagi sama Erik, nggak
apa-apa… Kami sudah saling kenal. Biarpun hari ini ada satu hal yang
sangat buruk, tapi itu bukan alasan bagiku buat musuhan sama dia.
Aku memang kecewa, tapi aku bukan pendendam. Goodluck aja lah buat mereka…”
Begitulah. Kecewa, tapi itu tak mengakhiri perasaanku padanya. Lagian
akhirnya aku juga faham, Erik sendiri juga anggota baru di band itu
jadi mungkin dia tidak bisa berbuat banyak buat membelaku. Aku bisa
memakluminya. Dan lama-lama aku juga sadar diri, bahwa alasanku gabung
di band itu memang karena ingin dekat sama Erik. Jadi, mungkin memang
layak kalau aku dianggap nggak punya dedikasi yang sungguh-sungguh buat
band itu. Ya, aku akui saja…
Aku masih tetap baik dengan Erik. Aku selalu ‘say hi’ tiap kali
berpapasan dengannya, dan dia selalu membalas dengan baik-baik juga.
Kadang kami juga ngobrol bareng kalau pas ketemu di kantin.
Aku masih selalu melongok halaman FB-nya. Kalau dia lagi bete atau
ada masalah, aku selalu kasih semangat. Meskipun kadang harus
berakhir dengan tombol ‘delete’. Tapi itu artinya, paling tidak dia udah
baca tulisanku. Dia mungkin menghapusnya karena orang lain yang usil,
tapi pasti dia tahu kalau aku peduli dengannya, dan aku selalu ingin
dia baik-baik saja.
Aku memang belum bisa berterus-terang. Ibarat timbangan, resiko
terburuk masih jadi sisi yang lebih berat dibanding harapan-harapan yang
indah di pikiranku. Aku cuma bisa memberi sinyal perhatian padanya…
Sayangnya, selalu saja muncul orang-orang yang suka ikut campur,
nyampah! Padahal aku selalu berusaha memberi perhatian yang wajar.
Walapun sering, tapi apanya yang berlebihan kalau aku
menyarankan Erik mengkonsumsi pisang buat jaga stamina? Apanya yang
berlebihan kalau aku menyemangati dia saat ikut ujian susulan??? Aku
nggak bisa menyangkal bahwa aku merasa peduli dengannya, tentunya bukan
supaya orang lain mengolok-olok kami! Sayangnya, itulah yang terjadi. Erik jadi sering kesal sama aku gara-gara komentar-komentar miring itu.
Kalau begitu, apakah berarti Erik sendiri sebenarnya juga mulai
menebak arti sinyalku? Mungkin. Tapi dia nggak ngasih jawaban apa-apa
selain kata ‘nevermind’, lalu log out dari Facebook tanpa permisi.
Seolah dia ingin menghindar dariku.
Ya sudah lah. Kalau dia memang kesal, itu hak dia. Tapi aku
juga berhak untuk tetap berharap, karena dia belum jadi milik
siapa-siapa.
Memaksa Erik buat menyukaiku? Tidak juga. Berharap jadi boyfriend?
Mungkin memang terlalu muluk, tapi siapa tahu? Segala kemungkinan masih
terbuka. Kita harus berusaha, kalau tidak ya nggak bakal tahu apa yang
layak kita dapatkan.
Mungkin aku memang perlu lebih bersabar. Tapi yang pasti...
Belum saatnya untuk menyerah.
***
Keranjang 3
Akhir Sebuah Semeter
Pagi ini sekolah benar-benar ramai. Tidak hanya oleh anak-anak yang
berseragam sekolah, tapi juga rombongan orang tua yang harus mengambil
raport anak-anak mereka. Ya, hari ini adalah hari pengambilan raport.
Emperan ruang kelas penuh dengan murid-murid yang sedang menunggu orang
tua mereka selesai mengambil raport. Ada wajah yang tenang-tenang saja,
tapi tentu saja sebagian besar berwajah tegang! Soalnya ini nggak cuma
mengambil raport, tapi juga pengumuman kenaikan kelas.
Kulihat Mama baru keluar dari ruang kelasku sambil memegang raportku. Jantungku deg-degan.
“Gimana, Ma, raportku?” dengan harap-harap cemas aku langsung menanyai Mama.
Wajah Mama rada angker, mungkin pertanda buruk.
“Nih, jeblok!” tukas Mama sambil menimpukkan raport ke pipiku.
“Haaa?!!” aku kaget ternganga. Langsung kubuka raportku, kulihat
nilai-nilaiku. “Iya sih, Matematika sama Fisika jeblok… Tapi kan yang
lain bagus!” seruku.
Syukurlah aku masih bisa lega! Karena intinya adalah…
“Yang penting naik kelas!” seruku girang.
“Tapi kelas dua dapat jatah kelas IPS tuh!” tukas Mama sambil jalan.
“Memang aku sendiri yang ngajuin buat masuk IPS kok! Lagian memangnya
kenapa kalo aku masuk IPS? Jangan pukul rata kalo IPS lebih jelek dari
IPA dong, Ma!” sanggahku sambil ikut jalan di samping Mama.
“Ihhh, kamu ini! Kan buktinya kamu sendiri tuh, nilaimu jelek gitu!” Mama masih ngedumel.
“Tuh, jadi berbelit-belit kan Mama! Yang jelek kan nilai IPA sama
Matematika, itu juga nggak sampai merah! Lagian nilai IPA-ku jelek ya
biarin! Memang tujuannya bukan mau masuk IPA! Ngapain mesti maksa masuk
IPA kalo memang nggak mampu? Yang bagus itu masuk sesuai bidangnya, Ma!”
balasku panjang, tidak mau kalah.
“Hiihhh, pasti gitu tuh, ngebales terus sama Mama! Ya udah, terserah
kalo mau jadi anak IPS…!” akhirnya Mama ngalah meski dengan muka
cemberut. “Mama mau langsung pulang. Kamu masih mau di sini apa ikut
pulang?”
“Nanti aja lah. Masih pingin kumpul sama teman-teman. Besok kan udah
libur lama, tiga minggu…! Bakal jarang ketemu lagi…” gumamku.
“Ya udah. Tapi nggak usah sampai sore pulangnya!” pesan Mama sambil meneruskan langkahnya.
“Sippp!” sahutku mantap, melepas Mama pulang duluan.
Kumpul sama teman-teman? Biasa saja, Tidak Begitu bersemangat. Itu pasti hanya alasan basa-basi saja. Kalaupun mau libur tiga minggu
kan nanti masih ada piknik bareng ke Bali. Terus nanti di kelas dua kan
juga masih bisa melihat teman-temanku lagi, meski mungkin beda kelas.
Yang susah aku lepas saat ini, bukan momen perpisahan dengan
teman-teman sekelas. Tapi tentu saja Erik si cute berambut spike itu. Selama liburan, aku bakal jarang bertemu sosoknya yang cakep dan keren
itu. Apalagi dengar-dengar dia pilih masuk ke kelas IPA, jadi kandas
semua harapanku buat bisa sekelas dengannya
Kulihat Erik baru saja menerima raport dari ayahnya. Aku amati dari
agak jauh. Hingga akhirnya ayahnya pergi juga, dan untung Erik nggak
ikut pulang. Ini dia, kesempatanku datang.
Aku lewati berisiknya anak-anak lain yang nongkrong di emperan ruang
kelas. Dengan santai kuhampiri Erik yang sedang duduk-duduk di teras
depan kelasnya. Kayaknya aku memang lagi mujur, nggak ada anak lain yang
duduk di dekat Erik. Jadi, aku harus segera ambil duduk di sebelahnya
sebelum keduluan yang lain.
“Dapat ranking nggak?” sapaku sambil duduk di sebelahnya.
Erik menoleh sejenak. Lalu kembali mamalingkan mukanya tanpa ekspresi. “Ranking empat…” jawabnya kalem.
“Wah, lumayan dong!” sahutku tetap bersemangat.
Baru saja membuka obrolan dengan Erik, teman-temannya mulai
berdatangan. Bukan teman kayaknya, lebih tepat disebut
penggemar-penggemarnya! Cewek-cewek pemujanya.
“Hei, Rik…! Raportmu gimana?” sapa si Kriting dengan suara melengking.
“Ahh, kalau Erik udah pasti bagus lah…! Iya nggak sih? Hahaha…!!!” si
Kerempeng menyahut sambil tertawa cempreng. Nggak kalah berisik
suaranya.
“Aduhhh, liburan bisa ketemu kamu nggak ya…? Kan nanti aku
kangeeeennn…!!!” yang satu ini malah pakai pegang-pegang lengannya Erik. Si Menor yang minta digampar sampai jontor.
“Pada ikut piknik kan? Nanti juga ketemu lagi lah…” balas Erik dengan murah senyum.
“Eh, geser dong duduknya! Cowok kok dekat-dekat sama cowok, toleransi
dong sama yang cewek” si Kriting menggusur dudukku, diikuti
teman-teman capernya yang langsung ikut berjubal menyingkirkan aku dari
samping Erik.
Sudah berisik, datang belakangan, langsung minta
tempat istimewa. Bawa-bawa toleransi lagi?! Bukannya biasanya cewek tuh
bawa-bawa emansipasi?! Kalau memang ini jaman emasipasi harusnya cewek
juga berani antri! Dasar cewek-cewek nggak konsekuen! Cari enaknya aja!
Bikin malu Ibu RA Kartini!
“Hayoo, Dimas mau dekat-dekat lagi nih sama Erik?” tiba-tiba ada yang lewat sambil menowel daguku…
Anak yang menowel daguku itu berlalu sambil ketawa-ketawa. Dia itu anak yang di Facebook punya nickname supernorak,
Joni Selalu Bahagia itu.
“Mampus sana!!!” umpatku emosi sambil melayangkan tendangan ke pantat anak norak itu.
Joni kabur sambil tertawa.
Dan…
Berikutnya adalah pemandangan yang bikin aku mati kutu…! Si Kriting,
si Kerempeng dan si Menor melongo memandangiku dengan tatapan aneh.
Sedangkan Erik kelihatan berusaha mengamankan mukanya, seolah nggak
ingin tahu apa yang sedang terjadi!
“Kenapa…?” tanyaku kikuk, dengan seratus persen yakin kalau mukaku sudah jadi ungu menahan malu!
“Nggak papa…!” tiga cewek itu kompak jaim.
Nggak cuma cewek-cewek reseh itu, tapi anak-anak lainnya yang melihat
tingkahku juga kelihatan berbisik-bisik sambil tersenyum-senyum.
Aku duduk lagi tanpa bicara apa-apa. Sedangkan cewek-cewek itu segera
nyerocos lagi dengan Erik. Erik masih enjoy menanggapi mereka. Cuma aku
yang diam dan sendiri di tempat paling pinggir… paling jauh dari Erik.
Cuma bisa mendengar obrolan mereka dengan rasa dongkol dan cemburu!
Kalau hatiku ini punya muka, pasti sekarang sedang berlinang air mata.
Ya Tuhan, aku merasa disia-sia…
Melewatkan menit-menit yang bagai neraka bagiku, akhirnya cewek-cewek
itu pergi juga setelah puas ngobrol dan cari perhatian di depan Erik.
Sekarang tinggal aku sendiri lagi yang duduk di sebelah Erik. Aku ingin mendekat, tapi aku telanjur malu gara-gara kejadian tadi.
“Akhirnya pikniknya ke Bali ya, Rik?” akhirnya terucaplah kalimat
basa-basi yang sangat basi ini.
“Kok masih nanya?! Kan udah diputuskan dari dulu!” jawaban Erik nggak
bikin aku kaget. Dan… Yang kucemaskan jadi kenyataan, Erik ketus!
“Hehehe… Iya ya…” gumamku gugup dan rikuh. “Sorry ya, Rik… Kayaknya akhir-akhir ini aku sering bikin kamu bete…”
“Ahh, kamunya juga sih… terlalu gitu!”
“Ha…? Gitu gimana…?”
“Ya kayak kemarin di FB itu lah! Kamu tuh keseringan seperti itu…”
“Aku… kan cuma ngasih saran aja, Rik…?”
"Tapi kalo keseringan kesannya jadi aneh tahu…?! Kita sekelas enggak, sodara bukan, tetangga juga bukan. Yaahhh… jelas aja lah anak-anak lain pada komentar macam-macam!”
Erik beneran jadi kesal. Mau ngasih perhatian aja kok jadi serba salah seperti ini ya…?
“Yaaa, teman kan nggak perlu mikirin kelasnya atau rumahnya…? Lagian
kita pernah satu band juga kan?” kilahku berusaha mencari argumen.
“Tapi kamu itu memang terlalu perhatian…! Pasti ada alasannya kan, kalo orang terlalu perhatian…?” gumam Erik setengah berbisik.
Perhatian. Terlalu perhatian. Memang benar! Skak matt! Erik
menonjokku dengan kata-katanya itu! Benar, Rik, perhatian itu pasti ada
sebab dan tujuannya… Jadi, apa kamu bisa menebaknya…?
“Memangnya nggak boleh ya kalo misalnya aku… perhatian sama kamu?”
Bicara apa aku barusan…??? ‘Memangnya aku nggak
boleh perhatian sama kamu???’ Kalimat apa itu tadi?!! Aku
hampir bilang terus terang kalau aku suka dengannya.
Erik memandangiku dengan mata tajam. “Jangan yang enggak-enggak lah!” tukasnya sambil buang muka.
‘Jangan yang enggak-enggak’, apa itu artinya dia menolakku…??? Atau…
dia cuma jengah dengan komentar orang-orang…??? Atau… Apa artinya…?!! Aku semakin bingung.
Awalnya cuma ingin menyapanya, sekedar ngobrol santai di akhir
semester ini… Tapi lagi-lagi semua yang aku lakukan jadi salah! Selalu
salah.
“Hai, Rik, ayo gih rapat pikniknya mau dimulai…!” salah satu teman Erik tiba-tiba lewat dan mengajaknya.
“Sipp, on the way…!” Erik pun langsung menyahut, dan cabut dari sampingku tanpa permisi.
Aku cuma bisa memandangi perginya, tanpa mengucap apa-apa… Dia bisa
segitu akrabnya dengan teman-temannya yang lain. Bisa enjoy, bahkan bisa
jalan sambil berangkulan, dengan tangan di pundaknya… Itu hal yang
biasa dalam pergaulan cowok, tapi coba kalau aku yang meletakkan
tanganku di pundaknya, apa dia nggak bakal cepat-cepat menepisnya?! Tadi
baru diajak ngobrol aja udah tanpa senyum sedikitpun, ketus pula!
Sulitnya menjalani perasaan ini! Aku tahu, ini karena apa yang ada di
dalam diriku berbeda dengan anak-anak lainnya. Apa sebaiknya aku
mengakhiri perasaan ini saja? Kalau bisa pasti sudah dari dulu!
Melelahkan, tapi aku tidak bisa mengakhirinya.
Bagaimana? Apa lagi yang harus kulakukan…?
Kulontarkan pandanganku berkeliling. Menatap suasana sekolah di akhir
semester ini. Keramaian yang sudah mulai reda, satu per satu
teman-temanku mulai pulang, menyisakan suasana sekolahan yang makin lama
makin lengang…
Inilah, akhir sebuah semester. Akhir sebuah tahun ajaran…
Dengan lesu akhirnya aku pun berdiri dari dudukku, mulai mengambil
langkah. saatnya pulang, dan kembali lagi kemari di tahun ajaran
baru nanti.
Satu tahun, proses yang cukup panjang dari sebuah perasaan. Dan
harapan masih saja tersisa setelah melewati berbagai tantangan dan
kepenatan…
Sekarang?
Just go home!
Bersambung ke keranjang 4...
Bersambung ke keranjang 4...
Unknown
20 Maret 2014 pukul 02.13
Aa rizqi... kok bersambung? ��
Cepettt posting yang selanjutnyaa doong.
Suka deh sama ceritanyaaa. Meskipun sedikit geli :3 hehehe mangat yaa aa