Keranjang 49
Keranjang 49
Strategi Baru
Aku duduk sendiri di bangku ini, di salah
satu sisi Stadion Sriwedari. Kuhirup segarnya udara sore hari yang agak
basah, menyalurkan hawa segar ke rongga-rongga syaraf di kepalaku yang
penat sejak berhari-hari. Kini terasa sejuk dan lebih jernih…
Beban yang bertubi-tubi menimbun, rasa
kehilangan, keputusasaan, lalu keinginan untuk bangkit… itu semua
prosesku untuk mencapai hari ini! Ya, memang masalah belum tuntas, tapi
setidaknya hari ini kelegaan sudah memberiku harapan yang baru. Thanks
God!
Kukeluarkan HP-ku, yang sudah dua hari
kumatikan. Sekarang aku tersenyum, bahkan tertawa saat merenungkan lagi
bagaimana aku melewati hari-hari yang berat itu. Yaahhh… Sekarang, aku
rasa sudah saatnya aku berhenti mengekang diri dalam kepesimisan.
Saatnya aku harus membuka diri lagi, menghadapi dengan lebih berani…!
Kuhidupkan HP-ku…
Lalu kembali terpekur di perhentian
sesaat ini. Meski udara sore ini terasa sejuk, tapi keramahan suasana
membuat atmosfer menjadi hangat di hati. Kerumun orang tampak asyik di
sudut-sudut mereka. Cengkrama di bangku taman, langkah santai di
trotoar, atau obrolan di kedai kaki lima… Aku melihat kehidupan, di mana
sepertinya orang-orang melupakan sejenak beban mereka. Ya, meski cuma
sejenak, kita semua selalu butuh itu…
Merenung di sini, terlintas
dalam ingatanku tentang masa-masa yang lalu. Sebelum ada Denis. Sebelum
kenal Fandy. Sebelum bergaul dengan teman-teman seperti Ben dan Misha…
Dulu aku sering menyendiri seperti ini. Duduk di sudut taman, menikmati
suasana sore hari, melamun bersama harapan-harapan seolah hanya itu yang
kupunya. Menikmati kesendirian ini, rasanya aku seperti bertemu kawan
lama…
Kuhirup aroma tehku. Menikmatinya dan
tersenyum kepada cahaya sore yang teduh keemasan. Kemudian HP-ku
berbunyi memecah lamunan. SMS beruntun masuk ke HP-ku. Aku sudah
menduga akan ada timbunan pesan seperti ini…!
Dari Misha, SMS tadi malam. “Aq tlp kok g bs? Gmn keadaanmu, Mas? Aq dngr dr tmn2, ktnya km hbs dkryok? Tp Denis blg kok km kclkaan?”
Dari Misha juga, SMS tadi pagi. “Gmn, Mas? Td Bu Yanti tny ke aq soal km, tp aq kan g tau apa2.. Bls please..”
Dari Misha lagi, SMS tadi siang. “Mas, aq mau jenguk km. Tp aq cari Denis di klsnya tnyt hr ini dia g msuk. HP ny jg g aktf. Kalian g apa2 kan?”
Denis hari ini nggak masuk? Tapi tadi
pagi dia kan berangkat ke sekolah? Berarti tadi berangkat tujuannya
nggak ke sekolah? Kemana dia…???
SMS Misha telanjur menumpuk beruntun, aku
malah jadi rada bingung mau balas gimana. Yaahhh, makasih deh Mis, udah
peduli sama aku… Tapi mungkin aku balas nanti saja, masih bingung buat
ngetik balasan…
Kemudian, sebuah nomor baru. “Mas,
gmn kndisimu? Aku dngr km dikroyok org? Moga2 km ngga papa.. Trs trng,
aku kpikran, aku ngga ngira klo mslhnya bs smpe sjauh itu…”
Ini dari siapa…?
Masih ada satu SMS lagi dengan nomor yang sama. “Oh, iya. Ini nmrku yg baru… Erik.”
Tuhan…!
Jantungku berdesir kencang selama
beberapa detik. Kudesahkan nafas… Tautan emosi ini rasanya masih saja
membingungkan, antara aku dan Erik. Aku nggak tahu kenapa Erik mengirim
pesan seperti ini padaku. Perasaanku dari masa lalu rasanya terungkit
lagi, padahal aku sudah menghadapi banyak hal menyakitkan sejak saat
itu… Aku ingin melupakan sakit hatiku padanya, tapi rasa gamang selalu
menggangguku tiap kali nama Erik terlintas. Aku memaafkannya, tapi
kekecewaanku padanya, kuakui… itu seperti luka yang masih labil…!
Entahlah… Aku nggak tahu harus membalas apa untuk SMS Erik ini…
Satu SMS lagi menyusul masuk ke HP-ku. SMS yang baru dikirim beberapa menit lalu…
“Mas, u dmn? Aku tau u lg bnyk mslh, sob. Aku mngkn bs bantu. Ksh tau aja u lg ada dmn. Oke?”
SMS dari Ben…
Anak satu itu, datang dan pergi.
Muncul dan menghilang. Ya, dia juga punya kehidupan. Dia pasti punya
masalahnya sendiri juga. Mungkin akulah yang sebenarnya kurang mengenal
dia, akrab dengannya tapi kurang mengerti kehidupan dia secara dekat…
Yah, anaknya juga rada misterius sih. Tapi ngomong-ngomong, aku kangen
juga sama sobatku satu itu…
“Aku lg duduk2 di barat stadion Sriwdri. Dkt wrng teh..” ketikku, lalu kukirim ke nomor Ben.
Semua temanku memberiku perhatian.
Kepedulian. Termasuk kawan lama ini, kesendirian di salah satu sudut
kota ini… Kawan tanpa kata-kata, yang masih saja mampu melenakanku
dengan wajahnya yang terlukis dalam cahaya-cahaya lampu kota yang
gemerlap di keremangan ambang senja… Dengan matahari yang rebah keemasan
di barat, dengan bintang-bintang yang mulai mengintip satu per satu di
langit yang mulai gelap. Kawanku ini masih sama, tapi mungkin aku sudah
tampak berubah baginya. Karena aku bukan lagi orang yang kemari untuk
melamun dan menghibur diri dari kesepian. Karena sekarang aku telah
berpikir, bahwa kenyataan memang nggak selalu seindah lamunan, kenyataan
seringkali jauh lebih pahit, tapi… keberanian seseorang dalam
menghadapi kenyataan akan jauh lebih bermakna dari segala bentuk
angan-angan…
Sebab saat kita berani menghadapi
kenyataan, aku percaya bahwa di sana akan selalu ada kesempatan untuk
mengubah yang pahit menjadi manis. Itulah yang disebut perjuangan.
Selalu ada harapan di dalamnya…
Dan itulah yang kubawa di tempat ini.
Bahwa aku sudah berusaha hari ini. Aku sudah memperjuangkan sesuatu.
Maka sejenak aku singgah mencari damainya senja hari, untuk sekedar
bersyukur… bahwa aku masih diberi kekuatan untuk menghadapi ini semua!
Senja makin remang. Aku masih terpekur di
sini. Untuk beranjak dari sini, rasanya seperti harus berpisah dengan
kawan yang aku masih rindu.
Tapi sekarang ada yang mulai mengalihkan
perhatianku, mataku mengamati seseorang yang baru turun dari motornya,
nggak jauh dari tempat aku duduk. Begitu dia membuka helmnya, ya… aku
rasa aku memang punya alasan untuk tetap di sini!
Anak berbadan tegap dengan rambut agak gondrong itu menghampiriku. Aku tersenyum lebar menyambutnya…!
“Hai, Bro…” sambutku.
“Parah…!” tukas Ben yang sudah berdiri di
hadapanku. Dia berdecak dengan wajah sedikit shock. Ya, dia pasti sudah
tahu soal perkelahian di kantin, dan juga pengeroyokan itu.
“Kenapa? Aku jadi nggak cakep lagi ya?” candaku. Aku tahu dia sedang melihati mukaku yang ada beberapa bekas memar.
“Syukurlah kalo masih bisa becanda…!” timpal Ben agak kesal.
“Habis gimana? Minta aku nangis?”
“Ahhh… Dasar! Terus ngapain kamu malah di sini? Mau proklamasi?”
“Proklamasi apa? Proklamasi gender…?
Warianya belum pada datang…! Nanti jam sembilan baru rame…!” balasku
masih becanda. Lalu kutarik tangan Ben. “Udahlah, sini duduk sini! Mau
teh nggak? Aku pesenin di warung…”
“Nggak usah!” cetus Ben pelan. Lalu dia
mengeluarkan rokok mild dari saku jaketnya. Sebentar kemudian asap sudah
mengepul dari mulutnya. “Kemarin aku telpon nggak diangkat?” sentilnya.
“Baru nggak terima telpon, ini bibir lagi perih nih habis kena jotos!” jawabku asal.
“Terus sekarang kenapa malah kongkow di sini? Nungguin disamperin mereka lagi?!”
“Ih, galak amat sih dari tadi? Aku stress tau?! Baru sekarang nih aku bisa rada tenang…!” timpalku jadi ikut rada kesal.
“Udah, sekarang cerita! Kenapa tuh sampai bonyok gitu?!” cetus Ben sambil melihatiku lagi.
“Huhhhh…” aku mendengus pelan. “Biasa
lah. Awalnya dari mulut gatel orang-orang yang suka ngejek aku. Sialnya
aja waktu itu Denis lagi sama aku. Ya udah, dihajar tuh anak-anak sama
si Denis…!”
“Geri kan?”
“Iya… Nah, itu udah tahu kan?!”
“Terus?”
“Ya gitu lah, ribut jadinya! Berantem!
Aku sama Denis, terus Geri sama Ronald, dibawa sama Pak Alex, disidang
sama BP. Aku pikir masalahku sama Geri udah selesai sampai situ, soalnya
sama-sama dapat sanksi. Nggak tahunya, pas aku pulang dicegat lagi sama
mereka di luar… Ya udah…! Aku dikeroyok sampai kayak gini nih…!”
“Kamu pulang sendiri?”
“Iya. Denis… nggak tahu dia, waktu itu dia pulang duluan…”
“Tapi Denis tahu kalo kamu dikeroyok?”
“Kalo sekarang sih paling dia udah tahu…!”
“Jadi kamu nggak cerita sama dia?”
Aku mendesah lesu. “Aku bingung. Aku
nggak bilang ke orang rumah kalo aku habis di keroyok. Aku cuma bilang
kalo aku kecelakaan motor. Yaaa… sial yang kebetulan juga sih, habis
dikeroyok aku jatuh dari motor! Motorku sampai bonyok! Tapi itu malah
bisa aku jadiin alasan buat nutupin soal pengeroyokan itu dari orang
tuaku… Aku nggak mau ortuku sampai tahu semuanya, soalnya kalo ketahuan
mau nggak mau aku juga harus buka diri kalo aku… tahu sendiri lah…! Bisa
mampus aku…!” jelasku berbagi keluh kesah.
Ben menatapku, dengan raut antara heran
dan prihatin. “Kenapa kamu nggak bilang aja terus terang ke Denis?
Selama ini dia udah tahu masalahmu kan? Kamu mau hadapi semuanya
sendirian…?”
“Sebenarnya… Aku sama Denis baru nggak
akur sekarang… Terus terang aku marah sama dia, gara-gara dia ngeladenin
Geri berantem di kantin itu… Semua masalahku jadi meledak…!”
“Dia kan cuma pingin belain kamu?!”
“Iya aku tahu. Cuma hasilnya nggak
setimpal, masalah malah jadi tambah parah! Kamu tahu nggak, habis
perkelahian di kantin itu, aku disidang sama BP…! Akhirnya guru-guru BP
itu jadi tahu kalo aku… ya gitu lah…! Dan Pak Alex itu yang paling
ambisius buat nekan aku! Dia itu sampai niat banget buat menemui ortuku,
buat ngelaporin semuanya! Gimana aku nggak stress coba?! Habis itu, aku
masih dikeroyok sama gengnya Geri. Parahnya lagi, waktu itu aku lagi
sama Fandy dan dia juga ikut dipukuli! Jadi kacau juga hubunganku sama
Fandy…! Gara-gara peristiwa di kantin itu, sekarang hancur semuanya…!”
desahku lesu.
Sesaat Ben terdiam. Aku juga…
“Fandy… gebetanmu itu kan?” celetuk Ben tiba-tiba.
Gubrak!
“Malah ngomentarin itu sih?!” sentakku jengkel.
“Ya iya, itu kan masih ada hubungannya sama masalahmu kan? Gimana dia?”
“Huhhh… Dia juga udah tahu soal aku, Ben…
Yaaahhh… dia juga nebak kalo aku suka sama dia… Tebakan yang peka!”
cetusku dengan tawa kecut. “Awalnya, kayaknya dia dengar dari
omongan-omongan di sekolah. Terus dia mulai berniat ngejauhin aku. Nggak
tahunya malah ada perkelahian di kantin itu, ditambah pengeroyokan yang
bikin dia kena getah juga… Pastinya makin cacat imejku di mata dia…!”
Ben terpekur memandangiku. “Kamu ditolak?”
“Kalo aku diterima, nggak bakal aku
manyun di sini sendirian! Minimal pasti sama dia lah, jalan-jalan di mal
cari hiburan atau nongkrong di Pizza Hut! Atau tiduran di kamar dia…!”
tukasku agak sengak. Masa nggak bisa menyimpulkan sendiri sih?!
Pura-pura dodol nih anak!
“Hmm…” gumam Ben sambil tersenyum geli. “Tapi kamu nggak desperate kan…?”
“Haha… Lucu ah, komentarmu. Kalo sedih ya
pasti sedih lah…! Shock hubunganku yang udah baik sama dia berakhir
drastis kayak gini! Tapi… aku juga sadar aku ini banyak masalah… Dan aku
juga terbukti nggak bisa ngelindungin dia… Kalo saja dia itu juga suka
cowok, aku nggak yakin aku ini cowok ideal yang dia cari…! Hahaha…” aku
tertawa pahit, menertawai diriku sendiri.
Ben terdiam. Cuma ikut memberikan senyum masam sebagai komentarnya…
“Tapi… kenapa dia juga sampai dipukuli…?” tanyanya kemudian.
Aku mendengus lesu. “Aku nggak tahu.
Mungkin karena dia temanku, dan sedang berada di tempat yang sama…
Udahlah, Ben. Jangan ungkit soal dia dulu… Please…” gumamku lirih.
Nyesek…
“Oke, sorry…” bisik Ben sambil menepuk-nepuk pundakku. “Terus, gimana rencanamu sekarang…?”
“Huhhh… Saat ini prioritasku bukan soal
Geri. Saat ini aku lebih terganggu sama rencana Pak Alex yang mau
ngelaporin aku ke ortuku. Itu yang paling genting!” tandasku.
“Rencanamu?”
Aku tersenyum simpul. “Sebenarnya bukan
rencana lagi sih. Aku sudah melakukan sesuatu hari ini. Ya, baru sore
ini tadi, sebelum aku mampir ke sini…”
“Apa?”
“Aku mencatat pelanggaran Pak Alex.
Beberapa kode etik gitu lah. Itu yang akan aku pakai buat melawan
arogansi guru satu itu! Sore ini tadi aku baru saja menemui Wali
Kelasku, Bu Yanti. Aku minta bantuan dia. Syukur, Bu Yanti ternyata
bersedia membantuku buat mencegah rencana Pak Alex yang ngebet mau
melapor ke orang tuaku…”
“Kode etik?”
“Ya. Semacam aturan yang baku dalam
konseling, Pak Alex nggak mungkin mengelak! Pelanggaran yang dia lakukan
sangat jelas kok!” ujarku dengan yakin.
“Pikiranmu kok bisa sampai ke situ ya…?” tanya Ben, memandangiku terheran-heran.
Aku tertawa. “Hahaha… Soalnya aku yakin,
tiap hal pasti punya aturan. Dan tiap jabatan pasti punya batas
wewenang! Aku cari-cari di internet, akhirnya dapat juga yang aku cari…!
Namanya konseling itu ada aturannya juga, dan Pak Alex melanggar aturan
itu!” jelasku tegas.
Ben tampak berpikir-pikir. “Tapi… kamu yakin semuanya akan selesai dengan itu?”
“Nggak serta merta lah… Tapi itu langkah awal yang paling tepat. Menurutku.”
“Tapi itu cuma menyelesaikan masalahmu sama BP kan? Gimana dengan Geri?”
“Seperti yang kubilang, itu cuma langkah
awal…!” cetusku, jadi makin antusias membeberkan rencanaku ke Ben. “Coba
bayangkan, kalo aku melaporkan Geri ke sekolah sekarang, pihak sekolah
pasti akan menelusuri akar masalahnya. Mau nggak mau, pasti soal gay
akan disinggung lagi! Masalahnya, arogansi BP dibawah pengaruh Pak Alex
pasti lagi-lagi akan menyudutkanku! Makanya, Pak Alex harus ditangani
lebih dulu! Aku minta perlindungan Bu Yanti biar BP nggak bisa
semena-mena! BP pasti juga akan nyadar, kalo Bu Yanti punya wewenang
untuk melindungiku…! Kalo BP sudah bisa bersikap netral, maka aku
tinggal melaporkan Geri tanpa perlu kuatir adanya tekanan dari pihak
sekolah. Aku tetap akan membalas Geri, tapi aku butuh ‘hakim’ dan sistem
yang benar-benar adil agar aku bisa menang! Makanya, pihak yang sensi
harus dijinakkan dulu, terutama Pak Alex karena dia yang paling getol
dan berpengaruh…! Akan aku skak dia lewat pelanggaran Kode Etik yang dia
lakukan!”
Ben termangu-mangu mendengar penjelasanku…
“Tapi, katakanlah BP akhirnya berpihak ke
kamu, apa mungkin sekolah menyidangkan kasus itu tanpa memberi laporan
ke orang tuamu…?” kulik Ben tampak sangsi. “Katakanlah Geri nanti
dihukum, apa ada jaminan bahwa pihak sekolah nggak akan ngasih tahu
orang tuamu? Bagaimanapun juga kamu yang jadi korban dalam kejadian itu
kan?”
“Aku sudah bicara dengan Bu Yanti soal
kondisiku, semuanya…! Dan Bu Yanti bersedia melindungiku dan menjaga
supaya masalah dapat diselesaikan tanpa perlu melibatkan orang tuaku. Bu
Yanti juga akan berusaha membujuk Bu Kamti buat menangani masalah ini,
katanya beliau pasti bisa membantuku…”
Ben terkesima mendengar penjelasanku.
Lalu dia mengangguk pelan. “I see… Aku juga yakin kamu akan aman kalo Bu
Kamti ada di pihakmu…” ucapnya menerawang.
“Oh, ya?”
“Ya. Dia memang killer. Tapi sebenarnya
dia punya empati yang besar… Dulu waktu aku kena kasus drugs, aku hampir
saja dikeluarkan dari sekolah… Tapi aku beruntung karena yang menangani
kasusku Bu Kamti. Banyak orang pasti nggak nyangka, kalo di luar
sekolah Bu Kamti itu juga jadi aktivis LSM. Dia menjadi Konselor di
pusat rehabilitasi narkoba di Solo. Dia jelas lebih bijaksana lah…”
jelas Ben dengan senyum samar.
Aku terpana. “Kamu serius?”
“Ya.”
Aku tersenyum makin lega. “Hhhhhh… Thank God…!”
“Tapi, aku tetap nggak yakin itu akan efektif buat nyelesein masalahmu sama Geri…!” cetus Ben, mengungkit soal Geri lagi.
“Kenapa?!” henyakku heran.
“Kita berharap saja BP akhirnya berada di pihakmu. Lalu katakanlah Geri dapat skorsing…”
“Mungkin nggak cuma skorsing…” aku
langsung menyahut. “Seingatku, pengeroyokan dan tawuran itu poin-nya
sangat tinggi. Sekitar 400-an! Kemarin dia sudah kena poin 150. Kalo
kulaporkan, dia mungkin akan dikeluarkan dari sekolah!”
“Nah, sekali lagi, kalo Geri sampai
dikeluarkan dari sekolah maka berarti itu kasus serius! Kamu yakin,
kasus seserius itu benar-benar nggak akan sampai ke telinga orang
tuamu…?”
Kali ini… aku mulai berpikir lagi, dan mulai ragu saat Ben menegaskan pendapatnya…
“Itu yang pertama!” cetus Ben
melanjutkan. “Kedua, katakanlah orang tuamu benar-benar nggak akan
diberitahu soal pengeroyokan itu, dan kamu berhasil membuat Geri
dikeluarkan dari sekolah… Tapi, apakah ada jaminan bahwa dia nggak akan
mencegat kamu di suatu tempat di luar sekolah, kemudian ngeroyok kamu
lagi, dan lebih parah dari yang kemarin…??? Sekolah cuma bisa melindungi
kamu selama kamu berada di lingkungan sekolah… Di luar sekolah, siapa
yang bisa menjamin?”
Aku makin terdiam, tercenung dalam
keraguan yang sekonyong-konyong kembali meliputiku…! Perasaanku segera
menjadi resah lagi…! Pendapat Ben terasa ada benarnya…
“Orang yang mentalnya tukang keroyok
kayak Geri itu, kamu nggak bisa mengharapkan sikap fair dari dia!
Buktinya, habis berantem di kantin dia masih mukulin kamu di luar kan?
Dia bukan orang yang begitu kena poin pelanggaran kemudian langsung
sadar dan bertobat. Kamu terlalu naif kalo berpikir ke situ! Aku juga
yakin, yang diancam pasti nggak cuma kamu. Tapi Denis juga…!” tandas Ben
makin membuatku tercekat.
“Iya… Kamu benar, Ben…” desisku tersadar,
seketika makin cemas. “Sebenarnya, Geri memang mengancam Denis juga…
Dia bilang, kalo dia juga bakal menghajar Denis…!”
“Nahhh…?! Seharusnya kamu bilang terus terang ke Denis! Karena dia juga diancam?!!”
“Yaa… Aku… aku terlalu marah sama Denis,
dan aku pikir toh Denis lebih pintar jaga diri…! Aku pikir nggak mungkin
habis ngeroyok aku, terus Geri masih nekat ngeroyok Denis… Aku kira dia
cuma nakut-nakutin…?” racauku bimbang.
“Gimana kalo dia serius? Seserius dia mukulin kamu?!” tukas Ben.
Aku makin gundah. Kuusap wajahku dan menghela nafas panjang…
“Iya… aku terlalu kecewa dan marah sama
Denis, makanya aku nggak ngomong ke dia… Aku memang jadi malas ngomong
ke dia…! Dia juga nggak ngomong apa-apa ke aku… Tapi… sekarang aku jadi
kuatir, hari ini dia sampai bolos sekolah segala…!” gumamku cemas.
“Orang kayak Geri itu nggak akan berhenti
sampai dia puas…! Gimana kalo dia nggak pernah puas?!” lontar Ben,
membuatku tambah kuatir!
“Jadi… Aku harus gimana…?” akhirnya, aku mentok pada kebingungan…
Ben mendesah seraya melempar puntung rokoknya ke tanah. “Aku tadi udah bilang, aku mungkin bisa bantu kamu…!”
“Aku kira cuma buat jadi pendengar setia dari masalahku…?”
“Hahahaha…” Ben tertawa kecut.
Seperti ada gelagat yang aneh dengan tawanya…
“Kok ketawa? Apa yang kamu pikirkan buat membantuku…?!” desakku ke Ben yang masih memasang wajah kecut.
“Hhhhh… Sebelumnya, aku minta maaf ya kalo misalnya ada kenyataan yang nanti bikin kamu marah…” gumam Ben pelan.
“Hah…? Jangan bikin tegang ya! Kenapa…?!” desakku makin gelisah.
“Kamu masih ingat, siapa aja yang sama Geri waktu ngeroyok kamu?”
“Nggak. Kayaknya bukan dari sekolah kita.
Kayaknya teman gengnya Geri dari luar sekolah… Si Ronald yang waktu di
kantin ikut berantem, nggak ada waktu pengeroyokan itu…” gumamku
mengingat-ingat.
“Kamu pernah lihat logo ini?” Ben memperlihatkan tas kecilnya, jarinya menunjuk logo bordiran di tas itu.
Aku mengamatinya…
“Aku… yaa… Aku pernah lihat!” aku
terkesiap seketika, saat melihat logo bundar warna merah bergambar dua
tangan terkepal yang bersilang, di tasnya Ben. “God! Aku ingat, logo itu
sama dengan yang ada di kaos Geri waktu dia mukulin aku…!!!”
“Kaosnya warna hitam?”
“Iya…! Beberapa temannya juga pakai kaos
yang sama…! Logonya ada di bagian dada, besar…!” aku makin terbelalak
terheran-heran. “Ada apa nih??? Kenapa sih…?!!”
“Hahaha… Logonya gampang diingat ya?”
ujar Ben disertai tawa pahit. “Aku juga punya baju seperti itu. Terus
terang… Geri itu satu sasana denganku…!”
“Hahhh…? Sasana…?”
“MMA.”
“MMA…?” timpalku tercengang-cengang.
“Mixed Martial Art!” cetus Ben sambil
menyunggingkan senyum. “Kemarin ada temanku di kelas yang bilang,
katanya dia ada di tempat kejadian waktu kamu dikeroyok. Dia nyeplos,
dia bilang logo di tasku ini mirip sama logo yang dia lihat di kaosnya
Geri waktu itu. Aku jadi penasaran… Aku udah nggak gabung di sasana itu
lagi, jadi aku tanya ke temanku yang ada di sana. Ternyata benar, Geri
juga gabung di sasana itu dan dia anggota aktif…!”
Aku terhenyak, nggak tahu harus berkomentar apa… Kaget!!!
“Sorry kalo ini bikin kamu marah…” ucap Ben.
“Nggak, nggak apa-apa… Aku memang kaget
sih… Tapi nggak ada yang salah sama kamu kok… Buatku itu kebetulan aja…”
ujarku masih agak shock. “Jadi, bantuan yang kamu maksud…?”
“Terus terang aku salut dengan usahamu
sih, Mas. Tapi menurutku, diplomasi dengan guru hanya akan ngefek buat
menghentikan Pak Alex. Buat menghentikan Geri, itu nggak akan ada
gunanya! Kita harus bikin dia jera dengan cara lain. Cara yang lebih
cocok buat dia…!” cetus Ben.
Aku mencerna kata-kata Ben. Dan satu kesimpulan yang terbayang di kepalaku membuatku tambah kaget…!!!
Ben memandangiku lekat dengan senyum tajam. “Aku bisa bantu. Tapi kamulah yang harus memutuskan…!”
Aku terbelalak…!
“Ben… KAMU MAU MENGHAJAR GERI…?!!!”Bersambung...