RSS

Karung 10



Karung 10

Stasiun Patah Hati


 
Belum terlalu malam saat aku pulang dari rumah Misha. Baru jam delapan kurang. Kenapa malam harus masih sedini ini? Mataku masih jauh dari kantuk. Harus kuapakan patah hati ini? Menghayatinya sampai berjam-jam ke depan, sampai mataku capek sendiri, lalu tertidur dan tak ingat lagi? Ngenes banget ‘malam terakhir’ku ini.

Mungkin aku harus nyanyi The Winner Takes It All sampai puluhan kali hingga rasa galau ini lama-lama tawar sendiri. Lalu malam ini aku tetap bisa tidur nyenyak, jauh dari mimpi-mimpi tentang Misha dan cowok pujaannya yang tak punya lesung pipit itu. Huh, aku yakin si Amos itu nggak tahu lagu The Winner Takes It All. Dia pasti cuma tahu lagu-lagu jaman sekarang yang liriknya standard. Dan dia nyanyinya fals!

Mas, di saat gue lagi berantakan gini, kenapa gue masih harus nyariin lu? Kenapa bukan lu yang nemenin gue, ngajak gue ngobrol, hibur gue dengan segudang lagu bagus yang lu tahu? Gue akui selera musik lu keren! Kenapa harus gue yang terus perhatiin lu?

Beneran, rasanya pingin bisa ngobrol dengan Dimas. Di sini, di meja dapur. Sambil minum cappuccino, ngemil sosis saus mayo yang sering dibilang Dimas cemilan ‘porno’. Ingin kudengar bagaimana Dimas mengomentari malamku yang buruk ini.

Aku ingin bertanya, “Mas, waktu lu ditolak Erik rasanya gimana?”

Sebenarnya aku sudah tahu, sih. Dimas sudah menceritakannya. Dia nggak cuma patah hati, tapi juga harga dirinya diinjak-injak oleh berbagai macam cemooh. Si Erik semprul itu membocorkan ke teman-temannya bahwa Dimas homo. Malam yang harus dilewati Dimas waktu itu pasti lebih buruk dibanding malam yang harus kulewati saat ini. Tapi dia mampu melewatinya. Jelas, lah. Memangnya siapa waktu itu yang nelepon dia malam-malam, menghibur dan menemani dia sesenggukan? Gue!

Aku juga tahu gimana ceritanya waktu Dimas ditampik Fandy. Gara-gara insiden aku menghajar Geri di kantin, Fandy jadi dengar soal siswa gay yang dipermasalahkan di sekolah kami. Habis ditampik Fandy, Dimas gantian dihajar Geri dan kawan-kawannya. Apes banget Dimas waktu itu. Lebih apes dibanding aku. Tapi yang penting akhirnya dia bisa pacaran juga dengan Fandy. Mereka sukses pacaran selama hampir dua tahun. Memangnya siapa yang nyomblangin Dimas sama Fandy? Gue!

Sialan lu, Mas! Di saat giliran gue yang lagi patah hati gini, lu malah minggat!

Tapi aku sudah belajar satu hal dari Dimas. Dan sesungguhnya itu adalah hal yang kukagumi. Dia orang yang pemaaf. Dia memaafkan Erik yang secara ‘sadis’ sudah mengecewakannya. Dia memaafkan Fandy yang sempat bersikap munafik padanya. Sekarang Erik bersahabat dengannya. Sekarang Fandy pacaran dengannya (biarpun putus, tapi masih saja surat-suratan).

Kubayangkan aku bertanya, “Mas, menurutmu aku cukup jadi sahabat Misha saja, atau harus terus berusaha untuk jadi pacarnya?”

Secara serius Dimas pasti akan menjawab sok bijak, “Sudah, jadi sahabatnya saja. Dulu waktu ditolak Erik, aku juga nggak maksa. Akhirnya aku dapat cinta yang lain juga, kan?”

Kalau secara bercanda, dia akan menjawab, “Sudah, nggak usah ngejar Misha. Gantiin aku aja jadi pacar Fandy.”

Dan, plak…! Kutabok mukanya pakai telenan!

“Tapi perasaanku ke Misha sudah kupendam selama dua tahun, Mas. Sedangkan perasaanmu ke Erik waktu itu baru berjalan satu tahun. Perasaanku ke Misha jauh lebih berat!” begitu aku akan menggugat nasihatnya.

Dia pasti akan menjawab, “Salahmu sendiri, cinta dipendam lama-lama!”

“Karena kupikir Misha itu punya perasaan yang sama denganku, dia tinggal menunggu aku mengatakannya. Aku nggak kepikiran kalau Misha bakal direbut sama si Amos itu!”

“Dasar rewel! Ya sudah, gantian kamu rebut si Amos sana!”

Pok…! Kali ini gantian kupakai panci teflon untuk menampar Dimas.

Memang aku yang terlalu besar kepala, sih. Mentang-mentang orang yang kusukai juga menyukaiku, aku jadi merasa aman untuk menunda-nunda mengatakannya, dan malah sibuk mengurusi keraguanku sendiri. Aku tidak belajar dari pengalamanku sendiri: Leah yang sudah jadi pacarku saja bisa direbut oleh si Oge, apalagi Misha yang belum jadi pacarku. Tidak salah kalau cowok bernama Amos itu merasa berhak untuk mendekati Misha. Tidak salah jika Misha akhirnya memilih untuk dekat ke cowok yang lebih bisa dia harapkan. Dan cowok itu bukan aku.

Memang akulah yang bodoh.

Kalau saat ini aku ngobrol dengan Dimas, mau nggak mau aku juga akan menceritakan soal Leah. Dimas pasti akan meledekku habis-habisan! Dia pasti senang mendengar fakta bahwa aku pernah menjadi korban selingkuh.

Dimas pasti akan mulai pamer, “Aku punya pacar cowok, tapi dia nggak pernah selingkuh.”
Aku bisa jawab, “Tapi lu ditendang sama calon mertua lu!”

“Tapi pacarku tetap rela mencariku, kan?”

Iya, deh. Aku kalah.

Kalau aku jadi direktur majalah People, akan kumasukkan nama Dimas-Fandy untuk nominasi The Most Intriguing Gay-Couple Of The Year! Lalu akan muncul adaptasi baru atas cerita Romeo & Juliet, menjadi versi Romeo & Julio yang filmnya disutradarai Ryan Murphy atau Rob Marshall. Bagaimana denganku? Aku hanya akan menjadi nama di balik layar. Mungkin suatu saat mereka berdua menikah di Canada, di stage mereka berduet lagu Shania Twain When You Kiss Me. Aku di belakang gedung sendirian menyanyi lagu Celine Dion All By Myself, sambil memandangi danau yang membeku.

Wow! Tiba-tiba aku bisa berimajinasi sejauh itu. Kesepian memang kawan yang tepat untuk diajak berimajinasi. Kesepian dan patah hati, pas!

Kudengar deru mesin mobil di luar rumah. Kurasa Papa dan Mama sudah pulang, entah dari mana.

“Lho, kamu sudah pulang, Den?” Mama menyapaku di dapur. Padahal lebih tepat aku yang menyapa, lho, sudah pulang, Ma?

“Dari mana, Ma?” balasku.

Mama meletakkan bungkusan di depanku. “Habis cari makan sama Papa. Ini Mama bawain buat kamu.”

Syukurlah, Papa dan Mama sudah makin akur lagi. Biar kutebak, mereka habis makan malam di Pasar Gede. Di salah satu sudut persimpangan di sana ada kedai mie yang sangat terkenal di Solo, kedai makan favorit Mama. Tebakanku ternyata benar, oleh-oleh yang dibawakan untukku adalah mie kuah khas kedai itu.

Tuh, Papa dan Mama yang sudah nggak muda lagi masih saja punya momen romantis! Makan malam berdua, di kedai favorit mereka. Ah, jangan-jangan mereka juga makan semangkuk berdua? Bikin iri saja. Aku sudah mendapatkan kesempatan dengan Misha, tapi malah kubiarkan hangus karena kebodohanku sendiri.

“Tadi ada temanmu mencari kemari,” Mama bercerita sambil menemaniku makan mie. “Katanya tadi siang dia sudah kemari. Jauh-jauh, lho, dari Medan…”

Aku tersedak.

“Hati-hati kalau makan,” sela Mama.

“Leah?” cetusku.

Mama tersenyum tanpa mengiyakan. Tapi memang sudah jelas jawabnya, pasti Leah!

“Ngapain lagi dia kemari?”

“Katanya tadi siang dia lupa bawa oleh-oleh. Sore tadi dia kemari lagi membawakan oleh-oleh buat kamu. Tapi kamu malah nggak ada di rumah.” Lalu Mama menghampiri kulkas. Mama mengeluarkan sebuah bungkusan kardus, membawanya padaku. “Ini oleh-olehnya.”

Aku terpaku memandangi kardus berukuran sedang yang ditaruh di depanku. Perlahan, aku membukanya. Jantungku berdesir….

“Dia benar cuma teman?” tanya Mama menyelidik.

“Dia cerita apa saja sama Mama?” aku balik memancing.

Mama menghela napas singkat. “Katanya kalian pernah pacaran. Terus sejak kamu pulang kemari, kalian nggak saling berhubungan lagi. Sekarang dia pingin kuliah di Jogja. Sekalian mengunjungi kamu kemari. Itu saja, kok.”

Wajahku sedikit meremang. Masih terpaku memandangi isi kardus. “Cuma cinta monyet, kok, Ma,” gumamku canggung.

Mama tertawa pelan. Tak berkata apa-apa. Bisa jadi sebenarnya Mama keberatan aku pernah pacaran. Tapi Mama sengaja memilih tak berkomentar. Karena sejak masalah Dimas dan Fandy terkuak, persoalan pacaran mungkin menjadi hal yang sensitif untuk dibicarakan di keluarga ini.

“Dia cuma cerita itu?” selidikku. Sambil meneruskan makan mie, meskipun kabar soal Leah membuat perutku tiba-tiba merasa kenyang.

“Dia mau kemari lagi besok. Tapi Mama bilang kalau besok kamu akan pergi.”

Makanku lagi-lagi terhenti. Perasaanku tambah gelisah. “Gimana Mama jelasin ke dia?”

Mama tampak canggung. “Mama bilang kalau kamu mau menjemput kakakmu.”

“Mama juga bilang aku akan menjemput ke mana?”

Mama menatapku sejenak agak ragu. “Ya. Mama bilang kamu akan ke Bali….”

Lututku terasa lemas. “Dia juga tahu kalau aku akan berangkat dari stasiun?”

“Ya. Nggak apa-apa, kan, kalau Mama bilang begitu? Masa, sih, dia akan ikut? Dia cuma ingin tahu saja kabarmu, karena sudah lama nggak ketemu.”

Sayang sekali, Mama nggak tahu gimana watak Leah. Dia cewek kaya, manja, dan tekadnya keras. Aku benar-benar harus mencemaskan ini! Tapi semoga Leah tak senekat yang kubayangkan. Jika dia nekat menguntitku ke Bali, itu benar-benar gila! Semoga tidak.

“Sudah makannya? Mie-nya belum habis gitu?”

“Sudah kenyang, Ma,” jawabku, menyingkirkan mangkukku.

“Ada yang mengganggu pikiranmu?”

Aku terdiam.

“Mama salah, ya, bilang ke temanmu itu kalau kamu mau ke Bali?” tanya Mama tampak cemas.

Aku berkilah, “Nggak, Ma. Yang penting Mama nggak cerita soal masalah Dimas, kan?”

Mama tersenyum sayu. Menggeleng pelan. “Nggak perlu sampai sejauh itu, lah.”

Aku mengangguk. “Ya sudah. Aku cuma kuatir Mama membuka terlalu banyak.”

Sebenarnya, dengan mengatakan aku akan ke Bali dan berangkat dari stasiun, itu sudah terlalu banyak. Tapi sudahlah, aku tak mau menambahi perasaan bersalah dalam diri Mama. Karena keluarga ini baru saja sedang membaik.

“Jam berapa kamu berangkat besok?” Papa menyusul ke dapur sambil melontarkan pertanyaan padaku.

“Jam delapan harus sudah siap di stasiun, Pa.”

“Fandy jadi ikut?”

“Ya. Tadi dia sudah SMS, dia sudah siap. Besok langsung ketemu di stasiun.”

Aku menambahi penjelasan bahwa Erik juga akan ikut. Bahwa dia berjanji bisa membantu banyak selama di Bali nanti, karena dia kenal komunitas backpacker di sana. Jadi Papa dan Mama tak perlu merasa kuatir.

“Kamu cepat istirahat. Biar besok siap berangkat,” pesan Papa.

Aku mengangguk. Sebelum menuju ke kamar, kupertimbangkan sejenak… lalu aku tak keberatan mengambil satu buah dari beberapa yang ada di dalam kardus. Oleh-oleh dari Leah. Sebuah cupcake yang mengingatkanku pada hadiah Valentine yang pernah kuberikan kepadanya. Warnanya pun sama. Tapi cuma warnanya, sedangkan rasanya beda. Ini bukan cupcake gula merah, ini cokelat. Memang, ada sesuatu yang tak perlu kita ulang dalam hidup. Tapi sekedar untuk menghormati jerih-payahnya, aku akan makan satu yang kuambil ini.

Malam sudah menunjuk angka sepuluh di jam dinding. Sesuatu yang patah tetap tak tersambung. Tapi nggak mungkin juga aku menunggu sebuah happy ending demi bisa tertidur malam ini. Karena akhir yang bahagia tidak berada di malam ini. Entah di malam kapan. Siapa yang tahu?

Aku rebah menunggu mataku terpejam, berusaha sebisa mungkin melupakan setiap hal pahit yang kutemui hari ini. Tapi malah suara-suara sayup tak henti mengiang di telingaku. Suara itu berasal dari radio di kamar Papa. Sejak mendapat radio antik dari pasar loak, Papa memang jadi suka menyetel radio kalau sedang di rumah. Apalagi tiap malam menjelang tidur, kayaknya wajib! Suaranya kadang memang agak berisik. Dimas yang biasanya protes. Tapi aku nggak pernah protes, padahal kamarku paling dekat dengan kamar Papa. Soalnya, kadang-kadang aku bisa menemukan sensasi tersendiri dari suara radio jadul itu.

Ya, selera Papa memang jadul. Sebelum hobi dengan radio, dulu Papa suka menyetel kaset pita. Biarpun juga punya koleksi compact disc, dia tetap lebih suka memutar kaset-kaset pita. Tapi karena katanya sekarang kaset pita sudah tidak diproduksi lagi, Papa mulai jarang memutarnya. Takut kalau pitanya keriting, atau nglokor. Dia pilih menyimpannya baik-baik sebagai barang antik. Sekarang dia pilih mengisi atmosfer rumah dengan suara radio, yang nggak kalah antik.

Ketika lagu itu mengiang di radio, aku seperti dikirim ke masa lalu, ke masa di mana aku belum lahir. Aku seperti sedang berada di adegan film musikal era 70′an. Aku di sebuah bar yang bercat warna-warni norak dan agak pudar. Para lelaki berambut klimis dan berkumis rapi, celana mereka cutbray, kemeja mereka ketat dan kancing tak sepenuhnya terkait demi memamerkan bulu dada. Mereka tak berdansa hip hop. Tapi mereka disco, break dance, lekuk tubuh mereka yang gempal seperti larva kumbang kelapa yang menggeliat-geliat. Hiiyyyy….

Kulihat Leah memakai kaos you can see, celana jins ketat dan cutbray. Rambutnya jadi keriting setengah leher, dan sekitar kelopak matanya memakai make up kebiruan. Alih-alih terlihat cantik, malah seperti orang babak belur. Dia telah menjelma makhluk jadul. Dia mamaksaku untuk ikut berdansa dengannya. Tapi aku menolak. Ogah gue!

Aku pilih menghampiri Misha yang tampil lebih sederhana, berkaos merah jambu dirangkap blazer putih berlengan lebar dengan motif bola-bola. Bandonya biru pastel. Dia juga menjadi makhluk jadul, tapi sedikit lebih menarik. Sayangnya, saat aku mau mengajak Misha berdansa ternyata sudah ada pria lain yang menduluiku. Pria itu adalah sosok bahula berambut kribo, penuh bulu dada, dan wajahnya mirip Amos. Sialnya, Misha mau dengan cowok itu!

Aku frustasi. Keluar dari bar itu. Minum bir sepanjang jalan pulang. Mabuk! Sempoyongan mengacungkan botol bir yang modelnya sama dengan botol kecap. Atau jangan-jangan yang kuminum memang kecap?

Eh, buset! Kenapa imajinasiku bisa sejauh itu? Oh, sepertinya aku tidak berimajinasi. Aku sedang bermimpi. Mimpi singkat di tengah sebuah lagu. Saat lagu selesai, mimpiku buyar.

Rupanya itu menjadi lagu penutup…

“Demikianlah para pendengar yang budiman, lagu penutup untuk perjumpaan kita di acara Malam Kenangan,” begitu terngiang suara penyiar itu menutup acaranya. Suaranya terdengar ngebas, tua, dan lawas. “Namun jika Anda belum tertidur, masih ada satu acara lagi dari kami untuk menemani malam Anda dengan tembang-tembang yang lebih baru. Saya Boman Baskara, undur diri. Selamat malam….”

Entah stasiun radio mana itu. Suaranya beberapa kali dihiasi decit-decit mendengung, khas gelombang AM. Pesawat radionya saja sudah jadul, channel-nya gelombang AM pula! Benar-benar nuansa lawas. Tapi jalur itu masih saja eksis. Di Medan juga masih ada beberapa stasiun radio yang melakukan siaran di gelombang AM, sekitar tiga atau empat stasiun. Di Solo, apa saja radio AM yang masih tersisa? Radio ABC? RRI? Apa lagi?

Tapi penyiar tadi terbukti menepati janjinya untuk menyajikan lagu-lagu yang lebih baru. Tidak lagi tembang lama. Meski suaranya tetap saja terdengar lawas, bahkan mistis….

“Aku tersesat menuju hatimu. Beri aku jalan yang indah…. Ijinkanku, lepas penatku. Tuk sejenak lelap di bahumu….

Dapatkah selamanya kita bersama, menyatukan perasaan kau dan aku? Semoga cinta kita kekal abadi, sesampainya akhir nanti. Selamanya….

Tentang cinta, yang datang perlahan. Membuatku takut kehilangan. Kutitipkan cahaya terang, tak padam didera goda dan masa….”

Itu lagu yang cukup baru. Lagu kalem dengan lirik kelam. Aku penyuka folk dan indie-pop, tapi nggak anti-mainstream. Kuakui, ‘Tentang Rasa’ itu lagu mainstream yang bagus. Nggak sok heroik, nggak sok memotivasi, nggak sok bijak, nggak sok cerdas, jadinya malah nggak kacangan. Kata-kata sok puitis seperti ‘bintang di surga’, ‘dunia tak bermentari’, ‘cintai apa adanya’; meminta angin untuk menyampaikan salam; menunjuk benda langit untuk jadi saksi; itu sudah basi, guys… sudah jadi modus umum dalam lirik lagu. ‘Aku tersesat menuju hatimu’, itu baru cool…! Dan pada lirik ‘kutitipkan cahaya terang’, itu sakiiiiiittt banget kalau dirasa. Buat gue, sih….

“Dapatkah selamanya kita bersama, menyatukan perasaan kau dan aku?”

Lirik itu sudah terjawab untukku. Jawabnya: tidak. Yahhh, akhirnya harus kutitipkan cahaya terang itu kepada Misha, harapan agar dia bahagia dengan pilihannya. Jika dia bahagia, kuanggap aku juga akan bahagia.

Itu saja.

Penghayatan yang lebay, mungkin. Hoahhmmm…. Hari yang melelahkan hati. Malam yang tak berhasil mengobatinya. Tapi aku tetap akan menyeberang. Apapun yang akan kutemui. Takdir yang harus terjadi, terjadilah!

Saat aku membuka mata, waktu sudah berganti hari baru dan menjadi pagi yang sibuk. Hari di mana sebuah tugas keluarga telah menungguku. Aku tak terlalu repot mengemasi bawaanku, karena sejak kemarin sudah menyicil persiapan. Aku tinggal memastikan nggak ada yang kelupaan, dan menambahi beberapa yang kurang saja. Satu ransel sudah cukup bagiku. Tapi ransel yang lumayan besar dan berat.

Mama dan Mbok Marni memasak Oseng Telur Puyuh untuk sarapan. Malah Mbok Marni sempat-sempatnya membelikan Bakpia Pathok.

“Buat camilan di jalan, Mas Denis.”

“Wah, makasih ya, Mbok. Nanti dari Bali gantian aku bawain oleh-oleh,” cetusku ringan. “Mau dibawain apa? Brem Bali?”

“Jangan yang itu, tho, Mas. Yang cocok buat orang tua saja,” Mbok Marni menawar sungkan-sungkan.

“Ya udah, aku bawain Kopi Bali, ya?”

“Yang penting tidak merepotkan Mas Denis saja. Titip salam buat Mas Dimas nggih, Mas… semoga cepat pulang.”

“Doain aja semuanya lancar,” balasku sambil menumpuk piring bekas sarapan di wastafel. Aku masih sempat membantu menyuci beberapa perkakas sisa sarapan.

Waktu dari aku bangun tidur hingga berangkat ke stasiun terasa sangat singkat. Biarpun aku pasti akan pulang kemari lagi, tetap ada rasa berat hati meninggalkan rumah. Papa dan Mama mengantarku ke stasiun dengan mobil. Dari dalam mobil aku mengamati wajah kota Solo yang sebentar lagi akan kutinggalkan. Kali ini barulah terasa sudah lama aku tak menyaksikan yang seperti ini, yaitu suasana pagi kotaku. Biasanya aku menyaksikannya bersama Dimas saat berboncengan berangkat ke sekolah. Sekarang akulah yang melihat anak-anak berseragam sekolah itu berangkat ke sekolah mereka. Aku jadi kangen lagi dengan seragam SMA-ku. Itulah, ada hal-hal yang tak perlu kita ulang dalam hidup, it’s fine. Yang menyedihkan adalah ketika kita menjumpai hal-hal yang ingin kita ulang tetapi kita tidak bisa.

Tiba di Stasiun Jebres, masih pukul setengah delapan pagi. Aku turun dari mobil. Begitu juga Papa dan Mama. Mereka menemaniku, mengamatiku antre di loket. Aku memesan tiga tiket: untukku, Fandy dan Erik. Nanti mereka berdua tinggal mengganti uangku, per tiket tiga puluh lima ribu rupiah. Aku meninggalkan loket lima menit kemudian, Papa mengajak minum kopi di kafetaria.

“Papa nggak telat ke kantor nanti?” tanyaku.

“Masih ada waktu, bisa santai dulu,” sahut Papa tenang.

“Nunggu keretanya masih agak lama, lho,” aku mengingatkan.

“Habis ini rumah bakal tambah sepi. Masa kamu tega ngelarang Papa sama Mama nemenin sebentar di sini?” sahut Mama dengan mimik murung.

“Siapa yang ngelarang? Cuma mengingatkan,” balasku santai.

Obrolan kami lebih banyak berisi wanti-wanti dari Mama, sedikit nasihat dari Papa. Mungkin sebenarnya bukan karena mereka menganggap aku kurang bisa jaga diri, tapi lebih pada ingin menunjukkan betapa mereka sebentar lagi akan kehilangan aku. Kehilangan orang yang mereka sayangi untuk sekali lagi, meski tidak lama. Aku mengerti perasaan mereka. Aku pasti kembali, kuusahakan sebisa mungkin membawa Dimas serta. Itu janjiku.

Kopi baru terminum separuh ketika kulihat Ben nongol di ruang tunggu. Aku melihatnya, tapi dia belum melihatku.

“Aku ke sana dulu,” pamitku, sambil menunjuk sobatku yang baru saja muncul itu.

“Ajak saja sekalian dia ngopi di sini,” tawar Papa.

“Dia juga mau ikut?” tanya Mama.

“Nggak, Ma. Cuma pingin ngantar aja di stasiun. Kalau kuajak ke sini dia pasti sungkan. Biar kutemui dulu.” Kutinggalkan Papa dan Mama di kafetaria, mereka bisa menyusul ke peron kalau sudah selesai ngopi.

Ben melihatku saat aku sedang berjalan ke arahnya. Dia melambaikan tangan.

“Repot-repot amat ikut ke sini segala?” sapaku sambil duduk di sebelah Ben.

“Solidaritas, Bro!” seloroh Ben. “Gimana hasil nembak Misha kemarin?”

Baru saja duduk nyaman di sebelahnya, aku langsung nggak mood dilontari pertanyaan itu. Terus terang, kali ini aku akan lebih senang membicarakan Dimas daripada Misha. Jangan-jangan Ben kemari sebenarnya bukan atas niat ingin mengantarku, tapi karena ingin ngerumpi soal Misha!

Huh, telanjur ditanyai, berkelit pun nggak ada gunanya.

“Kamu bilang Misha lebih memahamiku,” gumamku membuka cerita. “Aku nggak bisa mengatakan yang kamu bilang itu salah. Masalahnya adalah: akulah yang tak memahami perasaannya. Dia sudah jatuh hati ke cowok lain. Selesai!”

Ben ternganga. “Kamu bercanda, kan?”

“Inginnya aku bercanda. Sialnya itu beneran.”

“Hei… kok, bisa gitu?”

Kok bisa gitu? Kenapa sekarang pertanyaanmu jadi konyol gitu? Kemarin aja kamu bisa nasihati aku yang bagus-bagus?” tukasku kesal. “Apapun bisa terjadi dalam dua tahun, Ben… termasuk perasaan. Aku juga baru tahu kemarin, ternyata Misha sudah menemukan cowok lain yang lebih dia harapkan. Itu intinya. Sudah, sampai situ saja. Aku nggak mau mengungkitnya lagi.”

Aku juga tak tertarik mengamati raut muka Ben saat mendengar ceritaku. Pasti rautnya aneh! Syukurlah dia juga tak berkomentar. Aku tak butuh diledek ataupun diberi simpati.

“Tapi aku tetap berterima-kasih padamu, Ben. Karena cuma kamu yang benar-benar bisa memberiku motivasi untuk berani menyatakan perasaanku ke Misha. Saat aku mengatakannya, aku tahu bahwa kemungkinan yang bisa terjadi cuma ada dua: diterima atau ditolak. Ditolak itu sakit, tapi tetap terasa lebih baik daripada mengambang. Ibarat kotoran, hatiku tidak lagi kotoran yang mengambang di selokan yang tersumbat. Hatiku sekarang adalah kotoran yang hanyut bersama aliran sungai, sungai yang besar dan tenang, mengalir melewati pemandangan yang indah….”

Ben mendengus mendengar celotehku. Komentarnya, “Tetap saja kamu adalah kotoran. ‘Emas gadungan’.”

Tapi siapa tahu, di sungai itu aku akan dimakan oleh ikan mas yang cantik,” celetukku.

“Atau buaya betina.”

“Atau tak dimakan siapa-siapa sampai aku tiba di muara. Laut yang biru….”

Hmmm. Aku ikut berduka-cita. Menyedihkan banget nasibmu. Mungkin Misha memang bukan buat kamu. Kamu juga bukan buat Misha,” timpal Ben sambil menepuk-nepuk pundakku. “Dan entah ini cuma perasaanku sendiri atau bukan, aku merasa tiba-tiba kamu jadi puitis gitu.”

“Efek patah hati,” celetukku tanpa memikirkan ucapanku.

Ben tertawa menanggapiku. “Tapi kamu nggak cocok jadi cowok puitis. Lagian, kamu bakal seperjalanan sama Fandy. Kalau jadi puitis gitu, Fandy bisa gantian naksir sama kamu. Perjalanan kalian pasti jadi berantakan! Hahaha….”

“Itu nggak akan terjadi. Dalam hal perasaan, Fandy itu cowok setia seperti aku.”

Ben cekikikan sambil berceletuk. “Tahu amat kamu perasaan Fandy? Adik ipar yang baik. Semoga benar akan ada ‘ikan mas cantik’ yang tertarik sama kamu.”

“Amin,” sahutku, sambil menengok jam tangan. “Dua puluh menit lagi kereta datang. Tapi Fandy belum kelihatan batang hidungnya. Erik juga. Mereka jadi ikut nggak, nih?” Aku mulai gelisah menunggu mereka berdua.

“Erik juga ikut?” Ben tampak terkejut.

“Ya. Sudah sepakat berkumpul di sini.”

“Demi apa dia ikut?”

“Dia mau backpacking. Setelah tiba di sana dia akan memisah. Tapi dia bilang siap bantu kalau aku ada kesulitan. Dia punya banyak teman di sana.”

Baru diomongin, kulihat Erik nongol berjalan ke arah kami. Dia menyandang ransel dan menenteng gitar berukuran agak kecil. Tapi yang mengejutkan, Misha juga mengikuti di sampingnya!

“Wow! Here she comes…!” seloroh Ben sambil menepuk-nepuk pundakku, disertai derai tawa yang terdengar mengolokku.

Damn…!” umpatku tertahan.

“Hai!” Erik menyapa. Kami saling berjabat tangan. Termasuk aku dengan Misha.

“Kok, nggak sama Amos?” itu sapa yang terlontar dariku ke Misha.

Misha cuma tersenyum masam. Lurus memandangiku dengan tatapan yang membuatku merasa bersalah atas kalimat sapaanku tadi.

Sorry,” ucapku kaku. “Semalam nggak ada masalah, kan?”

Lalu aku menyadari lagi bahwa pertanyaanku itu juga salah. Aku benar-benar dibikin serba salah.

Misha tertawa tipis, seperti menganggapku konyol. “Hari ini kamu akan pergi jauh, untuk tujuan yang belum tentu akan dilakukan oleh orang lain. Kamu nggak perlu sibuk begitu menanyaiku. Hari ini punya kamu, Den. Aku juga boleh dukung kamu, kan?”

“Oke, makasih, Mis,” aku mengangguk lesu. Tertawa kecut. Merasa cukup tertampar. Dan percakapan canggung ini terjadi di tengah kehadiran teman-temanku yang lain, membuatku kehilangan muka. Tak pernah kukira antara aku dan Misha akhirnya jadi seperti ini, serba tak enak.

Kami berempat duduk satu deret. Aku dan Misha tak saling bicara. Sedangkan Ben berbasa-basi dengan Erik. Lalu Ben meminjam gitar kecil milik Erik, dan mulai memetik-metik. Petikan dawai itu terdengar enak di telinga, tapi tidak di hati.

Tapi aku segera sadar bahwa aku sudah tersita oleh kecanggunganku sendiri. Aku ingat sedang apa aku di sini, dan apa yang seharusnya kulakukan. Aku tak hanya sedang menunggu kereta, aku juga sedang menunggu Fandy!

“Fandy masih belum datang juga?” gumulku mulai gusar. “Jangan-jangan dia dapat masalah dengan om-nya?”

Aku mengeluarkan HP, hendak menghubungi nomor Fandy. Tapi sebelum aku menekan nomor, rupanya dia sudah menampakkan batang hidungnya. Dia tampak tergesa-gesa menuju ke arah kami. Aku lega. Tapi… ada yang aneh dengan penampilannya. Dia cuma memakai celana pendek dan kaos oblong. Beneran dia mau ikut ke Bali?

“Kamu nggak bawa apa-apa, Fan?” sambutku heran.

“Ranselku dibawa temanku. Sebentar lagi dia pasti datang,” jelas Fandy agak terengah-engah.

“Kok, yang bawa temanmu?” Ben ikut menanyai.

Fandy mengatur napas sebentar. Baru kemudian bercerita. “Kemarin kusuruh temanku pura-pura datang ke kos, pura-pura ngajak hiking. Begitu skenarionya. Dia bawa ransel besar, isinya koran. Sampai di kosku koran-koran dikeluarkan, terus… ranselku dimasukkan ke ranselnya. Aku pura-pura nggak bisa ikut, aku suruh dia pulang. Tapi dia sudah tahu pagi ini dia harus mengantar ranselku kemari.”

“Om-mu nggak curiga?”

Fandy menggeleng dengan yakin. “Itulah kenapa aku cuma pakai baju begini. Aku pamit ke warung.”

Aku bertepuk tangan. “Sandiwara yang hebat!”

“Tapi kenapa harus pakai sandiwara begitu?” Misha menimbrung.

“Karena om-nya seorang ‘monster’!” sahutku cuek. “Terus, mana temanmu? Dia bisa dipercaya nggak? Sebentar lagi kereta datang!”

“Dia pasti datang!” tandas Fandy.

Tak ada semenit kemudian, Fandy menunjuk temannya yang sudah datang. Eng, ing, eenggg….! Aku cukup kaget melihatnya. Seorang cowok sepantaran, sedikit mirip Dimas (atau aku) tapi… kelihatan sedikit lebih bandel.

“Oh, dia, tho…” gumamku.

“Hei, hei… aku pernah lihat anak itu di festival beberapa waktu lalu. Dia main biola keren sekali,” bisik Ben padaku. “Jadi dia teman Fandy?”

“Dimas kenal dia,” jawabku. “Fandy kenal karena Dimas kenal.”

“Berarti kamu juga kenal?”

“Sedikit.”

Anak itu tak terlalu mempedulikan kami. Dia langsung menyerahkan ransel besar itu ke Fandy. “Misi selesai,” ucap anak itu singkat.

Thank you, Rick!” balas Fandy sambil meletakkan ranselnya di punggung. Mereka berdua berjabat tangan.
“Gimana kabarmu, Rick?” sapaku ke anak itu.

Ricky, anak itu, cuma tersenyum diplomatis. “Kayaknya lebih baik dari Dimas,” ucapnya terdengar bercanda. “Terakhir aku ketemu, dia kelihatan stres.”

“Dan orang stres sulit diharapkan pulang sendiri. Harus dijemput,” ungkapku, setengah mengeluh.

“Semoga ketemu, dan cepat pulang,” timpalnya datar.

Dari kejauhan, suara kereta sudah terdengar. Semakin mendekat. Kulihat Papa dan Mama meninggalkan kafetaria, menghampiri kami. Teman-temanku saling menjabat tangan Papa dan Mama, disertai sapa ramah-tamah. Tapi sebuah adegan tak terduga membuatku tiba-tiba terharu….

Saat Fandy akan menjabat tangan Mama, Mama malah merengkuh pundaknya. Memeluknya…

“Maafkan, Tante, ya…” kudengar bisik pelan Mama ke Fandy. Hanya itu. Kalimat pendek yang menjelaskan banyak makna tak tergambarkan.

Andai ini tak di tempat umum, andai tak ada teman-teman di sini, aku yakin Fandy tak akan bisa menahan air matanya. Bahkan mungkin Ben sekalipun juga akan menangis melihatnya. Aku nggak akan menangis. Tapi aku kehabisan kata-kata.

“Terima kasih sudah mau ikut mencari Dimas,” Papa ikut berucap pada Fandy. “Kalau di sana ada kesulitan, telepon saja. Biarpun tak bisa bersama kalian, Om akan tetap bantu.”

Fandy mengangguk. Dia kesulitan berkata-kata. “Maaf, Om, Tante… kalau selama ini saya sudah membuat masalah…”

“Semua orang bikin masalah,” timpal Papa. “Tak semua bisa dan mau menyelesaikannya. Tapi kita sedang menyelesaikannya.”

Adegan mengharukan memang bisa terjadi di mana saja. Dapat terselip di tengah keramaian, tersiram bunyi peluit kereta tetapi tidak hanyut… bertahan sejenak di antara derap kaki yang sudah saling berebut menuju gerbong kereta. Kereta Sri Tanjung hanya akan menunggu lima menit, kemudian melaju lagi.

“Pa, Ma, aku pamit,” ucapku, menjabat tangan Papa dan Mama.

“Hati-hati,” pesan Mama dengan mata mulai basah.

Erik dan Fandy juga berpamitan. Tak hanya ke Papa dan Mama, kami juga berpamitan ke Ben, Misha, dan Ricky, semua yang sudah mengantar dan membantu keberangkatan kami.

“Semoga berhasil,” kata Misha padaku. Sorot matanya seperti ingin mengatakan lebih dari itu, tapi dia tak bisa. Aku tak memaksa.

Thanks,” ucapku simpul.

Suasana damai di ambang perpisahan ini membuat kaki terasa berat untuk melangkah. Tapi jika aku menunda, maka aku bukan hanya plin-plan… tapi juga cengeng. Kami harus berangkat! Kami bertiga menuju ke kereta diiring oleh Papa dan Mama, juga Misha, Ben, dan Ricky. Erik dan Fandy naik lebih dulu. Saat aku baru akan menaikkan kaki ke bibir gerbong, suara lantang memanggilku…

“Denis…! Tunggu!”

Aku menoleh, kami semua menoleh. Jika aku punya penyakit jantung, mungkin aku sudah pingsan saat melihat siapa yang memanggilku. Leah datang tergopoh-gopoh menyusulku. Damn…!

Aku urung naik ke gerbong. “Kamu ngapain di sini?” hardikku.

“Aku ingin ikut kau! Kau mau ke Bali, kan?” seru Leah dengan nada memaksa. “Lihat, aku sudah siap!” Dia memamerkan ransel di punggungnya.

Aku bingung, panik. Sempat melempar pandang ke Mama, meminta ‘pertanggungjawaban’. Sebab Leah tahu rencana ke Bali ini karena cerita Mama.

“Om, Tante, aku ikut Denis tak apa-apa, ya?” Leah dengan percaya diri minta ijin ke Papa dan Mama.

“Nak, perjalanan mereka ini jauh, kalau persiapanmu mendadak begini nanti kamu sendiri yang repot di jalan?” sergah Mama keberatan. Sikap yang ‘bertanggung-jawab’.

“Tante, aku tak akan bikin repot, bekal semua aku sudah siap. Uang aku juga cukup,” Leah ngotot.

“Tapi mereka ke sana bukan mau senang-senang, ada urusan penting di sana! Tolong, dong, jangan nekat begini?” tegas Mama.

“Lho, kemarin Tante bilang Denis mau jemput kakaknya? Kakaknya sedang tamasya atau apa gitu, kan?”

Mama bungkam. Siapa sangka, cerita bohong yang bertujuan baik akhirnya menjadi bumerang? Kebingungan membuat semua seperti tersita akalnya. Bingung menghadapi Leah yang ngeyel dan tak terduga itu. Di sini memang cuma aku yang benar-benar kenal Leah. Dan drama ini sudah mulai memancing perhatian orang-orang di stasiun, memalukan! Aku harus mengatasinya!

“Hei!” aku menepuk Leah. “Kalau mau ikut harus punya tiket. Sudah beli belum?”

Leah terperangah. Girang campur kebingungan.

“Nah, berarti aku boleh ikut, kan? Kau pegang dulu ini, aku beli dulu tiketnya!” Leah buru-buru menyorongkan sebuah bungkusan plastik padaku. “Itu aku belikan buat kau, buat makan nanti di jalan!” serunya sambil berlari penuh semangat ke loket.

“Denis, masa kamu mau ajak dia? Dia anak perempuan, kalau nanti ada apa-apa gimana? Kita juga nggak tahu dia sudah pamit ke orang tuanya atau belum?” sergah Papa keberatan.

“Tenang, Pa. Percaya saja padaku,” tegasku mantap. Menatap sekali lagi Papa-Mama, dan teman-temanku. “Aku pamit, ya….”

Aku naik ke gerbong.

“Den, kayaknya ide buruk kalau kamu nekat ngajak dia,” Ben juga memprotesku.

Di muka pintu gerbong aku berdiri lesu. “Ben, kamu juga percaya saja,” tandasku.

“Siapa cewek itu?” Fandy yang sudah lebih dulu naik di gerbong juga melontariku dengan pertanyaan.

“Bukan urusanmu. Bawa ini, kamu cari duduk saja dulu. Nanti aku nyusul!” suruhku sambil menyodorkan bungkusan yang tadi dibawakan Leah.

Fandy masuk ke kabin penumpang, aku masih berdiri di muka pintu gerbong. Aku harus terus memantau situasi, mengamati Leah yang sibuk di loket. Aku mulai waswas akan pertaruhanku….

Kereta, cepatlah berangkat, cepatlah berangkat! Tinggalkan saja cewek nekat itu…!

Ayolah!

Ayoooo…!

“SIAL…!” umpatku meninju dinding gerbong, karena pertaruhan yang satu ini telah gagal. Kereta belum juga bergerak sedangkan Leah keburu selesai membeli tiket, dengan gesit mendaratkan kakinya ke gerbong kereta!

Dia kini berdiri tepat berhadapan denganku, di muka pintu. Dia nyengir amat lebar memamerkan deretan giginya (yang kuakui bagus). “Akhirnya, aku ikut kau!” selorohnya penuh kemenangan.

Kereta barulah bergerak. Merangkak selambat ulat!

“Tak sia-sia aku jauh-jauh dari Medan, bisa ketemu kau dan ikut jalan-jalan ke Bali. Selama kita pacaran, jarang sekali kita tamasya berdua. Aku senang sekali hari ini! Ayolah, Den, kenapa kau diam saja?”

Selagi Leah masih mengoceh sendiri, kutengok Papa dan Mama yang masih berdiri di trotoar stasiun. Raut wajah mereka masih penuh protes. Tampak cemas akan rencanaku yang secara spontan mengijinkan Leah ikut.

Tidak, siapa bilang aku mengijinkannya?

Hup! Dengan sigap aku melompat, turun dari kereta yang sedang merangkak.

“Denis, kenapa turun kau?” teriak Leah yang kutinggalkan di gerbong.

“Aku nggak jadi pergi. Kau pergi saja sendiri!” seruku dengan nada kesal. Aku melangkah tenang menuju lagi ke Papa-Mama dan teman-temanku yang masih di tempatnya. Tak kupedulikan kereta yang terus bergerak dengan percepatannya yang lambat.

Tak hanya Leah yang kaget, Papa-Mama dan teman-temanku juga tampak kaget.

“Denis, kenapa turun lagi? Itu keretanya sudah berangkat!” Papa menyongsongku dengan bingung.

“Kenapa, Bro?” Ben juga sama bingungnya.

“Dia siapa, sih, Den?” Misha satu-satunya yang memiliki pertanyaan berbeda. Dan dari mimik serta nadanya, terlihat dan terdengar sangat-sangat ingin tahu.

Karenanya, cuma pertanyaan Misha-lah yang ingin kujawab. “Dia mantanku. Namanya Leah, dari Medan,” cetusku lugas.

Misha tersentak, matanya terbelak lebar.

Sedangkan Ricky cuma menggumam, “Wow.”

Entah kenapa aku malah ingin tertawa. “Sorry, Mis, aku nggak pernah cerita ke kamu,” ucapku ke Misha. Aku juga menyesal tak sempat menjelaskan lebih jauh lagi, karena aku sedang berkejaran dengan waktu.

“Denis, jahat kali kau biarkan aku pergi sendirian? Tak bisa aku pergi kalau kau tak jadi pergi!” Leah bersungut-sungut menyusulku. Nah, dia pun ikut turun, kan?

Hei, strategi adalah sebuah kalkulasi, guys!

Aku menatap Leah singkat, “Siapa bilang aku nggak jadi pergi?” Lalu secepat kilat kukerahkan tenagaku untuk berbalik lagi, melesat mengejar kereta yang telah meninggalkan stasiun. Kereta sudah semakin cepat, tapi dalam kalkulasiku aku masih mampu berlari lebih kencang untuk menangkap ekor gerbong itu!

“Sekarang aku beneran pamiiiiiiit…!” seruku sambil berlari sekencang mungkin.

“Denissss! Kau bohong lagi…! Kau jahaaaat…!” suara Leah berseru-seru berang, mengejar di belakangku.
Tapi dia tak mungkin lebih cepat dariku. Dia tak mungkin lebih cepat dari laju kereta. Dan, hupla…! Aku berhasil meraih pegangan di ekor gerbong dan melompat ke atas. Aku sudah berada di kereta lagi!

“Whoaaaa…! Goodluck, Broooo…!” di sana Ben melambai ikut kegirangan.

Byeeeee…!” aku melambai di ekor kereta dengan senyum penuh kemenangan ke semuanya: Papa-Mama, Ben, Misha, Ricky… juga kepada Leah yang terjongkok menangis karena tak bisa mengejarku. Kulihat teman-temanku menenangkannya, menjaganya agar tak nekat mengejarku karena sudah pasti akan sia-sia. Kali ini kereta tak mungkin terkejar.

Hmmhhh…. Dan mereka terlihat semakin jauh.

Sorry, Leah…” ucapku lirih. Sorry, aku harus membuatmu belajar mengalah. Rasanya memang menyakitkan dan sedih. Tapi tidak ‘menyedihkan’, kok. Belajarlah….

Sekarang aku sudah berada di misi utamaku.

Papa, Mama, teman-teman… doakan kami. Selamat tinggal.

Langkahku sedikit gontai menyusuri kabin penumpang. Kucari di mana Fandy dan Erik duduk. Kutemukan mereka duduk berhadapan. Fandy menjaga satu ruang kosong di sebelahnya untuk tempat dudukku. Kutaruh renselku di bagasi. Lalu duduk lesu di sebelah Fandy.

“Jadi, siapa tadi?” Fandy kembali melontarkan pertanyaannya.

“Dia masa lalu yang tak perlu dibahas di perjalanan ini.”

Fandy dan Erik tertawa masam mendengar jawabku.

“Sama seperti kalian!” tukasku ke mereka. “Fan, antara Erik dan Dimas juga masa lalu yang nggak perlu dibahas. Jadi kalau kalian masih bertengkar soal itu, kutendang kalian. Di perjalanan ini kalian harus akur.”

“Kayaknya malah kamu yang sedang mengungkit-ungkit,” Fandy menggerutu.

“Apa isi bungkusan itu?” tanyaku sambil merebut bungkusan di tangan Fandy.

Apa yang dibawakan Leah untukku? Cupcake lagi?

Aku termangu saat bungkusan itu kubuka. Ini bukan cupcake…

“Wow, serabi!” seru Erik.

Aku masih termangu sambil mengamati satu-satu kue serabi di dalam bungkusan. Kue-kue itu digulung dengan kertas berlogo produsen, dan bertuliskan jenis rasa masing-masing. Serabi rasa durian, pandan, cokelat, dan…

“Aku baru tahu ada serabi rasa apel…” gumamku, mengamati sepotong serabi yang kupegang. Aku memakannya. Hmmm, sepertinya serabi rasa apel bukan ide yang bagus. Rasanya aneh.

“Kamu ninggalin orangnya, tapi memakan oleh-olehnya?” celetuk Erik.

Aku tersenyum menerawang.

“Siapapun yang kenal aku dengan baik, seharusnya tahu,” ucapku sambil mengunyah. “Di tanganku, ‘jahat’ dan ‘sayang’ bisa ditunjukkan secara bersamaan. That’s me.

Fandy tersenyum. “Twisting!”

“Apakah itu juga kamu lakukan terhadap Misha?” sahut Erik.

Kubaca senyum Erik yang terlihat agak mencibir. Sepertinya dia sudah mendengarkan cerita dari Misha. Soal drama patah hati kemarin sore.

Kujawab, “Misha juga masa lalu. Kita nggak akan membicarakan dia.”

Dan,

Siapapun yang kenal aku dengan baik pasti juga tahu. Bahwa kata ‘ya’ dan ‘tidak’ adalah dua sisi dari koin yang kupegang. Kulontarkan koin itu, kutangkap dan kutangkup dengan telapak tangan. Aku bisa katakan ‘ya’ ataupun ‘tidak’. Tapi sisi yang muncul di koin itu tak akan kuperlihatkan.

Apakah aku sudah tidak patah hati?

Apakah tak ada beban di punggungku?

Apakah aku mencari Dimas dengan hati yang ringan?

Cemburukah aku pada keberuntungan Dimas, saat kulihat Fandy mendapatkan pelukan dari Mama?

Jika kalian kenal aku dengan baik, kalian tak perlu bertanya.

Hmhhhh….

Benarkah akhir-akhir ini aku jadi puitis?





Bersambung...

0 komentar

Posted in

Posting Komentar