RSS

Karung 9



Karung 9

Apa Yang Dapat Dilakukan Oleh Waktu

 

 
Siapapun yang sudah membaca masalahku, mungkin akan ada yang mengataiku secara sinis: beruntung!  Kuakui, secara pengecut aku sudah terlalu lama menyembunyikan rasa sukaku terhadap seseorang (yang kutahu dia juga menyukaiku). Dua tahun memendam. Tapi masih saja Misha, orang yang kusukai itu, belum jadian dengan cowok lain. Artinya, setelah dua tahun ini ternyata peluangku untuk melanjutkan perasaan masih tetap terbuka. Beruntung, kan?

Tapi apakah selama dua tahun ini aku bersenang-senang dengan apa yang kusembunyikan? Nggak! Itu adalah dua tahun ‘gantung diri’. Biarpun begitu, kurasa nggak akan ada yang peduli soal bagaimana rasanya dalam diriku, sebab aku cowok. Mungkin lebih banyak yang peduli terhadap perasaan Misha, sebab dia cewek. Padahal aku yakin, kami sama-sama saling menyukai. Tapi karena aku cowok, akulah yang dianggap sebagai ‘penggantung’. Akulah yang ‘jahat’, terhadap diri sendiri dan juga terhadap Misha. Hmhhh… siapa bilang jadi cowok selalu enak?

Begitulah, kata ‘beruntung’ memang kesimpulan yang sinis terhadapku.

Lalu, apakah saat ini aku sendiri sedang sinis terhadap Misha? Nggak, kok. Bagaimana bisa aku sinis terhadap orang yang kuharapkan cintanya? Jika aku harus sinis, maka yang kusiniskan adalah siapapun yang menganggap diriku tak berhak memiliki perasaan seperti ini. Aku sinis terhadap siapapun yang menganggap diriku tak layak punya cerita sendiri. Aku sinis terhadap siapapun yang menganggap aku tak berhak memiliki ruang dan waktu untuk menyelesaikan masalahku. Aku sedang sinis terhadap siapapun yang menganggap bahwa yang patut kubicarakan haruslah cuma Dimas, Dimas, dan Dimas… (dan pacarnya yang bernama Fandy itu). Dan jika ada yang menganggap aku sedang sinis terhadap Dimas atau Fandy, maka harus kutegaskan bahwa aku sinis terhadap orang yang menganggap begitu. Karena betapa dangkalnya tudingan seperti itu.

Aku nggak nyerang Dimas ataupun Fandy. Tapi apakah aku harus selalu membicarakan mereka? Ketika Dimas sedang ngebet sama Erik, dia nggak selalu ngomongin Erik saja, kan? Dia juga ngomongin soal aku, soal piknik ke Bali, soal Ben. Ketika Dimas gantian tergila-gila ke si unyu Fandy, dia juga nggak melulu ngomongin soal Fandy. Dia tetap tak lupa ngomongin yang lain: soal cewek kepo bernama Anita, ngomongin si kampret Geri, Pak Alex, Bu Kamti…. Jadi mengertilah, guys… ngomongin bahwa kehidupan cuma ada di Bumi adalah memubazirkan ruang angkasa yang katanya tanpa batas. Begitulah, sama halnya jika menganggap bahwa yang ada di dalam hidup gue cuma untuk mengurusi Dimas. Anjrit, dah! Sempit amat hidup gue?

Oke, oke, aku pasti akan tetap berangkat secepatnya mencari Dimas! Tapi sebelumnya, aku mau menemui Misha. Harus! Karena apa yang dikatakan Ben benar: saat aku pulang dari Bali, belum tentu Misha masih tinggal di sini. Aku tak akan menyelesaikan satu masalah dengan cara membiarkan masalah lain tak selesai. Itu prinsipnya!

Aku tahu, Misha juga menyukaiku. Aku yakin sejak dulu. Aku masih ingat ketika suatu malam kami semua berkumpul di rumahku. Waktu itu Ben dan Dimas baru pulang dari suatu tempat untuk menyelesaikan masalah dengan Geri. Sampai di rumah, tak lama kemudian Misha dan Erik datang. Ada banyak yang kami bicarakan saat itu, yang menjadi awal untuk memperbaiki segala hal yang keliru di antara kami. Bisa kubilang, malam itulah titik paling jelas di mana persahabatan kami benar-benar terbangun. Itu sudah dua tahun lalu. Tapi aku selalu mengingatnya, terlebih untuk momen yang satu ini: ketika Misha melemparkan ‘apel’ kepadaku.

Aku tahu, bahwa cewek sering merasa sungkan untuk mengungkapkan perasaan suka dalam bentuk kata-kata. Mereka sungkan untuk mendahului laki-laki. Tapi, mereka punya bahasa isyarat. Dan aku mengerti bahasa isyarat yang disampaikan Misha malam itu. Aku paham maksud ‘apel’ yang dilemparnya padaku. Tapi kurasa tak seorang pun paham, bahwa ‘apel’ itu justru mengingatkanku pada minuman yang ada di mejaku ketika aku melihat Leah selingkuh. Aku tahu Misha telah menyampaikan bahasa isyaratnya bahwa dia menyukaiku, sayangnya di saat yang sama dia juga melemparkan ‘hantu’ kepadaku. Melempar Begu Ganjang!

Aku tak menyalahkannya. Akulah yang salah, karena sudah menjadi penakut bahkan dalam mengakui perasaanku sendiri. Selama ini sering kutunjukkan kepedulianku padanya, sebagai teman yang kompak, sebagai sahabat yang selalu berbagi hal seru dengannya. Tapi ketika tinggal satu langkah tersisa untuk menjadikannya seorang kekasih… aku selalu menarik langkahku lagi, mundur. Sekarang, penundaanku sudah terlalu lama. Lebih lama dibandingkan saat aku menunda perasaanku kepada Leah. Tapi seperti kata-kata Leah yang masih kuingat, terlalu lama tak selalu berarti terlambat. Hanya itu harapanku sekarang, kepada Misha….

Semoga dia memaafkanku.

Semoga dia masih mau menerimaku… pencinta yang selalu datang belakangan ini.

Jam lima sore aku tiba di rumah Misha. Rumah yang tak begitu besar, bergaya minimalis bercat putih silver. Ada kolam ikan di depannya, berisi beberapa ikan Koi. Tiga kucing gemuk bergulat jumpalitan di rumput. Semua peliharaan Misha. Begitulah cerminan sifatnya yang periang dan penyayang. Biasanya jam segini dia sedang bersantai, mengurus taman atau nonton Dorama. Biasanya pintu rumahnya selalu terbuka, tapi kali ini tampak tertutup. Dari luar tampak lengang.

Aku baru mau menekan bel, kudengar suara motor masuk ke pekarangan. Aku menoleh dan kaget melihat siapa yang datang.

“Hei, Den. Cari Misha?” Erik menyapaku lebih dulu. Dia turun dari motor menenteng durian.

“Iya. Baru mau tekan bel ini,” balasku.

Sepertinya suara kami terdengar dari dalam, belum sampai aku menekan bel sudah ada yang membukakan pintu.

“Lho, Nak Denis?” sapa ibu Misha di muka pintu. “Cari Misha?”

“Eh… iya, Bu,” jawabku sungkan-sungkan.

Bu Lik, ini ada oleh-oleh dari Ibuk. Dari Tawang Mangu,” Erik turut menyahut sambil menyerahkan durian-durian itu.

“Ya ampun, banyak sekali? Siapa yang mau menghabiskan sebanyak ini?” sambut ibu Misha sumringah, menerima oleh-oleh itu.

“Katanya serumah pada suka durian?”

“Ya, iya. Tapi masa sebanyak ini juga? Terima kasih, ya!” ibu Misha berbasa-basi menerima oleh-oleh yang dibawakan Erik. “Kamu nggak langsung pulang, tho, Rik?”

“Di sini dulu juga tak apa-apa, Bu Lik.”

“Iya, di sini saja dulu. Kamu temani Denis. Soalnya Misha baru mandi. Kalian tunggu dulu, ya?”

“Iya, Bu,” jawabku simpul.

Ibu Misha kembali masuk ke rumah. Aku dan Erik duduk-duduk di teras.

“Ada acara apa sama Misha?” Erik membuka percakapan.

“Nggak ada apa-apa. Cuma main aja. Sudah lama nggak ke sini,” jawabku agak canggung. Jadi waswas, gimana aku bisa ngomong soal perasaan ke Misha, kalau ada Erik begini?

“Terus, kamu jadi mau cari Dimas ke Bali?” kali ini Erik bertanya dengan mimik lebih ingin tahu.

Aku mengangguk. “Besok pagi berangkat.”

“Besok?” Erik tampak agak kaget. “Sudah matang persiapanmu?”

“Sudah, lah. Aku sudah hubungi teman-teman Dimas di sana. Terakhir menghubungi yang bernama Dika, yang tinggal di Badung. Dimas pernah bekerja dengannya di sebuah art-shop. Saat ini Dimas sudah resign dari tempatnya bekerja itu, tapi kata Mas Dika dia masih akan mampir lagi ke sana sewaktu-waktu. Jadi rencanaku akan stand-by di Badung, siapa tahu Dimas benar akan balik ke situ lagi.”

Alis Erik mengerut. “Kalau ternyata Dimas nggak balik ke sana? Kamu nggak mungkin nungguin terus di sana, kan?”

“Pastinya sambil nungguin aku tetap akan cari informasi dari teman-temannya yang lain, siapa tahu ada yang tahu posisi Dimas sedang di mana. Kalau berhasil terlacak, aku akan susul langsung ke tempatnya, nggak perlu menunggunya. Waktuku benar-benar terbatas, makanya aku harus berangkat secepatnya.”

Erik manggut-manggut. “Terus, selama di sana kamu akan tinggal di mana? Maksudku, kamu pasti tetap butuh istirahat, kan? Tempat menginap?”

“Di mana saja. Pasti banyak penginapan di sana.”

Erik mengerling, seperti menyimpulkan sesuatu dari ucapanku. “Kayaknya kamu belum punya planning soal penginapan di sana, ya?”

Aku tak menjawab. Sepertinya Erik bisa membaca mimikku yang ragu. Dan aku juga mulai menduga bahwa sebenarnya Erik sedang mencari celah pada rencana yang kususun. Aku mencium gelagat itu.

“Itu rada bahaya, lho, Den…” simpulnya sambil tersenyum kecil. “Mengingat waktu yang kamu punyai terbatas, seharusnya kamu observasi dulu penginapan-penginapan yang bisa dijadikan sasaran. Memang, di sana ada banyak. Tapi ini memasuki high season, turis-turis membeludak di Bali! Penginapan-penginapan bakalan penuh. Kalau nggak ada planning yang jelas, itu bisa memboroskan waktu. Padahal waktumu sudah terbatas.”

Aku tertegun. Aku baru tahu itu saat Erik memaparkannya.

High season? Ya Tuhan, itu baru terpikir sekarang!” cetusku menepuk jidat. “Sebenarnya ada Mas Awan dan Mas Dika, sih, di sana. Tapi kalau high season gini, mereka pasti juga sibuk dengan kerjaan… wah, jadi sungkan kalau nanti terlalu ngerepotin. Belum lagi Fandy juga ikut, pasti mereka tambah kerepotan nanti….” Aku jadi mengeluh sendiri.

“Fandy jadi ikut?” Erik menyela.

“Iya. Sebenarnya aku nggak ngajak. Tapi karena dia memaksa ikut, aku berpikir positip aja. Kurasa dia akan ada gunanya nanti,” jelasku tanpa merinci secara terang soal Fandy. Aku lebih concern soal penginapan yang ternyata luput dari perhatianku. “Terus gimana, kamu punya saran soal penginapan, Rik?”

Kali ini Erik tampak berpikir lebih keras. Dia juga tampak agak sungkan memaparkan idenya, “Den, sebenarnya aku juga sedang menyusun rencana backpacking ke Bali. Aku ingin sekalian seperjalanan dengan kalian, tapi aku merasa nggak enak. Karena kalian ke sana bukan untuk main-main, kan? Gimana, ya…?”

Nah, aku sudah menduga itu. Intinya: Erik ingin ikut!

“Memangnya kapan rencanamu berangkat?” tanyaku.

“Sebenarnya, sih… aku ingin berangkat sejak minggu-minggu kemarin. Tapi tertunda terus. Sekarang waktuku juga nggak banyak. Kalau aku boleh ikut kalian, aku senang sekali. Tapi aku minta maaf, setelah sampai di Bali nanti mungkin aku akan memisah dari kalian. Tapi…”

Erik masih memberi ‘tapi’ lagi. Kali ini dia berjeda agak lama, menimbang-nimbang lagi.

“Begini masalahnya,” sambungnya, terdengar membingungkan, “aku kenal komunitas backpacker di sana. Mereka bisa membantu untuk menemukan penginapan murah. Hanya saja, itu jika tujuan kita adalah untuk backpacking. Sedangkan kamu dan Fandy ke sana bukan untuk itu, kan? Aku nggak bisa membayangkan kalau kalian harus menjelaskan masalah Dimas ke mereka, karena itu sama sekali nggak perlu…”

“Kesimpulannya?” potongku.

“Aku harus jadi ‘pembonceng’ yang tahu diri bagi kalian, dan juga harus jadi tamu yang tahu diri bagi mereka. Setelah tiba di Bali aku akan bergabung dengan mereka, dan memisah dari kalian. Tapi kita bisa tetap jaga kontak, aku akan bantu kalian selama di sana meskipun tak bisa bersama-sama kalian. Aku bisa manfaatkan komunitas backpacker di sana untuk mencarikan apa yang kalian butuhkan selama di sana. Kalian tak perlu bergabung, kalian tetap harus fokus pada tujuan utama. Itu saja.”

“Itu saja?”

Erik mengangguk. Terlihat dia sangat berharap aku menyetujuinya.

“Beneran, kamu yakin, Rik?”

“Sembilan puluh sembilan persen yakin, satu persennya nunggu keputusanmu: boleh tidak?” jawab Erik mantap. “Salah satu pengurus komunitas itu masih kerabat juga dengan keluargaku, jadi aku optimis. Selama ini rencanaku selalu tertunda karena aku masih mencari teman perjalanan. Aku nggak enjoy kalau berangkat sendirian. Tapi masalahnya waktuku juga sudah nggak banyak.”

“Kalau aku, berangkat sendiripun aku berani. Tapi kalau ada teman seperjalanan, why not?” tandasku. Kuanggap bergabungnya Erik lebih ke arah mutualisme. Tapi apa salahnya? Saling menguntungkan adalah bentuk kerjasama yang ideal, kan?

Tapi rupanya Erik masih meragukan sesuatu. “Gimana dengan Fandy?” cetusnya.

“Kenapa dia?”

“Yaa… tahu sendiri, lah…” Erik tersenyum cangung. Bahasa isyarat.

Aku jadi tertawa agak geli. “Kalau dia kesal sama kamu ya wajar, lah! Lu pernah jahatin Dimas, sih. Aku juga kesal sama kamu! Tapi tenang, kamu sudah dimaafin. Nggak usah takut sama Fandy. Dia tahu kalau kamu cuma ‘mantan gebetan’, sedangkan dia adalah ‘mantan pacar’. Statusnya sudah jelas lebih tinggi, jadi kebangetan kalau dia masih cemburu.”

Erik garuk-garuk kepala. “Kamu nggak bisa ngomong lebih pedas apa?”

Aku tertawa tambah lebar. “Tapi serius kamu mau ikut berangkat ke Bali? Besok pagi, lho! Jam delapan harus sudah stand-by di Stasiun Jebres!”

“Oke. Siap. No problem. Kita langsung ketemu di stasiun besok.”

Terus terang aku kagum juga dengan Erik, dia benar-benar mantap atas niatnya. Padahal bisa dibilang rencana ini sangat mepet. Dia langsung membeber rencana dan memutuskannya. Dan kuakui, idenya itu asyik!

“Aku harap kamu benar-benar bisa bantuin!” tegasku.

“Aku sudah pelajari planning-ku sejak jauh-jauh hari. Kupikir yang kupelajari soal Bali sudah memadai. Aku akan bantu kalian sebisa mungkin.”

“Jangan sampai prakteknya beda dengan teori.”

Deal.

“Halo?” Misha muncul dengan sapa riangnya. Dia sudah dandan rapi. Dan wangi.

Cantik!

Tak ketinggalan sepiring durian yang sudah dikupas dia suguhkan kepada kami. “Ini, bantuin habiskan, ya? Oleh-oleh dari Erik tadi.”

“Aku sudah blenger, Mis. Sudah makan banyak!” Erik menolak, sambil menggeser piring berisi durian itu padaku.

“Sudah lama, Den, nunggunya?” Misha beramah-tamah denganku.

“Nggak, kok. Kebetulan Erik juga pas datang kemari. Nggak terasa kalau lagi nunggu,” sahutku.

Misha ikut duduk. “Sudah agak lama kamu nggak ke sini, ya?” gumamnya.

“Iya, sih…” jawabku sedikit enggan. Sejak masalah Dimas meletus aku memang jarang ke mana-mana, karena rasanya jadi nggak tega ninggalin rumah.

“Eh, iya, gimana kabar soal Dimas? Kapan kamu jadi ke Bali-nya?” Misha rupanya juga cepat-cepat ingin tahu soal Dimas. Hmmhhh…. Dimas memang menyita perhatian siapa-siapa.

Aku menjelaskan seringkas mungkin soal Dimas dan rencanaku untuk mencarinya. Tapi, hhfff… biarpun sudah seringkas mungkin, tetap saja menjadi basa-basi yang lumayan panjang. Karena mau tak mau aku juga harus menyinggung soal Erik, yang baru saja memutuskan untuk ikut berangkat ke Bali besok.

“Beneran, Rik, kamu mau ikut ke Bali?” Misha mencoba meyakinkan apa yang dia dengar dariku.

Erik mengangguk simpul. “Aku ke sana buat jalan-jalan. Tapi sambil membantu mereka berdua,” jelasnya ke Misha.

Misha tampak agak kaget mendengar keterlibatan Erik yang mendadak ini. Seperti ada raut di wajahnya yang menyiratkan bahwa dia juga ingin ikut, tapi tidak bisa.

“Gitu, ya. Good luck, deh, kalau begitu,” ucap Misha agak pelan. Kecewa.

“Dan aku harus siap-siap sekarang. Aku juga perlu ngomong ke ortu, soalnya besok langsung berangkat,” ungkap Erik, kode mau pamit pulang.

“Kamu yakin bakal dapat ijin, Rik? Ini mendadak, lho?” Misha masih agak sangsi.

“Pasti dapat!” jawab Erik optimis. “Aku sudah ngomong soal rencana ke Bali sejak lama. Aku sudah dapat ijin, kok. Aku cuma perlu ngasih tahu lagi. Aku harus pulang sekarang. Persiapan buat besok.”

“Sip! Ingat, jam delapan harus sudah di stasiun, kita langsung ketemu di sana!” tandasku.

Kami bersalaman. Misha masih tampak berat hati melepaskan Erik. Tapi aku tahu itu bukan soal ‘perasaan’, hanya kekecewaan Misha sendiri saja karena nggak bisa ikut bersama kami. Aku juga belum tahu pasti alasan kenapa Misha nggak bisa ikut.

“Aku cabut duluan,” pamit Erik, sambil melangkah meninggalkan teras.

“Jangan lupa oleh-olehnya dari sana, ya!” pesan Misha.

Semenit kemudian, Erik sudah menghilang bersama motornya. Menyisakan kami berdua di teras. Aku dan Misha.

Sempat terdiam beberapa lama. Tak ada percakapan.

“Kok, nggak dimakan ini?” Misha bicara lebih dulu, basa-basi soal suguhan di meja.

Sorry, Mis, biasanya habis makan durian jadi mulas. Besok mau pergi jauh, kayaknya nggak aja, deh…” tolakku halus.

“Gitu, ya?” celetuk Misha. Kali ini terlihat tak hanya kecewa, tapi juga agak kesal.

“Itu kucing-kucingmu tambah gemuk aja?” lontarku, masih sibuk mencari basa-basi.

“Iya. Kalau kucing-kucingmu gimana?”

“Sehat. Sudah pada kewong dengan kucing tetangga.”

“Hah? Kewong? Kok, pakai bahasa begituan, sih?” sungut Misha sedikit mendelik.

“Hehehe…. Dimas yang ngajarin.”

“Tapi Dimas kayaknya nggak pernah ngomong pakai bahasa begituan.”

“Iya, sih. Tapi dia ngerti,” balasku santai. “Kamu kangen nggak, sih, sama Dimas?”

Akhirnya, aku membahas Dimas lagi. Aku benar-benar kesulitan mencari basa-basi lain.

“Yaa… kangen, lah,” Misha menggumam. “Lebih tepatnya sedih, karena dia pergi gara-gara ada masalah seperti itu. Tapi katanya Fandy mau ikut nyari Dimas juga?”

“Iya. Dasarnya mereka masih saling cinta.”

Misha tertawa ringan. “Kayaknya greget banget ya, mereka berdua itu. Yang satu pergi, yang satu nyariin. Sudah kayak jodoh beneran….”

Jodoh? Hmmm.

“Mis, kalau melihat Dimas sama Fandy, kamu masih percaya nggak cerita soal ‘tulang rusuk’? Kalau iya, terus mereka berdua itu ‘siapa-tulangrusuknya-siapa’?”

Misha mengernyit setelah mendengar pertanyaanku. Rautnya meliuk lucu.

“Hahaha! Yang dibuat dari tulang rusuk itu cewek, bukan cowok!” cetusnya.

“Tapi, kan, intinya itu filosofi soal jodoh. Terus kalau Dimas sama Fandy itu ternyata juga jodoh, apa ada salah satu dari mereka yang dibikin dari tulang rusuk pasangannya? Siapa-tulangrusuknya-siapa?”

Misha tertawa cengar-cengir. “Karena Fandy lebih muda, logikanya dialah yang dibikin dari tulang rusuk Dimas.”

Aku pikir-pikir, logikanya Misha boleh juga, sih. “Tapi mungkin mereka bukan dari tulang rusuk kali, ya? Kan, mereka sama-sama cowok,” celetukku.

“Terus dari tulang apa?”

Aku mencoba berimajinasi. “Kayaknya dari tulang ekor.”

Misha mendelik. “Lho? Kenapa tulang ekor? Berarti dulunya cowok gay itu punya ekor panjang gitu?”

“Bukan gitu juga! Soal tulang itu cuma kiasan aja. Memangnya sebelum dan sesudah Hawa diciptakan, tulang rusuk laki-laki berbeda jumlahnya? Selama aku di jurusan IPA, kayaknya pelajaran Biologi nggak pernah bahas itu.”

“Nha terus, kenapa ‘tulang ekor’?”

“Soalnya cowok gay itu kalau sudah ketemu jodoh, yang mereka cari ya daerah sekitar ‘ekor’.”

Misha langsung menabok bahuku. “Ih! Kamu jadi jorok gitu, sih?”

“Hehehe. Berarti, realistis dan jorok itu beda tipis, ya?” balasku cuek.

“Ya bukan gitu! Kamu ngomongnya jangan ke aku, dong!” gerutu Misha, ngambek. “Ngomong sama Fandy atau Ben sana!”

“Malah aneh aja kalau aku ngomongin gituan sama mereka. Ngomong gituan ke sesama cowok, romantis amat?” celetukku.

“Ya mending, lah. Kalian cowok-cowok biasanya nggak malu kalau ngomongin gituan. Tapi omongan cewek jangan disamakan dengan omongan cowok!”

“Waduh. Perasaan, waktu kamu pinjami aku DVD Dorama ada adegan cowok-cowok cantik pada kissing gitu. Kamu aja nontonnya gituan, masa sekarang bilang jorok?”

“Yeee, tapi itu cuma adegan kissing aja! Pakai bibir. Jauh banget dari ‘tulang ekor’!” balas Misha tambah sewot. “Lagian, jadi ngelantur banget gini? Kita tadi mau ngomongin apa memangnya?”

Aku tersenyum agak sungkan. “Ngomongin jodoh,” celetukku malu-malu.

Setelah ngelantur soal tulang-belulang, kini kami terdiam lagi. Kami juga jadi canggung lagi. Padahal percakapan sudah mulai mengerucut pada kode yang aku skenariokan: jodoh!

“Iya juga, sih… ngapain kita ngomongin mereka?” aku menggumam sendiri. Sedikit menepis kebisuan. Deg-degan!

Dahi Misha sedikit berkerut saat memandangiku. Lalu tertawa hambar. “Tapi sebenarnya nggak ada salahnya juga, kok. Apa salah mempedulikan keadaan teman-teman kita?”

“Maksudku…” aku mau memperjelas, tapi kalimatku terpotong oleh bunyi SMS.

Bukan dari HP-ku. Tapi dari HP Misha. Dia buru-buru memeriksa gadget-nya itu. Beberapa menit dia acuh tak acuh padaku. “Sorry, Den, sebentar ya….” gumamnya sambil sibuk membalas SMS.

Aku menunggu.

“Kita sampai di mana tadi?” tanya Misha, setelah dia tidak sibuk lagi dengan ponselnya.

Aku memandanginya sejenak, menyiapkan kata-kata sebaik mungkin. “Sampai dua tahun ini, kamu ngerasa hubungan kita sebenarnya gimana, sih, Mis?”

Di luar dugaanku, raut riang di wajah Misha malah seperti memadam. Dia menarik wajahnya dariku. Membuatku terkesiap, berdesir-desir.

Sorry, pertanyaanku agak aneh, ya?” aku buru-buru menimpali pertanyaanku sendiri. Tersenyum kecut.

Misha tertawa agak kikuk. “Pertanyaanmu bikin kaget.”

“Kenapa pertanyaan seperti itu jadi ngagetin buat kamu?”

“Karena…” Misha menggigit-gigit bibirnya, tampak serba salah, “karena seperti nggak ada angin, nggak ada hujan….”

“Kamu nggak punya firasat kalau aku bakal menanyakan itu, ya?”

Misha terdiam. Mencoba menatapku lagi. Tapi hanya sesaat, dia menarik wajahnya lagi. Dia terlihat begitu gelisah. Aku pun juga sama, jadi ikut gelisah.

“Aku mungkin memang terlalu lama menunda untuk mengatakannya, Mis. Maaf, kalau selama ini aku bikin kamu bingung. Aku berharap dugaanku benar, bahwa sebenarnya kamu pun sudah bisa membaca sikapku selama ini. Kalau yang kamu butuhkan adalah pengakuan, sekarang aku akan mengakuinya…”

“Tunggu, Den…” Misha mencegah dengan gugup, “aku nggak tahu kenapa tiba-tiba kamu mau mengatakannya? Aku nggak tahu kenapa tiba-tiba kamu jadi gini?”

“Tiba-tiba? Nggak, lah, Mis… ini nggak tiba-tiba. Aku menyimpannya selama dua tahun sejak kita kenal. Aku rasa, kamu juga menyimpan hal yang sama?”

“Tapi…”

“Aku suka kamu. Aku cinta sama kamu.”

Akhirnya itu terucap di bibirku. Akhirnya…!

Tapi aku tak mengerti kenapa Misha malah terlihat nanar. Tangannya bergerak, seperti mau menutup telinganya, seperti mau menutup wajahnya, bingung… dia tampak kalut. Aku tak paham kenapa dia malah begitu. Bukankah yang dia tunggu adalah pengakuanku?

“Maaf, aku memang terlalu lama menundanya. Tapi itu nggak merubah perasaan yang kusimpan, kok, Mis…. Dan maaf kalau aku lancang, selama ini sebenarnya aku sudah menduga bahwa kamu juga menyimpan hal yang sama. Kamu menungguku mengatakannya, kan?”

Misha bangkit dari duduknya. Tak kuduga dan membuatku tertegun, karena dia memilih menjauh dariku. Dia berdiri merapat di sudut teras. Seolah ingin sejauh mungkin dariku.

“Kenapa, Mis?” tanyaku, resah melihatnya. Aku mendekatinya, tapi tak berani terlalu dekat. Tiba-tiba kurasakan kami begitu berjarak. “Ada ucapanku yang salah…?”

Wajahnya menjadi tampak rapuh. Dia seperti mau memakiku. “Perasaanmu nggak salah. Tapi ini salah, Den….”

Aku bingung. “Aku nggak paham maksudmu?”

“Den… pernahkah kamu berpikir, apa yang bisa terjadi dalam waktu dua tahun?”

Dua tahun, apa yang bisa terjadi? Itu bahasa isyarat yang tak memberiku firasat baik sama sekali. Tiba-tiba aku merasakan sebuah ketakutan mengembang di jantungku. Berdebar kian keras.

“Dalam dua tahun, aku bisa menyembunyikan perasaanku,” jawabku gagu. “Dua tahun waktu yang kubutuhkan untuk menyadari, bahwa sikapku itu nggak adil. Buat kamu, juga buat diriku sendiri.”

Misha tertawa pahit. Tawa yang terlihat begitu sakit untuknya. Aku tak mengira matanya akan menjadi berkaca-kaca.

“Dua tahun terlalu lama, Den…” katanya, lalu menuding ke dadaku, “kamu kuat juga menyimpannya, ya? Kamu pikir sekarang jadi adil saat kamu sudah mengatakannya?”

Kata-kata Misha seperti mengirisku.

“Jadi ini masih nggak adil buat kamu, Mis? Kenapa?”

“Karena kamu menganggap aku masih harus berharap sama kamu, di saat aku sudah belajar menaruh harapan kepada yang lain,” jelas Misha lirih. “Kuharap kamu paham maksudku, Den… jangan minta aku menjelaskannya lebih jauh.”

Mendengar kata-kata Misha, sekonyong-konyong dadaku seperti kosong. Seperti ada nyala yang tiba-tiba redup dalam diriku. Tak ada lagi debar-debar yang menakutkan. Yang ada tinggal hampa.

Kali ini akulah yang tiba-tiba ingin menjauh dari Misha….

“Jadi sudah ada orang lain?” kecapku. Tak kuduga, aku melontarkan tawa yang terasa begitu pahit. Aku duduk lesu di lantai teras. “Yaa… aku nggak bisa menuntutmu untuk menjelaskan. Biarpun aku ingin tahu. Kenapa aku sampai nggak tahu kalau sudah ada orang lain yang kamu sukai? Ini memang salahku.”

Waktu seperti menjadi kaku. Tersendat oleh perasaanku yang dengan cepat berubah seperti besi karatan. Gerak detik demi detik seperti putaran mesin yang dipaksakan, aku seperti mendengar bunyi decit yang menyayat dan menyiksa. Aku sulit menghadapi ini!

“Jadi ini salah,” gumamku, menertawai diriku sendiri yang jatuh dalam kekonyolan. “Karena aku terlambat.”

Ya, kali ini aku tak sekedar kelamaan. Akhirnya aku benar terlambat.

Seperti ada yang menjelma menjadi setan dalam diriku, mengolok-olok diriku sendiri, “Denis, rasain lu! Makan tuh rahasia! Makan tuh telat! Makan tuh cinta!” Dan setan-setan itu menari sambil mengencingiku. Sangat buruk rasanya!

“Maaf, Den…” ucap Misha, ikut terduduk di sisi yang berjauhan. Inilah jarak kami sekarang.

“Kita memang pizza yang sudah dingin,” sahutku masam. “Bukan salahmu, kok, Mis. Aku pantas dapat ini.”
“Aku nggak mau kamu nyalahin dirimu sendiri. Aku menaruh harapan kepada orang lain bukan untuk membuatmu merasa bersalah. Aku telanjur mengira kamu tak akan mengatakannya. Kamu pasti mengerti itu, Den.”

Aku mengangguk. “Ya. Aku mengerti.”

Lalu hatiku sedikit membaik. Perlahan-lahan waktu kembali lebih ringan. Meski tetap sesak.

“Siapa cowok itu?”

Misha melepas tawa samar. “Amanda yang mengenalkanku padanya.”

Kembali aku tertegun. “Amanda pacar Erik?” tebakku setengah tak percaya.

Misha mengangguk. “Namanya Amos. Dia sepupu Amanda. Dia sudah kuliah, di Undip.”

Aku tertawa, spontan sedikit sinis. “Apa karena itu kamu punya rencana kuliah di sana?”

“Nggak, kok. Kebetulan saja pilihanku sama dengan Amanda. Kami jalan-jalan melihat kampus. Sepupu Amanda itu yang mengantar. Dari situ aku mulai kenal dia.”

Aku mengerling. “Kedengarannya itu belum lama?”

Misha tersenyum samar. “Baru sekitar sebulan aku kenal dia.”

Baru sebulan?

Sebulan yang mengalahkan dua tahun?

“Sebulan yang berhasil merubah perasaanmu?” ucapku, setengah menggugat.

“Den, tolong jangan sinis seperti itu. Justru seharusnya itu bisa membuatmu sadar bagaimana seharusnya memperlakukan perasaan orang lain. Dalam hitungan tahun kamu bermain-main dengan perasaan, tapi sebenarnya kamu nggak berbuat apa-apa terhadap perasaan itu. Jauh-jauh hari sebelum aku kenal dia, aku sudah berhenti berharap padamu. Jadi… jangan memintaku untuk membandingkan kalian.”

Itu menamparku. Aku kembali hanya bisa mengangguk lesu. Menerima kenyataan bahwa ternyata aku bukan bandingan laki-laki itu.

“Kapan kalian jadian?”

Misha terdengar memberikan jawaban yang sebenarnya tak ingin dia berikan padaku. “Dia sudah beberapa kali kemari. Tapi baru kali ini dia mengajakku keluar. Sebentar lagi dia akan menjemputku. Dia sudah SMS tadi.”

Jawaban Misha absurd. Itu bisa berarti dia sudah jadian dengan cowok itu. Bisa juga berarti baru hari ini cowok itu akan meminangnya sebagai kekasih. Tapi yang pasti, Misha sudah bersikap jelas kepadaku: dia menolakku. Mungkin perasaannya untukku masih ada, secercah dua cercah… tapi dia memilih untuk berharap kepada yang lain.

Getir. Pahit. Hancur. Tapi inilah adanya. Ruang untukku hanya sampai di sini.

Bunyi motor bergemuruh di halaman. Suara mesinnya memang lebih gagah dari suara mesin motor matic-ku. Yang turun dari motor itu juga seorang yang lebih gagah dariku. Lebih tinggi, tegap, berbadan lebih baik dariku.

“Dia sudah datang,” bisik Misha, seraya berdiri bersiap menyambut lelaki itu. Pujaan barunya.

Hmhh, padahal laki-laki itu tak terlihat seperti orang yang pintar musik. Lebih terlihat seperti atlet. Sejelek apapun aku bermain gitar, kurasa aku masih bisa lebih bagus darinya. Aku yakin dia pasti memang tidak bisa main musik sedikitpun. Tapi rupanya Misha lebih membutuhkan pribadi sepertinya. Bukan sepertiku.

“Hai,” Misha menyambut tamu istimewanya di teras.

“Sore,” balas cowok itu sambil tersenyum rapat. Memang tampan. Tapi dia tak punya lesung pipit. Aku punya!

“Denis, kenalin… ini Amos,” Misha memperkenalkannya padaku.

Kami berjabat tangan. Tanpa menyebut nama kami masing-masing.

“Halo, Bro…” sapanya padaku. Asem, suaranya Afgan banget! Bariton tulen. Tapi aku yakin, saat nyanyi dia pasti tetap fals! Suaraku biasa, tapi aku tak pernah fals!

“Hai,” balasku singkat.

“Lho, Nak Amos? Baru datang?” ibu Misha tiba-tiba muncul lagi dari dalam. “Eh, anu, ada yang bisa bantu memasangkan tabung gas? Saya tidak kuat ngangkat, berat!”

Belum sempat di antara kami menjawab…

“Oh, Nak Amos saja sini… yang badannya gotot!” ibu Misha sudah menarik cowok itu duluan. Mereka berdua masuk ke rumah. Menyisakan aku dan Misha di teras.

Hmhhh…. Cepat sekali akrab. Kelihatannya ibumu sudah memilih calon buat anaknya,” celetukku, tertawa sebagai pecundang. “Bahkan tadi aku mengira kamu dandan secantik ini karena aku yang datang. Aku memang terlalu percaya diri.”

Misha memadangiku. Seperti ada sesal, bersalah, dan iba. Oh, tidak, aku tidak membutuhkan rasa iba. Tidak perlu.

“Ya sudah, Mis, aku pamit. Selamat kencan,” ucapku, mengulurkan tangan.

Misha menyambut tanganku dengan genggaman erat. Seolah masih ada ketidakrelaan untuk membiarkan aku pergi. Tapi, tidak mungkin dia tidak rela. Ah, dia pasti rela….

“Den, tolong… ini jangan mengakhiri persahabatan kita, ya….”

Dari semua perkataan Misha yang sudah dia ucapkan padaku selama ini, itulah yang paling menyakitiku. Itu karena dia justru tak bermaksud menyakitiku. Hingga akhirnya dia sadar, bahwa bagaimanapun juga ini tetap akan menyakitiku. Ini akan mengucilkanku. Akan mengasingkanku.

Aku akan menerimanya selapang yang kubisa.

Seulas senyum dariku sebagai jawaban atas permintaan Misha. Lalu aku melepasnya, sebelum embun di pelupuk matanya itu jatuh. Hatiku bukan untuk menyaksikan dia menangis di hari kencan pertamanya.

Ya, ternyata aku tak seberuntung yang kukira. Tak apa-apa.

Aku mengaku kalah.







Bersambung...
0 komentar

Posted in

Posting Komentar