Karung 8
Karung 8
Cinta Seorang Peragu
Benar, yang namanya hidup itu punya banyak peristiwa
yang tak terduga. Seperti pertemuanku dengan Leah hari ini. Mungkin Leah memang
bukan hal yang penting lagi dalam hidupku, tapi ternyata dia masih dapat
mengacaukan pikiranku dengan kedatangannya yang tiba-tiba. Membawakan aku
oleh-oleh yang berhasil membuat fokusku berantakan, sebuah obsesi ngawur: ingin
balikan dengan mantan pacar yang jelas-jelas dia sebut banyak kekurangan.
Apa-apaan perjumpaan barusan tadi?!
Aku kembali masuk ke rumah, menuju ke kamarku. Kulihat
Ben duduk tenang di kursi. Dia tak menyapa, cuma tersenyum-senyum saja.
Senyumnya terasa aneh. Kulirik Play Station yang tak menyala, kujamah
tak terasa hangat sama sekali. Hebat, jadi selama kutinggal tadi Ben tak
bermain apa-apa di kamarku. Dia ambil kesempatan untuk menguping!
“So…?” cuma kata itu yang terlontar darinya.
“Apanya?” balasku pura-pura tak tanggap.
Ben tersenyum lagi. “Cewek tadi adalah…?”
Aku tak menjawab. Pilih menjatuhkan diri ke tempat
tidur, pura-pura tak peduli. Saat kudengar HP-ku berbunyi, kubuka sebuah SMS.
“Mslh omku slesai. Aku siap brngkt kpn aja. Kbari aku
scptnya.” Begitu bunyi
pesan Fandy.
Aku menghela napas. “Kayaknya beneran ini hari
terakhirku sebelum berangkat mencari Dimas ke Bali,” gumamku, mengalihkan diri
dari pertanyaan Ben tadi. “Fandy bilang sudah siap. Lebih cepat lebih baik. Aku
sudah cek soal kereta. Cuma ada Sri Tanjung, finish di Banyuwangi lalu
lanjut ke Bali dengan ferry. Berangkat jam delapan pagi.”
“Lho, tapi pacarmu tadi bilang besok mau kemari lagi,
kan?”
“Ben… dia itu mantan! MANTAN…!” desahku kesal. Aku
duduk di tempat tidur, mengucal-ucal rambut. “Aku stress banget, tahu
nggak? Ngapain banget dia datang kemari di saat aku lagi ada masalah begini?!”
“So, kamu curhat nih?”
Kulempar bantalku, berharap menimpa muka temanku yang
sok polos itu. Tapi lemparanku terlalu lemas. Bantal jatuh ke lantai. Aku jatuh
lagi ke kasur, rebah telentang berharap semua rasa jenuh ini bisa terlepas dari
tubuhku. Aku benar-benar letih!
“Aku shock!” celetuk Ben sambil melempar
bantalku kembali. “Aku nggak tahu kalau kamu sudah pernah punya pacar. Kamu
selalu bilang nggak pernah pacaran. Ternyata soal rahasia kamu lebih pintar
dari Dimas. Kayaknya mantanmu itu cadas banget, ya?”
“Ffhhhh…. Cadas apanya?” keluhku. “Biasa, lah,
orang Batak itu omongannya lantang. Tapi si Leah itu manjanya minta ampun! Dia
maunya kami pacaran ala drama banget. Sedihnya ala Korea, happy-nya ala
India!”
Ben menertawai curhatku. “Nha terus, kenapa dulu kamu
macarin dia?”
Sejujurnya aku tak suka mengungkit ingatan-ingatan
itu. Tapi, okelah, nanggung juga kalau curhat cuma setengah-setengah.
So…?
“Sebenarnya aku nggak terlalu bermasalah dengan
sifatnya yang lebay itu. Aku memakluminya,” jelasku, memperkenalkan sosok Leah
yang ada di ingatanku kepada Ben. “Aku rasa ke-lebay-annya itu efek samping
dari sifatnya yang sebenarnya supel, royal, dan…”
Aku terhenti. Sempat ragu untuk melanjutkan gambaran
itu.
“Apa?” Ben mendesak.
“Dia ikut klub drama di sekolah. Dia juga ikut sekolah
modelling.”
“Ohhhh!” Ben menyahut, lalu tertawa. “Jadi kira-kira,
dia itu pasti primadona di sekolah, kamu salah satu cowok yang tertarik padanya
dan merasa bangga kalau bisa memacarinya. Begitu, kan?”
Aku tak menjawab. Tapi tentu sikap diamku sudah
merupakan jawaban. Bahwa tebakan Ben memang ada benarnya, kurang lebih begitu.
“Terus, apa yang membuatmu bosan dengannya?” Ben
mengulik.
“Bosan? Aku nggak bosan! Aku capek!” tukasku ketus.
“Beberapa kali dia memanas-manasi aku. Yang terakhir benar-benar keterlaluan!”
“Memanas-manasi? Gimana ceritanya?”
Ceritanya?
Baiklah, semoga dengan menceritakan sebanyak-banyaknya
tentang masa lalu itu dapat membantuku lebih lepas. Menerjemahkan pergumulan
itu ke dalam kata-kata, dan biarkan menguap lalu hilang. Aku nggak yakin
semudah itu juga. Tapi, nggak ada gunanya lagi ditutupi terus. Karena toh Ben
sudah menguping, sekarang dia harus jadi pendengarku!
Beginilah ceritanya….
Aku dan Leah satu sekolahan di sebuah SMP di Medan.
Kami tak pernah sekelas. Tapi Leah adalah salah satu siswi yang cukup sering
mengundang perhatian, baik dari guru maupun sesama siswa. Kenapa? Soal cantik
atau manis itu relatif, lah. Tapi dia multitalenta. Leah waktu itu sudah
dikenal sebagai seorang model remaja di Medan. Bayangkan saja yang namanya
model itu minimal punya postur seperti apa. Dia juga ikut klub drama di
sekolah, kadang mendapat peran utama. Itulah kenapa aku selalu percaya bahwa
dia pintar akting, di kehidupan nyata sekalipun.
Intinya, dia seorang gadis dengan pesona yang dapat
menarik banyak cowok. Apalagi dia supel, tidak membeda-bedakan pergaulan. Dan
sifat itulah yang membuatku benar-benar terkesan padanya waktu pertama kali
berkenalan. Sejak kelas satu aku sudah tahu Leah yang populer itu, tapi
perkenalanku dengannya baru terjadi saat kelas tiga. Yaitu pada suatu hari,
setelah acara gladi untuk pentas drama bertema Valentine’s Day….
Waktu itu aku sedang dihukum gara-gara usil di kelas.
Di meja guru yang ada di kelasku, aku menaruh tikus mainan di laci. Tibalah
guru Bahasa Indonesia kami, Bu Ester Perangin-Angin (dari namanya yang sangar
itu, harusnya aku nggak cari masalah dengannya). Waktu menemukan tikus itu,
beliau menjerit hingga suaranya, konon, terdengar sampai kantor guru. Faktanya,
Bu Ester juga tak lain adalah pembina klub drama, beliau juga sutradaranya.
Dihukumlah aku, jadi tukang bersih-bersih selama persiapan pentas drama
Valentine itu.
Usai gladi, aku menjalankan hukumanku, membersihkan
aula dari ceceran sampah. Sendirian. Di saat aku mengira semua sudah pulang,
seseorang menghampiriku.
“Hei, belum pulang kau? Rajin kali kau sapu lantai,
ya?” sapanya. Dialah Leah, si pemeran utama.
Aku kaget, tapi tetap pasang gaya cool. “Lu
sendiri kenapa masih di sini aja?” aku membalas sapanya.
Dia malah, perlahan-lahan, tampak berbinar-binar.
“Anak darimana kau? Kenapa bicara seperti itu?” tanyanya, sedikit menahan tawa.
Aku tak menjawab. Cuma balas tersenyum saja. Lalu aku
bercerita soal hukuman dari Bu Ester. Dan… betapa laparnya aku waktu itu.
Tak kusangka, Leah menyodoriku bermacam-macam…
“Coklat, kau mau?”
Aku bengong. “Wow! Bukannya itu hadiah dari
teman-temanmu tadi?” balasku. Karena beberapa hari lagi Valentine’s Day, hari
itu beberapa cowok sudah nyicil mengirim coklat untuk Leah.
“Tak mungkin, lah, aku habiskan coklat ini sendirian.
Bisa buncit aku!” Leah membicarakan soal tubuhnya.
“Tapi coklat nggak bisa ngobatin lapar,” gumamku. Aku
bukan bermaksud menolak, sih. Karena habis berkata begitu, kucomot juga satu
batang dari tangan Leah. Biarpun nggak bikin kenyang, siapa yang nggak mau
coklat?
Lalu, makanlah kami. Di antara kursi-kursi kosong di
aula itu, kami berdua menghabiskan coklat-coklat sambil saling bercerita. Bukan
cerita-cerita romantis, karena kami baru saja kenal. Kami bercerita tentang
guru-guru di sekolah dari yang baik hati sampai yang kejam (seperti Bu Ester
Perangin-Angin, misalnya); tentang siswa ini dan siswa itu; tentang aku dan
Leah. Tentang latar belakang kami. Tentu tak lupa kami saling mengenalkan nama,
meski aku sudah tahu namanya duluan.
Rupanya sore itu Leah sedang menunggu dijemput
sopirnya. Begitu penjemputnya datang, kami berpisah. Perpisahan sore itu
meninggalkan satu hal dalam diriku, yang membedakan dari diriku sebelumnya.
Bahwa sejak itu aku nggak cuma sebagai cowok yang sekedar tahu bahwa Leah itu
populer. Tapi aku sudah menjadi cowok yang ingin… punya pacar seperti Leah!
Aku bertekad, aku juga akan memberinya kado Valentine!
Singkatnya, usai pementasan di hari H, aku sudah
menyiapkan kado untuknya. Aku menunggu di belakang panggung. Menunggu agar
situasi sedikit lebih tenang, karena hari itu lagi-lagi dipenuhi orang-orang
caper yang ingin mempersembahkan sesuatu kepada orang-orang yang mereka kagumi,
di momen usai pementasan itu. Kesempatanku datang ketika Leah selesai mengganti
kostum. Dia mendapatiku sedang menunggu di pintu belakang.
“Hei, kenapa kau di sini? Kau mau bersih-bersih lagi?”
dia menyapa setengah meledekku.
“Iya. Gue bersihin lagi deh, nanti. Tapi lu juga
bersihin ini, ya!” aku membalas sambil menyodorkan sesuatu padanya. “Bersihin
sampai habis. Jangan bersisa. Enak, kok!”
Mata Leah terbelalak. Dia menerima pemberianku, sebuah
cup-cake imut terbungkus kotak mika. “Wow! Cantik kali ini!” decaknya
kagum. “Tapi ini coklat lagi? Kau juga ingin aku cepat buncit rupanya?”
“Itu bukan coklat. Itu dari gula merah. Sama-sama
manis, tapi gue harus tampil beda dong!” selorohku. Biarpun ingusan, aku sudah pintar
menggombal. “Kalau makan banyak memang bisa buncit, makanya gue cuma bikin
satu. Dan cuma buat lu aja.”
Leah tertawa tersipu-sipu. “Ini kau sendiri yang
bikin?”
“He’em,” aku mengangguk.
Dia berdecak lagi. “Wow!”
Kulihat dia tampak terpukau memandangiku. Atau,
mungkin aku saja yang ge’er menerjemahkan tatapannya itu. Tapi yang pasti dia
menyambut pemberianku dengan senang hati.
“Oke. Aku makan nanti. Thank you!” begitu
ucapnya. Lalu dia pergi.
Ya, cuma begitu saja saat itu.
“Sudah? Cuma begitu? Kamu nggak nembak dia waktu itu
juga?” Ben menyela ceritaku.
“Belum. Lu bisa bayangin, lah, Ben… waktu itu aku
masih SMP. Masih culun! Ingin, sih, ingin. Tapi masih ragu. Soalnya waktu itu
juga mau masuk masa-masa pra-ujian. Aku masih pikir-pikir.”
“Terus, kapan kalian jadiannya?”
Aku mengingat-ingat. “Agak lama setelah itu, beberapa
bulan kemudian. Waktu sudah lulus SMP, kebetulan kami satu sekolah lagi. Satu
SMA. Aku jadi lebih optimis buat serius nembak dia. Itu sekitar awal bulan
September.”
“Gimana kamu nembaknya?”
Aku bercerita lagi….
Seperti biasa, sepulang sekolah Leah selalu dijemput.
Tapi siang itu jemputannya agak ngaret. Kuambil kesempatan menemaninya di taman
depan sekolah. Tapi bukan sekedar menemani, karena hari itu aku sudah
membulatkan tekad untuk mengatakan perasaanku kepada Leah. Di taman itu aku
menyatakannya….
“Lia,” waktu itu aku masih memanggilnya begitu, “gue
suka sama lu. Lu juga sama nggak, sih?”
Entah itu kalimat yang romatis atau tidak. Tapi to
the point banget, sih, iya! Soalnya mau basa-basi panjang sekalipun,
intinya tetap mau nembak, kan? So, daripada jemputannya keburu datang,
aku langsung mengucapkannya tanpa basa-basi.
Leah tercengang menatapku. “Kau bilang apa barusan?”
“I’m falling in love with you!”
Ucapan cintaku memang standar banget. Tapi itu sudah
berhasil membuatnya kesulitan berkata-kata.
“Wow…! Kenapa kau baru bilang sekarang?” tukasnya.
Gantian aku ternganga. Kenapa baru bilang sekarang?
“Kenapa memangnya?”
Dia tampak gugup, menepuk jidat. “Yaah! Kau sudah beri
aku kue waktu Valentine dulu, kan? Lama sekali, baru sekarang kau bilang?”
Aku jadi nggak paham. Tambah bingung campur deg-degan.
“Jadi… maksudnya, gue udah telat, ya?”
Dia tersenyum kikuk, antara perasaan canggung atau
senang, mungkin. Dia tertawa menukasku. “Bukan telat. Tapi kelamaan!”
“Apa bedanya?”
“Denis, kau sudah keduluan banyak orang. Banyak yang
sudah bilang begitu padaku. Tapi… aku tak bilang kau telat, karena aku juga
belum terima satupun dari mereka.”
Aku makin deg-degan mendengar pernyataan Leah itu. “Kenapa
nggak lu terima mereka?” tanyaku, percaya nggak percaya.
Bahasa tubuh Leah terlihat nervous, entah
karena malu atau justru antusias. Aku masih belum bisa bedakan. Karena aku juga
sibuk mengontrol diriku sendiri agar siap menghadapi moment of truth itu.
“Selama ini aku tunggu-tunggu kau. Karena di antara
cowok-cowok yang bilang cinta itu, kau yang paling keren!”
Itulah jawaban darinya.
Tiba-tiba kepalaku membesar, seperti balon yang ditiup
dan mau melambung!
“Apanya yang keren?” celetukku, sok unyu.
Leah tertawa sambil menyikutku. “Bah, kau ini!
Kue itu enak sekali. Cewek bisa masak itu biasa. Tapi kalau cowok, itu luar
biasa! Kau memang beda. Kau keren, lah!”
Aku tertawa-tawa sendiri, kegirangan. “Jadi, gue
diterima, nih?”
“Hahaha…” Leah tertawa mendekap bibirnya. “Tapi kau
bikinkan aku kue itu lagi, ya!”
“Oke! Siapa takut?” jawabku penuh semangat. “Minta
dibikinin berapa?”
“Yang banyak!”
“Oke, siap! Lu gendut juga tetap cantik, kok.”
Anehnya, alih-alih bunga bermekaran ala adegan cinta
di film Disney, yang ada malah suara geledek menandai hari jadian kami.
Nggak keras, tapi rada ironis juga. Seolah barusan aku bukan habis nembak
cewek, tapi habis sumpah pocong! Tapi waktu itu nevermind. Karena yang
terpikir di benakku cuma satu, bahwa aku baru saja memasuki sejarah baru dalam
hidupku: mendapatkan pacar pertama!
Aku nggak akan menceritakan detail hubunganku dengan
Leah semenjak kami resmi jadi pacar. Terlalu panjang nanti. Aku cuma perlu
menegaskan saja, bahwa semakin dekat hubunganmu dengan seseorang, kamu akan
semakin mengenal kepribadiannya. Bukan cuma yang baik-baik saja seperti ketika
baru kenalan, tapi juga yang jelek-jelek mulai terkuak satu demi satu. (Aku
pernah nasihatkan itu ke Dimas, saat dia kedanan Fandy.)
Di balik sikapnya yang manis dan supel, ternyata Leah
itu manjanya minta ampun. Dia sudah mencapai tahap lebay. Tiap kali aku merasa
kemauannya berlebihan dan aku menolak atau menunda menurutinya, dia langsung
mengecap aku nggak perhatian, aku nggak sayang, aku nggak pengertian, dan
sebagainya.
Aku masih sakit hati kalau mengingat perbuatannya
padaku….
“Dia selingkuh!” tegasku.
“Tadi aku dengar, dia bilang cuma ‘ngetes’?” Ben
menyelidik.
Aku membantah. “Gombal! Sebulan setelah kutinggal, dia
jadian dengan cowok yang dia ajak selingkuh itu. Jadi sebenarnya dia memang
punya rasa dengan cowok itu!”
“Dia bilang, karena kamu nggak perhatian lagi sama
dia? Aku dengar kamu juga nggak jenguk dia waktu di rumah sakit?”
Aku mulai heran pada Ben, sepertinya dia meragukanku
dan lebih percaya kepada Leah (yang dia sama sekali belum kenal).
“Jadi lu percaya gitu aja yang dia bilang?” tantangku.
Baiklah, akan kuceritakan apa yang sebenarnya terjadi
waktu itu. Saat Leah dirawat di rumah sakit….
Leah terserang gejala tifus. Aku dapat kabar dari Leah
sendiri, dia meneleponku saat sudah terbaring di rumah sakit. Aku ingin
menjenguk, tapi malam itu aku sedang mengerjakan banyak tugas sekolah yang
esoknya sudah harus dikumpulkan. Jadi aku berjanji bahwa aku baru bisa
menjenguk esok hari. Kurasa Leah mengerti. Kurasa dia juga tak bermaksud
menuntutku untuk segera menjenguk malam itu juga.
Esoknya, yaitu hari kedua Leah di rumah sakit,
sepulang sekolah aku berniat menjenguknya. Tapi kusempatkan menelepon Leah
terlebih dahulu, untuk menanyakan perkembangan kondisinya dan di kamar mana dia
dirawat. Tapi ternyata yang mengangkat telepon adalah ibunya. Ibunya memberi
tahu bahwa saat itu Leah sedang dijenguk teman-teman sekelasnya. Kondisi kamar
ramai sekali. Mungkin agak petang sudah lebih sepi, kata beliau.
So, aku menunggu petang untuk datang ke rumah sakit. Aku membawa cup-cake
kesukaan Leah. Tapi aku terhenti di lorong bangsal, karena kulihat di depan
kamar Leah masih berjubal para pembesuk. Aku menduga mereka rekan-rekan orang
tua Leah yang datang menjenguk. Aku merasa sungkan. Aku rela menunggu di luar
saat itu, agar para pembesuk itu pulang dulu. Tapi rupanya mereka bertahan
cukup lama. Saat mereka sudah pulang, barulah aku menghampiri kamar tempat Leah
dirawat. Aku mengintip dari jendela kecil yang terbingkai di pintu.
Aku melihat Leah terbaring tidur, tampak begitu letih.
Ibu yang menemaninya bahkan tertidur di kursi. Di meja ada banyak kue dan buah
yang pasti oleh-oleh dari para pembesuk. Terbersit di benakku: mereka butuh
istirahat, bukan penjenguk. Tiba-tiba aku sadar itu. Aku tak tega
membangunkan mereka. Tanpa kecewa ataupun menyesal, aku memilih pulang tanpa
sepengetahuan mereka. Kubawa serta cup-cake yang sedianya untuk
oleh-oleh. Kupikir, besok masih ada waktu untuk menjenguk, cup-cake
buatanku juga belum basi untuk oleh-oleh.
Lagi, esoknya sepulang sekolah, aku kembali ke rumah
sakit itu. Aku melongok lewat jendela. Tapi aku terkejut, karena yang ada di
kamar itu bukan Leah. Sudah berganti orang. Aku bertanya kepada suster yang
jaga, mereka bilang bahwa pasien bernama Marlia Simbolon sudah pulang siang
itu.
Tak kuanggap kedatanganku ke rumah sakit itu sia-sia.
Jujur, aku lebih senang mendengar kabar bahwa Leah sudah pulang. Sore itu juga
aku ke rumah Leah. Aku minta maaf baru bisa menjenguknya hari itu.
“Tak apa, lah, Den…” jawab Leah waktu itu. “Yang
penting kau tetap menjengukku. Tapi tahu darimana kau, aku sudah pulang?”
“Dari teman,” jawabku tak jujur. Karena tiba-tiba saja
terbersit rasa malu untuk mengakui bahwa aku tadi kecele di rumah sakit.
“Pasti dari Oge, ya?” tak kuduga, Leah malah menyebut
nama.
Aku tersenyum bimbang. Bingung untuk mengiyakan atau
menidakkan. Tapi sepertinya Leah tak tanggap dengan keraguanku. Karena dia
malah membuka kartunya sendiri….
“Tadi siang Oge kirim SMS, dia tanya aku dirawat di
ruang mana,” jelas Leah dengan sendirinya, “kujawab aku sedang persiapan mau
pulang.”
Saat itu aku belum punya prasangka apa-apa. Aku
sekedar bertanya, “Kenapa malah Oge yang dikasih tahu?”
Leah tertawa kecil. “Karena dia tanya. Kalau kau
tanya, aku pasti akan beri tahu juga. Kau cemburu?”
Aku menggeleng. Sama sekali tidak cemburu, waktu itu.
Dan aku mengira Leah juga tak mempermasalahkan ‘keterlambatanku’ menjenguknya.
Karena itu aku bingung dan heran, kenapa setelah dua
tahun kami berpisah dan hari ini bertemu lagi, tiba-tiba dia mengungkit masalah
sakitnya waktu itu dan menudingku sebagai pacar yang tak punya perhatian karena
tak mau menjenguknya?
“Kenapa kamu nggak jelaskan saja tadi padanya? Bahwa
kamu sudah berniat menjenguknya waktu itu?” tanya Ben.
Aku tersenyum kecut. “Ah, sudah basi juga. Biarin,
lah, toh aku juga sudah nggak menganggap dia pacar.”
Ben mendengus agak sinis. “Ya, berarti benar kamu itu
terlalu cuek.”
Aku membalas dengan santai. “Kok, baru sekarang lu
bilang begitu? Baru sadar kalau aku cuek?”
Ben tertawa. “Jadi kalau mantanmu nggak tahan pacaran
sama kamu, kamu tetap menganggap itu salahnya?”
Aku terdiam sejenak, menimbang pernyataan Ben. Aku tak
menyalahkan dia berkata begitu. Karena dia memang belum tahu masalahnya.
Aku ingin menunjukkan sesuatu pada Ben….
Aku turun dari tempat tidur, melongok ke kolong.
Kutarik koperku keluar, dan membukanya. Aku mencari sesuatu di antara tumpukan
barang dalam koper. Kutemukan benda yang kucari. Kusodorkan pada Ben.
“Apa ini?” Ben bertanya-tanya sambil membuka bungkusan
kado yang sudah tak tersegel itu. Dia mengeluarkan isinya. Mengamatinya, tak
berkedip. Sekarang, dia bisa membaca dan menafsirkan apa yang terukir di benda
itu.
Sebuah pahatan gips berbentuk hati dengan warna
merah. Berukir:
Always Love You, Lea
-09 Mei 2009-
“Aku yang membuatnya,” aku bercerita tentang benda
itu. “9 Mei adalah hari ulang tahunnya. Seminggu aku memahat benda itu.
Seharusnya sudah siap sejak sehari sebelum dia berulang-tahun. Aku menjemurnya
agar cat cepat kering. Tapi aku nggak tahu akan ada hujan hari itu. Semua
warnanya jadi luntur kena hujan. Pagi hari yang rencananya ingin kuberikan kado
itu untuk Leah saat di sekolah, terpaksa kutunda karena aku harus mengecat
ulang warnanya. Aku baru bisa berikan saat sore harinya.”
Mau tak mau aku harus mengenang pengalaman pahit itu….
Hmhhh…. Musim memang makin sukar ditebak. Bulan Mei
seharusnya sudah tak ada hujan. Tapi petang itu lagi-lagi hujan turun. Aku
kesal, tapi sama sekali tak ada niat menyerah. Lagipula cuma gerimis, hujan
kecil. Aku tetap pergi ke rumah Leah. Aku sengaja tak memberi tahu bahwa aku
akan datang, agar dia bisa merasakannya sebagai kejutan.
Aku memang terlalu percaya diri saat itu. Kupikir Leah
pasti di rumah, karena pada waktu petang biasanya dia masih di rumah. Lagipula
cuaca sedang gerimis, kupikir dia pasti akan di rumah saja.
Dan, kecewalah aku….
“Si Butet baru saja pergi dengan kawannya,” begitu ibu
Leah memberi tahu aku. “Dia pergi sama kawan kau juga, Nak. Sama si Oge.”
Aku bertanya ke mana mereka pergi. Ibu Leah menjawab,
katanya mereka ke Palladium, mau nonton bioskop. Katanya, di sana sudah
ditunggu si Dodi, kakak Oge. Katanya, aku dan beberapa teman lainnya juga akan
ikut.
Aku kaget mendengar penjelasan ibu Leah. Kubilang
kepada ibu Leah, bahwa aku tak merasa punya rencana itu bersama mereka. Ibu Leah
tampak bingung, tapi tak memberi solusi. Malah beralasan sedang terburu-buru
akan pergi untuk acara resepsi. Aku dibolehkan menunggu di rumah itu, kalau
mau. Tentu saja aku nggak mau. Aku pamit petang itu juga.
Tapi aku nggak pulang ke rumah. Aku menepikan motor ke
tempat yang agak tenang. Lalu kutelepon seseorang. Bukan Leah ataupun Oge, tapi
Dodi. Kakak Oge itu biasanya bicara jujur padaku.
“Lu lagi sama si Oge nggak, Di?” tanyaku.
“Wah, nggak, Bro. Si Oge pergi, tapi nggak sama gue.
Gue lagi nyantai aja di rumah, nih.”
“Terus, Oge pergi ke mana?”
“Nggak tahu, lah. Bilangnya cuma sama teman-teman,
gitu. Kenapa?”
“Nggak, nggak apa-apa. Gue cuma mau pinjam buku aja.”
“Oh, oke, deh. Ntar kalau dia pulang gue sampein.”
“Oke. Thanks, ya.”
Kututup telepon.
Menurutmu aku harus bagaimana? Menelepon Leah, atau
menelepon Oge? Tidak dua-duanya.
Aku menuju ke Grand Palladium, salah satu mall
terbesar di Medan. Aku memilih nongkrong di sebuah kafe, yang posisinya
strategis untuk mengamati dari kejauhan situasi sekitar bioskop. Aku menunggu
di kafe itu. Minuman habis, snack habis, kupesan lagi. Demi bisa
mendapatkan bukti apa yang sedang kucemaskan, meskipun aku tak ingin itu benar
terjadi.
Cuaca sukar ditebak. Rupanya, yang namanya teman
bahkan pacar juga begitu. Sukar diduga. Hampir tiga jam lamanya aku menunggu di
kafe itu, akhirnya kulihat juga mereka. Leah dan Oge berjalan keluar dari bioskop,
dengan bergandengan tangan. Tak hanya itu kejutan untukku. Kulihat Dodi juga
bersama mereka, dia menggandeng pacarnya sendiri.
Mereka berempat di sana senang-senang. Aku seorang
diri di sini, menahan marah. Rasanya ingin kuhampiri mereka, terlebih temanku
yang bernama Oge itu, ingin kuhajar habis-habisan. Kalau kakaknya ikut campur,
kuhajar juga! Kalau Leah menghalang-halangi, kusumpalkan kado gips ini
ke mulutnya!
Aku benar-benar marah!
Tapi…
Kamu pikir aku akan setega itu?
Tentu saja tidak. Kuhabiskan sisa apple juice pesananku,
yang sudah tawar karena es-nya sudah mencair. Lalu pulang, membawa serta kado
yang gagal itu. Tetap kusimpan baik-baik kado itu, meski akan selalu
mengingatkanku pada sebuah pengkhianatan yang menyakitkan.
Di rumah, malam itu juga, kukirim sebuah SMS kepada
Leah.
“Gw lihat lu jalan ma Oge. Don’t worry, klian serasi
kok.”
SMS itu tak pernah dibalasnya.
Yang ada, Leah memilih menitipkan pesannya kepada
Dodi. Suatu siang sepulang sekolah, Dodi menemuiku di aula saat latihan Karate
mau dimulai. Dia menyampaikan penjelasannya tentang peristiwa di hari ulang
tahun Leah itu.
“Gue minta maaf sama lu, Den. Gue cuma bantuin adik
gue waktu itu.”
“Ngapain lu harus bantuin?” aku bertanya sambil
tertawa, pura-pura aku tak marah. “Oge nggak berani ngerebut Leah sendirian?”
“Bukan gitu. Gue bantuin adik gue, karena gue mengerti
alasan dia ngajak Leah jalan.”
“Apa alasannya?”
“Karena lu udah nggak perhatian sama Leah. Itu hari
ulang tahunnya, Bro! Leah pingin lu kasih apa, kek, atau ngajak ke mana, kek.
Lu tahu sendiri, yang naksir Leah itu banyak. Yang bukan pacarnya aja pada
ngasih perhatian, ngasih ucapan selamat. Lu nggak ngasih apa-apa, sengaja lupa
atau gimana, lah. Leah kesal sama lu! Oge cuma bermaksud menghibur dia aja,
biar nggak sedih.”
Aku membantah tudingan Dodi. “Lu pikir, gue ngapain ke
Palladium waktu itu? Karena gue habis dari rumah Leah dan dia nggak ada!
Terus lu pikir lagi, ngapain gue ke rumah Leah? Karena mau ngasih dia kado
ultah. Udah gue siapin jauh-jauh hari!”
“Nah, itu dia masalahnya! Lu tuh telat! Yang lain udah
pada duluan, lu yang pacarnya malah belakangan? Dan akhirnya lu juga nggak
kasih kado itu ke dia, kan?”
“Jadi gue harus ngasih kado untuk hari
perselingkuhannya, gitu?”
“Mereka nggak selingkuh!”
Aku tertawa. “Jangan sok bego, ya! Gue lihat mereka
gandengan! Pakai rangkul-rangkul segala!”
Dodi mulai gugup, plintat-plintut. “Dia cuma pingin
ngetes lu….”
“O, ya? Leah pingin ngetes, dan Oge pingin ngerebut,
gitu? Kalau gitu harusnya mereka gentle, dong! Leah datang sendiri
temuin gue, kasih nilai ke gue. Kan katanya mau ngetes, jadi hasil tes gue
berapa? Terus si Oge juga harusnya datang sendiri ke gue, berani ngerebut Leah
masa nggak berani ngadepin pacarnya? Dia mau ngomong baik-baik juga bakal gue
layanin baik-baik, kok. Kenapa yang nemuin gue malah lu?”
Dodi nggak bisa jawab. Aku tunggu hampir lima menit,
dia belum bisa menjawab. Ya sudah, kutinggal dia.
“Sorry, ya, gue mau latihan dulu,” pamitku,
karena latihan sudah dimulai.
Sore itu aku melawan kemarahanku sendiri. Aku bisa
saja berantem dengan Dodi yang membela adiknya. Tapi, gimana juga? Mereka teman
baikku sejak kecil. Aku sangat kecewa karena pertemanan itu jadi rusak. Tapi,
adu jotos jelas tak akan membuatnya jadi baik lagi, kan? Nggak mungkin, lah.
Jadi, mbuh… Aku nggak mau tahu lagi.
Aku mengalah?
Apakah aku benar-benar sudah mengalahkan emosiku?
Apakah aku benar-benar sudah mengalahkan diriku sendiri?
Yang kuingat, sore itu, saat duel latihan Karate aku
menendang terlalu keras kepada lawanku. Hampir pingsan dia. Aku dimarahi
habis-habisan oleh mentorku. Tanpa kusengaja, aku sudah membuat pelampiasan.
Aku menyesal. Tapi bingung bagian mana yang harus
kusesali. Aku marah. Tapi sebagian kemarahanku adalah terhadap diriku sendiri!
Karena aku merasa tak bisa berbuat apa-apa dengan kecemburuanku.
Aku memilih lari darinya….
Ben memandangiku dengan mimik seolah ikut bingung
memahamiku. “Tapi kamu masih mencintainya, kan?”
“Waktu itu masih,” jawabku tercenung. “Lama-lama…
perasaan itu pudar sendiri.”
“Terus, kenapa masih kamu simpan benda ini?” Ben
menunjukkan kado yang seharusnya milik Leah itu.
“Agar aku selalu ingat, bahwa aku punya alasan saat
memilih meninggalkan dia. Bahwa dia salah kalau menyebutku ‘semena-mena’.”
Ben mengernyit. “Maksudmu…?” Dia lalu tertawa sendiri.
“Kamu sedang mensugesti dirimu sendiri, bahwa kamu sudah membuat tindakan yang
benar saat memilih meninggalkan pacarmu itu?”
Aku mengangguk ragu. “Mungkin.”
Ben tertawa tambah masam. “Jadi, sebenarnya kamu merasa
bersalah saat meninggalkannya?”
Makin lesu, aku mengangguk lagi. “Karena… dia ada
benarnya juga saat mengatakan aku kurang perhatian padanya. Aku peduli padanya,
tapi… aku selalu merasa bahwa itu tak terlalu penting untuk ditunjukkan. Hmhh….
Aku terbiasa begitu.”
Setelah curhat yang panjang, kami berdua terdiam. Tapi
aku belum sepenuhnya merasa lega.
“Cuek, memang begitulah sifatmu. Kepada siapapun,”
pada akhirnya Ben membuat kesimpulan yang sama padaku. “Cuek, tapi sebenarnya
banyak pikiran. Termasuk soal kado ini, nyatanya kamu masih menyimpannya saja.
Kalau aku boleh menilai, justru inilah yang membuatmu susah move on!
Kamu masih menyimpan benda milik mantanmu. Sebenarnya, selama kamu masih terus
berusaha mensugesti dirimu agar tak merasa bersalah atas masa lalu, justru di
saat yang sama kamu masih terus mengingatnya. Kapan bisa lupa coba?”
Nasihat Ben itu kutimbang baik-baik. Dan sepertinya
dia benar.
“Tapi nggak harus kamu buang juga, sih,” Ben buru-buru
menambahi. “Simpan saja kalau kamu masih mau menyimpannya. Yang penting, dirimu
sendiri yang harus berhenti mencari pembenaran ataupun kesalahan atas masa
lalu. Mau buang benda ini ke laut selatan sekalipun, tapi kalau kamu masih
belum mau berhenti memikirkannya, ya sama saja. Lupakan saja, lah.”
“Aku bukannya nggak mau melupakannya, Ben. Tapi… aku
selalu takut itu terulang lagi….”
“Terulang?”
Aku berpikir keras. Kali ini ada keraguan yang lebih
besar untuk menyampaikan kepada Ben. Karena kali ini ada hubungannya dengan
dia. Tapi, sampai kapan lagi aku harus menyimpannya?
Kenapa tak kubuka saja semuanya?
“Ben, kamu pikir aku nggak serius sama Misha? Aku
serius suka sama dia!” tandasku, mengakui perasaanku. “Tapi aku takut kejadian
yang sama seperti waktu aku sama Leah, terulang lagi kalau aku jadian sama
Misha.”
Alis Ben mengerut. “Kok bisa gitu?”
Aku memandangi Ben baik-baik. “Ben, kamu tahu nggak
Misha itu suka cowok yang kayak gimana?”
Ben tampak agak bingung. Tak mengerti maksud
pertanyaanku.
Kugamblangkan sekalian, “Dia suka cowok yang jago main
musik. Dia sering memuji Dimas. Tapi nggak mungkin, kan, dia mengharapkan
Dimas? Dia juga sulit mengharapkan Erik, sepupunya sendiri. Tiap kali Misha
ngobrol denganku, dia cukup sering… membicarakan kamu.”
Sejenak hening.
Ben tampak serius mencerna ucapanku. Raut mukanya
berubah drastis. Sesaat tampak kaget, kemudian berubah canggung di depanku.
“Hei, kok jadi gini?” nada suaranya sedikit naik.
“Maksudmu, Misha tertarik sama aku?”
Pembicaraanku dengan Ben langsung berubah menjadi
segan satu sama lain.
“Aku nggak tahu,” jelasku gundah. “Awalnya, kupikir
dia cuma bermaksud memberiku motivasi agar aku bisa lebih jago main musik, atau
apalah…. Tapi, sorry… jangan marah, ya… aku pernah lihat kalian ngobrol
berdua di kafe. Sepulang sekolah…”
“Jadi kamu pikir, aku pernah mendekati Misha?” suara
Ben terdengar tak nyaman. “Den, aku memang pernah mengantar dia pulang. Dia
sedang nggak bawa motor, dan nggak mungkin minta tolong kamu karena kamu
sendiri selalu boncengan dengan Dimas. Ya, memang… kami pernah mampir ke kafe. Tapi
nggak pernah menjadi sesuatu yang serius, kok?”
Aku tertawa pahit, campur sungkan. “Kalaupun kamu
pernah mendekati dia, atau Misha yang mendekati kamu, juga nggak apa-apa.
Soalnya aku juga bukan siapa-siapanya, aku bukan pacarnya. Tapi mungkin bisa beda
konteks-nya kalau aku sudah jadian dengan Misha. Dan itulah yang kutakutkan
selama ini! Aku takut kalau harus melanjutkan perasaanku kepada Misha, dan…
ujungnya ada persahabatan yang harus dikorbankan….”
Kening Ben mengernyit tajam.
“Kamu takut kalau aku merebut Misha, seperti temanmu
yang merebut Leah?”
Aku tak mau menggamblangkannya. Pertanyaan Ben itu
sudah cukup jelas jawabnya. Dan… aku merasa begitu konyol membuka pengakuan
ini. Tapi memang inilah adanya yang kupendam selama ini.
Aku tertawa, dan merasa nyinyir dengan tawaku sendiri.
“Mungkin bukan kamu yang merebut Misha. Siapa tahu suatu saat Misha-lah yang
tertarik padamu, Ben. Dia sering ngomongin kamu….”
Aku tahu pembicaraan ini membuat Ben bingung, kaget,
dan tak nyaman. Siapapun yang mendengar mungkin juga tak pernah mengiranya. Ben
memalingkan mukanya. Dia tertawa pahit, bicara tanpa menatapku…
“Den… waktu Misha membicarakan aku, apakah dia pernah
bilang padamu kalau dia tertarik padaku?”
Aku menjawab, “Tidak.”
Aku jujur menjawabnya, dan aku semakin sadar betapa
konyolnya prasangkaku terhadap Ben. Aku menyesal.
“Den, kamu pikir kenapa selama ini aku sering
mendorongmu untuk cepat-cepat jadian dengan Misha? Kamu pikir aku cuma meledek?
Nggak! Tiap ada kesempatan Misha ngobrol denganku, dia juga selalu ngomong soal
kamu. Dia nggak pernah bilang padamu kalau dia menyukaiku, kan? Tapi dia sering
cerita padaku, bahwa dia menyukaimu. Sekarang kamu mengerti?”
Aku mendesah, semakin merasa bersalah. Aku mengangguk.
“Maaf, ya, Ben…. Aku cuma orang yang plin-plan. Terlalu memelihara ketakutan.
Aku salah berprasangka seperti itu ke kamu.”
Ben sekarang menoleh padaku. Tak kusangka, kini dia
tersenyum lucu. “Ketakutanmu beralasan, kok. Sebenarnya, justru kamu adalah
orang yang punya kepedulian. Saking pedulinya, kamu sering memilih untuk tidak
memamerkannya. Sayangnya, sepertinya Leah tak memahami itu. Iya, kan? Tapi,
kurasa Misha lebih paham. Misha itu cewek yang punya kepekaan, makanya dia jadi
bingung: kenapa kamu nggak pernah mengatakan secara terus terang padanya? Siapa
yang nggak tahu, sih, kalau kamu itu punya rasa ke Misha? Semua tahu, lah! Tapi
kenapa kamu nggak pernah terus terang sampai sekarang?”
Aku termangu. Terharu.
“Anehnya, kamu juga lebih memahamiku dibanding Leah….”
celetukku.
Bola mata Ben sedikit membesar. Dia berkacak-pinggang.
“Kok, kata-katamu jadi romantis?”
Kami berdua tertawa.
Aku tak tahu apakah ucapan Ben itu adalah pernyataan
yang harus kutanggapi. Tapi yang terpenting, aku lega Ben tak tersinggung oleh
prasangkaku. Benar-benar lega!
“Tapi, kamu tetap harus tebus kesalahanmu!” tiba-tiba
dia masih menyambung.
Alisku meliuk. “Tebus? Pakai apa?”
“Kalahkan prasangkamu selama ini! Misha itu cewek, dia
bisa curhat ke siapapun, tapi dia nggak akan bicara duluan ke kamu soal
perasaannya. Kalau kamu memang masih suka padanya, kamulah yang harus bilang.
Lu tuh cowok, man!”
Jantungku berdegup mengencang.
“Jelas, lah, aku masih suka sama dia!” tegasku.
“So…? Kalau besok kamu jadi berangkat mencari
Dimas ke Bali, kamu yakin Misha masih di sini saat kamu pulang? Semua sedang
sibuk menyiapkan kuliah. Dia bisa pergi kapan saja. Kamu mau menunggu sampai
kapan lagi? Nunggu sampai telat?”
Aku bangkit berdiri. Sesaat sempat gugup… lalu
kurangkul erat-erat sahabatku itu.
“Aku menunggu siapapun yang bisa membuatku lebih
yakin!”
“Oke, oke…” Ben melepaskan diri dari rangkulanku,
“tapi simpan ciumanmu buat Misha. Don’t kiss me!”
“Gue nggak bakal cium lu!” tukasku sengit.
Tapi…
“Aku akan menemui Misha sekarang!”
Bersambung...