Karung 7
Karung 7
Setiap Orang Punya Rahasia
Namanya Marlia Simbolon. Pada awalnya kami memanggil
dia ‘Lia’ atau ‘Lea’. Tapi lama-lama kami sadar panggilan itu terlalu kalem.
Sedangkan dia seorang cewek yang gaduh, heboh, wah, dan meriahhh…! Maka
muncullah huruf ‘h’ yang tak ada di nama aslinya itu, di belakang huruf ‘a’.
Ya, ternyata terasa lebih pas dan puas kalau memanggilnya: LEAH!
Terus, siapa ‘kami’? ‘Kami’ adalah aku dan teman-teman
sepermainan di Medan. Ada Dodi, Oge, beberapa orang lagi, termasuk Leah. Nama
panggilan ‘Leah’ seingatku memang dimulai dari kami. Sebab di keluarganya dia
tak dipanggil seperti itu. Oleh orang tuanya dia dipanggil ‘Butet’. B-U-T-E-T,
empat varian huruf yang juga nggak ada di nama aslinya.
Apalah arti sebuah nama? Entah siapa yang bikin pertanyaan
klasik itu, seingatku orang penting. Makanya pertanyaan itu juga jadi
‘penting’. Lalu apa pentingnya membahas aneka nama yang dimiliki si Leah itu?
Anggap saja ‘penting’, karena faktanya dia tak suka kalau dipanggil ‘Butet’
oleh orang yang bukan ayah-ibunya, entah kenapa. Jika kami nekat memanggilnya
‘Butet’, maka kami harus siap dieksekusi. Entah kena cubit, tabok, kalau lagi
sial bisa kena tampar! Yaah, menyelamatkan pipi dari tamparan seorang cewek,
itu ‘penting’, bro…!
Sejujurnya, aku cuma bingung harus bercerita apa. Dia
baik, seru, royal, kadangkala dia lembut. Tapi dia juga rumit dan eksplosif.
Lihat, tiba-tiba cewek berkuncir-kuda itu muncul di depanku setelah dua tahun
aku berusaha keras melupakannya! Dia sepantaran denganku yang artinya dia juga
baru lulus SMA, tiba-tiba sudah berdiri di depan pagar rumahku yang artinya dia
sudah jauh-jauh dari Medan. Seorang diri dia muncul! Nekat banget dia?! Dan
biarpun tak kupanggil dia ‘Butet’, tiba-tiba aku ditamparnya! Aku ditampar perempuan
di depan Ben! Benar-benar aib…! Sial…!
Bingung campur kaget aku! “Kanapa datang-datang nampar
aku?” tukasku.
“Harusnya aku yang tanya, kenapa kau pergi tak
bilang-bilang?! Tak punya tanggung jawab kau!” Leah balik mencecar sambil
menudingkan telunjuk ke mukaku.
“Den, siapa, Den?” Ben berbisik-bisik sambil menyikut.
Aku mendorong Ben masuk ke dalam rumah. “Lu masuk aja
dulu sana, PS-nya ada di kamarku, tuh. Lu main aja dulu!”
Ben malah berhenti di muka pintu dengan tampang
konyol. “Curiga aku… ini kayaknya masalah runyam, nih? Kok dia nampar kamu,
bilang soal ‘tanggung jawab’ segala? Dia nggak…?” Ben membuat bahasa isyarat
dengan mengusapkan tangan ke perutnya.
Tok! Kujitak kepala Ben.
“Sembarangan! Cepat masuk!” hardikku, menjejalkan Ben
ke dalam rumah.
Kubalikkan badan, menghadapi lagi sosok tamu perempuan
yang berdiri di depanku. Aku masih setengah tak percaya. Kupandangi,
mencocokkan sosoknya dengan ingatanku. Ya, dia memang Leah, cewek yang pernah
kutinggalkan di Medan. Dua tahun, dan dia masih seperti yang kuingat: sawo
matang, semampai, bibir merah jelly sedikit monyong. Oh, sosok yang
sebenarnya manis itu akan tampak lebih manis andai tak berkacak-pinggang
seperti itu di depanku, dan tak memasang ekspresi yang amburadul itu. Rautnya
kelihatan begitu marah, dongkol, menyudutkan, tapi…
“Aku kangen sama kau, Den!” ucapnya merajuk. Kalimat mellow
yang dipadu intonasi khas orang Batak.
Kontradiktif!
Aku hampir tersentuh mendengar ucapannya. Daripada
ikut berkacak pinggang, kulipat tanganku di dada.
“Gombal!”
“Kenapa kau bilang begitu?!” Leah meninju bahuku. Lalu
menjongkok, mendekap kepala dengan kedua lengannya.
Aku tahu dia cuma akting. Dia pura-pura mau menangis.
Cuma pura-pura!
“Aku sudah jauh-jauh dari Medan…”
“Nah! Ngapain kamu jauh-jauh dari Medan kemari?
Mendadak pula?!” tukasku.
“Kenapa?” Leah langsung berdiri lagi, melotot padaku.
“Kau tak terima kalau aku mendadak kemari? Kau tak terima karena aku tak
bilang-bilang mau kemari? Kau sendiri ninggalin aku juga tak bilang-bilang! Dua
tahun!” Dia mengacungkan dua jarinya di depan mukaku.
Aku menelan ludah. Menahan emosiku yang mulai
terpancing. “Kamu yang ninggalin aku. Kamu duluan yang ninggalin aku…! Kamu
lupa? Nggak ngerasa…?”
Leah terdiam. Perlahan, dia benar-benar berkaca-kaca….
Kali ini terlihat tidak pura-pura. Aku cukup merinding, menghadapi seorang
perempuan menangis gara-gara ucapanku. Tapi ingat-ingat dia juga habis
menamparku, aku tak terlalu merasa bersalah. Lagipula aku sudah hapal watak
lebay-nya yang kurasa nggak berubah. Beberapa saat kami saling berpandangan
tanpa ucapan apa-apa. Lalu dia mendudukkan diri ke kursi, mengonggokkan tas
kecilnya di lantai. Aku ikut duduk, mengendapkan emosi.
“Dua tahun! Macam begini kau sambut aku?” dia merengek
dengan suara datar. Kurasa dia kecele, pasti mengira aku akan membolehkan saat
dia tadi ingin memelukku. Dia mendengus lagi, “Aku tahu kau kesal padaku.
Tapi kau tak mengerti!”
“Aku kurang mengerti gimana?”
“Kenapa kau malah bertanya seperti itu? Aku ini
perempuan, jangan kau paksa aku yang harus berterus-terang….”
Aku tertawa masam. “Itu dia. Aku capek ngertiin kamu.
Kamu kira cuma cewek yang butuh dimengerti? Mentang-mentang ada lagu yang
bilang begitu. Lebay, ah.”
Orang Batak memang bicaranya keras, tapi mereka tetap
suka lagu cengeng. Beda dengan orang Jawa, bicaranya sopan-halus tapi lagunya
banyak yang jorok. (Sorry, nggak bermaksud rasis.)
“Tapi memang terlalu cuek kau!” Leah menggerutu. “Aku
ingin kau bisa kasih perhatian yang selayaknya, lah…. Kalau tidak, apa bedanya
kau dengan yang lain? Apa bedanya pacar dengan teman biasa? Ayolah, Den…?”
Leah menatapku. Sorot mata yang dongkol tapi juga
terlihat memohon. Bikin aku gamang. Seperti berjalan di seutas rambut dibelah
tujuh, dan di bawahku adalah jurang. Yaitu jurang masa lalu, ingatan-ingatan
dua tahun lalu ketika aku masih di Medan, ketika aku berhadapan dengan sebuah
pilihan penting yang melibatkan seorang… kekasih. Pacar.
Shit! Aku benar-benar jatuh ke ingatan itu!
“Apa istimewanya jadi pacarmu, kalau ternyata kamu
lebih memilih jalan sama cowok lain daripada sama pacarmu sendiri?” Aku
membalik ucapan Leah dengan kata-kata itu. Pertanyaanku membuatnya tampak gagu.
Kutandaskan lagi, “Leah, ayolah, siapa yang nggak pengertian coba?”
Dia masih terdiam. Membiarkan air mata meluncur jatuh
dari mukanya. Dia seperti sengaja membiarkan pipinya tampak basah. Lalu dia
usap pelan-pelan. Lama-lama aku kebal juga melihat aksi meweknya itu.
Karena sepertinya dia tak punya jawaban, aku
mengalihkan pembicaraan. “Sama siapa kamu ke Solo? Masa sendirian?” tanyaku
lebih rileks. Sedikit menunjukkan simpati.
Dia tersenyum tipis. “Aku mendaftar di UGM, di
fakultas hukum. Pilihan kedua aku pilih UNS, fakultas ekonomi.”
Aku kaget. “Serius?”
Seolah lupa dirinya baru saja menangis, dia tersenyum
lebih lebar sambil mengangguk-angguk. “Demi kau juga, lah, Den.”
Kaget level berikutnya! “SERIUS??? Ngapain, sih lu…?!
Sampai segitunya?!”
Dia berdiam sejenak, menatapku lekat-lekat. Lalu
berpaling sambil tertawa tergelak seperti orang cegukan. “Sejak kau menghilang,
mau tak mau aku tanya ke ‘Mama’-mu di Medan. Dia yang kasih tahu aku, kalau kau
pindah kemari. ‘Mama’-mu pula yang beri aku alamat ini. Tapi aku tak bilang mau
kemari, aku cuma bilang mungkin kapan-kapan aku akan tulis surat buat kau. Kau
pergi diam-diam, aku juga akan cari diam-diam.”
Aku geleng-geleng kepala, tak habis pusing. “Kamu
sendirian dari Medan?”
“Tidak, lah! Ada tulang aku yang tinggal di
Jogja. Kebetulan sekali, kan, Jogja tak jauh dari Solo. Aku daftar kuliah ke
universitas itu, biarpun Dainang larang aku mati-matian. Tulang
jemput aku ke Medan, lalu kami ke Jogja. Aku sudah tiba beberapa hari lalu.
Hari ini aku pamit jalan-jalan. Tak sulit juga rupanya, aku tanyakan alamat ini
di perempatan sana, kubilang, ‘ini rumah Denis, bapaknya punya nama Pak
Setiawan’. Langsung aku diberi tahu: rumah tingkat warna hijau dengan
kentongan cabe di depannya. Ketemu!”
Lihatlah! Itu yang kumaksud ‘eksplosif’. Dia adalah
karakter cewek yang nggak bisa ditahan atau dikekang. Mungkin begitulah hasil
didikan orang tuanya. Bapaknya pejabat daerah, sedangkan ibunya juragan kain di
Medan. Leah adalah satu-satunya anak perempuan mereka. Seorang gadis keras
kepala yang dimanja habis-habisan! Dikekang dia akan berontak, diberi kebebasan
dia akan nekat!
“Kamu ikut SNMPTN?” tanyaku.
“Ya. Aku ingin siap-siap di sini sambil menunggu
pengumuman.”
“Semoga gagal.”
Plok! Leah meninju bahuku. “Jahat sekali kau!”
“Kan, kamu bilang daftar kuliah cuma untuk cari celah,
biar bisa mencariku kemari! Sekarang sudah ketemu, jadi kalau nggak lolos juga
nggak apa-apa, kan?”
“Tapi kalau bisa diterima di UGM, kenapa tidak? Itu
universitas nomor satu. Kau terlalu besar kepala. Kalau aku kuliah semata-mata
demi kau, aku taruh UNS di pilihan pertama, biar satu kota dengan kau. Jogja
jauh sedikit tak apa, lah. Daripada aku tetap di Medan.”
Aku bergidik, tapi juga geli. “Jadi kamu pikir aku
akan tetap di sini saja? Kamu pikir aku nggak ingin kuliah ke mana gitu?”
Aku dipandangi dengan mimik menyelidik. “Ke mana?”
tanya Leah.
Aku tersenyum jahat. “Rahasia! Yang pasti bukan UGM,
juga bukan UNS.”
Dia langsung cemberut. “Kalau universitas yang kau
pilih itu jauh dari sini, aku doakan kau juga gagal!”
Aku menghela napas. Melonggarkan dada. “Kenapa, sih,
kamu harus senekat ini?”
“Karena aku marah sekali,” dia menjawab pelan, merajuk
lagi. “Kau pindah kemari tanpa memberi tahu siapapun. Kau bersikap seolah kau
tak meninggalkan siapa-siapa di Medan, kecuali keluargamu di sana. Kau tak
menganggap teman-temanmu. Kau tak menganggapku.”
“Aku nggak pindah. Aku di sini pulang.”
“Oh, ya?” Leah menimpal dengan santai. “Yaa… aku juga
tahu, lah. Kita semua tahu. Kau sendiri yang dulu pernah cerita ke kita, kalau
yang di Medan itu bukan keluarga kandung. Tak apa-apa. Tak mungkin aku
menghalangimu pulang kemari. Aku marah karena kau diam-diam! Kau semena-mena!”
Percakapan kembali menyedotku kepada ingatan-ingatan
yang mengecewakan itu. Tentang masa lalu kami. Tidak sungguh-sungguh
masa lalu, sih. Karena terbukti aku nggak sungguh-sungguh bisa lari darinya.
Mau basa-basi sepanjang apapun, tetap nggak mungkin bisa memungkiri bahwa ada
masalah di antara kami. Masalah yang dua tahun ini kukubur serapi mungkin, tapi
ternyata aku tetap nggak bisa beranjak dari ‘kuburan’ itu. Selama ini diam-diam
aku masih berkutat di atasnya, tanpa orang lain tahu. Dan, sekarang dia datang!
“Sorry, Leah. Semua adalah soal sebab-akibat.
Seandainya nggak ada masalah di Medan, aku mungkin akan tetap pikir-pikir lebih
panjang sebelum memutuskan tinggal di sini.”
Leah sesaat terdiam. Dia tampak merenung. Lalu berucap
pelan, “Oke. Akulah masalahnya, kan?”
Kupandangi dirinya. Matanya tampak basah lagi. Tapi
kali ini dia mengusapnya sebelum air mata itu terjatuh.
Dia memberiku satu pertanyaan lagi. “Kau lebih bahagia
setelah di sini?”
“Soal bahagia itu relatif,” terangku sembari
merenungkan. “Di Medan aku bisa bahagia, di sini juga. Di Medan aku punya
masalah, di sini aku juga ketemu masalah. Tapi aku menemukan diriku lebih
berarti di sini.”
“Hmmm…” Leah tersenyum, “itu terdengar sedikit
menghiburku. Setidaknya kau masih akui biarpun tak terus terang. Bahwa kau bisa
bahagia selama di Medan, waktu kita masih bersama. Tapi tetap saja kau lebih
memilih meninggalkan aku.”
“Aku nggak bermaksud semata-mata menyalahkan kamu.
Karena aku juga punya salah. Kita sama-sama salah. Tapi… kamu memang
keterlaluan!” aku mengeluarkan kalimat galau. Aku membuka sebuah konklusi dari
masa lalu, ingatan yang paling tak kusukai, “Kalau kamu jadi aku, memangnya
kamu akan baik-baik saja melihat pacarmu jalan sama cewek lain? Padahal kamu
sudah bela-belain datang di hari ulang tahunnya?”
“Itulah yang kau tak mengerti, Den! Kau kira aku
bermaksud selingkuh? Tidak! Aku jalan sama Oge cuma untuk ngetes, apakah kau
masih sayang padaku!”
Aku tertawa sinis. “Ngetes? Terus, jadi kamu nggak salah
gitu? Apa maksudmu ngetes dengan cara seperti itu?”
“Karena kau tak perhatian lagi padaku!”
Aku lagi-lagi heran, tak terima dia menudingku dengan penilaian itu. “Aku nggak perhatian? Leah, malam itu aku datang ke rumahmu,
bawain kamu kado. Karena aku nggak lupa itu hari ulang tahunmu. Tapi kamu malah
pergi sama Oge!”
“Karena Oge tidak terlambat! Tengah malam dia sudah
meneleponku, kasih ucapan selamat ulang tahun. Kau??? Esoknya waktu kita ketemu
di sekolah bahkan kau masih belum ucapkan apa-apa. Yang bukan pacar saja bisa
kasih aku perhatian seperti itu, kenapa kau tidak?”
“Tapi ngapain coba, si Oge tengah malam nelepon kamu
ngucapin selamat? Kalau bukan cari kesempatan ngerebut kamu? Dan kamunya malah
manfaatin dia buat ngetes aku. Kamu nggak cuma permainkan aku, tapi Oge juga
kamu permainkan! Aku sama dia teman baik sejak lama, jadi kacau gara-gara
kamu!” kutumpahkan rasa marah dan kecewaku. Tak hanya kepada Leah, tapi juga
Oge, teman baikku itu. “Huh, gara-gara si Oge juga, cari-cari kesempatan
nusuk dari belakang! Hampir aku berkelahi sama dia!”
“Hei, si Oge berani cari kesempatan, karena semua juga
tahu kalau kau sudah tak perhatian lagi padaku. Wajar, lah, kalau ada yang
ingin gantikan kau. Harusnya kau introspeksi!”
“Sudah kubilang, aku bukannya nggak perhatian sama
kamu. Tapi apa memang harus selebay itu buat jadi pacarmu, sampai musti nelepon
tengah malam demi ngasih ucapan selamat ulang tahun?”
“Si Oge yang bukan pacar saja tak keberatan
melakukannya, dan aku tak menganggapnya lebay. Please, lah! Aku dulu
juga lakukan itu waktu kau yang ulang tahun. Aku juga tak merasa lebay.”
“Tapi aku juga nggak nuntut. Kalaupun kamu lupa, aku
juga nggak akan uring-uringan. Karena itu cuma masalah sepele… ya ilah, cuma
soal ulang tahun! Kenapa harus jadi masalah besar?”
“Justru jika dalam masalah kecil saja kau malas,
bagaimana kalau nanti ada masalah besar?”
“Justru masalah kecil harusnya jangan menyita
pikiran!” bantahku ketus. “Biar nggak mengganggu masalah yang lebih besar!”
“Terus, memangnya kau punya masalah besar apa waktu
itu?”
Aku terdiam saat Leah membalik ucapanku. Aku mulai
ragu.
“Hei,” Leah mengulang, “kau punya masalah besar apa
memangnya?”
Aku tertunduk lesu. Aku menggeleng. “Nggak ada. Waktu
kamu jalan sama Oge, baru itu jadi masalah besar buat hubungan kita.”
Leah tertawa menyendat. Lagi, seperti orang cegukan.
“Aku jalan sama Oge justru karena sikapmu yang tak lagi perhatian itu sudah
terlalu besar untuk aku diamkan. Aku pikir waktu itu, ‘sebenarnya aku ini
punya pacar atau tidak?’. Karena Oge lebih perhatian padaku, maka aku
pikir, ‘kalau aku jalan sama Oge apakah akan ada yang marah?’. Anehnya,
kau benar marah! Padahal aku cuma ingin kau introspeksi saja.”
Leah tertawa lagi. Aku tahu, dia tidak bahagia dengan
tawanya itu. Aku juga tidak bahagia mendengarnya. Tawa yang pahit, menyakitkan.
“Dulu, sebelumnya, kau juga pernah cemburu seperti
itu,” Leah mulai mengungkit kenangan lain. “Waktu aku jalan dengan Bang Jefri,
kau tuduh aku tertarik padanya. Lalu aku beri tahu kau, ‘Hei, Bang Jefri
juga bermarga Simbolon. Tak ada kawin-kawinan sesama marga Simbolon. Pacaran
pun tidak! Dia kuanggap kakakku sendiri.’, barulah kau sadar. Kau kurang
perhatian, tapi anehnya kau cemburuan?”
Kusadari, kulit wajahku meremang. Memerah, mungkin.
Walaupun begitu aku tidak kaget Leah mengungkitnya. Dia mencoba mengintimidasi
dengan masa lalu, untuk berkelit dari sikapnya sendiri yang keterlaluan.
“Kau tahu tidak?” dia masih menyambung lagi, “Setelah
Oge nelepon tengah malam itu, kemudian ada SMS masuk ke HP-ku. Ada nomor baru,
aku berharap itu nomormu dan kau beri aku ucapan selamat ulang tahun. Aku tak
akan marah kau terlambat lima belas menit saja. Lewat SMS-pun aku tak keberatan
jika kau memang tak ada pulsa. Lalu kubuka SMS itu, rupanya berbunyi, ‘Mama
minta pulsa…’, bagaimana aku tak marah malam itu?! Aku marah sekali!”
Leah tertawa dalam ‘kemarahan’nya.
“Itu titik puncak buat aku, Den. Aku tak sabar lagi.
Karena bukan cuma sekali itu kau berlaku mengesalkan. Sebagai pacar, kau selalu
datang belakangan. Waktu aku tiga hari di rumah sakit, kau juga tak jenguk aku.
Semua teman jenguk aku, mereka tanya ‘di mana si Denis?’, ‘apakah dia
sudah jenguk?’. Aku sudah pulang ke rumah, baru kau muncul. Aku kecewa
sekali.”
Aku menghela napas, berusaha untuk tidak marah atau
sedih mendengar itu semua. Tapi, tetap itu terasa menyakitkan. Aku ingin
mencoba menjelaskannya, tapi kupikir, adakah gunanya? Sepertinya sudah telanjur
terpatri di pikiran Leah, bahwa aku adalah cowok yang tak bisa memberinya
perhatian. Lalu, untuk apa aku menyangkalnya? Adakah yang ingin kupertahankan?
“Sorry, Leah, aku memang bukan pacar romantis.
Aku nggak bisa show off. Oke, aku memang kurang perhatian….” aku memilih
menyetujuinya saja. Berharap itu bisa membuatnya berhenti mengungkit-ungkit.
Leah merapatkan punggungnya ke kursi. Tangannya saling
mendekap. Dia seperti orang kedinginan yang mencari posisi sehangat mungkin.
Pastinya dia tak sungguh-sungguh sedang kedinginan. Itu cuma gayanya kalau
sedang merajuk. Seolah dia malah tambah kesal saat aku mengakui kekuranganku.
“Kau pikir, cuma itu saja kesalahanmu, tak perhatian?”
ternyata dia belum merasa cukup mengintimidasi. Dia mengungkit lagi, “Kau
juga penuh kebohongan, Den. Waktu aku tanya ke ‘Mama’-mu soal dirimu, dia
seperti bingung. Dia balik tanya padaku, ‘kalian berteman, atau…?’,
‘Mama’-mu tak bisa meneruskan pertanyaannya sendiri. Aku yang teruskan, ‘aku
pacar Denis, Tante!’. Kagetlah dia! Jadi itu alasan kau tak pernah mau
mengajakku ke rumahmu? Selama ini kau tak pernah mengaku kepada orang rumah kalau
kau sudah punya pacar? Baru tahu aku, selama ini aku adalah pacar yang tak
pernah dianggap.”
God…. Aku kurang sabar gimana, sih?
“Oke, aku juga minta maaf soal itu, Leah. Aku memang
nggak bilang ke mereka kalau kita pacaran. Soalnya, nggak penting juga mereka
tahu kalau aku sudah punya pacar. Apalagi Mama Hilda orangnya kepo dan posesif.
Aku yang cowok saja sering diminta nemenin ke pasar, ke mall. Kalau aku bilang
punya pacar, aku takut kita malah kehilangan privasi,” jelasku kepada Leah,
entah akan dipercaya atau tidak.
“Kau cari-cari alasan saja,” Leah mendengus sinis.
“Kau pikir soal privasi, tapi kau malas memikirkan aku.”
Hfff… sudah kuduga, dia tak mempercayaiku. Aku pilih tak
membalas lagi.
Kami mulai berhenti. Mengendapkan pertengkaran kami,
diam beberapa waktu. Bu RT lewat di depan rumah, mungkin mau ke warung di pojok
perempatan. Beliau menyapa dengan bahasa isyarat, anggukan dan senyuman. Aku
membalas dengan cara yang sama, seolah tak ada yang sengit di beranda ini.
Sampai Bu RT lewat lagi untuk balik ke rumahnya, aku dan Leah belum bicara.
“Mas Denis, tamunya dibuatkan minum apa tidak?” Mbok
Marni muncul sambil berbisik di muka pintu.
“Air putih saja. Dia suka air putih. Yang dingin,”
jawabku ke Mbok Marni. “Sekalian bawakan biskuit atau apa saja yang ada.”
Leah tertawa sengau. “Kali ini rupanya kau bisa
mengingat hal kecil tentang aku,” dia menyindir.
“Aku capek bertengkar,” balasku datar.
“Aku lebih capek. Kau kira aku jauh-jauh dari Medan
kemari cuma mau bertengkar?”
Cukup. Tak akan ada habisnya kalau melayani
omongannya.
“Aku pikir-pikir, rupanya kau ada yang berubah. Dari
cara bicara, kau tak sama dengan yang dulu waktu di Medan,” Leah mengungkit hal
yang lebih ringan, tapi masih soal aku. Dia tertawa sambil mengenang, “Dulu kau
suka sebut ‘lu-gue’ ke orang lain. Sekarang aku tak dengar kau bicara begitu.”
Untuk pembicaraan yang ringan ini, aku bersedia
menanggapi. “Kalau aku bicara ‘lu-gue’ di sini, aku akan dicap ‘belagu’. Dulu
aku bicara begitu karena teman-teman mainku seperti si Dodi, Oge, mereka
kakak-adik dari Jakarta. Kamu juga tahu, lah… begitulah kalau mereka bicara.
Dari awal aku tinggal di Medan, merekalah yang jadi teman mainku.”
Leah tertawa sedikit tergelak. “Ya. Kata mereka, kau
takut berteman dengan orang Batak karena kalau bicara keras seperti preman.
Tapi kau pacari juga aku! Lucu kali kau ini! Aku mau terima karena kau tampak
keren sekali, apalagi kalau bicara seperti anak Jakarta. Sekarang, kau sudah
jadi Jawa lagi!”
Sialan, kayaknya dia mulai bersikap rasial terhadapku?
Aku bersikap rasial hanya dalam pikiran, tapi Leah mengucapkannya!
“Kamu menyesal aku jadi orang Jawa lagi?” ceplosku.
“Ya bukan begitu, lah. Sejak semula aku juga sudah
tahu kau ini memang orang Jawa. Kau juga sudah tahu aku ini Batak. Lucu saja
kau ini, kau pernah kira orang Batak itu serba keras. Padahal tak selalu
begitu. Kau coba saja beli dari orang Batak yang jualan di pasar, dia kasih
harga tinggi lalu kau tawar setengah harga, dia pasti menolak tapi tidak sampai
marah-marah. Beda kalau yang jualan orang Jawa, dia tawarkan dagangan dengan
sopan-lembut, tapi waktu ditawar setengah harga saja, dia ngomongnya langsung
berubah tak enak!”
“Kamu baru beberapa hari di Jawa, sudah bisa menilai
begitu?”
“Tulang aku sudah lama di Jawa, dia yang nilai
itu!”
“Terus, kamu juga menilaiku begitu?”
Leah tertawa masam. “Ya tak tahu, lah. Kau bicara di
depanku begini santai, tapi mana aku tahu dalam hati kau sedang memaki-maki?”
Aku tersenyum kecut. Ucapan Leah tak terlalu meleset.
“Hei, kau pernah cerita punya saudara kembar, kan?”
tiba-tiba Leah mengganti topik lagi. “Mana saudara kembarmu itu?”
Dia sekarang mengusik dengan pertanyaan yang complicated
itu. Oh, God! Bagaimanapun, sepintar apapun kami berbasa-basi, ini
tetaplah momen yang salah! Leah datang di saat yang benar-benar tak tepat.
Sekarang dia menanyakan hal yang membuatku kebingungan. Bagaimana aku
menjelaskannya? Dan perlukah aku menjelaskannya?
“Dia pergi,” jawabku singkat.
“Oh. Ke mana?”
“Piknik ke tempat kawannya. Di Bali,” tiba-tiba saja
aku menemukan dalih, kuucapkan kebohongan itu secara spontan.
“Wow! Padahal ingin sekali aku ketemu kakak kau itu.
‘Mama’-mu bilang kalian mirip sekali. Seperti apa rasanya punya saudara
kembar?”
“Seperti neraka,” jawabku asal.
Leah menggerutu tak jelas mendengar jawabanku. Tapi
dia masih saja antusias bertanya-tanya. “Kenapa tampaknya sepi sekali rumahmu
ini?”
“Ortu-ku kerja.”
“Di mana?”
“Ya di kantor mereka.”
“Maksudku apa pekerjaannya itu? Kantor Bank, Pemda,
sekolah, atau…”
“Papa-ku di perusahaan periklanan. Mama-ku di
asuransi.”
“Wah! Terus kalau tiap hari sepi begini, ngapain saja
kau di rumah?”
Kesabaranku mulai hilang menghadapi pertanyaan Leah
yang terlalu mengulik itu. Gigiku sudah menggegat. Untung Mbok Marni datang,
membawakan air dan selodong biskuit. Kusambar gelasku, minum air dingin untuk
meredam kepalaku yang memanas.
“Terima kasih, Ibu….” Leah mengucap sok manis
ke Mbok Marni.
Mbok Marni cuma cengar-cengir tampak canggung. Berlalu
tanpa komentar.
Leah minum seteguk. Lalu cepat-cepat melontarkan pertanyaan
baru, “Hei, tadi ada temanmu, kan? Ke mana dia? Kenapa tak kau kenalkan saja
padaku?”
“Nggak usah!” tolakku ketus. “Dia nggak tertarik sama
kamu.”
Leah menonjokku lagi. “Kau benar jahat sekali!”
tukasnya ngambek. Lalu dia bangkit dari duduk, tiba-tiba nyelonong masuk ke
dalam.
“Woi, mau ngapain?” aku tak bisa mencegah, tapi cemas
juga kalau membiarkan dia seenaknya nyelonong ke dalam rumah.
“Aku sudah kira, pasti ada foto-foto di ruang tamu!”
selorohnya tersenyum lebar. Dia melihati foto-foto di dinding. Foto Papa, juga
foto Mama. Lalu terpana agak lama saat memandangi foto dua bocah kembar
berkostum Jawa. Dia tertawa menunjuk foto itu. “Ini pasti kau, kan? Sama kakak
kembarmu itu, kan? Umur berapa ini?”
“Tujuh,” jawabku sambil menjatuhkan diri ke sofa.
“Kenapa kalian pakai baju daerah macam ini? Kalian
habis sunat, kah?”
Astaga! Pertanyaannya tambah kepo, sok tahu pula!
“Itu habis karnaval!” tukasku ketus.
Dia dengan tenangnya manggut-manggut. Beralih
mengamati foto lain yang masih cukup baru, yaitu foto kami sekeluarga berpose
bersama: aku, Dimas, Papa dan Mama. Rupanya Leah bisa membedakan antara aku dan
Dimas.
“Kakak kau yang ini, kan?” dia menunjuk Dimas. “Memang
mirip kalian. Tapi sorot matanya lebih kalem. Aku hapal sorot mata kau tak
begitu.”
Dimas lebih kalem? Dasar sok tahu!
“Kamu hari ini langsung balik ke Jogja, kan?”
lontarku, tak menggubris keasyikan Leah mengulik foto.
Dia berpaling memandangiku dengan jutek. “Kau ingin
aku cepat-cepat pergi?” tukasnya.
“Lha, terus mau ngapain lama-lama di sini?”
Dia berkacak pinggang. “Kau tak punya perasaan! Tega
sekali, sudah jauh-jauh aku mencari kemari, kau malah ingin aku cepat-cepat
pulang?”
“Soalnya aku bingung, sebenarnya ngapain kamu
mencariku? Mau kangen-kangenan? Oke, tapi aku sedang sibuk sekali hari ini!”
Leah tambah melotot. Dia menunjuk dirinya sendiri.
“Aku pacarmu!”
Aku ikut melotot. “Lho, dua tahun aku tinggalin kamu,
kamu masih anggap aku pacarmu?”
Leah terdiam. Bibirnya makin menyempit,
berkedut-kedut. Dia duduk sambil mengulik-ulik ujung jemarinya. Lagi-lagi
merajuk.
“Den, aku tak ingat kita sudah mengeluarkan kata
‘putus’. Kapan kita putus? Kapan tepatnya? Kau pergi tanpa membuat keputusan
apa-apa. Kau ‘gantung’ aku!”
“Tidak,” aku menggeleng, menyangkal pernyataan Leah. “De
jure, kita memang nggak pernah mengeluarkan kata ‘putus’. Tapi de facto,
kita sudah putus sejak…”
“Kau pindah kemari?” Leah menerka lanjutan kalimatku.
“Lebih tepatnya, sejak kau pilih pacaran sama Oge!”
tambahku menggarisbawahi. “Aku pernah menelepon Dodi, sekedar menanyakan kabar
kalian. Dia ngasih tahu aku, bahwa sejak aku pergi, sebulan kemudian kamu
jadian sama Oge. Yang awalnya cuma selingkuh buat manas-manasin aku, akhirnya
kalian jadian juga. Jadi, kalaupun aku pernah menggantung hubungan kita, itu
nggak lama. Cuma sebulan saja, lalu kamu dapat pacar baru.”
Wajah Leah memerah, tampak seperti tertampar!
“Kau pikir aku harus bagaimana? Nunggu kau balik ke
Medan?” serunya.
“Lho, justru kalau kamu cari cowok lain setelah aku
tinggal pergi, aku anggap wajar kok. Dan ketika kamu memilih itu, artinya kamu
menganggap kita memang sudah putus, dan kamu sudah move on. Terus,
kenapa di saat kamu sudah punya pacar baru, tiba-tiba mencariku kemari dan
menganggap kita masih pacaran? Aku nggak ngerti, Leah?”
Leah mulai sesenggukan. “Den, kalau kau tak pergi, aku
pasti tetap pilih kau. Kita pacaran delapan bulan, biarpun kau tak terlalu
perhatian tapi kau tak pernah main-main dengan cewek lain, aku mengerti itu.
Baru dua bulan aku sama Oge, dia sudah sama cewek lain!”
Sekarang dia curhat!
Aku ingin tertawa, tapi nggak tega. Sebenarnya juga
nggak sampai hati untuk berkomentar, tapi kurasa inilah giliranku untuk
benar-benar ‘membalas’ tamparannya.
“Leah, kamu pikir aku nggak sakit hati mendengar kamu
dipermainkan Oge? Aku sakit hati! Tapi aku juga harus menyalahkan kamu, karena
kamu juga yang awalnya manfaatin dia buat manas-manasin aku.”
Jadilah Leah menangis lagi. Mewek ala drama Korea!
Membongkar sebuah ‘kuburan’ dan mengulik bangkai masa
lalu, sama sekali tak menyenangkan. Mungkin kata-kataku kejam, tapi kapan dia
akan dewasa kalau tak pernah disodori kejujuran? Dan kapan aku bisa move on kalau
tak berani tegas padanya?
Aku menegaskan sehalus mungkin padanya, “Aku bersalah
karena ninggalin kamu secara sepihak. Aku minta maaf, Leah. Kupikir, kamu nggak
butuh kata ‘putus’. Karena kamu sudah memutuskanku dengan sendirinya sejak kamu
memilih cowok lain. Kalau ada yang harus memberi penjelasan, seharusnya itu
adalah kamu yang menjelaskan padaku: kenapa kamu memilih cowok lain?
Waktu itu sebenarnya aku menunggu penjelasanmu, tapi kamu nggak pernah
menemuiku. Lewat telepon juga tidak. Kenapa baru sekarang kamu mencariku? Mau
mengulang hubungan kita? Itu nggak akan memperbaiki apa-apa, Leah. Aku minta
maaf untuk semua sikapku yang salah, dan aku ingin kamu berhenti berharap
padaku. Aku sudah capek memelihara masa lalu itu, karena cuma ada marah dan
kecewa. Kita anggap selesai saja. Masih ada banyak harapan di luar kita, kenapa
kita tak ke sana… dengan jalan masing-masing saja?”
Leah terisak. “Kenapa harus dengan jalan
masing-masing?”
“Karena saat bersama… kita sudah terbukti gagal.”
Leah menatapku dengan mata sembab. Agak lama. Lalu
menggumamkan pertanyaan, sebuah dugaan, “Kau sudah punya pacar di sini?”
“Aku heran juga kamu baru tanya sekarang,” aku
tersenyum sedikit mencibir. Lalu menggeleng, “Nggak. Sejak pergi dari kamu, aku
nggak pacaran dengan cewek lain. Belum.”
“Kenapa?” Leah melepas sedikit tawa sinis di tengah
mimik sedihnya. “Kau mau pamer padaku, kalau kau tipe cowok setia?”
Aku menjawab sedikit berkelakar. “Tidak! Justru aku
merasa plin-plan. Kamu pikir aku nggak ingin punya pacar baru? Ingin! Tapi
sesuatu yang belum tuntas selalu jadi ganjalan. Selama ini aku berusaha
melupakannya, susah-payah… tiba-tiba sekarang, booom! Kamu malah muncul
lagi di depanku….”
Leah sedikit mendongak, menerawang. Dia tertawa galau.
“Jauh-jauh aku dari Medan,” dia mengulang gimmick itu untuk kesekian
kalinya, “kau pikir aku lakukan demi mendengar kau menampikku? Sulit aku terima
ini!”
“Kamu jangan naif, Leah. Sudah dua tahun, seharusnya
kamu bisa lupakan aku. Toh, kamu juga sudah pacaran dengan Oge. Kalaupun kalian
juga sudah putus, kamu masih bisa temukan cowok lain. Kenapa malah pilih
jauh-jauh mencariku?”
“Kau cinta pertamaku, aku juga cinta pertamamu. Aku
yakin, kau tak akan begitu saja lupakan aku,” setelah berucap, Leah menatapku
dengan mimik dramatis. Atau, sengaja dibuat dramatis. “Aku menyesal pernah
bikin kau kecewa. Tapi aku yakin kita masih bisa memperbaikinya. Ayolah, Den?”
Aku berusaha untuk tak terpengaruh kalimat melankolis
itu. “Leah, aku tentu tetap ingat kamu. Tapi mengingatmu, bukan berarti masih
mencintaimu.”
Pelan-pelan, raut muka Leah menajam. Makin tajam, dan
menjadi marah. Sekarang dia tak hanya punya kuncir kuda, tapi juga tanduk di
kepalanya!
“Tapi aku berterima kasih juga sama kamu,” aku
buru-buru menyusulkan satu pernyataan lagi, “karena dengan kemari, aku bisa
mengatakan semua ini langsung padamu. Selebihnya, maaf… aku benar-benar minta
maaf. Kita sudah… end!”
Dan meledaklah dia! Aku dihujani kepalan tangan
beserta amukannya!
“Dasar sialan kau! Kau blokir aku di Facebook! Kau
ganti nomor telepon! Lalu sekarang kau berterima kasih karena aku sudah datang
kemari! Tapi tetap kau tolak aku! Jahat sekali kau! Sialan kau! Aku benci
kauuu…!”
Aku menangkis semua pukulannya yang nggak serius itu.
Aku masih hapal, begitulah kalau dia sedang ‘meledak’! Percayalah, dia tak
sungguh-sungguh merasa teraniaya. Dia lebih tegar dari semua aksi lebay-nya.
“Oke!” akhirnya Leah menghentikan pukulannya. “Kau
memang jahat sekali! Tapi ingat ini: besok aku akan kemari lagi!”
“NGAPAIN????” aku benar-benar gondok.
“Sekarang kau boleh menolakku. Tapi kau tak boleh benci
aku! Aku masih kangen. Aku tak mau menyerah!”
“Tapi besok aku mau pergi!”
“Banyak kali alasan kau? Mau ke mana pula kau?”
Aku membaca gelagat yang gawat. Leah tak boleh tahu
rencanaku, atau semua akan berantakan! Aku mengarang alasan, “Aku mau pergi jauh.
Aku juga mau mengurus persiapan kuliah.”
“Iya, ke mana?” Leah mendesak.
Aku tutup mulut.
Leah merengut. “Oke! Kau kira aku percaya? Kau tampak
sekali seperti orang yang berbohong. Sekarang aku akan pergi! Tapi besok aku
akan main kemari lagi!”
Dia menuju ke beranda. Memungut tas kecilnya yang
teronggok di lantai. Lalu berjalan cepat-cepat meninggalkan rumah. Aku
mengikutinya sampai pagar.
“Sorry, Leah. Kamu memang datang di saat yang
nggak pas!” kataku di muka pagar. “Besok aku beneran mau pergi. Sebaiknya kamu
pulang saja ke Jogja. Maaf, ya…?”
“Aku belum ingin pulang ke Jogja. Aku masih ingin
jalan-jalan di Solo ini. Sekalian cari hotel,” ujarnya tenang.
Aku memegang tangan Leah, mencegahnya. “Menginap di
hotel? Leah, kamu ini cewek, sendirian! Sebaiknya pulang ke Jogja saja, lah!”
Leah malah tersenyum genit. “Makanya, biar aku tak
sendirian, harusnya kau temani aku!”
Aku melepaskan tangannya. “Ogah!” jawabku.
“Ya sudah, tak perlu kau atur aku, lah!” Leah
melanjutkan langkahnya.
“Tapi aku bisa mengantar, paling nggak sampai gerbang
komplek?” aku menawari.
Dia mendadahkan tangan tanpa menoleh. “Sudahlah, tak
usah. Aku tahu kau tak tulus.” Dia tertawa, dan berucap lagi, “Besok aku kemari
lagi, ya!”
Aku terpana memandangi perginya. Sampai sosok semampai
itu menghilang, berbelok di perempatan. Aku masih berdiri di sini meski
sosoknya sudah tak tampak lagi. Ditinggalkan dalam perasaan serba salah ini!
Ya Tuhan… kenapa aku pernah pacaran dengan cewek
seperti dia?
Bersambung...