Karung 6
Karung 6
Restu, Celah dan Siasat
Pagi ini kutemukan menu yang janggal di meja
makan. Tiap pagi, yang biasa menyiapkan sarapan adalah Mbok Marni. Tapi dia
cuma tahu masakan Jawa. Sedangkan pagi ini di meja makan aku bertemu Fu Yung
Hai dan Sup Makaroni.
“Siapa yang bikin, Mbok?” tanyaku ke Mbok Marni
yang sedang menyapu lantai dapur.
“Yang bikin Ibuk, Mas Denis,” sahut Mbok
Marni.
Sebenarnya sudah kuduga. Cuma, tumben banget Mama
yang nyiapin sarapan? Biasanya Mama cuma memasak kalau siang atau sore. Aku
cicipi menu-menu buatan Mama itu. Seperti biasa, cenderung manis dan kurang
garam. Kuambil separuh, telur isi daging dan sayur itu. Sup Makaroni kuambil
semangkuk. Nggak tahu apakah ini paduan yang cocok, tapi nikmati saja. Mama mau
memasaknya pagi-pagi, pasti ingin ini jadi sesuatu yang istimewa. Entah kenapa.
“Enak?” Mama menyapa sambil duduk satu meja
denganku.
“Enak. Cuma kurang garam,” jawabku sambil
mengunyah. Kulihat Mama sudah berdandan rapi. “Mau pergi ke mana, Ma?”
“Biasa, kerjaan. Ngambil uang polis ke beberapa
nasabah.”
“Kok, tumben nyiapin sarapan?” celetukku. “Kayak
mau pergi jauh?”
Mama tersenyum tipis. “Kapan kamu berangkat
mencari kakakmu?” malah pertanyaan itu disodorkan padaku, membuat kunyahanku
berhenti sesaat.
“Kapan Papa cerita, Ma?”
“Tadi pagi, sebelum berangkat ke kantor,” jawab
Mama.
Aku manggut, melanjutkan kunyahan. “Aku masih
cari kejelasan dulu, Ma. Aku mau hubungi teman-teman Dimas yang ada di sana,
mungkin ada yang tahu. Kalau sudah jelas dia di mana, aku berangkat.”
“Kata Papa, pacarnya Dimas itu juga mau ikut?”
singgung Mama.
Kembali aku sulit menelan. Perkataan itu seperti
menyumpal kerongkonganku. Terdengar janggal, mengusik, menggelitik. Kuletakkan
sendokku, menunda suapan berikutnya.
“Bukan pacarnya lagi. Mereka sudah putus…”
jelasku meluruskan. Lalu aku mengiyakan, “Dia memang mau ikut. Mungkin dia bisa
membantu nanti.”
Mama tersenyum pahit. Matanya tampak mengenang.
Berkata hampir tak terdengar, “Padahal dia anak baik-baik, ya?”
“Siapa?”
“Teman Dimas itu. Fandy, kan, namanya?”
Aku tercenung. Hampir tak paham arah ucapan Mama
itu. Lagi-lagi terdengar janggal dan menggelitik. Karena diucapkan oleh Mama,
yang selama ini menentang hubungan Dimas dan Fandy.
Mama berkeluh-kesah padaku dengan wajah murung.
“Dimas juga anak baik-baik, selama ini nggak pernah ngecewain Mama. Tapi soal
masalah itu, Mama bingung… pantas nggak, sih, Mama kecewa…?”
Aku terpaku, melihat mata Mama yang perlahan
berkaca-kaca.
“Mama kuatir. Menurut kamu, apa dia akan
baik-baik saja kalau tetap memilih jalan itu? Apa kamu nggak kuatir dengan
keadaan kakakmu?”
Rupanya ini benar-benar menjadi makan pagi yang
tak biasa. Dadaku menyesak. Sulit untuk bicara dalam kegalauan seperti ini.
Tapi sepertinya tak ada lagi saat yang lebih tepat untuk bicara, selain
sekarang!
“Ma, aku nggak tahu. Makanya, aku nggak bisa
melarang-larang. Karena aku sendiri nggak lebih tahu dibanding dia. Yang aku
tahu cuma… gay itu nggak melulu berisi orang-orang yang hidupnya hancur. Nggak
selalu kehidupan mereka cuma soal free-sex dan having fun. Banyak
juga yang hidupnya baik. Mapan. Malah di luar negeri mereka banyak yang
menikah. Mereka mengadopsi anak. Mereka bisa punya prestasi, punya karir.
Kemungkinan itu juga terbuka untuk Dimas, kan? Mama sendiri barusan bilang,
selama ini dia nggak pernah ngecewain Mama.”
Mama termenung. Di wajahnya yang muram itu, aku
melihat ada penyesalan. Sisanya, adalah wajah yang rindu.
Aku menghela napas, merasa lebih sulit untuk
mengatakan ini, “Kalau mau dibilang dosa, ya mungkin memang dosa. Tapi pernah
nggak, sih, dia itu mencelakai orang? Dia cuma pacaran dengan orang yang juga
cinta sama dia. Kenapa kita harus menghukumnya? Sedangkan kita juga punya dosa
sendiri-sendiri. Maaf, Ma, aku nggak bermaksud ngajarin orang tua, tapi…”
Mama menghentikanku. Dia menepuk-nepuk telapakku
yang terkepal di meja. Menenangkanku di saat dia sendiri terlihat begitu
gundah. Mama mengangguk padaku, sudah paham maksudku.
“Apa dia akan mau untuk pulang?” pertanyaan itu
terlontar lirih.
“Ma, kenapa aku mau pulang dan tinggal di sini
lagi?” balasku, mencoba mengingatkan pada sesuatu yang aku sendiri pernah
hadapi di keluarga ini. “Karena aku percaya, ada yang bisa kuharapkan di sini.
Karena aku percaya, ini keluargaku. Nggak ada yang bisa menggantikan Papa dan
Mama. Nggak ada saudara yang seperti Dimas. Aku percaya, selama ini nggak ada
yang bermaksud membuatku merasa tersingkir dari keluarga ini….”
Mama mengusap matanya. Ia menatapku dengan raut
yang tak bisa kugambarkan. Perlahan mulai tersenyum, meski terlihat sulit.
“Kalau kamu ketemu Dimas, katakan juga itu padanya….”
Aku mengangguk.
Pasti.
Mama tak berkata apa-apa lagi. Pergi,
meninggalkan aku sendiri di meja makan dengan sarapan yang masih tersisa.
Kadang, rasa haru juga membuat sebuah tekanan di
dada. Perasaan haru bukanlah perasaan yang buruk, pastinya. Tapi perasaan
seperti ini tetaplah membuat sisa sarapan sulit untuk dituntaskan. Meski
begitu, aku tetap menghabiskannya, karena ingat bahwa ini adalah sarapan
istimewa. Yang istimewa tak semestinya dibiarkan sia-sia.
Di akhir sarapan, sejenak Dimas merasukiku dengan
pikiran filosofis-nya…
Ya, Mama perlu memberi sedikit lagi garam.
Karena aku percaya, jiwa seorang ibu itu ibarat lautan. Tapi, air laut pun
butuh proses untuk menjadi garam.
Entah, apakah filosofi yang tercetus di benakku
itu tepat dan dapat dipahami. Sarapan yang kurang garam, akhirnya juga biarlah
cuma soal perut. Tak terlalu penting, lah. Yang penting adalah, hatiku sudah
jauh lebih tenang. Karena Mama sudah bersedia membuka ruang di hatinya, untuk
menerima apa adanya Dimas. Meski keputusan itu mungkin tetap menyisakan rasa
pahit bagi Mama.
Tak ada lagi alasan bagi Dimas untuk tidak
pulang. Tinggal bagaimana cara untuk menemukannya.
Satu cara yang belum kutempuh, adalah menghubungi
seseorang bernama Dika, yang kata Mas Awan mungkin bisa memberi tahu tentang
keberadaan Dimas. Kupikir tak perlu menunda lagi untuk menghubunginya.
Kuhampiri HP-ku di kamar. Dan, oh, aku baru tahu ada SMS masuk.
“Aku lupa ngsih tau kmrn. Dika = pacar Awan.
Dimas prnh crita. FYI.” Begitu bunyi pesan pendek dari Fandy.
Dika pacarnya Awan? Hmmm… informasi yang
aku tak terlalu kaget. Cuma, aku sempat iseng berpikir: mereka sama-sama
gay, memangnya Awan nggak cemburu membiarkan Dimas menginap di rumah pacarnya
yang bernama Dika itu?
Entahlah. Dunia gay memang bukan duniaku. Itu
dunianya saudara kembarku yang merepotkan itu! Ffhhh….
“Gmn suratnya? Beneran ga ada ptnjuk?”
balasku ke Fandy, menyinggung soal surat Dimas.
Dia membalas. “Ga ada. Itu surat ga ada
artinya buat org lain.”
Ooo, memang surat yang personal rupanya. Kalau
Fandy yang baca, itu pasti surat romantis. Tapi kalau aku yang baca, amit-amit.
Sialan! Rupanya Dimas memang tak ingin menjadikan pencarian ini jadi lebih
mudah.
Untung aku punya nomor milik orang bernama Dika
ini. Semoga dia memang bisa membantu. Sekarang aku harus menghubunginya!
“Ya, halo?” panggilanku dijawab.
Jantungku berdebar agak kencang. “Selamat pagi,
benar ini dengan Mas Dika?”
“Betul, ini dari siapa?”
Suaranya yang renyah mengurangi rasa gugupku.
“Maaf kalau mengganggu. Saya Denis, saudara Dimas…”
“Oh!” dia langsung menyahut. “Dari
Solo, ya?”
“Betul, Mas!” sahutku bersemangat, karena
sepertinya dia memang kenal Dimas. Aku tak basa-basi, “Saya dapat nomor ini
dari Mas Awan. Saya sedang mencari saudara saya, Mas. Kata Mas Awan, Mas Dika
tahu…?”
Di sana suara sempat terdiam sejenak. Lalu, “O,
begitu….” sahutnya singkat dan mendatar.
Dengan agak sungkan aku menjelaskan. “Dia sudah
lama pergi dari rumah. Kami sekeluarga cemas, karena dia nggak pernah kasih
kabar. Kami ingin dia segera pulang, Mas.”
“Ya, saya sudah tahu ceritanya. Dia sendiri
yang cerita ke saya.”
“Kata Mas Awan, dia pernah menginap di rumah Mas
Dika?”
“Bukan di rumah saya, tapi kos satu komplek
dengan saya di Badung. Sekitar sebulanan. Tapi sejak minggu lalu dia sudah
tidak di sini lagi.”
Sudah pergi lagi…?
Aku mulai lesu. Harapanku terusik, mendengar
kenyataan dia sudah tak ada lagi di tempat aku bertanya. Ya ampun!
“Mas tahu ke mana perginya?”
“Maaf, sayang sekali… saya tidak tahu. Dia
cuma bilang mau mengunjungi tempat lain, begitu.”
Lagi, mengunjungi tempat lain?!
Lama-lama aku tak bisa menghindari pikiran yang
tak enak soal Dimas. Aku tahu Papa mengiriminya uang, awalnya bagiku itu
terdengar lumayan banyak: lima ratus ribu tiap bulan. Tapi setelah dikalkulasi,
itu cuma lima belas ribu perhari. Untuk jajan lumayan. Tapi untuk hidup, mana
cukup? Belum lagi dia suka mengunjungi tempat ini-itu?
“Bukannya di Bali serba mahal ya, Mas? Saya masih
bingung, gimana dia hidup selama di situ?”
Mas Dika tertawa. “Yaa… kalau mau cari yang mahal,
banyak. Tapi yang murah juga ada. Relatif, kok.”
“Tapi kayaknya dia suka ke mana-mana. Contohnya
sekarang, dia sudah pergi lagi!” ucapku merasa risau. Lalu tiba-tiba
kecemasanku berbelok, bukan lagi soal kantong Dimas, tapi, “Dia nggak
kenapa-napa, kan, Mas…?”
“Oh, dia baik-baik saja, kok. Selama di sini
dia juga cepat bergaul, tidak ada masalah dengan yang lainnya. Sebenarnya…
selama di sini dia bekerja, satu tempat dengan saya.”
“Kerja?” aku kaget. “Kerja apa, Mas?”
“Di sini ada galeri dan kafe. Dia di bagian
galeri, membantu untuk sementara. Dia juga sempat bergabung dengan grup yang
biasa mengisi venue kami.”
“Grup?”
“Home-band, maksudnya. Dia pintar main musik,
jadi diajak bergabung sama teman-temannya itu.”
Aku cukup tercengang menyimaknya. “Iya, sih… dia
pintar main gitar,” tanggapku kikuk. Sepertinya aku memang sudah terlalu
meremehkan Dimas. Ternyata kuat nyali juga dia jadi ‘pengamen’, untuk survive…!
Aku menyelidik lagi, “Terus kenapa dia malah pergi, Mas?”
“Hmmm…. Dia memang tidak berniat bekerja tetap
di sini. Kebetulan saja ada karyawan yang cuti panjang, jadi Dimas mengisi slot
yang kosong sementara.”
“Terus, dia juga nggak di band itu lagi?”
“Tidak. Karena dia juga sekadar additional.
Dia sudah punya rencana sendiri, untuk pergi mengunjungi tempat lainnya. Cuma
dia tidak bilang ke mana saja.”
“Tapi Mas punya nomor HP-nya?”
Terdengar menghela napas. “Tidak, Bli. Saya
kasihan sebenarnya… dia kehilangan HP waktu jalan-jalan ke Kuta beberapa waktu
lalu. Jadi sampai sekarang saya juga tidak tahu bagaimana cara menghubunginya.”
Ya ampun. Apa benar Dimas kehilangan HP? Kalau
benar, memang kasihan… itu HP mahal kesayangannya. Tapi, bagaimana kalau
sebenarnya dia menjualnya? Untuk ongkos, mungkin? Baginya jalan-jalan lebih
penting daripada HP, mungkin? Siapa tahu? Kalaupun benar benda itu hilang, itu
juga bukan alasan baginya untuk tidak mengabari keluarga. Dia bisa pakai
telepon umum, atau pinjam telepon siapa. Dia tidak melakukannya. Apapun yang
terjadi padanya, dia memang sudah bulat hati untuk menghilang….
Aku membuang napas. Dongkol! Mencoba sebisa
mungkin untuk tidak membiarkan harapanku berhenti.
“Saya akan bantu menanyakan ke teman-temannya
yang lain,” Mas Dika menyambung, seolah memahami kegelisahanku. “Mungkin
teman-temannya yang di band itu ada yang tahu. Saya akan bantu, Bli….”
“Tolong ya, Mas…” aku mengharap.
“Ya. Saya usahakan, Bli. Sebelum pergi dia
pernah bilang akan kemari lagi. Tapi dia tak memastikan kapan, jadi saya tidak
berani menjamin…. Saya akan ikut cari tahu, Bli. Kalau saya dapat informasi,
saya akan kabari.”
Jawaban Mas Dika mengobati keresahanku, mencegah
harapanku pupus. “Makasih ya, Mas. Terus terang, kami malu sudah merepotkan
Mas.”
“Tidak apa-apa, Bli. Saya tak merasa repot.
Dimas anak baik. Saat dia cerita tentang masalahnya, saya juga bilang agar dia
sebaiknya pulang saja. Tapi dia masih keras hati.”
Aku tertawa pahit, mencibir situasi. “Orang baik
sekalipun, juga bisa merepotkan ya, Mas.”
“Kalau dia mau pulang, apakah keluarga sudah
siap menerimanya? Kasihan kalau dia pulang hanya untuk dimarahi lagi….”
“Saya dan ayah saya tak pernah memarahinya. Tak
pernah menghalangi pilihannya. Tapi kali ini dia sudah bertindak kejauhan!
Terus terang kami memang…” kalimatku tertahan. Tak kulanjutkan kalimat yang
hampir meluapkan emosi itu. Kutunjukkan sikap maklumku, “Yang pasti dia
akan tetap kami terima, Mas. Dia tetap anggota keluarga kami.”
Mas Dika mendehem. “Iya, Bli, sebaiknya
begitu. Saya lihat sebenarnya dia bisa jadi anak yang membanggakan.”
Aku senang mendengar pengakuan positif dari orang
lain tentang Dimas. Artinya, dia masih bisa menjadi sosok yang diterima di luar
sana.
Ataukah, Mas Dika berkata positif seperti itu
tentang Dimas karena semata-mata dia juga seorang gay? Ah, semoga tidak.
Kutimbang tanpa berlama-lama, lalu kuungkapkan
rencanaku. “Saya percaya dia bisa survive, karena sepertinya dia pintar
beradaptasi. Tapi dia masih meninggalkan banyak urusan di sini, terutama urusan
sekolah. Kami nggak mau dia menelantarkannya. Masalahnya, nggak jelas dia mau
di Bali sampai kapan. Jadi, kami mau jemput dia. Sambil terus mengumpulkan
informasi, dalam waktu dekat saya akan berangkat. Siapa tahu nanti ada
kejelasan, dari teman-temannya yang ada di situ, atau… siapa tahu Dimas benar
akan mengunjungi Mas Dika lagi. Bisa, kan, misalnya… saya nanti ke tempat Mas
Dika?”
“Oh, tentu, silakan! Tak usah sungkan, saya
senang kalau bisa membantu. Tapi sebaiknya Bli ajak saja Awan sekalian. Sudah
lebih dulu menghubungi dia, kan?”
Aku mengernyit. “Emhh…. Bukannya keberatan, sih…
tapi kenapa, Mas?”
“Awan ada di Jembrana. Sebelum sampai ke
Badung, Bli pasti akan lewat Jembrana. Kalau Bli mau, akan jadi lebih mudah
mencari saya, karena Awan sudah tahu tempat saya.”
“Oh, ya, ya… saya ngerti. Asal Mas Awan tidak
keberatan, saya juga lebih senang begitu,” aku menyepakati langkah yang kupikir
memang jitu.
“Dia tak akan keberatan, lah.”
Hmm…. Tentu saja Mas Awan nggak keberatan.
Kan, mereka itu pacaran, apa ruginya ketemu pacar sambil mengantar orang?
“Baiklah, Mas Dika, terima kasih sekali sudah membantu.
Dan kami minta maaf, sudah merepotkan.”
Mas Dika terkekeh. “Sudahlah, Bli, tak usah
terlalu sungkan begitu. Saya akrab dengan Dimas selama dia di sini. Dia baik.
Dia cerita, katanya saudaranya juga tak kalah baik. Jadi saya senang kalau bisa
membantu.”
Kepalaku tiba-tiba jadi lebih gede. Tapi tengkuk
juga rada meremang. Karena… dia bilang kalau aku baik. Wow! Itu
beneran kata Dimas, atau… aku sedang digombali mas-mas?
“Nanti kalau jadi mau ke tempat saya, kabari
saya dulu. Jadi saya tak ke mana-mana, Bli.”
“Oke, Mas. Yang pasti saya harus mengabari Mas
Awan dulu, semoga benar dia bisa mengantar. Ya sudah, Mas, saya nggak enak
menyita waktu lama-lama….”
Mas Dika tertawa.
“Terima kasih ya, Mas. Selamat pagi.”
“Mari.”
Aku menutup HP.
Ada lega, dan tak lega. Lega karena ada yang siap
membantuku. Belum cukup lega karena posisi Dimas masih belum jelas ada di mana.
Beginilah yang namanya perjuangan, mencari ‘anak ilang’! Bingung aku, kalau
sudah ketemu nanti mau aku apakan. Saudara, sih, saudara. Sayang, sih, sayang.
Udah ngerepotin gini, mau peluk-pelukan?! Tonjok aja! Hffhhh….
Sekarang tinggal Fandy, nih, yang harus segera
dimintai ketegasannya: jadi ikut atau tidak? Semalam aku sudah share
ke Papa, soal Fandy yang mau ikut. Awalnya Papa keberatan untuk alasan yang
masuk akal: tak ingin memancing perkara baru dengan orang tua Fandy.
Tapi, aku mengajukan nilai tambah yang dimiliki Fandy jika dia ikut. Apa itu?
Aku merenungkan hubungan kami satu sama lain.
Antara aku dan Dimas: aku lebih emosian, dan Dimas-lah peredamku. Kuakui, dia
lebih taktis. Aku pikir, sebenarnya dia bukan cowok yang lemah. Sebab dia bukan
nggak bisa main otot, tapi memang dia nggak suka main otot. Dia berantem buat
sesuatu yang lucu-lucuan, bukan berkelahi karena sesuatu yang serius. Saat dia
menjadi pelawan, dia menaruh opsi baku-hantam di urutan sekian-belas.
Ibaratnya, aku api dan dia air, atau… aku setan dan dia malaikat.
TAPI…, beda cerita kalau sudah antara dia dan Fandy!
Aku bukannya kepo, tapi kuakui sulit untuk tidak tahu-menahu hubungan mereka
berdua. Dimas dan aku saudara, dia dan Fandy pacaran, kami bertiga satu
sekolah… parahnya lagi, akulah yang pernah mencomblangi mereka, jadi aku jelas
tahu bagaimana mereka itu. Aku nggak bermaksud bilang ‘Dimas itu istri dan
Fandy itu suami’ (soal itu, sumpah aku nggak mau tahu), tapi aku menilai bahwa
Dimas-lah yang lebih suka ‘ini-itu’. Maksudku, kali ini Dimas-lah setannya. Dan
Fandy adalah malaikatnya (atau Peri, kata Dimas). Dimas adalah pacar yang agak
rewel (mungkin), lebih banyak menuntut, tapi… Fandy selalu menjinakkannya. Tiap
kali Fandy berhasil menjinakkan kemauan Dimas, si Dimas biasanya menggerutu
(dan kadang aku mendengar), bahwa Fandy itu hasil persilangan antara Legolas
dan Cupid. Gabungan Peri Jantan dan Dewa Unyu-Unyu, siapa yang nggak nurut sama
pacar seperti itu?
Legolas dan Cupid, hmm… otaknya Dimas memang
aneh.
Kesimpulanku, Dimas mungkin nggak akan begitu
saja menuruti ajakanku untuk pulang. Tapi kalau Fandy yang menjemput…??? (jawab
saja sendiri)
Pertimbangan lainnya, Bali adalah tujuan yang
jauh dan belum pasti aku akan berapa lama mencari Dimas di sana. Pergi seorang
diri akan lebih berisiko. Ya, kurasa aku butuh sidekick. Meskipun dia homo…?
Biarin, lah. Ingat, homo yang menemaniku ini adalah persilangan Legolas
dan Cupid! Sidekick yang tak terlalu menyedihkan. Fffhhh….
Dan, aku bukannya tak memahami perasaan Fandy.
Aku mengerti dia merasa tertekan oleh perlakuan orang tuanya. Dia butuh sebuah
‘pemberontakan’. Dia juga merasa bersalah karena konflik ini bermula darinya,
meskipun sudah kujelaskan soal ‘Russian Roullete’. Aku ingin memberinya
kesempatan untuk ‘bertanggung-jawab’, untuk ‘menebus dosa’, untuk merasa lega.
Tapi itu artinya aku juga harus siap bertanggung-jawab agar dia tak berujung
seperti Dimas, yang minggat dan lupa pulang. Kalau ternyata dia malah
ikut-ikutan nggak mau pulang seperti Dimas, aku hajar keduanya! Perjalanan ini
adalah ‘meminjam Fandy’, bukan menculiknya!
Bagaimana dengan orang tua Fandy? Bagaimana kalau
mereka marah-marah lagi kepada kami? Sebenarnya, kalau Fandy nggak punya niat
untuk ikut maka aku juga nggak akan mengajaknya, meskipun dia berguna. Aku
bukannya nggak sadar bahwa ini akan jadi masalah. Aku sudah mengingatkan Fandy
soal orang tuanya. Tapi dia tetap bertekad untuk ikut. Yo wis. Kupegang
sisi positifnya saja. Yang negatif, aku percaya Papa bisa mengatasi untuk
sementara. Kalau ortu Fandy menanyakan kemari, Papa tinggal bilang ‘nggak
tahu’. Bilang saja aku dan Dimas sudah nggak di sini, sudah pergi untuk urusan
kuliah. Dimas ke Bali dan Denis ke Medan, atau apa saja, aku percaya
Papa bisa membuat cerita itu. Dulu menutupi kepergian Dimas saja bisa, kali ini
pasti juga bisa.
Aku tak mau berlama-lama, aku ingin tahu kapan
Fandy siap untuk berangkat. Aku, sih, ingin secepatnya. Tapi masalahnya, Fandy
masih harus masuk sekolah sampai akhir minggu ini, sampai hari penerimaan
rapor. Bagaimana enaknya?
Tanya saja langsung!
Aku menunggu panggilanku diangkat. Tak lama,
suara Fandy menyapa.
Aku to the point saja, “Fan, aku sudah
bilang ke ortu-ku soal rencana mencari Dimas ke Bali. Ortu-ku sudah
mengijinkan. Aku juga sudah hubungi Mas Dika…”
“Gimana hasilnya? Ada kabar Dimas di mana?”
Fandy buru-buru menyambar.
“Belum! Dimas pernah kos satu tempat dengan Mas
Dika di Badung, tapi sekarang sudah pergi lagi. Nggak tahu ke mana. Tapi Mas
Dika bilang katanya Dimas akan ke Badung lagi, cuma belum tahu kapan. Kayaknya
kita bisa stand-by di tempat Mas Dika untuk menunggunya. Kalaupun dia
nggak datang juga, setidaknya masih ada banyak temannya di sana yang bisa
membantu kita. Kapan kamu siap berangkat?”
Fandy sempat terdiam. Terdengar membuang napas. “Sebenarnya
aku siap kapan saja. Cuma, aku masih memikirkan cara supaya nggak ketahuan om-ku.”
Aku mengernyit. “Memangnya kenapa kalau om-mu
tahu?”
“Dia ditugasi mengawasiku. Kalau dia tahu, aku
pasti dicegah. Aku nggak boleh pergi jauh-jauh dari sini.”
“Tahu begitu terus kenapa lu ngotot ikut?”
tukasku kesal.
“Kalau sudah berhasil lolos keluar, aku nggak
akan peduli lagi. Nggak bakal aku dikejar, kan juga nggak tahu aku ke mana.
Yang penting aku bisa pergi dengan aman dulu, itu kuncinya!”
“Kenapa nggak pura-pura pamit aja, pulang ke
desa? Selesai, kan?”
“Sekarang sudah tidak seperti dulu, Den. Sejak
kejadian itu, bapakku bikin aturan. Tiap kali aku pulang ke Sragen, aku harus
diantar om-ku atau dijemput bapakku. Dan itu cuma seminggu sekali. Kalau aku
ketahuan melanggar, mungkin aku beneran akan dipulangkan ke Sragen, pindah
sekolah di sana. Tapi soal pindah sekolah aku nggak takut. Itu urusan nanti!
Yang penting gimana caranya aku bisa lolos dari sini, agar bisa ikut mencari
Dimas.”
Buset!
Aku menawarkan opsi lagi. “Kalau begitu,
pura-pura saja kamu pergi yang dekat-dekat. Ke warung atau ke mana. Aku akan
jemput di situ!”
“Den, orang mau pergi jauh itu pasti
kelihatan! Nggak bakal ada yang percaya, lah, aku bilang ke warung tapi dandan
rapi dan bawa ransel?!”
Sialan! Benar juga!
“Gimana kalau sekolah?” usulku lagi. “Kamu masih
masuk sampai besok Sabtu, kan? Ke sekolah bawa tas, nggak bakal dicurigai,
kan?”
“Jadi mau ke Bali berhari-hari, aku cuma bawa
tas sekolah? Aku butuh ransel! Yang cukup buat menjejalkan pakaian!”
Sumpah, ternyata rempong banget ngurus makhluk
satu ini!
“Oke, oke, sekarang aku mau tanya dulu, memangnya
om-mu itu seseram apa? Sampai lu takut begitu? Lu tinggal cuekin aja, kabur,
selesai! Toh kamu juga nggak takut sama bokapmu, nggak takut kalau nanti
dipindah sekolah?! Kenapa repot amat ngurusin om-mu?”
“Kamu ngomong gampang! Kalau ke ponakannya
sendiri, aku percaya om-ku nggak pakai kekerasan. Tapi asal tahu, dia pernah
membuat tiga orang maling nggak bisa kabur dari rumahnya. Kalau dia sudah
mencegahku pergi, aku nggak mungkin bisa pergi!”
Aku tercengang. “Kok bisa gitu? Dia pakai klenik
atau apa?”
“Dia bekas atlet Judo. Tingkat nasional!
Berani kamu lawan dia?”
Aku menelan ludah. Repot juga ternyata. Sialnya
situasi Fandy tidak seperti Dimas. Dulu Dimas bisa pergi tanpa ketahuan karena
ada inside-man yang membantunya. Fandy tidak, karena inside-man
yang dia punya justru seorang ‘villain’ yang harus dikalahkan. Tapi
nggak mungkin aku bisa mengalahkan om-nya yang atlet nasional itu, minimal
harus Bang Togar yang melawannya. Cara yang paling aman memang bukan melawan
secara frontal, tapi mengakalinya!
“Jadi strateginya, yang penting kamu bisa
mengamankan bawaanmu dulu biar nggak ketahuan, kan? Harus ada orang lain yang…”
“Iya, aku pikir juga gitu. Tapi bukan kamu
atau Ben. Kalian sudah dihapal oleh om-ku. Tahu nggak, kemarin habis pulang
dari rumah Erik aku langsung diinterogasi. Om-ku mengira kamu adalah ‘Dimas’!
Kalau kamu nongol lagi di sini, kayaknya bukan ide bagus.”
Aku garuk-garuk kepala. Mumet!
“Ya udah, biar Erik saja yang mengamankan
bawaanmu.”
“Aku nggak mau.”
“Fan, ini bukan saatnya ngurusin sentimen masa
lalu!” tukasku mulai emosi. Dasar, kalem-kalem cemburuan! Legolas dan Cupid,
yang benar saja?!
“Aku masih punya segudang teman lainnya. Aku
akan cari tahu siapa yang bisa. Nanti aku kabari…”
“Hari ini! Aku nggak mau lama-lama!” tegasku.
“Oke, semoga hari ini fix. Terus kita akan
naik apa ke sana?”
“Kereta api saja. Kalau bus biayanya bisa tiga
kali lebih mahal. Ingat, kita bukan mau foya-foya. Kita tekan budget
dulu saat berangkat. Kalau nanti masih sisa cukup, kita bisa pulang naik bus
atau pesawat kalau mau.”
“Baiklah. Aku akan cari jalan keluar dulu soal
om-ku. Secepatnya.”
“Satu lagi,” aku menandas, “kamu pasti tahu,
kalau kamu nekat ikut maka besar kemungkinannya orang tuamu akan ke rumahku
lagi. Ortu-ku mungkin akan jadi sasaran lagi. Gimana menurutmu?”
Aku ingin memastikan Fandy juga ikut
mempertimbangkan situasi keluargaku.
“Selama ortu-mu nggak bilang kalau aku pergi
sama kamu, aku juga nggak akan bilang ke ortu-ku kalau aku pergi sama kamu.”
“Terus kamu mau bilang apa?”
“Nanti kubilang saja aku ke Jogja sama
teman-temanku yang lain.”
“Terus ortu-mu pasti percaya?”
“Aku memang pernah ke Jogja, tahun kemarin.
Aku punya foto-fotonya yang ortu-ku belum pernah lihat. Itu bisa untuk ‘bukti’,
kalau mereka mau bukti.”
Aku ternganga. Rupanya, Fandy yang dulu lugu itu
memang sudah tidak innocent lagi. Efek pacaran dengan ‘setan’. Dia pun
ketularan ‘culas’. Tapi setidaknya masih ‘setan yang bermaksud baik’. Untuk
seorang sidekick sebaiknya memang jangan terlalu lugu.
“Oke, kuharap itu berhasil!” jawabku menanggapi
jurus ngibul ala Fandy itu. “Aku tunggu perkembanganmu!”
“See you.”
Kututup HP-ku. Melemparnya ke kasur. Hmmhhhh….
Alot juga, cuma untuk lolos dari kos-kosan yang dijaga ‘monster’ berkedok
‘mantan atlet’. Sudah seperti anak perawan di jaman bahula si Fandy itu. Cowok
kok dipingit? Sepertinya bapaknya itu bukan dokter, tapi sipir penjara!
Kudengar bel rumah berbunyi. Ada tamu. Aku menuju
ke pintu depan untuk melihat siapa yang datang. Seorang cowok berambut hampir
sebahu tersenyum nyengir di muka pintu.
“Halo, Ben?” sapaku. “Tumben pagi-pagi kemari?”
“Ini sudah jam sepuluh lewat, bukan pagi lagi.
Buat anak sekolah, jam delapan saja sudah siang,” seloroh Ben, sambil duduk di
beranda.
“Kita bukan anak sekolah lagi,” balasku, ikut
duduk.
“Kamu masih. Aku tidak. Kuliah itu juga sekolah.
Aku nggak punya rencana kuliah. Aku menunggu sampai ospek dihilangkan.”
“Pengecut.”
“No. Aku nggak mau ikut ambil bagian dalam
tradisi bullying di sekolah.”
“Sebagai pelaku atau korban?”
“Dua-duanya. ‘Pelaku’ mencetak ‘korban’ untuk
menjadi ‘pelaku’ di tahun berikutnya. Itu lingkaran setan.”
“Kata Bang Togar, kamu pernah menghajar orang
yang badannya lebih besar darimu? Kamu terlalu gentle untuk jadi orang
yang pilih nggak kuliah, hanya karena nggak mau di-ospek. Harusnya ospek soal
kecil buat lu!”
“Aku sudah insaf berkelahi,” ceplos Ben sambil
mengeluarkan rokok dari sakunya. “Boleh merokok?”
“Kapan kamu insaf merusak paru-paru?” balasku
santai. “Aku sudah lama insaf.”
Dia nyengir. Memasukkan lagi rokoknya. Padahal
aku tak bermaksud melarang, cuma menyindir.
“Kamu jadi mau cari Dimas ke Bali?” dia bertanya.
Aku mengangguk.
“Kapan?”
Aku mengangkat bahu. “Aku ingin secepatnya. Tapi
masih harus menunggu kesiapan Fandy.”
“Wow! Kakak iparmu jadi ikut, tho?”
“Mantan! Mantan kakak ipar!” aku meluruskan. “Aku
nggak mau lagi sebut dia ‘kakak’. Aku lebih tua dari dia!”
Ben tertawa. “Gitu aja sewot! Serius kamu
membiarkan dia ikut? Gimana dengan orang tuanya? Pasti kalian dilabrak lagi
nanti.”
Kuceritakan pada Ben, apa yang ada dalam
pikiranku tentang keikutsertaan Fandy. Kenapa aku membiarkannya ikut, kenapa
aku seolah tak peduli pada orang tuanya, kenapa aku gigih berharap Fandy bisa
lolos dari pengawasan om-nya…
“Jujur kuakui, Fandy memang diperlukan. Karena
Dimas lebih menurut kepada pacar daripada saudaranya,” begitu inti
penjelasanku.
“Mantan! Mantan pacar!” Ben ganti meluruskan
kalimatku. “Mereka sudah putus.”
Kusahut, “Dan mereka ingin balikan, kayaknya.
Fandy pasti juga senang bisa kabur dan ketemu Dimas lagi.”
“Jadi kamu membiarkan dia ikut, atas dasar
mutualisme atau solidaritas, nih?”
“Dua-duanya.”
“Hmmm. Ya monggo, lah. Semoga
kalian berhasil menemukan Dimas. Cuma…” Ben mulai mengungkapkan tujuan utamanya
menemuiku pagi ini, “aku dapat info dari beberapa guru. Jadwal cap tiga jari
untuk ijasah kita, akan diadakan sekitar minggu pertama bulan Juli. Belum jelas
kapan tanggalnya. Jadi, kita harus stand-by pada hari-hari itu. Jadi
jika dihitung dari sekarang, kamu cuma punya waktu kira-kira…”
“Cuma seminggu lebih beberapa hari, nggak sampai
dua minggu,” sahutku, menghitung dengan cepat.
“Benar! Untuk Bali yang jauh, dan Dimas yang
belum jelas lokasinya, waktu segitu bukan waktu yang banyak. Cukup mepet. Kalau
kalian telat pulang, risikonya ijasah kalian dalam masalah!”
Aku menghela napas. Mengangguk lesu. “Memang.
Makanya aku ingin cepat-cepat. Kalau Fandy sudah siap, besok pun aku siap untuk
berangkat.”
“Kalau besok kamu berangkat…” Ben menjeda
sejenak, tersenyum tipis, “berarti hari ini adalah hari terakhir kamu di sini,
sampai kamu pulang lagi.”
Alisku meliuk. “Kok, omonganmu tiba-tiba jadi
romantis gitu?”
Ben terbahak. “Romantis lambe-mu! Sudah
lama nggak futsal, sore ini yuk!”
Aku balas tertawa. Aku bukan tak paham maksud
Ben. Biarpun dia cowok macho, tangguh meski rada cengengesan, hatinya
tetap bisa mellow juga. Rada-rada mirip aku, sih. Dia sudah menyiratkan
itu sejak kemarin di rumah Erik. Dia merasa sebentar lagi akan ditinggalkan
sahabat-sahabatnya. Dimulai dari Dimas yang pergi duluan. Padahal Dimas adalah
salah satu sahabatnya yang paling dekat. Kenapa? Yaah, Ben punya masa lalu yang
tidak terlalu baik, yang membuat dia pernah dijauhi teman-temannya. Dimas-lah
yang sudi berteman dengannya, di saat yang lain menghindar. Sebaliknya, Ben juga
sosok yang menjadi teman di saat Dimas dikucilkan. Karena Dimas, dia jadi kenal
aku dan juga Fandy. Aku percaya dia masih punya teman di luar kami, tapi dia
mengakui bahwa kamilah sahabatnya yang paling solid.
Kami suka futsal. Tapi biasanya kami rencanakan
saat di sekolah, pulang sekolah kami langsung menuju ke tempat futsal. Untuk
melengkapi formasi, tentu harus mengajak teman-teman kami yang lain. Kadang
Erik dan Fandy ikut main. Begitu juga Dimas, tapi cuma sebagai penonton dan
sasaran bola nyasar. Misha? Dia juga kadang nyusul membawakan juice dan snack,
yang lain dibiarkan mengambil sendiri-sendiri tapi dia akan mengulurkan
bagianku, khusus untukku. Hmhhh…. Kangen juga dengan saat-saat itu.
“Sekarang sudah pada sibuk sendiri-sendiri,
menyiapkan kuliah,” gumam Ben pelan.
“Lu sendiri juga sibuk ngurus band,” sahutku
enteng.
Sejujurnya, aku akan senang seandainya Ben juga
ikut ke Bali. Tapi aku sungkan membebaninya. Posisinya nggak bisa disamakan
dengan Fandy. Selain Fandy punya niat ikut atas kemauan sendiri, dia juga masih
ada sangkut-pautnya dengan masalah Dimas. Ben tidak. Sekalipun misalkan Ben
tidak sibuk dengan band, aku tetap akan sungkan untuk memintanya ikut. Tak tahu
diri jika aku ‘memaksa’ Ben mengurus keluarga orang lain, seolah dia sendiri nggak
punya masalah keluarga. Meski dia seorang sahabat, tak tahu diri jika aku
membebaninya atas dalih solidaritas. Solidaritas adalah keikhlasan, bukan
permintaan.
“Kalau futsal, mau futsal sama siapa?” dengusku
tanpa butuh dijawab. “Main PS aja, yuk! PS-ku juga sudah lama nganggur, tuh!”
“Males, ah, kalau main Power Instinct!
Kamu pasti main char nenek-nenek itu!”
Aku ngakak. “Itu char paling keren
sepanjang masa, woi!”
“Keren apanya? Jurus berantemnya lempar gigi
palsu, setting berantemnya di kuburan! Aneh!”
Hahaha…!
Menurutku, Otane Goketuji adalah char
arcade paling gokil yang pernah ada. Chun-Li, Mai Shiranui, Blue
Mary, Charlotte, menang cantik tapi kalah gokil! Selain itu, char
nenek-nenek itu juga punya kemiripan ‘takdir’ denganku. Yaitu punya saudara
kembar. Bedanya, saudara kembarnya jahat. Sedangkan saudara kembarku… nggak
jahat, sih, cuma nyebelin dan ngerepotin (dan homo).
“Main Winning Eleven wae…!” cetus
Ben.
“Okelah, Bro…!” sahutku sambil tertawa.
Lebay kalau menyebut ini ‘hari terakhir’. Tapi
menuruti sahabat yang lagi galau sah-sah saja. Dipikirnya aku nggak lagi galau?
Sama, aku juga lagi galau mikirin Dimas! Setiap orang butuh waktu untuk
menghibur diri. Menghibur satu sama lain. Dan itu adalah sekarang.
Baru aku berdiri, mau mengajak Ben masuk ke
dalam… tapi langkahku tertahan. Aku terpana menatap seseorang yang muncul di
depan pagar. Perempuan itu juga terpana menatapku. Rasanya kenal….
“Permisi… ini benar rumahnya…” cewek itu seperti
setengah tak sadar saat bertanya, sampai kalimatnya yang belum selesai itu
tiba-tiba disambungnya dengan pekikan lantang, “Denissss…?!! Jadi benar di sini
rumah kau sekarang…?!!”
Sekarang aku baru kaget! Jantungku seperti mau
meledak!
“Leah…??? Kok lu bisa sampai sini…?!!”
Drppp… drppp…! Dia berlari cepat ke arahku
dan mau memelukku. Tapi dengan sigap kutepis dia, dan…
Plak!
Aku pun ditamparnya.
Bersambung...