Karung 5
Karung 5
Jangan Ada Yang Terkucil
Aku sengaja menunggu sampai agak malam. Menunggu
sampai Mama tidur dulu. Jadi aku lebih leluasa untuk membicarakan masalah ini
dengan Papa. Empat mata di beranda, kuceritakan tentang surat dari Dimas. Soal
keberadaannya di Bali. Soal temannya yang bernama Awan. Soal keterlibatan Papa
yang aku baru tahu sore tadi! Aku mengungkapkan kekesalanku atas rahasia itu.
Itu nggak adil!
Papa terdiam. Tampak gelisah. Ada perasaan
bersalah di mimiknya. Serba salah.
“Aku masih menunggu penjelasan Papa,” tekanku.
“Iya. Memang Papa yang mengijinkan Dimas pergi…”
ucap Papa pelan. Asap rokok terlepas kacau dari mulutnya.
“Kenapa Papa sembunyikan itu? Tujuan Papa apa,
sih?!”
Kalau yang di hadapanku bukan seorang ayah, pasti
sudah kuluapkan kemarahanku sejadinya. Dia yang kasih ijin dan tahu Dimas pergi
ke mana, tapi membiarkan aku dan Mama mengira dia minggat! Membiarkan kami
selama ini diaduk-aduk oleh perasaan marah dan kehilangan, apa maksudnya?!
“Denis, ini dia sendiri yang minta,” jelas Papa.
“Kamu sendiri tahu, dia dalam keadaan tertekan di sini. Dia butuh ketenangan…”
“Terus membiarkan dia pergi begitu saja jauh-jauh
ke Bali? Diam-diam? Aku nggak boleh tahu? Kenapa?”
Tatapan Papa tanpa arah. “Ya… ini mungkin memang
terdengar egois, dan sembrono…”
“Jelas, lah!” sahutku. “Selama ini kita selalu
membesarkan hatinya. Terus dia malah pergi, lewat cara sekongkol dengan Papa.
Kenapa aku nggak dikasih tahu, padahal selama ini aku juga selalu dukung dia?
Itu nggak adil!”
“Tapi ini adil buat Mama,” ulas Papa, bikin aku
tambah bingung. “Denis, Papa bukan bermaksud tak adil ke kamu. Kami sengaja
tidak memberi tahu kamu, demi menjaga hati Mama…”
“Maksud Papa, aku nggak bisa dipercaya untuk jaga
rahasia?”
“Justru Dimas bilang, kamu bisa dipercaya. Karena
itu, kalau kamu juga tahu Dimas ada di mana, bukankah tinggal Mama sendiri yang
tidak tahu? Bukankah diam-diam kita sudah mengucilkan Mama?”
Tiba-tiba aku terdiam. Lama. Kutatap wajah Papa
yang samar-samar di balik kepulan asap rokok. Wajah yang seperti berkabut,
wajah yang tak pernah marah itu. Wajah yang sebelum Dimas pergi, tak pernah
kulihat bersedih. Sekarang wajah itu begitu kalut. Sama denganku.
Memahami Dimas seperti menemui banyak
persimpangan di tengah jalan. Dia seorang yang egois? Seorang yang tersingkir?
Ataukah seorang yang peduli? Aku bingung memahaminya.
“Setelah semua perlakuan Mama, kenapa dia masih
begitu memikirkan Mama?”
“Dia memikirkan kita semua,” ucap Papa. “Dan
nggak cuma Dimas yang memikirkan Mama. Kita juga, kan?”
“Lalu kenapa dia malah memilih pergi?” lontarku
sinis. “Memangnya itu bisa jadi solusi? Aku nggak yakin, Pa.”
Papa menunduk. “Ya. Sekarang Papa juga nggak
yakin….”
Jantungku berdesir. Alisku merapat. “Apa lagi
maksud Papa? Sekarang nggak yakin?”
Papa mengusap-usap dagunya. Kikuk. “Denis, Papa
mengijinkan Dimas pergi karena dia mau berjanji, bahwa dia akan pulang pada
waktunya…”
“Kapan?”
“Harusnya minggu-minggu ini. Dia harus mengurus
ijazahnya, kan? Papa minta agar dia tetap meneruskan kuliah. Papa mengijinkan
dia menenangkan diri, ke tempat yang dia yakin bisa. Tapi bukan untuk
mengabaikan masa depannya. Dia bilang setuju, berjanji pasti akan pulang pada
saat yang seharusnya. Papa pikir, dengan membiarkan dia pergi maka ini juga
akan menjadi kesempatan bagi Mama untuk belajar…”
“Belajar?”
Papa mengangguk pelan. “Belajar. Kepada rasa
kehilangan. Supaya Mama bisa lebih menerima Dimas saat dia kembali.”
Wajah Papa terlihat menerawang, seperti menembus
waktu yang sudah-sudah. Kemudian, dia bercerita tentang kami.
“Sebelumnya, Papa dan Mama juga sudah belajar
dari perasaan seperti itu. Perasaan kehilangan. Yaitu saat memisahkan kamu dari
keluarga ini. Kamu pasti bisa mengerti, saat kamu diberikan ke Tante di Medan,
itu bukan untuk menyingkirkan kamu. Kita ingin membantu keluarga di Medan yang
sudah lama ingin punya momongan. Kamu… selalu dirindukan selama itu. Kami
menunggu saat-saat itu, di mana kamu bisa bersatu lagi dengan keluarga ini.
Tujuh tahun, kedengarannya tak terlalu lama. Tapi untuk perasaan rindu orang
tua kepada anak, itu sangat lama. Sembilan bulan Mama menggendong kalian di
dalam perut, sedekat itu dan tak terpisahkan. Tapi, tetap tak terkira rindunya
menunggu saat kalian lahir, demi melihat wajah kalian. Papa saksinya. Papa juga
punya rindu yang sama. Dia tetap seorang ‘mama’, yang pasti akan merasa
kehilangan….”
Aku termangu. Pertama kalinya bagiku, mendengar
Papa bercerita tentang itu. Rasa rindu orang tua kepada anak. Kepada kami. Dulu
rindu itu cuma kulihat pada raut wajahnya. Sekarang rindu itu tiba-tiba menjadi
ucapan. Apakah karena kali ini adalah kehilangan yang lebih besar?
Tiba-tiba perasaan iri muncul….
Kenapa akulah yang dulu direlakan ke Medan?
Kenapa bukan Dimas? Apakah karena dia lebih disayang?
Ah, tapi aku ingat. Dua tahun lalu, saat aku
berada di antara dua pilihan: pulang ke Medan, atau pulang di sini, Mama
memberiku jawaban atas pertanyaanku itu. “Kenapa Papa dan Mama memilih
melepasmu? Karena kamu lebih kuat dari kakakmu. Kamu lebih kuat untuk
dipisahkan. Kamu pasti akan baik-baik saja.”
Jawaban itu membantuku untuk percaya, bahwa aku
bisa tinggal di sini lagi setelah tujuh tahun dipisahkan. Bahwa aku juga akan
dibutuhkan Dimas di tengah-tengah pilihan hidupnya yang riskan itu, karena aku
dipandang lebih kuat. Meski sebenarnya tak selalu begitu. Dan, pertanyaan itu
juga tetap sesekali muncul, seperti sekarang: apakah kepergian Dimas adalah
kehilangan yang lebih besar, dibanding saat aku meninggalkan mereka?
“Akhirnya, ini memang menjadi tidak adil….” Papa
menyambung tuturnya, membelokkan lagi pergumulanku. “Papa membuka ini semua, di
saat sudah terlambat. Di saat Dimas sudah telanjur menghilang….”
Dadaku menyesak. “Sekarang Papa juga kehilangan
jejaknya?”
Papa membuang napas, mengungkapkan penyesalannya.
“Papa menitipkan dia di tempat kawan lama Papa, seorang pengusaha penginapan di
Denpasar. Sebulan pertama, Dimas masih mengabari Papa. Dia selalu beri kabar
kalau dia baik-baik saja di sana. Tapi di bulan berikutnya, kawan Papa
mengabari kalau Dimas sudah pamit pulang ke Solo. Saat Papa hubungi, nomor
Dimas sudah tidak aktif lagi. Papa hubungi kawan-kawan yang lain, agar
mengabari kalau tahu keberadaan Dimas. Tapi sampai sekarang tidak juga ada
kabar. Dia benar-benar menghilang….”
Ffhhhh…. Papa telah melakukan kesalahan
besar. Semua siasatnya yang disusun bersama Dimas dan disembunyikan dariku,
akhirnya berantakan! Ternyata Dimas tak bisa dipegang!
“Papa kepingin ngomong ke kamu. Tapi Papa bingung
harus bagaimana menjelaskannya. Bingung dan malu.”
Sekarang Papa menyesali tindakannya. Namanya penyesalan
memang selalu datang belakangan.
“Kalau Papa nggak bilang, memangnya masalah akan
selesai dengan sendirinya? Setidaknya aku bisa ikut mikir kalau Papa mau
terbuka sejak awal. Yang pasti Dimas masih di Bali, suratnya dikirim dari
Badung!” tandasku, menepukkan amplop surat berperangko bunga itu di meja. Lalu
aku menyelidik lagi, “Papa masih mengirim uang ke rekeningnya?”
“Kalau Papa berhenti mengiriminya uang, apakah
lantas Dimas akan pulang?”
“Kalau Papa masih mengirim uang, ya dia tambah
senang di sana! Tambah nggak mau pulang! Pantas dia betah tiga bulan di sana!”
aku menggerutu. Menahan kesal!
“Papa kuatir kalau dia kenapa-napa. Setidaknya
jika ada uang, dia akan tertolong kalau butuh apa-apa. Mungkin dia tidak akan
pulang secepatnya. Tapi yang penting dia selamat.”
Aku sungguh heran. Masalah Papa bukan karena dia
itu penyabar. Tapi karena dia terlalu lunak! Anaknya minggat, masih juga
dikirim uang?! Dulu aku menyukai sikap lunaknya itu, tapi sekarang kecewa atas
ketidakmampuannya bersikap tegas.
“Selama dia tidak pulang, kita nggak tahu dia
selamat atau tidak. Jadi, dia harus pulang! Tinggal satu solusi, Pa, aku akan
jemput dia!” tandasku bulat.
“Bali itu luas, Denis. Badung juga!”
“Aku akan terus cari informasi. Aku sudah tahu
beberapa temannya di Bali. Kalau sudah cukup info, aku akan berangkat ke sana
mencarinya. Papa nggak bisa cegah aku! Dimas yang tujuannya nggak jelas aja
Papa kasih ijin, kok!”
Papa tak bisa melawan kemauanku, meski raut
wajahnya tampak memohonku untuk tidak pergi.
“Aku ngerti, Papa merasa kehilangan. Tapi nggak
cuma Papa, aku juga merasa kehilangan. Dan Papa juga bisa lihat, kan… Mama tiap
hari murung? Mama sudah cukup merasa bersalah. Tujuan Papa agar Mama belajar
dari rasa kehilangan, mungkin itu memang berhasil. Tapi kalau kita nggak bisa
memulangkan Dimas, keberhasilan Papa itu akan jadi bencana yang lebih parah!”
Papa mengusap-usap tengkuknya, merapatkan mata.
Berpikir keras. Tampak berat ketika mengangguk. “Oke, oke… Papa nggak akan
cegah kamu. Tapi kamu harus pastikan dulu tempat yang mau kamu tuju itu jelas.
Dan kamu harus…”
“Aku sudah ngerti, Pa!” aku memotong. “Aku pasti
akan terus kabari Papa. Aku nggak akan kayak Dimas yang ngilang dan bikin repot
orang!”
Papa mengangguk-angguk. Tersenyum kikuk.
Menghisap rokoknya lagi, tapi baru sadar puntungnya itu sudah mati. Dia
mengganti rokok yang baru. Tapi dia menumpahkan korek apinya, berceceran di
lantai. Pelan dia memunguti batang korek itu satu-satu.
Aku terpana….
Tiba-tiba hatiku seperti tertampar. Kulihat, Papa
hanyalah seorang ayah yang lembut hati. Dia hanyalah seorang ayah yang pendiam
dan penyayang, tapi dikhianati oleh anaknya sendiri. Seperti apa rasanya jika
hatinya yang besar itu menjadi kosong, karena ditinggalkan oleh anak-anak
tersayangnya?
Tiba-tiba aku merasa menyesal.
“Maaf, Pa… aku nggak bermaksud nyalahin Papa….”
kataku, gagu. Kutekan erat mataku, malu untuk meneteskannya.
Papa menepuk pundakku. Pelan. “Memang Papa yang
salah. Justru Papa senang masih punya kamu. Tinggal kamu harapan Papa
sekarang….”
Aku mengangguk. Sekuat hati menepis rasa sedih
dan marah yang terus berbenturan. Ingin menggantinya dengan ketegaran seperti
milik seorang ayah yang ada di hadapanku. Aku ingin bisa!
Papa bercerita dengan suaranya yang tak lagi
terdengar lemah bagiku. Bukan, dia bukan ayah yang lemah. Aku keliru. Dia
adalah ayah yang sanggup menyejukkan hati seorang anak pemarah sepertiku…
“Di mata Papa, kalian itu seperti dua sayap
timbangan. Kalian mengimbangi harapan-harapan keluarga ini dengan apa adanya
kalian. Kalian istimewa dengan cara kalian masing-masing. Mungkin ini pertama
kalinya Papa katakan, kenapa hanya ada dua anak di keluarga ini? Menurut
program KB, dua anak itu cukup. Tapi bukan itu alasannya. Papa dan Mama
sepakat, kalian sudah lebih dari cukup.”
“Papa bercanda…” dengusku, ada rasa rikuh
mendengarnya.
Papa tertawa renyai. Gurat galaunya sedikit
pupus.
“Bukankah sebenarnya ada yang ketiga, Pa?” aku
menyinggung sepenggal riwayat keluarga. Satu cerita yang kami sering menghindar
untuk mengungkitnya. “Aku masih punya adik, kan?”
Papa tercenung sesaat. “Ya…” gumamnya mengenang,
“Mama sangat ingin punya anak perempuan. Empat tahun setelah kalian, adik
kalian lahir… dalam keadaan gugur. Dia belum sempurna. Tapi sudah bisa
diketahui, adikmu itu juga laki-laki….”
Dan, tak hanya seorang bayi prematur yang
lahir, tapi juga satu perasaan yang menyakitkan ikut lahir. Sesungguhnya
keluarga ini telah sejak dulu belajar kepada rasa itu. Kehilangan….
“Kita ingin bayi perempuan,” lanjut Papa, “tapi
Tuhan memberi bayi laki-laki. Meski tidak sesuai harapan kita, kita tetap sedih
kehilangan dia. Kita jadi sadar, sesungguhnya anak adalah karunia. Tidak
selayaknya menjadi ambisi.”
Perasaan iri yang pernah mengusikku, semakin
luluh. Bahkan kata-kata Papa membuatku malu, karena aku pernah meragukan
ketulusan kedua orang tuaku.
“Kalau kita ingin Dimas pulang, itu bukan ambisi,
kan, Pa?”
Papa mengulas senyum tipis. “Bukan. Karena Papa
yakin, sesungguhnya Dimas juga ingin pulang. Kita hanya perlu memulihkan
keyakinannya.”
“Menurut Papa, aku bisa meyakinkannya?”
Papa menatapku, memberiku keyakinan. “Ketika dulu
kamu dipisahkan, Papa percaya kamu pasti bisa. Kali ini, Papa percayakan lagi
padamu.”
Puncak percakapan kami adalah pesan Papa, untukku
dan Dimas…
“Kalau kamu menemukannya, katakan padanya. Dia
tak perlu takut lagi. Ajak kakakmu pulang.”
Kupegang pesan itu sebagai amanat.
Persekongkolan Papa dengan Dimas yang gagal itu
tak perlu dibahas lagi, tapi terlebih penting adalah jangan diulangi. Fokus
saja pada tujuan, yaitu menemukan Dimas dan mengajaknya pulang. Maka aku juga
berpesan kepada Papa, “Tolong katakan juga kepada Mama tentang rencana ini.”
Agar tak ada yang terkucil.
Kami sepakat.
Tapi pencarian masih butuh banyak persiapan. Aku
masih harus memastikan di mana tepatnya Dimas berada, di Bali yang luas itu.
Aku masih belum benar-benar tahu. Tapi setidaknya malam ini aku sudah menyicil
perasaan lega, karena aku sudah berbagi tujuan dan kejujuran dengan Papa. Ya,
‘berbagi’ tidak membuat kekuatan kita menjadi terbagi-bagi. Justru kekuatan
menjadi semakin bulat. Rumus yang ajaib, kan?
Aku juga lebih bisa mensyukuri niat Fandy, yang
mau bergabung dalam rencana ini. Semula, tekadnya itu kuanggap merepotkan.
Sekarang aku paham, seharusnya aku tidak sinis kepadanya. Dia seorang ex-boyfriend
yang masih mencintai mantan kekasihnya. Sejak ketahuan orang tuanya,
perasaannya pasti sudah cukup terkucil. Dia ingin membuktikan bahwa dia masih
bisa memperjuangkan sesuatu yang dia yakini, meski caranya tak akan membuat
orang tuanya senang. Aku punya keyakinan, dia akan ada gunanya dalam pencarian
ini.
HP-ku berbunyi, memecah kehingan kamar. Sebuah
SMS masuk.
“Aq dngr dr Erik, ktnya qmu mau cari Dimas ke
Bali?”
Hatiku kembali terasa dibesarkan saat membaca SMS
dari Misha itu. Aku merasa dia ikut memberikan perhatiannya.
Balasku, “Iya. Mau ikut, Mis?”
Aku berharap dia menjawab ‘ya’, biarpun terasa
memaksakan situasi. Secara dia cewek, Bali itu jauh, dan aku sendiri belum tahu
akan berapa lama mencari Dimas di sana. Kalau dia mau ikut, setidaknya aku ke
Bali tidak berduaan saja dengan sesama cowok, si Fandy itu.
Tapi ternyata jawaban Misha tak memenuhi
harapanku. “Sorry. Ortu psti ga akn ksih ijin. Aq doain aja smoga qmu
brhsil.”
Harapanku ditolak. Jemariku tiba-tiba ingin
menjadi lebih liar. “Misal kelak aku yg nysul kmu ke Bogor, ortumu bakal
ksih ijin ga ya?”
SMS-ku yang kedua itu berjarak tak ada semenit
dari SMS-nya. Tapi sejam lebih aku menunggu, sampai aku di ambang tidur, tak
ada lagi balasan darinya.
Hoaahmmm….
Tiba-tiba, sekarang hatikulah yang merasa
terkucil.
Bersambung...