Karung 4
Karung 4
Para Pelacak dan Pemberontak
Kami tiba di rumah Erik. Rumah bertingkat dua
yang cukup besar, dengan pagar lembing yang dibiarkan terbuka. Kami membawa
motor kami masuk ke halaman. Dan disambut secara mengagetkan!
“Baaaa…!” seorang bocah tak bercelana melompat
dari persembunyian.
Kami terperanjat.
Aku ngelus dada. “Kakakmu ada?”
“Di dayam!” jawab adik Erik, cadel.
“Panggilin!” suruhku.
Anak itu segera nyelonong masuk ke rumah. Tak
lama kemudian Erik keluar.
“Adikmu bahaya. Dia bisa jadi exhibitionist
kalau besar nanti!” cibir Ben, tamu menyambut tuan rumah.
“Dia memang bandel. Tapi doamu lebay!” tukas
Erik.
Dialah orang yang pernah bikin Dimas patah hati.
Dulu Dimas suka menyebutnya ‘si jabrik’ karena gaya rambutnya yang spike.
Tapi julukan itu sudah kedaluwarsa, rambutnya sekarang ditata biasa saja.
Akulah yang sekarang berambut spike.
“Tumben? Bertiga begini, habis dari mana?” Erik
beramah-tamah, sambil menyilakan kami duduk di berandanya yang longgar.
“Dari rumah ‘mantan’, ke ‘mantan’ yang lain,”
celetuk Ben.
Erik kelihatan tak paham maksud gurauan nggak
penting itu. Aku, Ben, dan Fandy berpandang-pandangan sejenak. Sampai aku sadar
kalau akulah yang harus menjelaskan.
“Rik, sampai sekarang Dimas belum pulang. Tapi
aku dapat petunjuk, dia ada di Bali…” aku to the point.
Erik tercengang. “Bali?”
“Ehemm…. Dia ngirim surat ke aku, yang
isinya titipan buat Fandy. Stempel di amplop surat itu dari Badung, Bali,”
jelas Ben.
Aku menyambung, “Dia punya teman di sana. Mungkin
dia ada di tempat temannya itu. Atau paling tidak, temannya itu mungkin tahu
Dimas sedang ada di mana. Soalnya keluargaku nggak punya kerabat di Bali, jadi
kalau dia memang ada di sana maka kemungkinan besar dia akan menghubungi
temannya itu. Buat memastikan, aku butuh bantuanmu, Rik.”
Erik tampak sangsi. “Dari dulu aku ingin bisa
bantu kalian. Tapi aku bisa bantu apa?”
“Temannya itu adalah tour guide yang dia
kenal waktu piknik ke Bali dulu. Waktu itu kamu ikut jadi panitia, kan? Kamu
masih menyimpan info atau nomor kontak biro wisata yang dipakai waktu itu?”
Erik mengingat-ingat. Dia tersenyum ragu. “Biro
perjalanan yang dipakai waktu itu berkantor di Solo, bukan di Bali. Ya, aku
masih simpan nomor teleponnya. Tapi biasanya mereka memang punya koneksi dengan
biro-biro lokal. Setahuku, jasa tour guide waktu itu dari biro lokal di
sana. Yang itu aku tak menyimpan nomor teleponnya.”
“Yang penting kamu masih punya nomor telepon biro
yang di Solo. Kita bisa mulai dari situ,” tandasku optimis. “Kita tanya, tour
guide waktu itu dari biro apa? Lalu kita minta nomor teleponnya.”
Erik kelihatan masih ragu. Tapi dia mengangguk.
“Oke. Kita coba.”
Dia lalu mengeluarkan HP, mulai beraksi. Kami
bertiga menunggu, melihat bagaimana dia membantu.
Di tengah ketegangan dan rasa penasaran,
diam-diam aku menyimpan rasa geli. Di sini sekarang, ada dua ‘orang penting’
dalam sejarah cintanya Dimas. Erik, si mantan gebetan; dan Fandy, si mantan
pacar. Aku nggak heran kalau Fandy lebih banyak diam. Tadi dia ngebet ikut
kemari, tapi begitu berhadapan langsung dengan Erik sekarang tampak canggung
juga. Memang, Erik pernah jadi sosok ‘antagonis’, nggak cuma di mata Fandy,
tapi juga bagiku dan Dimas sendiri. Erik tak hanya menampik, tapi juga
membocorkan kepada teman-temannya bahwa Dimas habis ‘nembak’ dia. Jahat, kan?
Tapi di titik itulah, aku justru mulai melihat
sisi lain Dimas. Ternyata dia bukan cuma ‘cowok penyuka cowok’ yang mellow
dan naif, tapi juga seorang yang berhati besar. Dia memaafkan Erik. Mengatakan
bahwa Erik adalah bagian dari proses pendewasaannya, wuissss…! Entah dia
benar jadi lebih dewasa atau tidak, yang pasti dia move on. Entah karena
Tuhan kasihan atau memang baik hati, tak lama kemudian Dimas ketiban cowok baru
yang akhirnya benar-benar jadi pacarnya: Fandy, si anak desa unyu-unyu
(kata Dimas).
Sekarang kami semua berteman. Kami anggap
kesalahan Erik adalah masa lalu, biarpun kadang masih menyisakan rasa canggung.
Aku sendiri merasa, di antara Fandy, Ben, dan Erik… aku paling renggang dengan
Erik. Aku memaafkan masa lalunya terhadap Dimas, tapi dengan susah payah.
Kadang masih pingin nonjok mukanya. Kesel banget gue!
Lihat, sekarang ‘si mantan antagonis’ itu
membantu kami. Kami mendengarkan Erik menghubungi seseorang, atau tempat, yang
kami tak bisa menguping dengan jelas. Dia menyebut nama biro perjalanan itu, Dharma
Pesona Tour & Travel. Dia menanyakan tentang biro jasa penginapan dan tour
guide di Bali yang biasa bekerjasama dengan Dharma Pesona. Dia juga
menanyakan nomor telepon biro yang di Bali itu. Lalu buru-buru dia ngacir ke
dalam, mungkin mencari alat untuk mencatat. Tak lama, dia kembali lagi ke
beranda dengan muka berbinar-binar.
“Nama biro yang di Bali itu Buana Dewata,
itu afiliasi tetap biro perjalanan yang barusan aku hubungi,” Erik langsung
menjelaskan ke kami dengan antusias. “Biro itu punya banyak cabang di Bali,
menyediakan penginapan, paket wisata, dan guide. Di Denpasar, Gianyar,
dan kota-kota lainnya. Tapi kantor pusatnya ada di Badung, aku sudah minta
nomornya.”
Erik menyodorkan secarik kertas bertera deretan
nomor telepon dan nama biro itu: Buana Dewata.
Bingo! Petunjuk-petunjuk mulai terhubung!
“Thanks, Rik. Sekarang giliranku.”
Tak menunda-nunda, aku menghubungi nomor itu
dengan HP-ku. Kutunggu panggilanku diangkat. Beberapa kali aku mendapat nada
sibuk. Aku tak menyerah! Kesabaranku membuahkan hasil juga…
“Selamat sore, ada yang bisa dibantu?”
suara seorang laki-laki menjawab panggilanku yang keempat. Aksennya medhok.
Aksen Bali, kurasa.
“Selamat sore, Pak. Betul ini dengan kantor Buana
Dewata?”
“Betul, ada yang bisa saya bantu?”
“Sebelumnya maaf, Pak, saya cuma mau menanyakan…
apakah Mas Awan masih bekerja di sini?”
“Mas Awan? Maksudnya… Mas Awan siapa, ya?”
orang yang kuhubungi itu bertanya balik.
Aku jadi gugup. Tiba-tiba aku baru sadar kalau
aku sudah terburu-buru, seharusnya aku masih perlu menyiapkan banyak hal
sebelum menghubungi nomor ini! Mas Awan siapa? Aku harus jawab apa?
“Saya berkenalan dengannya waktu piknik di Bali
beberapa waktu dulu, dia yang jadi guide rombongan saya. Minggu depan
saya mau ke Bali lagi, dan berencana mau mengunjunginya…” aku mengarang
sekenanya.
Tiba-tiba Fandy menyodorkan carikan kertas berisi
nomor telepon tadi, tapi rupanya dia sudah menambahi di situ: Awan dari
Jembrana.
Aku tanggap, segera mengimbuhi penjelasanku. “Dia
dari Jembrana, Pak. Saya tak tahu dia bekerja di cabang yang mana, tapi seingat
saya dia bekerja di biro Buana Dewata.”
Kudengar gagang telepon di sana beralih tangan.
Suara lain menyahutku, juga suara laki-laki, “Halo, yang dicari Mas Awan
yang dari Jembrana, ya?”
“Iya, betul, Pak.”
“Dia memang pernah bekerja di sini, tapi sudah
resign beberapa bulan lalu.”
Aku kaget. “Sudah resign…?”
“Ya. Maaf, ini dengan siapa?”
“Saya… saya Dimas, temannya dari Solo. Saya
bermaksud mengunjunginya, tapi saya kehilangan kontak. Jadi saya mencoba
menghubungi lewat nomor telepon kantor,” jelasku agak terbata, shock dan
bingung mencari alasan. Aku memakai nama ‘Dimas’ juga langsung comot begitu
saja. Tetap kuberanikan diri mengorek lagi, “Kalau begitu, sekarang Mas Awan
bekerja di mana ya, Pak?”
“Saya ndak tahu sekarang dia bekerja di mana.
Tapi seingat saya, dia dulu bilang mau kembali ke Jembrana. Sepertinya tidak di
Badung lagi.”
Aku lemas.
“Halo?”
“Ah, iya, iya… baiklah kalau begitu, Pak. Terima
kasih atas infonya. Tapi maaf, Pak, mungkin Bapak masih punya nomor
teleponnya?”
“Coba, tunggu sebentar, ya.”
Aku menunggu dengan sangat tak sabar. Raut yang
sama juga kutemukan di wajah Ben dan Fandy.
“Saya masih menyimpan nomornya, tapi ndak tahu
masih bisa dihubungi atau tidak,” kudengar jawaban, membuatku lega
luar biasa. Biarpun dia bilang ‘tak tahu masih bisa dihubungi atau tidak’,
setidaknya masih ada kemungkinan. Belum buntu! Dia menyebutkan sederet nomor,
aku mencatat di carikan kertas tadi.
“Baik, Pak. Terima kasih sekali atas bantuannya.
Maaf, saya sudah merepotkan.”
“Tak apa-apa.”
“Selamat sore,” pungkasku. Dijawab dengan kalimat
yang sama. Lalu telepon ditutup.
Investigasi usai. Aku membawa oleh-oleh sederet
nomor. Nomor telepon teman Dimas di Bali itu.
“Itu nomor Mas Awan?” tanya Fandy.
“Iya. Semoga nomor ini masih aktif!” harapku,
sambil melonggarkan diri sejenak, menghela napas. “Fan, tahu dari mana kalau
Mas Awan ini berasal dari…” aku membaca tulisan di kertas itu lagi, “Jembrana?
Dari Dimas atau… kamu pernah kontak langsung dengannya?”
“Dari Dimas, lah. Dia juga pernah berencana backpacking
ke sana, ngajak aku. Katanya itu daerah yang bagus, banyak sawah di dekat
pantai. Lama-lama aku jadi hapal di luar kepala. Jembrana.”
Aku membayangkan. “Dimas jadi backpacker?
Bisa mampus dia di jalan!”
“Jangan gitu, Den,” Ben menyahut. “Buktinya,
kejadian juga dia pergi sampai tiga bulan!”
“Pasti dia dibantu temannya itu! Atau, mungkin
tabungannya lebih banyak dari yang aku duga!”
“Atau, mungkin kita saja yang nggak tahu kalau
dia itu pintar cari duit. Dia itu banyak akal, biarpun kadang ngawur. Makanya
bisa survive di sana,” Ben masih setia membela Dimas. “Kalau Dimas itu
‘payah’, nggak mungkin Fandy setia sama dia.”
“Ngelantur!” Fandy langsung menukas Ben yang
cengengesan.
“Kamu dapat info apa, Den?” Erik mengembalikan
percakapan kami ke tujuan semula.
Aku membuang napas, mengungkapkan kekecewaan
karena petunjuk yang kudapat ternyata masih absurd. “Mas Awan sudah tidak
bekerja di biro itu lagi sejak beberapa bulan lalu. Dia sudah balik ke daerah
asalnya, di Jembrana. Padahal, surat Dimas stempel posnya dari Badung. Jadi,
apa benar dia berada di tempat Mas Awan ini? Dia di Badung di tempat siapa?
Jangan-jangan bukan di tempat siapa-siapa? Dia cuma mampir, atau kebetulan
menginap di losmen atau apa…? Badung jauh dari Jembrana nggak, sih?”
“Jauh,” jawab Erik. “Tapi hubungi saja dulu nomor
itu. Kita sudah susah-payah mencarinya.”
Memang, tak ada langkah yang lebih baik.
Kuhubungi satu nomor lagi dengan HP-ku. Nomor milik teman Dimas yang bernama
Awan ini. Jantungku berdebar-debar menunggu panggilanku diangkat. Menunggu,
menunggu, dan menunggu… Semakin lama semakin kesabaranku terganggu. Semakin
kuulang, semakin ingin kubanting HP-ku. Aku memilih berhenti di panggilan yang
kelima, daripada aku benar-benar membanting HP-ku satu-satunya ini.
“Nggak diangkat,” gumamku lesu.
Semua membisu.
“Baaa!” tiba-tiba kami dikagetkan lagi. Adik Erik
melompat dari balik pintu. Ctak! Erik langsung menyentil kupingnya. Anak
itu kabur ke dalam rumah sambil menangis.
“Hei, jangan KDRT gitu, lah!” protesku. “Namanya
juga anak kecil!”
“Kedisiplinan Dalam Rumah Tangga,” sahut Erik
enteng. “Pendidikan yang keras kadang perlu. Yang penting tidak keterlaluan.”
“Kamu juga pernah ‘mendidik’ Dimas dengan keras,
dan bisa dibilang agak ‘keterlaluan’,” Ben gantian menyentil. Tapi begitu
melihat tampang Erik yang masam, dia buru-buru bilang, “Upss… sorry.”
“Yang kalian mungkin tidak tahu adalah, Dimas
juga ‘mendidik’ku. Perasaan bersalah adalah sesuatu yang berat, dan kalian
masih suka membuatku begitu,” ucap Erik sambil tersenyum pahit.
Ben menggaruk rambut gondrongnya. “Sekarang akulah
yang merasa bersalah. Aku tak bermaksud mengungkitnya. Aku cuma… merasa kita
butuh sedikit rileks. Kita tahu kita sedang mencari siapa. Bukan cuma Denis
yang menginginkan dia pulang.”
Aku paham maksud Ben. Dia mengingatkan bahwa aku
tak harus menanggung masalah ini sendiri. Hati harus lebih hangat, tapi kepala
tetap dingin. Gigih tanpa menggerutu. Ffhhh….
“Sebenarnya aku sungkan merepotkan kalian. Tapi
kalau nggak ada kalian, mungkin aku juga nggak akan tahu harus melacak ke mana.
Thanks….”
“Kalau benar Dimas ada di Bali, kamu mau menyusul
ke sana, Den?” Erik bertanya.
Aku mengangguk.
“Serius?” Erik masih meragukanku.
Aku bicara ke semuanya. “Guys, aku sudah
nggak punya banyak waktu buat menunda-nunda masalah ini. Aku punya rencana
untuk kuliah. Tinggal menunggu pengumuman. Kalau aku berhasil, artinya aku
nggak akan tinggal di sini lagi. Tapi aku nggak bisa meninggalkan keluargaku
dalam kondisi seperti sekarang. Sebelum aku pergi, aku ingin masalah ini
selesai. Setidaknya, Dimas harus pulang!”
Semua terdiam menatapku.
“Aku akan menemanimu ke sana,” Fandy yang pertama
kali menyahutku. Menunjukkan lagi niatnya.
“Fan, ini bukan perjalanan buat happy-happy
ataupun romantis-romantisan!”
“Memangnya aku bilang ‘romantis’? Pergi dengan
kamu jelas nggak akan romantis. Tapi kamu akan butuh aku buat meyakinkan
Dimas.”
“Meyakinkan apa?”
“Dia seharusnya malu padaku,” Fandy berkata
tegas. “Aku bisa bertahan tanpa harus pergi seperti dia. Bukan cuma keluargamu
yang kacau, Den. Keluargaku juga! Kamu mau menyuruhnya pulang? Aku juga akan
menyuruhnya pulang!”
“Bukankah sebelumnya kamu justru bilang, pingin
ikut dia karena masih cinta?” tukasku sinis.
Fandy mendesah. “Kamu memakan omonganku
mentah-mentah. Biarpun aku memang ingin, tapi aku nggak akan benar-benar
begitu. Nggak, lah!”
“Terus, apa motivasimu? Aku masih bingung!”
Fandy menghela napas. Sekarang dia menatap kami
satu persatu, bicara kepada semuanya. “Aku memang tidak ikhlas putus dari
Dimas. Sekarang, aku tak mau kalah dua kali. Aku ingin mereka bisa melihat,
sebenarnya siapa yang selama ini tak pernah mau mengalah. Aku juga ingin Dimas
bisa tunjukkan itu ke mereka. Cuma anak kecil yang tak mau mengalah.”
“Tapi kalau kamu ikut aku, kamu juga sama saja
tak mau mengalah kepada orang tuamu. Karena kamu sudah memberontak. Orang tuamu
nggak mungkin ngasih ijin!”
“Aku nggak akan minta ijin. Tapi aku akan
memastikan kalau aku pasti pulang. Mereka harus tahu, bahwa sesungguhnya ada
sesuatu yang tak bisa mereka halangi. Mereka bisa menghalangi, hanya jika aku
setuju untuk mengalah. Dan aku masih mengalah. Cuma, mengalah bukan berarti
‘tak berkutik’!”
“Yang dewasa, adalah yang bisa mengalah kepada
yang lebih kecil.” Celetuk Ben menyahut.
“Selama sikap mengalah itu menghasilkan sesuatu
yang positip.” Tambah Erik, menggarisbawahi.
“Kalau orang tuamu nanti marah, apakah itu
‘positip’, Fan?” lontarku.
Fandy menggeleng. “Kebangetan. Memangnya
marah-marah mereka selama ini masih kurang? Dan sikap diamku selama ini juga
masih kurang?” Dia lalu kembali memandangi kami semua, berucap agak terbata,
“Aku tak mau hanya diam saja. Aku ingin ikut bertanggung-jawab atas masalah
ini. Karena sebenarnya… ini semua juga gara-gara kecerobohanku….”
“Tidak juga,” tandasku. “Hubungan kalian cuma
soal waktu. Kalian nggak mungkin akan menyembunyikan selamanya. Toh, Dimas juga
menyimpan foto yang sama. Russian Roulette, Fan, kamu cuma berada di
taruhan yang sial. Makanya aku sudah bilang, berhentilah menyalahkan diri.”
Fffhh…. Muka Fandy lagi-lagi tampak
memprihatinkan kalau sedang merasa bersalah. Bikin simpati. Kusembunyikan rasa
haruku. Gengsi kalau dia tahu aku sedang terharu.
Di tengah percakapan yang sesaat sunyi, tiba-tiba
kami serentak dikejutkan lagi. Bukan oleh adik Erik yang suka telanjang itu.
Tapi panggilan yang masuk ke HP-ku!
“Halo?” aku buru-buru mengangkat.
“Halo, ini siapa, ya? Tadi menghubungi saya?”
terdengar suara yang agak empuk, laki-laki.
“Oh, iya, tadi saya yang menelepon. Apakah ini
benar dengan Mas Awan?” tanyaku berdebar-debar.
“Betul. Ini siapa?”
“Oh, maaf kalau saya mengganggu. Saya Denis,
saudara Dimas yang dari Solo….” jelasku gugup. “Mas Awan kenal Dimas, kan?”
Suara di sana juga terdengar gugup. “Ooo… ya,
ya… saya kenal Dimas. Bli saudaranya?”
“Iya, Mas. Saya ingin mencari tahu, apakah Dimas
pernah ke tempat Mas Awan? Karena dia pergi dari rumah sudah berbulan-bulan.
Yang saya tahu saat ini dia ada di Bali. Mas Awan tahu?”
Suara di sana terdiam beberapa saat. Lalu
menyahut lagi, terdengar hati-hati, “Ya, saya tahu dia sedang di Bali. Kami
sempat ketemu. Dia juga sempat menginap di rumah teman saya di Badung, selama
beberapa hari. Tapi dengar-dengar, dia sudah tidak di sana lagi.”
“Sudah pergi lagi?” ulangku, lagi-lagi kecewa.
“Tapi, dia pernah ke rumah Mas Awan?”
“Ya, pernah, di Jembrana.”
“Dia pernah cerita ke Mas? Atau Mas tahu dia
punya rencana apa selama di sana? Saya benar-benar perlu tahu keadaannya, Mas.
Kami sekeluarga cemas….” selidikku hati-hati.
“Saya tahu, dia pergi dari rumah karena ada
masalah dengan keluarga. Tapi sejauh yang saya tahu, selama di sini dia baik-baik
saja. Dia tidak menceritakan dengan detail, saya cuma tahu dia punya rencana
mengunjungi beberapa tempat di Bali.”
Aku tercenung. Mengunjungi tempat-tempat di
Bali? Dia punya duit dari mana?! Jual laptop kesayangannya? Paling cuma bisa
untuk hidup sebulan.Tabungannya???
“Tapi mungkin teman saya lebih tahu, karena
Dimas agak lama waktu tinggal di Badung, di rumah teman saya itu. Coba, Bli
hubungi…”
“Saya bisa minta nomor milik teman Mas itu?”
“Iya, bisa.” Mas Awan menyebutkan nomor
telepon temannya itu. Aku mencatatnya di kertas. Dia menyebutkan pula nama
temannya, “Namanya Dika.”
“Baik, Mas, terima kasih atas bantuannya. Maaf,
kami sudah merepotkan.”
“Jadi selama ini dia tak pernah mengabari ke
keluarga?” Mas Awan gantian bertanya.
“Nggak pernah, Mas. Dia pergi tanpa pamit, dan
nggak ada kabar sedikitpun ke rumah. Dia malah mengirim surat ke kawannya,
itupun tak memberi tahu dia sedang ada di mana. Kami tahu dia ada di Bali
karena stempel pos di amplop suratnya: Badung,” jelasku panjang lebar.
“Tunggu… dia pergi tanpa pamit?” Mas Awan
mengulang. “Saya tahu dia sedang ada masalah. Tapi dia bilang, dia pamit ke
ayahnya. Katanya, ayahnya sudah tahu?”
Deg!
Darahku berdesir-desir….
“Mas, beneran itu? Dia bilang begitu, Mas yakin
tidak sedang bercanda, atau berbohong…?” selidikku, kaget dan keheranan.
“Hati orang tidak ada yang tahu ya, Bli…”
Mas Awan tertawa pelan. “Tapi buat apa dia membohongi saya? Tidak ada untung
yang dia cari dengan membohongi saya, Bli.”
Aku tergagu. Bingung untuk percaya.
“Saya juga menasihatinya agar pulang saja.
Tapi dia masih keras hati,” tambah Mas Awan. “Coba, nanti Bli hubungi
teman saya tadi, siapa tahu dia punya lebih banyak informasi.”
“Baiklah, Bli, eh… anu, Mas… saya nanti
akan tanyakan ke kawan Mas itu. Terima kasih banyak, ya, Mas.” Bicaraku sampai
belepotan saking gugupku mendengar informasi dari Mas Awan. Kulihat Ben, Fandy
dan Erik malah cengar-cengir menertawai kegugupanku. Kusepak kaki Fandy, yang
paling dekat.
“Bli tahu nomor saya dari mana?” Mas Awan
ganti menyelidik.
Aku merasa tak enak menjelaskan, karena sudah
merepotkan kantor tempat dia pernah bekerja. Tapi tetap kujelaskan pajang lebar
apa adanya, bagaimana kami memutar akal demi mendapatkan nomor Mas Awan. Demi
melacak keberadaan Dimas. Untunglah, Mas Awan tak terdengar tersinggung
mendengarkan ‘ulah’ kami.
“Semoga dia mau cepat pulang,” dia juga
berharap. “Maaf, saya tak bisa membantu banyak.”
“Mas sudah sangat membantu, kok. Terima kasih,
Mas.”
“Sama-sama.”
Kami tak menambah basa-basi. Memungkasi
pembicaraan. Setelah Mas Awan menutup teleponnya, hampir aku mengumpat! Kuremas
mukaku yang tiba-tiba seperti berputar rasanya.
“Kalian cengar-cengir! Memangnya kalian tahu aku
dapat berita apa?!” aku setengah membentak.
Tuhan, apa benar kata Mas Awan? Papa
sebenarnya tahu Dimas ada di mana?!
“Berita apa?” tanya Ben.
Aku menggeleng, menahan diri. “Sorry,
belum, belum… belum saatnya aku kasih tahu. Aku harus pastikan dulu berita ini
benar atau tidak!”
“Maksudnya? Dimas sudah tidak di Bali?” Fandy
menyelidik.
“Dia masih di sana. Tapi bukan di tempat Mas
Awan. Di tempat teman yang lain lagi. Aku nanti akan cari kejelasannya. Kalian
pasti akan aku kabari!”
“Kenapa tidak sekarang sekalian? Kita sama-sama
ingin tahu, ingin cari dia, makanya kita temani kamu…”
“Fan, Bali itu jauh! Aku nggak mau mengatakan
kepada kalian kalau kebenarannya masih simpang-siur. Aku akan cari kejelasannya
dulu. Aku perlu menghubungi satu nomor lagi, tapi mungkin nanti. Aku butuh
napas…!” ujarku kalut.
Kulihat Fandy masih cemberut.
“Fan, kalau memang memungkinkan mencari Dimas ke
Bali, oke… kamu bisa ikut. Tapi kamu tunggu kabar dulu dariku! Oke?” tandasku,
agar dia berhenti bersungut-sungut.
“Aku nggak bisa ikut, Den. Sorry, aku
sekarang terikat job di kafe. Hampir tiap malam aku manggung,” Ben
menyahut dengan mimik agak sedih.
“It’s ok,” sahutku. “Sebenarnya sendiripun
aku berani. Tapi karena Fandy nggak mau ditinggal, terpaksa aku harus momong
dia. Setelah Dimas, aku juga harus siap-siap jadi sasaran orang tuanya!”
“Aku suka sikap sinismu!” cetus Fandy.
“Harus! Dulu Dimas disidang karena macarin anak
orang. Besok gantian aku akan dituduh melarikan anak orang, cowok lagi!”
tukasku kesal. “Tapi kamu siapin bekalmu sendiri, aku nggak mau bayarin!”
“Aku sudah lama ingin jalan-jalan ke Bali,” Erik
menyahut. “Tapi aku tahu kalian ke sana bukan untuk jalan-jalan. Aku nggak enak
untuk ikut. Aku doakan saja, kalian berhasil menemukan Dimas dan mengajaknya
pulang…”
“Lalu kalian move on…” sahut Ben sambil
menerawang. “Dimas pulang. Denis pergi untuk kuliah. Dimas mungkin juga akan
kuliah. Erik juga. Fandy meneruskan sekolahnya, entah di sini atau di mana. Aku
sibuk dengan pekerjaan. Kita akan menemukan hari baru masing-masing.
Menyedihkan. Tapi mungkin memang itulah yang terbaik. Tak bisa dihindari.”
Kami semua terdiam mendengar kata-kata Ben.
Sedih.
“Aku cuma berharap, sebelum kita semua berpisah,
Denis bisa menuntaskan satu pekerjaan lagi!” kembali Ben berceletuk. “Kuharap
dia punya sikap yang lebih jelas kepada Misha.”
Tiba-tiba semua tertawa. Menertawaiku.
“Sip! Biar itu terlaksana, kita harus bersulang!”
Erik bangkit berdiri.
“Ya, aku juga sudah membatin dari tadi, mana
suguhannya?” Ben cengengesan.
Setelah beberapa waktu ke dalam rumah, Erik
kembali ke beranda sambil membawa empat gelas es sirup. Kami melakukan adegan
yang konyol: bersulang.
“Gimana kabar Misha?” aku menggumam ke semua.
Sejak ujian berakhir, hampir aku tak pernah bertemu dengannya. Hanya kadang
SMS. Tapi entah sejak kapan, kami seperti pizza yang sudah dingin. Masih
layak kalau mau dibilang layak, belum basi, masih enak, hanya saja sudah
dingin….
“Kalau dia lolos, dia akan kuliah di Bogor.
Alternatifnya, dia akan kuliah di Semarang,” jawab Erik, yang juga sepupu
Misha.
Ya, aku sudah tahu. Antara IPB dan Undip.
Keduanya bukan pilihanku. Sebentar lagi aku pasti berpisah dengannya. Kalau
kami sama-sama lulus SNMPTN.
“Kamu serius merasa cukup dengan hubungan
platonis?” Ben menyindir.
Aku bingung menjawabnya. Aku ingin menjawab
‘tidak’, tapi faktanya aku memang tak pernah memacarinya.
“Kamu cowok memang bisa nyantai kalau mau
nyantai. Tapi dia cewek, jangan menggantung perasaannya, dong! Sudah dua tahun,
Bro! Masa cuma gitu-gitu saja dari dulu, akrab tapi nggak jadian?” Ben
memprovokasi, bukan untuk yang pertama kalinya.
Mereka pikir, aku senang dengan kebingunganku?
Huh….
“Ben, lu bisa juga lebih cerewet dari Dimas!”
tukasku.
“Den, menurutku bahkan kamu lebih cerewet dari
Dimas.”
“Kamu kira aku nggak pernah mikirin Misha?”
“Aku percaya kamu mikirin dia. Tapi, ya cuma
mikir. No action…!”
“Toss…!” Erik mengamini, mengajak
bersulang lagi.
Kubiarkan mereka menertawaiku lagi. Ya, mereka
boleh menertawai kepengecutanku terhadap Misha. Mereka memang tak tahu apa-apa.
Kuminum isi gelasku. Bukan sirup rasa apel
seperti kebiasaan Dimas kalau menyuguh teman-temannya. Tapi sore di beranda ini
masih sanggup mencetuskan canda dan keakraban. Dan menyicil seberkas kesedihan,
karena kami tahu bahwa tak lama lagi kami akan saling berpisah. Aku tak tahu
apakah perasaanku mewakili mereka, tapi aku pasti akan merindukan momen-momen
seperti ini. Kangen gurauan mereka, ledekan mereka, kangen berantem dengan
mereka….
Mereka sahabat yang baik.
Teman-teman, Dimas pun tak akan bisa
menggantikan kalian. Begitu juga sebaliknya, kalian tak akan bisa menggantikan
Dimas….
Bersambung...