RSS

Karung 3




Karung 3
Jejak



Aku bisa saja kemari sejak dulu. Tapi aku menundanya karena masih mau memikirkan posisinya, meski sesungguhnya aku juga marah padanya. Bagaimanapun, dia juga teman dekatku. Dia juga menghadapi kesulitan yang tak jauh beda. Masalah ini memang bermula dari dia, tapi sulit untuk menyalahkannya. Dia pasti juga tak bermaksud membuat keadaan jadi seburuk sekarang. Lagi pula aku bukan mau mengungkit keteledorannya. Aku kemari karena mungkin dia punya petunjuk tentang keberadaan Dimas. Siapa tahu?

Aku mengetuk pintu kamar kos Fandy. Dua kali aku mengulang ketukan, baru dia membuka pintu. Mukanya terperangah melihatku.

“Hei, Den…” dia pasti bingung mau menyambut bagaimana.

“Aku boleh masuk?”

“Oh, boleh, lah…” dia gugup, melebarkan pintunya.

Aku duduk di kursi satu-satunya di kamar yang tak begitu besar ini. Rapi untuk kamar cowok. Tepat di hadapanku, dipan berukuran tak lebih dari dua orang. Aku tak sering mengunjungi Fandy, tapi… huh, entah sudah berapa kali Dimas berbagi kasur dengannya di dipan itu. Fandy duduk di situ, menghadapiku tapi sungkan memandangku. Mukanya sekucal seragam sekolah yang masih melekat di badannya.

Aku menghirup aroma yang sama dengan aroma kamar Dimas. Menguar dari lampu aromatherapy yang menyala di sudut meja. Lampu pemberian Dimas.

“Hmmm…. Kamboja?”

Frangipani,” Fandy menimpal.

Aku juga melirik bandul di kalungnya yang terlihat dengan mudah, liontin metal berbentuk huruf ‘F’. Fandy, atau Frangipani?

“Aroma yang kamu pakai ini ada hubungannya dengan Dimas?” tebakku.

Muka yang kusut itu tampak menerawang. “Ya,” jawabnya menggumam.

Hmm, tentu saja.

Awal percakapan yang canggung.

“Gimana tes-nya? Sudah selesai, kan?” aku masih merintis percakapan.

“Sudah selesai Sabtu kemarin. Pastinya tidak seberat yang dihadapi Dimas, karena dia harus menghadapi Ujian Nasional untuk kelulusan. Aku cuma tes kenaikan kelas.” Fandy menanggapiku dengan cekatan, seolah sudah tahu aku kemari mau membahas apa dan siapa. Memang, tak sulit buat diterka.

“Buat yang satu itu aku dan dia lulus. Tapi, ujian kita nggak cuma itu. Kamu tahu maksudku, kan?” ucapanku mengerucut, tak memerlukan basa-basi lagi. “Sekarang aku nggak perlu takut mengganggu konsentrasimu. Kamu punya kabar soal Dimas?”

“Den, kalau aku tahu, aku pasti beri tahu kamu. Sejak itu, semua nomor kontak di HP-ku dihapus oleh bapakku. SIM Card-ku juga diambil, aku harus ganti baru…”

“Dimas juga.”

“Nah. Kami tak pernah berhubungan lagi…”

“Lewat telepon!” aku memotong, menggarisbawahi. “Tapi aku nggak percaya kalau kalian sama sekali nggak pernah ketemu dan bicara secara langsung. Pasti pernah, kan?”

Napasnya terdengar sangat letih. Dia tak berkelit. “Ya, memang… dia pernah mengajakku bertemu, diam-diam. Tapi itupun sudah lama, beberapa hari sebelum dia Ujian Nasional. Bukankah aku sudah cerita ke kamu soal itu, waktu kita ketemu di sekolah setelah beberapa hari dia pergi? Aku malah tahu dari kamu kalau dia pergi.”

“Maksudku, kalian pacaran… masa dia sama sekali nggak pernah kabari kamu sampai selama ini?”
“Kabari pakai apa? Aku dan dia sama-sama kehilangan kontak. Dan… please, Den… aku juga sudah bilang ke kamu, saat terakhir bertemu dengannya… aku dan dia sepakat putus. Sudah tidak pacaran lagi.”

“Iya, tapi kalian masih sama-sama…” aku sedikit belepotan untuk mengucap kata selanjutnya, “…cinta, kan?”

Fandy tertawa masam. Mulutnya terbata-bata. “Kamu pasti mengerti, lah… memang, aku dan dia putus karena keadaan. Dan keadaan itu ternyata tak pernah membaik. Jadi, terpaksa tetap seperti ini… demi kebaikan masing-masing. Tidak, tidak…!” dia cepat-cepat menyangkal ucapannya sendiri. “Bukan untuk aku dan dia. Tapi buat keluarga. Orang tua…!”

Aku termangu melihat raut mukanya yang gundah itu. Terlihat dia tak pernah rela. Seperti halnya Dimas. Tak ikhlas menjadi anak-anak yang harus mengalah kepada orang tua demi urusan cinta. Aku nggak tahu siapa yang salah, tapi…

“Bagaimanapun, minggat dari rumah tetap salah!” dengusku tanpa menutupi rasa kesal. “Ayahku nggak ngelarang kalian. Aku sendiri apa pernah menghalangi kalian? Nggak, kan? Kenapa dia nggak ingat itu?”

“Aku nggak tahu kalau dia akan pergi. Dia tidak pernah bilang. Tapi kalau aku tahu dia di mana, aku akan susul dia!”

Pernyataannya mengagetkanku. “Buat apa?” tanyaku heran.

“Apa kamu tak akan menyusulnya?” Fandy balik menantangku.

“Pasti!” jawabku mantap. “Tapi karena dia saudara, bagian dari keluargaku. Kalau harus dijemput, aku siap menjemputnya biar cepat pulang. Dia masih punya banyak urusan yang belum diselesaikan!”

“Nah. Biarpun dia punya pendukung di dalam keluarga, toh dia tetap butuh pergi. Di keluargaku, tidak ada yang mendukung aku, Den…. Kalau bisa pergi dengan dia, kenapa tidak? Aku dan dia putus karena dipaksa. Bukan karena sudah nggak cinta.”

Aku malah jadi sinis mendengarnya. “Minggat bersama? Orang dewasa akan ketawa melihat tingkah kalian!” Childish…!

“Ya, mereka pasti tertawa. Memang cuma itu yang mereka bisa, tertawa dan melarang. Huhh, dewasa!” dia mendengus, membalas dengan sinisnya sendiri.

Aku tercenung menghadapi Fandy. Membandingkan dengan dirinya yang dulu. “Dulu, aku kira kamu anak yang culun. Polos. Aku nggak ngira, sekarang kamu keras kepala juga.”

Dia tertawa sinis. “Kita sedang menjadi dewasa.”

“Salah satunya dengan berani minggat?”

Dia terdiam sejenak. Lalu tersenyum mendengus. “Kalau kamu di posisiku, kamu mungkin akan memikirkan tindakan yang sama denganku.”

Dia beranjak dari dipan, pindah ke tengah pintu. Berjongkok menghadapi angin luar. Menyodorkan mukanya ke sorot matahari, menjadi lebih jelas rautnya yang resah itu.

“Jadi orang dewasa itu harus keras kepala, Den. Harus nggak mau kalah. Harus merasa lebih benar dibanding yang lebih muda. Harus merasa paling tahu soal hidup, soal masa depan….”

Hmmm… protes seorang anak yang terpaksa mengalah kepada orang tua.

Aku coba lebih santai. “Kalau kamu ikut minggat, memangnya nggak mikir nasib sekolahmu? Memang, kan, itu soal masa depanmu. Dengan minggat, otomatis kalian nggak punya masalah lagi gitu?”

Fandy merenung-renung sedikit lama. Kemudian berucap, “Setidaknya, dia memberi tahu ke mana dia pergi. Aku bisa menyusulnya kalau sudah siap.”

Oh? Kata-kata yang licin!

“Hahaha…!” aku spontan tertawa. Tak bisa tidak, merasakan ironisnya mereka. Kami.

“Ayahmu tidak memasang berita di media atau di mana gitu, soal Dimas?”

“Berita ‘orang hilang’ maksudmu?”

“Ya, semacam itu, siapa tahu ada yang tahu Dimas sedang di mana…?”

“Lu kira dia anak kecil?” sungutku kesal. “Dia juga bukan orang yang terbelakang-mental. Pasang berita ‘orang hilang’ malah bikin kami tambah malu. Dia bisa pulang sendiri, kalau dia mau. Dia itu minggat, bukan hilang!”

“Masalahnya, tidak ada yang bisa menjamin bahwa dia mau pulang, setidaknya dalam waktu dekat ini. Bagaimana kamu mau jemput kalau tak tahu dia ada di mana? Kamu tetap butuh bantuan orang lain, tho?”

“Makanya, aku mau tanya kamu!”

“Aku sudah bilang, aku juga nggak tahu.”

Fffhhh…. Buntu!

“Kamu tak menanyakan ke yang lain? Ben, Erik, Misha?”

Aku menggeleng. “Mereka juga nggak tahu. Nomor HP, Facebook, Twitter, Skype… semua lost contact.

Fandy mendesah kecewa. “Saat itu, aku dan dia sama-sama sudah putus asa buat melanjutkan hubungan. Sekarang aku menyesal telanjur kehilangan jejaknya.”

Aku menghadapi ‘mantan’ yang galau, menyesali kesepakatan yang pernah dia setujui sendiri. Dia pikir cuma dia yang menyesal karena kehilangan Dimas? Dia pikir memangnya ngapain aku kemari? Ternyata Fandy pun tak bisa memberi petunjuk apa-apa. Apakah sudah saatnya aku menyerah?
Di ujung percakapan yang buntu, HP-ku berdering.

“Halo, Ben?” angkatku.

“Den, kamu di mana?”

“Ada apa?” aku balik bertanya, karena nada bicara Ben terdengar buru-buru.

“Ini penting!” dia agak tergagap. “Aku tahu Dimas ada di mana.”

Mataku terbeliak, gugup. “Beneran?! Aku sedang di kos-nya Fandy. Aku akan cabut sekarang, aku ke rumahmu…”

“Hei, hei…! Tunggu! Kamu di kos-nya Fandy?”

“Iya.”

“Biar aku saja yang ke situ!”

“Kenapa?” aku tambah penasaran.

Ben tertawa agak panjang. “Momen ini ajaib. Nanti kamu tahu sendiri! Pokoknya biar aku yang ke situ, kamu jangan ke mana-mana.”

Tuttt…! Dia menutup pembicaraan. Aku melongo. Menoleh ke Fandy, dia juga melongo.

“Ada apa?” tanya Fandy.

“Ben dapat kabar soal Dimas. Entah dari mana. Tapi dia mau kemari.”

Kami masih melongo. Jantungku berdebar-debar kencang. Bingung untuk mempercayai berita yang mendadak dan mengagetkan tadi. Tapi ngapain juga Ben bohong?

“Dia bilang ‘momen ajaib’ pula, apa maksudnya? Biasanya dia nggak se-lebay itu,” aku menggumam, bertanya-tanya.

Fandy tak menanggapiku soal berita dari Ben.

“Bagaimana keadaan Dimas sebelum pergi? Kamu belum cerita semuanya, tho? Dia baik-baik saja?” dia malah kembali menyinggung Dimas, menggumam tanpa memandangku. Masih berjongkok di tengah pintu dengan sorot mata nyaris kosong.

Seorang ‘mantan’ yang terlalu galau?

“Kalau dia baik-baik saja, nggak mungkin dia minggat,” dengusku, mengomentari pertanyaan lugu si mantan boyfriend itu. “Mama-ku keras ke dia. Kuliah aja dia dipaksa harus di Solo, biar bisa diawasi. Hampir pula laptopnya digeledah, saking curiganya pada kalian. Duit jajan nggak pernah dikasih lagi, biar nggak gampang keluar rumah. Orang tuaku jadi berantem, Fan, soal Dimas….”

Akhirnya aku malah tak bisa membendung diri. Aku curhat.

“Malah, Mama-ku sempat mau membawa Dimas ke psikolog pula!”

“Terus?”

“Dimas ngelawan, lah!”

Beberapa saat kami berhenti bicara. Aku menghela napas, memberi kesempatan pada diriku untuk mengendalikan emosi. Beban batin ini memang sudah menumpuk!

“Aku nggak nyangka, Fan, sikap Mama-ku ternyata bisa sedrastis itu,” keluhku. Kupandangi Fandy yang masih tercenung di tempatnya. “Kamu sendiri gimana, Fan? Ortu-mu gimana?”

“Kamu peduli juga, ya, sama aku…?” dia malah selengean, sambil tertawa pula.

“Sekarang kamu harus hati-hati kalau mau sok lucu denganku. Kamu sudah putus dengan Dimas!” tukasku ketus. “Lu bukan ‘kakak ipar’ gue lagi!”

Fandy tertawa lagi, tapi lebih pendek. Wajahnya kembali muram. “Om-ku yang punya kos ini, diminta mengawasiku. Dia akan lapor ke orang tuaku kalau aku macam-macam.”

“Macam-macam gimana?”

“Pulang terlalu malam, aku menginap, atau teman menginap, sudah tidak boleh lagi. Hampir aku akan dipindah, dipulangkan dan disekolahkan di Sragen. Tapi tidak jadi. Ortu-ku tetap mikir biaya juga. Tapi kalau aku ketahuan melanggar larangan, mungkin aku akan jadi dipindah.”

Fandy tertawa lagi di akhir kalimatnya. Tawa dari orang yang sedang tertekan, bayangkan saja seperti apa. Tidak jauh beda dari Dimas. Aku ikut tertawa, juga bukan tawa yang senang.

“Pantas, kamu jadi kurusan.”

“Ingat, aku bukan ‘kakak ipar’mu lagi. Jangan sok lucu!” tukasnya.

“Beneran, kamu jadi tambah kurus, Fan…” ulangku, merasa kasihan. “Dimas akan patah hati dua kali kalau melihat keadaanmu.”

Dia cuma tertawa. Sayu.

Sorry, Den… semua gara-gara aku….” Fandy berucap pelan. Akhirnya, setelah semua ini.

“Memang kecerobohanmu. Tapi aku nggak tega nyalahin kamu. Kamu juga sama-sama lagi susah,” sahutku lesu. Berbesar hati semampuku. Ngilu mengucapnya. Tapi setelahnya, aku menemukan sedikit rasa lega.

Wajahnya terlihat meringan. Biarpun masih muram. Melihat keadaannya itu, aku terusik oleh pertanyaan yang selama ini sungkan kutanyakan padanya.

“Fan… memangnya, lu serius ya menjalaninya dengan Dimas…? Yakin, itu memang jatidiri lu?”

Fandy terdiam agak lama. Dia menjawab dengan sorot mata mengawang. “Kalau ditanya soal jatidiri, aku bingung jawabnya. Tapi kalau maksudmu adalah: apakah aku senang bersama kakakmu… ya, aku senang.”

Bahagia. Itu maksudnya, aku tahu. Dia cuma menghindari kata itu biar tak terdengar cheesy. Lalu dia melirik padaku dengan ulasan senyum yang agak ganjil. Agak ‘menakutkan’ bagiku.

“Kenapa senyum-senyum?” tukasku curiga.

Fandy menarik pandangannya dariku, tapi senyum itu masih bertahan, dan lebih lepas. “Apakah aku serius, apakah aku senang bersamanya…? Selama ini, hanya dua orang yang mau menanyakan itu padaku. Hanya Dimas, dan saudara kembarnya.”

Bulu kudukku agak meremang. “Tapi gue bukan homo.”

“Kalaupun iya, nggak masalah.”

Kurang ajar! Andai dia bukan orang yang sedang prihatin, sudah kugampar dia. Wajahnya terlalu mengundang simpati. Aku jadi nggak tega!

“Banyak yang bilang kami terlalu muda untuk menjalani pilihan seperti itu, aku nggak kaget. Tapi apa benar, kita terlalu muda untuk memahami perasaan bahagia?” Fandy mengulas, kali ini dia menyebut kata itu. “Yang tua, yang dewasa… banyak yang gagal bahagia, kok.”

Oke, aku tak mau mendebat soal itu. Tapi ada satu hal lagi yang menggelitik pikiranku selama ini. Kali ini agak iseng. Kuberanikan bertanya, “Kalian juga… sampai ke masalah… seks?”

Fandy menoleh padaku dengan mimik yang membuatku cuma mampu memandangnya selama dua detik. Aku tak bisa membendung tawa lagi. Bukan tawa senang, lagi-lagi. Ironis tepatnya. Nyinyir, naif, tendensius, kepo, entahlah, sebut saja sebanyak-banyaknya. Hahaha….

Tentu saja mereka juga berurusan dengan seks!  Tapi sampai sejauh mana, itu yang aku tak tahu. Dimas tak pernah berterus-terang kalau ditanya. Aku juga tak sempat mendengar jawaban Fandy, karena percakapan kami terpotong oleh suara motor yang memasuki halaman. Ben sudah datang.

“Halo, Fan?” Ben menyapa si tuan rumah yang masih berjongkok di pintu. “Mana Denis?”

“Di dalam.”

“Wah, dia gantian ‘pedekate’ sama kamu?”

Aku langsung menyusul di pintu. “Jangan ngebacot macam-macam! Ada kabar apa?”

“Tenang, tho, Bro…! Gampang banget naik darah?” Ben cengengesan sambil masuk ke dalam. Dia duduk di kursi yang tadi kutempati. Lalu mengacungkan sebuah amplop kuning. “Dimas mengirim surat.”

“Hah?” aku tercengang. Bersamaan dengan Fandy mendekat ke Ben, aku hampir menyambar amplop itu. Tapi Ben buru-buru mengamankannya. “Ada kabar apa dari dia?!” sentakku, tak bisa bersabar.

“Berita buruk buat kamu, Den, karena sebenarnya surat ini buat Fandy,” jelas Ben sambil menunjuk. Matanya beralih ke Fandy. “Tapi sorry, Fan, aku lebih dulu telepon ke Denis karena dia lebih membutuhkan kejelasan soal keberadaan Dimas. Selebihnya, surat ini tetap aku kasih ke kamu.”

Ben mengulurkan amplop itu ke Fandy. Fandy menerimanya dengan sangat antusias sekaligus gugup. Dia buru-buru membukanya, mengeluarkan surat dan meninggalkan amplopnya di meja. Dengan berbinar-binar dia membawa surat itu, membacanya di luar. Kuambil amplop kuning di meja, kuamati, tak ada petunjuk apapun. Amplop polos.

“Den,” Ben menarik fokusku lagi, “Dimas mengirim ‘surat di dalam surat’. Amplop bagian luar memuat surat singkat untukku, intinya dia cuma minta tolong agar aku memberikan amplop yang ada di dalam, yang berwarna kuning itu, ke Fandy. Dan, dia minta agar aku tak memberi tahu kamu. Cuma itu pesannya padaku. Ke Fandy, aku tak tahu isinya, kita tanya saja nanti. Tapi satu petunjuk buat kita, adalah stempel pos di amplop bagian luar. Yang ini!”

Ben menyodorkan amplop lain, amplop yang membungkus amplop kuning tadi. Kali ini amplop berwarna putih, bermotif gambar bayangan berbentuk apel. Tercantum alamat tujuan, tapi tanpa alamat pengirim. Dengan satu perangko persegi panjang, bergambar profil bunga kamboja. Frangipani. Ya Tuhan, dasar cowok filosofis!

Tapi satu yang paling penting di amplop ini, seperti kata Ben, adalah stempel pos. Dapat kubaca dengan jelas: BADUNG.

“Itu sebuah kabupaten di Bali,” jelas Ben.

Aku terbeliak, hampir meremas amplop di tanganku. “Aku nggak tahu, aku sedang kaget atau enggak! Aku sempat punya firasat kalau dia memang ke sana! Jadi benar?!” sentakku menggebu.

Bali! Sialan, ternyata dia benar ke sana!

“Firasat?” Ben menyelidik.

“Susah dijelasin, dan nggak terlalu penting. Aku masih bingung, ngapain dia jauh-jauh ke sana?”

“Karena dia punya teman di sana,” Fandy menyahut. Dia sudah selesai membaca suratnya.

Aku menghela napas panjang-panjang. “Bukan itu yang menggangguku. Tapi, kenapa dia melarang Ben ngasih tahu aku? Ngasih tahu keluarganya sendiri? Dia sengaja mau sembunyi! Tapi… ngapain…?! Bali itu jauh! Gila, kan?!”

Dua orang yang berhadapan denganku, tak bisa memberiku jawaban. Ya, memang bukan mereka yang harus menjawab. Tapi orang yang minggat dari rumah itu! Dimas!

“Dia cuma nambah susah keluarga…” keluhku, terduduk lesu di tepi dipan.

“Sebenarnya surat itu datang sejak kemarin, tapi aku bingung juga mau ngasih tahu kamu. Aku merasa jadi pengkhianat sudah memberi tahu kamu,” Ben membuat pengakuan. “Tapi aku tak menyesal, sih. Aku bersimpati atas masalah Dimas, tapi dia juga sudah bertindak kejauhan kalau harus minggat segala.”

Thanks, Ben. Lu bukan pengkhianat, kok. Lu teman yang tahu mana yang perlu,” ucapku. Aku beralih ke Fandy. “Apa isi suratnya?”

Dia agak sungkan. Menatap lembar surat itu dengan muka sendu, haru. “Tak terlalu panjang, tapi personal. Tak akan menambah petunjuk, kok.”

“Surat ngajak balikan?” Ben malah bercanda.

Fandy berbinar. “Aku ingin membacanya lagi, tapi butuh suasana yang lebih baik.”

“Nunggu kami pulang, maksudmu?” tukasku.

Fandy menyodorkan satu lembar ke kami. Kukira dia tak ingin surat itu dibaca oleh orang lain, jika memang personal. Ternyata dia mengijinkan, cuma satu lembar.

“Siapa tahu juga bisa jadi obat kangen buat kalian. Kalau kalian kangen,” seloroh Fandy.

Aku mengambil surat itu dari tangan Fandy. “Ya, aku kangen ninju dia!”

Satu lembar yang disodorkan Fandy ini ternyata berisi puisi. Aku membaca dengan serius cuma sampai akhir bait pertama, bait-bait berikutnya kubaca sambil lalu. Dalam hati aku kesal setengah mati, karena… suratnya berisi puisi? Tiga bulan menghilang, berkirim surat ternyata cuma untuk ngasih puisi ke mantan? Ya ampun!

Kuserahkan lagi ke Fandy.

“Cepat sekali?” tanya Fandy.

“Aku sudah pernah baca puisi ini. Aku menemukannya beberapa hari lalu di bawah tempat tidur Dimas. Kenapa dia baru ngasih kamu sekarang? Lama-lama… aku malu sendiri menghadapi tingkah konyolnya ini!” Aku menggerutu.

Fandy melongo. “Puisi lama, ya?”

Sorry, berita buruk buat lu, Fan,” cibirku.

No. Itu malah berita bagus!” cetus Fandy berbinar-binar. “Artinya, dia memang masih memikirkanku, biarpun sudah putus.”

Aku menepuk jidat. “Dan lu juga jelas-jelas masih mikirin dia! Kalian itu cerita Siti Nurbaya di dunia homo!”

“Jelas bukan! Tak ada Datuk Maringgih di ceritaku dengan dia. Kamu mau jadi?”

Kulempar muka Fandy dengan gumpalan amplop kuning yang sudah kuremas!

“Hei! Ini dari Dimas!” dia protes, menjereng lagi amplop kucal itu. Melankolis banget, sih!

Ben gantian membaca surat berisi puisi itu. Dia membaca sambil tersenyum-senyum sendiri. “Kuakui, Dimas ini memang romantis. Dari altarNya aku ingin menjumputmu, untuk kuselipkan lagi di telinganya, di wajah seorang cinta….” dia mengutip sambil berdecak. Lalu memandangi Fandy dengan mimik canda. “Kayaknya dia memang ingin balikan dengan kamu, Fan?”

Fandy tertawa pelan tak terlalu menggubris. Dia mendesah panjang di muka pintu. “Aku senang dia masih peduli padaku. Tapi seharusnya dia tak melupakan keluarganya, orang-orang yang mendukungnya. Aku jadi nggak enak sama kamu, Den….”

Aku termangu mendengar ucapan Fandy. Wow…! Akhirnya dia punya kalimat yang bisa membuatku terharu. Padahal tadi aku geregetan!

“Berhenti menyalahkan dirimu sendiri, Fan,” balasku pelan.

Sejenak percakapan kami hening.

Tiba-tiba satu hal terjentik di benakku, terasa mengusik. “Kenapa dia tak mengirim surat itu langsung ke alamat sini? Kenapa harus lewat kamu, Ben?” lontarku heran.

“Alamat kos ini atas nama om-ku, surat-surat yang datang diterima lebih dulu oleh om-ku. Aku rasa Dimas mengkuatirkan itu. Dia tentu pilih menitipkan ke orang yang bisa dipercaya,” Fandy yang menjawab.

“Aku cuma ‘setengah-bisa-dipercaya’,” Ben menanggapi Fandy.

“Ben, dia nggak pernah hubungi kamu lewat telepon atau apa gitu?” tanyaku.

Ben menggeleng. “Cuma surat ini. Padahal aku juga kangen dia,” celetuknya. Lalu dia lebih serius. “Setidaknya, sekarang kita sudah tahu dia ada di Bali, di Badung. Terus, kamu mau gimana?”

“Kalau orang tuaku mengijinkan, aku akan susul dia. Aku paksa dia pulang. Tapi aku butuh tujuan yang lebih jelas. Bali itu luas. Badung, tapi di mana tepatnya?” ulasku ragu.

“Aku ingat, teman yang sering dia ceritakan itu bekerja di Badung. Kalau tak salah, namanya…”

“Awan,” Ben menyahut Fandy.

“Nah! Dimas juga cerita ke kamu, Ben?”

“Pernah beberapa kali, Fan. Tapi aku ingat sekali nama itu, karena dia tour guide yang bertugas di busku waktu itu. Aku duduk bersebelahan dengan Dimas, dia menceritakan teman barunya itu. Ya, dia juga gay gitu… dan sepertinya Dimas cepat akrab dengannya. Mungkin saja mereka masih kontak sampai sekarang. Jadi… bukan nggak mungkin sekarang Dimas ada di tempat temannya itu.”

Aku menyimak penjelasan Ben yang panjang lebar itu. Petunjuk-petunjuk mulai menerang. Keyakinanku mantap, bahwa Dimas pasti melibatkan temannya itu. Sekurang-kurangnya, temannya itu pasti tahu kalau Dimas ada di Bali, dan bisa memberi petunjuk.

“Kalian tahu, gimana cara  menghubungi teman Dimas itu? Nomor telepon?” aku mengulik, baik Ben maupun Fandy. Tapi keduanya menggeleng.

“Tapi ada satu orang yang mungkin bisa membantu kita,” Ben mengerling.

“Siapa?”

“Artis kita: Erik.”
 
Aku mengernyit. “Kok bisa?”

“Dia panitia tour waktu itu. Mungkin dia masih menyimpan kontak-kontak biro wisata yang dipakai waktu itu. Siapa tahu, dari situ kita bisa cari tahu tentang teman Dimas itu.”

Aku berbinar, aliran darah di wajahku meremang. “Ben, lu beneran brilian, man!”

No. Aku cuma ‘tak-terlalu-bodoh’.”

“Aku akan ke rumah Erik sekarang!” cetusku antusias.

Ben ikut berdiri, “Bukan cuma kamu yang ingin tahu, aku juga!”

“Aku juga!” Fandy ikutan.

Aku dan Ben kompak memandangi Fandy si ex-boyfriend itu. Dia sepertinya merasa tatapan kami agak aneh.

“Salah kalau aku mau ikut?” dia langsung sensitif. Sambil mengacungkan amplop kuning yang sudah kucal. “Dia masih ingin balikan. Terus aku mau diam saja? Dan kalian habis tumpah kemari terus mau pergi begitu saja…?”

“Iya, iya, kalau mau ikut ya sudah! Ayo!” tukasku sambil menabok lengan Fandy. Tinggal ikut, nggak usah cerewet!

“Aku mau ganti baju dulu,” dia bilang.

“Ya sudah, ganti baju cepat!”

“Maksudku, kalian tunggu dulu di luar!” Fandy menuding pintu yang terbuka lebar.

Aku dan Ben melongo. Mau tak mau kami menurut, karena Fandy tuan rumahnya. Dia menutup pintu kamarnya dari dalam, sementara kami menunggu di luar.

“Kita bertiga sama-sama cowok. Tapi dia pemalu banget buat ganti baju di depan kita?” celetuk Ben, sambil menyalakan rokoknya.

“Dia bukan cowok sembarangan. Dia homo.”

“Banyak, kok, gay yang suka narsis pamer badan,” Ben menimpal, sambil melepas asap-asap berbentuk donat.

“Pernah, sih, dia ganti baju di rumahku waktu kehujanan. Waktu itu kayaknya dia santai-santai saja, nggak malu. Padahal juga ada aku.”

“Badannya bagus?”

“Dimas bilang ‘bagus’. Dulu.”

“Terus kenapa dia malu?”

Aku mengangkat bahu. “Mana aku tahu? Sejak putus dari Dimas kayaknya dia jadi lebih sensitif. Padahal dulu dia anak yang asyik.”

Hmmm. Mungkin dia juga mau ganti celana, jadi nyuruh kita tunggu di luar.”

“Kok, jadi omongan kita yang homo banget?” protesku.

“Apanya yang homo banget?” Ben balik protes.

“Kita cowok, dan ngomongin cowok lain ganti pakaian!”

Krtttt… pintu kamar Fandy dibuka. Dia nongol dari dalam, baju dan celananya sudah ganti. “Puas ngomongin aku?!” tukasnya.

Kami bertiga berangkat. Menuju ke rumah Erik!






Bersambung...
0 komentar

Posted in

Posting Komentar