Mozarella Shot From Dimas
MOZARELLA SHOT FROM DIMAS
COWOK RASA
SOSIS MOZARELLA
Well done! Selesai juga aku bikinnya. Kubawa masakan bikinanku, menuju ke beranda di mana dia sedang menunggu.
“Nih, special for you...!” ucapku seraya duduk di dipan panjang di beranda, di samping Fandy.
Fandy sedikit berbinar. “Wow, apa itu?”
“Sosis Saus Mozarella!”
Fandy masih memandangi makanan di dalam piring yang kupegang. Dia tersenyum-senyum sendiri.
“Ayo ambil!” tawarku.
“Itu beneran bikin sendiri, Mas?” Fandy masih ragu-ragu buat mencicipi.
“Iya.”
“Kok lumayan cepat juga bikinnya?”
“Kan gampang bikinnya. Sosisnya tinggal beli, tepungnya beli, sausnya juga beli, apanya yang susah? Lagian aku juga udah sering bikin.”
“Terus, kalo gitu spesialnya di mana?”
Aku mulai kesal dengan balasan Fandy. “Spesialnya? Aku nggak pernah bikin buat orang lain. Ngerti sekarang?”
“Hmm... Berarti yang spesial tuh aku, bukan masakannya.”
“Iya. Puas?” tukasku jengkel. Kupegang garpu dan menusukkannya ke salah satu sosis. Lalu kusodorkan ke mulut Fandy. “Nih, cobain!”
Fandy tersenyum geli sambil menggigit sosis yang kosodorkan. “Enak juga,” gumamnya sambil mengunyah.
Aku tersenyum puas, karena akhirnya dia memuji. Kukunyah sisa sosis yang masih separuh di garpu.
“Denis ke mana?”
“Ngerjain PR di kamar,” jawabku.
“Rajin juga ya dia?”
“Sodaranya kan juga rajin.”
Fandy tertawa.
Kami bersendau gurau berdua di beranda. Di tengah suasana malam yang remang-remang dan tenang. Ya, kehidupan di lingkungan perumahan tempat aku tinggal ini memang selalu berjalan dengan ketenangan. Memberi rasa betah dan nyaman. Dan sekarang jadi kian manis karena ada Fandy yang menemaniku. Di ruang tengah ada CD Player yang sengaja kuhidupkan untuk memutar lagu-lagu instrumental bernuansa Bali, mengalun sayup-sayup. Jadi tambah romantis suasananya...
Tapi, lama-lama aku jadi geregetan juga sama dia. Kupandangi sosis-sosis yang masih tersisa dua batang di piringku. Daging-daging bulat panjang dengan saus keju berwarna putih, kental tapi lembut... Kucarut-carut saus itu dengan garpu. Mulai kutusuk-tusuk juga sosisnya. Kulirik Fandy yang tampak tenang-tenang saja seolah tak merasa apa-apa.
“Nih, special for you...!” ucapku seraya duduk di dipan panjang di beranda, di samping Fandy.
Fandy sedikit berbinar. “Wow, apa itu?”
“Sosis Saus Mozarella!”
Fandy masih memandangi makanan di dalam piring yang kupegang. Dia tersenyum-senyum sendiri.
“Ayo ambil!” tawarku.
“Itu beneran bikin sendiri, Mas?” Fandy masih ragu-ragu buat mencicipi.
“Iya.”
“Kok lumayan cepat juga bikinnya?”
“Kan gampang bikinnya. Sosisnya tinggal beli, tepungnya beli, sausnya juga beli, apanya yang susah? Lagian aku juga udah sering bikin.”
“Terus, kalo gitu spesialnya di mana?”
Aku mulai kesal dengan balasan Fandy. “Spesialnya? Aku nggak pernah bikin buat orang lain. Ngerti sekarang?”
“Hmm... Berarti yang spesial tuh aku, bukan masakannya.”
“Iya. Puas?” tukasku jengkel. Kupegang garpu dan menusukkannya ke salah satu sosis. Lalu kusodorkan ke mulut Fandy. “Nih, cobain!”
Fandy tersenyum geli sambil menggigit sosis yang kosodorkan. “Enak juga,” gumamnya sambil mengunyah.
Aku tersenyum puas, karena akhirnya dia memuji. Kukunyah sisa sosis yang masih separuh di garpu.
“Denis ke mana?”
“Ngerjain PR di kamar,” jawabku.
“Rajin juga ya dia?”
“Sodaranya kan juga rajin.”
Fandy tertawa.
Kami bersendau gurau berdua di beranda. Di tengah suasana malam yang remang-remang dan tenang. Ya, kehidupan di lingkungan perumahan tempat aku tinggal ini memang selalu berjalan dengan ketenangan. Memberi rasa betah dan nyaman. Dan sekarang jadi kian manis karena ada Fandy yang menemaniku. Di ruang tengah ada CD Player yang sengaja kuhidupkan untuk memutar lagu-lagu instrumental bernuansa Bali, mengalun sayup-sayup. Jadi tambah romantis suasananya...
Tapi, lama-lama aku jadi geregetan juga sama dia. Kupandangi sosis-sosis yang masih tersisa dua batang di piringku. Daging-daging bulat panjang dengan saus keju berwarna putih, kental tapi lembut... Kucarut-carut saus itu dengan garpu. Mulai kutusuk-tusuk juga sosisnya. Kulirik Fandy yang tampak tenang-tenang saja seolah tak merasa apa-apa.
“Kita udah jalan satu tahun ya, Fan...” gumamku, mulai menyinggung hubungan kami.
“Hmmm...” Fandy cuma membalas dengan gumam yang tak ada diksinya.
“Menurutmu, itu termasuk lama nggak?”
“Cukup lah...”
“Sebenarnya... menurutmu asyik nggak sih hubungan kita?”
Fandy memandangku sesaat. Lalu memalingkan mukanya lagi dengan santai. “Ya, asyik-asyik aja.”
Aku mendengarkan jawabannya itu seperti terkesan kalau hubungan kami sebenarnya nggak terlalu penting-penting amat. Ya, aku sendiri juga mengerti sih... ini kan cuma pacaran. CUMA pacaran. Tapi... beneran gitu nggak sih, harusnya?
“Jadi, kalo kita nggak berstatus pacar, mungkin juga asyik-asyik aja kali ya?”
Fandy memandangiku lagi. “Kok ngomong gitu? Buatku kamu juga special. Jadi status ‘pacar’ menurutku logis dan sah-sah aja. Nggak salah juga kan kalo aku bilang ‘asyik-asyik aja’?”
Aku berpikir-pikir. Pernyataan Fandy bisa kuterima sih. Kami memiliki perasaan yang sama, yang menggiring kami kepada status sebagai ‘someone special’, PACAR. Tapi... cara kami berpacaran setelah setahun ini, akhirnya memberiku kesan bahwa pacaran itu ternyata ‘biasa-biasa aja’. Ya, jujur saja aku merasakan itu. Apakah Fandy juga sama? Kayaknya, dia sih tenang-tenang saja? Ah, entahlah.
“Habisin dong sosisnya!” kusodorkan lagi piringku.
“Masa cuma aku? Habisin berdua lah!” sahut Fandy.
Lalu akhirnya dia memegang garpu juga, mengambil sosis tanpa menunggu aku suapi. Dia juga makan sendiri, nggak menyuapkan barang sepotong saja padaku. Aku menghabiskan sosis yang tersisa. Ludes.
Kulihat jam di HP-ku, pukul setengah sepuluh malam.
“Udah malam. Yuk, tidur!” cetusku sambil berdiri.
Aku beranjak lebih dulu tanpa menunggu Fandy. Menuju dapur untuk mengembalikan piring. Fandy mengikuti di belakangku.
“Puas berduaan?” Denis menyambutku di dapur. Dia duduk di kursi sambil memegang mug susu.
“Apaan sih?!” tukasku sambil mencuci piring.
“Hmmm...” Fandy cuma membalas dengan gumam yang tak ada diksinya.
“Menurutmu, itu termasuk lama nggak?”
“Cukup lah...”
“Sebenarnya... menurutmu asyik nggak sih hubungan kita?”
Fandy memandangku sesaat. Lalu memalingkan mukanya lagi dengan santai. “Ya, asyik-asyik aja.”
Aku mendengarkan jawabannya itu seperti terkesan kalau hubungan kami sebenarnya nggak terlalu penting-penting amat. Ya, aku sendiri juga mengerti sih... ini kan cuma pacaran. CUMA pacaran. Tapi... beneran gitu nggak sih, harusnya?
“Jadi, kalo kita nggak berstatus pacar, mungkin juga asyik-asyik aja kali ya?”
Fandy memandangiku lagi. “Kok ngomong gitu? Buatku kamu juga special. Jadi status ‘pacar’ menurutku logis dan sah-sah aja. Nggak salah juga kan kalo aku bilang ‘asyik-asyik aja’?”
Aku berpikir-pikir. Pernyataan Fandy bisa kuterima sih. Kami memiliki perasaan yang sama, yang menggiring kami kepada status sebagai ‘someone special’, PACAR. Tapi... cara kami berpacaran setelah setahun ini, akhirnya memberiku kesan bahwa pacaran itu ternyata ‘biasa-biasa aja’. Ya, jujur saja aku merasakan itu. Apakah Fandy juga sama? Kayaknya, dia sih tenang-tenang saja? Ah, entahlah.
“Habisin dong sosisnya!” kusodorkan lagi piringku.
“Masa cuma aku? Habisin berdua lah!” sahut Fandy.
Lalu akhirnya dia memegang garpu juga, mengambil sosis tanpa menunggu aku suapi. Dia juga makan sendiri, nggak menyuapkan barang sepotong saja padaku. Aku menghabiskan sosis yang tersisa. Ludes.
Kulihat jam di HP-ku, pukul setengah sepuluh malam.
“Udah malam. Yuk, tidur!” cetusku sambil berdiri.
Aku beranjak lebih dulu tanpa menunggu Fandy. Menuju dapur untuk mengembalikan piring. Fandy mengikuti di belakangku.
“Puas berduaan?” Denis menyambutku di dapur. Dia duduk di kursi sambil memegang mug susu.
“Apaan sih?!” tukasku sambil mencuci piring.
“Kamu tidur di kamarku aja, Fan,” cetus Denis ke Fandy.
Fandy tertawa. “Nanti ada yang nggak ikhlas!”
“Gue yang nggak ikhlas lu tidur sama Dimas!”
“Sekalian aja kamu jadian sama Denis, Fan,” dengusku.
“Hahaha... Jadi aku harus poligami sama sodara kembar nih?” celetuk Fandy.
“Poligami jidat lu!” Denis langsung gondok.
Aku nggak bisa nahan tawa. Poligami? Nyasar banget sih pikirannya?! Hahaha...
Denis menghabiskan susunya. Lalu meletakkan mugnya di bak cuci. “Cuciin sekalian,” tukasnya padaku. Lalu dia menggeloyor pergi. Sempat mengucal-ucal rambut Fandy sambil mewanti-wanti lagi. “Yang bener kalo tidur!”
Sodara kembarku yang jutek itu menghilang, masuk ke kamarnya.
“Aku duluan ke kamar ya,” Fandy malah ikut pergi juga. Menduluiku.
Di dapur aku masih sibuk dengan pikiranku sendiri. Aku duduk menghadapi meja masak. Memandangi botol Saus Mozarella yang masih tersisa sedikit isinya. Kuraih, kutekan botol plastik berisi saus putih itu. Mengoleskan saus ke ujung jariku. Mencicipnya. Lagi dan lagi. Asin, gurih. Menyisakan sebal di hati! Kutaruh lagi botol saus itu. Aku beranjak ke kamarku.
Kulihat Fandy berbaring di tempat tidurku. Ini pertama kalinya dia menginap di kamarku. Dia akan tidur di sampingku hingga pagi. Terus terang saja, ini menjadi sesuatu yang bikin jantungku deg-degan!
Fandy tertawa. “Nanti ada yang nggak ikhlas!”
“Gue yang nggak ikhlas lu tidur sama Dimas!”
“Sekalian aja kamu jadian sama Denis, Fan,” dengusku.
“Hahaha... Jadi aku harus poligami sama sodara kembar nih?” celetuk Fandy.
“Poligami jidat lu!” Denis langsung gondok.
Aku nggak bisa nahan tawa. Poligami? Nyasar banget sih pikirannya?! Hahaha...
Denis menghabiskan susunya. Lalu meletakkan mugnya di bak cuci. “Cuciin sekalian,” tukasnya padaku. Lalu dia menggeloyor pergi. Sempat mengucal-ucal rambut Fandy sambil mewanti-wanti lagi. “Yang bener kalo tidur!”
Sodara kembarku yang jutek itu menghilang, masuk ke kamarnya.
“Aku duluan ke kamar ya,” Fandy malah ikut pergi juga. Menduluiku.
Di dapur aku masih sibuk dengan pikiranku sendiri. Aku duduk menghadapi meja masak. Memandangi botol Saus Mozarella yang masih tersisa sedikit isinya. Kuraih, kutekan botol plastik berisi saus putih itu. Mengoleskan saus ke ujung jariku. Mencicipnya. Lagi dan lagi. Asin, gurih. Menyisakan sebal di hati! Kutaruh lagi botol saus itu. Aku beranjak ke kamarku.
Kulihat Fandy berbaring di tempat tidurku. Ini pertama kalinya dia menginap di kamarku. Dia akan tidur di sampingku hingga pagi. Terus terang saja, ini menjadi sesuatu yang bikin jantungku deg-degan!
Perlahan kurebahkan tubuhku di sampingnya. Sejujurnya aku ragu dan canggung harus bagaimana. Tapi kuberanikan diri menatap wajahnya yang hampir tak berjarak. Matanya terpejam, tapi aku tahu dia belum tertidur. Pelan-pelan kupeluk tubuhnya, merapatkan wajahku ke dadanya. Menghirup aroma tubuhnya yang kusukai. Dia merespon, tangannya bergerak merengkuhku dengan lembut.
“Ibarat gizi, kamu tuh vitamin A. Bikin mata betah...” gumamku sambil terpejam. “Tapi, masa pacar cuma untuk dilihat aja sih?”
Perlahan dekapannya menggeliat. Wajahnya mendesal mencari wajahku. Lalu...
“Ibarat gizi, kamu tuh vitamin A. Bikin mata betah...” gumamku sambil terpejam. “Tapi, masa pacar cuma untuk dilihat aja sih?”
Perlahan dekapannya menggeliat. Wajahnya mendesal mencari wajahku. Lalu...
“Emhhh...”
Fandy melepaskan ciumannya dari bibirku. Akhirnya.
Kami bertatapan mata. Berbagi sorot sejuk yang menempatkan diri kami masing-masing sebagai bagian yang berarti. Melakukan dengan sesuatu yang kami percaya sebagai... cinta.
“Makasih vitamin C-nya...” bisikku.
Fandy tertawa tersipu menanggapi candaku. Ia kembali merebahkan tubuhnya di sampingku. Melandaskan dua tangannya di bawah kepala. Aku kembali memeluknya, menyamankan wajahku di pangkal lengannya. Kembali menyatu ke dalam aroma tubuhnya yang hangat dan lembut.
“Tapi... sekali-sekali jangan cuma vitamin dong...” bisikku malu-malu. “Protein kan juga penting...”
Fandy tertawa renyai. “Kalo nanti ketagihan, aku bisa lemas tiap hari,” gumamnya nakal.
“Kan yang enak nggak cuma satu orang aja? Take and give, lah... Masa kamu nggak pernah pingin? Mau jadi biarawan apa?”
“Bukannya nggak pingin. Tapi... kita kan udah sepakat nggak akan ngelakuin itu dulu. Demi kebaikan kita juga.”
“Tapi kamu sendiri bilang, satu tahun itu cukup lama?”
Fandy melepaskan ciumannya dari bibirku. Akhirnya.
Kami bertatapan mata. Berbagi sorot sejuk yang menempatkan diri kami masing-masing sebagai bagian yang berarti. Melakukan dengan sesuatu yang kami percaya sebagai... cinta.
“Makasih vitamin C-nya...” bisikku.
Fandy tertawa tersipu menanggapi candaku. Ia kembali merebahkan tubuhnya di sampingku. Melandaskan dua tangannya di bawah kepala. Aku kembali memeluknya, menyamankan wajahku di pangkal lengannya. Kembali menyatu ke dalam aroma tubuhnya yang hangat dan lembut.
“Tapi... sekali-sekali jangan cuma vitamin dong...” bisikku malu-malu. “Protein kan juga penting...”
Fandy tertawa renyai. “Kalo nanti ketagihan, aku bisa lemas tiap hari,” gumamnya nakal.
“Kan yang enak nggak cuma satu orang aja? Take and give, lah... Masa kamu nggak pernah pingin? Mau jadi biarawan apa?”
“Bukannya nggak pingin. Tapi... kita kan udah sepakat nggak akan ngelakuin itu dulu. Demi kebaikan kita juga.”
“Tapi kamu sendiri bilang, satu tahun itu cukup lama?”
“Bukan soal umur hubungan kita, tapi umur kita berdua,” bisik Fandy pelan. “Tadi Denis juga udah uring-uringan gitu, dia juga nggak suka kalo kita bertindak terlalu jauh.”
Aku mendesah dengan kesal. “Kok malah nyangkut ke Denis segala?”
“Intinya sih bukan soal dia. Tapi kita berdua yang sudah sepakat. Kamu sendiri kan dulu juga sepakat kalo kita nggak akan ngelakuin ‘itu’...”
“Iya, tapi itu kan dulu. Waktu kan berjalan terus, sampai kapan kita nggak siap?”
“Jadi kamu sudah siap?”
Aku terdiam sejenak saat Fandy membalikkan pertanyaan itu.
“Aku pingin aja sih... Kita udah jalan setahun, sekali-sekali masa nggak dicoba?” jawabku, nggak terlalu yakin juga sebenarnya. “Masa kita nggak bikin yang lebih asyik?”
Fandy tertawa lirih. “Sekarang coba jawab, kamu kalo ‘main sendiri’ tuh cuma sekali-sekali atau sudah berkali-kali? Awalnya pasti coba-coba kan? Tapi akhirnya jadi kebiasaan.”
Aku terdiam diceramahi Fandy.
“Nggak cuma aku, kamu onani pasti juga sudah berkali-kali kan?” akhirnya aku membalik masalah.
“Bukan itu intinya. Tapi, dari niat ‘sekali-sekali’ akhirnya menjadi kebiasaan. Kalo cuma onani sih nggak ada efeknya buat orang lain. Tapi kalo ML? Kalo itu nanti jadi kebiasaan, sudah siap? Kita saja masih sekolah, uang masih minta, hidup masih ditanggung orang tua, apa nggak malu kita menjalani pacaran sudah seperti orang married? Yakin itu akan lebih asyik?”
Aku menghela nafas, melepas pelukanku dari tubuhnya. “Iya, iya. Sekarang kamu jadi pintar ceramah gini? Lebih pintar dari aku,” desahku, mengalah dengan kesal. “Tapi awas ya kalo lain kali gantian kamu yang pingin! Roda itu berputar.”
“Hahaha... Kok jadi nyumpahin gitu?”
Kuraih gulingku. “Nunggu setahun buat kesempatan tidur berdua, tapi cuma diskusi gini aja? Mending meluk guling.”
“Jangan ngambeg gitu lah...?”
Aku memilih diam sekarang. Nggak peduli Fandy yang membujukku. Kupeluk gulingku erat-erat. Tapi beberapa saat kemudian, tangan Fandy memelukku lagi...
Dia berbisik. “Makasih ya, buat Sosis Mozarella-nya tadi. Tapi ‘sosis’ yang lain disimpan dulu biar lebih matang... Semua akan enak pada waktunya.”
“Omonganmu kayaknya udah dewasa banget. Jadi apanya yang belum matang?” dengusku.
“Keberanianku belum matang.”
“Hmm... Oke deh, aku maafin karena kamu mengakuinya.”
Aku akhirnya mau kembali padanya. Melepas gulingku, untuk jatuh lagi mendekap tubuhnya. Lebih erat dari sebelumnya.
Aku berbisik...
Aku mendesah dengan kesal. “Kok malah nyangkut ke Denis segala?”
“Intinya sih bukan soal dia. Tapi kita berdua yang sudah sepakat. Kamu sendiri kan dulu juga sepakat kalo kita nggak akan ngelakuin ‘itu’...”
“Iya, tapi itu kan dulu. Waktu kan berjalan terus, sampai kapan kita nggak siap?”
“Jadi kamu sudah siap?”
Aku terdiam sejenak saat Fandy membalikkan pertanyaan itu.
“Aku pingin aja sih... Kita udah jalan setahun, sekali-sekali masa nggak dicoba?” jawabku, nggak terlalu yakin juga sebenarnya. “Masa kita nggak bikin yang lebih asyik?”
Fandy tertawa lirih. “Sekarang coba jawab, kamu kalo ‘main sendiri’ tuh cuma sekali-sekali atau sudah berkali-kali? Awalnya pasti coba-coba kan? Tapi akhirnya jadi kebiasaan.”
Aku terdiam diceramahi Fandy.
“Nggak cuma aku, kamu onani pasti juga sudah berkali-kali kan?” akhirnya aku membalik masalah.
“Bukan itu intinya. Tapi, dari niat ‘sekali-sekali’ akhirnya menjadi kebiasaan. Kalo cuma onani sih nggak ada efeknya buat orang lain. Tapi kalo ML? Kalo itu nanti jadi kebiasaan, sudah siap? Kita saja masih sekolah, uang masih minta, hidup masih ditanggung orang tua, apa nggak malu kita menjalani pacaran sudah seperti orang married? Yakin itu akan lebih asyik?”
Aku menghela nafas, melepas pelukanku dari tubuhnya. “Iya, iya. Sekarang kamu jadi pintar ceramah gini? Lebih pintar dari aku,” desahku, mengalah dengan kesal. “Tapi awas ya kalo lain kali gantian kamu yang pingin! Roda itu berputar.”
“Hahaha... Kok jadi nyumpahin gitu?”
Kuraih gulingku. “Nunggu setahun buat kesempatan tidur berdua, tapi cuma diskusi gini aja? Mending meluk guling.”
“Jangan ngambeg gitu lah...?”
Aku memilih diam sekarang. Nggak peduli Fandy yang membujukku. Kupeluk gulingku erat-erat. Tapi beberapa saat kemudian, tangan Fandy memelukku lagi...
Dia berbisik. “Makasih ya, buat Sosis Mozarella-nya tadi. Tapi ‘sosis’ yang lain disimpan dulu biar lebih matang... Semua akan enak pada waktunya.”
“Omonganmu kayaknya udah dewasa banget. Jadi apanya yang belum matang?” dengusku.
“Keberanianku belum matang.”
“Hmm... Oke deh, aku maafin karena kamu mengakuinya.”
Aku akhirnya mau kembali padanya. Melepas gulingku, untuk jatuh lagi mendekap tubuhnya. Lebih erat dari sebelumnya.
Aku berbisik...
"Sosis itu matang nggak matang tetap kenyal. Tapi saus Mozarella nggak bisa lama-lama disimpan, karena nggak akan segar lagi..."
"Tenang saja. Punyaku beda. Kualitas tinggi!"
"Aku tetap nggak mau nunggu kelamaan."
"Nggak sampai tua lah..."
"Tenang saja. Punyaku beda. Kualitas tinggi!"
"Aku tetap nggak mau nunggu kelamaan."
"Nggak sampai tua lah..."
Kami tertawa.
Dia mengecupku lagi. Meski aku tak mendapat menu utama yang kuinginkan, tapi aku mendapat hidangan penutup yang manis. Tetap manis.
~TAMAT~