Karung 2
Frangipani
Beginilah hari-hari pancaroba seorang pelajar:
sudah lulus tapi belum jelas mau berlanjut ke mana, masih menunggu hasil
SMNPTN. Di saat yang sama terjadi masalah keluarga. Hambar. Everyday is
suck!
Tapi setidaknya pagi ini sedikit lebih ada
rasanya. Ada sedikit greget karena aku menemukan sesuatu yang kurasa bisa jadi
petunjuk keberadaan Dimas. Tadi iseng-iseng aku memeriksa tempat tidurnya, dan
kutemukan sebuah buku di bawah kasur. Buku kecil berisi tulisan-tulisannya,
tapi bukan diary. Sebagian cuma corat-coret iseng, tapi beberapa kurasa
ada artinya. Yang paling bikin penasaran adalah coretan-coretan terakhirnya.
Menurut bulan dan tanggal yang tertera, itu ditulis dua hari sebelum dia pergi.
Sebuah puisi….
Puisi yang ditulis tangan oleh Dimas. Ada coretan
gambar yang menghiasinya. Berbentuk bunga, tapi tak jelas bunga apa. Ada banyak
bunga yang bentuknya mirip dengan gambar itu. Memang, sih, dia bukan orang yang
pandai menggambar. Tapi setidaknya aku mulai tahu, frangipani adalah
sejenis bunga.
Kenapa Dimas sangat menyukainya, atau setidaknya
tertarik pada bunga ini? Dia tak cuma memakai aromanya di kamar, tapi juga
menulis puisi tentang bunga ini? Apa ada maknanya? Membuatku tertarik.
Aku mulai browsing dengan HP-ku.
Penelusuranku di internet memberi hasil: nama lain frangipani adalah plumeria.
Bunga kamboja.
Bingo…! Aku melonjak, tiba-tiba teringat
sesuatu dan aku merasa ini semua mulai terhubung!
Aku bergegas menuju ke halaman belakang rumah. Kuhampiri
sebuah pohon. Pohon yang masih kecil, tak terlalu subur tapi hidup. Ya, pohon
kamboja. Dimas yang menanamnya…. Aku terpaku, menerawang pada cerita-cerita
yang mulai terhubung di benakku.
Kamboja, bunga pemakaman.
Aku bergidik.
Terbayang….
Sejak perlakuan Mama yang keras terhadapnya,
rumah ini mungkin sudah berubah jadi neraka baginya. Setiap hari dia terlihat
tertekan, kehilangan semangat hidup. Aku baru tahu, homophobia ternyata
memang bisa sekeras itu. Jika yang melakukan orang lain, teman-teman sekolah
misalnya, aku nggak kaget lagi. Tapi ini dilakukan oleh seorang ibu. Mama.
Aku jadi saksi, ketika HP Dimas diminta, dihapus
semua nomor kontaknya oleh Mama. Itu cara cepat buat menghapus nomor Fandy, dan
teman-teman gay yang lain (kalau memang ada). Nggak berhenti sampai situ. Mama
juga memaksa, Dimas hanya boleh meneruskan sekolah di universitas yang ada di
Solo. Nggak boleh keluar dari kota ini, jadi nggak ada alasan untuk tinggal di
kos-kosan. Dia diharuskan tetap tinggal di rumah ini sehingga Mama bisa terus
mengawasinya.
Aku masih ingat. “Ma, ini sudah kelewatan!” waktu
itu Dimas melawan.
“Jangan panggil ‘Mama’ kalau kamu nggak mau
nurut!” bentak Mama setengah menangis. “Mama sayang kamu, Dimas, jangan
kecewakan Mama. Nggak ada yang Mama lakukan, yang bukan buat kebaikanmu
sendiri!”
“Ma… Mama nggak bisa ngatur semua masalahku. Aku
sudah besar, aku punya masalah pribadi yang aku berhak atur sendiri!”
“Kamu sudah besar tapi Mama tetap orang tuamu!
Kamu dari lahir sampai sekarang, orang tua yang biayai! Kamu nanti kuliah,
orang tua juga yang biayai…”
“Oke, Mama hitung saja sudah habis berapa Mama
biayai aku. Aku akan kerja, aku akan kumpulin uang, aku balikin semua ke Mama!”
Mama menjerit. Makin jadi tangisnya….
“Mama ibu kamu…” isak Mama, “nggak ada yang bisa
kamu balikin pakai uang. Durhaka kamu bilang begitu!”
“Kalau gitu kenapa Mama mengukur aku pakai uang?
Pakai pamrih? Kenapa aku harus menuruti semua kemauan Mama? Mama membesarkan
aku, cuma untuk kesenangan Mama? Cuma untuk mengikuti pendapat Mama? Tanpa Mama
harus ungkit-ungkit jasa Mama, aku sudah ngerti, aku nggak akan lupa. Aku
bukannya nggak tahu balas budi ke orang tua. Aku hormati orang tua. Tapi aku
juga punya keinginan, Ma! Aku punya pilihan yang aku mau tentukan sendiri…!”
Pertengkaran sangat sengit.
Aku di pihak Dimas. Tapi apakah aku harus ikut
memojokkan Mama? Aku nggak bisa. Melihat pertengkaran itu, hatiku sama
hancurnya dengan mereka. Tapi biar dikata hancur, ibaratnya, hati mereka
tetaplah pecahan-pecahan yang keras. Hati Mama tetap tak luluh. Dimas juga
tetap di pendiriannya. Dari itu semua, akhirnya cuma kesedihan dan kehilangan
yang tertinggal di rumah ini.
Aku mengerti sedalam apa kesedihan Dimas.
Menghela napas aku, mengingatnya.
Hmmhhh….
Aku… pernah melihat dia menyayat nadinya.
Tapi syukurlah itu hanya mimpi. Mimpi yang sangat
buruk dan membuatku bergidik! Aku mencemaskan keadaannya. Sekilas puisi itu
memberiku rasa yang semakin miris.
Bunga kamboja. Kematian.
Tapi setelah kuresapi lagi, aku mulai menyadari
ada pertanda baik yang tersirat di dalamnya…
Kau tak mati
Hanya terjatuh untuk menyatu lagi
dengan kesuburan
Merasuk ke dalam sari-sari yang
akan mengembangkan
Bunga-bunga baru
Kau kehidupan
Bukan lagi ketakutan atau
kesedihan
Tapi keharuman
Bahwa hidup memang sebuah persembahan
Dari altarNya,
Aku ingin menjumputmu
Untuk kuselipkan lagi di
telinganya
Di wajah seorang cinta
Aku tak paham sastra, tapi aku membaca ada
harapan yang bangkit dalam dirinya. Bahkan sebagai orang yang cintanya sudah
kandas, bait terakhir puisinya tak terasa pahit saat menyinggung cinta. Aku
lega. Aku percaya, dia tak akan berbuat sebodoh mimpiku. Mimpi buruk itu hanya
kecemasanku, semoga begitu.
Frangipani. Ingatanku semakin tali-temali,
menghubungkan potongan-potongan kisah. Aku jadi ingat percakapanku dengannya,
di sini, sewaktu dia menanam pohon itu. Waktu itu, aku cukup terhibur
melihatnya. Aku melihat dia sudah tak terlalu sedih lagi. Atau setidaknya, dia
mau berusaha menghibur diri, dengan cara mencari kesibukan kecil: menanam
pohon.
“Pohon apa itu, Mas?” tanyaku.
Dia duduk melepas lelah, seraya tersenyum
memandangi pohon yang baru saja ditanamnya. “Kamboja.”
“Hah? Pohon kuburan kamu tanam di sini?” Aku
berprasangka buruk waktu itu.
“Enak aja! Itu Kamboja Bali,” sahutnya.
Saat itu, dia memang tampak lebih ringan dan
lepas dibanding hari-hari sebelumnya. Aku pun menepis prasangka burukku.
“Apa bedanya?” aku bertanya, sambil ikut duduk di
tepi pekarangan.
“Di sini, pohon kamboja dihubungkan dengan
kuburan, kematian. Di Bali, bunga kamboja adalah simbol kehidupan.” Begitu dia
berkata. Seingatku….
Pohon kecil yang ditanam Dimas itu, hahaha…
benar-benar aku tak menyangka dia akan pernah menanam pohon. Dia tak suka
aktifitas yang berkeringat. Tapi saat itu dia mau memegang linggis, menggali
lubang di hari bolong yang panas. Dan dia tampak tanpa beban. Siapa yang akan
menyangka, tiba-tiba dia malah pergi tanpa seorang pun tahu, entah ke mana?
Ingatan itu membuatku ingin tersenyum. Tapi saat
bibir mencoba mengembang, hati malah terasa perih.
Ya ampun, sekarang gue jadi secengeng Dimas
gini…?
Aku kembali mengulik browser-ku. Mencari
tahu ada petunjuk apa saja di balik frangipani ini. Rupanya mirip dengan
apa yang pernah dikatakan Dimas, di Bali pohon kamboja dijuluki sebagai ‘Pohon
Kehidupan’, Tree of Life. Bunganya digunakan sebagai perlengkapan
sesaji. Persembahan, begitu kata yang ada di puisinya…
Kau kehidupan
Bukan lagi ketakutan atau
kesedihan
Tapi keharuman
Bahwa hidup memang sebuah
persembahan
Dimas, bunga kamboja, dan Bali… ketiganya terhubung
dalam puisi ini.
Apakah dia ke Bali…?
Dia memang pernah bercerita juga, dia punya teman
di Bali. Temannya itu juga gay. Tapi, aku takut ini masih terlalu spekulatif
untuk meyakini dia pergi ke sana. Aku tahu, dia orang yang filosofis,
setidaknya akhir-akhir ini. Tapi dia bukan sedang bermasalah dengan semacam
filosofi. Dia sedang bermasalah dengan sesuatu yang konkret! Bermasalah dengan
Mama, bermasalah dengan keluarga, bermasalah karena harus memutuskan Fandy, dan
bermasalah dengan masa depan! Dia pergi tanpa peduli kelulusan, mengabaikan
rencana untuk kuliah, dan… memangnya dia tak akan mengesahkan ijazahnya dengan
cap tiga jari? Dia tak butuh ijazahnya? Aku tahu dia kadang naif, tapi
benarkah dia akan sebodoh itu mengabaikan masa depannya? Toh, Papa juga masih
mendukungnya. Kenapa dia nekat pergi seolah sama sekali tak ada lagi yang patut
dia perjuangkan di sini?
Tanpa pamit, tak meninggalkan nomor kontak, tak
memberi tahu tujuannya, tiga bulan sudah dia menghilang…! Kalau dia memang ke
Bali, atau ke manapun, apa yang dia pikir akan dia dapatkan di sana? Aku orang
yang emosional, tapi tetap akan memikirkan masa depan. Masa dia tidak?
Aku sayang dia. Karena itu, aku marah! Karena
ternyata dia tak peduli bahwa selama ini aku ada di pihaknya. Begitu juga Papa.
Apa kasih sayang kami masih kurang? Papa selalu bilang padaku, “Sabar, Dimas
pasti pulang.” Tapi, bahkan Papa tak tahu ke mana Dimas pergi. Bagaimana
bisa bilang dia akan pulang? Papa cuma menghiburku, dan menghibur dirinya
sendiri yang merasa kehilangan.
Ya, kami kehilangan. Hampir tak tahu harus apa.
Aku paham, ke manapun dia pergi, dia ingin
mencari ketenangan. Mungkin di tempatnya kini, dia merasa lebih baik sekarang
biarpun kehabisan uang… oke, dia juga boleh berfilosofi ‘kebahagiaan tak bisa
diukur dengan uang‘. Tetapi, hei… biarpun emosian, aku tetap memikirkan
keluarga. Apa dia tidak?
Bagaimana dengan kami yang ditinggalkan di sini?
Bagaimana dengan Mama…?
“Denis…”
Kudengar suara memanggilku. Aku menengok,
menemukan wajah Mama di jendela dapur. Wajah yang dulu tampak sepuluh tahun
lebih muda dari umurnya, sekarang menjadi wajah yang sepuluh tahun lebih tua.
“Mama bikin nasi goreng, nih. Kamu tadi belum
sarapan, kan?”
“Iya.” Aku menyahut tanpa semangat. Sama seperti
suara Mama, tak kudengar semangat di sana.
Keluarga ini sudah redup. Tapi, aku ingin tetap
menjaga hati yang masih ada. Hati Mama, hati Papa…. Apa harus kupatahkan buluh
yang sudah lemah? Tidak.
Aku berdiri, melangkah ke dapur. Mengambil nasi
goreng dengan porsi sekedarnya. Mau tak mau teringat pula, bagaimana cerianya
kami dulu ketika suatu malam memasak nasi goreng. Aku, Dimas, dan Mama, bertiga
memasak menu makan malam. Kami menunggu Papa pulang, lalu kami makan malam
bersama. Makan bersama bukan kebiasaan di keluarga ini. Karenanya, malam itu
menjadi sangat istimewa….
Sekarang, aku makan sendiri di sini, di meja
dapur yang tak rapi. Hanya bisa termangu saat melihat Mama di luar sana…
menyirami pohon kamboja itu. Aku tak bisa menampik lagi, sebenarnya aku memang
secengeng ini. Berbasah mata di saat mulutku penuh nasi.
Cukup, aku tak bisa menelannya lagi….
Bersambung...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar