Karung 1
Di Sebuah Kamar
Aku duduk sendirian di kamar ini. Melipat
tangan, bergantian memandangi penghuni meja. Jam weker yang habis
baterenya, botol-botol parfum dan essential oil yang hampir
kosong, sekumpulan CD, buku-buku, pensil dan pulpen yang berdebu di
tempatnya. Bidang meja juga berdebu, dapat kurasakan di lenganku. Meja
ini mewakili keadaan kamar ini. Tak ada pula laptop di sini, yang
biasanya menyala dengan lagu-lagu favorit terputar di playlist. Tak ada lagi suara gitar menyahut. Tak ada lagi yang meringkuk di kasur dengan guling kesayangannya.
Sunyi.
Ini kamar Dimas. Tak bertuan lagi.
Mataku terpaku ke salah satu pernik di
meja. Ada secuil kenangan di situ. Tahun lalu, aku dapat kado ulang
tahun dari Misha. Sebuah lampu aromatherapy. Dimas sirik, padahal
dia sudah dapat kado sendiri dari pacarnya. Mungkin kado yang
kudapatkan memang lebih bagus. Dia mengamati lampu itu dengan serius,
seperti seorang kurator barang antik. Lalu dia sesumbar, kalau dia bisa
bikin sendiri lampu aromatherapy seperti yang kumiliki. Aku benar-benar
tercengang, karena esoknya dia pulang membawa belanjaan berupa kendi
kecil, mangkok gerabah, dan tungku mini yang biasanya dipakai buat
membakar menyan. Dia beli semua perkakas itu di Pasar Kembang, tempat di
mana kau akan bertemu penjual kembang, minyak nyong-nyong, menyan, apapun pokoknya yang berhubungan dengan kuburan.
“Serius lu, Mas?” aku sampai
terheran-heran melihat niat Dimas yang sampai segitunya. “Ngapain
repot-repot bikin sendiri? Pakai barang begituan lagi? Beli jadi aja
banyak, kok!”
“Kalau bikin sendiri, aku bisa bikin yang unik sekalian.” Begitu dia menjawab, pede.
Ternyata dia sukses membuat lampu aromatherapy
itu, jadi dan berfungsi dengan baik. Beberapa hari kemudian dia bikin
satu buah lagi, dia berikan kepada pacarnya saat ulang tahun.
Seperti biasa, kalau nggak bertengkar, nggak rame!
“Kamu kreatif, sih, bisa bikin lampu itu
sendiri. Tapi begitu kamu kasih ke Fandy, jadi enggak lagi. Kamu ngasih
kado nyontek ide Misha. Kasih barang yang lain, dong!” protesku waktu
itu.
Batinku memang kesal. Aku dan Fandy sama-sama dapat kado lampu? Aneh aja! Memangnya soulmate? Amit-amit!
“Sama-sama dapat lampu, tapi tetap beda.
Fandy dapat lampu peri. Kamu lampu jin!” Begitu komentar Dimas. Seperti
biasa, membela pacarnya.
“Tetap aja kamu yang nyontek ide orang lain!” tukasku.
Baru kemudian Dimas cerita ke aku. “Den, waktu kita ulang tahun, mereka berdua barengan ke mall beli kado buat kita. Misha sendiri yang cerita ke aku, dia ngasih kamu kado lampu itu karena ide Fandy.”
Tuiiinggg…!
Jadi lampu hadiah yang selama ini aku sayang-sayang, yang kukira pure
pemberian Misha, ternyata berasal dari otak Fandy! Lampu unyu yang
menghias kamarku itu adalah benda setengah-cewek, setengah-cowok. Asem!
Tak sampai dua bulan aku sudah bosan dengan aromatherapy. Tapi Dimas malah keranjingan. Dia membeli banyak macam essential oil.
Bahkan dia hapal khasiat-khasiatnya. Setiap hari kamarnya ini bau
wangi. Kuakui, aku pun jadi betah di kamar ini. Tapi aku malas
melakukannya di kamarku sendiri, nggak mau ribet. Aku tinggal kemari
saja, tidur. Berdua dengan Dimas? Nggak masalah. Dia memang suka cowok,
tapi nggak akan macam-macam denganku. Dia nggak berani.
Sikap konyol, nyeleneh, pintar-pintar
ngawur, perhatian tapi jaim. Aku kangen sosok unik itu. Teman, juga
musuh dekatku. Saudaraku.
Mas, kenapa lu pergi dengan cara begini?
Aku ingat, saat semua ini mulai memburuk.
Akhir Februari lalu, waktu itu masih pagi di sekolah, baru pergantian
jam pelajaran pertama. Aku melihat dari jendela, Dimas keluar dari ruang
kelasnya bersama Bu Kamti. Aku langsung menduga, pasti ada yang mau
mereka bicarakan di ruang BP. Pada jam istirahat pertama aku menunggu di
depan kelasnya, XII IPS A. Dia baru kembali dari ruang BP, wajahnya
muram. Bukan muram yang biasa, dia tak pernah terlihat sekalut itu.
“Tadi aku lihat kamu pergi sama Bu Kamti. Ada apa?” tanyaku.
Dia diam. Wajahnya pucat. Bibirnya gemetar tak keluar kata-kata. Terduduk lesu di serambi.
“Ada apa?” tekanku, menggenggam bahunya. Aku tahu ada sesuatu yang sangat nggak beres!
Matanya mengitar dengan resah, seperti
butuh memastikan tak ada yang menguping omongan kami. Baru dia mulai
bercerita. Suaranya terdengar sudah kehabisan harapan.
“Orang tua Fandy…” dia berucap lirih, “mereka mendatangi BP. Mereka tahu, Den. Mereka marah besar!”
Aku tercekat bukan kepalang!
Dimas menambahkan berita yang lebih
mengagetkan. “Aku nggak bisa cegah mereka, Den. Aku sudah memohon-mohon,
tapi nggak ada hasilnya. Mereka mau ketemu Papa sama Mama, nanti
sore….”
“Mereka mau ngapain…?!”
“Mau marah-marah lagi pastinya. Apapun. Supaya aku nggak berhubungan dengan Fandy lagi.”
Wajah Dimas benar-benar kalah dan pasrah. Aku ikut cemas dan bimbang.
“Bagaimana mereka bisa tahu?”
Dia tertunduk lesu, tampak sangat
menyesal. “Foto itu. Fandy juga menyimpan di HP-nya. Dia nggak bisa
berkelit waktu Bapaknya memergoki foto itu.”
Aku menahan napas. Sudah kubilang, dia tak akan tahu kapan itu akan jadi masalah! Sekarang terlambat!
“Bu Kamti nggak bisa bantu?”
Dimas menggeleng. “Dia sudah coba
menengahi. Tapi kali ini sudah kemauan pihak orang tua. Mereka menolak
waktu Bu Kamti mau memediasi. Padahal Bu Kamti sudah jelaskan, kita
sedang mendekati Ujian Nasional. Harusnya kita bisa tunda dulu masalah
ini, meredakan emosi dulu lalu bicara baik-baik. Mereka tidak mau. Aku
tak mengira orang tua Fandy ternyata sekeras itu….”
Ini bukan lagi masalah Dimas semata. Ini akan menjadi masalah antarkeluarga. Tapi, pastinya tak ada yang lebih takut dari Dimas.
“Setidaknya, Papa ada di pihakmu, kan?” cetusku, membesarkan hatinya.
Tapi Dimas menepis usahaku untuk menguatkan hatinya. “Papa mungkin iya. Tapi Mama…?”
Ffhhh…. Sejujurnya, aku juga ragu
bahwa Mama akan melindungi Dimas dari tekanan ini. Kami tak pernah
membicarakan masalah Dimas kepada Mama. Tapi selama ini, diam-diam kami
sudah memperkirakan sikap Mama akan seperti apa andai dia tahu.
Karenanya kami memilih untuk tetap menutupinya, demi Dimas. Tapi
sekarang…?
“Aku takut, Den….”
Aku miris. Aku kecewa itu harus terjadi. Tapi aku nggak tega menyalahkan Dimas. Nggak tega membuatnya tambah terbeban.
“Kita hadapi bersama, Mas. Mau gimana lagi?”
Dia tersenyum pahit. “Aku kasihan Fandy.”
“Aku kasihan kalian berdua! Tapi, sorry,
apa Fandy memikirkan keluarga kita?” aku mulai marah, tapi masih
sanggup menahan suara agar tak mengeras, karena akan memancing perhatian
anak-anak lain di sekitar kami. “Aku tahu dia itu pacarmu. Tapi dia
sudah diurus keluarganya sendiri. Kita harus pikirkan keluarga kita!
Gimana menghadapi orang tuanya nanti, yang mau melabrak ke rumah kita?”
“Justru itu, Den!” dia menatapku,
mengeruk hati kecilku. “Aku masih punya kamu, masih punya Papa yang mau
memihakku. Fandy…? Dia punya keluarga, tapi nggak ada yang memihak
dia….”
Aku terdiam.
Tentu, Dimas mencintai pacarnya. Pacarnya bukan pacarku. Aku tak bisa sejauh dia dalam memikirkan Fandy.
“Sorry, Mas, aku bukannya nggak peduli…”
“Sudahlah,” Dimas memotong, berucap
dengan nada lebih tegar, “seperti katamu, kita hadapi bersama. Makasih,
Den… biarpun mungkin kita nggak akan berhasil. Aku merasa… aku tetap
akan kehilangan…. Aku harus siap.”
Dia tersenyum. Tak pernah sesayu itu.
Kehilangan?
Aku bisa rasakan, Mas, hatimu tak
setegar suaramu. Senyummu terlalu masam untuk kubilang tegar. Kau sangat
mencintai Fandy dan kau akan kehilangan dia. Tapi aku janji, setidaknya
kau tak akan kehilangan saudara.
Sorenya, hal yang kami cemaskan itu benar
terjadi. Kedua orang tua Fandy datang ke rumah kami, tanpa Fandy.
Rupanya mereka sudah menghubungi Papa agar bisa bertemu hari itu juga.
Sialnya, Mama juga bertepatan ada di rumah. Maka empat orang tua pun
bertemu di rumah ini, membicarakan anak-anak mereka. Menyidang hubungan
yang mereka anggap ‘terlarang’.
Aku tak diijinkan mengikuti pembicaraan.
Tapi aku dapat menguping dari kamarku yang bersebelahan dengan ruang
tamu. Aku tak bisa bayangkan bagaimana Dimas di sana, disidang oleh para
orang tua yang menodong pengakuan. Suasana di rumah tak pernah setegang
itu! Sejak awal, pembicaraan sudah terasa tajam.
Miris sekali rasanya mendengar suara ayah Fandy yang berat itu memojokkan Dimas, “Mengaku
saja, Nak Dimas. Apa yang kamu lakukan dengan anak kami? Di BP tadi
kamu bisa mengakui. Seharusnya di sini juga, di depan orang tuamu.”
“Biar kedua orang tuamu tahu, kalau kami tidak mengada-ada!” suara ibu Fandy menyahut. Datar, tapi juga menyudutkan.
Percakapan hening beberapa waktu, karena
Dimas tak membuka suara. Aku tak tega membayangkan keadaannya di sana,
yang disudutkan di depan orang tua kami sendiri.
“Sudah. Stop!” tiba-tiba suara Papa memecah. “Pak, Bu, saya sudah tahu tentang anak kami. Tak perlu membuat dia harus mengaku lagi…”
“Pa…?!” Mama memotong agak panik. “Apa maksudnya ‘Papa sudah tahu’? Jadi Dimas… benar seperti yang mereka bilang…?!”
“Tenang dulu, Ma…”
“Nggak bisa! Jelaskan dulu maksud Papa!” suara Mama agak membentak, gundah. “Selama ini ada yang Papa sembunyikan soal Dimas?”
Suara Papa terdengar tertekan. “Ma… ini demi kebaikan anak kita.”
“Buat anak kita? Tapi Mama nggak dikasih tahu?! Kebaikan apanya?” suara Mama mulai parau. “Dimas, kamu bilang ke Mama sekarang! Betul yang dibilang itu, kalau kamu…?”
Mama menghentikan pertanyaannya, berakhir dengan gemetar. Kemudian, yang kudengar kembali kebisuan… dan senggukan Mama.
“Maaf, Bu, kami tahu ini berat buat
Anda berdua sebagai orang tua Dimas. Tapi, kami berdua juga orang tua.
Kami juga menghadapi situasi yang sama. Kami hanya ingin berbagi, apakah
Anda sebagai orang tua akan membiarkan anak anda berperilaku seperti
itu? Karena ini juga menyangkut anak kami. Kami menempuh cara ini,
karena kami percaya bahwa kita sama-sama memikirkan masa depan anak-anak
ini. Anak-anak kita.” Ibu Fandy berucap.
Ayah Fandy menambah dengan lebih tenang. “Seandainya
masalah ini tidak menyeret anak kami, tentu kami tidak akan kemari.
Lagi pula, terus terang, selama ini kami menerima pertemanan anak kami
dengan Nak Dimas. Selama ini kami senang-senang saja, karena kami pikir…
yaahh, tidak ada tujuan yang buruk. Kami benar-benar menyayangkan
masalah ini….”
“Saya juga senang Dimas berteman dengan Fandy,” Papa mengimbangi. “Tapi, sampai saat ini pun saya masih berkenan. Karena sejauh ini, saya lihat pergaulan mereka mengarah pada hal yang positip…”
“’Positip’ bagaimana?” suara ayah Fandy kembali agak meninggi. “Apa perlu saya tunjukkan foto mereka?”
“Maaf, Pak, anak saya sudah berterus
terang kepada saya sebelum Anda berdua datang kemari. Tadi, dia dengan
terbuka sudah menunjukkan foto itu kepada saya.” Papa mulai bermanuver membela Dimas.
“Nah! Jadi Panjenengan sudah lihat sendiri, tho?!”
“Tapi menurut saya itu masih di batas
kewajaran anak jaman sekarang. Ciuman, dan cuma di pipi, kok…? Apakah
sewaktu muda kita tidak melakukannya?”
Pembelaan Papa terdengar menyegarkan harapan kami. Tapi tetap tak berhasil memperbaiki situasi.
“Pak Setiawan, kami kemari bukan untuk
mengajak bercanda! Kami tidak semata-mata mempermasalahkan soal ciuman.
Yang ingin kami tegaskan adalah, mereka ini laki-laki! Mereka pacaran!
Ini salah!” Kata-kata tajam ayah Fandy itu ditutup dengan suara gebrakan di meja.
Mama kembali tersengguk.
Papa tak lelah membela. “Yang saya
tahu, sejak kenal dengan putera Anda, anak kami justru berubah lebih
baik. Biarpun mereka beda angkatan, Dimas dan Fandy suka mengerjakan
tugas sekolah di sini. Nilai di sekolah juga terbukti bagus. Dan mereka
tidak pernah pergi ke tempat yang tidak jelas. Malah saudaranya Dimas,
si Denis, bisa jadi saksi, kok. Pergaulan mereka baik. Saya percaya
mereka sudah paham mana yang pantas mereka lakukan, dan mana yang
tidak.”
“Alasan itu tidak menjadikan hubungan
mereka jadi benar, Pak! Saya memikirkan masa depan Fandy, anak kami.
Apakah kami harus merelakan anak kami tak pernah menikah saat dewasa?
Tidak berkeluarga, karena kecantol kekasih yang sama-sama lelaki? Mau
jadi apa masa depannya? Kita orang tua tidak bisa mendampingi selamanya,
tho? Keluarga yang kelak dia bangun adalah demi kebahagiaannya sendiri,
jadi jaminan di hari tua. Atau, Anda tidak ingin anak-anak Anda berumur
panjang sampai tua?”
Ibu Fandy menyambung dengan emosional. “Kalau Pak dan Bu Setiawan tidak sayang pada masa depan anak, ya mau apa lagi. Tapi jangan seret anak kami!”
“Saya sayang anak saya!” Mama yang banyak diam, kali ini menyahut. “Saya juga tidak setuju Dimas jadi seperti itu!”
“Ma…?”
“Kalau Papa memang sudah tahu, seharusnya beri tahu Mama sejak dulu!” kudengar Mama menyalahkan Papa. “Jadi nggak kebablasan seperti sekarang! Masa Dimas dibiarkan jadi nggak bener…?”
“Ma, apanya yang nggak bener?” Dimas akhirnya membuka suara, terdengar agak lantang. “Memang. Aku sama Fandy pacaran! Aku dan dia lakukan apa yang kami senang, tapi nggak ada yang kebablasan!”
“Kamu pacaran dengan sesama laki-laki, apanya yang tidak kebablasan?” ayah Fandy menyahut.
Dimas berkata agak sayup ke Papa. “Pa, aku minta ijin, aku juga mau bicara…”
Lalu, kurasa Dimas berkata kepada ayah dan ibu Fandy. Dia mulai membela dirinya.
“Maaf Pak, Bu, saya tak perlu mengaku
apapun lagi. Saya cuma ingin tanya. Bapak bilang kalau keluarga adalah
jaminan di hari tua, lalu bagaimana dengan keluarga yang sekarang? Anda
berdualah keluarga Fandy saat ini, apakah Bapak dan Ibu bisa menjamin
bahwa saat ini Fandy merasa bahagia oleh perlakuan Anda?”
Betapa memanasnya di ruang tamu itu! Kalau mereka menduga Dimas hanya bisa diam, salah besar!
“Kalau Bapak dan Ibu tak bisa menjamin
bahwa saat ini anak Anda bahagia, bagaimana bisa menjamin bahwa kelak
dia akan bahagia dengan pernikahan? Kan, dia akan menikah dengan orang
lain, bukan dengan Anda berdua? Bagaimana bisa Anda menjamin dia akan
bahagia dengan cara Anda?”
Kudengar ayah Fandy berkata datar tapi tetap tajam, “Nak Dimas, kami ini orang tua. Tolong jangan kurang ajar kalau bicara.”
“Dimas, tahan emosimu…” terdengar Papa mencoba menenangkan Dimas.
Tapi sepertinya Dimas telanjur mengapi hatinya. “Maaf,
Pak, saya tak bermaksud kurang ajar. Saya cuma ingin tahu, sejauh mana
Anda bisa menjamin Fandy akan bahagia dengan cara yang Anda paksakan
itu?”
“Maksudmu, kamu lebih bisa menjamin kebahagiaan Fandy dibanding kami?”
“Bukan, Bu. Bahkan saya tak menganggap Fandy menjamin kebahagiaan saya.” Dimas berkata mantap. “Dia tidak menjamin lagi. Dia sudah memberikannya.”
Ayah Fandy malah tertawa. “Saya ini sebetulnya sangat marah. Tapi malah kepingin ketawa mendengar celotehmu.”
“Pak, soal kebahagiaan, kami tidak
banyak teori. Tapi selama hubungan kami berjalan, kami merasakannya.
Karena itu saya ingin tanya lagi… Bapak sudah bertanya kepada anak
Bapak, apakah dia bahagia atau tidak dengan hubungan kami?”
“Tak perlu ditanyakan. Karena jelas sudah salah!”
“Jadi… sebenarnya Anda tak peduli
Fandy bahagia atau tidak. Anda lebih tertarik untuk memaksakan kehendak
Anda dan menghakimi kami.”
“Kami peduli dengan kebahagiaannya, tapi kami ingin cara yang benar!” suara ayah Fandy menekan.
“Maksudnya, dia harus menikah dan
beristri, begitu? Bukankah, ‘cara yang benar’ toh juga tak selalu
berhasil memberi kebahagiaan?”
“Apalagi cara yang salah?!”
“Tidak juga, kok. Saya maklum jika
Bapak dan Ibu tak memahaminya. Karena Anda cuma tertarik kepada
kebahagiaan berdasarkan sudut pandang Anda sendiri. Kami selama setahun
ini sudah nyata-nyata menjalaninya. Kami menjalani apa yang bisa kami
jalani bersama dengan baik, dan kami bahagia.”
“Bahagia semu,” cibir ayah Fandy. “Baru setahun pacaran kamu sudah sok tahu soal kebahagiaan. Kami ini sudah menikah bertahun-tahun!”
“Baiklah, pernikahan Anda konkret untuk Anda berdua sebagai suami-istri. Tapi tak bisa dipaksakan kepada orang lain.”
“Fandy bukan orang lain. Dia anak kami. Kami tak mau dia salah langkah. Kami mau dia jadi orang yang hidupnya waras!”
“Maksud Bapak, kami ‘tidak waras’? Pak, Anda seorang dokter. Mestinya tahu, bahwa ini bukan…”
“Ini bukan soal dokter ke pasien,” ayah Fandy langsung memotong. “Ini adalah bapak kepada anaknya.” Lalu, suara ayah Fandy terdengar lebih kebapakan. “Nak
Dimas, saya akui kamu pandai. Kedua orang tuamu boleh berbangga soal
itu. Tapi kamu harus sadar, kebahagiaan tidak hanya diukur oleh hal-hal
konkret yang kita jalani di dunia. Kita juga menginginkan kebahagiaan
setelah meninggal, tho? Nak Dimas, bisakah itu dicapai dengan cara-cara
yang melanggar kodrat? Itu dosa, tho?”
“Pak, bukankah kita semua memang
berdosa? Apakah dengan laki-laki menikahi perempuan, lantas membatalkan
fakta itu? Apakah menikah otomatis menjamin kita masuk surga? Tidak
juga, kan?”
“Setidaknya, dengan menikah orang
terhindar dari dosa perzinahan. Tidak menuruti napsu yang keliru! Atas
dasar apa kamu menganggap homoseksual itu benar?”
“Saya tak bisa buktikan itu benar atau
salah. Saya hanya bisa buktikan bahwa saya mampu menjalani hidup dengan
baik, meski saat ini Anda anggap salah.”
“Baiklah, itu hakmu. Tapi kami tak mau
anak kami jadi taruhan. Kami berhak mengatur anak kami dengan didikan
yang kami anggap benar, demi kebahagiaannya di masa depan.”
“Maksud Bapak, anak Bapak hanya boleh
jadi taruhan di meja judi Anda sendiri? Andalah yang ingin bahagia
melihat anak Anda menikahi perempuan. Tapi tak peduli apakah dia akan
bahagia dengan pernikahannya.”
“Kenapa kamu ngotot dia tak akan
bahagia menikahi perempuan? Nak Dimas, kamu juga sedang menghakimi kami
sebagai orang tua Fandy….”
“Pak, saya tak bermaksud menghakimi.
Bukankah saya tadi cuma bertanya: apakah Anda berdua sudah menanyakan
sendiri ke Fandy, bahagia tidak dia menerima perlakuan seperti ini? Anda
tak menjawab dengan lugas, hanya terus-menerus ngotot bahwa dia kelak
harus menikahi perempuan. Jadi, Anda memang tak pernah menanyakannya,
kan? Anda tak sungguh-sungguh peduli padanya….”
Suasana hening lagi. Mereka terdiam cukup lama.
Lagi-lagi ayah Fandy hanya bisa membelokkan jawaban secara sinis. “Memangnya
kamu lebih tahu soal pernikahan dibanding kami? Kami sudah menikah dua
puluh tahun lebih. Kamu? Anak baru kemarin sore!”
“Maaf, Pak Budi…” Papa kembali membuka suara, “saya
juga sudah menikah lebih dari dua puluh tahun. Dimas cuma anak usia
delapan belas tahun, tapi bukan berarti pendapatnya salah. Soal esensi
kebahagiaan, saya kira dia tidak salah.”
“Silakan Anda membela anak Anda, Pak
Setiawan. Itu hak Anda. Tapi anak kami adalah hak kami. Dan menurut
saya, pembicaraan kita sudah melantur. Inti dari kedatangan kami, kami
tidak mau lagi anak kami bergaul dengan anak Anda.”
“Saya tidak mengijinkan ataupun
melarang. Anda berhak mengarahkan anak Anda. Tapi saya mempercayai anak
saya. Saya tidak rela dia disudutkan.”
“Saya tidak habis pikir, bagaimana
bisa Anda membiarkan anak Anda melangkah ke jalan yang jelas-jelas
keliru? Tapi ya sudah, itu hak Anda sebagai orang tuanya.”
“Tidak, saya tidak akan biarkan anak saya seperti itu!” Mama tiba-tiba membantah, dengan suara yang emosional. “Saya akan urus dia. Saya setuju dia tidak berhubungan lagi dengan anak Anda. Dan saya anggap pembicaraan kita sudah selesai.”
Aku bergidik mendengar pernyataan Mama.
Itulah yang selama ini ditakutkan Dimas. Selama ini selalu kami
cemaskan. Bahwa sikap Mama nggak jauh beda dari orang tua Fandy!
“Kami hormati sikap Ibu. Kembali lagi,
itu hak Anda berdua sebagai orang tua untuk mengarahkan Nak Dimas. Kami
cuma bisa berpesan, bahwa belum terlambat untuk itu.”
Kedua orang tua Fandy berpamitan. Pulang.
Tapi pertengkaran belum berhenti malam
itu. Bahkan tak kalah sengit. Kali ini aku ikut andil secara langsung
bersama Papa membela Dimas. Tapi kami tak berhasil membuat Mama
mengerti. Mama malah tambah emosi.
Plak! Aku menyaksikan saat Mama menampar Dimas. Tak ada yang mengira….
“Pokoknya janji sama Mama, kamu harus mau
berubah! Pokoknya nggak boleh meneruskan perilaku seperti itu…! Mama
nggak mau kamu jadi anak nggak bener…!” Mama setengah histeris. Papa
mengatasinya, mendekap dan menggiring Mama masuk ke kamar. Di dalam
sana, terdengar bagaimana Mama menangis dan membentak-bentak,
menyalahkan Papa….
Dimas berdiri nanar. Diam, terlalu
guncang menghadapi situasi yang tiba-tiba berantakan dalam sehari.
Hatinya hancur, aku merasakannya. Aku juga tak sanggup bicara. Hanya
bisa menggenggam bahunya, berharap dia kuat. Dia masih mencoba memberi
senyum. Aku tak bisa menggambarkan sesedih apa senyumnya saat itu. Aku
melihat dia berlalu, lesu seperti sudah kehilangan segalanya. Tapi dia harus tahu, tak semua hilang darinya. Belum. Tak akan!
Saat itu aku berharap, semoga esok sudah
lebih reda. Semoga esok Mama bisa lebih mengerti. Semoga esok tak ada
lagi senyum yang sesedih malam itu….
Ternyata tidak.
Malam itu benar, awal pecahnya keluarga ini. Hari-hari berikutnya tambah buruk. Hingga sekarang. Hingga malam ini.
Hhhhh….
Dia pergi sejak beberapa hari sesudah
berakhirnya Ujian Nasional. Sekarang sudah tiga bulan lamanya dia
menghilang. Aku masih berandai, pintu terbuka dan melihat dia kembali
lagi ke kamarnya ini. Esok pagi dia akan bangun agak kesiangan,
terburu-buru mandi, sarapan sekenanya, lalu kami berboncengan ke
sekolah… seperti biasanya. Ah, tidak, tidak… kami tak akan ke sekolah
barengan lagi. Kami sudah lulus.
Di hari pengumuman kelulusan, kau akan
bersenang sekaligus bersedih karena akan berpisah dengan teman-teman
baikmu di sekolah. Tapi, kesedihanku lebih dari itu. Aku tak bisa
bersorak dan berlonjak-lonjak dengan dia di hari pengumuman kelulusan.
Aku pulang ke rumah tanpa baju bercoreng-moreng cat dan spidol, tanpa
simbol keriangan. Cuma pakaian seragam putih abu-abu, yang masih bersih,
kosong…. Ditemani Ben, Erik, dan Misha, yang juga berbaju tanpa
corengan. Sama: kosong. Mereka mencoba menghiburku. Tak berhasil. Mereka memang sahabat yang baik. Tapi Dimas tak bisa digantikan.
Dia menjadi cuilan-cuilan memori sedih.
Sesedih kamar yang hening ini. Sedihnya sebuah kamar yang kehilangan
tuan. Sesedih hati orang yang ditinggalkan saudara tersayangnya….
Kurengkuh wadah aromatherapy
berbentuk kendi, buatannya. Kuamati botol-botol minyak yang sebagian
masih bersisa. Ada beberapa botol yang sudah kosong, dengan jenis aroma
yang sama: Frangipani. Aku tak tahu ini aroma apa, buah atau
bunga. Tapi pasti Dimas paling menyukainya, sampai habis beberapa botol.
Pasti aroma ini yang biasa membauri kamar ini.
Masih bisa kuambil beberapa tetes,
kucampur dengan air. Kunyalakan lampu itu. Wangi yang khas mulai
menguar. Aku berbaring di tempat tidur, memeluk guling kesayangannya
yang biasanya tak boleh dipinjam.
Masih tak henti aku bertanya dalam hati….
Mas, lu ada di mana…?
Bersambung...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar