Karung 12
Menyeberangi Malam, Ketapang-Gilimanuk
Perjalanan dengan kereta Sri Tanjung
ternyata lebih dari dua belas jam! Kami tiba di stasiun terakhir yaitu
Stasiun Banyuwangi sekitar jam sebelas malam. Aku, seperti yang juga
terlihat pada teman-temanku, begitu kepayahan. Turun dari kereta, rasa
lega dan lesu bercampur.
“Aku lapar,” Fandy mengeluh.
“Kita cari warung yang masih buka,” sahutku. Suara keroncong juga sudah menendang di dalam perutku.
Cecile dan Fillipe sepakat dengan ajakan kami untuk mencari makan. Cecile juga mengeluhkan hal yang sama, lapar.
Stasiun Banyuwangi kira-kira sebesar
Stasiun Balapan Solo. Tapi dalam hal keramaian stasiun ini lebih mirip
Benteng Vastenburg, malam harinya begini sepi dan remang-remang. Andai
tak ada tumpahan penumpang yang baru turun dari kereta, bakal lebih
ironis lagi, stasiun ini akan lebih mirip loji Omah Lowo di Laweyan.
Sepi banget. Jarak stasiun ke jalan raya kira-kira seratus meter, yang
kutahu Pelabuhan Ketapang berada tak jauh dari sana. Lalu-lintas jalan
raya di depan sana itu tampak ramai, kontras dengan lingkungan di
sekitar stasiun. Kami berlima sedang menuju ke sana, melangkah melewati
lahan di depan stasiun yang remang-remang dan berbelukar.
Sembari berjalan, “Daerah ini tidak bagus. Hawanya angker,” tiba-tiba Fandy berceletuk aneh.
“Omonganmu akan ngefek buat nakutin Dimas. Buat aku nggak!” dengusku.
Tak ada yang menanggapi celoteh Fandy yang sok tahu itu. Nggak penting juga.
Belum sampai kami tiba di jalan raya,
“Itu ada warung!” Fandy berucap lagi. Kali ini sambil menunjuk ke
samping, ke arah sebuah warung kecil yang masih buka.
Erik menawari Cecile lebih dulu apakah ia
mau makan di warung itu. Cewek tembem itu tak keberatan. Fillipe ikut
saja apa yang disetujui pacarnya. Well, syukurlah mereka bukan
bule yang jaim. Kami menuju ke warung. Tampilannya serupa dengan warteg,
dengan penerangan yang tak begitu benderang. Tiangnya dibubuhi papan
menu ala kadarnya.
“Kare, rawon, mi rebus, nasi goreng…” aku membaca menu-menu yang ditulis di papan itu. “Mana yang kalian doyan?”
Pemilik warung itu seorang mbak-mbak yang
tampangnya sudah mengantuk. Kami bergiliran menyebut menu pilihan kami.
Aku rawon, Fandy nasi goreng, Erik kare, Cecile dan Fillipe masih perlu
berpikir. Karena keduanya masih ragu, Erik menawari mereka untuk
memilih kare. Karena kare sudah cukup dikenal dalam kuliner orang Barat,
begitu alasannya.
“It’s curry, served with rice,” jelas Erik.
Akhirnya Cecile setuju mencobanya. Tapi
Fillipe malah memilih nasi goreng. Iya, sih… nasi goreng juga dikenal di
mana-mana. Lalu kenapa tadinya Cecile tak langsung memilih nasi goreng
saja? Atau, kenapa Fillipe tak mencoba kare seperti pacarnya? Hmm, bukan pertanyaan penting.
Kami tak terburu-buru. Biarpun ini
pertama kalinya aku ke Bali, aku sudah mempelajari beberapa hal penting
demi perjalanan ini. Salah satunya, kapal ferry untuk
menyeberang ke Bali beroperasi dua puluh empat jam. Jadi nggak bakal
kami kehabisan kapal. Lagipula, idealnya kami menyeberang menjelang pagi
saja. Kalau kami buru-buru menyeberang sekarang, kami akan tiba di
Gilimanuk jam satu dinihari. Terus mau ngapain jam segitu di Gilimanuk?
Mau langsung cari bus buat ke tujuan berikutnya? Busnya baru ada jam
empat pagi!
Kami sudah bahas itu saat masih di kereta
tadi. Kami bisa bersantai dulu di sini untuk mengendurkan saraf setelah
seharian duduk di kereta. Setelah tiba di Bali nanti, aku dan Fandy
akan turun di kota Negara untuk menemui Mas Awan. Sedangkan Erik bersama
dua bule itu akan meneruskan perjalanan sampai Denpasar. Rencana mereka
berikutnya apa, aku nggak tahu.
Aku tadi sudah menghubungi Mas Awan lewat
SMS. Aku bilang akan tiba di Bali besok pagi. Aku bertanya bagaimana
aku bisa menemuinya. Dia bilang, SMS saja kalau sudah tiba.
Maka dia akan menjemput kami di terminal Negara. Apa saja yang akan kami
lakukan selanjutnya, aku juga belum tahu. Tergantung pertemuan kami
akan menghasilkan apa. Jika masih belum ada informasi tentang di mana
Dimas berada, berarti kami akan ke Badung untuk menemui Mas Dika. Jika
Mas Dika juga masih belum memiliki informasi yang kami butuhkan,
yaahhhh… kami akan terus mencari selagi masih mungkin.
Sekarang, kami mau mengisi perut dulu.
Minuman dihidangkan lebih dulu. Aku dan Erik memesan kopi, sedangkan
Cecile kompak bersama Fillipe memilih soft drink. Fandy membuat
pilihan paling nyeleneh. Dia mengambil minuman berbotol tambun, mirip
botol bir ukuran kecil. Tapi itu bukan bir.
“Kalian ada yang ingat?” lontarnya sambil memamerkan minuman botol itu di tengah meja. “Ini namanya ‘Temulawak’.”
Aku mengernyit. Mengira dia cuma
berkelakar secara tidak lucu. Kuraih botol itu untuk kuamati. Ternyata,
setelah kuamati lebih dekat logo yang ditempel pada botol itu, di situ
memang tertulis: TEMULAWAK. Bahkan gambarnya, biarpun aku belum pernah
melihat wujud asli tanaman itu, kurasa itu memang gambar sebongkah
temulawak. Kutaruh lagi botol itu di tengah meja.
“What does it mean?” tanya Fillipe masih belum paham.
“It’s curcuma,” jelas Erik,
menyebut istilah Latin tanaman itu. “Aku ingat, minuman itu pernah
populer waktu aku kecil. Kupikir sekarang sudah tidak diproduksi.”
“Dulu di tempatku juga banyak yang menjual,” sahut Fandy. “Seingatku, sejak aku SMP sudah tak pernah melihatnya lagi.”
Kami semua seperti anak-anak SD sedang
mengamati semacam benda asing yang sangat memukau. Botol kecil tambun
bergambar temulawak itu berdiri di tengah meja, tak ubahnya sebuah lampu
jin, atau botol arak yang dipakai pendeta Tao untuk mengurung roh
jahat. Atau pesawat antariksa yang dipakai Tintin dan Kapten Haddock
untuk ke bulan. Atau menara Eiffel.
“Kenapa namanya Temulawak?” tanyaku.
“Karena memang dibuat dari sari temulawak,” jawab Erik.
“Dengan proses karbonasi,” tambah Fandy. Dia menjelaskan ke Cecile dan Fillipe, “This is soda. Just like cola. But this is curcuma. Today, this has been very rare.”
Aku nggak habis pikir, minuman soda rasa temulawak itu nggak jauh beda seperti pizza rasa pecel. Burger jerohan, spaghetti kangkung, cocktail mengkudu. “Kenapa nggak rasa jeruk, atau jambu, atau nanas? Kenapa temulawak? Kenapa jamu dibikin soda?”
“Karena pembuatnya bukan penganut mainstream,” tukas Erik.
“Tapi Temulawak akhirnya jadi mainstream juga waktu itu. Banyak orang yang suka,” sanggah Fandy. Lalu tampangnya yang culun itu larut ke dalam khotbah, “Mainstream atau bukan, itu bukan masalah. Musik, makanan, minuman, akhirnya selalu kembali kepada hal yang paling esensial: rasa.”
Cieeee…!
“Jadi seperti apa rasanya?” Cecile bertanya, tampak tertarik.
Segera Fillipe mengambil sebotol lagi
Temulawak, untuk pacarnya itu. Aku menyambar botol yang di tengah meja,
yang seharusnya milik Fandy. Kubuka lebih dulu, kucicipi dengan sedotan.
Bersamaan dengan Cecile dan Fillipe yang berbagi sebotol berdua.
“Hmmm, not bad,” celetuk Fillipe.
“Ternyata enak juga,” gumamku setelah mencicipi minuman itu. “Tadinya kupikir rasanya pahit.”
Karena ternyata rasa Temulawak ini enak,
aku nggak jadi meminum kopiku. Kusodorkan kopiku ke Fandy sebagai
barter. Aku minum Temulawak saja. Jadilah dia ngedumel.
Setelah rempong mendiskusikan minuman,
barulah menu makan diantarkan ke meja kami. Rawon dan kare lebih dulu.
Lima menit kemudian barulah nasi goreng menyusul. Baru makan sesendok,
Cecile menunjukkan mimik tak cocok dengan menu yang dipesannya.
“If it’s not good, just leave it. Tak perlu segan,” ujar Erik, menyadari Cecile tidak cocok dengan nasi kare ala Jawa.
“OK, sorry,” dengan mimik kecewa
bercampur sungkan Cecile berhenti memakan karenya. Dia bilang makanan
itu terlalu bersantan. Dia nggak cocok.
Fillipe menghibur kekasihnya dengan berbagi nasi goreng. Jadilah seperti lagu dangdut: Sepiring Berdua.
Mereka pun sukses bikin cemburu. Aku melirik Fandy dan Erik, tampang
mereka galau. Melihat Cecile bermesraan dengan Fillipe, Fandy pasti
ingat Dimas. Erik pasti ingat Amanda. Aku? Pingin hajar Amos!
“Aku juga bagi nasi gorengnya, dong…” aku
menciduk nasi goreng milik Fandy dengan sendokku. Gantian aku
menawarkan rawonku padanya, “Mau?”
Fandy jaim tak menjawab. Dia menjauhkan piringnya dariku.
Ada lebih dari sejam kami bersantai di
warung. Makan-minum sambil mengobrol hal-hal tak serius. Cecile sempat
agak mengulik soal keluargaku yang ‘tinggal’ di Bali. Memang, aku tak
mungkin membicarakan soal Dimas ke dua bule yang baru kami kenal itu.
Erik cukup paham itu, makanya dia tak mendahuluiku bicara soal alasan
kenapa aku dan Fandy akan turun di Negara. Aku bilang ke Cecile dan
Fillipe, bahwa aku akan mengunjungi keluarga. Saat Cecile menguliknya,
aku sempat agak gugup memberi jawaban. Tapi, aku bukan orang yang nggak
bisa bohong. Kalian tahu itu.
Selesai makan dan meninggalkan warung,
kami melanjutkan perjalanan untuk menuju pelabuhan. Tiba di jalan raya,
papan penunjuk lokasi pelabuhan dengan mudah kami temukan. Tapi waktu
masih begini longgar, kami melangkah dengan santai sambil menikmati
suasana malam di Ketapang. Di sini begitu kontras dengan suasana di
stasiun tadi. Sepanjang jalan raya yang mengarah ke pelabuhan ini tampak
jauh lebih terang, dan masih cukup ramai meski sudah dinihari. Ada pos
ojek dan becak. Ada beberapa toko yang masih buka. Ada beberapa warung
gerobak dengan penerangan lampu minyak. Kami sempat berfoto-foto dengan
beberapa latar belakang, termasuk gapura yang tulisannya terpampang
jelas: ‘Selamat Datang Di Pelabuhan Penyeberangan Ketapang’.
Fillipe pamit mau membeli sesuatu di sebuah mart
yang ada di sebarang jalan. Aku, Erik, dan Cecile, sepakat menunggu di
dekat gapura pelabuhan. Sedangkan Fandy mengikuti cowok bule itu,
katanya dia juga hendak beli sesuatu.
“Is this your first time to Bali?” Cecile bertanya padaku.
“Ya,” jawabku. “Maybe that’s funny for you.
Jawa sangat dekat dengan Bali. Tapi nggak semua orang Jawa pernah ke
Bali. Nggak semua orang Indonesia pernah. Padahal semua orang dari
penjuru dunia datang ke Bali.”
Cecile tertawa kecil. “Kamu ada keluarga di Bali. Seharusnya kamu sering ke sana,” celetuknya.
Kulirik raut muka Erik seperti ingin
menertawaiku, tapi dia nggak berani. Sedangkan Cecile berucap tampak
tanpa praduga. Dia cuma cewek bule yang ramah, tak bermaksud menyindir
kebohonganku.
“Kamu tidak ingin bergabung, setelah dari tempat keluargamu?” Cecile bertanya.
“Emhh, ingin. Tapi kita lihat saja nanti,” jawabku. Tak bisa berjanji apa-apa, meski sebenarnya aku sangat ingin.
“Maybe next year, saya ingin study music di Bali. Setelah di Jogja selesai,” gumam Cecile setengah beranda-andai.
“Nice plan. Gamelan Bali juga enak didengar,” sahutku.
“Dan dia juga punya keunikan sendiri,” sambung Cecile dengan aksennya yang kaku. “Mereka membuat gamelan dari… bamboo. Gamelan Jawa tak memakai itu.”
“Sebenarnya ada juga musik bambu di Jawa,” Erik menyanggah. “Hanya saja kurang populer.”
Cecile manggut-manggut. Matanya yang biru
terang seperti menyorotkan rasa ingin tahu yang lebih. Seperti dia akan
selalu senang tiap kali mendengar sesuatu tentang gamelan.
“Di sini, Banyuwangi juga punya gaya
gamelan sendiri,” Erik meneruskan ulasannya. “Sangat unik. Gamelan
Banyuwangi adalah paduan musik Jawa, Bali, dan Cina.”
“Wow! Apa benar?”
“Ya. Gamelan ada banyak gaya. Gaya Sunda, Bali, Jawa…”
“And as I know, Jawa juga ada
variasi lagi. Ada Jogja, Solo, Banyumas… tapi saya baru dengar sekarang
ada Banyuwangi,” Cecile menimpali begitu antusias, membuat Bahasa
Indonesia-nya yang kaku jadi terdengar tambah lucu.
“Kesimpulannya, satu-dua tahun nggak akan cukup buat mempelajari gamelan,” ceplosku.
Cecile tertawa lebar. “I guess you right. Satu tahun di sini sangat tidak terasa. Dan saya masih belum cukup pintar dengan yang saya pelajari.”
“Apakah menurutmu kamu akan betah?” pancing Erik.
Cecile tertawa lebih pelan. Mimiknya berubah lebih roman. “Kalian tahu Claude Debussy?” lontarnya.
Debussy? Aku tak terlalu asing dengan nama itu. Sepertinya cukup sering dengar, tapi aku nggak tahu siapa dia.
“Komposer Perancis. Aku tahu beberapa lagunya,” Erik ternyata lebih tahu.
“Saya mengerti, kalian lebih tahu Mozart
atau Chopin,” seloroh Cecile menyidir kami. “Tetapi, Debussy adalah
komposer pada jaman itu yang…” dia kesulitan menjelaskan dalam Bahasa
Indonesia, “…maybe he was the first known, who used gamelan scales for his classical music.”
Kuperjelas, “Does it mean his classical music was influenced by gamelan?”
“Ya. He did. Tepatnya, music-nya adalah Impressionist,” tandas Cecile dengan anggukan tegas. “Saya menyukainya sejak kecil. Saya tahu dia gunakan music Jawa sebagai inspirasi. Tapi saya belum mendengar gamelan sampai teman saya mengenalkannya. Tiba-tiba… I felt a connection. Saya putuskan untuk ke Indonesia. Saya tak memikirkan tentang saya akan betah atau tidak. I am just connected. Saya jatuh cinta dengan music ini.”
Ulasan Cecile membuatku tersenyum.
Rupanya, begitu banyak keputusan yang diambil seseorang kemudian
disimpulkan ke dalam satu alasan: cinta. Cinta memang bisa
terhadap apapun, musik adalah salah satunya. Cinta terhadap seseorang,
itu juga salah satunya. Seseorang itu bisa kekasih. Seperti Fillipe yang
menyusul ke Indonesia demi Cecile.
Bisa juga cinta itu tentang keluarga. Seperti…? Kalian tahu sendiri.
Maka isi kepalaku kembali dipenuhi pertanyaan: Jadi sesungguhnya apa yang membuat Dimas pergi? Benarkah
hanya karena merasa terusir? Benarkah karena tersingkir? Seperti apakah
cinta yang dia pikirkan ketika membuat keputusan untuk pergi? Dia
menyurati Fandy. Tapi tidak ke keluarganya sendiri. Aku semakin merasa
tak sungguh-sungguh mengenal saudaraku itu. Tapi aku tetap yakin, ini
semua bukan karena tak ada cinta lagi. Jadi, apa yang ada di pikirannya?
Fandy dan Fillipe sudah keluar dari mart.
Mereka menyeberang menghampiri kami. Lalu berlima kami masuk ke
pelabuhan. Kusangka kami bakal antre untuk beli karcis, ternyata tidak.
Sepi. Erik bertanya ke penjaga karcis, apakah boleh kami tak langsung ke
kapal, karena mau menunggu pagi dulu. Penjaga bilang boleh. So, kami akan lakukan sesuai rencana. Menyeberang saat subuh nanti.
Rupanya kami memang berada di titik yang
lebih lengang. Sedangkan di beberapa titik lain tampak kerumun kendaraan
dari motor sampai bus, sebagian diparkir, sebagian mengantre di
dermaga. Kerumun orang juga tampak di sekitar dermaga. Ramai, meski tak
seramai yang kubayangkan.
Aku nggak tahu di mana tepatnya posisi
kami ini, ada taman kecil dengan beberapa bangku panjang yang kami pakai
untuk duduk. Kurasa kami tadi tak masuk melalui jalan masuk utama,
begitu juga loket tadi bukan loket utama. Makanya kami nggak perlu
antre. Tampak bangunan lain yang lebih besar dan lebih mirip untuk
disebut entrance utama, ada agak jauh dari tempat kami duduk. Tampak ada lalu-lalang orang di sana, meski nggak terlalu ramai juga.
“Ini terlalu sepi. Padahal seharusnya ini sudah high season di Bali,” Erik berujar.
“Mungkin karena ini jam dua dinihari,” sahutku sambil rebahan di bangku panjang. “Nanti pagi mungkin akan membeludak.”
Fandy pamit mencari toilet. Fillipe
mengikutinya. Cecile pilih rebahan saja di bangku sepertiku, menjaga
bawaan. Erik duduk-duduk bermain gadget.
“Dapat sinyal radio,” gumam Erik. “O my God, you want to listen this!”
Omongan Erik membuat Cecile cepat-cepat bangun lagi. Dengan antusias dia mendekat ke Erik untuk mendengar siaran radio di gadget itu. Suara gamelan. Biar kutebak, itu gamelan Banyuwangi! Keduanya segera larut membicarakannya.
Aku bangun dari rebahan. Bukan untuk
bergabung dengan Erik dan Cecile. Aku menengok ke arah di mana bisa
kulihat Fandy dan Fillipe sedang berjalan di kejauhan. Mereka masih
mencari toilet. Akhirnya, kurasa mereka berhasil menemukannya.
“Aku juga mau ke toilet,” ucapku, pamit ke dua orang yang tersisa di taman ini.
“Kenapa nggak tadi sekalian?” sahut Erik acuh tak acuh.
“Aku malas mondar-mandir,” balasku sambil jalan.
Aku menuju ke tempat yang sudah ditemukan
oleh Fandy dan Fillipe. Toilet dengan penerangan yang cukup baik, tapi
sepi. Setidaknya tampak bersih, jauh lebih layak daripada semak-semak.
Kudengar suara Fandy dan Fillipe
bercakap-cakap di dalam. Disertai tawa-tawa. Saat aku masuk, mereka
tampak kaget. Kurasa mereka sudah selesai kencing, berdua sedang di
depan wastafel.
“Now you get out, I wanna pee,” tukasku, berjalan cuek mencari ceruk yang paling aman untuk kencing. Aman dari mata usil.
“You are too shy!” Fillipe mencibirku sambil tertawa. Mereka berdua keluar.
Beberapa menit kemudian aku juga sudah
selesai. Di luar toilet, kulihat Fandy dan Fillipe sudah berjalan
kembali ke taman tadi. Tapi aku belum ingin kembali ke sana.
Aku berjalan sendiri. Melihat-lihat
suasana Pelabuhan Ketapang. Menghampiri lebih dekat suara riak air laut
yang menyepak-nyepak di bawah tanggul. Sesekali suaranya disahut oleh
dengung kapal. Mencuat aroma minyak, bahan bakar, atau entah apa. Tak
ada angin sejuk, sepertinya udara sudah disumpali karbon mesin kapal dan
bus-mobil yang setiap hari hilir-mudik di sini. Jika ada dermaga, itu
juga bukan dermaga kayu yang indah seperti di film-film. Yang ada
dermaga besi, kaku dan tak romantis sama sekali.
Hmmhhh. Laut memang tak selalu
romantis. Dermaga juga tak selalu cantik. Pelabuhan ini tak manis sama
sekali. Ini bukan tempat yang cocok untuk menggugah cinta dalam diri
seseorang. Seharusnya begitu. Meski setahuku cinta itu memang sulit
ditebak. Antara cinta atau nafsu kadang juga rancu. Aku gundah. Benar aku gundah. Kenapa?!
Menunggu terasa panjang. Aku melewat
inya
dengan mencari apapun yang bisa kunikmati di pelabuhan yang hambar ini.
Ya, tiba-tiba saja semua terasa hambar. Aku menonton orang memancing,
menonton kapal bertambat dan berlabuh, melihati bintang dan
kerlap-kerlip lampu di kejauhan. Tak terhibur. Hingga akhirnya aku
kembali ke taman agar bisa berbaring lagi di bangku panjang. Menyusul
teman-temanku yang sudah tepar duluan.
Erik yang pertama kali membangunkanku.
Lalu membangunkan yang lain. Sudah jam empat pagi. Saatnya menuju ke
kapal, dan menyeberang. Ya, akhirnya menyeberang juga.
Kapal tak terlalu penuh. Nggak ada kursi
empuk, bahkan kursi taman tadi jauh lebih nyaman karena bisa untuk
berbaring. Belum lagi di sini berbau sedikit pesing. Aku duduk masih
dengan sisa letih dan kantuk. Kurasa yang lain juga. Kecuali Fandy, dia
tampak berdiri menyendiri di balkon kapal. Cari angin, atau menikmati
pemandangan mungkin. Aku berdiri, menyeimbangkan sejenak dengan goyangan
kapal yang telah bergerak membelah air selat. Aku menghampiri Fandy.
“Fajar sudah terlihat,” dia menggumam.
Ya, kami semakin mendekati Pulau Dewata.
Pulau itu terlihat hanya semacam gundukan besar yang hitam, dihiasi
kerlap-kerlip lampu. Tak terlihat istimewa sama sekali, tak memberi
tanda sedikitpun bahwa itu adalah Pulau Bali yang punya reputasi sebagai
biang wisata kelas wahid di dunia. Yeah, kurasa pulau apapun akan
tampak seperti itu ketika jarak pandang masih cukup jauh dan dilihat
saat pagi buta.
Tapi itu bukan untuk menyangkal pesona
fajar yang mulai menyembul di balik pulau. Ada berkas tipis di beberapa
sisi gundukan besar itu, terang samar-samar dan sedikit kekuningan. Air
laut masih terlihat hitam. Tapi udara terasa lebih bersih, tak seperti
ketika masih di pelabuhan tadi. Sepantasnya udara pagi di atas air,
sejuk semilir oleh hempasan laju kapal. Fajar yang tadinya masih
mengintip, sekarang kian terbeliak mengganti cakrawala dengan cahaya
pagi. Ya, cukup sebagai alasan untuk membuatku puitis lagi.
“Sebentar lagi kita akan berpisah dengan
mereka,” gumamku, mengacu pada tiga teman kami yang duduk
terkantuk-kantuk di kursi sana. Mereka melewatkan sesuatu yang
seharusnya mereka nikmati.
“Bukannya masih jauh untuk ke Negara?” sahut Fandy.
“Sekitar satu jam, kalau nggak salah,” jawabku.
Kapal telah merapat ke Pelabuhan
Gilimanuk. Pagi sudah cukup terang, meski mentari masih di kaki
pepohonan. Kami turun dari kapal. Kini telah menapakkan kaki di pulau
yang berbeda.
“Welcome to Bali!” Erik berseloroh.
Cecile dan Fillipe ber-’whoohoo‘
bersahutan. Bertingkah seperti anak kecil yang baru saja menjejakkan
kaki di arena bermain. Berkicauan dalam Bahasa Perancis dengan ekspresi
mereka yang riang. Keluar dari pelabuhan, kami dapati sebuah gapura
besar dengan corak yang khas. Corak Bali pastinya. Cecile mengajak
berfoto-ria. Seratus meter kemudian kami tiba di pos pemeriksaan KTP.
Cecile mengajak berfoto lagi, dengan background pos pemeriksaan itu. Ya ampun, kali ini dia lebay!
Sambil melangkah santai, kukirim SMS ke Papa. “Br turun dari ferry. Skrg sdh di Bali. Smua lancar.”
Papa membalas singkat. “Sip!”
Tak sampai setengah kilometer dari
pelabuhan, lokasi terminal Gilimanuk berada. Situasi terminal sudah
cukup ramai. Kicau orang-orang semakin campur aduk di sini. Ada yang
berbahasa Jawa dengan logat Jawa Timur. Ada yang berbahasa Bali, dengan
aksen ‘th’ dan ‘a’-nya yang khas. Di sini juga tampak beberapa bule,
bicara dengan bahasa mereka. Banyak pula sosok-sosok dengan penampilan
khas, misalnya para pria dengan ikat kain di kepala, atau lelaki tua
yang berjanggut dan bergelung dengan pakaian serba putih. Hmmm,
ternyata Bali memang hanya ada di Bali. Bangunannya bisa dicontek di
tempat lain. Tarian dan musiknya bisa dimainkan di manapun. Tapi suasana
seperti ini, kurasa tak bisa diduplikasi di tempat lain. Sekarang, Bali
tak lagi hanya gundukan hitam di ujung selat. Inilah Bali yang
mengesankan!
Kami naik ke bus berukuran medium,
jurusan Gilimanuk-Denpasar. Formasi kursi dipasang dua-dua di
kanan-kiri. Kecuali deret belakang, ada enam kursi. Karenanya kami
memilih duduk di deret belakang, biar bisa duduk berjajar. Fandy
kudorong ke kursi paling pinggir bagian kanan, lalu aku duduk di
sebelahnya. Di kananku duduk berurutan: Fillipe, Cecile, Erik. Tak
menunggu lama, bus berangkat. Jam enam lebih seperempat.
Cecile dan Erik yang lebih banyak
mengobrol. Fillipe sesekali menanggapi mereka. Aku tak antusias untuk
menimbrung. Karena Fandy berada di sudut dan terhalang aku, kalaupun dia
ingin menimbrung juga nggak bisa. Dan dia kelihatan kesal. Akhirnya dia
memilih diam saja melihat pemandangan di luar jendela.
“Ini juga pertama kalinya kamu ke Bali?” aku mengajaknya ngobrol.
“Kedua. Sudah pernah waktu kecil,” jawabnya agak malas.
“Sekarang masih berkesan?”
“Nanti saja kalau sudah selesai.”
Oke. Dia nggak ingin mengobrol denganku.
Aku tak meneruskan obrolanku dengannya. Aku juga tak memindah obrolan ke
tiga temanku yang lain. Biar mereka saja yang mengobrol.
Kondektur menarik ongkos kepada kami. Aku
sudah belajar sedikit pedoman tentang membayar ongkos. Jika kamu sedang
pergi ke tempat yang belum pernah kamu kunjungi sebelumnya, kamu jangan
malas memanfaatkan internet! Sebelum pergi, carilah info berapa ongkos
perjalanan yang seharusnya. Kenapa? Karena kondektur bus terlatih untuk
menilai penumpangnya. Saat kamu bertanya ke kondektur, “berapa?”,
maka dia akan tahu bahwa ini pertama kalinya kamu pergi dengan bus itu.
Dia akan membuat ongkos yang lebih mahal. Karena kamu belum pernah naik
bus itu maka kamu tak tahu berapa ongkos yang benar. Maka kamu tak bisa
menawar.Kamu jadi korban kondektur!
Jika kamu sudah dapat info yang benar tentang ongkosnya, bayarlah dengan uang pas! Buatlah kondektur itu menjadi yakin: Oke, penumpang ini sudah tahu ongkosnya. Maka dia nggak bisa mark-up ongkosmu!
Kusodorkan uang dua puluh ribu kepada
kondektur. “Turun Negara. Dua orang sama dia,” jelasku sambil menunjuk
Fandy. Kondektur itu mengangguk, meninggalkan kami. Nah, begitu caranya!
“Kamu bayar berapa?” lontar Erik padaku.
“Dua puluh ribu, berdua sama Fandy,” jawabku.
“Nggak dikasih kembalian?”
Aku menggeleng. “Ongkosnya memang segitu.”
“Dari mana kamu tahu?”
“Internet.”
Erik tertawa masam. “Aku tahunya dari teman-temanku di komunitas backpacker. Seharusnya kamu masih dapat kembalian lima ribu. Penulis di internet yang kamu baca itu mungkin seorang kondektur.”
“Atau sama-sama korban kondektur,” Fandy menyahut.
Lidahku seperti digigit kucing. Damn!
“Kenapa kamu nggak bilang dari tadi?” tukasku.
“Kamu nggak tanya.”
“Dan setelah aku bayar, baru kamu tanya?”
Erik malah tertawa saja. Kampret! Terus aku harus minta kembalian lima ribu rupiah ke kondektur tadi? Huh, ambil saja, Bli! Semoga harimu menyenangkan!
Jembrana, kabupaten yang kami lewati.
Gilimanuk adalah bagian dari Kabupaten Jembrana. Negara adalah pusat
kotanya. Perjalanan Gilimanuk-Negara, beberapa kali melewati kawasan
hutan. Fandy menyinggung, ini mirip dengan perjalanan memasuki daerah
Ngawi dari arah Sragen, katanya juga melewati kawasan hutan yang amat
panjang. Tapi di Jembrana ini sepertinya lebih aman, tak ada bus
ugal-ugalan jurusan Jogja-Surabaya yang suka menjajah jalanan.
Pastinya, pemandangan yang kami lewati di
Jembrana ini juga lebih bisa dinikmati. Karena Jembrana tak melulu
hutan. Beberapa kali tampak juga pemandangan laut agak di kejauhan. Saat
melewati kawasan permukiman, terlihat bangunan-bangunan dengan
arsitektur tradisional yang kental. Di Jawa, mungkin hanya satu persen
saja arsitektur tradisional yang bisa ditemukan di pinggir jalan. Di
Bali, bisa dilihat arsitektur tradisional itu bertebaran dengan rapi di
pinggir jalan yang kami lewati. Khas Bali pastinya, meski katanya
Jembrana adalah kabupaten yang punya penduduk migran dari Jawa paling
banyak. Jembrana tetap terasa Bali, setidaknya itu yang kurasakan dari
balik jendela bus.
Jam setengah delapan, kami tiba di terminal Negara. Saatnya untuk berpisah dengan tiga kawanku yang lain. Berat hati? Sedikit.
“Kita pisah di sini, Rik,” ucapku seraya mengulurkan tangan. Tak banyak basa-basi.
Erik membalas. “Oke. Goodluck, ya!”
Aku juga menjabat Cecile dan Fillipe. Fandy melakukan hal yang sama.
“We’ll be waiting you to join with us,” ucap Fillipe.
“We’ll see then. We’ll text you,” Fandy membalas.
Jalan-jalan bersama mereka memang
menggoda. Apalagi ini Bali, siapapun ingin jalan-jalan di sini dengan
siapapun yang bisa menjadi kawan yang asyik. Tapi mengingat tujuan utama
kemari, itu lebih penting. Ketika waktu untuk pamit tiba, kami pamit.
“Tetap kontak, ya!” pesan Erik.
“Pasti, lah. Katanya kamu siap bantu kalau ada apa-apa. Aku pegang omonganmu!” ucapku sambil turun dari bus.
Mereka melambai dari balik jendela. Kulihat, kurasa raut muka Fandy menunjukkan hati yang lebih berat dariku untuk berpisah.
“Mereka memang asyik. Sayang kita kemari bukan untuk itu,” ujarku sambil menggamit pundak Fandy, meninggalkan bus di belakang. Move on. “Kalau nanti memang masih ada kesempatan buat ketemu mereka, kita pasti gabung lagi dengan mereka.”
“Kamu ngomong seolah aku terlalu cengeng dengan perpisahan ini,” gumam Fandy, balasan yang tak terpikir olehku.
“Aku nggak ada maksud gitu. Tapi karena
kamu bilang begitu, aku malah jadi yakin kalau perpisahan ini memang
bikin kamu sensitif.”
Dia tak membalas. Cuma tertawa tipis sedikit mendengus. Sambil menggoyangkan punggungnya, menepis tanganku dari pundaknya. Padahal aku nggak bermaksud romantis.
Kami singgah di sebuah warung di depan
terminal. Kami pesan dua gelas teh hangat, sambil mencomot beberapa
potong roti. Kami duduk di bangku depan warung, aku sengaja tak ingin
duduk di dalam. Aku dan Fandy tak bicara apa-apa. Cuma diam menikmati
teh hangat, untuk pagi hari di kota Negara yang baru pertama kali
kusinggahi ini. Kota Solo lebih ramai dari kota ini. Tapi sejujurnya,
suasana ini lebih kucari saat ini. Tenang, sejuk, tidak terlampau
bising. Bus yang tadi kami tumpangi sudah mulai bertolak dari terminal,
melanjutkan rute ke Denpasar. Kulihat mereka tampak melambai lagi dari
dalam bus. Kami berdua membalas dengan lambaian, melepas kawan-kawan
kami meneruskan perjalanan mereka.
“Hmmhhh. Ada komentar?” cetusku mengakhiri kebisuan.
“Apa?” Fandy belum tanggap maksudku.
“Akhirnya kita sudah di Bali. Aku mau memastikan, apakah kamu masih pada tujuan utama kita?”
“Aku tahu tujuan kita. Makanya aku nggak ikut mereka.”
Aku tersenyum masam. Sebenarnya agak enggan untuk mengungkit, tapi kurasa ini harus dibicarakan.
“Kamu cerita, cinta itu soal pembuktian,” singgungku. “Terus, apakah ini masih termasuk pembuktianmu?”
Aku mendapati raut yang bingung, sedikit tak nyaman. Lalu dia tertawa hambar. “Ini masih pagi. Mau ngomongin yang berat-berat?”
Dia mencoba berkelit.
Setelah meminum teh, dia berucap lagi,
“Berapa kali harus kubilang, aku dan kakakmu bukannya sudah nggak ada
perasaan lagi. Masih! Pertanyaanmu itu seperti nggak ada juntrungnya.”
“Kalau begitu, kuubah pertanyaanku,”
sahutku. Minum teh sejenak. Kemudian, “Semalam kamu melakukan sesuatu
dengan Fillipe di toilet. Itu pembuktian atas apa?”
Dia seketika tampak tersentak. Terpaku
tak bergerak, tak berani memaling untuk menatapku. Tampangnya yang
biasanya lugu, atau sok lugu itu, perlahan tampak memerah. Kaku membisu.
Beberapa detik, setengah menit mungkin.
Dia masih sempat minum tehnya lagi. Kemudian, “Kamu…?!”
“Ya, aku mengintip,” aku langsung
menyahut. “Ada lubang kunci yang cukup untuk mataku. Kutangkap bayangan
kalian di cermin wastafel. Kalian berciuman. Oke, itu membuktikan
kelancanganku. Tapi untukmu, itu membuktikan apa?”
Kekasih Dimas itu terdiam lagi. Lalu, dia tak bisa menjawab selain umpatan, “Shit!”
Aku menghela napas. Beberapa kali.
“Sorry,” ucapku pelan. “Tenanglah, aku nggak sedang marah, kok.”
“Aku yang sedang marah!” tukasnya gusar. Tepatnya mati kutu.
“Aku perlu pastikan situasi kita saat
ini,” jelasku datar. “Kita sudah jauh-jauh kemari. Tujuanku jelas,
mencari saudaraku. Tujuanmu?”
Dia terdiam lagi. Membuang arah matanya
jauh-jauh dariku. Aku mendengus, tertawa pahit melihat bahasa tubuhnya
yang salah tingkah itu. Sekarang, dia sama sekali tak terlihat lugu.
Memang, tentu saja dia bukan Fandy yang sama dengan ketika pertama aku
mengenalnya. Kepribadian orang pasti berkembang. Hanya saja, aku tak
sampai menduga akan melihatnya bertindak seperti tadi malam di toilet….
Aku shock saat melihatnya!
“Lu bilang demi orang yang lu cintai.
Tapi tiba-tiba semalam lu ciuman sama cowok bule yang sudah punya
cewek,” dengusku. Datar, menekan emosi.
Kami terdiam. Hampir semenit cuma
termangu, menatap suasana kota Negara yang tampak semakin ramai. Dengan
gelas teh di tangan yang kian surut hangatnya.
“Aku bingung mikirin tingkahmu itu,” aku
lagi yang mengakhiri kebisuan. “Demi kebaikanmu, Fan, benar kamu masih
pada tujuanmu yang semula? Mencari Dimas? Orang yang kamu bilang masih
kamu cintai?”
Dia meremas-remas rambutnya. Raut
marahnya perlahan pupus. Berubah menjadi entah rasa bersalah, atau cuma
malu saja karena aku sudah mencuri adegannya.
“Ayolah, aku nggak marah. Tapi aku tetap ingin kamu jawab,” tandasku.
Dia mendesah singkat. “Aku tergoda.”
Aku tertawa sinis. “Sejauh mana?”
“Sejauh ciumanku dengannya.”
Aku tertawa tersenggal. Ingin rasanya mengumpat. Tapi aku ingat tadi sudah bilang bahwa aku nggak marah.
“Apa yang ada di pikiranmu waktu ciuman sama dia?”
“Den, jangan menghakimiku!”
“Aku nggak menghakimi. Aku cuma perlu tahu.”
“Tapi kamu bertanya dengan nada sinis!”
“Bukankah sebenarnya wajar kalau aku
sinis?” tukasku, mulai sulit menahan kekesalanku. “Aku sudah baik hati
buat nggak marah. Karena aku tahu nggak mungkin buat ngatur-ngatur kamu.
Cuma, aku berharap kamu paham perbuatanmu. Apa arti ciumanmu dengan
Fillipe? Atau, apa arti pencarian kita sekarang?”
“Nggak ada yang berubah. Kita tetap akan cari Dimas!”
“Karena terpaksa?”
“Aku mencium Fillipe cuma beberapa detik, nggak bisa gantikan dua tahun-ku dengan kakakmu!” Fandy berusaha keras meyakinkanku.
Aku mengangguk-angguk, tapi tetap sangsi. “Jadi, boleh kusimpulkan: semalam kamu cuma bersikap oportunis?”
Sepertinya Fandy tersinggung dengan kesimpulanku. “Aku laki-laki!”
Aku tertawa hampir tersedak. “Wow! Jadi lu pikir gue cewek?”
“Tapi kamu belum menemui godaan sepertiku!”
Kali ini akulah yang agak tersinggung.
“Kamu ingat cewek yang kutinggal di stasiun?” tukasku, membuka kartu.
“Dia mantanku. Dia jauh-jauh dari Medan ngajak balikan. Di hari yang
sama aku ditolak Misha. Aku bisa manfaatkan mantanku buat pelampiasan.
Aku punya kesempatan, aku punya godaan. Tapi tak kulakukan!”
Si Lugu Yang Tidak Polos itu kembali
buang muka. Beberapa saat dia terlihat menyedihkan. Tapi sepertinya dia
semakin bisa menguasai diri. Diambilnya sesuatu dari dompet.
Disodorkannya benda ber-sachet warna oranye itu padaku. Semula kukira permen vitamin C, ternyata….
Aku terpana.
“Sejak di Ketapang, waktu belanja di toko, dia sudah menggodaku,” jelas Fandy, menceritakan seluk-beluk benda ber-sachet yang kini di tanganku.
Mulutku gagu. “Dia ngasih kamu ini?”
“Ya!” tukasnya ketus. “Dia bilang, what do you think if I give you this?”
Keningku berkerut. “Terus, kamu jawab dengan ciuman?”
“Aku nggak senekat itu! Aku masih memikirkan Cecile, bagaimana dengannya? Fillipe jawab, we always do much funs, now why don’t you with me?”
Aku ternganga. “Edan!”
Fandy tertunduk menopang keningnya. “Saat dia bilang begitu, aku tahu itu artinya bukan soal cinta. Tentu saja.”
“Having fun.”
“Ya. Aku jawab, aku nggak bisa.”
“Tapi akhirnya tetap saja lu cium dia!” tukasku. Kembali tertawa. Melihatnya kini menjadi tampak polos lagi. Naif. Bodoh!
“Dia bilang, I know you do flirting with me.
Terus terang, aku nggak bisa bilang dia jelek,” Fandy mengaku, setengah
curhat. “Tapi bukan berarti aku akan lakukan apa saja sama dia.”
Aku menyimak. Tak menyela. Sebenarnya ingin tertawa lagi, antara kesal dan geli. Juga kecewa.
“Dia bilang, Oke, simpan saja kalau kamu tak mau. Tapi tiba-tiba dia duluan me…” dia tak melanjutkan kata yang terpenggal itu.
“Nyipok lu?” aku yang melanjutkannya.
Dia tertawa. Menyedihkan!
“Aku berusaha menghindari kejadian
seperti itu. Tapi, aku nggak bilang ‘aku nggak ingin’. Dan dia tahu itu.
Dia lebih berani, aku terseret.”
“Dia predator. Lu korbannya, yang dengan senang hati menjadi santapannya! Terus, sekarang lu menyesal?”
Sekarang dia kembali menunjukkan mimik kesal padaku. “Menurutmu?”
Aku memandanginya sejenak. Aku
menggeleng. “Nggak, kamu nggak menyesal. Kamu cuma kesal karena
ketahuan,” cetusku datar, apa adanya yang bisa kunilai. “Lu punya sisi
brengsek juga, Fan.”
Dia terdiam. Seperti menyerah saja apa kataku.
“Tapi sebenarnya,” kulanjutkan ucapanku,
sedikit galau, “andai aku bisa sebrengsek kamu, bisa melupakan apapun
soal masa lalu sesaat saja, untuk bisa mengambil keberanian mencium
seseorang, atau tindakan apapun yang bisa mewakili pernyataan bahwa ‘ya, gue suka lu’… aku mungkin sudah jadi dengan Misha sejak dulu.”
Dua ekor ayam lewat di depan kami. Ayam
jago mengejar ayam babon. Lalu kawin. Tak ada semenit. Lalu berpisah.
Ayam jago berkokok, ayam babon kembali mencari makan. Intermeso selesai.
“Faktanya, biarpun lu masih cinta sama
Dimas, tapi dia nggak ngasih kejelasan ke kita,” ulasku, berusaha ringan
hati. “Gue ngerti posisi lu. Sebenarnya lu bisa lupakan Dimas kapan
saja. Gue salut, karena pada akhirnya lu tetap pada rencana kita. Nggak
sama bule-bule itu.”
Dia tersenyum sayu. Tertawa tipis. “Tapi Cecile orang baik,” gumamnya.
“Aku nggak bilang dia jelek. Cecile
menyenangkan. Si Fillipe yang brengsek. Sudah punya cewek, masih godain
lu! Jelas aja lu mau!”
Dia tertawa lagi, kali ini terdengar
lebih baikan. Mengerti dia sekarang, aku memang tak bermaksud
menghakimi. Aku cuma kesal benget sama dia. Oke, gue juga iri!
“Mau tahu pendapatku soal kamu sama
Misha?” dia gantian menilaiku. Tanpa menunggu ijinku, dia berkata, “Aku
ikut berdukacita atas penolakan Misha terhadap dirimu. Tapi, jadikanlah
ini kesempatan bagimu untuk membuat dia menyesali penolakannya. Bukan
untuk menghukumnya, tapi untuk membuatnya lebih mencintaimu dibanding
sebelumnya.” Tiba-tiba dia terdengar seperti psikolog. Motivator.
Aku tertarik. “Oh, ya? Terus, caranya?”
“Pikir sendiri,” tukasnya. Kini menjadi Si Lugu Yang Menyebalkan.
“Nggak lagi-lagi, aku curhat ke seorang homo
soal cinta,” celetukku. Kembali membicarakan perkara semalam, aku
bertanya, “Dengan perbuatanmu semalam, bagaimana kamu memikirkan
Cecile?”
“Den, orang nggak jadi biseksual hanya
karena pertemuan sehari. Fillipe sudah biseksual sejak belum kenal aku.
Bukan salahku kalau Cecile punya pacar biseksual.”
“Bukan berarti tindakanmu nyium Fillipe jadi benar, kan?”
“Itulah kenapa aku cuma menciumnya. Nggak sampai ML sama dia.”
Huh, kalimat ngeles yang basi banget!
Tapi, sekarang pikiranku sudah lebih
ringan. Biarpun masih kesal, setidaknya masalah sudah menjadi jelas.
Fandy mengakui perbuatannya, dengan segala alasan yang dia punya. Aku
menerima ‘kebrengsekannya’. Sebab itu terjadi juga karena Dimas
‘menelantarkannya’. Aku tak akan mencecar lagi soal perbuatannya dengan
bule gatel itu.
Tapi,
“Mana!” dia meminta lagi kondom yang masih ada di tanganku.
Aku segera waspada. “Buat apaan?”
“Nha kamu sendiri buat apaan?”
“Yang pasti bukan untuk ngasih kesempatan lu sama Dimas!”
Dia berani ngeyel, “Kalau kamu kasih,
paling tidak kamu memberi kesempatan aku dan kakakmu untuk melakukannya
secara lebih terpuji.”
“Beuh!” aku mengumpat. “Tujuh tahun lagi baru gue ikhlas!”
“Kenapa selama itu?” dia menawar dengan nada memelas yang terdengar palsu.
“Karena dua lima adalah usia paling pas buat kawin! Bukan sekarang!”
“Kolot!” dia menggerutu.
“Nggak usah pasang tampang sok polos! Nggak ada anak polos merengek minta kondom!”
Setelah tadi kubuat dia mengakui
perbuatannya dan terlihat begitu bodoh, sekarang tiba-tiba raut mukanya
berubah kurangajar menatapku. Lebih dari itu, dia berani mengancamku.
Dan kalimat ancamannya terdengar mengerikan! Dia menuding, “Kalau kamu
nekat menyitanya, aku akan berasumsi bahwa kamu ingin memakainya sendiri
dalam eksperimen seksualmu.”
“What?!” aku tersentak.
Sorot matanya makin mengintimidasiku, “Aku akan berasumsi, kamu mau mencoba masturbasi dengan itu.”
Duk! Kusepak kakinya. “Selama kita kenal, lu nggak pernah bicara sekurangajar ini!”
“Selama kita kenal, kamu nggak pernah sejauh ini mencampuri privasiku.”
Mukaku sampai tersentak ke belakang
karena kaget mendengar balasannya. “Mencampuri privasimu? Perasaan malah
kamu yang mengeksplotasi privasiku?! Kenapa tiba-tiba lu jadi psycho gini, sih?”
“Kamu tidak senang jika aku
mengeksploitasi privasimu?” dia terus menyerang dengan bahasa formalnya
itu. “Kamu lebih dulu mengeksploitasi privasiku! Kamu menguntitku. Kamu
mengintipku. Kamu menyuruhku mengaku dosa di depanmu. Itu pelanggaran
privasi yang parah. Dan mencampuri privasi adalah tanda orang posesif.
Kenapa kamu jadi posesif padaku?”
Aku terperangah kehilangan kata-kata
mendengar semua ucapan Fandy, Si Polos yang tiba-tiba getol
mengintimidasiku. Kok dia jadi gini?
Tiba-tiba dia tertawa lebar, sampai menyipitkan mata. “Kamu tak menyangkalnya? Berarti benar, kamu memang posesif padaku!”
Dia melanjutkan tawanya, seolah merasa
menang dan senang atas kesimpulan yang dia buat sendiri itu. Aku baru
sadar, dia telah mengerjaiku! Oke, akting yang bagus. Kampret!
“Okelah, terserah kamu kalau mau
menganggap begitu,” timpalku, mengalah saja. Kuhabiskan tehku yang sudah
dingin. Lalu sedikit mengerling, “Tapi sekarang aku jadi penasaran
dengan kata-katamu tadi. Benarkah tak cukup hanya sehari untuk membuat
orang jadi biseksual?”
Seketika raut senangnya mengerut.
“Dan korelasinya dengan pembicaraan kita saat ini?” selidiknya, dengan tampang berubah waswas.
Aku tersenyum. “Aku mengenalmu lebih dari sehari. Lebih dari setahun.”
Dia terlihat mulai takut. “Maksudnya…?”
Kutunjukkan padanya, hasil jepretan di HP-ku. Dia tersentak melihatnya!
“Apaan, nih?!” sergahnya, terbelalak memandangi foto itu.
Sekarang, akulah yang tertawa lebar. Hahaha…!
“Ini keterlaluan!” umpatnya. Tapi kemarahannya terlihat palsu bagiku. Aku tak percaya dia sungguh-sungguh marah.
“Jadi kamu lebih ingin kepalamu kubuang dari pundakku? Aku baik hati, aku tahu kamu capek,” sahutku santai.
“Masalahnya adalah: kenapa harus memotretnya? Kamu posesif, dan oportunis!” tukasnya.
Aku merebut HP-ku sebelum dia menghapus foto itu.
“Siapa yang mengutukmu jadi begini?”
lontarnya. Mimiknya lagi-lagi tak mirip orang marah, lebih mirip orang
yang sedang tersanjung.
“Ben bilang, perjalanan ini akan menjadi
petualangan yang bisa mengubah diri kita. Sepertinya kutukannya itu
telah terjadi,” candaku, menikmati raut muka Fandy yang berubah
acak-acakan. Si Unyu Yang Penuh Kepura-puraan!
“Apa maumu?” dia sok-sokan menantangku.
Oke, lu jual gue beli!
“Aku nggak akan ceritakan ke Dimas soal
ciumanmu dengan Fillipe. Aku akan jadi adik ipar yang toleran,” aku
berseloroh dengan tenang. “Tapi, kamu harus menuruti syaratku!”
Dia menelan ludah. Sepertinya sadar, bahwa dia tak cukup pintar memainkan bumerang. Tapi sudah terlambat. Makanya, jangan mengerjai orang yang lebih jahil darimu!
Kujelaskan padanya rencana yang ingin kumainkan.
Tersentaklah dia, memaki-maki. “Kamu gila!”
“Hahaha…. Sedikit.”
Tampaknya menggerutu, tapi aku yakin dia
tak sekesal kelihatannya. Malah, dia tampak seperti tersipu. Setelah
menimbang-nimbang, dia akhirnya sepakat juga.
“Terus, di mana?” tanyanya.
Aku menengok ke beberapa arah. Observasi.
“Kulihat ada beberapa. Kita cari yang nyaman dan tarifnya murah,” gumamku. Lalu kulontarkan sachet
kondom ke atas, seperti melontarkan koin. Kutangkup dengan telapak
tangan. “Kalau sisi oranye, aku yang bayar. Sisi putih, lu yang bayar!”
Kubuka tangkupanku. Yang muncul oranye.
“Oke, gue bayarin!” cetusku sambil tertawa ringan.
Aku bangkit, ke dalam sebentar membayar
teh dan roti. Lalu mengajak Fandy, berjalan menuju ke tempat yang sudah
kubidik. Melancarkan sebuah improvisasi yang kuyakini bakal berjalan
asyik!
Dia mengikuti di belakangku sambil terus
menggerutu. Pura-pura komplain, “Gimana kalau Mas Awan datang? Bukannya
dia mau jemput kita?”
“Kebetulan aku lupa SMS kalau kita sudah tiba di sini.”
“Kamu nggak pikirkan perasaan Misha?”
“Dia cuma menganggapku teman. Jadi dia nggak berhak cemburu! Tapi kurasa dia juga nggak bakal tahu.”
“Kamu gila!”
Aku tertawa.
Ya. Dan gue yang pegang kartu lu. Hahaha…!
bersambung…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar