Karung 13
Antara Aku dan Fandy: Pertautan Yang Aneh
“Hugghh…!” Fandy membuat ekspresi yang
mengagetkanku. Dia seperti mau muntah. Aku didorongnya minggir, lalu dia
cepat-cepat pergi meninggalkan tempat.
“Fan, kenapa?” seruku, masih bengong di depan bilik.
Terpaksa kususul dia. Dia berdiri di
luar, berkacak-pinggang dengan muka tertunduk. Wajahnya memerah seperti
merasa dipermalukan oleh sesuatu.
“Kenapa, sih?” tanyaku.
“Kamu nggak tahu?!”
“Apa?”
Dia malah tambah ngambeg. Melangkah pergi meninggalkanku. “Kita cari tempat lain!” serunya.
Aku mengikutinya di belakang. Kupercepat langkahku untuk mengejar. “Di sana kenapa?” tanyaku, masih bingung.
“Kamu nggak ngecek? Ada ceceran sperma di meja!” tukasnya marah-marah.
Aku terperanjat. Tiba-tiba aku sedang
berjalan-jalan di pinggir kota asing ini, bersama orang yang marah-marah
menyebut kata ‘sperma’.Apa-apaan, nih?
“Sperma?” ulangku sangsi. “Dari mana kamu yakin?”
Dia berhenti, berkacak-pinggang lagi
memandangiku. “Aku nggak percaya tiba-tiba kamu jadi lugu begini!”
tukasnya sambil melotot. “Den, please…! Ini sudah cukup memalukan! Gara-gara rencanamu yang aneh itu!”
“Oke, oke…,” aku menenangkannya, “aku nggak sempat memastikannya sendiri, soalnya cepat-cepat nyusul kamu. Calm down!”
“Kamu pilih warnet yang jorok, dan kamu
suruh aku masuk duluan! Sekarang aku baru sadar ini terlalu
sewenang-wenang! Aku nggak habis pikir kenapa aku jadi bodoh banget gini
mengikuti idemu itu!”
“Hah? Ntar dulu, kayaknya lu jadi manja
banget gini?” aku langsung berubah dongkol. “Aku juga mana tahu kalau
itu tempat habis dipakai buat cabul? Jangan ngelunjak gini, deh!”
“Ngelunjak?” ulangnya dengan nada dingin,
dia terlihat tidak sedang bercanda. “Bukan aku yang diam-diam bikin
foto mesra. Tapi kamu! Anehnya, kamu juga yang mengancam akan bilang ke
Dimas soal ciumanku sama Fillipe. Apakah aku duluan yang nyium cowok
itu? Nggak! Tapi tetap kuakui kesalahanku. Dan kusetujui ide gilamu.
Karena aku takut ancamanmu? Bukan! Karena aku ingin kita bisa menemukan
Dimas, dengan idemu itu! Tapi aku nggak boleh kesal masuk ke tempat yang
menjijikkan itu? Dan kamu ngatain aku ‘ngelunjak’?”
Deg! Aku tak mengira responnya
akan menjadi seserius itu. Tiba-tiba saja kami bertengkar seperti ini.
Dan aku tak pernah menghadapinya semarah itu, untuk masalah yang kupikir
sepele.
“Oke, sorry,” kuulang permintaan
maafku. “Kamu pasti mengerti, aku nggak bermaksud membuat kita masuk ke
tempat yang kotor. Ide ini memang rada gila. Tapi kita akan tempuh
segala kemungkinan demi mengetahui di mana Dimas berada. Aku juga
pertaruhkan reputasiku, kok. Kalau aku ngatain kamu ‘ngelunjak’, itu
memang salahku. Sorry. Oke?”
Dia berhenti menatapku, membuang muka
sambil menghela napas berkali-kali. Kurasa dia bisa mengatasi emosinya.
Aku memang lalai mengingat satu hal, yaitu bahwa dia sudah melawan
keluarganya sendiri demi semua ini. Sudah sejauh ini. Kami berdua
sama-sama punya beban. Kurasa aku terlalu menekannya. Tak sengaja.
“Maafku diterima?”
Dia mengangguk hampir tak terlihat mengangguk. Tampak masih kesal. “Sebaiknya rencana ini tak usah diteruskan,” sergahnya.
“Harus diteruskan!” aku ngotot. Aku
melangkah menduluinya. “Aku yang akan tanggung risiko terbesarnya, yang
menurutku juga nggak besar-besar amat. Kita cari warnet lainnya. Aku
yang akan masuk duluan.”
Fandy mengikuti di belakangku, kudengar dia masih menggerutu. Gantian sengaja kuperlambat langkah, biar dia bisa menyusulku.
Begitu kami sudah bersebelahan lagi, “Kalau sperma-nya Dimas, lu jijik juga?” cibirku sinis.
Buk! Tiba-tiba dia menendang
pantatku. Saat mau kubalas, dia ngacir duluan. Sekarang dia berjalan
agak jauh di depanku. Kubiarkan. Memang, diperlukan sikap mengalah dan
sedikit candaan agar pertengkaran tadi bisa dilupakan. Dasar manja!
“Tapi di bilik tadi, lu nggak sampai sentuh-sentuh kan, Fan?” lontarku di belakang.
“Stop!” tukasnya sambil mengangkat satu tangan. “Jangan omongin itu lagi!”
“Aku cuma ngasih peringatan aja. Kalau lu
nggak sengaja kena itu kotoran, cepat-cepat cuci tangan yang bersih
sana! Kita nggak tahu itu punya siapa. Hati-hati, HIV!”
“Aku bukan anak kecil! Sudah tahu!”
“Syukur!”
Dalam hati aku tertawa. Merasa
aneh.Apakah aku pernah mengira bahwa suatu saat akan bersama Fandy di
sebuah kota yang asing, lalu menemukan ceceran sperma di meja warnet?
Dan bertengkar gara-gara sperma itu? Nggak! Ada-ada saja pagi ini.
Kami berjalan beberapa puluh meter dari
warnet mesum tadi. Aku santai, sambil melihat-lihat suasana kota Negara.
Sekilas tak terlalu jauh berbeda dengan suasana kota di Jawa.
Didominasi rumah-rumah urban dan pertokoan. Bedanya tentu ada pada
tampilnya unsur-unsur bangunan khas Bali, seperti gapura,
ornamen-ornamen rumit, dan rumah-rumah tertentu yang memakai bahan batu
bata merah tanpa plesteran semen. Itu pun tak terlihat menonjol di kota
ini. Di manakah wajah Bali yang begitu khas seperti yang ada di
film-film, lukisan-lukisan dan fotografi? Mungkin di sisi lain dari kota
ini. Mungkin di desa-desa.
“Itu!” aku menunjuk sebuah warnet di seberang jalan. “Kayaknya lebih bagus.”
“Warnet yang tadi juga kelihatan bagus dari luar,” sahut Fandy sinis.
Kami menyeberang. Kurasa pilihanku kali
ini tak salah. Warnet yang kami masuki tak cuma tampak bagus di luar,
terbukti dalamnya juga nyaman. Bersih, rapi, dan dinding bilik tak
setinggi di warnet sebelumnya. Artinya, di sini lebih kecil kemungkinan
ada pengguna yang beraktivitas cabul di dalam bilik. Yang jaga di lobi
operator seorang mbak-mbak, orangnya tampak ramah. Aku masuk duluan ke
bilik yang masih kosong, berharap tak akan bernasib sama seperti Fandy
di warnet sebelumnya. Tentu saja nasib memihakku.
“Buka Facebook-mu!” aku menyuruh Fandy.
Dia mulai menggerakkan jemarinya di keyboard.
“Pikirkan lagi! Sekali ini masuk ke dunia maya, kamu tak bisa
menghindari kemungkinan untuk tersebar luas,” gumamnya, berusaha
mempengaruhi keputusanku.
“Sudah kubilang, aku siap kalau harus ada risiko!” tukasku santai. “Makanya, kamu atur dulu sistem privasimu.”
Apakah sebenarnya yang sedang kurencanakan?
Begini. Aku sedang berhitung dengan berbagai kemungkinan, sebab tiba-tiba aku ingat satu hal: Dimas adalah seorang stalker. Aku pernah membaca diary
miliknya, membaca bagaimana tingkah-lakunya saat masih tergila-gila
kepada Erik. Dia hobi memantau akun jejaring sosial milik Erik. Erik
memang sudah menjadi masa lalu bagi Dimas. Sekarang, hatinya adalah ke
Fandy. Surat-surat yang dia kirim ke Fandy adalah fakta bahwa dia masih
memberi perhatian kepadanya. Pertanyaannya, kenapa Dimas tak mengirim
pesan saja lewat jejaring sosial? Email, Facebook, atau Twitter?
Karena surat yang ditulis tangan lebih
romantis? Mungkin. Tapi kucoba untuk memahami lebih dari itu. Sebagai
orang yang sedang minggat, kurasa Dimas memang sengaja bersikap jaim,
agar aksi minggatnya itu ngefek ke orang-orang yang dia tinggalkan.
Karena itu, dia perlu berpura-pura nonaktif di jejaring sosial, nggak
bikin status, nggak nge-twit,agar seolah-olah dia nggak bisa
dilacak di internet. Tapi, aku yakin sebenarnya dia masih memakai
jejaring sosialnya untuk memantau. Selama ini, mungkin saja diam-diam
dia memantauku. Juga memantau Ben dan teman-temannya yang lain. Tapi
kemungkinan terbesar yang paling sering dipantaunya, pastinya tak lain
adalah Si Manja yang duduk di sampingku ini: Fandy!
Dengan keyakinan bahwa Dimas rajin
memantau akun jejaring sosial milik Fandy, maka kucetuskan ide yang agak
nekat ini: mengunggah fotoku dengan Fandy! Ya, foto kami yang sedang
‘mesra’ itu, yang Fandy tertidur di pundakku. Saat Dimas melihat foto
saudara kembarnya sedang berduet dengan pacarnya, akan seperti apa
reaksinya? Kayaknya seru! Dia pasti panik. Dia itu ceroboh, di saat panik dia cenderung membocorkan dirinya sendiri. Itu yang kutunggu!
Tapi, jika ternyata dia tak bereaksi? Hmmm,
bukan berarti dia tidak kesal, kan? Setidaknya aku berhasil bikin dia
kesal. Akan kupermainkan ke-jaim-annya! Jadi, berharap saja dia
benar-benar memantau, dan termakan ‘jebakan Batman’ yang kubuat!
“Kuakui kelebihanmu, selain pintar
melanggar privasi orang lain, adalah kemampuan bersikap cuek. Tapi
bagaimana tanggapan teman-temanku nanti? Aku ketahuan ortu, bukan
berarti aku juga ingin ketahuan teman-temanku. Ini masih terlalu dini!”
Fandy mengeluh lagi.
“Makanya atur sistem privasimu!” tegasku mengulang instruksi.
“Aku belum pernah menyetel sistem privasi, aku takut akan ada yang miss…!”
Aku mulai tak sabar menghadapi sikap ragunya. “Atur privasi khusus, biar posting-anmu
hanya bisa dilihat oleh beberapa orang. Pastinya Dimas yang paling
utama. Masukkan juga Ben. Dua saja cukup. Teman-temanmu yang lain nggak
akan bisa lihat. Aman!”
“Kenapa Ben?”
“Karena dia yang paling dipercaya oleh
Dimas. Begitu Dimas lihat foto itu, kuharap dia terpancing untuk
klarifikasi ke kita. Tapi jika dia masih jaim untuk menghubungi kita,
kurasa dia akan menghubungi Ben. Dia akan curhat ke Ben. Makanya Ben
juga harus bisa lihat foto itu. Dan kita bisa percaya Ben nggak akan
menyebarkannya.”
“Dia juga bisa usil,” Fandy meragukan Ben.
“Tapi dia tak akan mempermalukan temannya
sendiri,” tegasku tetap yakin. “Kalaupun foto itu bocor di luar harapan
kita, akulah yang bakal lebih tengsin dibanding kamu. Setidaknya kamu
beneran gay, aku bukan. Tapi kuambil risiko itu.”
Akhirnya Fandy menurut, meski mukanya masih cemberut. Ah, aku tetap yakin, dalam hati dia tersanjung!
Saat Dimas melihat foto itu, dia akan
terusik. Jika dia masih peduli padaku, saudara satu-satunya ini, dia
akan tergerak untuk menghubungiku dan bertanya: Ada apa denganmu? Kamu jatuh cinta sama Fandy?
Tapi jika harapanku itu keliru, aku juga bisa mengerti seandainya dia
lebih memilih menghubungi Fandy. Dia memang egois, aku tak akan kaget
seandainya ternyata hubungannya dengan Fandy lebih penting dibandingkan
denganku.
Jika dugaan itu masih meleset juga, maka
semoga benar hitunganku yang ini: dia akan menghubungi Ben! Jika itu
yang terjadi, aku yakin Ben cukup sadar untuk menanyakan di mana Dimas
berada, dan apapun kabar tentangnya. Tentunya, Ben tak boleh membocorkan
satu hal:
“Bro, klo swaktu2 Dimas hub lu, jgn bilang klo aku sama Fandy lg cr dia ya.” SMS-ku kukirim ke Ben.
“Kok gitu?” balas Ben.
“Klo dia tau aku sdg nyusul ke Bali, tkutnya dia mlh sngaja ngumpet. Pkoknya jgn bilang.”
“Tp knp dia mau hubungi aku?”
“Sapa tau aja. Soalnya lu yg plg dia prcy. Surat2 Fandy aja dititipkn ke lu. Plis ya.”
“Ok deh.”
“Trims.”
Kupikir sudah tak ada pertanyaan dari Ben. Ternyata dia masih mengirim SMS lagi, “Kok kamu ngga tny soal Lia? :)”
Aku tercenung beberapa saat. Antara rasa sebal dan penasaran. “Knp dia?” balasku.
“Stlh klian brngkt, aku tmani Lia.
Sama ortumu + Misha. Nenangin dia lah yg shock krn kamu tinggal. Ngbrol
bnyk soal hubngan klian.”
Dadaku terasa meremang. Aku hampir mengumpat! Damn! Hal
itu memang sulit untuk diantisipasi. Kedatangan Leah di stasiun itu
memang di luar harapan. Leah bertemu Misha, ditambah Papa sama Mama… apa
yang mereka bicarakan?! Sial…!
Kurasa apa saja yang mereka omongkan pasti terlalu banyak untuk dibicarakan lewat SMS. Kubalas pesan Ben, “Aku sdg di jalan tggu jmputan. Aku sdh di Negara. Ntar klo sdh longgar kutelpon ya. Thanks.”
“Oke.”
Hmmmhh. Sekarang, seperti apa pandangan Misha padaku? Apa saja yang dia dapat dari Leah? Semoga yang baik-baik saja.
“Mana fotonya?” Fandy memecah lamunanku. Dia sudah selesai membuat setting privasi yang baru di akun Facebook-nya.
Kulepas MicroSD-Card di HP-ku. Kupasang di card reader, lalu kuserahkan ke Fandy. Setelah terhubung ke komputer, kami mencari foto itu di antara bejibun foto lainnya.
“Wow. Kamu nyimpan foto-foto cowok juga rupanya?” celetuk Fandy, mengomentari foto-foto model cowok yang kusimpan.
“Yang kuambil style rambutnya. Cowok normal juga boleh mikirin rambut, kan?” tukasku menjawab cibirannya.
“Kayaknya yang dipikirkan cewek tentang
cowok bukan soal rambutnya. Secara fisik, cewek menyukai bentuk badan
cowok. Tinggi badan, dada, perut, lengan, itu iya. Tapi rambut cowok
nggak terlalu penting buat mereka,” celoteh Fandy sok tahu. “Tapi kalau
cowok gay, biasanya memang suka memperhatikan rambut.”
Kusikut dia. “Lu nuduh gue? Lu bukan cewek, nggak usah sok tahu soal pikiran cewek!”
“Aku memang bukan cewek. Tapi aku punya kesamaan dengan cewek, yaitu sama-sama suka cowok” dia malah melucu soal ke-homo-annya.
“Nggak usah banyak bacot!” tukasku ketus. Kuambil-alih mouse dari tangan Fandy. Kucari foto itu, lalu kubuka dengan viewer agar lebih jelas.
Melihat foto ini, Dimas pasti akan tahu
bahwa ini diambil di dalam kereta. Kubuka situs editor foto. Kuedit
sedemikian rupa, agar bagian-bagian yang menampilkan suasana dalam
kereta menjadi lebih samar. Kutambahkan pula frame dan efek-efek supaya foto lebih terfokus pada ‘kemesraan’ kami berdua. Efek bling-bling dan frame lebay, cukup untuk membuat Dimas geregetan.
“Tambahi sekalian gambar hati, biar lebih provokatif!” Fandy malah ngelunjak.
“Provokatif mbah-mu! Ini masih kurang norak apa?!” aku marah-marah.
Foto diunggah.
“Selesai.” Kupandangi foto itu sudah terpampang di dinding Facebook-nya Fandy. Tanpa caption, biar Dimas tambah penasaran untuk mencari tahu sendiri.
“Hahaha….” Fandy tertawa melihatnya. Kubilang juga apa: dia senang dengan foto itu!
Sementara ini misi telah selesai
diluncurkan, tinggal menunggu hasilnya. Semoga Dimas memantaunya dan
bereaksi, biar aku tak menjadi ‘Batman kesiangan’!
Durasi yang tertera pada billing baru berjalan setengah jam. Kami masih di dalam bilik, masih bisa bersantai beberapa menit lagi dengan internet.Aku inginmencari info-info tentang penginapan murah di daerah Badung, sekadar melengkapi yang sudah kukumpulkan sebelumnya. Sambil browsing, sekarang bisa ngobrol lebih santai.
“Fan, no offense, ya…” aku
ancang-ancang melontarkan pertanyaan usil, “melihat reaksimu di warnet
yang tadi, memangnya lu nggak pernah coli di warnet?”
Mukanya langsung meremang. “Jadi kamu pernah?” dia menyerang balik tanpa menjawab lebih dulu.
“Aku nggak bilang gitu. Aku sudah punya internet di rumah, ngapain di warnet?”
“Maksudmu, kamu biasa masturbasi di depan komputermu sendiri?”
“Aku juga nggak bilang gitu. Ngapain harus di depan komputer? Aku nggak suka buka situs porno atau nonton bokep.”
“Bullshit!” dia menertawaiku secara sinis.
“Sumpah.”
“Terus, kamu dapat referensi dari mana saat butuh… katakanlah: fantasi?”
“Nggak harus pakai fantasi. Kalaupun
butuh fantasi, otak cowok itu sudah ditakdirkan untuk menjadi liar meski
belum pernah lihat materi porno,” ulasku panjang lebar. Lalu aku jadi
kesal sendiri, “Dan, kenapa sekarang jadi kamu yang nanyain? Aku yang
pertama kali tanya, kamu belum jawab!”
“Dan, apa kepentinganmu tanya soal itu
padaku? Ini percakapan yang aneh. Bisa diterima misalnya aku ngomongin
ini sama kakakmu. Tapi sama kamu? Why…? Kenapa kamu tertarik ngomongin ini denganku?” Dengan gaya sok jaim dia mulai berbelit-belit.
“Anggap saja aku punya standard tinggi
buat calon pendamping saudara kembarku. Dan, bukannya sekarang malah
kamu yang tanya segitu banyak ke aku? Aku bikin satu pertanyaan, kamu
kejar dengan tiga pertanyaan! Artinya, kamu sangat tertarik ngomongin
ini. Munafik!”
Kemudian, menurutku senyumnya malah jadi
agak genit. “Wajar, kan? Aku suka cowok. Mendengar fakta bahwa ada cowok
yang nggak butuh fantasi saat masturbasi, itu menyegarkan pikiranku.
Kupikir itu menarik,” begitu balasannya. Kontradiktif dengan rautnya
yang dibikin seolah-olah dirinya anak polos baik-baik. Ngelindur!
“Jadi, sekarang lu tertarik sama gue gitu?” tukasku waspada.
“Den, aku perlu bilang sesuatu padamu,”
nada omongannya terdengar makin personal. “Cowok yang suka cowok, aku
rasa, banyak di antara mereka akan mudah untuk menyukaimu. Kamu punya
‘faktor X’ yang sulit dirumuskan secara teori, tapi yang pasti itu
membuatmu sangat menarik. Kamu menyebalkan. Tapi loveable.”
Aku agak merinding mendengarnya. Aku
nggak percaya begitu saja penilaiannya itu, tapi tetap kedengaran bahwa
dia memang tertarik padaku. Dia duduk tepat di sebelahku. Posisiku ada
di sudut, jauh dari celah untuk kabur. Ini agak mengerikan. Seolah-olah
sekarang dia sedang berkata, “Mau kabur? Langkahi dulu mayatku!”
“Oke, Fan, aku nggak akan membatasi
kebutuhan pikiranmu. Lu mau berfantasi apa saja tentang gue, terserah.
Tapi, kalau sampai tangan lu coba-coba usil, gue hajar! Beneran. Deal?”
Dia menjawab dengan santai, “Itulah salah satu daya tarikmu. Cuekmu itu seksi. Oke. Deal.”
“Sekarang jawab pertanyaanku yang pertama tadi!”
“Lho?” dia melongo. “Kok masih maksa tanya itu terus?”
“Ini bukan soal kepo atau apa, tapi soal keadilan! Sudah kujawab semua pertanyaanmu, terus kamu bebas nggak jawab pertanyaanku?”
“Apa yang menarik dari kebiasaanku? Oke,
mungkin menarik buat cowok gay. Tapi,kamu bukan gay, kan? Beneran, ini
jadi aneh banget kalau kamu nuntut aku untuk jawab: Apakah aku pernah masturbasi di warnet?
Pertanyaanmu bikin aku mulas. Selain itu, kamu harus belajar bahwa
salah satu hal yang membuat seseorang menjadi seksi adalah kemampuannya
membuat orang lain penasaran. Jika dia mulai mengobral privasi dan suka
membuat statement yang vulgar, nilai keseksiannya akan
berkurang. Aku ingin kamu tetap menjadi cowok seksi. Tapi sebagai orang
yang menyayangimu, aku juga tak ingin kamu jadi gay. Tetaplah pada
jalurmu. Kakakmu sudah cukup. Kalian dua sisi yang sudah pas! Oke?”
Aku bengong. “Kata-kata apa itu tadi?”
Dia merengut sok jutek. “Pengakuan! Puas?”
Aku menggeleng. “Belum. Aku baru puas kalau kamu mau jawab pertanyaanku yang pertama.”
Dia lemas.
“Tapi aku tersanjung, pengakuan rasa sayangmu itu mengharukan,” celetukku, sambil meneruskan browsing. “Anyway, pertanyaanku belum kubatalkan.”
Akhirnya dia menyerah. Dia menggeleng
dengan tampang kalah. “Aku tak melakukan sesuatu yang pribadi di tempat
umum. Privasi adalah privasi.”
Sudah kuduga, jawabannya diplomatis.
“Jadi, lu nggak pernah coli di warnet?”
“NGGAK!” dia setengah membentak. “Masih ditanya lagi? Apa jawabanku kurang jelas?”
“Cieeee…. Sensi banget, sih?” celetukku
cengengesan, tertawa geli. “Terus, kalau ‘privasi adalah privasi’,
gimana caranya merealisasikan idemu untuk ‘main’ sama Dimas di gubug
tengah sawah, di atas motor, dan sebagainya…? Aku masih ingat kamu
pernah ngelindur begitu.”
Perlahan, rona mukanya berubah merah tomat. Skak!
“Nah, gimana hayo?” tukasku enteng. Membuatnya tersudut. Siapa bilang aku kepo? Aku cuma mau ngetes dia saja.
“Kamu tahu aku cuma bercanda soal ‘main’ sama Dimas,” dia ngeles agak gugup.
“Tapi candaanmu itu membuktikan, bahwa di
otakmu sebenarnya ada imajinasi-imajinasi mesum yang bertentangan
dengan ucapanmu soal… katakanlah: moral, atau apalah. Kamu bilang
privasi, tapi sebenarnya kamu ingin suatu saat bisa melanggarnya
sendiri. Kalau nggak, kenapa kamu pelihara imajinasi seperti itu? Kamu
mungkin sedang menunggu kesempatan yang aman saja, buat merealisasikan
ide-ide gila itu. Iya, kan?”
Dia terdiam. Aku tertawa lebar,
membiarkannya memakan ucapanku. Kali ini aku merasa seperti bukan anak
IPA. Entahlah, tiba-tiba saja analisa tadi tercetus di kepalaku.
Sekarang jadi yakin, cara berpikir kita terlalu luas untuk
dikotak-kotakkan menjadi IPA/IPS. Gue juga bisa sok filsafat, sok psikologis!
“Kamu lupa satu hal, Den,” dia sepertinya
mulai menemukan alasan untuk menyangkal. “Ada imajinasi-imajinasi yang
bagi kita akan lebih indah jika tetap menjadi imajinasi saja. Tidak
perlu direalisasikan.”
Aku mengernyit. Lalu mengangguk-angguk,
salut dengan cara ngelesnya. “Oke. Kupegang omonganmu, bahwa kamu nggak
akan merealisasikan imajinasi mesummu itu. Bahwa kamu nggak akan ‘main’
sama Dimas di sawah, di sungai, dan tempat umum lainnya.”
“Malah, bukan cuma imajinasi yang itu,” sahutnya enteng.
“Apa lagi?” kejarku.
“Poligami. Aku, Dimas, dan kamu.”
Seperti disambar geledek!
“WHAT?!!”
“Itu bakal seru!” cetusnya sambil nyengir. “Tapi lebih baik tak direalisasikan. Iya, kan?”
“Itu memang nggak mungkin direalisasikan, Kampret!” tukasku sengit.
“Kenapa nggak mungkin?”
“Karena gue bukan homo!”
“Tapi sebagai homo, aku bisa
menilai bahwa kamu punya kecenderungan itu. Ada area abu-abu dalam
dirimu, tidak dominan, tapi ada. Seperti katamu sendiri, kadang kita
memelihara hal-hal di dalam diri kita, yang bertentangan dengan apa yang
kita ucapkan. Kita sebut saja itu ‘sisi liar’. Membiarkanku tertidur di
pundakmu, itu sisi liarmu. Mengintipku di toilet, itu sisi liarmu.
Membiarkan foto kita yang seolah-olah mesra beredar di dunia maya, itu
sisi liarmu. Menginterogasi aku soal masturbasi, itu sisi liarmu! Kamu
selalu tegaskan dengan ucapan bahwa dirimu bukan homo, tapi
berkali-kali kamu melakukan tindakan yang cenderung melawan ucapanmu
itu. Jadi aku sudah berbaik hati dengan mengingatkan: Aku tidak ingin kamu jadi gay. Dan aku tak akan merealisasikan imajinasi poligami denganmu.”
Tiba-tiba, sekarang gantian dia yang
membuatku tercengang. Dia membuatku termakan omonganku sendiri.
Sepertinya, aku terlalu meremehkan bocah ini!
“Kamu salah,” jawabku, tetap ngeyel.
“Bagian mana yang salah?”
“Mencurigaiku homo. Aku suka
bercanda sama siapa saja, termasuk lu. Lu cuma objek candaan aja, nggak
lebih. Jangan dipikir gue tertarik secara seksual sama lu.”
Dia merengut. “Wow, itu kata-kata yang kejam.”
“Hehehe. Terserah,” balasku santai. Lalu
mulutku kembali gatal, “Fan, memangnya kamu pertama kali tahu coli dari
mana? Ada yang ngajarin, atau...”
“PLEASE…!” dia langsung
menggertak. “Kenapa masih ngomongin ini? Sudah kubilang ini aneh, tahu
nggak? Aku nggak mengira perjalanan ini ternyata menjadi kesempatanmu
untuk mengeksploitasi privasiku!”
“Tepatnya: mengeksploitasi kehidupan seksualmu!” aku meluruskan. “Dan ini kulakukan, karena kamu men-judge bahwa aku punya sisi homo.”
“Tapi yang kulakukan tak separah caramu mengorek masalah pribadiku!”
“Sebenarnya aku sama sekali nggak
tertarik sama masalah pribadimu, kok,” balasku berkelit. “Aku cuma mau
menguji hasil pemikiranku. Saat tadi kubilang, ‘otak cowok ditakdirkan
untuk menjadi liar dengan sendirinya’, itu tercetus begitu saja. Kalau
kamu tahu soal masturbasi secara otodidak, berarti kamu mewakili
pemikiranku itu…”
“Dan kalau kamu masih ngotot membicarakan
ini,” dia langsung menyahut dengan nada ultimatum, “akulah yang akan
mengujimu secara lebih ekstrem!”
“Wow. Ngancam?” cibirku geli. “Menguji secara lebih ekstrem? Kayak gimana misalnya?”
Tiba-tiba dia menepis tanganku dari atas keyboard. Dia bergerak cepat mengetik sebuah URL, lalu…
“Ini!”
Sebuah situs berisi cowok-cowok beradegan mesum terpampang jelas di depan mataku!
“DAMN…! Cepat tutup, gila lu!” aku mengumpat dan spontan mengamankan pandanganku. “Jijik gue! Tutup!”
“Kenapa jijik? Bukankah kamu punya sisi gay?”
“Sampai mati nggak bakalan! Tutup!”
“Baiklah. Tapi janji dulu, kamu nggak
akan kepo lagi soal privasiku! Kalau kamu melanggar, bagaimana caranya
akan kukirim apapun yang bisa bikin kamu muntah di layar HP-mu. Setuju?”
“Iya, iya! Lu tuh udah jadi psycho, tahu nggak!” umpatku.
Dia tertawa menang. “Aku psycho, kamu pervert!”
Situs mesum itu ditutupnya. Aku menghela napas lega. Benar-benar rusak otaknya Fandy ini!
Baru sebentar merasa lega, tiba-tiba ada jendela chat nongol di monitor…
“Kalian lg ngomongin apa? Kenalan donk?” sapa pengguna dari bilik nomor delapan, yang artinya adalah bilik di sebelah kami.
Sekarang aku dan Fandy sama-sama melongo,
berpandang-pandangan dengan prasangka aneh. Tanpa berkata-kata, kami
sepakat bahwa menyudahi sesi ngelantur di warnet ini adalah tindakan
terbaik. Billing kututup, kami segera meninggalkan bilik. Kami
melewati bilik nomor delapan itu dan bisa melihat sekilas siapa yang ada
di dalam sana…
“O my God….” aku meneguk ludah.
“Ternyata om-om….” celetuk Fandy.
Aku membayar tagihan sebentar di meja
operator. Lalu segera keluar menyusul Fandy yang sudah lebih dulu. Dia
berdiri di depan pintu menahan tawa.
“Sekarang bukan cuma kamu yang nuduhaku homo.
Kampret!” makiku, meninggalkan warnet dengan kesal. Berjalan kembali ke
arah terminal. Dia masih tertawa-tawa sambil mengikutiku.
Sambil jalan, kuketik SMS untuk Mas Awan, “Mas, sy sdh di trmnal Negara.”
Aku masih berpikir, di mana tempat yang nyaman untuk menunggu. Aku
mengarahkan pandangan ke pasar depan terminal. Ada sebuah pohon rindang
dengan bangku di bawahnya, berada di samping sebuah kedai Ayam Betutu
bernama ‘Warung Ketut’. Kulanjutkan ketikanku, “Sy nunggu di Wrg Ketut, pasar depan trmnal.” Barulah kukirim pesanku.
Aku mengajak Fandy menunggu di situ.
Balasan Mas Awan sampai, “Ya, sy tiba di stanplat 15 mnt lg.”
Stanplat? Sepertinya bukan salah ketik, tapi apa maksudnya ‘stanplat’?
“Menurut dugaanmu, Mas Awan orangnya seperti apa?” Fandy bergumam menyodorkan pertanyaan.
“Tadi kamu bilang kamu nggak mau aku jadi gay. Sekarang kamu nyuruh aku ngebayangin cowok?” tukasku.
“Kenapa jadi sewot banget gitu? Aku nggak
nyuruh membayangkan yang aneh-aneh, kok. Kita harus berdua di sini
seperti anak hilang, tanpa bikin obrolan apa gitu?”
“Apa nggak ada basa-basi yang lebih
penting? Apa pentingnya menebak-nebak seperti apa wujudnya Mas Awan? Dia
mau kurus dekil atau gendut gimbal, yang penting dia bisa bantu kita.”
“Hmmm. ‘Basa-basi yang penting’ itu yang seperti apa?” sahutnya malas.
Kami tak bicara lagi. Menunggu tanpa obrolan. Hanya melempar mata kesana-kemari, melihat suasana pasar yang cukup ramai.
“Saat ketemu Dimas nanti, apa yang pertama kali akan kamu lakukan?” Fandy memulai basa-basi baru.
“Kupukuli. Baru kuajak bicara,” cetusku cuek.
Dia tertawa kecut. “Aku akan membantunya melawanmu.”
“Kalian nggak bisa menang lawan aku.”
“Kamu selalu pura-pura keras. Tapi kamu bukan orang yang kebal air mata. Iya, tho?”
Sindirannya mengusikku. Dia nyengir menertawaiku.
“Maksudmu, kalian mau berdrama nangis bombay memohon-mohon biar aku terharu dan nggak jadi melampiaskan kekesalanku?”
Dia menggeleng. “Tak perlu begitu.”
“Terus?”
Dia diam beberapa saat. Termangu mengulas
senyum, seperti menerawang sesuatu. “Entahlah, Den. Aku merasa bahwa
sebenarnya Dimas tak serapuh yang kita kira. Dia sedang tertekan saat
memilih pergi, aku tahu, karena aku mengalami dan merasakan hal yang
sama. Tapi sejauh yang kukenal, dia adalah orang yang akan merenungkan
dalam-dalam apa saja yang diperbuatnya. Apalagi menyangkut tindakan yang
seserius ini. Bisa dibilang, dia tak pernah seserius ini, kan?”
Pikiranku sedikit tertiup oleh ucapan
Fandy, terbawa arah pikirannya itu. “Terus, menurutmu apa yang
sebenarnya dia lakukan ini?”
“Hmmhhh…. Dia tak sekedar pergi. Aku tak tahu pasti, tapi aku percaya ini semua bukan karena keegoisannya.”
Aku tersenyum agak sinis. “Selama hampir dua tahun kalian pacaran, ternyata kamu masih belum mengerti keegoisannya?”
“Aku tahu kok, dia kadang egois. Tapi
kurasa dia tak akan melakukannya terhadap keluarganya sendiri, terlebih
untuk masalah seserius ini.”
Aku terdiam. Berharap ucapan Fandy itu
benar. Meski itu berarti sungguh ironis, karena ternyata dia lebih
mengerti Dimas dibandingkan aku. Dibandingkan keluarganya sendiri. Tapi
tetap kuharap, ucapan Fandy benar….
“O ya, bukankah tadi kamu menyinggung
soal standard yang tinggi untuk pendamping kakakmu?” sekarang dia
terdengar agak menyombong. “Setelah tadi kamu menanyaiku yang aneh-aneh,
kesimpulannya: apakah aku memenuhi standard itu?”
Hmmm…. Kurasa kali ini dia ingin konteks yang serius.
Aku tertawa datar. “Anggap saja
perjalanan kita ini sebuah cerita. Aku akan pakai pendapatmu, bahwa
cerita cinta adalah soal pembuktian. Kita lihat nanti, apa yang bisa
kamu buktikan.”
“Wajar kalau kamu masih meragukanku,” gumamnya datar.
“Sebenarnya, aku juga masih meragukan Dimas.”
Alisnya mengerut. “Setelah semua dukunganmu selama ini?”
Aku mengangguk. “Menurutku, perkara ini
mendahului umur kalian. Kamu nggak merasa begitu? Aku ingat kamu pernah
bilang, bahwa usia muda bukan berarti tak mengerti cinta, sebab yang tua
pun belum tentu lebih mengerti. Tapi nyatanya, saat ini kita sedang
terseret gara-gara apa?”
Dia tercenung, terlihat diliputi
keraguan. Seperti merasa tak setuju dengan pendapatku, tapi juga tak
keluar sangkalan dari mulutnya.
Aku tertawa masam. “Aku nggak bilang aku selalu benar. Aku juga nggak selalu cuek.”
Mungkin ucapanku itu bisa sedikit menghiburnya.
Sebuah mobil Kijang merah berhenti
memarkir di pelataran depan pasar. Seorang laki-laki turun keluar,
pandangannya langsung menuju ke kami. Posturnya sedang, berkemeja casual,
karakter wajahnya agak serius. Tapi saat dia tersenyum, rautnya itu
menjadi wajah serius yang ramah. Dia punya keyakinan yang begitu tinggi,
sebab dia langsung menghampiri dan menyapa dengan bahasa yang begitu
akrab….
“Bli Denis, apa kabar?”
Aku berdiri membalas jabat tangannya. Keyakinanku pun sama tinggi, “Agak capek. Tapi baik, Mas Awan.”
bersambung…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar