...
Malam ini kami ke gereja bersama. Sekeluarga, satu mobil. Ya, termasuk jarang juga kami bepergian bersama satu mobil. Kalau ke gereja, biasanya aku sama Denis pilih berboncengan dengan motor. Lebih bebas, nggak terikat sama Papa dan Mama, pulang dari gereja bisa langsung main ke mana. Itu pun aku memang nggak serajin Denis kalau ke gereja. Jadi jika sekarang kami berangkat bersama satu mobil, aku rasa karena ini memang momen istimewa. Tapi andai ada Fandy, aku tetap memilih berboncengan dengannya. Karena sudah 18 tahun aku selalu bersama keluarga, sekali-sekali aku ingin bersama orang yang baru kukenal satu tahun. Simple, karena dia kekasihku.
Kebaktian Malam Natal dimulai jam tujuh malam. Setengah jam sebelumnya kami sudah tiba, dan beruntung masih mendapatkan tempat duduk di balkon. Terlambat beberapa menit saja, mungkin kami harus duduk di bangku tambahan yang ada di halaman. Jemaat datang membeludak! Meski ramai, tetap ada suasana khidmat yang kurasakan. Dan perubahan-perubahan di gereja ini juga makin terasa. Beberapa tahun lalu, gereja ini hanya menyanyikan kidung-kidung tradisional, baik yang lokal dari Indonesia maupun hasil serapan dari kidung-kidung Celtic, Gospel Amerika, Gregorian, Renaissance, Baroque, dan sebagainya. Semua disusun dalam buku Kidung Jemaat. Tapi sekarang sudah makin banyak lagu-lagu pop modern yang disertakan, lagu-lagu pop rohani yang dipopulerkan oleh artis-artis rohani itu. Istilah lagu ‘pop rohani’ ini juga membuatku bertanya lagi, “Memangnya ada ‘pop jasmani’? Lagu senam SKJ itu kali, ya?”
Nggak cuma lagu-lagunya yang berkembang. Cara berdoa pun berkembang. Ada seorang jemaat yang duduk di belakang kami, dia berdoa dengan volume suara yang signifikan untuk didengar orang lain. Posisi tangannya juga tidak tertangkup ke bawah, tapi terangkat ke atas dengan jari mengembang seperti orang sedang melambai. Bukannya nggak menghargai cara orang lain berdoa, tapi melihat sesuatu yang baru dan nggak biasa seringkali membuat kita tersenyum. Ya, aku sama Denis tersenyum-senyum sendiri.
Surprise belum berhenti. Ternyata Pendeta yang memimpin ibadah adalah seorang pengkhotbah tamu. Pembawaannya sangat berbeda. Bicaranya berapi-api. Api yang meledak-ledak, seperti kembang api Malam Tahun Baru. Wow. Aku sama Denis tercengang. Papa juga. Tapi Mama kelihatannya malah senang, merasa cocok dengan gaya pengkhotbah yang berapi-api itu.
“Wah, Pendeta-ku waktu di Medan aja kalah kencang tuh suaranya,” celetuk Denis, bisik-bisik denganku.
“Kayak judul lagu kesukaanmu, ‘Kompor Mleduk’!” ceplosku.
Mama segera melotot ke kami. Itu artinya kami harus berhenti berisik, berhenti menyaingi pengkhotbah itu.
Api yang garang itu sejenak dipadamkan. Digantikan gema paduan suara yang bertiup seperti semilir angin yang sejuk. Menyanyikan lagu ‘O Holy Night’ yang indah itu. Hadirnya lagu itu membuatku seperti daun layu yang terbawa oleh sang angin, dijatuhkan pada permukaan air telaga yang sejuk dan tenang, teduh tanpa gelombang.
Tapi air telaga mulai mendidih saat pengkhotbah di atas mimbar itu kembali menyala-nyala, menyihir ‘air dalam telaga’ menjadi ‘sup dalam belanga’. Khotbahnya lantang seperti senapan. Semangatnya setara dengan Bung Tomo ketika berpidato di hari kepahlawanan. Banyak jemaat tersulut antusiasmenya.
“Ada ‘amin’, Saudara-saudara?!” kata-kata itu begitu sering ia lontarkan, hampir di tiap akhir kalimat-kalimat panjangnya.
Jemaat pun tertanting, menjawab dengan serentak, “AMIN!”
Beberapa kali Mama juga ikut menjawab begitu.
“Kalo pertanyaannya ‘ada amin?’, harusnya jawabnya ‘ada’ atau ‘tidak’. Kalo dijawab ‘amin’, malah nggak nyambung,” celetukku, disahut tawa cekikikan Denis.
Mama melotot ke kami lagi. Kami diam lagi. Kembali mendengarkan kelanjutan khotbah Malam Natal ini.
Tapi lama-lama aku mulai nggak nyaman, benar-benar nggak nyaman. Apa yang kudengar dari pengkhotbah itu kian tajam, menyudutkan sesuatu dalam diriku. Dan ketika sudah tersudut, ia menusuk!
“Jangan menjadi serupa dengan dunia, karena dunia ini semakin menuju kepada keburukan. Tubuh kita adalah Bait Tuhan, jangan cemari dengan dosa! Lihatlah sekarang, dosa-dosa kian diberi tempat dengan dalih HAM, toleransi, dan sebagainya. Toleransi itu tak apa-apa, tapi bukan berarti untuk mengabaikan dosa! Lihatlah bagaimana dunia kita semakin rusak karena kejahatan, korupsi, narkoba, seks bebas! Laki-laki dengan laki-laki, perempuan dengan perempuan, sekarang itu semua dianggap wajar! Ingatlah bahwa dosa merenggut kita dari keselamatan. Tinggalkan dosa! Kita sambut Yesus, kita sambut Kerajaan Sorga, ada ‘Amin’?!!”
“AMIIINNNN...!” sahutan menggema. Suara Mama ikut di dalamnya.
Dadaku meremang. Jantungku mendesir. Aku berdiri...
“Mas...? Mau kemana?” Denis bermaksud mencegahku. Tangannya memegangku.
Kulihat Papa tersenyum masam. Aku pun hanya tersenyum, tanpa jawaban. Denis kemudian mengerti, akhirnya dia melepasku. Sedangkan Mama terlalu antusias dengan khotbah itu, tak terlalu hirau saat aku beranjak dari tempat dudukku. Aku pergi.
Kulewati padatnya jemaat, melangkah keluar dari gereja. Menjauh dari api-api tajam yang melukaiku. Kini aku berdiri lesu seorang diri, di trotoar yang agak sepi. Kuhirup udara dingin bulan Desember yang basah, mengencangkan dadaku untuk tegar. Masih kudengar gereja itu bergema. Aku membisu. Tanpa pikir panjang, kuambil langkahku lagi.
Aku ingin menjauh.
Malam ini kami ke gereja bersama. Sekeluarga, satu mobil. Ya, termasuk jarang juga kami bepergian bersama satu mobil. Kalau ke gereja, biasanya aku sama Denis pilih berboncengan dengan motor. Lebih bebas, nggak terikat sama Papa dan Mama, pulang dari gereja bisa langsung main ke mana. Itu pun aku memang nggak serajin Denis kalau ke gereja. Jadi jika sekarang kami berangkat bersama satu mobil, aku rasa karena ini memang momen istimewa. Tapi andai ada Fandy, aku tetap memilih berboncengan dengannya. Karena sudah 18 tahun aku selalu bersama keluarga, sekali-sekali aku ingin bersama orang yang baru kukenal satu tahun. Simple, karena dia kekasihku.
Kebaktian Malam Natal dimulai jam tujuh malam. Setengah jam sebelumnya kami sudah tiba, dan beruntung masih mendapatkan tempat duduk di balkon. Terlambat beberapa menit saja, mungkin kami harus duduk di bangku tambahan yang ada di halaman. Jemaat datang membeludak! Meski ramai, tetap ada suasana khidmat yang kurasakan. Dan perubahan-perubahan di gereja ini juga makin terasa. Beberapa tahun lalu, gereja ini hanya menyanyikan kidung-kidung tradisional, baik yang lokal dari Indonesia maupun hasil serapan dari kidung-kidung Celtic, Gospel Amerika, Gregorian, Renaissance, Baroque, dan sebagainya. Semua disusun dalam buku Kidung Jemaat. Tapi sekarang sudah makin banyak lagu-lagu pop modern yang disertakan, lagu-lagu pop rohani yang dipopulerkan oleh artis-artis rohani itu. Istilah lagu ‘pop rohani’ ini juga membuatku bertanya lagi, “Memangnya ada ‘pop jasmani’? Lagu senam SKJ itu kali, ya?”
Nggak cuma lagu-lagunya yang berkembang. Cara berdoa pun berkembang. Ada seorang jemaat yang duduk di belakang kami, dia berdoa dengan volume suara yang signifikan untuk didengar orang lain. Posisi tangannya juga tidak tertangkup ke bawah, tapi terangkat ke atas dengan jari mengembang seperti orang sedang melambai. Bukannya nggak menghargai cara orang lain berdoa, tapi melihat sesuatu yang baru dan nggak biasa seringkali membuat kita tersenyum. Ya, aku sama Denis tersenyum-senyum sendiri.
Surprise belum berhenti. Ternyata Pendeta yang memimpin ibadah adalah seorang pengkhotbah tamu. Pembawaannya sangat berbeda. Bicaranya berapi-api. Api yang meledak-ledak, seperti kembang api Malam Tahun Baru. Wow. Aku sama Denis tercengang. Papa juga. Tapi Mama kelihatannya malah senang, merasa cocok dengan gaya pengkhotbah yang berapi-api itu.
“Wah, Pendeta-ku waktu di Medan aja kalah kencang tuh suaranya,” celetuk Denis, bisik-bisik denganku.
“Kayak judul lagu kesukaanmu, ‘Kompor Mleduk’!” ceplosku.
Mama segera melotot ke kami. Itu artinya kami harus berhenti berisik, berhenti menyaingi pengkhotbah itu.
Api yang garang itu sejenak dipadamkan. Digantikan gema paduan suara yang bertiup seperti semilir angin yang sejuk. Menyanyikan lagu ‘O Holy Night’ yang indah itu. Hadirnya lagu itu membuatku seperti daun layu yang terbawa oleh sang angin, dijatuhkan pada permukaan air telaga yang sejuk dan tenang, teduh tanpa gelombang.
Tapi air telaga mulai mendidih saat pengkhotbah di atas mimbar itu kembali menyala-nyala, menyihir ‘air dalam telaga’ menjadi ‘sup dalam belanga’. Khotbahnya lantang seperti senapan. Semangatnya setara dengan Bung Tomo ketika berpidato di hari kepahlawanan. Banyak jemaat tersulut antusiasmenya.
“Ada ‘amin’, Saudara-saudara?!” kata-kata itu begitu sering ia lontarkan, hampir di tiap akhir kalimat-kalimat panjangnya.
Jemaat pun tertanting, menjawab dengan serentak, “AMIN!”
Beberapa kali Mama juga ikut menjawab begitu.
“Kalo pertanyaannya ‘ada amin?’, harusnya jawabnya ‘ada’ atau ‘tidak’. Kalo dijawab ‘amin’, malah nggak nyambung,” celetukku, disahut tawa cekikikan Denis.
Mama melotot ke kami lagi. Kami diam lagi. Kembali mendengarkan kelanjutan khotbah Malam Natal ini.
Tapi lama-lama aku mulai nggak nyaman, benar-benar nggak nyaman. Apa yang kudengar dari pengkhotbah itu kian tajam, menyudutkan sesuatu dalam diriku. Dan ketika sudah tersudut, ia menusuk!
“Jangan menjadi serupa dengan dunia, karena dunia ini semakin menuju kepada keburukan. Tubuh kita adalah Bait Tuhan, jangan cemari dengan dosa! Lihatlah sekarang, dosa-dosa kian diberi tempat dengan dalih HAM, toleransi, dan sebagainya. Toleransi itu tak apa-apa, tapi bukan berarti untuk mengabaikan dosa! Lihatlah bagaimana dunia kita semakin rusak karena kejahatan, korupsi, narkoba, seks bebas! Laki-laki dengan laki-laki, perempuan dengan perempuan, sekarang itu semua dianggap wajar! Ingatlah bahwa dosa merenggut kita dari keselamatan. Tinggalkan dosa! Kita sambut Yesus, kita sambut Kerajaan Sorga, ada ‘Amin’?!!”
“AMIIINNNN...!” sahutan menggema. Suara Mama ikut di dalamnya.
Dadaku meremang. Jantungku mendesir. Aku berdiri...
“Mas...? Mau kemana?” Denis bermaksud mencegahku. Tangannya memegangku.
Kulihat Papa tersenyum masam. Aku pun hanya tersenyum, tanpa jawaban. Denis kemudian mengerti, akhirnya dia melepasku. Sedangkan Mama terlalu antusias dengan khotbah itu, tak terlalu hirau saat aku beranjak dari tempat dudukku. Aku pergi.
Kulewati padatnya jemaat, melangkah keluar dari gereja. Menjauh dari api-api tajam yang melukaiku. Kini aku berdiri lesu seorang diri, di trotoar yang agak sepi. Kuhirup udara dingin bulan Desember yang basah, mengencangkan dadaku untuk tegar. Masih kudengar gereja itu bergema. Aku membisu. Tanpa pikir panjang, kuambil langkahku lagi.
Aku ingin menjauh.
Berlanjut disini : http://separoohnyolong.blogspot.com/2014/05/a-christmas-apple-984.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar