A Christmas Apple
...
Aku berjalan sendirian di bawah kerlap-kerlip lampu kota yang bertebaran menyaingi bintang. Bermain sendiri dengan ubin-ubin trotoar, berjingkat mendaratkan kaki di satu ubin setelah melompati satu ubin lainnya. Hingga sepertinya sudah cukup jauh. Aku berhenti. Kurasakan, bahwa sesungguhnya aku terasing. Tersingkir di Malam Natal ini.
Kubuang pikiran kalutku. Kulihat sebuah mini market yang tak jauh jaraknya. Aku pun mampir. Mungkin aku butuh sesuatu.
Aku menuju ke deretan minuman kaleng. Aku bingung, apakah yang cocok untuk membasuh rasa gundahku malam ini? Saat sedang sibuk memilih minuman, tiba-tiba aku dikejutkan oleh seseorang yang menyapaku.
“Cari apa, Mas?”
“Hoi, Rik! Kok kebetulan banget nih?” sambutku, sedikit terperangah. Nggak nyangka ketemu Erik di sini.
“Iya. Habis mengantar Amanda ke gereja. Terus mampir ke sini,” sahut Erik.
“Hmm. Manja juga cewekmu? Dia nggak barengan sama keluarganya?”
“Ortunya jadi pengurus di gerejanya, jadi berangkat duluan. Dia dadakan minta aku antar, soalnya kebetulan ban motornya bocor. Katanya.”
“Kebetulan?” sentilku. “Jadi kalo ban motornya nggak bocor, nggak ‘kebetulan’?”
Erik tertawa tipis. “Kamu sendiri kok malah di sini? Nggak ke gereja?”
“Di sana sumpek. Aku butuh udara segar,” gumamku, sembari melihat-lihat minuman jenis beer. Akhirnya aku memilih rootbeer.
“Lagi galau, nih?” sindir Erik.
Aku gantian tertawa. “Kamu sendiri nggak galau, pacaran beda agama?” aku balik menyindir. Rada nekat.
Erik cuma terkekeh, nggak terkesan sensi. Kami menuju ke kasir, membayar belanjaan masing-masing. Aku rootbeer, Erik susu Bear Brand. Tapi kami harus mengantri. Saat menunggu antrian, aku baru sempat menyimak lagu Natal yang diputar di toko ini. ‘I’ll Be Home For Christmas’...
Setelah kami selesai membayar di kasir, dan tiba di luar...
“Habis ini kamu ke mana, Rik?” aku bertanya.
“Aku? Entahlah. Mungkin putar-putar kota, lihat suasana Natal,” jawab Erik nggak yakin. Yahh, dia juga mirip orang lagi galau.
“Kamu bawa mobil?”
“Iya.”
“Aku boleh ikut?”
“Kamu nggak balik ke gereja?”
Aku menggeleng. “Biar diwakilin Denis.”
Erik menertawaiku. “Kalo Fandy tahu kamu sama aku, nggak apa-apa kan?”
“Dia sama keluarganya. Di Sragen.”
“Oh. Oke. Tapi bukan aku yang dosa ya!”
“Yesus pengertian kok,” ujarku santai.
Kami masuk ke mobil, Honda City warna hitam. Kami mulai melintasi jalan raya yang padat, berbaur dengan kota yang gemerlapan. Kota Solo yang anggun di Malam Natal. Ada pesan yang masuk ke HP-ku. Pesan dari Denis.
“Mas, u dmn?”
Aku membalas. “Aku lg jlan2.”
“Kmn? Ntar balik ke grja kan?”
“Kyknya nggak. Bilang aja ke Papa or Mama, aku ktmu teman n diajak jlan2.”
“Sama sapa? Kalo Mama marah gmn?”
“Ntar marahnya biar ke aku aja. Ntar aku mscall kalo udh sampai rmh, tlg bukain pintu ya..” Setelah kubalas begitu, Denis nggak balas lagi. Kuanggap dia mengerti situasiku. Ya, aku percaya, dia selalu mengerti.
Sambil melihat cantiknya Kota Solo dari balik kaca mobil, aku melanjutkan bercakap-cakap dengan Erik. Tentang hal-hal yang ringan saja. Soal sekolah, band, musik. Apa saja yang bisa mengalihkan pikiranku dari khotbah di gereja tadi, yang disahut dengan lantang oleh Mama, “AMIN!”. Apa saja, yang bisa membuatku lupa.
“Cari makan yuk, Mas?” Erik membawa pembicaraan ke urusan perut.
“Eh, kamu nggak jemput pacarmu?” aku mengalihkan pembicaraan ke urusan pacar. Baru sadar, aku sudah bertindak kurang tahu diri menyita cowoknya orang!
“Nggak, dia tadi bilang mau pulang bareng ortunya kok,” jawab Erik, membuatku lega.
“Oh, ya udah. Cari makan di mana?”
“Di Galabo aja. Gimana?”
“Oke. Tapi kalo Amanda tahu kamu sama aku, nggak apa-apa kan?”
Erik tertawa. “Dia sama keluarganya. Di gereja.”
Kami menuju Galabo. Galabo adalah singkatan ‘Gladag Langen Bogan’, jika diterjemahkan dalam bahasa Indonesia kurang lebih sama dengan ‘Wisata Kuliner Gladag’. Letaknya di daerah Gladag, depan barisan Beteng Trade Center dan Pusat Grosir Solo. Tepat di samping Beteng Vastenburg. Dibelakangi oleh patung raksasa Brigjend Slamet Riyadi. Tak jauh dari lokasi Keraton Kasunanan Surakarta. Pilihan yang sangat bagus!
Kami makan lesehan di atas tikar yang digelar di sepanjang trotoar. Berbaur dengan keramaian. Aku dengan menu Nasi Goreng Udang, Erik dengan menu Nasi Kebuli Daging Kambing. Jadi ingat, dulu aku juga pernah dinner berdua dengan Erik. Waktu piknik di Bali. Yahh, saat itu kami belum sebaik ini. Maksudku, saat itu kami memang baik, tapi bukan kebaikan yang sepenuhnya jujur. Sekarang, yang aku tahu hubungan kami telah menjadi baik, dengan sejujurnya. Sesekali, masih muncul juga naluriku sebagai orang yang pernah jatuh cinta padanya. Masih kagum melihat dirinya yang tampan, cerdas, dan berwibawa. Tapi, dia sudah postif menjadi pacar orang lain. Aku juga positif menjadi pacar orang lain. ‘Orang lain’ yang istimewa bagi masing-masing. Dia dengan seorang perempuan, aku dengan seorang laki-laki. Karena itu, aku tahu ke mana harus menggiring rasa kagumku sekarang. Kepada sebatas sahabat. Dulu saat aku sedang sakit hati padanya, aku pernah menganggap dia begitu jahat dan pengecut. Tapi sekarang, setelah kami tumbuh menjadi lebih jujur, aku melihat Erik sebagai sosok yang siapapun tak akan menyesal punya sahabat seperti dirinya. Yes, he is.
“Kenapa kamu nggak balik ke gereja, Mas?” Erik tiba-tiba menanyakan hal yang tadi sudah dia tanyakan. Aku tahu, kali ini dia bertanya dengan harapan jawaban serius dariku.
“Di sana memang sumpek,” aku pun mengulang jawabanku. “Hatiku rasanya sesak.”
“Kenapa?”
Aku sempat menahan jawabanku beberapa saat. Kutengok sekeliling, kami agak jauh dari kerumun pengunjung lainnya. Kurasa aku bisa membicarakannya di sini.
Aku bicara dengan nada datar. “Aku rasa si pengkhotbah berpendapat, bahwa aku telah mencemari diriku. Jika aku masih di sana, maka aku cuma mencemari tempat itu.”
Erik menatapku agak lama. “Dia menyinggung soal gay?”
Aku tertawa masam. “Homoseksual.”
“Sebenarnya... aku ingin mendengar pendapatmu sendiri, soal dirimu jika dihubungkan dengan agama yang kamu anut. Kalo nggak keberatan sih?”
Aku tertawa lagi. “Sebenarnya bukan topik yang cocok buat dibicarakan sambil makan. Tapi... yahh, memang mengganjal juga sih kalo nggak aku omongin.”
“Oke, selama kamu nggak keberatan aja...”
“Memang di Alkitab ada teks bahwa homoseksual itu bukan perilaku yang dibenarkan,” aku mulai mengutarakan isi pikiranku. “Rasul Paulus pernah bilang bahwa banci nggak akan masuk surga. Dia bilang begitu saat berada di Roma, yang waktu itu memang masih dipenuhi para penganut Pagan, di mana free sex sering dijadikan bagian dalam ritual penyembahan dewa-dewa mereka. Free sex yang mereka lakukan termasuk homoseksual. Tapi aku pernah baca buku yang mengulas soal itu, yang ditulis oleh seorang Pendeta, dia berpendapat bahwa sikap Paulus sebenarnya tak lepas dari mindset-nya sebagai penyebar agama Kristen yang membenci ajaran Pagan. Maka apa yang ada di dalam Paganisme saat itu, Paulus membencinya, menganggapnya sebagai ajaran sesat. Termasuk homoseksual. Tapi Yesus sendiri nggak pernah membicarakannya.”
“Aku pernah diskusi dengan Amanda, bahwa sejak awal agama Kristen juga melarang perzinahan. Jadi, mungkin logis juga jika melarang homoseksual, kan?” Erik menimpaliku.
“Yup. Tapi pada suatu ketika, Yesus sendiri pernah berkata, bahwa di akherat manusia nggak lagi terikat dengan status pernikahan. Pasangan yang menjadi suami istri ketika di dunia, di akherat mereka bukan lagi suami ataupun istri. Lalu, kenapa di dunia mereka harus menikah?”
“Untuk mengendalikan kehidupan selama di dunia,” jawab Erik lugas. “Karena hubungan seksual memiliki konsekuensi, yaitu lahirnya keturunan. Dengan ikatan pernikahan, tanggung jawab seorang laki-laki untuk menafkahi keluarganya menjadi jelas. Perempuan yang mengandung tidak dirugikan. Garis keturunan menjadi terjaga. Apalagi ketika jumlah manusia semakin banyak, pernikahan memberikan jalur kepada manusia untuk memiliki pasangan yang tetap dan jelas.”
“Betul, pernikahan adalah ikatan pertanggungjawaban. Tapi, jika yang terjadi adalah antara sesama jenis? Kan nggak menghasilkan keturunan? Jadi apa yang harus dijaga lewat pernikahan?” pancingku.
Erik agak ragu. “Aku rasa, selain soal keturunan, pernikahan juga untuk mengkondisikan agar seseorang bisa setia dengan pasangannya. Itulah moral yang dijaga dalam pernikahan: bertanggung jawab atas pasangan. Sinkron dengan janji saat menikah: setia.”
“Berarti kesetiaan yang dikondisikan. Bagaimana kalo mereka sudah setia tanpa ‘dikondisikan’? Ada tuh, orang dari remaja sampai gede nggak gonta-ganti pacar, hingga akhirnya menikah. Soalnya pada beberapa orang, kesetiaan itu bukan kewajiban, tapi memang sudah menjadi sifatnya.”
“Mungkin pasangan gay memang ada yang setia. Tapi nggak semua juga, kan?”
“Berarti kesimpulannya, pasangan homoseksual harusnya juga diijinkan untuk menikah, kan? Agar setidaknya mereka terkondisi untuk nggak gonta-ganti pasangan,” simpulku.
Erik tertawa dengan mimik agak bingung. “Jika bisa terlaksana, aku rasa itu lebih positif. Tapi jika kembali kepada ajaran agama, bukankah Tuhan menciptakan manusia yang berpasangan adalah antara laki-laki dan perempuan?”
“Berpasangan untuk menghasilkan anak, memang iya harus beda jenis. Tapi yang namanya berpasangan kan nggak cuma soal bikin keturunan. Tuhan memberikan Hawa kepada Adam, bukan semata-mata agar keduanya bereproduksi. Tapi juga karena Adam merasa kesepian, butuh seorang teman yang seimbang dengannya. Kamu pacaran sama Amanda juga nggak semata-mata karena mikirin seks, kan?”
“Tapi pada akhirnya, orang yang menikah akan bikin anak juga, kan?”
“Iya. Tapi kalo itu menjadi tujuan utamanya, Tuhan nggak adil sama orang-orang mandul dong? Udah repot-repot menikah, nggak bisa menghasilkan keturunan. Dan gimana juga dengan Pastur, rahib, biarawati? Mereka nggak bikin keturunan, tapi mereka tetap dipandang sebagai orang-orang yang berbakti pada Tuhan. Jadi, menurutku respon kita terhadap seksualitas bukan tolok ukur ketaatan kita kepada Tuhan.”
“Jadi, free sex itu benar?”
“Salah. Free sex nggak menjalankan nilai kesetiaan. Homoseks belum tentu free sex. Kalo seorang gay setia sama pasangannya, berarti bukan free sex dong!”
“Tapi kan bisa dibilang free dalam memilih pasangan, mendobrak sifat alami bahwa pasangan laki-laki adalah perempuan?”
“Yahh, kalo gitu kenapa nggak dijelaskan saja di Kitab Suci, kenapa mahkluk hidup bisa menjadi homoseksual? Kenapa cuma di-judge bahwa homoseksual itu dosa? Apakah karena melanggar hukum alam? Angsa, Bonobo, Jerapah, mereka banyak yang homoseksual. Apa mereka nggak alami? Binatang itu jadi korban pelecehan seksualkah, lalu trauma dan jadi homo? Atau binatang itu cuma akting? Apanya yang nggak alami?”
“Kamu nggak takut menyamakan manusia dengan binatang, Mas?”
“Kalo dalam ilmu biologi, manusia kan memang termasuk dalam dunia binatang. Tapi dengan peran ilmu sosial, definisi manusia naik derajat menjadi ‘satu-satunya binatang yang berbudaya’.”
Erik tertawa. Aku juga. Makan sambil diskusi, atau diskusi sambil makan. Kami membicarakan masalah sensitif ini tanpa menjadi sensitif. Istilah Jawa-nya: Gayeng.
“Saat kita membaca di Kitab Suci tentang larangan membunuh, kita bisa menemukan alasan bahwa membunuh menyebabkan nyawa orang lain hilang. Menyebabkan seorang istri menjadi janda, seorang anak menjadi yatim piatu, menyebabkan seseorang menjadi sebatang kara. Saat kita sembuh dari sakit, kita bisa mengucap ‘Ini kehendak Tuhan’, atau ‘Alhamdulillah’. Tapi di balik kesembuhan itu sebenarnya ada proses yang kita jalani: minum obat, terapi, istirahat, dan sebagainya. Jadi, kehendak Tuhan pun perlu melewati suatu proses. Melewati berbagai alasan. Ketika orang hanya tinggal men-judge bahwa homoseksual itu dosa, maka aku bertanya: Kenapa? Apakah prosesnya? Apakah alasannya?”
Erik sedikit mengernyitkan kening. “Bagaimana jika alasannya adalah... Tuhan bermaksud mengujimu?”
“Ada orang yang buta sejak lahir. Jika Tuhan memang berkehendak mengujinya lewat kebutaan, kira-kira goal apa yang dinginkan Tuhan?” aku balik bertanya.
“Ada orang buta yang bisa membaca lewat braile, dia membaca dengan tangannya. Stevie Wonder buta sejak lahir, tapi dia punya bakat musik yang luar biasa. Dengan memberi kondisi fisik yang tak sempurna, Tuhan menguji manusia agar menemukan kelebihan-kelebihan yang tersembunyi.”
“Benar. Tuhan nggak nuntut agar orang yang buta itu harus melihat dengan matanya.”
“Ya.”
“Aku rasa mirip denganku. Naluriku sebagai laki-laki ternyata ‘buta’ terhadap perempuan. Jadi haruskah aku tertarik pada perempuan? Sebaliknya, tanpa rencana aku menyukai sesama laki-laki. Apakah aku tetap harus menyukai perempuan? Kenapa? Apa alasannya? Jawaban absolut bahwa ‘homoseksual itu dosa’, sebenarnya sama sekali tak menjawabku. Karena malah terkesan bahwa Tuhan hanya mempermainkanku, memberiku kail agar aku tak memancing. Memberiku hasrat kepada laki-laki, agar aku tak jatuh cinta pada laki-laki. Nggak logis.”
Saat isi hatiku kian tercurah, sekali lagi aku terbayang ucapan-ucapan pengkhotbah di gereja tadi. Dan terbayang saat Mama mengamininya. Hatiku seperti diiris. Aku menghela nafas...
“Bukankah cinta itu salah satu kebutuhan jiwa setiap orang? Apakah aku harus mengubur perasaanku sendiri, di saat laki-laki dan perempuan bebas menjadi kekasih?”
Erik terdiam. Aku juga. Makanan kami sama-sama sudah habis. Tapi aku tak sepenuhnya kenyang. Hatiku masih lapar...
“Andai kamu masih menguburnya, mungkin aku pun masih ‘buta’,” ucap Erik setelah lama dia merenung.
Aku agak tertegun. “Buta terhadap apa?”
“Bahwa banyak hal yang belum terjelaskan. Bahwa banyak orang merasa layak menjadi hakim padahal belum tentu mereka bisa menjelaskan. Jangankan menjelaskan, mengerti saja tidak. Jika kamu menguburnya, dunia akan semakin nggak ngerti, Mas. Kalian memang harus mengungkapnya.”
Aku terharu dengan jawaban Erik. “Masalahnya, taruhannya besar, Rik. Ada yang harus kehilangan teman, ada yang harus kehilangan keluarga... Andai semua orang seperti kamu, seperti Misha, Ben, Denis...”
“Bahkan aku pun pernah bersikap nggak adil sama kamu,” gumam Erik.
Aku tertawa pahit. “Tapi justru karena kejadian itu, aku banyak introspeksi. Sebenarnya aku juga harus berterima kasih karena mendapat tamparan-tamparan yang membuatku belajar.”
“Kata orang bijak, ‘orang yang jahat kepadamu kadang membuatmu belajar tentang kebaikan, tapi kau tak perlu berterima kasih padanya’,” ujar Erik, sejuk didengar.
Aku mengangguk. Merasakan ada arti di dalam senyumku. Hmmhh... Kenapa dari tadi cuma membicarakan diriku sendiri ya?
“Bagaimana kamu dengan Amanda? Kalian enjoy nggak, dengan hubungan kalian?” tanyaku ke Erik, mengalihkan arah pembicaraan. Sembari masih duduk-duduk meski makanan kami sudah habis.
“Enjoy aja kok. Kenapa?”
“Kalian kan beda agama. Pernah ada masalah nggak sih?”
Erik mendehem. “Kalo soal itu, kami lebih suka diskusi daripada berantem. Kan sejak awal udah sama-sama tahu kalo beda agama. Nggak lucu lah kalo berantem.”
“Hmm. Aku salut!” decakku kagum. “Tapi, kalian kepikiran nggak sih misalnya... kelak kalian menikah?”
Erik tertawa. “Belum sampai situ lah. Tapi kalo itu terjadi, aku berharap tak ada pihak yang merasa mengorbankan agamanya. Andai pun dia ikut agamaku, kuharap itu bukan karena aku. Tapi karena keyakinannya sendiri. Soalnya aku tahu beberapa kasus, ada istri yang mengikuti agama suaminya, tapi ketika terjadi perceraian si istri itu menjadi bingung dengan agamanya. Kesimpulanku, entah dalam pernikahan atau bukan, mendalami agama lain itu sebaiknya diawali dengan kayakinan dari diri sendiri. Bukan karena sekedar ikut.”
“Hmmm. Calon suami yang baik nih,” celetukku.
“Hahaha... Tapi aku nggak mau berandai-andai terlalu jauh lah, soal pernikahan. Itu baru pemikiran aja. Saat ini aku sama dia pacaran, bagiku agamaku, baginya agamanya. Karena saling suka, ya jalani aja.”
“Hmm. Pacar yang baik,” celetukku lagi.
“Fandy enggak?”
Gantian aku tertawa. “Dia sih baik juga. Tapi sekarang aku baru kesal sama dia! Dan aku ngiri sama kamu. Kamu sama Amanda yang beda agama aja bisa punya momen Natal, biarpun sebentar, nganterin dia ke gereja. Nha si Fandy, malah pilih pulang kampung. Boncengin temannya lagi!”
“Soalnya waktu Lebaran kemarin, Amanda juga senang-senang aja main ke rumahku, makan ketupat bareng keluarga,” seloroh Erik. Lalu dia menertawaiku. “Jadi kamu ikut aku buat balas dendam sama Fandy?”
Aku langsung cemberut. “Bukan. Buat ngomporin Amanda!”
Kami sama-sama tertawa, meski tawaku karena dongkol. Keakraban ini secara tersirat mengenang memori kami, ketika aku jatuh cinta pada Erik, dan dia menolakku. Saat dia membohongiku, saat aku sakit hati, saat dia minta maaf, saat semua itu menjadi proses menuju sebuah persahabatan. Sekarang tidak lagi menyakitkan. Justru lucu dan manis. Meski tak ada Fandy, tapi akhirnya aku merasa bahwa malam ini aku telah menemukan suasana yang tak ada ruginya juga. Karena ada teman yang sehangat Erik.
“Habis ini mau ke mana?” tanya Erik, kedengarannya menawariku.
“Kamu nggak pulang? Udah setengah sebelas nih?” aku melirik jam tanganku.
“Nggak. Masih pingin jalan-jalan. Besok kan libur. Eh, tapi besok pagi kamu ke gereja lagi kan?”
Aku tertawa masam. “Nggak yakin sih. Sebenarnya aku juga lagi butuh hiburan. Ke kafe aja gimana, yang ada live music?” cetusku.
“Kan habis makan-makan ini? Masa ke kafe lagi?”
“Nonton musik aja. Nggak perlu makan lagi,” ujarku. Ya, pastinya di Malam Natal gini sajian live music-nya juga bertema Natal. Pasti seru buat hiburan.
“Oke,” Erik akhirnya setuju. “Aku tahu kafe yang punya band bagus.”
Kami akhirnya meninggalkan tikar lesehan. Menuju ke kasir, membayar makanan kami. Lalu melangkah menuju ke mobil. Bersiap melanjutkan hiburan untuk malam ini.
Berburu live music!
Aku berjalan sendirian di bawah kerlap-kerlip lampu kota yang bertebaran menyaingi bintang. Bermain sendiri dengan ubin-ubin trotoar, berjingkat mendaratkan kaki di satu ubin setelah melompati satu ubin lainnya. Hingga sepertinya sudah cukup jauh. Aku berhenti. Kurasakan, bahwa sesungguhnya aku terasing. Tersingkir di Malam Natal ini.
Kubuang pikiran kalutku. Kulihat sebuah mini market yang tak jauh jaraknya. Aku pun mampir. Mungkin aku butuh sesuatu.
Aku menuju ke deretan minuman kaleng. Aku bingung, apakah yang cocok untuk membasuh rasa gundahku malam ini? Saat sedang sibuk memilih minuman, tiba-tiba aku dikejutkan oleh seseorang yang menyapaku.
“Cari apa, Mas?”
“Hoi, Rik! Kok kebetulan banget nih?” sambutku, sedikit terperangah. Nggak nyangka ketemu Erik di sini.
“Iya. Habis mengantar Amanda ke gereja. Terus mampir ke sini,” sahut Erik.
“Hmm. Manja juga cewekmu? Dia nggak barengan sama keluarganya?”
“Ortunya jadi pengurus di gerejanya, jadi berangkat duluan. Dia dadakan minta aku antar, soalnya kebetulan ban motornya bocor. Katanya.”
“Kebetulan?” sentilku. “Jadi kalo ban motornya nggak bocor, nggak ‘kebetulan’?”
Erik tertawa tipis. “Kamu sendiri kok malah di sini? Nggak ke gereja?”
“Di sana sumpek. Aku butuh udara segar,” gumamku, sembari melihat-lihat minuman jenis beer. Akhirnya aku memilih rootbeer.
“Lagi galau, nih?” sindir Erik.
Aku gantian tertawa. “Kamu sendiri nggak galau, pacaran beda agama?” aku balik menyindir. Rada nekat.
Erik cuma terkekeh, nggak terkesan sensi. Kami menuju ke kasir, membayar belanjaan masing-masing. Aku rootbeer, Erik susu Bear Brand. Tapi kami harus mengantri. Saat menunggu antrian, aku baru sempat menyimak lagu Natal yang diputar di toko ini. ‘I’ll Be Home For Christmas’...
Setelah kami selesai membayar di kasir, dan tiba di luar...
“Habis ini kamu ke mana, Rik?” aku bertanya.
“Aku? Entahlah. Mungkin putar-putar kota, lihat suasana Natal,” jawab Erik nggak yakin. Yahh, dia juga mirip orang lagi galau.
“Kamu bawa mobil?”
“Iya.”
“Aku boleh ikut?”
“Kamu nggak balik ke gereja?”
Aku menggeleng. “Biar diwakilin Denis.”
Erik menertawaiku. “Kalo Fandy tahu kamu sama aku, nggak apa-apa kan?”
“Dia sama keluarganya. Di Sragen.”
“Oh. Oke. Tapi bukan aku yang dosa ya!”
“Yesus pengertian kok,” ujarku santai.
Kami masuk ke mobil, Honda City warna hitam. Kami mulai melintasi jalan raya yang padat, berbaur dengan kota yang gemerlapan. Kota Solo yang anggun di Malam Natal. Ada pesan yang masuk ke HP-ku. Pesan dari Denis.
“Mas, u dmn?”
Aku membalas. “Aku lg jlan2.”
“Kmn? Ntar balik ke grja kan?”
“Kyknya nggak. Bilang aja ke Papa or Mama, aku ktmu teman n diajak jlan2.”
“Sama sapa? Kalo Mama marah gmn?”
“Ntar marahnya biar ke aku aja. Ntar aku mscall kalo udh sampai rmh, tlg bukain pintu ya..” Setelah kubalas begitu, Denis nggak balas lagi. Kuanggap dia mengerti situasiku. Ya, aku percaya, dia selalu mengerti.
Sambil melihat cantiknya Kota Solo dari balik kaca mobil, aku melanjutkan bercakap-cakap dengan Erik. Tentang hal-hal yang ringan saja. Soal sekolah, band, musik. Apa saja yang bisa mengalihkan pikiranku dari khotbah di gereja tadi, yang disahut dengan lantang oleh Mama, “AMIN!”. Apa saja, yang bisa membuatku lupa.
“Cari makan yuk, Mas?” Erik membawa pembicaraan ke urusan perut.
“Eh, kamu nggak jemput pacarmu?” aku mengalihkan pembicaraan ke urusan pacar. Baru sadar, aku sudah bertindak kurang tahu diri menyita cowoknya orang!
“Nggak, dia tadi bilang mau pulang bareng ortunya kok,” jawab Erik, membuatku lega.
“Oh, ya udah. Cari makan di mana?”
“Di Galabo aja. Gimana?”
“Oke. Tapi kalo Amanda tahu kamu sama aku, nggak apa-apa kan?”
Erik tertawa. “Dia sama keluarganya. Di gereja.”
Kami menuju Galabo. Galabo adalah singkatan ‘Gladag Langen Bogan’, jika diterjemahkan dalam bahasa Indonesia kurang lebih sama dengan ‘Wisata Kuliner Gladag’. Letaknya di daerah Gladag, depan barisan Beteng Trade Center dan Pusat Grosir Solo. Tepat di samping Beteng Vastenburg. Dibelakangi oleh patung raksasa Brigjend Slamet Riyadi. Tak jauh dari lokasi Keraton Kasunanan Surakarta. Pilihan yang sangat bagus!
Kami makan lesehan di atas tikar yang digelar di sepanjang trotoar. Berbaur dengan keramaian. Aku dengan menu Nasi Goreng Udang, Erik dengan menu Nasi Kebuli Daging Kambing. Jadi ingat, dulu aku juga pernah dinner berdua dengan Erik. Waktu piknik di Bali. Yahh, saat itu kami belum sebaik ini. Maksudku, saat itu kami memang baik, tapi bukan kebaikan yang sepenuhnya jujur. Sekarang, yang aku tahu hubungan kami telah menjadi baik, dengan sejujurnya. Sesekali, masih muncul juga naluriku sebagai orang yang pernah jatuh cinta padanya. Masih kagum melihat dirinya yang tampan, cerdas, dan berwibawa. Tapi, dia sudah postif menjadi pacar orang lain. Aku juga positif menjadi pacar orang lain. ‘Orang lain’ yang istimewa bagi masing-masing. Dia dengan seorang perempuan, aku dengan seorang laki-laki. Karena itu, aku tahu ke mana harus menggiring rasa kagumku sekarang. Kepada sebatas sahabat. Dulu saat aku sedang sakit hati padanya, aku pernah menganggap dia begitu jahat dan pengecut. Tapi sekarang, setelah kami tumbuh menjadi lebih jujur, aku melihat Erik sebagai sosok yang siapapun tak akan menyesal punya sahabat seperti dirinya. Yes, he is.
“Kenapa kamu nggak balik ke gereja, Mas?” Erik tiba-tiba menanyakan hal yang tadi sudah dia tanyakan. Aku tahu, kali ini dia bertanya dengan harapan jawaban serius dariku.
“Di sana memang sumpek,” aku pun mengulang jawabanku. “Hatiku rasanya sesak.”
“Kenapa?”
Aku sempat menahan jawabanku beberapa saat. Kutengok sekeliling, kami agak jauh dari kerumun pengunjung lainnya. Kurasa aku bisa membicarakannya di sini.
Aku bicara dengan nada datar. “Aku rasa si pengkhotbah berpendapat, bahwa aku telah mencemari diriku. Jika aku masih di sana, maka aku cuma mencemari tempat itu.”
Erik menatapku agak lama. “Dia menyinggung soal gay?”
Aku tertawa masam. “Homoseksual.”
“Sebenarnya... aku ingin mendengar pendapatmu sendiri, soal dirimu jika dihubungkan dengan agama yang kamu anut. Kalo nggak keberatan sih?”
Aku tertawa lagi. “Sebenarnya bukan topik yang cocok buat dibicarakan sambil makan. Tapi... yahh, memang mengganjal juga sih kalo nggak aku omongin.”
“Oke, selama kamu nggak keberatan aja...”
“Memang di Alkitab ada teks bahwa homoseksual itu bukan perilaku yang dibenarkan,” aku mulai mengutarakan isi pikiranku. “Rasul Paulus pernah bilang bahwa banci nggak akan masuk surga. Dia bilang begitu saat berada di Roma, yang waktu itu memang masih dipenuhi para penganut Pagan, di mana free sex sering dijadikan bagian dalam ritual penyembahan dewa-dewa mereka. Free sex yang mereka lakukan termasuk homoseksual. Tapi aku pernah baca buku yang mengulas soal itu, yang ditulis oleh seorang Pendeta, dia berpendapat bahwa sikap Paulus sebenarnya tak lepas dari mindset-nya sebagai penyebar agama Kristen yang membenci ajaran Pagan. Maka apa yang ada di dalam Paganisme saat itu, Paulus membencinya, menganggapnya sebagai ajaran sesat. Termasuk homoseksual. Tapi Yesus sendiri nggak pernah membicarakannya.”
“Aku pernah diskusi dengan Amanda, bahwa sejak awal agama Kristen juga melarang perzinahan. Jadi, mungkin logis juga jika melarang homoseksual, kan?” Erik menimpaliku.
“Yup. Tapi pada suatu ketika, Yesus sendiri pernah berkata, bahwa di akherat manusia nggak lagi terikat dengan status pernikahan. Pasangan yang menjadi suami istri ketika di dunia, di akherat mereka bukan lagi suami ataupun istri. Lalu, kenapa di dunia mereka harus menikah?”
“Untuk mengendalikan kehidupan selama di dunia,” jawab Erik lugas. “Karena hubungan seksual memiliki konsekuensi, yaitu lahirnya keturunan. Dengan ikatan pernikahan, tanggung jawab seorang laki-laki untuk menafkahi keluarganya menjadi jelas. Perempuan yang mengandung tidak dirugikan. Garis keturunan menjadi terjaga. Apalagi ketika jumlah manusia semakin banyak, pernikahan memberikan jalur kepada manusia untuk memiliki pasangan yang tetap dan jelas.”
“Betul, pernikahan adalah ikatan pertanggungjawaban. Tapi, jika yang terjadi adalah antara sesama jenis? Kan nggak menghasilkan keturunan? Jadi apa yang harus dijaga lewat pernikahan?” pancingku.
Erik agak ragu. “Aku rasa, selain soal keturunan, pernikahan juga untuk mengkondisikan agar seseorang bisa setia dengan pasangannya. Itulah moral yang dijaga dalam pernikahan: bertanggung jawab atas pasangan. Sinkron dengan janji saat menikah: setia.”
“Berarti kesetiaan yang dikondisikan. Bagaimana kalo mereka sudah setia tanpa ‘dikondisikan’? Ada tuh, orang dari remaja sampai gede nggak gonta-ganti pacar, hingga akhirnya menikah. Soalnya pada beberapa orang, kesetiaan itu bukan kewajiban, tapi memang sudah menjadi sifatnya.”
“Mungkin pasangan gay memang ada yang setia. Tapi nggak semua juga, kan?”
“Berarti kesimpulannya, pasangan homoseksual harusnya juga diijinkan untuk menikah, kan? Agar setidaknya mereka terkondisi untuk nggak gonta-ganti pasangan,” simpulku.
Erik tertawa dengan mimik agak bingung. “Jika bisa terlaksana, aku rasa itu lebih positif. Tapi jika kembali kepada ajaran agama, bukankah Tuhan menciptakan manusia yang berpasangan adalah antara laki-laki dan perempuan?”
“Berpasangan untuk menghasilkan anak, memang iya harus beda jenis. Tapi yang namanya berpasangan kan nggak cuma soal bikin keturunan. Tuhan memberikan Hawa kepada Adam, bukan semata-mata agar keduanya bereproduksi. Tapi juga karena Adam merasa kesepian, butuh seorang teman yang seimbang dengannya. Kamu pacaran sama Amanda juga nggak semata-mata karena mikirin seks, kan?”
“Tapi pada akhirnya, orang yang menikah akan bikin anak juga, kan?”
“Iya. Tapi kalo itu menjadi tujuan utamanya, Tuhan nggak adil sama orang-orang mandul dong? Udah repot-repot menikah, nggak bisa menghasilkan keturunan. Dan gimana juga dengan Pastur, rahib, biarawati? Mereka nggak bikin keturunan, tapi mereka tetap dipandang sebagai orang-orang yang berbakti pada Tuhan. Jadi, menurutku respon kita terhadap seksualitas bukan tolok ukur ketaatan kita kepada Tuhan.”
“Jadi, free sex itu benar?”
“Salah. Free sex nggak menjalankan nilai kesetiaan. Homoseks belum tentu free sex. Kalo seorang gay setia sama pasangannya, berarti bukan free sex dong!”
“Tapi kan bisa dibilang free dalam memilih pasangan, mendobrak sifat alami bahwa pasangan laki-laki adalah perempuan?”
“Yahh, kalo gitu kenapa nggak dijelaskan saja di Kitab Suci, kenapa mahkluk hidup bisa menjadi homoseksual? Kenapa cuma di-judge bahwa homoseksual itu dosa? Apakah karena melanggar hukum alam? Angsa, Bonobo, Jerapah, mereka banyak yang homoseksual. Apa mereka nggak alami? Binatang itu jadi korban pelecehan seksualkah, lalu trauma dan jadi homo? Atau binatang itu cuma akting? Apanya yang nggak alami?”
“Kamu nggak takut menyamakan manusia dengan binatang, Mas?”
“Kalo dalam ilmu biologi, manusia kan memang termasuk dalam dunia binatang. Tapi dengan peran ilmu sosial, definisi manusia naik derajat menjadi ‘satu-satunya binatang yang berbudaya’.”
Erik tertawa. Aku juga. Makan sambil diskusi, atau diskusi sambil makan. Kami membicarakan masalah sensitif ini tanpa menjadi sensitif. Istilah Jawa-nya: Gayeng.
“Saat kita membaca di Kitab Suci tentang larangan membunuh, kita bisa menemukan alasan bahwa membunuh menyebabkan nyawa orang lain hilang. Menyebabkan seorang istri menjadi janda, seorang anak menjadi yatim piatu, menyebabkan seseorang menjadi sebatang kara. Saat kita sembuh dari sakit, kita bisa mengucap ‘Ini kehendak Tuhan’, atau ‘Alhamdulillah’. Tapi di balik kesembuhan itu sebenarnya ada proses yang kita jalani: minum obat, terapi, istirahat, dan sebagainya. Jadi, kehendak Tuhan pun perlu melewati suatu proses. Melewati berbagai alasan. Ketika orang hanya tinggal men-judge bahwa homoseksual itu dosa, maka aku bertanya: Kenapa? Apakah prosesnya? Apakah alasannya?”
Erik sedikit mengernyitkan kening. “Bagaimana jika alasannya adalah... Tuhan bermaksud mengujimu?”
“Ada orang yang buta sejak lahir. Jika Tuhan memang berkehendak mengujinya lewat kebutaan, kira-kira goal apa yang dinginkan Tuhan?” aku balik bertanya.
“Ada orang buta yang bisa membaca lewat braile, dia membaca dengan tangannya. Stevie Wonder buta sejak lahir, tapi dia punya bakat musik yang luar biasa. Dengan memberi kondisi fisik yang tak sempurna, Tuhan menguji manusia agar menemukan kelebihan-kelebihan yang tersembunyi.”
“Benar. Tuhan nggak nuntut agar orang yang buta itu harus melihat dengan matanya.”
“Ya.”
“Aku rasa mirip denganku. Naluriku sebagai laki-laki ternyata ‘buta’ terhadap perempuan. Jadi haruskah aku tertarik pada perempuan? Sebaliknya, tanpa rencana aku menyukai sesama laki-laki. Apakah aku tetap harus menyukai perempuan? Kenapa? Apa alasannya? Jawaban absolut bahwa ‘homoseksual itu dosa’, sebenarnya sama sekali tak menjawabku. Karena malah terkesan bahwa Tuhan hanya mempermainkanku, memberiku kail agar aku tak memancing. Memberiku hasrat kepada laki-laki, agar aku tak jatuh cinta pada laki-laki. Nggak logis.”
Saat isi hatiku kian tercurah, sekali lagi aku terbayang ucapan-ucapan pengkhotbah di gereja tadi. Dan terbayang saat Mama mengamininya. Hatiku seperti diiris. Aku menghela nafas...
“Bukankah cinta itu salah satu kebutuhan jiwa setiap orang? Apakah aku harus mengubur perasaanku sendiri, di saat laki-laki dan perempuan bebas menjadi kekasih?”
Erik terdiam. Aku juga. Makanan kami sama-sama sudah habis. Tapi aku tak sepenuhnya kenyang. Hatiku masih lapar...
“Andai kamu masih menguburnya, mungkin aku pun masih ‘buta’,” ucap Erik setelah lama dia merenung.
Aku agak tertegun. “Buta terhadap apa?”
“Bahwa banyak hal yang belum terjelaskan. Bahwa banyak orang merasa layak menjadi hakim padahal belum tentu mereka bisa menjelaskan. Jangankan menjelaskan, mengerti saja tidak. Jika kamu menguburnya, dunia akan semakin nggak ngerti, Mas. Kalian memang harus mengungkapnya.”
Aku terharu dengan jawaban Erik. “Masalahnya, taruhannya besar, Rik. Ada yang harus kehilangan teman, ada yang harus kehilangan keluarga... Andai semua orang seperti kamu, seperti Misha, Ben, Denis...”
“Bahkan aku pun pernah bersikap nggak adil sama kamu,” gumam Erik.
Aku tertawa pahit. “Tapi justru karena kejadian itu, aku banyak introspeksi. Sebenarnya aku juga harus berterima kasih karena mendapat tamparan-tamparan yang membuatku belajar.”
“Kata orang bijak, ‘orang yang jahat kepadamu kadang membuatmu belajar tentang kebaikan, tapi kau tak perlu berterima kasih padanya’,” ujar Erik, sejuk didengar.
Aku mengangguk. Merasakan ada arti di dalam senyumku. Hmmhh... Kenapa dari tadi cuma membicarakan diriku sendiri ya?
“Bagaimana kamu dengan Amanda? Kalian enjoy nggak, dengan hubungan kalian?” tanyaku ke Erik, mengalihkan arah pembicaraan. Sembari masih duduk-duduk meski makanan kami sudah habis.
“Enjoy aja kok. Kenapa?”
“Kalian kan beda agama. Pernah ada masalah nggak sih?”
Erik mendehem. “Kalo soal itu, kami lebih suka diskusi daripada berantem. Kan sejak awal udah sama-sama tahu kalo beda agama. Nggak lucu lah kalo berantem.”
“Hmm. Aku salut!” decakku kagum. “Tapi, kalian kepikiran nggak sih misalnya... kelak kalian menikah?”
Erik tertawa. “Belum sampai situ lah. Tapi kalo itu terjadi, aku berharap tak ada pihak yang merasa mengorbankan agamanya. Andai pun dia ikut agamaku, kuharap itu bukan karena aku. Tapi karena keyakinannya sendiri. Soalnya aku tahu beberapa kasus, ada istri yang mengikuti agama suaminya, tapi ketika terjadi perceraian si istri itu menjadi bingung dengan agamanya. Kesimpulanku, entah dalam pernikahan atau bukan, mendalami agama lain itu sebaiknya diawali dengan kayakinan dari diri sendiri. Bukan karena sekedar ikut.”
“Hmmm. Calon suami yang baik nih,” celetukku.
“Hahaha... Tapi aku nggak mau berandai-andai terlalu jauh lah, soal pernikahan. Itu baru pemikiran aja. Saat ini aku sama dia pacaran, bagiku agamaku, baginya agamanya. Karena saling suka, ya jalani aja.”
“Hmm. Pacar yang baik,” celetukku lagi.
“Fandy enggak?”
Gantian aku tertawa. “Dia sih baik juga. Tapi sekarang aku baru kesal sama dia! Dan aku ngiri sama kamu. Kamu sama Amanda yang beda agama aja bisa punya momen Natal, biarpun sebentar, nganterin dia ke gereja. Nha si Fandy, malah pilih pulang kampung. Boncengin temannya lagi!”
“Soalnya waktu Lebaran kemarin, Amanda juga senang-senang aja main ke rumahku, makan ketupat bareng keluarga,” seloroh Erik. Lalu dia menertawaiku. “Jadi kamu ikut aku buat balas dendam sama Fandy?”
Aku langsung cemberut. “Bukan. Buat ngomporin Amanda!”
Kami sama-sama tertawa, meski tawaku karena dongkol. Keakraban ini secara tersirat mengenang memori kami, ketika aku jatuh cinta pada Erik, dan dia menolakku. Saat dia membohongiku, saat aku sakit hati, saat dia minta maaf, saat semua itu menjadi proses menuju sebuah persahabatan. Sekarang tidak lagi menyakitkan. Justru lucu dan manis. Meski tak ada Fandy, tapi akhirnya aku merasa bahwa malam ini aku telah menemukan suasana yang tak ada ruginya juga. Karena ada teman yang sehangat Erik.
“Habis ini mau ke mana?” tanya Erik, kedengarannya menawariku.
“Kamu nggak pulang? Udah setengah sebelas nih?” aku melirik jam tanganku.
“Nggak. Masih pingin jalan-jalan. Besok kan libur. Eh, tapi besok pagi kamu ke gereja lagi kan?”
Aku tertawa masam. “Nggak yakin sih. Sebenarnya aku juga lagi butuh hiburan. Ke kafe aja gimana, yang ada live music?” cetusku.
“Kan habis makan-makan ini? Masa ke kafe lagi?”
“Nonton musik aja. Nggak perlu makan lagi,” ujarku. Ya, pastinya di Malam Natal gini sajian live music-nya juga bertema Natal. Pasti seru buat hiburan.
“Oke,” Erik akhirnya setuju. “Aku tahu kafe yang punya band bagus.”
Kami akhirnya meninggalkan tikar lesehan. Menuju ke kasir, membayar makanan kami. Lalu melangkah menuju ke mobil. Bersiap melanjutkan hiburan untuk malam ini.
Berburu live music!
Berlanjut disini : http://separoohnyolong.blogspot.com/2013/09/a-christmas-apple-552.html