II
DI BAWAH LANGIT BALI
Seorang Penghibur
Lamat-lamat kudengar seseorang memanggil namaku. Kupicingkan mataku. Sejenak aku menggeliat, perlahan membangunkan diri.
“Devan, masih tidur saja?” sapanya lagi.
Kuperhatikan orang yang menyapaku itu. Laki-laki bertubuh tinggi sedang dengan wajah kalem, dia tersenyum tipis di muka pintu kamar kosku.
“Awan!” balasku.
Awan, sahabatku yang baru datang itu tertawa kecil sambil melangkah masuk.
“Aku ketiduran,” gumamku sambil menggeliat di kursi. “Naik apa kemari?”
“Itu, motor!” Awan menunjuk motornya yang diparkir di halaman. Dia berdiri di hadapanku sambil menatapku dengan jenaka. “Kamu agak kurusan? Hmmm. Terlalu sibuk jadi aktivis?”
“Yahh… Kampanye lingkungan, melawan sampah-sampah para pemilik modal yang mengotori pantai kita. Sangat melelahkan. Duduk sini!” selorohku sambil menyilakan sahabatku itu duduk.
Lalu aku beranjak menuju dapur. Sejenak kemudian, aku segera menuju ke ruang depan lagi sambil membawa satu poci teh hangat.
“Soal minum, kesukaan kita masih sama kan?” selorohku sembari meletakkan poci di atas meja.
Awan cuma tersenyum tipis. Dia menyambut poci teh itu, lalu menuangkan isinya ke gelas. Dia meminum tehnya. Matanya yang bening sayu, yang tadi terlihat lelah kini mulai berangsur-angsur lebih cerah.
“Bagaimana kabarmu?” aku bertanya sambil ikut meminum tehku.
“Biasa saja. Kamu?”
“Ya, beginilah. Kau lihat sendiri. Dan sebagian aku juga sudah ceritakan padamu!”
Awan menatapku, tertawa simpul. Tampaknya paham yang kumaksud. “Mulai saat ini seharusnya hidupmu lebih menyenangkan. Suatu saat aku juga ingin bertemu dengannya, pacarmu itu!” balasnya santai.
Aku tertawa kecil. Memang, beberapa hari yang lalu aku bercerita sedikit pada Awan melalui telpon, bahwa aku sekarang menjalin hubungan dengan seseorang. Berpacaran. Sebenarnya juga tak terlalu penting untuk dibahas panjang, aku cuma sekedar memberi tahu sahabatku itu bahwa setelah sekian lama akhirnya aku memiliki kekasih. Sepertinya dia mau mencibirku, padahal dia sendiri belum pernah berpacaran dengan siapapun hingga kini!
“Menurut teman-temanku, dia tak terlalu cantik. Tapi manis. Entahlah, apa bedanya?” gumamku santai.
“Yesus bilang, ‘Jangan memandang rupa!’, begitu kan?” tiba-tiba Awan menyebut Yesus.
Aku tertawa. “Kau tahu dari mana Yesus bilang seperti itu?”
“Kau pernah mengajakku ke gereja. Seingatku seperti itu kothbahnya,” jawab Awan santai.
“Seingatku, aku tak mengajak. Kau sendiri yang minta ikut. Malah kupikir kau ketiduran di gereja waktu itu!”
“Di Pura yang hening saja aku tidak ketiduran, bagaimana bisa di gereja yang hingar bingar itu aku malah ketiduran?”
Aku cuma tertawa menanggapinya.
“Tapi benar, Yesus pernah bilang begitu kan?”
“Entahlah. Kau kira aku umat yang baik?” sahutku sambil terkekeh melirik Alkitab milikku yang teronggok di bawah meja. Berdebu.
“Kenapa? Kau jadi lebih liberal sekarang?” sindir Awan disusul dengan tawanya. “Kapan aku bisa berkenalan dengan pacarmu itu?” lanjutnya dengan pertanyaan yang kembali ke soal pacar. Meski lebih terdengar bergurau daripada bertanya serius.
“Kapan-kapan saja,” jawabku santai. “Ada yang lebih penting dari itu, kapan giliranmu memberi kabar gembira bahwa akhirnya kau juga punya pacar?!”
Awan tertawa kecut, tak menjawab. Dia meminum tehnya lagi. Pandangannya menatap ke dinding, tapi sepertinya pikirannya ada di tempat yang lebih jauh. Mengawang.
“Dari Jembrana kemari, jauh sekali. Saat kamu memberitahu mau kemari, aku kira ada hal penting. Atau cuma sekedar mengunjungiku?” aku mengalihkan pembicaraan.
Awan masih terdiam sesaat. Matanya tampak bergerak agak ragu. “Ya. Tapi mungkin bisa kita bicarakan nanti sore saja, sambil jalan-jalan. Aku ingin ke Jimbaran. Tapi saat ini aku masih agak lelah,” ungkapnya sambil menggeliatkan tangannya.
Oo, sepertinya memang tak sekedar mengunjungiku.
“Okey, kau bisa tiduran dulu kalau masih letih,” sahutku ringan.
“Hmm...” Awan cuma mengangguk pelan.
Dari Jembrana ke Badung adalah jarak yang cukup jauh. Lebih dari 100 km. Apalagi ditempuh dengan motor, pasti melelahkan. Aku tidak bisa mencegah kalau Awan ingin beristirahat sejenak setelah perjalanan jauhnya.
Aku mulai tinggal di sini, di Badung, sejak tiga tahun yang lalu, tepatnya tahun 2001. Aku mengambil kuliah di Fakultas Hukum Universitas Udayana dan karenanya aku harus meninggalkan Jembrana. Awan adalah adik kelasku waktu SMA, kami selisih satu tahun. Begitu lulus dia tetap di Jembrana, meneruskan kuliah di Akademi Pariwisata Kota Negara. Biarpun berbeda angkatan, kami bersahabat karib. Tapi sekarang, jarak yang jauh membuat kami jadi jarang bertemu. Paling cepat aku pulang ke Jembrana sebulan sekali. Sedangkan Awan sendiri jarang mengunjungiku kemari. Cuma telpon dan SMS yang menjadi sarana komunikasi kami untuk menjaga kontak.
Dengan kunjungan yang dia rencanakan ini, sepertinya ada hal penting yang ingin dia bicarakan. Tapi entah apa, tampaknya dia butuh beristirahat dahulu sebelum menjelaskannya. Aku memakluminya.
Kubiarkan sahabatku itu beristirahat di tempat tidurku. Aku memandanginya dan tersenyum.
Sobat, beban apa yang kau bawa kemari?
***
Pantai Jimbaran menjelang senja. Mentari memendarkan warna jingga di lembaran langit. Samudera luas berdebur, seperti cermin agung yang memantulkan wajah sang angkasa. Bayang-bayang remang berkerumun di sepanjang garis pantai, bercengkerama, bercanda di antara pasir dan ombak. Perahu-perahu nelayan mengapung di kejauhan, bergoyang seirama dengan gelombang.
Kami berdua duduk menghadap pantai. Terpekur takjub.
“Bagaimana Jimbaran? Mengesankan?” lontarku.
“Mungkin tak akan bosan,” jawab Awan dengan senyum kalem.
Pramusaji menghantarkan pesanan kami. Menu udang bakar dan dua buah kelapa muda. Aromanya langsung menggodai nafsu makan!
“Setelah pulang dari sini, semoga aku tak pernah lagi membeli menu semahal ini. Ini sangat menguras dompet!” kelakar Awan saat menghadapi makanan di meja kami.
“Ya, tetap saja mahal meski kita patungan!” timpalku.
Kami makan sambil menikmati suasana senja di Pantai Jimbaran. Ya, rasa dari menu yang kami makan sebenarnya tidak terlalu istimewa. Rasa lezat yang tak lebih istimewa dari menu yang sama dengan harga yang lebih murah. Tapi suasana di pantai ini memang masuk akal untuk diberi tarif mahal. Mungkin sebenarnya suasana inilah yang membuat kami kenyang!
“Van, aku ingin membicarakan sesuatu...” akhirnya Awan mulai membuka percakapan yang mengarah pada maksud pertemuan kami.
“Soal apa?” pancingku santai, siap menyimak sambil menikmati makan malam kami.
Awan terdiam sejenak. Aku menunggu tanpa ingin membuatnya tergesa-gesa.
“Kita bersahabat sejak SMA,” gumam Awan.
Aku mengernyitkan kening mendengar kalimatnya yang masih mengambang itu.
“Kau adalah teman yang selalu bisa kuajak bicara. Itupun kita sudah jarang bertemu,” lanjut Awan. Senyum pahitnya mengembang. “Sebenarnya aku takut kalau setelah ini… kau akan menjauhiku...”
Aku tertegun. “Maksudmu?”
“Memang kita sudah berjauhan sekarang. Tapi maksudku, aku kuatir kau akan berubah... jadi membenciku...”
“Hei...! Ada apa?!” cekatku makin bingung. Kata-kata Awan mulai membuatku cemas!
Awan seperti berat untuk berterus terang. Ia tertawa tersendat. “Kau sekarang sudah punya kekasih. Jadi aku pikir, mulai sekarang kita tak akan seperti dulu lagi. Aku takut kalau...”
“Kenapa aku harus membencimu?” tanyaku, tak mau berbelit-belit.
Awan membisu. Menyendokkan makanannya, menyelesaikan kunyahan yang terlihat tak dinikmatinya. Ia berjuang melawan kegugupan, tapi kenapa?
“Kita bersahabat sudah lama. Kau adalah teman karibku, aku tahu kau juga menganggapku begitu. Tapi selama ini aku menyembunyikan sesuatu darimu…”
“Menyembunyikan sesuatu? Kau sahabatku, tapi aku tak keberatan jika ada yang perlu kau tutupi. Selama itu memang pantas untuk tak kuketahui. Setiap orang punya sesuatu yang pribadi.”
“Tapi, aku rasa kau pantas untuk tahu, Van.”
Aku tercenung. “Baiklah. Aku mendengarkan. Apa yang selama ini kau sembunyikan?”
Awan mendesah. “Apa menurutmu akan mudah, untuk tidak menyembunyikan keadaan... bahwa selama ini aku mencintai seorang laki-laki...?”
Ucapan lirih itu membuat jantungku terkesiap. Tak kuduga. Aku terpana. Beberapa saat lamanya kupandangi sahabatku itu tanpa bisa berucap.
Awan tersenyum pahit padaku. “Kamu tidak salah dengan kok, Van. Your friend is gay...”
Tak hanya tak mampu berucap, sekarang aku juga berhenti mengunyah makanan yang masih terjejal di dalam mulutku.
“Kamu serius?” akhirnya dengan setengah mendengus aku tertawa. Masih sulit percaya.
“Aku memendamnya, sudah sejak dulu. Sekarang sudah terlalu sesak untuk kutahan!” desah Awan lirih. “Aku ingin kau mengetahuinya, Van. Karena sekarang kau sudah punya kekasih, hari-harimu mungkin sudah diisi oleh seseorang yang lebih berarti. Aku cuma sedikit berharap, aku tak akan dilupakan oleh sahabatku...”
Aku dibuat bungkam lagi. Dadaku mulai nyeri. Tergetar…
Awan tertawa lirih. “Kau sudah seperti kakakku sendiri, Van. Aku sering rindu kalau kau jarang pulang ke Jembrana. Siapa lagi teman karib yang kupunya? Siapa lagi yang bisa kuajak bercerita banyak hal? Aku takut kau tak bisa menerimaku lagi, tapi aku tetap harus mengatakan ini. Karena menyembunyikan perasaan ini terus menerus membuatku seperti seorang diri di dunia, tak ada orang yang benar-benar mengerti diriku yang sebenarnya. Aku ingin kau mengerti…”
Aku tertunduk. Merenungi dalam-dalam pengakuan sahabatku. Ini terasa menghantamku!
“Aku pernah kehilangan seseorang akibat ketidakjujuranku, Van. Sekarang, seandainya kau tak bisa menerimaku, setidaknya aku sudah jujur padamu...”
Aku menatap Awan. Melihat senyum kesepiannya.
“Masih ingat, kothbah Yesus yang kau singgung tadi siang?” aku mulai bicara, mengutarakan pendapatku. “Jangan memandang rupa! Sebenarnya itu bukan ucapan Yesus, tapi kesaksian Samuel, seorang nabi di Perjanjian Lama. Sebenarnya tak penting juga siapa yang mengucapkannya. Intinya, jangan menilai seseorang dari luarnya, melainkan dari hatinya. Aku sudah sering mendengar tentang gay. Kehidupan yang kotor, rusak, cabul, penuh dosa...”
Gurat wajah Awan tertekan, tak sanggup lagi menatapku. Tertunduk lesu seolah ada sesuatu yang begitu berat menindih kepalanya.
“Tapi kenapa aku harus peduli omongan orang lain, sedangkan aku sendiri sangat mengenalmu?” tandasku melanjutkan kalimatku. “Bahkan pembuat cerita Sodom dan Gomora sama sekali tak mengenalmu. Tapi aku mengenalmu! Aku kenal hatimu, dan kau tak seburuk itu. Kenapa kau mengira aku akan membencimu hanya karena kau memiliki sebuah pilihan hidup?”
Perlahan Awan mengangkat wajahnya lagi. Tersenyum getir padaku. “Orang-orang berkata ini pilihan yang salah...!” desahnya.
“Bagaimana dengan pendapatmu sendiri tentang pilihanmu?”
“Ini... setidaknya membuatku merasa lebih baik...”
“Aku mengenalmu, kau sudah menjadi orang baik sejak dulu. Dan sekarang setelah membuat pilihan itu, kau merasa lebih baik. Jadi alasan apakah bagiku untuk membencimu?”
Awan tertawa, menatapku dengan gundah. “Kau yakin? Siapa yang tahu isi hati orang, Van?”
“Siapa yang tahu isi hati orang?” aku mengulang pertanyaannya. Aku menjawabnya tanpa ragu. “Yang tahu adalah orang yang menjadi sahabatnya.”
“Bukankah seandainya aku tak mengatakannya, kau tak akan tahu masalah yang kusembunyikan? Lagipula, aku tak bermaksud bahwa kau harus mencibir Kitab Suci-mu hanya demi membelaku. Itu malah jadi semakin membebaniku…” sergah Awan. Tawanya terdengar rapuh.
Aku tersenyum kecut, menghadapi sahabat yang bimbang tapi sekaligus sedikit keras kepala!
“Baiklah, mungkin memang tak semuanya aku bisa tahu. Tapi bahwa kamu pribadi yang baik, aku tahu itu. Bagiku, pengakuanmu tak merubah kenyataan itu. Dan soal Kitab Suci, sudahlah! Apa kau tidak lihat, buku itu sudah berdebu di bawah mejaku?”
Awan terkekeh sedikit kikuk. “Setidaknya hatimu jangan ikut berdebu. Tuhan pasti lebih bijak dari yang kita tahu, kau tak perlu bersikap terlalu angkuh. Meskipun… aku tetap lega, kau bisa menerima keadaanku...” urainya terbata-bata.
Tawaku ikut berderai lirih.
“Ya, Tuhan pasti sangat bijak. Karenanya, kau tak perlu rendah diri seolah Tuhan senang melecehkan umat-Nya!” ujarku, seraya mendekap dan menepuk telapak tangan Awan yang tertekuk lesu di atas meja. “Kau tetap sahabatku. Aku tetap menerimamu. Kapanpun!”
Awan tertunduk.
“Meski aku sudah punya pacar. Dan dia perempuan,” tambahku.
Awan menahan tawanya, meski sebenarnya lebih indah jika ia melepasnya. Ada haru yang menyelinap dari getar lirihnya. Tawa damai di bibir sahabatku...
“Aku bersyukur...” ucapnya lirih.
“Kenapa baru sekarang kau mengatakannya?” tanyaku. Dalam hati sebenarnya aku merasa malu, karena sebagai sahabat aku tak mampu memahami semua ini sejak awal.
“Perlu waktu untuk memahaminya, Van...” desah Awan pelan. “Bahkan aku perlu waktu untuk jujur terhadap diri sendiri, bahwa selama ini aku telah mencintai seseorang...”
Aku menatapnya lekat-lekat. “Siapa dia?” tiba-tiba aku sangat ingin tahu.
Mata Awan kembali menerawang jauh.
“Seseorang yang sudah pergi. Jangankan mengakui perasaanku padanya, mengantarnya ke pelabuhan saja aku terlambat...” ucapnya dengan senyum pahit.
Aku sekejap mengingat. Aku terpana menerkanya. “Dika?”
Awan hanya tersenyum sembari menatap langit. Pada senyum itu, seperti kulihat jejak-jejak pahit yang tak lagi disangkalnya. Ia menjawab ‘Ya’ dengan senyum itu. Aku pun tak berhenti heran pada diriku, bagaimana bisa aku tak mengerti itu sejak dulu?
“Saat dia mengatakan rencananya untuk kuliah di Jakarta, sebenarnya aku marah dengan keadaan,” tutur Awan menguraikan ceritanya. “Aku tak mau dia pergi, tapi aku juga terlalu penakut untuk bicara jujur. Dengan pengecut aku malah memilih menjauhinya, berharap bisa melupakannya dan tak perlu menanggung sakit hati lagi. Hahaha... Aku memang bodoh. Kalaupun aku tak mampu bicara jujur, paling tidak seharusnya aku tetap berada di sampingnya, dan ada di sana saat harus merelakannya pergi. Itulah yang seharusnya dilakukan seorang sahabat. Tapi itu tak kulakukan. Sekarang aku hanya bisa menyesalinya.”
Aku terharu mendengar keluh kesahnya.
“Kesalahan di masa lalu adalah untuk diperbaiki. Kalaupun tak bisa diperbaiki lagi, setidaknya itu pelajaran agar kita bisa membangun hal baru yang lebih baik,” ucapku menegarkan semangatnya. “Penyesalan bukan lubang untuk kita terbenam. Tapi lubang untuk kita daki.”
Awan mengangguk dengan senyum yang terkatup haru. Aku percaya, dia mampu menghadapinya.
“Aku tahu keakrabanmu dengan Dika. Terus terang aku tak terlalu dekat dengannya. Tapi sejak dulu aku sudah menilai, bahwa kalian memang seperti dua orang yang sudah dijodohkan sebagai sahabat. Apakah kamu tidak ingin memperbaikinya?”
“Entahlah. Aku tak tahu, Van. Bagaimanapun dia sudah tidak di sini. Sudah dua tahun sejak dia pergi, tak kembali lagi kemari. Entah kapan dia akan pulang...” curah Awan lesu. “Aku sudah mencoba, tapi aku tak pernah menemukan orang yang bisa menggantikannya...”
Terbayang juga olehku, andai aku berada di posisi Awan, aku rasa aku pun belum tentu sanggup untuk berterus terang. Mencintai seorang sahabat, sesama laki-laki, apakah itu bisa menjadi hal yang mudah?
“Lalu... bagaimana dengan keluargamu? Apa kau akan mengatakannya juga?” tanyaku hati-hati.
“Kurasa, aku tak mungkin menyembunyikan hal ini selamanya, Van. Tapi bagiku akan ada waktu yang lebih tepat untuk memberitahu mereka. Mungkin setelah aku menyelesaikan sekolahku, saat aku sudah mampu bekerja, hidup mandiri, setidaknya menunjukkan baktiku dan bisa membuat mereka bangga. Saat itu mungkin akan lebih mudah bagi kami,” ucap Awan tegar.
Aku mengangguk. Ada rasa kagum sekaligus haru. Awan, seorang sahabat yang selama ini dihantui perasaan yang tak pernah dia ungkapkan. Seorang sahabat yang kesepian, bimbang, goyah... Tapi akhirnya tetap setia dengan kata hatinya. Aku telah mengenalnya sejak lama. Dan sekarang aku mengenalnya sekali lagi!
“Selama itu bisa membuatmu lebih baik, aku akan tetap mendukungmu. Kau tak kehilangan sahabatmu ini!” tandasku.
“Kau bukan hanya sahabatku, Van. Lebih dari itu!” tandas Awan padaku. “Seorang sahabat menaruh kasih setiap waktu, dan menjadi seorang saudara dalam kesukaran.”
Aku berdecak dengan senyum haru. “Kitab Amsal 17, ayat 17.”
Dan aku tak akan pernah melupakan wajah Awan malam itu, yang begitu lepas dan damai saat dia berucap...
“Terima kasih...”
---
berlanjut ke halaman ini: Seseorang Yang Kembali