III
DI BAWAH LANGIT BALI
Seseorang Yang Kembali
Selesai kukemasi barang-barangku. Aku duduk di pinggir tempat tidurku, melepas lelah seraya tersenyum puas atas semua persiapanku. Semua sudah beres. Sambil memandangi sudut-sudut kamar kosku yang lengang, aku termenung membayangkan kembali proses panjang yang telah kualami selama ini.
Sejak aku diterima sebagai mahasiswa di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, aku harus berpindah hidup dari kampung di Bali ke kota submetropolis ini, kota Depok. Semula aku sempat tinggal dengan pamanku di Jakarta, tapi mencoba hidup mandiri sebagai anak kos rupanya lebih menantangku, selain pertimbangan jarak yang lebih dekat dengan kampus. Kota Depok mungkin memang tak sebesar Jakarta. Tapi hidup di sini tetap menuntutku untuk bisa beradaptasi dengan banyak hal baru. Semula terasa sulit. Tapi justru itulah yang membuatku belajar lebih tegar. Aku berusaha untuk mandiri. Pagi kuliah, malam bekerja di sebuah restoran fast food. Beruntung, aku juga berhasil mendapatkan beasiswa yang meski tidak besar tapi dapat menunjang banyak kebutuhan kuliahku. Dan aku juga masih bisa menabung. Aku bangga dengan semua pencapaian ini!
Tahun kedua menjadi mahasiswa, aku membeli HP dengan uangku sendiri. Padahal dulu aku selalu berpikir HP bukan barang penting, dan selalu menolak kalau orang tuaku mau membelikanku benda itu. Dulu aku anak kampung yang berpikir bahwa HP hanyalah trend yang cuma cocok untuk orang-orang kota yang kelebihan uang. Tapi setelah aku bertemu dengan tempat hidupku yang baru, yang penuh kesibukan dan semuanya perlu serba praktis, aku mampu membeli alat itu dengan uangku sendiri. Tentu saja sekarang aku juga berpikir lain, HP bukan lagi trend tapi kebutuhan!
Kemandirian menjadi sangat kunikmati. Itulah salah satu sebab kenapa selama tiga tahun aku belum pernah pulang ke Bali. Tapi, bukan berarti aku tak bisa jenuh. Aku sudah berjuang dengan banyak kesibukan. Aku merasa sudah cukup membuktikan bahwa aku bisa mandiri. Kupikir, sekarang sebaiknya kusediakan waktu yang cukup untuk memenuhi kebutuhanku yang lain, karena itu adalah bagian dari menghargai diri sendiri.
Kuputuskan untuk mengambil cuti studi pada semester ini. Untuk melayani kebutuhan hati, kerinduan yang tak bisa ditunda lagi untuk pulang ke kampung halaman. Bali!
Beberapa minggu lalu kutemukan sebuah buku kecil di saku dasar koperku. Buku itu berisi catatan nomor HP beberapa teman lamaku. Aku bersyukur, beberapa nomor ternyata masih aktif, dan sangat membantuku di saat menjelang kepulanganku ke Bali.
Untuk kesekian kalinya, aku menghubungi seorang teman lamaku di Bali. Kutunggui nada sambung yang mengalun. Hingga panggilanku diangkatnya.
“Halo?” sapaku.
“Hai!” jawabnya.
“Akhirnya aku jadi pulang ke Bali besok.”
“Besok?”
“Ya besok, 1 Oktober, tepat hari Sabtu!” jelasku bersemangat.
“Oh, jadi sesuai rencana? Bagaimana dengan tawaranku kemarin?” dia segera mengingatkanku lagi pada tawarannya kemarin.
“Ya, sudah kupikirkan. Apa tidak merepotkanmu?”
“Hahaha... Aku justru senang! Bandara dekat sekali dengan tempat kosku. Kau bisa menginap semalam di tempatku, kita bisa jalan-jalan ke Kuta atau Jimbaran. Dekat, santai saja!” bujuknya meyakinkan.
“Jujur saja, aku sangat tertarik. Aku cuma memastikan kalau itu tidak merepotkanmu.”
“Kalau repot, aku tak akan menawarimu,” sahutnya disertai tawa kecil. “Aku ada mobil, esok harinya kita bisa seperjalanan ke Jembrana. Kebetulan sekali kamu pulang di akhir pekan!”
“Baiklah kalau begitu, aku akan menghubungi keluargaku kalau aku akan menginap satu malam di tempatmu!” tandasku mantap. Tak ragu lagi dengan rencana ini.
“Sip!” sahutnya terdengar senang. “Bagaimana, kau tidak kangen dengan Awan?” tiba-tiba dia menyinggung seseorang.
Aku terkesiap. Termangu, kikuk.
“Dia pasti juga kangen kamu!” tambahnya sambil tertawa. Bergurau?
“Hahaha… Tahu dari mana?” tukasku menyelidik. Dia berhasil membuatku penasaran!
“Kalau bertemu dia nanti, suruh saja untuk jujur!” tantang temanku itu.
“Ah, kangen juga wajar. Sudah lama tak bertemu!” sahutku dengan senyum dongkol. “Lagipula, mana mungkin dia mau mengaku?”
“Ya, mungkin sama seperti kamu yang juga tak mau mengaku!” dia mulai memojokkanku.
“Hahaha... Kau bicara apa?! Sudahlah, tak usah didramatisir!” kelitku. Aku mulai tak nyaman membahasnya. Mulai… malu.
“Dika, Awan sahabat karibmu. Kau masih belum berniat menghubunginya? Aku akan memberimu nomornya yang baru...”
“Sudahlah, Van, tak perlu. Lagipula besok aku sudah pulang ke Bali, nanti pasti juga akan bertemu langsung dengannya!” aku tetap bersikukuh untuk tidak membahasnya. Aku tak mau membahas soal Awan dengan Devan. Tepatnya, aku tak mau membahasnya dengan siapapun.
“Baiklah, terserah kamu...” timpal Devan sambil tertawa. “Jam berapa kira-kira kau akan tiba di Bali?” dia akhirnya beralih hal.
“Entahlah. Jadwal berangkat pesawatku jam 8 pagi. Nanti aku hubungi kalau sudah tiba di bandara, aku menunggu sebentar tak masalah,” jelasku.
“Fine. Aku siap jemput.”
“Thanks, sampai ketemu besok!” timpalku puas.
“See you...!” sahut Devan.
Kami memungkasi pembicaraan di HP.
Sekarang kembali lagi pada suasana kamar kosku yang lengang. Kurebahkan tubuhku ke tempat tidur. Menghela nafas, membayangkan kepulanganku ke Bali besok.
Tiga tahun aku tak pulang. Aku sudah rindu dengan kampung halamanku. Rindu dengan keluarga. Rindu dengan alam Jembrana yang menyenangkan. Rindu dengan pantainya yang bersanding dengan sawah-sawah, ladang-ladang hijau. Jembrana yang tak seramai kabupaten lainnya di Bali, tapi justru di situlah indahnya Jembrana. Sebuah kampung halaman yang tenang dan damai.
Dan mengingat tentang Jembrana, ditambah kata-kata Devan tadi, aku kembali teringat pada Awan untuk kesekian kalinya. Sahabatku…
Dia kangen padaku?
Ahhh, itu pasti cuma kelakarnya Devan saja! Tapi, kenapa juga Devan bicara seperti itu soal Awan?
Saat mengenang sosoknya, lambat laun ada rasa ingin memeluk sesuatu. Memeluk seseorang. Memeluknya. Awan yang kalem, tak banyak bicara, tapi selalu membuatku nyaman untuk bergaul dengannya. Tiga tahun di SMA kami selalu berada di kelas yang sama. Tapi bagiku dia tak sekedar teman sekolah. Lebih…
Aku bergaul dengan banyak teman. Tapi tak ada yang sedekat dia dalam keseharianku. Aku bahkan masih ingat dengan suasana di rumahnya, di kamarnya, karena hampir tiap hari aku mengunjunginya. Sehabis pulang sekolah biasanya kami bercengkerama di depan kamarnya, sambil bernyanyi, bermain gitar, bercerita.
Di depan kamarnya ada pemandangan sawah yang terbentang luas, berlapis-lapis membangun harmoni di antara lembah dan bukit-bukit kecil yang hijau. Kami bisa melihat deretan meru yang menjulang anggun menghiasi sisi salah satu bukit di kejauhan. Dengan masih berseragam sekolah, kami sering terpulas berdua di kamar, di tempat tidurnya yang menghadap jendela. Lewat jendela itu, sambil tiduran kami bisa mengintip tenggelamnya mentari senja di balik bukit. Temaram, keemasan...
Tapi, akhirnya kebersamaan itu berakhir juga. Entah kenapa, dia mulai berubah padaku. Itu terasa saat menjelang akhir masa SMA kami. Dia menjadi dingin, tak banyak bercanda lagi, dan semakin sering menghindar dariku. Seperti sengaja menjauhiku. Tanpa memberiku alasan apapun. Aku kecewa. Aku juga mulai melakukan hal yang sama, menjauhinya, menghindarinya. Tapi tentu aku tak bisa membencinya. Tak mungkin!
Andai aku bisa melawan keinginan orang tuaku, mungkin saat itu aku sudah membatalkan untuk berangkat ke Jakarta. Bagaimanapun aku tak bisa mengecewakan harapan kedua orang tuaku yang sudah telanjur bangga saat anaknya diterima sebagai mahasiswa UI tanpa test. Itu menjadi saat yang terberat bagiku saat itu. Aku bermaksud berpamitan dengan Awan, sebagai tanda bahwa meski hubungan kami tak selalu baik dan akhirnya kami harus berpisah, kami tetaplah sahabat…
Tapi dia tak ada di rumah. Kami tak pernah bertemu lagi...
Saat aku sudah di atas kapal, aku ingat bagaimana hatiku merengek. Rasanya aku tak mau pergi sebelum dia muncul meski hanya sesaat. Tentu saja kekanak-kanakanku itu menghadapi kenyataan pahit. Orang yang kuinginkan, dia tak datang. Awan tak pernah muncul di pelabuhan itu. Hahaha... Tentu saja aku memang terlalu berharap!
Dengan kuliahku, dengan semua kesibukanku yang jauh dari rumah ini, kupikir aku akan melupakannya. Ya Tuhan, ternyata tidak. Dia tetap sering muncul dalam lamunanku. Bahkan di mimpiku! Hahaha… Aku sampai malu pada diriku sendiri.
Kepulanganku ini, membuatku berharap untuk bisa bertemu lagi dengannya setelah sekian lama. Aku ingin melihatnya, aku ingin tahu seperti apa sekarang wajah orang yang dulu pernah membuatku menangis karena dia telah membiarkanku pergi begitu saja. Apakah dia masih tampan? Masih memiliki wajah pendiam tapi senyumnya lebih kaya dari kata-kata?
Dulu, saat dia tak mencegahku pergi, dia membuatku merasa tak berarti. Tapi sekarang, semua itu justru menjadi memori yang tak terganti, tentang polosnya, tentang naifnya, dan tentang lucunya cerita persahabatan di masa remaja yang tak terlupakan itu. Bahwa aku pernah memiliki seorang sahabat sebaik dirinya...
Aku bertemu dan bergaul dengan banyak kawan baru. Tapi Awan membekas lebih kuat dari yang lainnya. Dan setelah sakit hati yang pernah kurasakan, aku tetap tak pernah mampu melupakannya. Rasa rindu terus tersisa. Aku tahu kenapa. Tak lain karena ini sebuah persahabatan dengan satu rahasia yang selalu tersimpan rapi dalam ruang hatiku yang paling tersembunyi...
Persahabatan yang diselinapi sepercik rasa cinta. Dan itu pernah begitu membara...!
Hahaha...
Pengakuan yang terlambat!
***
Mataku menyusuri wajah-wajah di ruang tunggu. Setelah dari tadi menunggu, akhirnya kutemukan wajahnya. Wajahnya yang agak tirus, meski ada yang sedikit berubah tapi aku tak lupa dengannya. Dia tersenyum lebar seirama langkahnya menghampiriku.
“Dika!” sapanya merekah.
“Devan!” sambutku.
Kami berjabat membuka pertemuan setelah sekian lama kami tak pernah jumpa!
“Bagaimana kabarmu? Sepertinya tak banyak berubah?” ujar Devan dengan keramahannya yang hangat.
“Kita cuma tak bertemu tiga tahun, bukan tigapuluh tahun!”
“Bagaimana penerbangannya? Nyaman?”
“Semuanya baik! Tak ada yang kupikirkan selama perjalanan, selain suasana Bali setelah tiga tahun aku tidak pulang!”
“Kau cuma pergi tiga tahun, bukan tigapuluh tahun!” Devan menyitir kata-kataku sebelumnya. “Tak ada yang kelihatan berubah, selain penampilanmu yang lebih… necis!”
Aku tertawa. “Menyindir? Bilang saja, dulu aku terlihat sangat udik!”
“Tidak udik. Cuma terlalu lugu.”
Kami tertawa riuh, berbincang hangat sambil melangkah ringan meninggalkan ruang tunggu. Dan begitu kami telah sampai di halaman luar Bandara Ngurah Rai, kuhirup udara sedalam-dalamnya dengan senyum terkembang. Udara Bali yang hangat! Aku benar-benar telah pulang!
“Mobilku di sana,” tunjuk Devan. “Kita ke kosku dulu, kamu bisa menaruh barang-barangmu dulu di sana. Selanjutnya bisa istirahat dulu, atau langsung jalan-jalan, terserah kamu.”
“Mungkin kita bisa cari makan dulu,” selorohku antusias. “Aku sudah tak sabar makan sekenyang-kenyangnya! Ayam Betutu, Plecing, Lawar...”
“Babi Guling?”
“Itu wajib!”
Kami berdua tertawa semakin renyai. Tak ada kata lain untuk kusimpulkan dari semua ini, selain bahwa ini adalah kepulangan yang menyenangkan. Dan aku yakin, masih banyak hal yang akan kutemui setelah ini. Di sini, di Bali. Hal-hal yang pasti telah kurindukan!
***
Kunikmati indahnya suasana senja di Jimbaran. Pantai yang memikat, teduh dan begitu pandai membangkitkan romantika. Aku bersama Devan, berjalan santai menyusuri pasir yang lembut sambil bercakap-cakap berbagi kesan.
“Hidupmu pasti menyenangkan tak jauh dari surga seperti ini!” lontarku sembari berdecak kagum.
“Kau pasti juga senang hidup di Depok, buktinya tiga tahun tak mau pulang. Apa Depok juga surga seperti ini?” Devan balas mencibirku.
Aku tertawa. “Sejak kapan Depok punya pantai?”
Devan balas tertawa. Tiba-tiba HP-nya berbunyi, tanda panggilan. Dia sedikit menjauh dariku, bercakap-cakap dengan seseorang di HP-nya. Aku sempat mendengarnya meski tak begitu jelas isi percakapannya.
Daripada menguping pembicaraan pribadi orang lain, aku lebih memilih memusatkan perhatianku pada suasana pantai yang meneduhkan hati ini. Banyak orang yang tampaknya sangat menikmati romansa bersama pasangannya. Memadu kasih. Lambat laun, membuatku merasa ingin seperti mereka. Andai saja, ada seseorang yang bisa kuajak berbagi, kudekap, bergandengan di sepanjang pantai, dan membiarkan kemesraan kami disaksikan alam Dewata yang megah ini. Terbayang begitu romantis!
Kuhela nafas, membuang hasrat yang mengada-ada. Di bibir pantai aku sendiri termangu, ditelan syahdu yang membiru. Hanya melamun dan membisu, menatap keindahan alam yang begitu sempurna, dan merasakan sebagian hatiku menyisakan hampa.
Akhirnya aku tersadar kalau Devan sudah meninggalkanku terlalu lama. Aku segera beranjak mencari kemana perginya temanku itu. Kucari kesana-kemari di tengah keramaian pantai. Cukup lama aku mencari, tapi belum juga menemukannya.
Baru saja aku terpikir untuk menghubungi HP-nya, ooohh... ternyata dia sudah lebih dulu menghubungi HP-ku!
“Van, kamu dimana?” tanyaku begitu mengangkat panggilannya.
Kudengar Devan tertawa. “Bingung ya? Aku sudah di dalam kafe. Kamu kemari saja, aku sudah pesan makanan!” jawabnya santai.
“Ahh! Bikin cemas saja! Kamu di kafe mana?”
“Kafe Nyoman. Dari tempat kita tadi ke arah utara, cari saja di sepanjang Jalan Four Seasons!”
“Baik, aku ke sana.”
Kututup percakapan.
Aku berjalan menyusuri Jalan Four Seasons yang ramai, melangkah santai sambil meneliti satu per satu kafe yang aku lewati, mencari nama Kafe Nyoman. Bersimpang-lewat dengan orang-orang di sepanjang jalan yang tengah menikmati surga malam di Jimbaran, sebagai orang Bali aku benar-benar tercengang melihatnya! Desa nelayan ini tak ubahnya sebuah ‘kampung bule’ yang riuh dan serba gemerlap. Sangat kontras dengan desa-desa pantai di Jembrana yang masih asli dan tenang. Jimbaran tetap memiliki eksotikanya seperti halnya Kuta dan Legian. Tapi eksotika itu seolah tak lebih dari sebuah gambaran wajah Bali yang mulai kehilangan jatidirinya.
Akhirnya, kutemukan juga yang kucari. Aku telah berada di depan halaman Kafe Nyoman. Selagi masih berada di halaman, aku beniat menelpon Devan lagi untuk menanyakan dia berada di kursi sebelah mana.
Tapi saat aku baru membuka layar HP-ku, mataku langsung teralih ke titik lain. Perhatianku tercuri oleh seseorang yang berdiri tak jauh dariku. Semula aku hanya berniat memperhatikannya sejenak. Tapi kemudian...
Aku terpana!
Seseorang yang berdiri tak jauh di depanku, di bawah pendaran lampu kafe, dia juga sedang memegang HP dan dia juga sedang memperhatikanku. Aku menatapnya lebih lekat, begitupun dia juga sedang memandangiku. Sampai akhirnya dengan yakin kukenali dirinya...
“Awan?!” cekatku setengah berseru!
“Dika?” dia pun tak kalah kagetnya!
Aku tak bisa menahan kakiku lagi, aku menghambur menghampirinya!
“Kok kamu di sini?” pertanyaanku tumpah bersama keheranan dan kekagetan.
Awan masih tampak tak percaya. “Kenapa kamu ada di sini?” ia gugup, membalas dengan pertanyaan yang sama.
Aku sendiri juga masih sulit percaya! Ya Tuhan, kenapa tiba-tiba aku bertemu dengannya seperti ini?!
“Aku kemari dengan Devan, dia ada di dalam kafe…” jelasku ikut gugup.
Awan terlihat tambah kaget. “Dia juga yang menyuruhku ke sini! Kamu...? Kapan kamu tiba di Bali...?”
“Aku... aku tiba sore tadi... Devan yang menawariku menginap di sini. Aku tak tahu kalau dia juga mengajakmu…” jelasku terbata-bata.
“Dia menelponku kemarin siang. Dia memaksaku datang kemari, katanya ini pesta ulang tahun pacarnya. Begitu tiba di Jimbaran aku menelpon dia lagi, katanya aku disuruh mencari kafe ini!” terang Awan. “Aku dikerjai?”
“Kita dikerjai!” sahutku lesu bercampur dongkol.
Kami terdiam berdiri di depan Kafe Nyoman. Aku masih terkejut dan tak percaya dengan pertemuan ini, Awan sepertinya juga begitu. Setelah lama berpisah, tak pernah mendengar kabar dan tiba-tiba bertemu lagi dengan cara seperti ini, kami benar-benar kikuk dan canggung menghadapi satu sama lain!
Kami saling berpandangan, dengan wajah yang tak pernah kami lihat sebelumnya. Heran, takjub, canggung, konyol... Malu! Yang akhirnya memaksa kami mulai tertawa. Dan lama-lama tawa kami makin lepas, menertawai diri kami masing-masing... Menertawakan kejutan ini, keajaiban yang telah direncanakan ini!
Semangat terasa merayap di balik kulitku. Berdesir begitu hangat seiring aku makin sadar, siapa yang berdiri di hadapanku. Sahabat yang sudah lama kurindukan...
“Bagaimana kabarmu?” Awan membuka sapanya.
Aku tertawa lirih. “Tiga tahun jauh dari rumah... Itu berat!”
“Berat? Lalu kenapa tak pulang saja?” Awan menyahut diiringi tawanya yang basah.
“Aku... Entahlah...! Mungkin karena aku selalu ingin semua kulakukan pada saat yang tepat.”
“Dan sekarang sudah tepat?”
“Ya.”
“Alasannya...?”
Aku kembali kikuk saat Awan menanyakan alasanku. Tanganku bergerak dengan sendirinya menggaruk-garuk kepala.
“Kamu masih garuk-garuk kepala kalau bingung?” Awan ternyata membaca bahasa tubuhku, bahasaku sejak dulu. Dia pun tertawa lagi.
“Sudah tak ada alasan lagi untuk tidak pulang. Rasa rindu sudah berada di puncak!” jawabku dengan senyum serba salah. “Rindu dengan semuanya. Keluarga, kampung halaman, rindu dengan...”
“Sebenarnya... meski aku tak pergi kemana-mana, tapi rasanya juga berat,” Awan memotong kalimatku yang belum selesai. “Kamu pasti ingat dengan kampung halaman kita yang menyenangkan. Dulu biasanya kita bermain bersama. Tapi sejak kamu pergi, semua rasanya berubah...”
Aku terpaku oleh ucapan Awan. Apakah maksudnya? Apa yang berubah…?
“Maaf aku tak bisa mengantarmu waktu itu...” Awan kembali memotong pikiranku. “Aku menyusul ke pelabuhan, tapi kapalmu sudah berangkat...”
Aku tertegun. “Kau menyusulku?”
Awan mengangguk pelan dengan senyum pahit. Senyum pahit yang sedikit tersipu.
“Sorry, aku memang teman yang payah. Aku juga kecewa dengan diriku sendiri. Tapi aku percaya kamu pasti baik-baik saja...” ujarnya pelan.
“Kamu tidak payah. Kalau kamu payah, aku pasti mudah melupakanmu.”
“Maksudmu...?” balas Awan, senyumnya berpadu dengan kernyitan di keningnya.
“Hahaha... Ya ampun, aku tadi bicara apa ya?!” deraiku kikuk. Sebelum bertambah malu, aku segera mengalihkan pembicaraanku. “Kamu naik apa kemari?”
“Motor. Aku parkir di depan sana,” jawab Awan.
“Ooo… Kamu masih tinggal di Jembrana?” tanyaku lagi.
“Masih.”
“Masih… suka menyanyi?”
“Masih.”
“Main gitar?”
“Masih.”
“Minum teh? Nasi Jinggo?” tanyaku makin beruntun, ingatanku tentangnya kian menyeruak!
“Hahaha...” Awan tertawa seraya mengalihkan wajahnya, seolah ingin menghindar untuk menjawabnya.
“Masih suka melamun di depan kamar?”
Awan sekarang menatapku lagi, tapi masih belum menjawab pertanyaanku. Dia cuma tersenyum dongkol sekaligus jenaka.
“Masih sendiri?”
“Semuanya masih!” jawabnya diikuti tawa yang basah. “Kamu juga masih sendiri?”
Aku mengangguk, mengakuinya.
“Aku juga suka melamun di depan kamar kosku dan berharap aku sedang berada di depan kamarmu...” ujarku pelan, bersama senyum lepas tak terhalang. Lalu kulanjutkan kalimat yang tadi sempat terpotong, “Aku rindu dengan masa-masa itu...”
Aku dan Awan saling berpandangan tanpa berkata-kata lagi. Membisu, meresapi wajahnya yang tak berubah. Teduh, bening, sayu... Senyumnya pun tak berubah. Lebih kaya dari kata-kata. Kuharap begitu juga senyumku. Bahwa persahabatan itu masih ada, tak pernah hancur meski pernah menyakitkan...
Tiba-tiba HP kami berbunyi, hampir bersamaan, memecah kebisuan kami. Kubuka SMS dari Devan.
“Kalau sdh kangen2an, cpt masuk! Ayo pesta!”
“Dasar si Devan!” sungut Awan diikuti tawa kesal setelah membaca SMS yang diterimanya.
Aku ikut tertawa. Aku yakin SMS yang kami terima sama.
“Ayo, masuk!” ajakku bersemangat dan hendak beranjak.
“Dika?” Awan mencegahku sesaat.
“Ya?” aku menoleh lagi padanya.
Awan tampak ragu sejenak. Tapi kemudian bibirnya terkembang. “Aku juga rindu masa-masa itu...” ucapnya di sela-sela senyuman.
Aku termangu sesaat. Berdiri berhadapan dengannya lebih dekat. Aku tahu, keraguan telah menahan kalimatku yang paling jujur. Dan aku sadar, tak ada lagi waktu yang lebih tepat selain sekarang!
“Sebenarnya aku tadi juga mau bilang, kalau aku juga kangen kamu...” ucapku setengah terbata.
Senyum Awan terkatup teduh. Seolah ada bahagia yang tak terhitung di dalamnya...
“Aku juga. Rindu sama kamu!” balasnya lirih.
Sesaat kami terdiam. Lalu tak terbendung lagi, aku tergerak memeluknya.
Dan seketika itu, malam tiba-tiba menggelegar!
Gelombang suara menusuk keras ke telinga dan letupan udara melemparkan tubuh kami. Kusaksikan semua terhempas dan berjatuhan. Aku mendengar jerit yang menyusul kengerian, berlomba dengan suara tangis yang mengumbar pilu. Aku melihat mereka rebah. Darah berceceran. Malam terasa pecah!
Dalam sisa sadarku, aku mencari Awan...
Aku melihatnya tergolek tak berdaya. Aku memanggilnya tapi tak ada suaraku yang keluar. Aku merangkak untuk menggapainya. Tapi aku tak sanggup... Aku melihatnya meregang! Ya Tuhan, aku melihatnya kesakitan...! Aku mencoba merangkak lagi dan berteriak...!
Tapi… perlahan-lahan, pandanganku semakin kabur... Sepenuhnya aku pun roboh.
Dan kurasakan diriku... akhirnya lepas.
---
berlanjut ke halaman ini: Hidup Adalah Anugerah