RSS

IV


DI BAWAH LANGIT BALI







Hidup Adalah Anugerah


           
Ingatanku tentang peristiwa itu masih sangat segar. Memang, baru lima bulan itu berlalu. Tapi kurasa, sampai kapanpun aku tak akan pernah melupakannya. Karena di sanalah semua ketakutanku terasa jelas, sepenuhnya.
           
Aku menatap ketakutanku ketika melihat dia gontai, jatuh tak berdaya di depan mataku. Kurasakan kesakitan, seperti ada jutaan lebah masuk ke dalam telinga lalu menyengati seluruh isi kepalaku. Tapi melihatnya roboh, membuatku terus berusaha bangkit agar bisa merengkuh gapaiannya yang tak sampai...
           
Aku tak hanya takut kehilangan nyawaku. Aku juga takut kehilangan dia yang kucintai. Aku jatuh di sisinya, memeluk tubuhnya hingga aku tak mampu lagi untuk siuman di malam kejam itu.
           
Luka di tubuhku pulih dalam beberapa hari. Tapi dia, menderita luka serius karena kepalanya terkena pecahan dinding yang terlempar akibat ledakan. Tapi, dia masih diijinkan Tuhan untuk bersamaku.
           
Malam itu menyisakan kepedihan dalam batin kami. Banyak orang kehilangan nyawa di malam itu. Wajah kematian seolah memaksa kami untuk bersyukur karena kami masih diberi hidup. Tapi, kami tetap membayar rasa syukur itu dengan sebuah kehilangan yang sama berharganya.
           
Dika selamat.
           
Tapi kami kehilangan Devan. Dia meninggal pada saat itu juga, ketika ledakan terjadi. Kami tak pernah bersyukur tanpa melepas air mata kehilangan... Ketakutan dan kepedihan yang meluruhkan jiwaku hingga sujud, semakin menyadarkanku bahwa aku harus bersyukur atas setiap kesempatan yang masih aku punya. Kesempatan untuk menjaga semua yang kumiliki dan kucintai...
           
“Dia pasti berada di tempat yang lebih baik sekarang,” ucap Dika. Tangannya mendekap erat bahuku.
           
“Iya...” balasku pelan. Tapi, meski kita tahu orang yang kita cintai pergi untuk menuju ke sebuah tempat yang lebih baik, menyisakan pula satu kenyataan bahwa dia tak akan kembali lagi. Kita bisa berkata bahwa kita tidak boleh merasa kehilangan karena sesungguhnya dia adalah milik Yang Maha Kuasa, bukan milik kita. Tapi bisakah dalih itu membuat kita tak akan merindukannya?
           
Kami akan selalu merindukan Devan, sahabat kami.
           
Kurengkuh tangan Dika, makin kurapatkan ke tubuhku. Rasanya aku butuh lebih lagi kekuatan untuk merenunginya, menghadapi Devan yang kini terbaring di dalam sana, di bawah nisan kokoh yang senyap. Kueja dalam hati nama yang terukir di nisan itu. Kuingat semua tentang dirinya. Dia yang masih muda... Dia selalu bersemangat selama hidupnya... Siapa yang mampu menawar saat takdir sudah bicara?
           
Suatu ketika dia pernah berkata padaku, “Penyesalan bukan lubang untuk kita terbenam. Tapi lubang untuk kita daki!”
           
Aku menghela nafas mengingatnya. Pesan Devan telah mendorongku untuk bangkit dari penyesalan. Berhenti menyesali kesempatan yang telah hilang, menyibak keberanian untuk kesempatan baru yang datang padaku. Mungkin juga untuk berhenti menyesali kehilangan yang tak sanggup kucegah, karena aku harus meneruskan hidup dengan hal lain yang masih aku punya. Bahwa setiap hal dalam hidup selalu memiliki arti.
           
Aku menatap Dika yang duduk di sampingku. Dia tersenyum menguatkanku. Sejak tadi kami duduk di tepi nisan Devan, mengenang dan memanjatkan doa untuk sahabat yang kami sayangi itu. Dia telah mempertemukan kami sebelum dia sendiri akhirnya pergi meninggalkan kami.
           
“Kamu mau pamitan sama Devan, kan?” ujarku pada Dika.
           
“Sebenarnya aku juga mau minta restu padanya.”
           
“Restu apa?”
           
Dika merangkulku, mengajakku berdiri dan mengarahkan badan kami ke hadapan nisan. Lalu Dika berseloroh di depan nisan Devan, “Sobat, minta restumu ya, sekarang kami sudah jadian...”
           
Aku menahan tawa dan menyikut perut Dika.
           
“Kami mau jadi pengantin!” lanjut Dika.
           
Kami tertawa bersama. Serasa ada bahagia yang ingin kami bagi dengan Devan, sahabat kami yang sudah tiada.
           
“Kami akan rindu sama kamu, Van...” ucap Dika lirih.
           
“Pasti,” bisikku lirih.
           
Kami beberapa saat terhening, menatap nisan Devan dengan haru. Aku menatap bunga-bunga yang telah kami tebar di atas nisan. Satu tanda bahwa dia akan selalu harum dalam kenangan kami.
           
“Awan...” bisik Dika padaku. “Kamu mau menungguku lagi?”
           
Aku menatap Dika lekat. Dia harus kembali lagi ke Depok, dia harus meneruskan kuliahnya. Dia akan berangkat besok siang.
           
“Aku akan menunggumu,” jawabku pelan.
           
“Aku akan secepatnya menyelesaikan kuliah. Mungkin satu setengah tahun lagi. Setelah itu aku akan kembali lagi ke Bali,” ujarnya, seraya menengadah ke langit.
           
“Sebentar lagi kuliahku juga akan selesai. Aku akan mencari kerja di sini. Sambil menunggumu...” balasku, seraya ikut memandangi langit biru dengan awan perak yang berarak.
           
Lalu aku membentang pandanganku ke arah selatan, di mana dari atas bukit ini dapat kulihat di kejauhan sana, pematang sawah yang menguning di sisi pantai yang biru...
           
“Lihatlah sawah-sawah di tepi pantai itu...” bisikku di sisi Dika. “Dulu aku menganggap diri kita seperti itu, indah tapi tak bisa sepenuhnya bersatu...”
           
“Sekarang?”
           
“Sekarang aku ingin melihat ke sisi lain yang selama ini telah kulupakan...” ucapku seraya kembali menengadah. “Lihatlah langit yang juga biru. Andai hujan tak pernah turun, apa bumi bisa menjadi subur? Apakah sawah-sawah akan pernah menguning, berkeemasan di tepian pantai itu? Aku telah melupakan kemurahan Hyang Wisnu, yang selalu memelihara bumi dengan air. Dan Hyang Pertiwi, Dewi Bumi tak lain adalah Sakti-Nya. Kita sering berkata, bumi dan langit terpisah jauh. Tapi sesungguhnya keduanya menyatu, lebih dari yang kita tahu...”
           
Aku menatap Dika lekat. Seperti halnya dia menatapku dengan senyumnya yang hangat.
           
“Aku masih ingat kata-katamu dulu. Kamu benar, bahwa kehidupan tak lepas dari dharma masing-masing...” ucapku melanjutkan isi hatiku. “Dan aku percaya bahwa dharma, jalan hidup yang benar, tak mungkin terpisah dari jiwa yang jujur dan tulus. Karenanya aku bersyukur akhirnya bisa mengatakan ini dengan jujur...”
           
Dika tertawa. “Tak perlu malu mengatakannya sekali lagi!” selorohnya.
           
Aku ikut tertawa agak tersipu. Ya, aku malu. Malu tapi tak ragu, untuk menegaskannya seratus kali sekalipun. “Dengan jujur dan tulus, aku mencintaimu.”
           
Dika mengusap bibirnya yang menahan tawa. Lalu tangannya memelukku dengan lembut. 
           
“Janji, tunggu aku...” bisiknya di telingaku.
           
Bibirnya yang hangat, sekejap membasuh lembut bibirku. Kutatap matanya yang bening dan cerah itu...
           
“Aku janji,” jawabku pasti.
           
“Masih banyak yang harus kita hadapi,” bisik Dika. “Keluarga kita, masa depan kita...”
           
“Kita akan hadapi bersama.”
           
Jemari kami berpadu erat. Menegaskan ikrar dalam hati kami.
           
Sekali lagi kami menatap nisan Devan. Lalu perlahan kami mulai beranjak dari hadapannya. Kami melangkah bergandengan, melewati barisan nisan-nisan, menelusur dan mencari celah untuk langkah kami.
           
Kami harus terus berjalan, karena masih ada hidup untuk kami syukuri. Masih ada hari-hari untuk kami jalani. Di sana menanti, liku-liku, tempaan dan cita-cita. Dengan cinta ini kami akan menyongsongnya.

Paduan hati kami, adalah kenang-kenangan berharga dari masa-masa persahabatan yang indah.. Langit Bali saksinya. Pada keagungan-Nya, cinta ini akan selalu kami syukurkan.




~purna~
0 komentar

Posted in

Posting Komentar