RSS

Rumah Jahat


“Energi dapat berubah dari satu bentuk ke bentuk yang lain, tapi tidak bisa diciptakan ataupun dimusnahkan.” 
HUKUM KEKEKALAN ENERGI.





***




Teman-temanku menyebutku penakut. Aku sendiri setuju. Jika sudah berkaitan dengan hantu, selama ini aku selalu menghindar. Tapi, lama-lama sikap menghindar terasa juga sebagai keputusan yang tidak menghasilkan rasa tenang. Seperti menolak menyelesaikan sebuah pekerjaan. Tak hanya itu. Pacarmu dan teman-temanmu sepakat untuk menonton sebuah film horror di bioskop, tapi rencana gagal karena kau menolak ikut. Di Pasar Malam, teman-temanmu menantang untuk memasuki tontonan ‘Rumah Hantu’. Pacarmu berani. Tapi kau memilih menunggu di luar, lalu melihat mereka keluar dari tontonan itu sambil tertawa-tawa puas. Mereka mencibirmu. Pacarmu diam, tapi wajahnya malu. Kau terlihat payah. Kau seharusnya lebih malu.


Itulah kenapa siang ini aku berada dalam perjalanan ini. Dari Solo menuju ke Sukoharjo, ke sebuah desa yang jaraknya 25 km dari pusat kota. Desa bernama Cluring. Desa yang sepertinya tak akan menunggu lama lagi untuk dilupakan orang, karena untuk sebuah desa tua tempat ini seperti tak pernah berkembang. Sepi. Itulah kesan yang langsung tertangkap olehku, begitu motorku melintasi tugu lapuk Desa Cluring. Aspal jalan pun sudah rapuh, pecah bercampur dengan tanah kering. Tidak banyak penduduk yang tinggal, atau tersisa di desa ini. Rumah-rumah begitu jarang, lusuh, seolah penghuninya hanyalah orang-orang yang penat dengan hidup. Kicau burung bersahutan dari dahan-dahan trembesi dan randu tua, seperti sebuah resital komedi yang kelam. Sesekali terdengar gema radio yang diputar di salah satu rumah, mengumandangkan gamelan dan sinden yang suaranya terdengar buram. Tak ada pop. Yang ada adalah suara kehidupan yang sudah letih.

Motorku tiba di sebuah pekarangan tanpa gerbang. Atau dulu punya gerbang, tapi sekarang sudah lenyap. Aku masuk ke pekarangan dan turun dari motorku. Sebuah halaman yang luas tapi dipenuhi oleh semak, pohon-pohon tak terurus, dengan guguran daun yang menutupi tanah. Di depanku berdiri sebuah rumah besar. Sama nasibnya, tak terurus. Kata ayahku, dulu setiap bulan selalu ada suruhan yang merawat tempat ini, tapi sejak beberapa tahun lalu sudah tidak lagi. Karena pada dasarnya tak ada yang bisa berbuat banyak terhadap tempat ini. Misteri di tempat ini terlalu kuat dan menghantui...

Kuinjakkan kakiku di beranda, yang dalam istilah Jawa disebut pringgitan. Kewarasanku terbagi dua: segera meninggalkan tempat ini, atau tetap bertahan dengan niat semula. Aku bertahan, meski bergidik. Siapapun tak mungkin tak bergidik menghadapi rumah ini. Dibangun dari kayu jati tua, berarsitektur Joglo Limasan tapi tanpa pendapa, langsung berupa rumah utama dengan pringgitan. Ornamen di bawah atap beranda berupa lengkungan-lengkungan dari rangkaian kayu yang ujungnya berbentuk seperti mata lembing. Sering kujumpai ornamen seperti ini pada rumah-rumah kuno di Solo, yang biasanya dicat hijau. Tapi rumah ini tidak dicat. Dibiarkan kelam apa adanya. Seolah apa saja yang pernah hidup di sekitarnya tak pernah mengenal polesan. Yang dikenal hanya kebenaran: bahwa rumah ini adalah tempat yang seharusnya tak kau singgahi.

Tapi aku telanjur singgah di tempat ini sepuluh tahun yang lalu. Dan membawa ‘hantu’ yang menggangguku hingga kini. Sekarang, ingin kukembalikan ‘hantu’ itu ke tempat ini. Untuk bisa lepas dari takut, mungkin aku harus menghadapinya. Aku harus mengalahkan ‘hantu’ itu di kandangnya!

Kumasukkan batang kunci ke gembok besar penyegel pintu utama. Pintu kubuka. Kayu tua berderit miris. Hawa langut tercium begitu dingin di hidungku. Dingin seperti darah pembunuh yang tak kenal kata ‘dosa’. Sekali lagi membuatku gentar. Tapi tidak mundur. Tetap melangkah memasuki ruangan besar yang suram ini. Perabotan tua masih tersisa beberapa, meja kursi, lemari, bufet, semua diselimuti debu dan jamur.

Kubiarkan pintu tetap terbuka. Siang saja sudah begini remang di rumah ini. Kutaruh ranselku di lantai, mengeluarkan senter untuk berjaga-jaga. Kunyalakan pula lampu badai yang sudah kubawa dari rumah, lalu kuletakkan di atas meja. Cercah cahaya tak membuat rumah ini tampak lebih ramah, sebaliknya kian jelas betapa seram rupa rumah ini. Kudekati sebuah potret besar yang terpajang di dinding. Terpasang sebuah citra yang berbagi wajah dengan jamur, membuat raut hitam putihnya itu begitu seram. Wajah seorang perempuan dengan rambut terurai. Dia tersenyum, tapi tanpa mata. Dua bagian matanya telah dimakan jamur. Kau bisa bayangkan senyumnya yang menciutkan nyawa...?

Itu pasti potret pendiri rumah ini. Nyi Sara, atau Nyi Soro. Beliau seorang anggota keluarga bangsawan. Tapi dia dikucilkan karena mengandung anak yang dianggap tidak sah, hasil dari hubungannya dengan seorang pegawai Belanda yang tak pernah menjadi suaminya. Beliau membesarkan putranya sendiri di sini. Putra satu-satunya itu ia beri nama Rangga. Kelak putra Nyi Sara itu memperistri seorang gadis setempat, tapi istrinya itu kemudian meninggal saat mengalami keguguran. Garis keturunan pendiri rumah ini tak berlanjut. Yang mewarisi rumah ini adalah adik laki-laki dari istri Rangga. Rangga, seharusnya aku menyebutnya Eyang Buyut Sepuh, karena adik iparnya itu adalah ayah dari nenekku.

Tentunya potret Eyang Buyut Sepuh juga terpasang di rumah ini. Tapi karena suatu hal, aku tak ingin mencarinya. Mungkin nanti. Atau... mungkin aku memang tak akan mencarinya.

Rumah ini pastinya sudah berumur lebih dari 100 tahun. Meski tampak usang, rumah ini masih begitu kokoh. Dan seram, bagai makhluk abadi yang berselimut debu dan jamur. Ya, makhluk, bukan benda mati! Karena bisa kudengar rumah ini bersuara. Berderit, berderak, berdesau... Seperti nafas tak senang karena merasa dibangunkan di tengah tidurnya. Mungkin kehadiranku memang tak diinginkan. Seperti halnya sepuluh tahun lalu, ketika aku kemari dan bermain-main di salah satu bagian rumah ini... lalu sesosok wujud seram menampakkan diri di hadapanku... Menancapkan taring ketakutan di memoriku. Mengutukku menjadi seorang... penakut! Ya, itulah yang ingin kusudahi. Maka harus kuhadapi lagi di tempat di mana itu semua telah dimulai. Di rumah ini!

Aku ingat cerita seram nenekku tentang Nyi Sara. “Beliau seorang perempuan anggun yang selalu membiarkan rambutnya terurai,” begitu menurut cerita nenekku. Seperti Ratu Kalinyamat yang juga mengurai rambutnya sejak suaminya dibunuh oleh Arya Penangsang. Bedanya, Nyi Sara tidak sampai bertelanjang diri. Dia melakukannya juga bukan untuk meratapi suami, tapi untuk sesuatu yang lebih mistis... “Konon beliau terikat semacam perjanjian. Sesuatu yang gaib, yang membuatnya kaya,” kata nenekku. Konon, saat meninggal ada yang menjijikkan pada jenazah Nyi Sara. Dari rambutnya yang panjang keluar kutu yang banyak sekali jumlahnya, seperti luapan semut yang pindah sarang.

Tentang jenazah Nyi Sara, sepertinya itu dikaitkan secara mistis, azab. Tapi... menurutku, bisa saja sebenarnya itu alamiah. Kutu rambut memang banyak diidap orang pada jaman dulu, karena pada waktu itu kesadaran tentang kebersihan dan juga perobatan belum sebaik sekarang. Tentang pesugihan, mungkin juga hanya sebuah prasangka. Nyi Sara adalah anggota keluarga bangsawan, dan dia juga berhubungan dengan orang Belanda. Sejak awal tentu beliau bukan orang miskin. Ini hipotesaku untuk tidak mudah terbawa prasangka. Sekaligus, mungkin, aku ingin berhenti tersugesti oleh kisah-kisah yang hanya membuatku takut. Karena cerita nenekku selalu menyeramkan. “Konon kekayaan Eyang Soro hanyalah pinjaman. Saat beliau wafat, kekayaannya diminta kembali oleh sang pemilik. Karena itu, rumah itu sebenarnya bukan hak siapapun. Meski Nenek dianggap sebagai ‘pewaris’, sebenarnya rumah itu tak terwariskan. Rumah itu adalah milik dari sesuatu yang tidak terlihat...”

Cerita-cerita seperti itulah yang sering membuat kita takut. Tapi setelah aku bertekad untuk mengakhiri ketakutan ini, aku mulai meragukan kisah-kisah itu. Salah satu fakta yang kupunya, Nyi Sara meninggal sebelum nenekku lahir. Jadi dari mana Nenek tahu bahwa cerita yang didengarnya itu benar?

Bagaimana dengan hantu yang pernah kulihat dulu?

Kini mataku melihat ke objek lain. Memandangi mulut-mulut pintu yang menganga membentuk jalur lurus, seperti sebuah terowongan yang menuju ke ruang dapur. Di dapur itu, ruang paling belakang, di sana ada sebuah sumur. Sepuluh tahun yang lalu, sesosok laki-laki jangkung berwajah pucat menampakkan diri di hadapanku. Sosok itu tergantung di tengah sumur, terjerat tali kain di lehernya. Dia menyeringai dengan lidah terjulur, seolah menertawai takdirnya, di saat yang sama menyumpahiku dengan kengerian yang tak terkira... Aku menjerit, menangis. Ayah dan teman-temannya yang sedianya bermaksud membeli rumah ini, datang melihat keadaanku. Mereka kaget karena aku begitu ketakutan. Padahal, mereka bilang mereka tak melihat siapa-siapa di tempat itu, selain aku.

Rumah ini tak jadi terjual. Orang-orang yang semula mau membeli, akhirnya mengurungkan niatnya setelah percaya rumah ini angker. Aku jatuh demam sampai beberapa hari setelah kejadian itu. Ayahku pun mendapat marah dari Nenek karena telah mengajakku ke rumah ini. Terlebih lagi karena Ayah berniat menjual rumah ini. Ayah memang sedang butuh uang. Keluarga kami butuh uang. Ayah sudah beberapa bulan kehilangan pekerjaan, sedangkan Nenek sakit parah dan butuh pengobatan yang mahal.

“Aku sudah tua, matipun sudah ikhlas. Jadi tak perlu mengotak-atik rumah itu demi kesembuhanku. Aku tak mau berhutang pada rumah jahat itu!” Begitu pesan Nenek.

Rumah jahat?

Ataukah hanya sebuah cerita seram?

Lalu apakah yang dulu kulihat di sumur itu? Jika memang hantu, apakah berarti aku harus takut, dan menjadi penakut sejak itu?

Ingin kupastikan jawabannya di sini!

BRAKKK...!!! Tiba-tiba pintu depan menutup seperti dibanting dari luar. Aku melonjak kaget! Sekujur kulitku seketika meremang saat angin dingin menerobos masuk dari semua celah. Kayu-kayu berderak, celah-celah berdesau... Debu menggulung seperti kabut menuju ke dapur. Perlahan seperti terbentuk bayangan, samar abu-abu di tengah pintu dapur... Abu-abu mulai memutih, meninggi... seperti sosok manusia berselubung kafan. Wujud itu berjingkat cepat ke arahku...!

Aku terhentak mundur. Tapi sesaat kemudian berbalik maju. “Ini masih siang, sudah tak sabar menakutiku, hahhh?!!” bentakku. Ada keberanian yang tiba-tiba menggerakkan kakiku untuk menendang makhluk itu. Dan... wujud itu pecah. Kembali menjadi debu yang terhempas...

Aku terpana. Diam. Darah panasku berangsur surut. Malah sekarang terasa beku. Tubuhku gemetar. Aku meraih kursi tua, duduk terhenyak di dekat lentera. Terengah-engah. Keringatku menetes dingin...

“Pocong... Itu tadi Pocong?” gagapku seraya mengatur nafas yang labil. “Atau itu hanya debu? Yang dimainkan angin, diterjemahkan oleh halusinasiku...?”

Pikiranku segera dipenuhi oleh segala macam teori yang sempat kubaca sebelumnya. Teori-teori tentang hantu, makhluk astral, roh, psikologi... Aku sempat menjadi lebih pemberani. Tapi setelah apa yang kulihat barusan, aku ragu lagi. Sebenarnya mana yang lebih dulu? Rasa takut, atau halusinasi? Rasa takut menimbulkan halusinasi, atau halusinasi membuat kita jadi takut...?

“Dimas...” tiba-tiba ada suara samar, seperti menyusup dari dimensi lain. Kesadaranku tiba-tiba seperti mengalami anomali. Di atas kursiku aku seperti mengambang. Sekelilingku menjadi buram. Udara mengiang di telinga. Bau busuk yang terbakar tercium di hidungku. Aku kaku... Suara itu berbisik lagi, tepat di belakangku. “Dimas...”

Entitas yang di depanmu tak membahayakan. Tapi jika ia di belakangmu... ia ingin mencelakaimu. Karena belakang adalah tempat yang tak bisa kau lihat, gerbang bagi sesuatu dari dunia yang tak terlihat... untuk masuk ke dalam dirimu. Mengincarmu!

“HYAAA...!” aku berontak! Melantingkan tubuhku hingga terjelungup ke lantai. Aku bergegas bangkit lagi untuk mempertahankan kendali atas diriku. Aku tak mau direbut! “Aku tidak takut...!” teriakku.

Ia tertawa. Tubuhku kembali seeprti mengambang. Telinga mengiang. Bau busuk menyengat! Kepalaku kaku tak bisa menoleh, tapi aku seperti menangkap sosoknya ada di sebelah kiriku...

Perempuan berkebaya, rambutnya terurai hingga menyentuh lantai. Tapi ia tak berkaki... Tubuhnya hanya sampai perut! Sosok itu menyeringai, tapi tanpa mata. Ia bergerak mendekatiku. Sekarang tepat di sampingku. Dadaku berdegup keras. Tubuh tak bisa berontak! Dari rambutnya berjatuhan kutu-kutu yang tak terbilang banyaknya! Binatang-binatang itu merayap ke kakiku, menggigit dan menembusi kulit... Kakiku terasa tremor! Aku tak sanggup berdiri lebih lama. Aku jatuh, telentang nanar di lantai...

Aku seperti tak lagi di dunia nyata. Sekitarku gelap. Tapi telingaku bisa mendengar. Aku seperti mendengar ada yang bercakap-cakap tak jauh dari tempatku tergeletak...

Suara tegas seorang perempuan. “Rangga, jangan lanjutkan! Kayu-kayu yang kau ambil dari Alas Ketonggo ini tidak bersih. Ini hanya akan mencelakai orang lain!”

Suara laki-laki menjawab. “Ibu, ini kulakukan biar semua orang tahu, terlebih Eyang yang sudah mengusir Ibu, bahwa Saya mampu! Kita akan mulyo, dan orang-orang itu akan hormat kepada kita!”

“Kau sudah kebablasan! Apa kau tidak berpikir bahwa perbuatanmu ini akan menuai akibat yang...”

“Mereka yang akan menanggungnya, Ibu. Bukan kita,” laki-laki itu terkekeh.

“Sudah minger kiblatmu! Setelah mati, kaulah yang akan menanggungnya!”

“Tidak. Karena aku menebusnya dengan tigapuluh nyawa...!”

Kudengar perempuan itu menangis pilu. “Tega kamu mengkhianati kudhangan ibumu... Lelaku yang Ibu lakukan selama ini demi kamu menjadi anak yang punya watak utama... Tapi malah kau jual nyawamu!”

Laki-laki itu malah tertawa. Angkuh. Terdengar begitu puas!

Suara perselisihan itu berhenti. Tapi samar-samar aku mulai melihat sesuatu. Terbentuk penglihatan meski aku tak tahu apakah mataku terbuka atau tertutup. Aku melihat orang-orang sedang mengerjakan sebuah rumah. Bukan membangun dari awal, tapi merombak sesuatu. Mereka mengganti tiang soko di dalam rumah dengan kayu-kayu yang baru. Mereka membangun rumah ini menjadi lebih megah. Kulihat seorang laki-laki berbusana Jawa lengkap dengan blangkon, mengawasi para pekerja itu. Laki-laki itu berwajah bengis. Senyumnya melintang dengan aroma kejam. Aku juga melihat dia menanam sesuatu di bawah salah satu tiang itu, sesuatu yang dibungkus kain putih. Semacam sesaji, ubo rampe yang auranya menakutkan...!

Lalu penglihatanku berubah. Kali ini kulihat pemandangan desa waktu itu. Sebuah desa yang cukup reja. Tapi ada atmosfir ketakutan mewarnai wajah para penduduk. Kulihat hari-hari berganti. Setiap hari ada yang mati. Pagi sakit, sore mati. Telah tujuh hari. Telah tujuh nyawa...

“Pageblug. Inilah ulahmu, Rangga...” desis seorang perempuan tua dengan rambut terurai, sambil menangis.

“Lampor-lampor itu akan pergi setelah tigapuluh hari, Ibu,” jawab laki-laki berwajah bengis itu. Tampak tenang, tak merasa berdosa. “Rumah kita akan tambah megah setiap tahunnya. Kita kaya. Mulyo, Ibu...!”

“Ibu akan hentikan ini. Ibu akan hentikan!” getam perempuan itu.

Menjadi jelas bagiku, perempuan itu adalah Nyi Sara, Eyang Canggahku. Dan laki-laki itu adalah Eyang Buyutku. Kulihat mereka bertengkar kian sengit. Laki-laki itu menghalangi ibunya yang berniat memberitahu kepada penduduk desa. Laki-laki itu murka. Aku mendapat penglihatan tentang kejadian itu, ketika Nyi Sara dipukul, disiksa dengan kayu alu. Kakinya dipatahkan hingga perempuan tua itu tak bisa berdiri lagi... Lalu dijebloskan ke dalam lumbung, dipasung agar merangkak pun tak bisa...

Pageblug tak terhenti. Laki-laki itu kian lupa diri. Ibunya merana di dalam pasungan dengan luka di kaki yang mulai berbelatung. Kutu-kutu mulai merubung rambutnya. Air mataku jatuh saat melihat pemandangan itu...

Tapi aku melihat sebuah harapan. Nyi Sara sempat menitipkan sebuah pesan kepada seorang pembantunya. “Jika suatu saat nanti ada dua orang yang mati dalam sehari, kuburkan sungsang di gapura desa. Biar menjadi tolak balak... Tapi jangan katakan bahwa semua ini ulah anakku. Ora ono ilang-ilangan endhok nadyan sawiji. Dia tetap anakku. Aku tak berharap dia dihakimi orang-orang di desa. Aku hanya berharap dia akan sadar...”

Pesan itu dipatuhi. Pembantu itu menyampaikannya kepada salah satu tetua desa. Tanpa sengaja, Eyang Buyut tahu. Dia malah tertawa. “Tak ada yang mati dua orang sehari. Lampor-lampor itu sudah cukup makan satu nyawa tiap harinya...” gumamnya, antara sesumbar dan lupa diri.

Tapi, aku tak menyangka... Hatiku makin pedih menyaksikannya. Nyi Sara mengakhiri hidupnya, memecahkan kepalanya di dinding lumbung... Di hari kedelapanbelas, dua orang meninggal dalam satu hari. Pesan dari perempuan tua itu terjadi, tak ada yang bisa menghalangi termasuk anaknya sendiri sekalipun. Karena semua penduduk percaya bahwa sudah saatnya pageblug itu berakhir. Di gapura, yang kini tinggal puing tugu batas desa, Nyi Sara dikuburkan. Sungsang bersama jasad lainnya...

Aku merasa sudah di ujung penglihatanku. Dadaku sudah tak kuat. Perih merasakannya. Saat aku mengira keadilan sudah ditegakkan, sebuah adegan masih diperlihatkan padaku...

Pageblug telah berakhir. Eyang Buyut marah, kalap. Terlebih ketika penduduk desa meminta jawaban, kenapa ia tega memasung ibunya sendiri. Tapi di kesempatan itulah, dia berhasil bermanis mulut di depan orang-orang, memanfaatkan kemirisan orang-orang yang sempat melihat jasad ibunya. Jenazah yang dikerubungi kutu...

“Para sedulur, sesungguhnya Pageblug itu tak lain adalah ulah ibuku... Aku memasungnya dengan maksud mendesaknya agar berhenti dari lelakunya. Dia mencoba mengelabui dengan pura-pura memberitahu cara menghentikan bencana. Jika pageblug itu sekarang berhenti, bukan karena nasehatnya itu. Tapi karena semata-mata Ibu sudah sedha... Nglalu karena tak kuat menanggung lelakunya sendiri... Saya mengijinkan jenazah Ibu dimakamkan dengan cara itu, justru biar bisa menjadi pengeling-eling... Biar kita semua belajar dari kejadian ini,” tutur laki-laki itu di hadapan para tetua desa.

Ada yang percaya, ada yang tidak. Tapi... siapa yang bisa menghakimi? Mungkin hanya karma...

Eyang Buyut menikahi seorang gadis. Tapi hanya seumur jagung. Istrinya meninggal bersama bayi pertamanya yang keguguran. Rumah ini menjadi rumah yang megah, tapi tanpa kejayaan. Mungkin karena tumbal yang tak tergenapi. Kulihat mata Eyang Buyut yang kian hari kian kosong. Hingga akhirnya, sepenuhnya telah hilang akal sehat. Atau mungkin memang sudah saatnya hutang nyawa dilunasi. Aku melihat, Eyang Buyut menggantung dirinya di dapur, di sebuah sumur. Meninggalkan seringainya yang sedih...

Sebelum penglihatanku padam, kudengar suara perempuan berbisik di sampingku. “Ada yang percaya karena melihat. Ada yang percaya meski tak melihat. Apakah kau percaya bahwa kau telah melihat...?”

Kemudian, aku siuman.

Aku bangun di atas lantai yang kusam dan berdebu. Sendi-sendi di tubuhku terasa sakit. Kulihat sekelilingku, keberadaanku di rumah tua yang senyap ini. Lenteraku masih menyala di meja. Tapi cahaya kian remang. Kesadaranku menyimpulkan dengan cepat, bahwa hari sudah senja. Tapi, aku merasa diriku baik-baik saja, setelah tadi tak sadarkan diri. Begitu juga rumah ini, hanyalah sebuah kotak besar berisi memori-memori kelam yang haus untuk dibaca. Untuk dikenang kebenarannya... bukan kepalsuannya. Sekarang aku mengerti. Meski semua itu terasa hanya mimpi. Ya, mimpi kadang berbagi kebenaran dengan kita...

Kunyalakan senterku. Kakiku melangkah pelan menuju ruangan paling belakang itu. Dapur, tempat di mana ada sumur. Kulihat kegelapan yang disibak oleh cahaya. Menyapa sarang makhluk-makhluk astral yang menyeramkan. Mereka, memori-memori kelam yang terciprat lalu direkam oleh ruang. Indera kita kadang menjaringnya, tanpa sengaja. Membuat kita tahu cerita-cerita yang selama ini disembunyikan oleh waktu. Merekalah hantu. Sesuatu yang kita takuti. Seperti halnya kita kadang takut kepada masa lalu.

Seperti masa laluku. Seperti traumaku... Tapi saat ini aku telah menghadapinya. Dengan gentar, tapi tidak lari darinya.

Benarkah...?

Kubalikkan badan, melangkah meninggalkan ruangan dapur. Meninggalkan sumur di belakang. Belakang adalah tempat di mana kau tak bisa melihat. Apa yang tak terlihat, sekarang ada di belakangmu...

“Dimas...” tiba-tiba terdengar suara berbisik di tengkukku. Suara laki-laki...


Eyang Buyut?


Darahku terasa beku. Langkahku terhenti. Pundakku terasa berat dan penglihatanku kembali buram...


“Aku di belakangmu...”




***




“Sudah?” Denis berkomentar, setelah membaca ceritaku. “Endingnya menggantung.”

“Ya. Itu karena salah satu faktor penting dalam sebuah cerita adalah: reason!” jelasku, menjawab pertanyaan Denis. “Ending menggantung itu bagian dari reason. Bahwa perdebatan soal hantu nggak pernah ada habisnya. Sama halnya jika kita berdebat tentang Tuhan. Ada yang percaya, ada yang tidak. Jadi biarlah persepsi pembaca menentukan kesimpulan masing-masing.”

Denis menggumam, kelihatan masih banyak terganjal. “Soal hantu, sebenarnya kamu sendiri memegang definisi yang mana, Mas?”

“Aku mengangkat teori ilmiah karena menarik,” aku menyampaikan argumen. “Manusia hidup karena energi. Energi membuat otak bekerja, memproduksi tindakan, menyimpan ingatan, dan sebagainya. Menurut Hukum Kekekalan Energi, energi tak bisa dimusnahkan. Ia akan bertransformasi, meski manusianya telah mati. Seperti sebuah CPU yang rusak, mati, tapi memorinya masih bisa diakses lewat CPU lain yang masih hidup. Pada kasus manusia, proses akses itu bisa bermacam-macam. Bisa berupa visi, suara, atau trance. Kadang ada yang merasa melihat benda yang bergerak sendiri, itu mungkin saja, karena pada dasarnya ia adalah energi. Ada orang yang menjadi takut, ketakutan itulah yang kemudian bisa mencelakainya.”

Denis tersenyum sangsi saat mendengar jawabanku. “Itu definisi yang kamu anut, akhirnya?”

Aku tersenyum kecut. “Nggak juga.”

“Lho? Terus?”

“Aku mengangkatnya karena aku setuju bahwa kita harus memelihara rasionalitas. Tapi secara pribadi aku paham, rasionalitas tetap ada batasnya. Aku ingin tetap membuka diri pada kemungkinan-kemungkinan lainnya. Realitas nggak selalu soal rasionalitas, kan?”

Denis mengangguk. “Jadi, yang dihadapi ‘Dimas’ di ceritamu ini memang hantu sungguhan? Maksudku, bukan hantu menurut teori ilmiah?”

“Bisa jadi. Aku nggak tahu,” jawabku pelan. “Yang aku tahu, yang aku ingat, apa yang pernah kualami di tempat ini memang menakutkan... Dan aku sudah muak dengan itu. Menulis cerita ini, rasanya seperti memerangkap seekor monster ke dalam cermin ajaib. Mengurungnya! Entah apakah hantu itu sebenarnya, aku tak terlalu berambisi memecahkannya, yang aku ingin adalah berhenti takut padanya.”

Perlahan aku tersenyum. Lega. Begitu juga Denis.

“Ini pelampiasan yang sangat membantu,” simpulku.

“Inilah cermin ajaibmu itu!” ucap Denis sambil mengetuk laptopku, tempat aku mengetik ceritaku. Lalu dia menyodorkan laptop itu padaku. “Nih, lowbatt! Kamu pakai ngetik dari pagi, sampai sekarang udah sore.”

Kututup window ms word yang berisi ceritaku. Kumatikan laptopku.

“At least, pacaran sama Fandy ada positipnya juga buat kamu, Mas...” celetuk Denis, menyindirku.

Aku tertawa. “Dia pembaca banyak buku, penyuka novel. Kalau aku juga bisa menulis cerita, mungkin dia akan tambah suka sama aku.”

“Lebay!” tukas Denis. “Tapi kamu benar-benar menyukai hobi barumu? Atau cuma menyuap pacarmu itu?”

“Aku menyuapnya dengan senang hati,” balasku, sambil tersenyum ke Denis yang biasanya jutek jika membicarakan Fandy.

Beberapa jenak aku berpandang-pandangan dengan Denis.

“Thanks ya, Den, udah nemenin aku ke sini.”

Denis menatapku dengan mimik datar. “Aku nggak mau kamu mengalami kejadian kayak dulu lagi. Kalaupun terjadi lagi, setidaknya kamu nggak sendirian di sini.”

Aku mengangguk. Meski sebenarnya aku sudah siap jika harus kemari sendiri. Sudah tekadku. Dan sekarang, setidaknya aku merasa lebih lega.

“Aku setuju nama-nama itu dirubah. Meski kamu tetap pakai nama aslimu,” ucap Denis menyinggung kembali ceritaku.

“Aku tetap pakai namaku, karena aku ingin menghadapinya sebagai diriku. Seperti yang aku bilang, ini sebuah pelampiasan, pemberontakanku. Tapi soal nama Eyang-eyang kita, aku menyamarkannya karena kita tetap harus menghargai leluhur, meski kita nggak punya ikatan darah secara langsung dengan mereka. Nggak baik menyebut mereka terang-terangan di dalam cerita yang... bisa dibilang riwayat yang sebenarnya tak ingin kita dengar...”

Denis mengangguk. “Keputusan yang bijak. Tapi... kenapa nama hutannya juga kamu rubah? Kamu ingat cerita Kakek, kan? Tiang-tiang rumah ini bukan berasal dari Alas Ketonggo.”

Kami sesaat termangu memandangi tiang-tiang yang menyangga rumah ini. Tiang-tiang kokoh yang telah kusam dimakan jaman. Dan menyisakan keangkeran...

“Aku ingat kok. Kayu-kayu ini diambil dari Alas Krendhowahono. Tempat yang disakralkan oleh Kraton Surakarta. Karena itu aku ganti juga, takut menyinggung Kraton atau kepercayaan tertentu,” tandasku.

Ya, aku tidak ingin menyimpan naskah-naskahku untuk diriku sendiri. Ada rencana mempublikasikannya, entah mengirimnya ke media cetak atau sekedar posting di blog amatir. Artinya, siapapun bisa membacanya nanti.

“Yahh, pada akhirnya sebuah cerita harus punya sisi dramatis. Biar greget. Kadang nggak ada cara lain, selain memodifikasinya,” imbuhku.

Denis mengangguk. “Well done! So, saatnya kita pulang. Udah mau gelap,” cetusnya, mengajakku memungkasi kunjungan kami ke rumah ini.

“Yup. Lagian ini Hari Valentine, Fandy ngajak hang out nanti malam. Siap-siap...” timpalku.

“Aku masih bingung aja. Kamu kayak nggak ada hari lain aja buat ke sini? Yang lain sibuk beli coklat, kamu malah ngetik di rumah horor ini!” seloroh Denis.

Aku tertawa. “Aku selalu berpikir beda.”

“Ini bukan beda lagi. Ini nyeleneh!” tukas Denis.

“Karena itulah Fandy nggak bosan sama aku.”

Aku dan Denis memperdebatkan hal tak penting sembari berkemas. Hingga akhirnya kami siap untuk pulang. Saatnya meninggalkan rumah ini, rumah peninggalan leluhur kami. Rumah tua yang menyimpan banyak misteri, yang tetap tak terpecahkan meski sebuah cerita telah ditulis tentangnya. Kami menutup pintu seperti semula, dengan segel sebuah gembok besar.

“Mas...” Denis mengutarakan sesuatu saat aku mengatupkan gembok pintu. “Kamu benar udah nggak takut lagi...?”

Aku terpaku sesaat di muka pintu. “Kenapa?”

“Kamu belum menengok sumur itu... Kamu nggak coba menengoknya?”

Wajahku menegang. Hawa di antara kami sejenak terasa dingin. Tapi aku tetap tersenyum. “Aku nggak bilang bahwa aku udah nggak takut. Aku hanya merasa lebih lega. Aku takut, tapi aku berhenti menghindar...”

Wajah Denis berubah masam. “Aku nggak bermaksud...”

“Aku tahu.”

Tapi wajah Denis tetap terlihat menyesal. Mungkin merasa, bahwa selama ini dialah yang sering mengataiku penakut. Aku mengerti, dia menemaniku kemari karena merasa harus bertanggung jawab atas sikapnya. Merasa bersalah.

 Aku menggamit tangan Denis, saudara kembarku. Kami menuruni beranda, meninggalkan pekarangan.

“Aku nggak perlu ke sumur itu,” bisikku pelan. “Karena sejak pertama kita tiba, aku sudah merasakannya meski tidak melihat...”


“Merasakan?”


Aku mengangguk.


“Dia di belakang kita...”









~selesai~
0 komentar

Posted in

Posting Komentar