RSS

I


DI BAWAH LANGIT BALI




Seseorang Yang Tertinggal…



Pulang kuliah. Kumasuki gerbang rumahku. Melewati balai kecil di depan rumah di mana ibuku tengah membuat takir sesaji seperti biasa. Sekilas ibuku melihatku, cuma dengan senyum tipis sebagai sambutan untuk hal yang sudah keseharian. Ya, sudah keseharianku, sibuk kuliah dan selalu pulang menjelang sore.

Kuletakkan diriku, bersandar di teras depan kamarku. Melepas penat sambil memandang ke barat. Jauh ke seberang teras. Pandanganku mengembara ke pesawahan yang hijau kekuningan di sana, yang berbatas dengan tepian bukit dan hutan yang teduh.

Kuhela nafasku. Kupejamkan mata, mendengarkan sayup-sayup suara yang rancak di kejauhan. Jegog, musik bambu kebanggaan tanah Jembrana sedang menyapa telingaku. Iramanya tegas, tapi mengalir dengan lembut di antara udara sore yang hangat. Aku terbuai. Hingga kemudian irama bambu itu berhenti, digantikan suara lain yang mencuat seperti seruling. Itu suara Sunari, peluit bambu yang dipasang para petani di sawah mereka. Lubangnya diselami oleh angin, menghasilkan suara yang terdengar pilu di antara sahutan burung-burung sawah yang riang.

Inilah suara sore di depan kamarku. Di tanah Jembrana yang aku cintai…

Aku tak bosan. Karena membayangkan lembar-lembar hidupku di Jembrana, tak hanya mengarungi nuansa keindahannya yang sahaja. Tapi juga menyusuri kembali kenangan-kenangan berharga dari masa remaja yang sudah lalu. Mengingat kembali betapa indah masa SMA dulu, saat aku bersama dengan seseorang yang sangat membekaskan banyak harapan dalam diriku hingga saat ini.

Sosok yang tak pernah lekang. Dia, suatu ketika masuk dalam hidupku. Itu bermula di awal masa SMA. Di sebuah camping dalam rangka masa orientasi sekolah, saat-saat yang dipenuhi dengan bentakan para senior, gojlokan mental, dan juga hukuman-hukuman. Aku sangat mengingatnya, tak mungkin lupa.

Di malam terakhir kegiatan perkemahan itu, aku merasa tak sehat, dan memilih untuk beristirahat di dalam tenda di saat siswa-siswa lainnya harus mengikuti acara api unggun. Saat itulah, dia menghampiriku…

“Kamu sakit?” dia bertanya.

Saat itu aku belum mengenalnya, dan hanya tahu bahwa dia sekelas denganku dan satu tenda denganku. Aku cuma mengangguk pelan saat menjawab sapaannya.

Tanpa kuduga, tiba-tiba dia menjamahkan tangannya ke leherku.

“Ahhh!” desahku kaget, tangannya terasa dingin di kulitku.

“Sepertinya kamu demam. Sudah minum obat?” tanyanya, dengan sangat santai memberiku perhatian.

“Sudah,” jawabku singkat, seraya merapatkan sweater dan mendekap tubuhku yang kedinginan.

Tiba-tiba ada yang menyibak kain pintu tenda. Seorang siswa senior. “Kenapa tak ikut kegiatan?!” bentak senior kami itu, membuat kami terkesiap.

Aku belum sempat menjawab, temanku tadi sudah menjawab lebih dulu.

“Dia sakit, Kak,” jawab temanku.

“Kalau sakit kenapa tidak ke UKS? Kenapa malah di sini?!” senior itu membalas dengan bentakan lagi.

Di saat kami berdua tengah gugup menghadapi bentakan senior, ada senior lainnya yang menyusul menghampiri kami.

“Ada apa?” tanya senior yang baru datang itu, lebih halus.

“Temanku sakit,” lagi-lagi temanku yang menjawab. Aku belum sempat menjawab apa-apa. Membuatku benar-benar heran.

“Kalau sakit ke UKS saja. Ayo!” ajak senior kami yang baru datang itu. “Kamu sekalian temani dia,” imbuhnya pada temanku tadi.

Senior kami yang ketus kembali ke kerumunan api unggun. Sedangkan kami, bersama senior yang ‘baik hati’ tadi mulai beranjak dari tenda. Melintasi lapangan sekolah yang remang oleh pendaran api unggun, kami bertiga melangkah dengan panduan lampu senter yang dipegang senior kami, menuju ke ruang UKS.

Udara terasa lebih hangat di dalam ruang UKS itu, dan juga lebih terang. Aku merasa lebih nyaman. Aku tak lagi tiduran di atas rumput basah berlapis tikar, tapi di atas kasur yang empuk dan hangat.

“Kak, yang sakit temanku ini. Apa aku harus ikut di sini?” tanya temanku kepada senior yang mengantar kami.

“Kamu temani dia saja di sini. Soalnya semua panitia sedang sibuk, tidak ada yang bisa menjaga. Aku ambilkan teh hangat sebentar,” jelas senior kami itu dengan senyum ringan. Di luar dugaanku, setelah merasakan tiga hari camping dengan senior-senior yang judes, ternyata di malam terakhir camping itu akhirnya kami bertemu juga dengan senior yang ‘baik’ seperti dia.

“Wah, matur suksma, Kak. Kak Devan memang paling baik hati!” sahut temanku. Rupanya temanku sudah tahu nama senior kami itu.

Devan, senior kami itu menimpali. “Sebenarnya aku kuatir ruang UKS ini berhantu. Makanya sebaiknya kalian saling menemani di sini!” bisiknya sambil menepuk bahu temanku.

“Berhantu?” temanku mendesis agak bergidik. “Serius?”

Saat itu aku pun ikut merinding. Sedangkan senior kami yang bernama Devan itu menggeloyor keluar dengan santainya sambil tertawa kecil. Sesaat kami berdua kikuk di ruang kecil yang sepi itu. Tapi kemudian kami berdua segera ikut tertawa. Tawa masam, berharap semua itu cuma gurauan seorang kakak kelas!

Aku memandangi temanku itu, orang satu-satunya di ruangan selain aku. Keramahan dan kepeduliannya itu, dengan mudah segera membekas dalam benak dan batinku. Di SMA yang baru kami masuki itu, dialah orang yang pertama kali menempatkan diri sebagai seorang teman yang sesungguhnya bagiku. Ramah, hangat dan sangat perhatian.

Bahkan mungkin itulah awal kali aku mulai mengenal sebuah persahabatan.

“Terima kasih ya, Dika…” ucapku.

“Hmmm… Sudah tahu namaku, ya?” canda Dika sambil mengayunkan dagunya ke atas.

Aku tersenyum. “Itu namamu terpasang di seragam,” tudingku ke bagian dada seragam Pramuka-nya. “Kamu sudah kenal Kak Devan?” tanyaku kemudian, sekedar berbasa-basi.

“Belum. Jadi kamu tidak membaca nama di seragamnya?” balas Dika sambil nyengir.

Kami tertawa. Sindiran yang sangat kena! Sejak pertama aku memang lebih memperhatikan Dika. Tidak hanya namanya, tapi juga dalam hati berulangkali memuji rasa perhatiannya dan keramahannya itu.

Dan juga…

Ketampanannya.

“Terus, namamu?” Dika ganti menanyaiku, sambil menyelidik ke seragamku.

Kurapatkan sweater-ku yang terbuka menutupi dada, hingga tak mungkin Dika membaca tanda namaku. Aku tertawa geli melihat tingkahnya.

“Namaku Awan!” sebutku begitu melihat wajahnya tampak menyerah.

“Okey, nama yang bagus, aku maklum kalau kau ingin menyebutnya sendiri!” cibir Dika.

Kami tertawa. Kehangatan mengalir lewat canda cerita sepanjang malam itu. Dan itu adalah sebuah awal. Awal kedekatanku dengan seorang sahabat yang memberikan sangat banyak arti dalam hidupku.

Persahabatan kami berjalan sepanjang masa SMA yang menyenangkan. Masa remaja kami terbingkai dengan indah dan kenangan tentangnya mengakar kuat dalam lubuk ingatanku. Bila aku memejamkan mata dan menghayati bisikan udara di langit Jembrana, dengan mudah aku akan menuju ke sana lagi, kepada kenangan-kenangan itu.

Jembrana tempat lahir kami, tempat tumbuh kami, bagian dari persahabatan kami…

Terlintas lagi wajah-wajah kami saat berboncengan sepeda melintasi tepian hutan di kaki bukit. Lalu menembus jalan kecil di pesawahan, menghalau burung-burung pipit yang mengganggu padi. Dan akhirnya bertemu dengan pantai yang senyap dan ramah… Kami berjalan menapakkan jejak kaki kami di atas pasir pantai, ya… pantai di Jembrana yang bersandingan dengan sawah dan bukit-bukit. Lalu menyaksikan terbenamnya sang surya yang semburat di ufuk barat.

Bila festival Jegog tiba, kami pasti menonton dan ikut bersenang-senang. Minum arak Bali untuk menghangatkan badan bila udara Jembrana sedang dingin. Terjaga dan main gitar sampai pagi, menyambut sang mentari yang tersenyum menyapa bumi, baru kemudian terpulas dalam lelap dan damai.

Suatu ketika di Pura Perancak yang ada di tepi samudera, selepas bersembahyang kami duduk berdua, bercengkrama. Dari teras Pura kami memandang indahnya alam Jembrana. Di arah barat Sungai Perancak mengalir dengan airnya yang tenang, sementara di tepinya barisan pohon kelapa melambaikan nyiur yang ditiup angin sore yang sejuk. Rumah-rumah pedesaan dengan gaya tradisionalnya tampak berkerumun di muara. Dan tak jauh darinya, samudera biru membentang agung.

Saat itu kami berdua terpekur dalam sebuah percakapan yang begitu hangat. Dika melontarkan ketakjubannya…

“Tuhan memang Seniman Agung. Siapa lagi yang bisa membuat pemandangan seindah ini? Semuanya menyatu, serasi dan sempurna…” ujarnya.

“Menurutmu, apakah semua yang tampak serasi itu sudah pasti berjodoh?” sahutku.

“Tentu.”

“Kalau begitu, lihatlah di sana, dan bayangkan sekali lagi. Kebun dan sawah para petani di tepi pantai. Bumi dan laut tampak indah dan serasi. Tapi mereka tak berjodoh.”

Dika menatapku. “Apa maksudmu?”

“Bukankah Dewi Bumi, Hyang Pertiwi, bukanlah sakti dari Dewa Laut, Hyang Baruna? Bayangkan, andai mereka menjadi suami-istri, air laut menyatu dengan tanah di bumi, maka tanah akan menjadi asam dan padi-padi yang hijau itu tak akan pernah tumbuh.”

Dika tertawa merekah begitu mendengar penjelasanku.

Aku pun melanjutkan cerita yang kudengar dari para petani itu. “Keindahan yang bisa kita lihat itu, sawah dan ladang hijau di tepi laut yang biru itu, dapat menjadi seperti itu karena dua dunia itu tak sepenuhnya menyatu. Meski keduanya tampak serasi, tapi sebenarnya mereka tak berjodoh. Keindahan yang kita lihat, adalah tanda bahwa kita melihat apa yang tampak saja.”

“Aku rasa, kamulah yang menyempitkan arti dari jodoh,” Dika kemudian membalas ceritaku. “Hyang Pertiwi dan Hyang Baruna tak berjodoh sebagai suami-istri, tapi mereka berjodoh sebagai mitra yang ditugaskan Hyang Widi untuk menghidupi umat manusia dengan kekayaan bumi dan laut. Justru kalau mereka tidak berjodoh sebagai dua mitra yang bersahabat, dan tidak saling menjaga dharma masing-masing, bukankah hidup umat manusia malah akan menjadi kacau?”

Jawaban Dika segera membuatku merenung. Dan dia segera tertawa renyai seraya mendekap punggungku. Berdua melanjutkan canda cerita, memaknai masa muda dengan keakraban yang tak akan pernah undur dari ingatan.

Ahhh, bila kuingat saat-saat indah itu, aku merasa haru…

Kemana hari-hari itu?

Masih sendiri di sini, aku pun kian terpejam. Ingatan itu seperti menghisapku untuk menjelajah makin dalam. Menilik lagi ke masa itu, saat-saat di mana kami harus berpisah.


***


Satu tahun yang lalu…

Di sebuah ruang tunggu, aku berulang kali melihat waktu di jam tanganku. Sampai akhirnya Devan menangkap gelagatku yang sedang gelisah.

“Masih lama. Sekitar dua jam lagi baru dimulai paradenya,” cetus Devan sambil ikut melihat jam tangannya.
“Bukan soal acaranya!” tukasku.

“Terus?”

“Dika berangkat ke Jakarta hari ini.”

“Oo… Kemarin kamu juga sudah cerita padaku,” sahut Devan sambil menatapku datar.

Aku merenung lesu. Aku tak tahu kenapa hatiku menjadi bimbang. Aku sudah mempersiapkan diriku untuk acara ini sejak jauh-jauh hari. Tapi sekarang perasaanku jadi kacau!

“Dika berangkat jam lima sore ini, ke pelabuhan,” gumamku gelisah.

Aku menatap Devan, dan dia juga sedang memandangiku dengan mimik bingung.

“Dia sudah pamitan kan?” lontar Devan.

“Dia memang sudah pamitan. Tapi waktu itu aku tak ada di rumah. Dia cuma menitipkan pesan ke ibuku,” jelasku setengah linglung. Sekarang hatiku makin ragu dengan keberadaanku di acara ini.

Devan mengamatiku sejenak. Lalu dia tersenyum masam. “Mungkin aku salah, tapi aku merasa… sepertinya kau memang sudah mulai menjauh darinya?” singgungnya datar.

Aku terdiam. Terus terang, aku tak berharap mendengar pernyataan Devan barusan. Aku tak mau beban pergumulanku ini bertambah!

“Kamu mau mengantar Dika?” tebak Devan kemudian, seolah bisa membaca pergumulan yang kusiratkan.

Aku memalingkan muka. Jawabanku memang ‘Ya’, tapi entah kenapa aku merasa canggung dan sungkan mengungkapkannya. Kuharap Devan juga cukup menebaknya saja.

“Terus bagaimana dengan acara ini? Kalau kamu mau bicara dengannya bisa menelponnya kan?” ujar Devan lagi. Sepertinya dia memang bisa menebak jawabanku.

“Dia tak punya HP. Aku tadi menelpon rumahnya, tapi tak ada yang mengangkat!” jelasku. Akhirnya aku terlalu gelisah untuk memendamnya.

Dengan kalut aku berpikir-pikir. Hingga akhirnya…

“Aku mau menyusul dia!” cetusku, memutuskan sebuah pilihan dan mencabut keragu-raguanku. Aku segera berdiri dan bergegas secepat mungkin menuju ruang ganti!

“Hei! Mau kemana?!” Devan berseru kaget padaku.

Devan mengikutiku. Aku tetap meneruskan langkahku tanpa mempedulikannya, secepat mungkin menuju ruang ganti yang ada di ujung koridor.

Di ruang ganti aku menatap wajahku di cermin. Ya ampun… Segera kulepasi Udeng, kain Wastra dan semua embel-embel kostumku. Lalu segera menuju wastafel dan mencuci mukaku, membersihkan make up.
“Sial!” dalam hati aku memaki. Kenapa tadi aku harus dirias di luar? Aku tak punya pakaian ganti di sini! Aku benar-benar kesal dengan kondisiku sekarang!

“Kamu kenapa, Awan?!” Devan menanyaiku dengan wajah agak kesal.

“Aku mau menyusul Dika!”

“Kamu mau menyusul kemana?”

“Dia bilang akan menyeberang dari Gilimanuk. Sekarang dia pasti sudah berangkat ke sana,” jelasku agak bingung, berusaha mengatur emosi. Aku memandangi Devan lekat-lekat.

Devan membalas pandanganku dengan mimik seperti tak enak dengan gelagatku. Ragu-ragu dia tersenyum. “Kamu mau ke Gilimanuk?” kuliknya dengan muka masam.

“Tolong antar aku!” pintaku padanya.

“Ya ampun!” Devan langsung mendesah lunglai mendengar permintaanku. “Jadi benar kamu mau ke Gilimanuk sekarang? Terus acara ini bagaimana? Perjalanan ke Gilimanuk tak cukup satu jam!”

Aku tahu. Aku berpikir lagi.

Dan…

“Aku akan mengundurkan diri,” sebuah keputusan kuambil lagi di tengah kebimbanganku.

Devan menggelengkan kepalanya disertai senyum kesal. “Bukannya ikut acara ini adalah keinginanmu?” lontarnya sinis.

“Aku tahu! Tapi… Kau juga tahu, Dika itu sahabatku! Dan aku tak akan bertemu dia lagi!” tandasku gundah. Semakin kusadari situasiku, semakin rumit rasanya.

“Kalau kau mengundurkan diri, bagaimana dengan pasangan parademu? Bagaimana kamu mempertanggungjawabkan masalah ini?” cecar Devan.

“Soal pasanganku, panitia pasti akan mengaturnya nanti. Mereka selalu menyiapkan Plan B, dan itu bisa dipakai sekarang!” jawabku gugup. Kedengarannya memang egois. Entahlah, sepertinya aku sudah tak bisa berpikir lebih jauh lagi.

“Panitia pasti akan tanya alasanmu! Bagaimana juga dengan orangtuamu? Mereka juga ingin melihatmu di acara ini kan?” Devan tak berhenti mencecar keputusanku.

Aku membanting punggungku ke dinding. Lututku kelu, aku terhenyak di lantai. Kuremas kepalaku. Rasanya ingin kubanting semua perkara yang membebani kepalaku ini!

“Aku tak butuh lagi acara ini!” seruku, tak dapat lagi menahan kegundahanku.

Devan terpana kecut memandangiku. Sesaat kami membisu. Dalam hati aku merasa buntu, dan aku marah dengan keadaanku!

Akhirnya Devan ikut menekuk lututnya, menjajarkan kepalanya di depan wajahku.

“Awan… Hei?” bisik Devan pelan dan lebih tenang. “Kamu yakin dengan keputusanmu?”

“Antar aku, cuma kamu yang bisa kuandalkan. Please!” aku memohon dengan putus asa.

Devan mendesah. Dia merengkuh bahuku, mengajakku berdiri lagi. Dia menepuk pundakku, berusaha menenangkan emosiku.

It’s OK,” ucapnya pelan. “Tapi bajumu?”

“Aku tak punya pakaian ganti di sini. Antar saja aku sekarang!” desakku sekaligus pasrah.

Aku tahu, dalam hatinya Devan pasti sangat kesal padaku. Tapi setelah kupikirkan, memang inilah tindakan terbaik yang seharusnya kulakukan. Festival Jegeg Dan Bagus Jembrana ini memang penting dan aku mengikutinya dengan penuh harapan, pada awalnya. Tapi kemudian aku sadar, bahwa persahabatanku dengan Dika lebih penting. Dan di hari keberangkatannya ke Jakarta ini, untuk melanjutkan sekolah dan aku tak akan bertemu dengannya lagi entah sampai kapan, aku ingin melepasnya… meski mungkin hanya dengan satu kalimat perpisahan yang kuucap untuknya. Itulah sikap seorang sahabat!

Dan cuma Devan yang bisa kuandalkan untuk membantuku. Setelah ‘memaksa’ panitia acara untuk menerima pengunduran diriku dengan alasan yang memang terdengar sangat egois bagi mereka, dengan keras kepala aku meninggalkan acara itu. Dengan motornya Devan segera membawaku meluncur ke Gilimanuk, aku sendiri tak peduli dengan jas dan celana kostum festival yang masih melekat di tubuhku. Festival Jegeg Dan Bagus Jembrana, aku benar-benar tak memikirkannya lagi!

Melalui perjalanan sekitar satu jam dari Negara, dengan motor yang melaju kencang, akhirnya kami tiba di Gilimanuk. Aku terkesiap saat melihat waktu di jam tanganku, jam enam lewat!

“Semoga belum terlambat!” gumamku dalam hati penuh harap.

Devan memberiku isyarat supaya jalan lebih dulu, dia mencari tempat parkir untuk sepeda motornya. Aku segera bergegas.

Tapi… aku tertegun dan mataku tersita oleh pemandangan yang tanpa sengaja kudapati di tempat parkir. “Kenapa ayah dan ibu Dika sudah keluar dari pelabuhan?” aku bertanya-tanya dengan cemas dalam hati.

Setengah berlari aku segera menghampiri orang tua Dika yang baru mau masuk ke mobil.

“Maaf, Pak!” cegahku di depan mobil. Ayah Dika yang sudah duduk di kursi setir tercengang melihatku, seperti berusaha mengingatku. Aku terengah-engah bercampur cemas. “Dika? Apa Dika sudah…?”

“Ooo… Dika sudah berangkat, kapalnya baru saja menyeberang,” dengan wajah masih heran ayah Dika menjawabku.

Aku terpana. Tubuhku lemas. Langkahku gontai. Orang tua Dika masih tercengang di dalam mobil, tapi aku sudah tak sempat mempedulikan mereka lagi. Kutinggalkan mereka, aku segera mengejar ke dalam pelabuhan! Aku berlari menuju dermaga. Dalam hati aku meracau sepanjang derap lariku, berharap aku belum terlambat.

Bisa saja orang tua Dika bohong! Ya, mereka pasti bohong! Dika pasti belum berangkat! Aku harus mengejarnya!

Tapi…

Kulihat kapal itu sudah berada di tengah laut. Kapal telah berangkat, berlabuh menyeberangi selat…

Lututku lunglai. Aku terhenyak di lantai dermaga. Aku terdiam nanar menatap kapal yang semakin menjauh. Hatiku sekali lagi masih berusaha berontak. Aku masih mencoba menengok ke sekelilingku dengan penuh harap, berharap bisa saja Dika naik kapal berikutnya. Dia mungkin masih menunggu di dermaga ini! Dia belum berangkat! Dia masih…

Dia masih…

Ya Tuhan…

Aku tertunduk menatap lantai dermaga yang dingin dan bisu. Semangatku pupus. Kapal itu sudah berangkat. Dika sudah pergi.

Aku memang terlambat.

Tetes-tetes rinyai gerimis kurasakan memercik ke wajahku. Kurasakan, juga ada yang menetes dari mataku.


Ya Tuhan, aku menangis…


***


Aku terbangun dari lamunan, siuman dari kenangan perpisahan itu. Menyadari lagi sepenuhnya keberadaanku di sini, di teras depan kamarku. Sore telah menghujung kepada senja. Angin mulai dingin, semilir menghembus wajahku. Kuusap pinggiran mataku yang basah.

Langit sore yang keemasan ini, rasanya sama seperti saat kami bercengkerama di Pura Perancak. Saat kami berbagi cerita tentang bagaimana alam saling bersahabat. Bahkan, alam saja menjaga dharmanya. Bagaimana aku berani menyatakan bahwa aku menginginkannya lebih dari seorang sahabat? Bahwa kepada seorang sahabat rupanya aku telah memendam rahasia bernama: Cinta.

Bahwa, takdir mampu membuat perasaan dalam hati manusia menjadi begitu rumit...

Aku sering berharap tak pernah memiliki perasaan sedalam ini. Aku sudah berusaha, untuk menepis dan menjauh. Mencari kesibukan lain dan segudang alasan untuk melupakannya. Aku takut jika perasaanku ini hanyalah sebuah keinginan hati yang terlalu tamak, seolah persahabatan yang indah itu belum cukup.
          
Tapi sekarang, aku merasa justru selama ini hatiku terlalu miskin untuk memberi tempat pada ketegaran. Aku tak mau kehilangan dia, aku tahu itu dari dulu! Tapi selama ini aku sungguh pandai membohongi diri. Aku selalu menghindar hingga akhirnya dia benar-benar pergi, dan aku tak pernah sempat mengantarnya meski hanya untuk melepasnya di dermaga dengan satu ucapan perpisahan.
           
Rupanya menjadi sahabatpun aku tak mampu. Bagaimana aku layak berharap lebih? Kalaupun aku tak pernah berani jujur di hadapannya, kenapa aku juga harus memilih untuk berusaha menjauhinya? Akhirnya, sebagai pengecut aku menyesal. Dan penyesalan ini seperti kutukan yang justru membuat perasaan itu kian dalam. Mungkin ini memang setimpal.
         
Persahabatan kami, seperti pemandangan sawah dan pantai yang berpadu indah di alam Jembrana. Berpadu, tapi tak pernah sepenuhnya menyatu. Persahabatan mesra, dengan hasrat terdalam yang tetap terpisah. Tak bisa memilikinya. Tak bisa mengungkapkannya. Hanya bisa merindukannya, ketika kejujuran telah terlambat...
           
Letih… Kulipat rapi kenangan itu. Aku tahu, setiap saat bayangnya akan menyapa lagi. Selalu. Bersama udara Jembrana yang berbisik dan mendenyutkan namanya ke bagian hatiku yang paling dalam.
           

“Hahaha... Hatiku yang bodoh, kau memang harus belajar menerimanya!”







---



Berlanjut ke halaman ini: Seorang Penghibur
0 komentar

Posted in

Posting Komentar